Tinjauan Yuridis Atas Penerimaan Uang Ganti Rugi Dari Pembebasan Hak Atas Tanah Yang Sedang Terikat Hak Tanggungan Chapter III V

atau pernyataan tertulis dari kreditur bahwa hak tanggungan telah hapus karena
piutang yang dijamin dengan hak tanggungan telah lunas atau kreditur
melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan. 68
Atas dasar Kepala Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan hak
tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
diterimanya permohonan pencoretan hak tanggungan tersebut. 69

BAB III
GANTI KERUGIAN ATAS PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH

A. Pengertian Pembebasan Hak Atas Tanah dan Dasar Hukum
Pembebasan Tanah adalah onteigening yaitu pencabutan hak atas tanah
dan benda yang ada di atasnya oleh pemerintah untuk dijadikan sarana
kepentingan umum; pelaksanaan pencabutan hak tersebut disertai pemberian ganti
68
69

Salim HS, Op.Cit, hal 191
Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 85

Universitas Sumatera Utara


rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai hak atas tanah dan benda tersebut
sebelumnya, dengan cara yang diatur berdasarkan undang-undang. 70
Pembebasan tanah juga disebutkan pelepasan hak atas tanah. Pelepasan
hak atas oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah kepada pihak atau Panitia
pembebasan tanah yang memerlukan atau yang melakukan pembebasan tanah. 71
Pembebasan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk
melepaskan hubungan antara pemilik atau pemegang hak atas tanah dengan
pembayaran hrga atau dengan ganti kerugian. 72 Pembebasan tanah adalah
melepaskan hubungan hukum yang terdapat di antara pemegang hak/pemilik/
penguasaan hak atas tanah dengan cara pemberian ganti rugi atas tanah
berdasarkan hasil musyawarah dengan pihak yang bersangkutan. 73
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa pembebasan tanah merupakan
tindakan sepihak dari pemerintah melalui panitia pengadaan tanah kepada hak atas
tanah. Selain itu perbuatan hukum “melepaskan hubungan hukum” mempunyai
arti bahwa yang dimaksud melepaskan hak atas tanah adalah pemilik/pemegang
hak atas tanah, bukan kehendak pemerintah atau panitia dan seolah-olah
pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah melepaskan tanahnya dengan
sukarela tidak ada unsur pemaksaan atau keterpaksaan. 74


37
70

http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/pembebasan_tanah.aspx
Umar Said Sugiharto, Suratman dan Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan Tanah :
Pengadaan Hak atas Tanah untuk Kepentingan Umum Pra dan Pasca Reformasi, Malang :
Penerbit Setara Press, 2015, hal 86
72
Salindeho, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Bandung : Penerbit Citra Aditya
Bakti, 1993, hal 27
73
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah di
Indonesia, Bandung : Penerbit Alumni, 1993, hal 41
74
Umar Said Sugiharto, Suratman dan Noorhudha Muchsin, Op.Cit, hal 86
71

Universitas Sumatera Utara

Pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau

tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada di antara pemegang hak,
penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak
/penguasa atas tanah itu. 75 Menurut hukum yang berlaku di Indonesia ada dua cara
yang di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang
dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah
(prijsgeving)

dan

cara

pencabutan

hak

atas

tanah

(onteigening). 76


Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara
seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang
besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan
hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah
milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang
bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban
hukumnya.
Dalam rangka pembebasan tanah ini, bila telah tercapai kata sepakat
mengenai bentuk/besarnya ganti rugi, maka pembayaran harus dilaksanakan
secara langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan penyerahan/pelepasan
hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya empat orang
anggota panitia pembebasan tanah, diantaranya kepala Kecamatan dan Kepala
Desa yang bersangkutan. 77
Masalah pembebasan tanah sekarang ini dapat di jumpai aturanya:

75

Sudaryo Soimin, Op.Cit, hal 79
Sf marbun dan Mahfud Md, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit

liberty, Yogyakarta, 2013, hal 164
77
Sudaryo Soimin, Op.Cit, hal 80
76

Universitas Sumatera Utara

1. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 tahun 1975 (tanggal 13
Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan
tanah untuk kepentingan pemerintah.
Pasal 1 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) Panitia Pembebasan Tanah adalah suatu
Panitia yang bertugas melakukan pemeriksaan/ penelitian dan penetapan
ganti rugi dalam rangka pembebasan sesuatu hak atas tanah dengan atau
tanpa bangunan/tanam tumbuk di atasnya, yang pembentukannya ditetapkan
oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya
dalam suatu wilayah Propinsi yang bersangkutan. Dalam melaksanakan
tugasnya, Panitia Pembebasan Tanah berpedoman kepada peraturanperaturan yang berlaku berdasarkan azas musyawarah dan harga umum
setempat. Harga umum setempat adalah harga dasar yang ditetapkan secara
berkala


oleh

suatu

Panitia

untuk

sesuatu

daerah

menurut

jenis

penggunaannya. Tanah-tanah yang dibebaskan dengan mendapatkan ganti
rugi dapat berupa tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak
berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 dan tanah-tanah dari
masyarakat hukum adat. Dalam penetapan ganti rugi di atas termasuk pula

tanaman-tanaman dan bangunan-bangunan yang berada di atas tanah tersebut.
Pasal 2 ayat (3) dan (4) menegaskan bahwa Gubernur Kepala Daerah dapat
menambah anggota Panitia Pembebasan Tanah, apabila ternyata untuk
menyelesaikan pembebasan tanah itu diperlukan seorang ahli. Gubernur
Kepala Daerah dapat membentuk Panitia Pembebasan Tanah Tingkat
Propinsi dengan susunan keanggotaan dari instansi-instansi, sepanjang tanah

Universitas Sumatera Utara

yang dibebaskan itu terletak di wilayah beberapa Kabupaten/Kotamadya atau
jika menyangkut proyek-proyek khusus.
Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) menyebutkan bahwa Panita Pembebasan Tanah
bekerja atas permintaan instansi yang memerlukan tanah. Instansi yang
memerlukan tanah harus mengajukan permohonan pembebasan hak atas
tanah kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya,
dengan

mengemukakan

maksud


dan

tujuan

penggunaan

tanahnya.

