Pengendalian Gulma Dengan Sulfenacil Secara Tunggal dan Campuran Pada Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Belum Menghasilkan di Lahan Gambut
TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Indonesia
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha,
yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Namun karena variabilitas lahan
ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak
semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. (BB Litbang SDLP, 2008).
Tanaman kelapa sawit saat ini menjadi salah satu sumber minyak nabati utama dunia
dan merupakan komoditas utama perkebunan di Indonesia. Luas areal perkebunan kelapa sawit
di Indonesia terus meningkat secara pesat, sampai dengan tahun 2014 mencapai 10,9 juta ha dan
diperkirakan tahun 2015 meningkat menjadi 11,4 juta ha.1 Pengembangan komoditas ini telah
dilakukan pada berbagai lahan di Indonesia, baik tanah mineral maupun tanah gambut.
Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Indonesia telah mencapai lebih dari 1,7 juta
ha dari total luas lahan gambut Indonesia seluas 14,9 juta ha. 2 3 Pengembangan kelapa sawit di
lahan gambut tersebar utamanya di pulau Sumatera sekitar 1,4 juta ha dan di Kalimantan sekitar
307 ribu ha. (PPKS, 2014)
Jenis Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit Lahan Gambut
Jenis gulma kelapa sawit pada lahan gambut dapat dikelompokan atas tiga kelompok
yaitu gulma paku-pakuan, gulma rerumputan, dan gulma berdaun lebar. Gulma dengan
kelompok paku-pakuan banyak dijumpai di lahan gambut seperti nephrolepis bisserata,
stenochlaena palustris , dan dicranopteris linearis. Kelompok gulma rerumputan seperti
paspalum conjugatum, scleria sumatrensis, dan cyperus rotundus, dan kelompok gulma daun
lebar seperti clidema hirta, mikania micrantha, costus specious, trema aspera. asystasia intrusa,
Universitas Sumatera Utara
vitis japonica. dan kelompok kayu keras A. crassicarpa dan macaranga sp. ( Pribadi dan Illa,
2010)
Stenochlaena palustris dikenal dengan nama daerah lumiding. Tumbuhan ini ditemukan
di hutan kerangas, rawa dan gambut. Hidup di tanah dan memanjat pada pohon yang berada
didekatnya. Berakar dalam tanah, rimpang berwarna hitam dan kuat ditutupi oleh serabut
berwarna coklat. Batang licin, keras dan kuat. Bagian depan batang berwarna hijau kehitaman
dan beralur dalam, sedangkan bagian belakangnya tidak beralur dan berwarna hijau kecoklatan.
Daun steril majemuk tersusun menyirip tunggal genap. Daun bertangkai sangat pendek. Daun
yang masih muda berwarna merah, bertekstur lembut dan tipis, semakin dewasa daun mengalami
perubahan warna menjadi kecoklatan dan pada akhirnya menjadi hijau tua, tekstur yang tebal,
keras dan kaku. (Purnawati et al., 2014).
Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dikenal dengan nama daerah paku uban. Dalam
penelitian ini Paku uban (N. biserrata) ditemukan di hutan kerangas, rawa dan gambut. Tumbuh
merumpun, akarnya berwarna coklat tua. Batang berwarna hijau kecoklatan dan tumbuh tegak.
Batang ditutupi oleh sejumlah rambut halus berwarna coklat muda yang tersebar jarang di
sepanjang batang, namun semakin dekat akar, rambut pada batang semakin banyak, warnanya
lebih gelap dan ukurannya lebih panjang. Daun berwarna hijau terang. Kedua permukaan daun
mempunyai warna dan tekstur yang sama, keduanya ditutupi oleh rambut halus berwarna terang
yang tersebar merata diseluruh permukaan daun. Mempunyai daun majemuk dengan pina yang
kecil. Pina tersusun rapat dan tersebar di sepanjang batang. Pina mempunyai ujung yang runcing.
Tumbuhan muda yang masih muda menggulung berwarna hijau muda dan seluruh
permukaannya ditutupi oleh rambutrambut halus berwarna putih. di tepi daun. (Purnawati et al.,
2014).
Universitas Sumatera Utara
Kerugian Akibat Gulma pada Kelapa Sawit
Tanaman perkebunan juga dapat terpengaruh oleh gulma terutama sewaktu umur masih
muda. Kalau diabaikan, dapat merugikan tanaman budidaya mulai dari memperlambat
pertumbuhan, memperpanjang masa dapat panen pertama, dan memperpendek umur
ekonomisnya. Perkiraan kerugian akibat gulma terhadap tanaman budidaya sangat bervariasi
tergantung pada jenis tanaman budidayanya, keadaan iklim atau cuacanya, jenis gulmanya,
praktek usaha tani pertanian itu sendiri dan sebagainya. (Djafaruddin, 1996).
Gulma dapat merugikan tanaman pertanian karena bersaing dalam mendapatkan unsur
hara, cahaya matahari, air dan ruang. Beberapa jenis gulma sering menjadi inang hama dan
penyakit tanaman tertentu atau megandung zat allelopati yang dapat merugikan tanaman utama.
Gulma yang terlalu rapat dapat mempersulit pekerjaan di kebun seperti panen, menyemprot, dll.
(Djojosumarto, 2008).