Permohonan tersebut harus disertai dengan keterangan-keterangan tentang
status tanahnya (jenis/macam haknya, luas dan letaknya), gambar situasi
tanah, maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya dan
kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas-fasilitas lain kepada
yang berhak atas tanah. Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa setelah
menerima permohonan dari instansi yang bersangkutan, maka Gubernur
Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk segera meneruskan permohonan
tersebut kepada Panitia Pembebasan Tanah untuk mengadakan penelitian
terhadap data dan keterangan-keterangan. Jika dianggap perlu, Panitia
Pembebasan Tanah dapat memanggil pihak-pihak yang bersangkutan untuk
melengkapi data/ keterangan.

Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) ditegaskan bahwa di dalam mengadakan
penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, Panitia Pembebasan
Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para pemilik/ pemegang.
Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besarnya ganti
rugi terdapat kata sepakat di antara para anggota Panitia dengan
memperhatikan kehendak dari para pemegang hak atas tanah. Jika terdapat

Universitas Sumatera Utara

perbedaan taksiran ganti rugi di antara para anggota Panitia itu, maka yang
dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran masing-masing anggota.
Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu yang
singkat. Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya
ganti rugi tersebut disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para
pemegang hak atas tanah dan para anggota Panitia yang turut mengambil
keputusan.
Pasal 8 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa Panitia Pembebasan Tanah
setelah menerima dan mempertimbangkan alasan penolakan tersebut dapat,
mengambil sikap yaitu tetap kepada keputusan semula dan meneruskan surat
penolakan dimaksud dengan disertai pertimbanganpertimbangannya kepada

Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diputuskan. Gubernur
Kepala Daerah yang bersangkutan setelah mempertimbangkan dari segala
segi, dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan Panitia
Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang ujudnya mencari jalan tengah
yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Kemudian Pasal 10 ayat (1)
menegaskan bahwa apabila pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi
telah selesai dilaksanakan, maka instansi yang memerlukan tanah tersebut
diharuskan mengajukan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada Pejabat
yang berwenang.
Pasal 11 ayat (1) dan (2) Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk
mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah dan pemberian ganti rugi.
Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada azasnya harus dilakukan

Universitas Sumatera Utara

secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian
ganti rugi dengan berpedoman kepada azas musyawarah.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan acara
pembebasan tanah untuk swasta.
Pasal 1 disebutkan bahwa Pembebasan tanah oleh pihak swasta untuk

kepentingan

pembangunan

proyek-proyek

yang

bersifat

menunjang

kepentingan umum dan fasilitas sosial dapat dilaksanakan menurut acara
pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah. Pasal 4 menegaskan bahwa
dalam surat ijin pembebasan tanah oleh pihak swasta menurut acara yang
berlaku bagi pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah, harus
dicantumkan

alasan-alasan

dan

pertimbangan-pertimbangan

yang

dipergunakan oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I untuk pemberian ijin
tersebut. Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I berkewajiban untuk mengadakan pengawasan agar pelaksanaan pembebasan
tanah menurut tatacara yang diatur dalam Peraturan ini dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
3. Surat Edaran Nomor : Ba. 12/10812/75 tentang Pelaksanaan pembebasan
tanah
Pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak
langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang
hak/penguasa, atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
berhak/penguasa atas tanah itu. Pembebasan tanah untuk keperluan
Pemerintah harus dilaksanakan oleh sesuatu Panitia Pembebasan Tanah yang
dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tk. I untuk suatu wilayah Propinsi

Universitas Sumatera Utara

yang bersangkutan dan atau atas kuasa Gubernur Kepala Daerah Tk. I oleh
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II untuk masing-masing
Kabupaten/Kotamadya.
Pelaksanaan pembebasan tanah harus berpedoman pada peraturan yang
berlaku dan dalam penentuan besarnya ganti rugi harus diusahakan dengan
asas

musyawarah

antara

pihak-pihak

yang

bersangkutan

dengan

mempertimbangkan/memperhatikan harga dasar setempat yang ditetapkan
secara berkala oleh suatu Panitia sebagai dimaksud dalam PMDN 1/1975
serta dengan memperhatikan kemampuan anggaran keuangan Pemerintah.
Keputusan Panitia Pembebasan tanah mengenai besarnya/bentuk ganti rugi
disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dan para anggota Panitia.
Dalam pada itu tidak mustahil akan terjadi penolakan mengenai menetapan
besarnya uang ganti rugi yang telah ditetapkan oleh Panitia Pembebasan
Tanah. Dalam keadaan yang demikian maka penolakan itu harus disampaikan
kepada Panitia disertai alasan-alasan menjadi dasar penolakan.
Bila telah tercapai kata sepakat mengenai bentuk/besarnya ganti rugi, maka
pembayaran harus dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang
bersangkutan kepada pemegang hak atas tanah/orang-orang yang berhak,
bersamaan dengan penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan
disaksikan oleh sekurangkurangnya empat orang anggota Panitia Pembebasan
Tanah, diantaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan.
Untuk

kepentingan

pembuktian

dokumentasi

maupun

syarat-syarat

kelengkapan data yang diperlukan untuk penyelesaian permohonan sesuatu

Universitas Sumatera Utara

hak atas tanah oleh instansi yang bersangkutan, maka pembayaran ganti rugi
serta pernyataan pelepasan hak tersebut harus dibuat dalam bentuk Berita
Acara dengan dilampiri suatu daftar secara kolektif dari pihak-pihak yang
telah menerima pembayaran ganti rugi tersebut sekurang-kurangnya dalam 8
(delapan) ganda. Untuk mewujudkan tertib penguasaan dan penggunaan tanah
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, setiap pembebasan hak
atas tanah yang sudah selesai harus diikuti dengan pengajuan permohonan
sesuatu hak atas tanah kepada pejabat yang berwenang. Kepentingan swasta
pada asasnya adalah sejajar dengan kepentingan anggota-anggoa masyarakat,
maka pembebasan tanah untuk kepentingan swasta pada asasnya harus
dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan
pemberian ganti rugi yang besarnya ditentukan secara musyawarah. Dalam
pada itu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak sesuai dengan
peraturan perundangan maupun garis-garis kebijaksanaan Pemerintah
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah, maka diwajibkan
kepada Pemerintah Daerah untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan dan
pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh pihak swasta.
Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961 jarang
dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka pembangunan dan
kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih banyak prosedur pembebasan
tanah (PMDN No. 15 tahun 1975). Hal itu disebabkan proses pencabutan (UU No.
20 tahun 1961) akan memakan waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat
memaksa bagi pemilik tanah; sedangakan prosedur pembebasan (PMDN No. 15
tahun 1975) adalah lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya

Universitas Sumatera Utara

keresahan masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada
musyawarah sehingga ada kata sepakat. 78
Pembebasan tanah untuk kepentingan umum adalah salah satu bagian
dalam pengaturan pertanahan di Indonesia. Didalamnya memiliki beberapa unsur
strategis yang sangat penting untuk dicermati lebih jauh, daripada ‘proses
pembebasan tanah’ semata, yaitu: 79
1. Pembebasan tanah untuk kepentingan umum sangat berkaitan dengan
kemajuan atau peningkatan pembangunan, dalam hal ini pembangunan sarana
infrastruktur dan proyek-proyek yang bertujuan memberikan manfaat yang
besar pada publik dan secara finansial bernilai tinggi. Setiap kesulitan dalam
pengadaan tanah, baik itu pada regulasi maupun praktek penerapannya, akan
berimbas pada terhambatnya proyek-proyek pembangunan infrastruktur, dan
pada akhirnya mengakibatkan manfaat dari sarana infrastruktur dimaksud
tidak bisa segera dirasakan oleh masyarakat umum. Hal ini tentunya akan
menghambat tujuan pembangunan untuk kepentingan masyarakat.
2. Proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum berkaitan dengan masalah
pelepasan dan pemutusan hak atas tanah dan objek di atas tanah dari
pemiliknya. Hal ini akan berkaitan juga dengan perikehidupan pemilik hak
atas tanah dan benda di atasnya yang pada dasarnya merupakan hak asasi
manusia. Unsur pelepasan tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum
oleh pemilik hak, tentunya akan berbeda dengan pelepasan hak atas tanah

78

http://refhie.blogspot.co.id/2012/11/pembebasan-dan-pencabutan-hak-atas-tanah.html
Tine Suartina, Analisis Hukum Pada Kebijakan Pembebasan Tanah Untuk
Kepentingan Umum Di Indonesia, Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan
(PMB) LIPI Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 10 No. 1 Tahun 2008.
79

Universitas Sumatera Utara

yang memang menjadi kehendak pemilik hak apabila ia memang bermaksud
melepaskan haknya- pada transaksi bebas. Hal di atas menyebabkan kebijakan
dan pengaturan proses pembebasan tanah untuk kepentingan umum
(pembangunan) harus selalu dihubungkan dengan usaha perlindungan hak atas
properti dari pemilik hak. Posisi pemerintah dalam melakukan pembebasan
tanah hendaknya tetap memiliki batasan dan kontrol untuk menghindari
penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
3. Meskipun konsep dan pengaturan pembebasan tanah untuk kepentingan umum
di Indonesia tidak membuka peluang keterlibatan pihak swasta terlibat
didalamnya, saat ini terlihat adanya upaya untuk membuka peluang melalui
peraturan perundangundangan kepada pihak swasta sebagai bentuk legitimasi
untuk terlibat dalam proses pembebasan tanah atas nama kepentingan
umum. 80
4. Keempat, lebih jauh, apabila ditinjau dari sudut pandang ekonomi dan politik,
latar belakang pembebasan tanah untuk kepentingan umum dapat dirunut
hingga ke persoalan pengaruh dan tekanan pihak internasional dalam
penyusunan dan penentuan kebijakan.
Proses pembebasan tanah untuk pembangunan untuk kepentingan, hal
pokok yang jelas terlihat adalah posisi pemerintah yang dominan, karena dalam
rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, pemerintah
memiliki kuasa melakukan pembebasan tanah. Untuk membatasi kuasa

80

Untuk permasalahan ini, setiap negara memiliki kebijakan tersendiri dalam pengaturan
keterlibatan pihak swasta, yang disesuaikan dengan kebijakan dan kondisi masing-masing Sebagai
contoh, berbeda dengan Indonesia, Jepang mempergunakan metode seleksi dan kontrol yang
sangat ketat bagi pihak swasta untuk berpartisipasi, sehingga hanya sedikit perusahaan swasta
yang bisa memperoleh izin. Sementara di Amerika Serikat, negaranegara bagian memiliki
kebijakan beragam untuk masalah ini.