Kelapa sawit mempunyai masalah gulma yang tinggi sebab salah satu faktornya adalah
jarak tanam tanaman ini lebih lebar, sehingga penutupan tanah oleh kanopi lambat membuat
cahaya matahari leluasa mencapai permukaan tanah yang kaya dengan potensi gulma. ( Hakim,
2007)
Gulma yang tumbuh di lapangan memiliki pengaruh buruk seperti; gulma dapat
mengurangi hasil tanaman dan kualitas karena persaingan kebutuhan hidup; gulma menjadi
sarang serangga, penyakit dan hama lain dengan peran sebagai inang; gulma mengurangi
efisiensi panen; terdapat gulma yang beracun untuk makanan ternak; gulma air mengurangi
efisiensi sistem irigasi. (Fryer dan Matsunaka, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Pengendalian gulma pada prinsipnya merupakan usaha meningkatkan daya saing
tanaman pokok dan melemahkan daya saing gulma. Keunggulan tanaman pokok harus menjadi
sedemikian rupa sehingga gulma tidak mampu mengembangkan pertumbuhannya secara
berdampingan atau pada waktu bersamaan dengan tanaman pokok. Dalam pengertian ini semua
praktek budidaya di pertanaman (sejak penyiapan lahan) dapat dibedakan antara yang lebih
meningkatkan daya saing tanaman pokok atau meningkatkan daya saing gulma. Praktek
budidaya yang keliru akan berakibat seperti yang disebutkan terakhir (Sukman dan Yakup,
2002).
Beberapa metode pengendalian gulma telah dilakukan di perkebunan, baik metode
manual, mekanis, kultur teknis, biologis, maupun metode kimiawi dengan menggunakan
herbisida, bahkan menggabungkan beberapa metode sekaligus. Metode yang paling banyak
digunakan adalah metode kimiawi dengan menggunakan herbisida. Metode ini dianggap lebih
praktis dan menguntungkan dibandingkan dengan metode yang lain, terutama jika ditinjau dari
segi kebutuhan tenaga kerja yang lebih sedikit dan waktu pelaksaan yang relatif lebih singkat
(Barus, 2007).
Pengendalian gulma pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengubah keseimbangan
ekologis yang bertujuan menekan pertumbuhan gulma, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap
tanaman budidaya. Dalam merencanakan pengendalian gulma, perlu diperhatikan terlebih
dahulu a) spesies gulma yang terdapat crop (tanaman budidaya), b) cara perkembangbiakan dan
penyebaran gulma tersebut (Sukman dan Yakup, 2002).
Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara manual/mekanis, menggunakan alat
seperti kored atau cangkul. Pengendalian mekanis ini merupakan cara yang paling tua dan masih
Universitas Sumatera Utara
dilakukan hingga sekarang, dan dianggap cara yang terbaik karena bisa dilakukan dengan cermat
dan bersih. Disamping itu menggemburkan tanah di sekitar tanaman budidaya dan dilakukan
dengan cara Cara kimia yaitu menggunakan herbisida.Karena dengan mengendalikanherbisida
merupakan alternatif/pilihan untuk mengendalikan gulma (Djauhariya dan Agus, 2001).
Pengetahuan tentang biologi suatu habitat gulma sangat diperlukan dalam usaha
pengendaliannya. Herbisida sebagai salah satu teknologi pengendalian gulma harus
diimplementasikan secara proporsional dengan cara memilih jenis herbisida yang sesuai dengan
gulma sasaran, cara dan waktu aplikasi harus benar, dan tidak sembarang membuang sisa larutan
penyemprotan. Hindari pemakaian herbisida sejenis dalam jangka panjang, karena dapat
menimbulkan terjadinya resistensi herbisida oleh spesies gulma tertentu. Faktor ini sangat
penting agar kelestarian produktivitas dari ekosistem dapat lebih lestari dan berkelanjutan. (Pane
dan Jatmiko, 2008).
Penggunaan herbisida mungkin tidak diperlukan pada beberapa lahan, tetapi tanpa
penggunaan bahan kimia dalam pengendalian gulma, metode pengendalian secara mekanis dan
kultural menjadi sangat penting, tetapi dapat menyebabkan kerugian besar dari segi ekonomi.
Terdapat berbagai jenis herbisida yang dapat digunakan dan disesuaikan dengan kapan, dimana,
dan apa jenis bahan herbisida yang ingin digunakan. Pemahaman tentang beberapa faktor
tersebut memungkinkan kita menggunakan herbisida dengan tepat sehingga mendapatkan
keuntungan yang maksimal (Lingenfelter dan Hartwig, 2007).
Saflufenacil
Sejarah
Saflufenacil adalah herbisida baru yang sedang dikembangkan untuk pengendalian gulma
berdaun lebar di beberapa pola tanaman dan penggunaan non-tanaman. Pengendalian spesies
Universitas Sumatera Utara
gulma berdaun lebar sensitif adalah melalui penghambatan enzim oksidase protoporphyrinogen
IX. Percobaan penelitian lapangan telah dilakukan di seluruh Amerika Serikat dan Kanada untuk
mengevaluasi pengendalian gulma dan keamanan tanaman saflufenacil kedelai. Saflufenacil
memberikan burndown cepat gulma berdaun lebar muncul bila diterapkan dalam konservasi
sampai atau tidak-sampai sistem manajemen pada kedelai. Saflufenacil telah terbukti efektif
mengendalikan banyak spesies berdaun lebar kunci, termasuk glifosat atau biotipe tahan ALS,
seperti horseweed (Conyza canadensis), berduri selada (Lactuca serriola), lambsquarters umum
(album Chenopodium), spesies ragweed (Ambrosia spp), dan pigweed spesies (Amaranthus
spp). (Adam et al., 2008).