Universitas Sumatera Utara

pemerintah dan posisinya yang dominan supaya tidak terjadi penyalahgunaan,
khususnya dalam peraturan perundang-undangan, mekanisme pencabutan hak
yang sudah sepatutnya dihindari dan mengutamakan pada mekanisme lain. Solusi
melalui mekanisme ‘membangun tanpa menggusur’ yang dapat diterapkan untuk
mengatasi permasalahan dalam pembebasan tanah untuk kepentingan umum ini.
Berpijak pada batasan pembebasan tanah tersebut, dapat ditemukan dua
hal pokok dalam pembebasan tanah, yakni pelepasan hak seseorang atas tanah
demi kepentingan lain (kepentingan pembangunan untuk umum) dan pemberian
ganti kerugian atau kompensasi atas pelepasan hak tersebut. Mengingat kedua hal
tersebut begitu fundamental, maka pembebasan tanah harus dilakukan dengan
cara yang seimbang. Pelaksanaan pembebasan tanah dilakukan dengan bantuan
panitia pembebasan tanah. Panitia pembebasan tanah ini bekerja atas permintaan
instansi yang memerlukan tanah. Membebaskan tanah adalah pihak pemerintah
sediri, proyek-proyek yang dikerjakan adalah proyek pemerintah, direncanakan,
dilaksanakan dan dibiayai oleh pemerintah. Artinya, pembebasan tanah tidak
boleh dilakukan untuk proyek yang mengakomodasi kepentingan swasta atau
proyek pemerintah tidak boleh dilaksanakan ole pihak swasta. 81
Dalam rangka pembebasan tanah ini, bila telah tercapai kata sepakat
mengenai bentuk/bearnya ganti rugi, maka pembayaran harus dilaksanakan secara
langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan penyerahan/pelepasan hak atas
tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangya empat orang anggota panitia
pembebasan tanah, diantaranya Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan.
Masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam hajat hidup orang banyak. Kalau
81

Berhard Limbong, Op.Cit, hal 167

Universitas Sumatera Utara

dilihat daripada kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan berbagai
macam pembangunan, dapat dimengerti bahwa tanah Negara yang tersedia
sangatlah terbatas sekali. Maka satu-satunya jalan yang dapa ditempuh,
membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hokum adat ataupun hak-hak
lainnya yang melekat di atasnya. 82

B. Aspek Ganti Rugi
Ganti rugi adalah penggantian atas nilai tanah berikut bangunan tanaman
dan/atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah sebagai akibat pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah. Pengertian ganti rugi yang dimaksud adalah
mengenai dasar perhitungan dalam melakukan pembayaran ganri rugi atas hak
atas tanah yang akan diambil untuk pembangunan demi kepentingan umum. 83
Ganti rugi yang layak, dapat saja panitia penaksir melihat perkembangan
akan harga tanah, sehingga pembayaran ganri rugi akan diterima oleh semua
pihak dengan tanpa paksaan. Milihat kenyataannya bahwa panitia penaksiran
ganti rugi tanah ini akan mewujudkan kemauan para pihak dengan adil serta
bijaksana. Pemberian ganti rugi haruslah dilihat hak atas tanah yang melekat
diatasnya. 84
Ganti rugi adalah pemberian ganti atas kerugian yang diderita oleh
pemegang hak atas tanah atas beralihnya hak tersebut. Masalah ganti kerugian
menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses pengadaan tanah.
Pembebasan bentuk dan besarnya ganti kerugian sering kali menjadi proses yang
82

Sudaryo Soimin, Op.Cit, hal 81
Supriadi, Op.Cit, hal 80
84
Sudaryo Soimin, Op.Cit, hal 79-85
83

Universitas Sumatera Utara

panjang, dan berlarut-larut akibat tidak adanya kesepakatan di antara pihak-pihak
yang bersangkutan. 85
Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1 angka 10
menyebutkan bahwa ganti kerugian adalah penggantian yang layak dan adil
kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Arti ganti rugi menurut
Perpres Nomor 71 Tahun 2012 Pasal 1 angka 10 bahwa Ganti kerugian adalah
penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses
pengadaan tanah. Sedangkan bentuk ganti ruginya berupa uang, tanah pengganti,
permukiman kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh
kedua belah pihak.

Istilah ganti rugi tersebut dimaksud adalah pemberian ganti atas kerugian
yang diderita oleh pemegang hak atas tanah atas beralihnya haknya tersebut.
Masalah ganti kerugian menjadi komponen yang paling sensitif dalam proses
pengadaan tanah. Pembebasan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian
seringkali menjadi proses yang panjang dan berlarut-larut (time consuming)
akibat tidak adanya kesapakatan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Sementara itu, dalam bidang keperdataan, ganti rugi ditandai sebagai pemberian
prestasi yang setimpal akibat dari satu perbuatan yang menyebabkan kerugian
diderita oleh salah satu pihak yang melakukan kesepakatan/consensus.

85

Benhard Limbong, Op.Cit., hal. 172

Universitas Sumatera Utara

Singkatnya, ganti rugi adalah pengenaan ganti sebagai akibat adanya penggunaan
hak dari satu pihak untuk pemenuhan kebutuhan dan kepentingan dari lain. 86
Pemberian ganti rugi hanya atas bidang tanahnya saja, seharusnya
ditentukan juja, pemberian tanah dan ganti rugi atas bidang tanahnya beserta
benda-benda yang ada diatasnya. Karena tidak ditentukan demikian, ketentuan
PMDN tersebut bisa ditafsirkan bahwa yang diberi ganti rugi hanya tanah saja,
sedang tanaman, bangunan dan benda-benda lain di atas tanah tidak diberikan
ganti rugi. 87 Dalam melakukan pembayaran ganti kerugian dalam hal pelepasan
hak atas tanah, pemerintah perlu memerhatikan aspek-aspek berikut yakni : 88
1. Aspek kesebandingan
Ukuran untuk kesebandingan antara hak yang hilang dengan penggantinya
harus adil menurut hukum dan menurut kebiasaan masyarakat yang
berlaku umum.
2. Aspek layak
Selain sebanding ganti rugi harus layak jika penggantian dengan hal lain
yang tidak memiliki kesamaan dengan hak yang telah hilang.
3. Aspel perhitungan cermat
Perhitungan harus cermat, termasuk di dalamnya penggunaan waktu, nilai
dan derajat.