Hingga 2010, herbisida penghambat PPO (polifenol oksidase) yang baru belum dirilis di
abad ke-21 di Amerika Serikat. Tahun itu herbisida saflufenacil [N '- [2-chloro-4-fluoro-5- (3metil-2,6-dioxo-4- (Trifluoromethyl) -3,6-dihidro-1 (2H) pirimidinil) benzoil-N-isopropil-Nmetil sulfonamide] adalah dirilis secara komersial oleh Perlindungan Tanaman BASF
(Grossman et al., 2011).
Herbisida ini dijual dengan beberapa formulasi, semua di bawah nama merek: Saflufenacil
TM. Produk ini sedang dipasarkan untuk burndown dan aplikasi PRE residual untuk
mengendalikan gulma berdaun lebar di beberapa tanaman termasuk kedelai (Liebl et al., 2008).
Sebuah herbisida saflufenacil
[N '- [2-kloro-4- fluoro-5- (3-metil-2,6-dioxo-4-
(trifluoromethyl) -3,6-dihidro-1 (2H) -pyrimidinyl) benzoil] - N-isopropil-N-metil sulfonamide]
baru-baru ini telah diperkenalkan untuk diterapkan preemergence (PRE), preplant dimasukkan
(PPI), dan / atau postemergence (POST) untuk pengendalian gulma berdaun lebar di banyak
tanaman dan daerah non-lahan pertanian (Hixson, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Mode of Action
Mode of action adalah urutan kejadian dari mulai absorpsi oleh tumbuhan hingga
tumbuhan itu mati, atau dengan kata lain, bagaimana suatu herbisida merusak atau membunuh
suatu tanaman. Pengaruh herbisida terhadap suatu spesifik site dapat dikatakan site atau
mechanism of action. Pemahaman tentang mode of action suatu herbisida dapat membantu untuk
mengetahui golongan gulma yang akan diberantas, teknik aplikasi secara spesifik, diagnosa
kerusakan yang ditimbulkan oleh herbisida, dan pencegahan gulma resisten herbisida
(Lingenfelter dan Hartwig, 2007).
Saflufenacil menghambat protoporphyrinogen oksidase dalam jalur biosintesis klorofil,
dan memiliki potensi untuk digunakan dalam beberapa tanaman. Saflufenacil
mengontrol
banyak gulma dengan menghambat protoporphyrinogen oksidase untuk menginduksi akumulasi
besar porfirin dan untuk meningkatkan peroksidasi lipid membran, yang menyebabkan
kerusakan permanen dari fungsi membran dan struktur dari tanaman rentan (BASF, 2008).
Mekanisme herbisida dalam meracuni tumbuhan tergantung media atau jalur aplikasinya,
yaitu melalui penyemprotan pada daun dan penyemprotan langsung ke tanah. Herbisida yang
diaplikasikan melalui daun , bergerak dari daun (sumber utama dalam memproduksi gula)
menuju daerah aktifitas metabolisme, seperti ujung akar, meristem pucuk, organ penyimpanan
cadangan makanan, dan jaringan hidup lainnya. Karena daerah tersebut sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman,
herbisida yang disemprotkan memiliki potensi untuk membunuh
tumbuhan tersebut. Gejala yang ditunjukkan sangat jelas, seperti kehilangan pigmen (berubah
warna menjadi kuning atau putih), berhentinya pertumbuhan, dan gagalnya pertumbuhan baru
pada tumbuhan sehingga tumbuhan akan mati secara perlahan (Ross dan Childs, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Spektrum utama dari saflufenacil adalah terbatas pada gulma berdaun lebar tetapi ketika
dicampur dengan herbisida mitra tertentu, pengendalian gulma rumput dapat ditingkatkan.
Tergantung pada aplikasi situasi dan dosis, dapat menunjukkan sisa atau aktivitas kontak. Hal ini
mudah diserap oleh akar tanaman, tunas dan daun. Translokasi didominasi melalui xilem dengan
aktivitas floem sedikit. Selektivitas dianugerahkan baik melalui penempatan fisik dan tanaman
toleransi (Grossmann et al., 2010).
Saflufenacil merupakan herbisida kontak dan aktivitas residual terhadap gulma rentan
terutama translokasi dalam xilem. Dosis yang diusulkan untuk jagung manis di Ontario adalah
75 g a.i. ha-1. Saflufenacil menyediakan modus baru aksi (PPO inhibitor) untuk jagung manis
yang berbeda dari saat ini dan digunakan herbisida berdaun lebar untuk mengurangi potensi
seleksi dari herbisida biotipe gulma resisten (Darren et al., 2012)
Saflufenacil mudah diserap oleh akar tanaman, tunas dan daun. Sekali diserap, Saflufenacil
paling banyak ditranslokasikan melalui xilem, dengan beberapa gerakan di floem. Saflufenacil
adalah inhibitor potensial dari biosintesis klorofil yang cepat menghasilkan penumpukan oksigen
reaktif dan peroksidasi lipid dari sel membran. Hal ini menyebabkan cepat hilangnya integritas
membran terkemuka kebocoran seluler, nekrosis jaringan dan, akhirnya, kematian tanaman
(Nice et al., 2009).
Glifosat
Glifosat adalah herbisida yang dipakai di seluruh dunia. Glifosat yang pertama ditemukan
pada tahun 1970 oleh John E. Frans, yang bekerja untuk Monsanto. Herbisida glifosat sudah
populer sejak dipasarkan pertama kali pada tahun 1974 (Cox, 2004).