C. Bentuk dan Penetapan Ganti Rugi
Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti
kerugian fisik yang hilang, tetapi juga harus menghitung ganti kerugian non fisik
seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipindahkan kelokasi
yang baru. Sepatutnya pemberian ganti kerugian tersebut harus tidak membawa

86

Ibid, hal 172
Umar Said Sugiharto, Suratman dan Noorhudha Muchsin, Op.Cit, hal 87
88
Berhard Limbong, Op.Cit, hal 178
87

Universitas Sumatera Utara

dampak kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang kehilangan haknya
tersebut melainkan membawa dampak pada tingkat kehidupan yang lebih baik
atau minimal sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan pembangunan. 89
Ganti rugi yang diberikan oleh instansi pemerintah hanya diberikan kepada
factor fisik semata. Seharusnya patut pula dipertimbangkan tentang adanya ganti
rugi faktor-faktor non fisik (immaterial). Dalam hal ini ganti kerugian hanya
diberikan kepada orang-orang yang hak aas tanahnya terkena proyek
pembangunan. Pada kenyataannya, masyarakat disekitar proyek tersebut juga
terkena dampak, baik yang positif maupun negatif, seperti kehilangan akses hutan,
sungai dan sumber mata pencaharian lainnya. Bentuk ganti kerugian komunal
harus diperhatikan berdasarkan hukum adat komunitas setempat. Perlu juga
dikembangkan bentuk ganti kerugian dalam pola kemitraan jangka panjang yang
saling menguntungkan antara pemilik modal (swasta) atau pemerintah dengan
masyarakat pemilik hak atas tanah.
Pada peraturan sekarang hanya ditentukan penggantian kerugian terbatas
bagi masyarakat pemilik tanah ataupun menggarap tanah, berarti ahli warisnya.
Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat yang
bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang
menguasai dan menempati serta untuk kepentingan umum, masyarakat kontribusi
dari pembangunan itu, serta rekognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan
penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk kepentingan. 90

89

Maria S.W. Sormardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Penerbit Kompas, Jakarta, 2008, hal 200
90
Berhard Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Penerbit Margaretha
Pustaka, Jakarta, 2011, hal 174-175

Universitas Sumatera Utara

Pasal 33 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyebutkan bahwa Penilaian
besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan bidang per bidang tanah,
meliputi tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang
berkaitan dengan tanah; dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai.

Pasal 34 ayat (1), (2) dan (3) menyebutkan bahwa nilai Ganti Kerugian
yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi
pembangunan untuk Kepentingan Umum. Besarnya nilai Ganti Kerugian
berdasarkan hasil penilaian Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan
dengan berita acara. Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai
menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pasal 35 bahwa dalam hal
bidang tanah tertentu yang terkena Pengadaan Tanah terdapat sisa yang tidak lagi
dapat difungsikan sesuai dengan peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang
Berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Pasal 36 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menegaskan bahwa pemberian
Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman
kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah
pihak. Pasal 38 ayat (1) Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk
dan/atau besarnya Ganti Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja setelah musyawarah penetapan Ganti Kerugian.

Universitas Sumatera Utara

Penjelasan Pasal 36 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum disebutkan
bahwa Permukiman kembali adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti
kepada Pihak yang Berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan dalam proses
Pengadaan Tanah. Bentuk ganti kerugian melalui kepemilikan saham” adalah
penyertaan saham dalam kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum terkait
dan/atau pengelolaannya yang didasari kesepakatan antar pihak. Bentuk lain yang
disetujui oleh kedua belah pihak misalnya gabungan dari 2 (dua) atau lebih bentuk
Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada bentuk uang, tanah pengganti,
permukiman kembali dan kepemilikan saham.
Pasal 37 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa Lembaga Pertanahan
melakukan musyawarah dengan Pihak yang Berhak dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada
Lembaga Pertanahan untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian
berdasarkan hasil penilaian Ganti Kerugian. Hasil kesepakatan dalam musyawarah
menjadi dasar pemberian Ganti Kerugian kepada Pihak yang Berhak yang dimuat
dalam berita acara kesepakatan. Pasal 38 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa
Dalam hal tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya Ganti
Kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan
negeri setempat dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah
musyawarah penetapan Ganti Kerugian. Pengadilan negeri memutus bentuk
dan/atau besarnya Ganti Kerugian dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 39 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa dalam hal Pihak yang
Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian, tetapi tidak
mengajukan keberatan dalam waktu karena hukum Pihak yang Berhak dianggap
menerima bentuk dan besarnya Ganti Kerugian. Pasal 40 bahwa pemberian Ganti
Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan langsung kepada Pihak yang
Berhak.
Penjelasan Pasal 40 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bahwa Pemberian Ganti
Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak
atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, Pihak yang Berhak karena hukum
dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya
dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian. Yang
berhak antara lain pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan, nadzir,
untuk tanah wakaf, pemilik tanah bekas milik adat, masyarakat hukum adat,pihak
yang menguasai tanah negara dengan itikad baik, pemegang dasar penguasaan
atas tanah dan/atau pemilik bangunan, tanaman atau benda lain yang berkaitan
dengan tanah.
Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas
Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang
bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan
atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan
tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya
diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan.

Universitas Sumatera Utara

Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah
pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara
yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai
dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya,
bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan
atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara
berdasarkan

sewa-menyewa,

atau

pihak

lain

yang

menggunakan

atau

memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “pemegang dasar penguasaan atas
tanah” adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang yang membukt ikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah
yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang
belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum
diterbitkan sertifikat, dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman,
atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai
dengan Hak atas Tanah, Ganti Kerugian diberikan kepada pemilik bangunan,
tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Pasal 41ayat (1), (2), (4) dan (5) menyatakan bahwa ganti kerugian
diberikan kepada Pihak yang Berhak berdasarkan hasil penilaian yang ditetapkan
dalam musyawarah dan/atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung. Pada
saat pemberian Ganti Kerugian Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
wajib melakukan pelepasan hak dan menyerahkan bukti penguasaan atau
kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah

Universitas Sumatera Utara

melalui Lembaga Pertanahan. Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian
bertanggung jawab atas kebenaran dan keabsahan bukti penguasaan atau
kepemilikan yang diserahkan. Tuntutan pihak lain atas Objek Pengadaan Tanah
yang telah diserahkan kepada Instansi yang memerlukan tanah menjadi tanggung
jawab Pihak yang Berhak menerima Ganti Kerugian.
Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum menyatakan
bahwa dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti
Kerugian

berdasarkan

hasil

musyawarah

atau

putusan

pengadilan

negeri/Mahkamah Agung Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri
setempat.Penitipan Ganti Kerugian selain juga dilakukan terhadap Pihak yang
Berhak menerima Ganti Kerugian tidak diketahui keberadaannya atau

Objek

Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian sedang menjadi objek
perkara di pengadilan, masih dipersengketakan kepemilikannya, diletakkan sita
oleh pejabat yang berwenang atau menjadi jaminan di bank.
Pasal 43 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum ditegaskan bahwa pada saat
pelaksanaan pemberian Ganti Kerugian dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan
atau pemberian Ganti Kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri kepemilikan
atau Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya
dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
negara. Pasal 44 ayat (1) dan (2) bahwa pihak yang Berhak menerima Ganti
Kerugian atau Instansi yang memperoleh tanah dalam Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Umum dapat diberikan insentif perpajakan. Ketentuan lebih lanjut

Universitas Sumatera Utara

mengenai insentif perpajakan diatur oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 46 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dinyatakan
bahwa Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah diberikan dalam bentuk tanah
dan/atau bangunan atau relokasi. Ganti Kerugian atas objek Pengadaan Tanah
dapat diberikan dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali,
kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pasal
48 ayat (1) menyatakan bahwa lembaga pertanahan menyerahkan hasil Pengadaan
Tanah kepada Instansi yang memerlukan tanah setelah pemberian Ganti Kerugian
kepada Pihak yang Berhak dan Pelepasan Hak telah dilaksanakan dan/atau
pemberian Ganti Kerugian telah dititipkan di pengadilan negeri.
Ganti kerugian tersebut bisa berdiri sendiri tiap unsur ataupun gabungan
dari beberapa unsur yang diberikan sesuai dengan nilai komulatif ganti kerugian
yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh penilai (appraisal).
Bentuk dan jenis ganti rugi lain yang disepakati bersama bisa dilaksanakan
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan di atas, dan untuk menentukan jenis
ganti rugi yang akan dipilih sepeuhnya diserahkan kesepakatan bersama antara
panitia pengadaan tanah dengan para pemilik. Bentuk ganti rugi untuk didaerah
perkotaan pada umumnya akan lebih dominan berbentuk uang, karena pada
umumnya pemilik tanah cari yang simple. 91

D. Asas-asas Ganti Rugi
91

Mudakir Iskandar Syah, Op.Cit, hal 20

Universitas Sumatera Utara

Dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait lainnya
mengenai ganti rugi tersirat beberapa asas hukum demi terciptanya perlindungan
hukum bagi korban pembebasan tanah. Oleh karena itu, pemerintah seyogjanya
memerhatikan aas-asas hukum tersebut ketika memberikan ganti rugi kepada para
warganya yang menjadi korban pembebasan lahan. Asas-asas tersebut antara lain :
1. Asas itikad baik (principle of good attention)
Adapun maksud dari asas ini adalah bahwa pengadaan dan pembebasan tanah
untuk kepentingan umum maupun swasta harus dilandasi adanya itikad baik
dan keterbukaan serta kejujuran dari segi peruntukan, bentuk maupun
besarnya nilai ganti rugi yang diberikan. Sehingga, di antara kedua belah
pihak tidak ada yang dirugikan atau menjadi korban dalam proses
pelaksanaannya. 92
2. Asas keseimbangan (principle of equilibrium)
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban
pengusahaan tanah dalam setiap pemberian ganti rugi, baik bentuk maupun
besarnya. Pemberian ganti rugi diharapkan akan mendatangkan kesejahteraan
bersama dan disesuaikan dengan keadaan yang nyata. Dalam arti bahwa ganti
rugi tanah tersebut dilakukan sesuai dengan alas hak yang dimiliki oleh
pemilik tanah. Pembayaran ganti rugi itu tidak boleh disamaratakan antara
yang sudah mempunyai alas hak dengan yang tidak mempunyai alas hak
meskipun terletak di lokasi yang sama. Di samping itu, hukuman atau sanksi

92

Ediwarman dalam Berhard Limbong, Op.Cit, hal 182

Universitas Sumatera Utara

yang diberikan harus seimbang dengan kesalahan yang dilakukan tanpa
membedakan, tempat, waktu dan status sosial. 93
3. Asas kepatutan (prinsiple of approrateness)
Nilai

ganti

kerugian

harusla

layak

dan

patut

berdasarkan

nilai

nyata/sebenarnya dari tanah dan/atau segala yang menjadi turutannya. Harga
yang didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya itu tidak harus sama dengan
harga umum mengingat harga umum bisa saja merurpakan harga catut.
Sebaliknya, harga atas tanah tersebutjuga dapat menjadi harga yang lebih
tinggi. Tujuannya adalah ganti kerugian yang diberikan itu tidak hanya untuk
orang yang berhak atas tanah atau yang haknya dibebaskan itu, tetapijuga
orang-orang yang menempati dan menggarap atau orang yang menggunakan
tanah sebagai tempat usaha. 94
4. Asas kepastian hukum (principle of certainly of law)
Perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat merupakan sesuatu yang urgen.
Sebisa

mungkin

seluruh

masyarakat

bebas

dari

praktik-praktik

penyalahgunaan wewenang dalam ganti rugi tanah. Karenanya, ketentuan
mengenai ganti rugi tanah tidak cukup diatur dalam Keppres, tetapi harus ada
undang-undang khusus yang mengaturnya. UU tersebut harus memuat sanksisanksi hukumnya, baik yang bersifat penal dan non penal sehingga keputusan
yang diambil selalu berpegang pada kewajaran dan keadilan. 95
5. Asas kesejahteraan (prinsiple of welfare)
93