Glifosat (N-(fosfonometil) glisin) adalah herbisida yang berspektrum luas,
nonselektif, post emergence dan telah digunakan secara ekstensif di seluruh dunia selama tiga
Universitas Sumatera Utara
dekade. Pestisida ini telah terbukti sangat efektif pada gulma tahunan dan abadi serta gulma
berdaun lebar di areal pertanaman dan non pertanaman. Cara kerjanya adalah menghambat
biosintesis asam amino aromatik, yang menyebabkan beberapa gangguan metabolisme
menyebabkan terganggunya jalur shikimate dan mengakibatkan akumulasi shikimate di jaringan
tanaman (Nandula, dkk, 2005).
Glufosinat
Glufosinat berspektrum luas, herbisida kontak. Digunakan untuk mengendalikan gulma
dengan cakupan yang luas setelah tanaman tumbuh atau untuk mengendalikan seluruh vegetasi
lahan yang tidak digunakan untuk penanaman. Glufosinat merupakan nama pendek dari garam
ammonium, ammonium glufosinat. Diperoleh dari fosfinoktrin, suatu mikroba toksin alami yang
diisolasi dari dua spesies fungi Steptomyces. Glufosinat berisi fosfor asam amino. Menghambat
aktivitas suatu sintase enzim glutamin yang diperlukan untuk memproduksi asam amino
glutamin dan untuk detoksifikasi amoniak. Dengan adanya glufosinat dalam jaringan tumbuh
menyebabkan glutamin berkurang dan meningkatkan amoniak dalam jaringan pembuluh. Hal ini
menyebabkan fotosintesis tidak berlangsung dan dalam beberapa hari tumbuhan tersebut akan
mati (Jewell dan Buffin, 2001).
Herbisida ini menyebabkan gejala klorosis dan nekrosis lebih cepat terlihat daripada
herbisida lain yang meghambat sintesa asam amino lainnya. Cara kerja herbisida ini adalah
menghambat sintesa glutamin (asam amino) yakni enzim yang diperlukan untuk mengasimilasi
ammonia menjadi nitrogen organik. Penghambatan dari enzim ini menyebabkan fitotoksis
ammonia dan mengurangi produksi asam amino dalam tubuh tumbuhan. Kerusakan tumbuhan
terjadi karena rusaknya sel membran oleh ammonia dan metabolisme yang berjalan lambat
karena kekurangan asam amino (Fenny, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Metil Metsufuron
Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1982. Herbisida ini bersifat sistemik, diabsorbsi
oleh akar dan daun serta ditranslokasikan secara akropetal dan basipetal. Gulma yang peka akan
berhenti tumbuh hampir segera setelah aplikasi post-emergence dan akan mati dalam 7-21 hari.
Herbisida ini bersifat selektif untuk mengendalikan berbagai gulma pada padi sawah
(Djojosumarto, 2008).
Cara kerja metil metsulfuron adalah menghambat kerja dari enzim acetolactate synthase
(ALS) dan acetohydroxy synthase (AHAS) dengan menghambat perubahan dari α ketoglutarate
menjadi 2-acetohydroxybutyrate dan piruvat menjadi 2-acetolactate sehingga mengakibatkan
rantai cabang-cabang asam amino valine, leucine, dan isoleucine tidak dihasilkan. Tanpa adanya
asam amino yang penting ini, maka protein tidak dapat terbentuk dan tanaman mengalami
kematian (Ross and Childs, 2010).
Paraquat
Parakuat diketahui sebagai herbisida yang sangat beracun yang telah dipasarkan selama
lebih dari 60 tahun dan merupakan salah satu herbisida yang digunakan oleh lebih dari 100
negara pada lebih dari 100 jenis tanaman. Parakuat yang diproduksi oleh Syngenta merupakan
merek dagang yang umum untuk parakuat, tetapi diberi label nama yang berbeda oleh berbagai
perusahaan. Saat ini China merupakan produsen parakuat terbesar di dunia yang dapat
memproduksi lebih dari 100.000 ton per tahun (Watts, 2011).
Parakuat merupakan herbisida yang cukup aman dipakai dengan cara kerja mengganggu
proses fotosintesis. Kloroplast yang telah menerima sinar memakai tenaga sinar itu untuk
melancarkan 2 rangkai transport elektron. Salah satu proses ini dapat dihambat oleh parakuat,
yaitu dengan cara membelokkan rantai transport elektron pada PS1(di saat terjadinya beberapa
Universitas Sumatera Utara
reaksi yang berakhir dengan reduksi NADP menjadi NADPH) sehingga terjadi reaksi ½ O2 +
H2O + e- H2O2. Senyawa H2O2 merupakan senyawa yang merusak membran sel
(plasmalemma) yang mengakibatkan sel menjadi kering (Riadi, 2011).
Parakuat merupakan herbisida yang merusak membran sel dengan membentuk radikal
bebas sehingga menghalangi proses fotosintesis dalam menangkap cahaya sehingga tidak dapat
memproduksi glukosa. Pada saat adanya cahaya, tanaman hijau menghasilkan glukosa dari
karbondioksida dari air. Energi yang diperlukan dari karbon, hidrogen dan atom oksida untuk
merombak kembali dan membentuk gula. Untuk memenuhi kebutuhan energi, elektron yang
dipinjam klorofil dan digantikan oleh elektron yang dipisahkan dari air. Jika electron klorofil
tidak digantikan, klorofil akan dihancurkan dan sistem produksi makanan akan rusak. Gejala
kerusakan merupakan klorosis. (Lingenfelter dan Hartwig, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Kelapa Sawit pada Lahan Gambut di Indonesia
Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha,
yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua.