Antji M. Ma’moen, Pendaftaran tanah sebagai Pelaksanaan Undang-undang Pokok
Agraria untuk mencapai Kepastian Hukum Hak-hak atas Tanah, Penerbit Universitas Padjajaran
Press, Bandung, 1996, hal 74
94
Ediwarman dalam Berhard Limbong, Op.Cit, hal 183
95
Berhard Limbong, Op.Cit, hal 183

Universitas Sumatera Utara

Aas ini menghendaki perlindungan hukum terhadappihak yang melepaskan
tanah dari sisi ekonomisnya. Bisa saja, tanah yang diserahkan itu banyak
membantu pihak yang menyerahkan tanah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Perlindungan hukum yang diharapkan itu harus bersifat konkret, dengan
menerarapkan sanksi yang bersifat penal dan nonpenal. Sanksi yang bersifat
penal terhadap pelaku yang teah melakukan penyalahgunaan wewenang harus
dihukum dan sanksi yang bersifat nonpenal dapat diberikan yang bernilai
ekonomis guna kesejahteraan korban. 96
Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum pemilik atau pemegang
hak atas tanah harus mendapatkan apa yang menjadi haknya yaitu ganti rugi yang
adil tatkala mereka telah melepaskan hak atas tanahnya. Ganti rugi dapat disebut
adil apabila keadaan setelah pengambilalihan tanah paling tidak kondisi sosial
ekonominya setara dengan keadaan sebelumnya, disamping itu ada jaminan
terhadap kelangsungan hidup mereka yang tergusur. 97 Dengan kata lain, asas
keadilan harus dikonkritkan dalam pemberian ganti rugi, artinya dapat
memulihkan kondisi sosial ekonomi mereka minimal setara atau setidaknya
masyarakat tidak menjadi miskin dari sebelumnya. 98
Kegiatan pengadaan tanah tersangkut kepentingan dua pihak, yaitu instansi
pemerintah yang memerlukan tanah dan masyarakat yang tanahnya diperlukan
untuk kegiatan pembangunan dimaksud. Oleh karena itu pengadaan tanah
96

Antji M. Ma’moen, Op.Cit, hal 333
Maria S.W. Soemardjono, Op.Cit, hal 89
98
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Penerbit
Bayumedia Publishing, Malang, 2007, hal 31
97

Universitas Sumatera Utara

dimaksud haruslah dilakukan melalui proses yang menjamin tidak adanya
pemaksaan kehendak dari satu pihak terhadap pihak yang lain, pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan tersebut harus dilakukan dengan mengindahkan
asas keadilan. 99 Asas keadilan yang dimaksud bahwa kepada masyarakat yang
terkena dampak diberikan ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial
ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula dengan memperhitungkan
kerugian terhadap faktor fisik maupun non fisik. 100

BAB IV
PELAKSANAAN PENERIMAAN UANG GANTI RUGI DARI
PEMBEBASAN HAK ATAS TANAH YANG SEDANG TERIKAT HAK
TANGGUNGAN

A. Prosedur pembebasan hak Atas tanah
Hak atas tanah adalah hak yang memberikan wewenang untuk memakai
tanah yang diberikan kepada orang atau badan hukum. 101 Pemahaman hak atas
tanah adalah termasuk salah satu hak-hak perseorangan atau tanah, yaitu hak yang
99

Maria S.W. Soemardjono, Op.Cit, hal 122
Ibid.,
101
Arie Sukanti Hutagalung & Markus Gunawan, Op.Cit, hal 29
100

Universitas Sumatera Utara

memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan atau juga
merupakan sekelompok orang secara bersama-sama, badan hukum). 102
Soal menggunakan istilah pembebasan tanah sama halnya dengan
pengertian “pengambilan tanah” yang diatur oleh pencabutan hak atas tanah dan
semakna juga dengan “pengadaan tanah” yang diatur ole hukum pengadaan tanah.
Kata pembebasan tanah sama artinya dengan pengadaan tanah (lahan), akuisisi
tanah (lahan), perolehan tanah (lahan), pengambilalihan tanah (lahan). 103
Pembebasan Tanah (Prijsgeving) merupakan melepaskan hubungan hukum
semula yang terdapat diantara pemegang hak atas tanah dengan cara pemberian
ganti rugi atas dasar musyawarah dengan pihak yang bersangkutan. 104
Masyarakat awam mengartikan pembebasan hak atas tanah untuk
kepentingan umum merupakan sebagai suatu yang seharusnya bersifat
kontraktual, karena masyarakat menganggap pembebasan hak-hak atas tanah
seseorang secara konkret, lebih menguntungkan pihak-pihak luar/pihak lain,
sekalipun dari sudut pandangan pemerintah diartikan sebagai kepentingan
nasional. Pemerintah sering memaksakan kehendak agar warga masyarakat
bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya dengan dalih untuk kepentingan
61

umum, yang berarti juga untuk kepentingan komunitas masyarakat lokal. Namun
di lain pihak pemerintah dengan segenap aparatnya justru mengupayakan
kesediaan masyarakat untuk melepaskan hak-haknya dengan proses pembebasan

102

Suhanan Yosua, Op.Cit, hal 22
Gunanegara, Hukum Administrasi Negara Jual Beli dan Pembebasan Tanah, PT
Tatanusa, Jakarta, 2016, hal 9
104
Servie M. Tumengkol, Prosedur Pencabutan Hak Atas Tanah dan Pembebasan
Tanah, Karya Ilmiah Ilmu Sosial dan Politik, Manado, 2012, hal 6
103