Namun karena variabilitas lahan
ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak
semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. (BB Litbang SDLP, 2008).
Tanaman kelapa sawit saat ini menjadi salah satu sumber minyak nabati utama dunia
dan merupakan komoditas utama perkebunan di Indonesia. Luas areal perkebunan kelapa sawit
di Indonesia terus meningkat secara pesat, sampai dengan tahun 2014 mencapai 10,9 juta ha dan
diperkirakan tahun 2015 meningkat menjadi 11,4 juta ha.1 Pengembangan komoditas ini telah
dilakukan pada berbagai lahan di Indonesia, baik tanah mineral maupun tanah gambut.
Pengembangan kelapa sawit pada lahan gambut di Indonesia telah mencapai lebih dari 1,7 juta
ha dari total luas lahan gambut Indonesia seluas 14,9 juta ha. 2 3 Pengembangan kelapa sawit di
lahan gambut tersebar utamanya di pulau Sumatera sekitar 1,4 juta ha dan di Kalimantan sekitar
307 ribu ha. (PPKS, 2014)
Jenis Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit Lahan Gambut
Jenis gulma kelapa sawit pada lahan gambut dapat dikelompokan atas tiga kelompok
yaitu gulma paku-pakuan, gulma rerumputan, dan gulma berdaun lebar. Gulma dengan
kelompok paku-pakuan banyak dijumpai di lahan gambut seperti nephrolepis bisserata,
stenochlaena palustris , dan dicranopteris linearis. Kelompok gulma rerumputan seperti
paspalum conjugatum, scleria sumatrensis, dan cyperus rotundus, dan kelompok gulma daun
lebar seperti clidema hirta, mikania micrantha, costus specious, trema aspera. asystasia intrusa,
Universitas Sumatera Utara
vitis japonica. dan kelompok kayu keras A. crassicarpa dan macaranga sp. ( Pribadi dan Illa,
2010)
Stenochlaena palustris dikenal dengan nama daerah lumiding. Tumbuhan ini ditemukan
di hutan kerangas, rawa dan gambut. Hidup di tanah dan memanjat pada pohon yang berada
didekatnya. Berakar dalam tanah, rimpang berwarna hitam dan kuat ditutupi oleh serabut
berwarna coklat. Batang licin, keras dan kuat. Bagian depan batang berwarna hijau kehitaman
dan beralur dalam, sedangkan bagian belakangnya tidak beralur dan berwarna hijau kecoklatan.
Daun steril majemuk tersusun menyirip tunggal genap. Daun bertangkai sangat pendek. Daun
yang masih muda berwarna merah, bertekstur lembut dan tipis, semakin dewasa daun mengalami
perubahan warna menjadi kecoklatan dan pada akhirnya menjadi hijau tua, tekstur yang tebal,
keras dan kaku. (Purnawati et al., 2014).
Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott dikenal dengan nama daerah paku uban. Dalam
penelitian ini Paku uban (N. biserrata) ditemukan di hutan kerangas, rawa dan gambut. Tumbuh
merumpun, akarnya berwarna coklat tua. Batang berwarna hijau kecoklatan dan tumbuh tegak.
Batang ditutupi oleh sejumlah rambut halus berwarna coklat muda yang tersebar jarang di
sepanjang batang, namun semakin dekat akar, rambut pada batang semakin banyak, warnanya
lebih gelap dan ukurannya lebih panjang. Daun berwarna hijau terang. Kedua permukaan daun
mempunyai warna dan tekstur yang sama, keduanya ditutupi oleh rambut halus berwarna terang
yang tersebar merata diseluruh permukaan daun. Mempunyai daun majemuk dengan pina yang
kecil. Pina tersusun rapat dan tersebar di sepanjang batang. Pina mempunyai ujung yang runcing.
Tumbuhan muda yang masih muda menggulung berwarna hijau muda dan seluruh
permukaannya ditutupi oleh rambutrambut halus berwarna putih. di tepi daun. (Purnawati et al.,
2014).
Universitas Sumatera Utara
Kerugian Akibat Gulma pada Kelapa Sawit
Tanaman perkebunan juga dapat terpengaruh oleh gulma terutama sewaktu umur masih
muda. Kalau diabaikan, dapat merugikan tanaman budidaya mulai dari memperlambat
pertumbuhan, memperpanjang masa dapat panen pertama, dan memperpendek umur
ekonomisnya. Perkiraan kerugian akibat gulma terhadap tanaman budidaya sangat bervariasi
tergantung pada jenis tanaman budidayanya, keadaan iklim atau cuacanya, jenis gulmanya,
praktek usaha tani pertanian itu sendiri dan sebagainya. (Djafaruddin, 1996).
Gulma dapat merugikan tanaman pertanian karena bersaing dalam mendapatkan unsur
hara, cahaya matahari, air dan ruang. Beberapa jenis gulma sering menjadi inang hama dan
penyakit tanaman tertentu atau megandung zat allelopati yang dapat merugikan tanaman utama.
Gulma yang terlalu rapat dapat mempersulit pekerjaan di kebun seperti panen, menyemprot, dll.
(Djojosumarto, 2008).
Kelapa sawit mempunyai masalah gulma yang tinggi sebab salah satu faktornya adalah
jarak tanam tanaman ini lebih lebar, sehingga penutupan tanah oleh kanopi lambat membuat
cahaya matahari leluasa mencapai permukaan tanah yang kaya dengan potensi gulma. ( Hakim,
2007)
Gulma yang tumbuh di lapangan memiliki pengaruh buruk seperti; gulma dapat
mengurangi hasil tanaman dan kualitas karena persaingan kebutuhan hidup; gulma menjadi
sarang serangga, penyakit dan hama lain dengan peran sebagai inang; gulma mengurangi
efisiensi panen; terdapat gulma yang beracun untuk makanan ternak; gulma air mengurangi
efisiensi sistem irigasi. (Fryer dan Matsunaka, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Gulma di Perkebunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Pengendalian gulma pada prinsipnya merupakan usaha meningkatkan daya saing
tanaman pokok dan melemahkan daya saing gulma. Keunggulan tanaman pokok harus menjadi
sedemikian rupa sehingga gulma tidak mampu mengembangkan pertumbuhannya secara
berdampingan atau pada waktu bersamaan dengan tanaman pokok. Dalam pengertian ini semua
praktek budidaya di pertanaman (sejak penyiapan lahan) dapat dibedakan antara yang lebih
meningkatkan daya saing tanaman pokok atau meningkatkan daya saing gulma. Praktek
budidaya yang keliru akan berakibat seperti yang disebutkan terakhir (Sukman dan Yakup,
2002).
Beberapa metode pengendalian gulma telah dilakukan di perkebunan, baik metode
manual, mekanis, kultur teknis, biologis, maupun metode kimiawi dengan menggunakan
herbisida, bahkan menggabungkan beberapa metode sekaligus. Metode yang paling banyak
digunakan adalah metode kimiawi dengan menggunakan herbisida. Metode ini dianggap lebih
praktis dan menguntungkan dibandingkan dengan metode yang lain, terutama jika ditinjau dari
segi kebutuhan tenaga kerja yang lebih sedikit dan waktu pelaksaan yang relatif lebih singkat
(Barus, 2007).
Pengendalian gulma pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengubah keseimbangan
ekologis yang bertujuan menekan pertumbuhan gulma, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap
tanaman budidaya. Dalam merencanakan pengendalian gulma, perlu diperhatikan terlebih
dahulu a) spesies gulma yang terdapat crop (tanaman budidaya), b) cara perkembangbiakan dan
penyebaran gulma tersebut (Sukman dan Yakup, 2002).
Pengendalian gulma dapat dilakukan dengan cara manual/mekanis, menggunakan alat
seperti kored atau cangkul. Pengendalian mekanis ini merupakan cara yang paling tua dan masih
Universitas Sumatera Utara
dilakukan hingga sekarang, dan dianggap cara yang terbaik karena bisa dilakukan dengan cermat
dan bersih. Disamping itu menggemburkan tanah di sekitar tanaman budidaya dan dilakukan
dengan cara Cara kimia yaitu menggunakan herbisida.Karena dengan mengendalikanherbisida
merupakan alternatif/pilihan untuk mengendalikan gulma (Djauhariya dan Agus, 2001).
Pengetahuan tentang biologi suatu habitat gulma sangat diperlukan dalam usaha
pengendaliannya. Herbisida sebagai salah satu teknologi pengendalian gulma harus
diimplementasikan secara proporsional dengan cara memilih jenis herbisida yang sesuai dengan
gulma sasaran, cara dan waktu aplikasi harus benar, dan tidak sembarang membuang sisa larutan
penyemprotan. Hindari pemakaian herbisida sejenis dalam jangka panjang, karena dapat
menimbulkan terjadinya resistensi herbisida oleh spesies gulma tertentu. Faktor ini sangat
penting agar kelestarian produktivitas dari ekosistem dapat lebih lestari dan berkelanjutan. (Pane
dan Jatmiko, 2008).
Penggunaan herbisida mungkin tidak diperlukan pada beberapa lahan, tetapi tanpa
penggunaan bahan kimia dalam pengendalian gulma, metode pengendalian secara mekanis dan
kultural menjadi sangat penting, tetapi dapat menyebabkan kerugian besar dari segi ekonomi.
Terdapat berbagai jenis herbisida yang dapat digunakan dan disesuaikan dengan kapan, dimana,
dan apa jenis bahan herbisida yang ingin digunakan. Pemahaman tentang beberapa faktor
tersebut memungkinkan kita menggunakan herbisida dengan tepat sehingga mendapatkan
keuntungan yang maksimal (Lingenfelter dan Hartwig, 2007).
Saflufenacil
Sejarah
Saflufenacil adalah herbisida baru yang sedang dikembangkan untuk pengendalian gulma
berdaun lebar di beberapa pola tanaman dan penggunaan non-tanaman. Pengendalian spesies
Universitas Sumatera Utara
gulma berdaun lebar sensitif adalah melalui penghambatan enzim oksidase protoporphyrinogen
IX. Percobaan penelitian lapangan telah dilakukan di seluruh Amerika Serikat dan Kanada untuk
mengevaluasi pengendalian gulma dan keamanan tanaman saflufenacil kedelai. Saflufenacil
memberikan burndown cepat gulma berdaun lebar muncul bila diterapkan dalam konservasi
sampai atau tidak-sampai sistem manajemen pada kedelai. Saflufenacil telah terbukti efektif
mengendalikan banyak spesies berdaun lebar kunci, termasuk glifosat atau biotipe tahan ALS,
seperti horseweed (Conyza canadensis), berduri selada (Lactuca serriola), lambsquarters umum
(album Chenopodium), spesies ragweed (Ambrosia spp), dan pigweed spesies (Amaranthus
spp). (Adam et al., 2008).
Hingga 2010, herbisida penghambat PPO (polifenol oksidase) yang baru belum dirilis di
abad ke-21 di Amerika Serikat. Tahun itu herbisida saflufenacil [N '- [2-chloro-4-fluoro-5- (3metil-2,6-dioxo-4- (Trifluoromethyl) -3,6-dihidro-1 (2H) pirimidinil) benzoil-N-isopropil-Nmetil sulfonamide] adalah dirilis secara komersial oleh Perlindungan Tanaman BASF
(Grossman et al., 2011).
Herbisida ini dijual dengan beberapa formulasi, semua di bawah nama merek: Saflufenacil
TM. Produk ini sedang dipasarkan untuk burndown dan aplikasi PRE residual untuk
mengendalikan gulma berdaun lebar di beberapa tanaman termasuk kedelai (Liebl et al., 2008).
Sebuah herbisida saflufenacil
[N '- [2-kloro-4- fluoro-5- (3-metil-2,6-dioxo-4-
(trifluoromethyl) -3,6-dihidro-1 (2H) -pyrimidinyl) benzoil] - N-isopropil-N-metil sulfonamide]
baru-baru ini telah diperkenalkan untuk diterapkan preemergence (PRE), preplant dimasukkan
(PPI), dan / atau postemergence (POST) untuk pengendalian gulma berdaun lebar di banyak
tanaman dan daerah non-lahan pertanian (Hixson, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Mode of Action
Mode of action adalah urutan kejadian dari mulai absorpsi oleh tumbuhan hingga
tumbuhan itu mati, atau dengan kata lain, bagaimana suatu herbisida merusak atau membunuh
suatu tanaman. Pengaruh herbisida terhadap suatu spesifik site dapat dikatakan site atau
mechanism of action. Pemahaman tentang mode of action suatu herbisida dapat membantu untuk
mengetahui golongan gulma yang akan diberantas, teknik aplikasi secara spesifik, diagnosa
kerusakan yang ditimbulkan oleh herbisida, dan pencegahan gulma resisten herbisida
(Lingenfelter dan Hartwig, 2007).
Saflufenacil menghambat protoporphyrinogen oksidase dalam jalur biosintesis klorofil,
dan memiliki potensi untuk digunakan dalam beberapa tanaman. Saflufenacil
mengontrol
banyak gulma dengan menghambat protoporphyrinogen oksidase untuk menginduksi akumulasi
besar porfirin dan untuk meningkatkan peroksidasi lipid membran, yang menyebabkan
kerusakan permanen dari fungsi membran dan struktur dari tanaman rentan (BASF, 2008).
Mekanisme herbisida dalam meracuni tumbuhan tergantung media atau jalur aplikasinya,
yaitu melalui penyemprotan pada daun dan penyemprotan langsung ke tanah. Herbisida yang
diaplikasikan melalui daun , bergerak dari daun (sumber utama dalam memproduksi gula)
menuju daerah aktifitas metabolisme, seperti ujung akar, meristem pucuk, organ penyimpanan
cadangan makanan, dan jaringan hidup lainnya. Karena daerah tersebut sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman,
herbisida yang disemprotkan memiliki potensi untuk membunuh
tumbuhan tersebut. Gejala yang ditunjukkan sangat jelas, seperti kehilangan pigmen (berubah
warna menjadi kuning atau putih), berhentinya pertumbuhan, dan gagalnya pertumbuhan baru
pada tumbuhan sehingga tumbuhan akan mati secara perlahan (Ross dan Childs, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Spektrum utama dari saflufenacil adalah terbatas pada gulma berdaun lebar tetapi ketika
dicampur dengan herbisida mitra tertentu, pengendalian gulma rumput dapat ditingkatkan.
Tergantung pada aplikasi situasi dan dosis, dapat menunjukkan sisa atau aktivitas kontak. Hal ini
mudah diserap oleh akar tanaman, tunas dan daun. Translokasi didominasi melalui xilem dengan
aktivitas floem sedikit. Selektivitas dianugerahkan baik melalui penempatan fisik dan tanaman
toleransi (Grossmann et al., 2010).
Saflufenacil merupakan herbisida kontak dan aktivitas residual terhadap gulma rentan
terutama translokasi dalam xilem. Dosis yang diusulkan untuk jagung manis di Ontario adalah
75 g a.i. ha-1. Saflufenacil menyediakan modus baru aksi (PPO inhibitor) untuk jagung manis
yang berbeda dari saat ini dan digunakan herbisida berdaun lebar untuk mengurangi potensi
seleksi dari herbisida biotipe gulma resisten (Darren et al., 2012)
Saflufenacil mudah diserap oleh akar tanaman, tunas dan daun. Sekali diserap, Saflufenacil
paling banyak ditranslokasikan melalui xilem, dengan beberapa gerakan di floem. Saflufenacil
adalah inhibitor potensial dari biosintesis klorofil yang cepat menghasilkan penumpukan oksigen
reaktif dan peroksidasi lipid dari sel membran. Hal ini menyebabkan cepat hilangnya integritas
membran terkemuka kebocoran seluler, nekrosis jaringan dan, akhirnya, kematian tanaman
(Nice et al., 2009).
Glifosat
Glifosat adalah herbisida yang dipakai di seluruh dunia. Glifosat yang pertama ditemukan
pada tahun 1970 oleh John E. Frans, yang bekerja untuk Monsanto. Herbisida glifosat sudah
populer sejak dipasarkan pertama kali pada tahun 1974 (Cox, 2004).
Glifosat (N-(fosfonometil) glisin) adalah herbisida yang berspektrum luas,
nonselektif, post emergence dan telah digunakan secara ekstensif di seluruh dunia selama tiga
Universitas Sumatera Utara
dekade. Pestisida ini telah terbukti sangat efektif pada gulma tahunan dan abadi serta gulma
berdaun lebar di areal pertanaman dan non pertanaman. Cara kerjanya adalah menghambat
biosintesis asam amino aromatik, yang menyebabkan beberapa gangguan metabolisme
menyebabkan terganggunya jalur shikimate dan mengakibatkan akumulasi shikimate di jaringan
tanaman (Nandula, dkk, 2005).
Glufosinat
Glufosinat berspektrum luas, herbisida kontak. Digunakan untuk mengendalikan gulma
dengan cakupan yang luas setelah tanaman tumbuh atau untuk mengendalikan seluruh vegetasi
lahan yang tidak digunakan untuk penanaman. Glufosinat merupakan nama pendek dari garam
ammonium, ammonium glufosinat. Diperoleh dari fosfinoktrin, suatu mikroba toksin alami yang
diisolasi dari dua spesies fungi Steptomyces. Glufosinat berisi fosfor asam amino. Menghambat
aktivitas suatu sintase enzim glutamin yang diperlukan untuk memproduksi asam amino
glutamin dan untuk detoksifikasi amoniak. Dengan adanya glufosinat dalam jaringan tumbuh
menyebabkan glutamin berkurang dan meningkatkan amoniak dalam jaringan pembuluh. Hal ini
menyebabkan fotosintesis tidak berlangsung dan dalam beberapa hari tumbuhan tersebut akan
mati (Jewell dan Buffin, 2001).
Herbisida ini menyebabkan gejala klorosis dan nekrosis lebih cepat terlihat daripada
herbisida lain yang meghambat sintesa asam amino lainnya. Cara kerja herbisida ini adalah
menghambat sintesa glutamin (asam amino) yakni enzim yang diperlukan untuk mengasimilasi
ammonia menjadi nitrogen organik. Penghambatan dari enzim ini menyebabkan fitotoksis
ammonia dan mengurangi produksi asam amino dalam tubuh tumbuhan. Kerusakan tumbuhan
terjadi karena rusaknya sel membran oleh ammonia dan metabolisme yang berjalan lambat
karena kekurangan asam amino (Fenny, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Metil Metsufuron
Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1982. Herbisida ini bersifat sistemik, diabsorbsi
oleh akar dan daun serta ditranslokasikan secara akropetal dan basipetal. Gulma yang peka akan
berhenti tumbuh hampir segera setelah aplikasi post-emergence dan akan mati dalam 7-21 hari.
Herbisida ini bersifat selektif untuk mengendalikan berbagai gulma pada padi sawah
(Djojosumarto, 2008).
Cara kerja metil metsulfuron adalah menghambat kerja dari enzim acetolactate synthase
(ALS) dan acetohydroxy synthase (AHAS) dengan menghambat perubahan dari α ketoglutarate
menjadi 2-acetohydroxybutyrate dan piruvat menjadi 2-acetolactate sehingga mengakibatkan
rantai cabang-cabang asam amino valine, leucine, dan isoleucine tidak dihasilkan. Tanpa adanya
asam amino yang penting ini, maka protein tidak dapat terbentuk dan tanaman mengalami
kematian (Ross and Childs, 2010).
Paraquat
Parakuat diketahui sebagai herbisida yang sangat beracun yang telah dipasarkan selama
lebih dari 60 tahun dan merupakan salah satu herbisida yang digunakan oleh lebih dari 100
negara pada lebih dari 100 jenis tanaman. Parakuat yang diproduksi oleh Syngenta merupakan
merek dagang yang umum untuk parakuat, tetapi diberi label nama yang berbeda oleh berbagai
perusahaan. Saat ini China merupakan produsen parakuat terbesar di dunia yang dapat
memproduksi lebih dari 100.000 ton per tahun (Watts, 2011).
Parakuat merupakan herbisida yang cukup aman dipakai dengan cara kerja mengganggu
proses fotosintesis. Kloroplast yang telah menerima sinar memakai tenaga sinar itu untuk
melancarkan 2 rangkai transport elektron. Salah satu proses ini dapat dihambat oleh parakuat,
yaitu dengan cara membelokkan rantai transport elektron pada PS1(di saat terjadinya beberapa
Universitas Sumatera Utara
reaksi yang berakhir dengan reduksi NADP menjadi NADPH) sehingga terjadi reaksi ½ O2 +
H2O + e- H2O2. Senyawa H2O2 merupakan senyawa yang merusak membran sel
(plasmalemma) yang mengakibatkan sel menjadi kering (Riadi, 2011).
Parakuat merupakan herbisida yang merusak membran sel dengan membentuk radikal
bebas sehingga menghalangi proses fotosintesis dalam menangkap cahaya sehingga tidak dapat
memproduksi glukosa. Pada saat adanya cahaya, tanaman hijau menghasilkan glukosa dari
karbondioksida dari air. Energi yang diperlukan dari karbon, hidrogen dan atom oksida untuk
merombak kembali dan membentuk gula. Untuk memenuhi kebutuhan energi, elektron yang
dipinjam klorofil dan digantikan oleh elektron yang dipisahkan dari air. Jika electron klorofil
tidak digantikan, klorofil akan dihancurkan dan sistem produksi makanan akan rusak. Gejala
kerusakan merupakan klorosis. (Lingenfelter dan Hartwig, 2007).
Universitas Sumatera Utara