Universitas Sumatera Utara

hak atas tanah untuk kepentingan umum, dalam arti masyarakat itu wajib
melespaskan hak atas tanahnya. 105
Prosedur pembebasan hak atas tanah berupa:
1. Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan pembebasan hak
atas tanah kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk disertai keterangan
mengenai status tanahnya, gambar situasi, maksud dan tujuan dan
penggunaan selanjutnya serta kesediaan untuk membayar ganti rugi. Bentuk
ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan/atau fasilitas lain.
2. Gubernur akan meneruskan permohonan tersebut kepada Panitian
Pembebasan Tanah dan panitia akan mengadakan penelitian, penaksiran
penetapan atas besarnya ganti rugi dengan mengadakan musyawarah dengan
pemilik/ pemegang hak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya
berdasarkan harga umum setempat.
3. Panitian dalam menentukan besarnya ganti rugi diharapkan agar terdapat ata
sepakat dengan seluruh anggota panitia dan jika tedapat perbedaan taksiran
maka dipergunakan harga rata-rata taksiran masing-masing anggota panitia.
Selanjutnya panitia menyampaikan kesimpulan tersebut kepada instansi yang
memerlukan tanah dan pemilik/pemegang hak atas tanah.
4. Pemilik atau pemegang hak atas tanah memberitahukan persetujuan atau
penolakannya atas besarnya ganti rugi disertai dengan alasan. Jika terjadi
penolakan oleh pemilik atau pemegang hak atas tanah, maka Panitia dapat
bertahan pada keputusannya atau meneruskan kepada Gubernur dengan
pertimbangan yang akan mengukuhkan keputusan panitia atau mencari jalan
tengah, dan Gubernur akan menyampaikan keputusannya kepada Panitia dan
pihak yang bersangkutan.
5. Dalam hal tercapai kesepakatan mengenai ganti rugi, maka dilakukan
pembayaran ganti rugi sekaligus penyerahan atau pelepasan hak atas tanahnya
yang disaksikan oleh sekurang-kurangnya 4 (empat) orang anggota panitia
pembebasan tanah diantaranya adalah Kepala Kecamatan dan Kepala Desa
yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi serta pernyataan pelepasan hak
atas tanah dibuat dalam satu daftar secara kolektif dalam rangkap 8 (delapan).
6. Apabila pembebasan tanah beserta ganti rugi telah selesai dilaksanakan, maka
instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan permohonan sesuatu hak
atas tanah kepada instansi atau pejabat yang berwenang. 106
Pasal 1 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 15 Tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara
pembebasan tanah menyatakan bahwa Panitia Pembebasan Tanah adalah suatu
105
106

Adrian Sutedi, Op.Cit, hal 85
Umar said Sugiharto, Suratman dan Noorhudha Muchsin, Op.Cit, hal 91

Universitas Sumatera Utara

Panitia yang bertugas melakukan pemeriksaan/ penelitian dan penetapan ganti
rugi dalam rangka pembebasan sesuatu hak atas tanah dengan atau tanpa
bangunan/tanam tumbuk di atasnya, yang pembentukannya ditetapkan oleh
Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya dalam
suatu wilayah Propinsi yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya,
Panitia Pembebasan Tanah berpedoman kepada peraturan-peraturan yang berlaku
berdasarkan azas musyawarah dan harga umum setempat. Harga umum setempat
adalah harga dasar yang ditetapkan secara berkala oleh suatu Panitia untuk
sesuatu daerah menurut jenis penggunaannya. Tanah-tanah yang dibebaskan
dengan mendapatkan ganti rugi dapat berupa tanah-tanah yang telah mempunyai
sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 dan tanah-tanah dari
masyarakat hukum adat. Dalam penetapan ganti rugi di atas termasuk pula
tanaman-tanaman dan bangunan-bangunan yang berada di atas tanah tersebut.
Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang
ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah menyebutkan bahwa
Tugas Panitia Pembebasan Tanah adalah mengadakan inventarisasi serta
penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanam tumbuh dan bangunanbangunan, mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan
bangunan/tanaman, menaksir besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada
yang berhak, menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang
berhak atas tanah/bangunan/tanaman tersebut. Pasal 4 menyatakan bahwa Panita
Pembebasan Tanah bekerja atas permintaan instansi yang memerlukan tanah.
Instansi yang memerlukan tanah harus mengajukan permohonan pembebasan hak
atas tanah kepada Gubernur Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya,

Universitas Sumatera Utara

dengan mengemukakan maksud dan tujuan penggunaan tanahnya. Permohonan
tersebut harus disertai dengan keterangan-keterangan tentang status tanahnya
(jenis/macam haknya, luas dan letaknya), gambar situasi tanah, maksud dan
tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya, kesediaan untuk
memberikan ganti rugi atau fasilitas-fasilitas lain kepada yang berhak atas tanah.
Tanah-tanah yang akan dipergunakan oleh instansi yang bersangkutan harus
diberi tanda batas yang jelas. Pada gambar situasi tanah, harus dimuat semua
keterangan yang diperlukan, seperti tanda-tanda batas, jalan-jalan, saluransaluran air, kuburan, bangunan-bangunan dan tanaman-tanaman yang ada.
Menurut Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa Setelah menerima
permohonan dari instansi yang bersangkutan, maka Gubernur Kepala Daerah atau
pejabat yang ditunjuk segera meneruskan permohonan tersebut kepada Panitia
Pembebasan Tanah untuk mengadakan penelitian terhadap data dan keteranganketerangan. Jika dianggap perlu, Panitia Pembebasan Tanah dapat memanggil
pihak-pihak yang bersangkutan untuk melengkapi data/keterangan.
Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) menyatakan bahwa di dalam
mengadakan penaksiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi, Panitia
Pembebasan

Tanah

harus

mengadakan

musyawarah

dengan

para

pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di atasnya
berdasarkan harga umum setempat. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus
diperhatikan pula tentang lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya yang dapat
mempengaruhi harga tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas
bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Pertanian setempat. Bentuk ganti rugi dapat

Universitas Sumatera Utara

berupa uang, tanah dan atau fasilitas-fasilitas lain, yang berhak atas ganti rugi itu
ialah mereka yang berhak atas tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya,
dengan berpedoman kepad ahukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan
kebijaksanaan Pemerintah. Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam