Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bekerja,
bekerja secara umum dapat diartikan mengusahakan sesuatu untuk memperoleh
laba atau keuntungan dan dipergunakan untuk mencapai kesejahteraan hidup, atau
dengan kata lain yang dimaksud dengan bekerja adalah keseluruhan pelaksanaan
aktivitas baik jasmani ataupun rohani yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya.
Ketentuan tentang bekerja telah diatur oleh Pemerintah dalam rumusan
Pasal 27 ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa setiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, melihat ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa laki-laki
ataupun perempuan berhak untuk memperoleh pekerjaan tanpa dibeda-bedakan
atau diskriminasi,

4

akan tetapi perempuan yang bekerja perlu mendapat

perlindungan yang bersifat umum dan juga bersifat khusus. 5

Di dalam Undang-undang Dasar 1945 secara normatif dijamin hak setiap
warga negara untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)). Hal ini dipertegas
kembali dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(hasil amandemen kedua) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28A-28J).
Pasal 28D mengamanatkan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta

4

Yayasan Bitra Indonesia, Kertas Posisi Urgensi Peraturan Daerah
Perlindungan Pekerja Rumahan di Sumatera Utara, halaman 16.
5
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan (Bandung: Djambatan, 1983),
halaman 56.

Universitas Sumatera Utara

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (4) menegaskan bahwa perlindungan
(protection), pemajuan (furtherance), penegakan (enforcement), dan pemenuhan
(fulfilment) hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama

pemerintah. 6
Bekerja pada kenyataannya dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi
kriteria tertentu misalnya, cukup umur, pengalaman atau memiliki keahlian
khusus dan setiap orang yang bekerja mereka menyandang predikat sebagai
seorang pekerja,yang dimaksud dengan pekerja adalah setiap orang yang bekerja
baik yang bekerja dengan cara dipekerjakan oleh orang lain atau dalam hal ini
pemberi kerja untuk mendapatkan uang atau penghargaan dalam bentuk lainnya,
hal ini sejalan dengan pendapat Darwan yang menyebutkan bahwa pekerja adalah
orang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang becak sampai
pimpinan perusahaan yang menerima upah sebagai imbalan prestasinya dari
majikan. 7
Pada dasarnya pengklasifikasian pekerja sangat beragam yaitu pekerja
rumah tangga, pekerja kantoran, pekerja pabrik, pekerja mandiri dan pekerja
rumahan, setiap jenis pekerja tersebut memiliki bentuk pekerjaan yang berbeda
dan yang sangat menarik dari pengklasifikasian pekerja tersebut yaitu pekerja
rumahan, adapun definisi dari pekerja rumahan atau home based workers adalah
setiap orang yang mengambil pekerjaan dari para juragan untuk dibawa pulang ke

6


Mumtazz10.wordpress.com diakses pada tanggal 2 Mei 2016.
Darwan Prinst, “Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Bagi
Pekerja Untuk Mempertahankan Hak-haknya)”, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.
7

Universitas Sumatera Utara

rumah, 8 namun pekerja rumahan tidak dijabarkan dalam Undang-undang atau
Peraturan Nasional di Indonesia. Namun dalam Peraturan Internasional, definisi
pekerja rumahan yang diberikan oleh Konvensi ILO tentang Kerja Rumahan,
yaitu “seseorang yang melakukan pekerjaan di dalam rumahnya atau di tempat
lain sesuai dengan pilihannya selain dari tempat kerja pemberi kerja; untuk
pengupahan yang didapatkan dari hasil produk atau jasa yang diinginkan oleh
pemberi kerja.” 9
Fenomena pekerja rumahan bukanlah suatu hal yang baru bahkan pekerja
rumahan sering disebut sebagai pekerja sub-kontrak, hal ini dibuktikan dari
penelitian yang menyatakan bahwa pekerja rumahan sudah ada sejak tahun 1928
di industri tekstil, 10 meskipun demikian pekerja rumahan sering tidak terlihat
sebagai golongan pekerja atau buruh tetapi dianggap sebagai fenomena signifikan
di pasar kerja, dengan ciri khas yaitu:

1. Tidak memerlukan skill yang tinggi
2. Bisa dikerjakan di rumah tanpa meninggalkan tugas sehari-hari
3. Menghasilkan uang dalam waktu tertentu
4. Modal tidak besar

8

Triana Sofiani, Eksistensi Perempuan Pekerja Rumahan Dalam Konstelasi
Relasi Gender, MUWAZAH, 2010, Vol. 2 halaman 198, diakses dari e-journal.stainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/download/17/848 diakses pada tanggal 8
September 2016.
9
Konvensi ILO No. 177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan.
10
ILO MAMPU, Pekerja Rumahan di Indonesia : Hasil dari Penelitiaan
Pemetaan Pekerja Rumahan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa
Timur
dan
Banten,
2015,

halaman
8,
diakses
dari
www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_438251.pdfdiakses pada tanggal 8 September 2016.

Universitas Sumatera Utara

5. Khususnya dilakukan oleh kaum perempuan 11
Agusmidah dalam tulisannya menyebutkan ciri-ciri pekerja rumahan yaitu:
1. Kondisi kerja yang tidak menguntungkan
2. Upah rendah
3. Tidak ada kontrak kerja
4. Tidak ada jaminan sosial
5. Jam kerja panjang
6. Rentan atas resiko kecelakaan kerja 12
Setiap orang yang bekerja sebagai pekerja rumahan menjadikan pekerja
rumahan sebagai sumber pendapatan penting, dan pekerja rumahan memberi
kontribusi penting untuk kesejahteraan keluarga dan masyarakat, mereka
menghadapi berbagai tantangan dalam meningkatkan kondisi hidup dan kerja,

selain itu mereka bekerja di rumah terisolasi dari orang lain, dengan melakukan
pekerjaannya sebagai bagian dari sebuah proses produksi, yang sebagian
dilakukan oleh pemberi kerja atau perusahaan, para pekerja rumahan melakukan
pekerjaannya di rumahnya atau di tempat yang mereka sepakati diluar dari
perusahaan atau tempat pemberi kerja, yang mengakibatkan mereka memiliki
akses terbatas ke informasi dan sumber daya lainnya dan kurang memiliki suara
dan perwakilan untuk berjuang menuju kerja layak, mereka juga memiliki
perlindungan hukum dan sosial yang terbatas dan mereka merupakan salah satu

11

Triana Sofiani, Op.Cit, halaman 198.
Agusmidah, Hak Ekonomi Perempuan: Pekerja Rumahan Dalam Jangkauan
Undang-undang Ketenagakerjaan, Makalah disampaikan dalam Seminar Ilmiah Dies
Natalis USU, 19 Agustus 2016, Medan.
12

Universitas Sumatera Utara

pekerja paling tidak beruntung, 13 ketidakberuntungan tersebut dapat dibuktikan

dari pengeksploitasian pekerja rumahanyang bekerja selama berjam-jam dan
mendapatkan upah di bawah upah minimum dalam sebuah sistem dimana mereka
tidak memiliki daya tawar dan tanpa kepastian kerja. 14
Pekerja rumahan biasanya tidak dimasukkan dalam statistik tenaga kerja.
Selain itu, pekerja rumahan dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Para pekerja
rumahan perempuan selalu menyebut diri mereka sebagai "ibu rumah tangga" atau
"menganggur" (terutama ketika ditanya tentang kegiatan ekonomi mereka selama
sensus penduduk) bahkan ketika mereka bekerja selama berjam-jam. Pekerja
rumahan juga tidak banyak diketahui karena terletak di antara lapangan kerja
sektor formal dan informal.Pekerja rumahan menantang dualisme hukum tenaga
kerja, karena mereka adalah karyawan tanpa pengawasan terikat melalui subkontrak kepada perusahaan-perusahaan formal. Karena dualisme ini, para pekerja
ini tidak dihitung dalam statistik tenaga kerja. 15
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan adalah
Undang-undangPokok Ketenagakerjaan, sebagai kebijakan perlindungan terhadap
buruh yang diberikan Pemerintah dalam bentuk Undang-undang. Seperti yang
diketahui yakni saat pertama kali menyebut kata “pekerja atau buruh” yang
terbesit pertama kali dalam pikiran adalah pekerja atau buruh pabrik. Faktanya
Klasifikasi jenis pekerja terbagi menjadi dua yaitu Pekerja Formal dan Pekerja
Informal, hal ini jelas berada diluar dari pembagian usaha industri berdasarkan
13


Ibid
Yayasan Bitra, Op.cit, halaman 9.
15
http://www.gajimu.com/main/gaji/pekerja-rumah-tangga/Pekerja-Rumahan
diakses pada tanggal 18 Februari 2016.
14

Universitas Sumatera Utara

sektor-sektor yang telah terbagi menurut Pemerintah khususnya dalam penerapan
upah minimum berbasis sektoral.
Meskipun

Undang-undang

Nomor

13


Tahun

2003

Tentang

Ketengakerjaan tidak membedakan antara pekerja formal dan informal, namun
pada prakteknya terjadi pemisahan diantara keduanya, dan kecenderungan
Undang-undang Ketenagakerjaan belum mampu memberikan perlindungan
kepada pekerja informal. 16 Istilah Sektor Informal mulai dikenal dunia di awal
tahun 1970’an dari suatu penelitian ILO di Ghana, Afrika. Sejak saat itu berbagai
definisi dan pengertian dibuat orang.
Pengertian yang populer dari pekerjaan informal pada awalnya adalah
sederhana, yakni suatu pekerjaan yang sangat mudah dimasuki, sejak skala tanpa
melamar, tanpa ijin, tanpa kontrak, tanpa formalitas apapun, menggunakan
sumberdaya lokal, baik sebagai buruh ataupun usaha milik sendiri yang dikelola
dan dikerjakan sendiri, ukuran mikro, teknologi seadanya, hingga yang padat
karya, teknologi adaptatip, dengan modal lumayan dan bangunan secukupnya.
Mereka tidak terorganisir, dan tak terlindungi hukum. 17
Selain


itu,

Ketenagakerjaan

Undang-undang

menjabarkan

Nomor

hubungan

13

kerja

Tahun
sebagai


2003

Tentang

hubungan

yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Walaupun tergantung situasi
masing-masing, biasanya pekerja rumahan memenuhi ketiga unsur tersebut.18

16

Ibid, halaman 1
http://fpbn3.blogspot.co.id/2008/09/sektor-informal-katup-pengaman-dan
sang.html diakses pada tanggal 9 Agustus 2016.
18
Ibid
17

Universitas Sumatera Utara

Praktik pekerja rumahan belakangan ini semakin marak seiring dengan
perkembangan industrialisasi di Indonesia. Praktik ini berlangsung dalam sistem
yang sering dikenal dengan istilah putting out system. Dalam putting-out system,
pemberi kerja meletakkan resiko dan tanggung jawab atas kualitas produksi pada
pekerja rumahan sendiri. Pekerja rumahan seringkali menanggung biaya atas
kesalahan yang mereka buat terhadap produk dengan hanya dibayar untuk
pekerjaan yang memenuhi standar kualitas. Biaya produksi seperti listrik,
peralatan dan perlengkapan, pemeliharaan peralatan, penyimpanan dan bahkan
seringkali biaya yang berkaitan dengan pengambilan dan transportasi bahan dan
produk jadi juga ditanggung oleh pekerja rumahan.
Metode lain mengalihkan resiko pada pekerja rumahan menyangkut
sebuah sistem yang memberikan pembayaran separuh atau sebagian untuk
pekerjaan yang telah diselesaikan.Disini, pekerja melakukan kerja-kerja yang
merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi barang atau jasa, seperti
pekerja pabrik pada umumnya. Bedanya, mereka melakukan kerja tersebut di
rumahnya, setelah menerima pesanan dari pemberi kerja atau perantara.Biasanya,
pemesanan ini diberikan secara borongan dan pekerja menerima upah yang
dihitung berdasarkan jumlah satuan yang dihasilkan.Bahkan terkadang pekerja
rumahan tidak memahami siapa “Pemberi Kerja” mereka.
Walaupun praktik pekerja rumahan ini sudah semakin marak, namun
kebijakan ataupun pengaturan yang khusus tentang pekerja rumahan, termasuk
dalam hal mempekerjakan pekerja rumahan, masih belum banyak dikembangkan.
Alhasil, kebanyakan praktik kerja rumahan yang berlangsung belum memenuhi

Universitas Sumatera Utara

standar-standar ketenagakerjaan yang berlaku dan kondisi kerja para pekerja
rumahan masih memprihatinkan.
Tidak jelasnya status dan hubungan kerja antara pekerja rumahan dan
pemberi kerja semakin mempersulit pekerja rumahan untuk bisa mendapatkan
perlindungan dari Pemerintah. 19 Tidak adanya perlindungan dan pengakuan
hukum dari Pemerintah terhadap pekerja rumahan di Indonesia terlihat dari tidak
adanya peraturan yang mengatur secara khusus mengenai pekerja rumahan. Hal
ini menjadi tantangan tersendiri bagi perjuangan para pekerja rumahan untuk
mendapatkan kejelasan status atas hubungan kerja serta hak dan kewajiban yang
seharusnya didapatkan. Selain itu, kurangnya pengakuan hukum yang eksplisit
terhadap pekerja rumahan sebagai kategori pekerja khusus di dalam Undangundang dan peraturan Indonesia juga tercermin dari tidak adanya data statistik
nasional terhadap pekerja rumahan. Untuk itu perlu adanya dorongan terhadap
Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja rumahan dalam
bentuk kebijakan atau peraturan. 20
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul tentang:
“Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Menurut Undang-undang
Ketenagakerjaan.”
B. Rumusan Masalah
Setelah penulis mengungkapkan hal-hal di atas, maka penulis berkeinginan
untuk meneliti, mempelajari serta membahas tentang Status Hubungan Kerja

19
20

Yayasan Bitra Indonesia, Op.Cit, halaman 2
Ibid, halaman 2

Universitas Sumatera Utara

Pekerja Rumahan Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan. Adapun rumusan
masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pegaturan Pekerja Rumahan Menurut Konvensi ILO No. 177?
2. Bagaimana Perkembangan Pekerja Rumahan di Era Globalisasi?
3. Bagaimana Status Hubungan Kerja Bagi Pekerja Rumahan Berdasarkan
Undang-undang Ketenagakerjaan?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Pengaturan Pekerja Rumahan Menurut Konvensi ILO
No. 177.
b. Untuk mengetahui Perkembangan Pekerja Rumahan di Era Globalisasi.
c. Untuk mengetahui Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Berdasarkan
Undang-undang Ketenagakerjaan.
D. Manfaat Penulisan
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam
memberikan status hubungan kerja bagi pekerja rumahan.
b. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang
pentingnya status hubungan kerja bagi pekerja rumahan.

Universitas Sumatera Utara

E. Keaslian Penulisan
Adapun judul tulisan ini adalah Status Hubungan Kerja bagi Pekerja
Rumahan Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan. Judul Skripsi ini belum
pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau
dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa Fakultas Hukum
USU. Dengan demikian keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
F. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk
memproduksi barang dan/atau jasa yang memiliki usia kerja secara fisik dan
mental dalam bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, 21
lebih lanjut Subijanto mendefinisikan usia kerja yang memenuhi kriteria secara
fisik dan mental yaitu berada dalam usia 15 tahun sampai dengan 64 tahun. 22
Melihat definisi dari tenaga kerja maka dapat diketahui bahwa tenaga kerja
dibagi atas tiga klasifikasi, adapun klasifikasi tersebut yaitu:
1. Klasifikasi tenaga kerja berdasarkan penduduk
Berdasarkan klasifikasi ini tenaga kerja dapat dibedakan lagi menjadi 2
bagian:
a. Tenaga kerja
b. Bukan tenaga kerja
21

Darza, Z.A, Kamus Istilah Bidang Ketenagakerjaan, (Jakarta: Delina Baru,
1995), halaman 114.
22
Subijanto, Peran Negara Dalam Hubungan Tenaga Kerja Indonesia, Jurnal
Pendidikan Dan Kebudayaan (Vol. 17 Nomor 6), 2011, halaman 708.

Universitas Sumatera Utara

2. Klasifikasi tenaga kerja berdasarkan batas kerja
Apabila melihat pembagian tenaga kerja berdasarkan klasifikasi ini maka
tenaga kerja dapat dibedakan menjadi:
a. Angkatan kerja
b. Bukan angkatan kerja
3. Klasifikasi tenaga kerja berdasarkan kualitasnya
Klasifikasi ini membagi tenaga kerja menjadi beberapa bagian, yaitu:
a. Tenaga kerja terdidik
b. Tenaga kerja terlatih
c. Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih
Tenaga kerja yang bekerja dalam proses menghasilkan proses barang dan
jasa disebut sebagai Ketenagakerjaan,Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan merumuskan istilah Ketenagakerjaan sebagai segala hal
yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah
masa kerja, berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
secara garis besarnya hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berkaitan dengan pekerja atau buruh, baik sebelum masa
kerja, maupun sesudah masa kerja.
Abdul Khakim merumuskan hukum ketenagakerjaan berdasarkan unsurunsur yang dimilikinya, yaitu: 23
1. Serangkaian peraturan yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis
2. Mengatur tentang kejadian hubungan kerja antara pengusaha dan buruh
23

Abdul Khakim, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2009), halaman 6.

Universitas Sumatera Utara

3. Adanya orang yang bekerja pada dan dibawah orang lain dengan mendapat
upah sebagai balas jasa
4. Mengatur tentang perlindungan pekerja atau buruh
Dengan kata lain, menurutnya hukum ketenagakerjaan adalah peraturan
hukum yang mengatur hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan
pengusaha atau majikan dengan segala konsekuensinya.
Sehari-hari ada berbagai peristilahan mengenai tenaga kerja (manpower)
seperti buruh, karyawan atau pegawai.Namunsesungguhnya maksud dari
peristilahan tersebut adalah sama, yaitu orang yang bekerja pada orang lain dan
mendapatkan imbalan atas pekerjannya tersebut.24
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Ketenagakerjaan merumuskan Tenaga
Kerja sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat, menurut Abdul Khakim, pengertian yang dirumuskan dalam Undangundang Ketenagakerjaan tersebut belum jelas menunjukkan status hubungan
kerjanya.
Selanjutnya menurut Payman Simanjuntak, tenaga kerja (manpower)
adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan
dan yang melaksanakan kegiatan lain seperti bersekolah, dan mengurus rumah

24

Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2000), halaman 20.

Universitas Sumatera Utara

tangga. Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja menurutnya ditentukan
oleh umurnya. 25
2. Pengertian Hubungan Kerja
Seorang pekerja yang bekerja di suatu perusahaan akan memiliki
hubungan kerja dengan pengusaha, adapun beberapa pengertian dari hubungan
kerja yaitu:
a. Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan, yang dimaksud hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah. 26
b. Menurut Lalu Husni pada dasarnya hubugan kerja adalah hubungan antara
pekerja atau buruh dan pengusaha atau majikan setelah adanya perjanjian
kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pekerja atau buruh)
mengikatkan dirinya pada pihak lain (pengusaha atau majikan) untuk
bekerja

dengan

mendapatkan

upah,

dan

majikan

menyatakan

kesanggupannya untuk memperkerjakan si pekerja atau buruh dengan
membayar upah. 27
c. Menurut Suria Ningsih, hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum
yang dilakukan oleh paling sedikit dua subjek hukum mengenai suatu
pekerjaan tertentu yang diimplementasikan dalam bentuk perjanjian kerja.

25

Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Medan, USU
Press, 2010), halaman 103.
26
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1
angka 15.
27
Zainal Asikin (Ed), Dasar-dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), halaman 65.

Universitas Sumatera Utara

Subjek hukum yang melakukan hubungan kerja dimaksud adalah pemberi
kerja (pengusaha atau majikan) dengan pekerja atau buruh. 28
Adapun beberapa unsur yang tercakup dalam pengertian hubungan kerja
dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang Ketenagakerjaan, yaitu:
a. Hubungan kerja itu adalah hubungan hukum
b. Terdapat dua pihak dalam hubunga kerja sebagai subjek hukum, meliputi
pengusaha dan pekerja atau buruh
c. Hubungan kerja itu diatur di dalam perjanjian kerja
d. Dalam perjanjian kerja diatur apa yang menjadi objek (objek hukum)
berupa pekerjaan, upah dan perintah. 29
3. Pekerja Rumahan
Konvensi ILO Nomor 177 Tahun 1996 Tentang Kerja Rumahan
memberikan pengertian istilah Kerja Rumahan adalah:
“pekerjaan yang dikerjakan seseorang, yang kemudian disebut sebagai
pekerja rumahan”
Dari definisi tersebut kemudian ILO merincikan pekerja rumahan adalah
pekerjaan yang:
1. Di dalam rumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain tempat kerja
pemberi kerja
2. Untuk mendapatkan upah

28

Suria Ningsih, Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, (Medan: USU Press 2013),
halaman 65.
29
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

3. Yang menghasilkan suatu produk atau jasa sebagaimana yang ditetapkan
oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan, bahan
atau input lain yang digunakan,kecuali orang ini memiliki derajat otonomi
dan kemandirian ekonomi yang diperlukan untuk dianggap sebagai pekerja
mandiri menurut undang-undang, peraturan atau putusan pengadilan
nasional.
Pekerja rumahan sering juga dikenal sebagai pekerja borongan yang
melakukan pekerjaannya di rumahnya dan dibayar berdasarkan upah satuan yang
dihasilkan, keberadaan mereka sering tidak tampak bagi umum dan kondisi kerja
mereka masih di bawah standart. Namun sebagai pekerja, pekerja rumahan juga
memiliki hak ketenagakerjaan sebagaimana yang diatur dalam peraturan
ketenagakerjaan. 30
Pengertian pekerja rumahan selain itu sering jugadisalahartikan oleh
masyarakat sebagai pekerja rumah tangga (pembantu rumah tangga), pekerja
mandiri, dan pekerja pabrik, padahal terlepas dari siapa yang menyediakan alat,
bahan baku dan input lainnya, dapat diketahui penggolongan atau perbedaan
pekerja tersebut, adapun perbedaan-perbedaan antara pekerja rumahan dengan
pekerja lain seperti pekerja mandiri, pekerja rumah tangga dan pekerja pabrik
dapat dilihat dalam tabel berikut 31

30

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_318038.pdf, diakses pada tanggal 18 Maret 2016.
31
MAMPU Brown Bag Lunch Disscussion, Pekerja Rumahan bukan Pekerja
Murahan diakses pada tanggal 22 April 2015.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 1
Tabel Perbedaan antara pekerja rumahan dengan pekerja lain
Karateristik

Pekerja
Rumahan
Tempat Kerja Rumah
sendiri atau
tempat lain
selain tempat
kerja pemberi
kerja
Kepada siapa Perantara,
mereka
pemberi kerja
bekerja
Pengupahan
Untuk
pekerjaan
(biasanya per
potong)
Sarana
Disediakan
sendiri, atau
produksi
sebagian
disediakan
oleh pemberi
kerja
Pengawasan
Tidak
langsung atau
tidak
ada
pengawasan
Sumber : MAMPU, 2015

Pekerja
Mandiri
Rumah
sendiri atau
tempat lain
yang
disediakan
sendiri
Diri sendiri

Pekerja Rumah Pekerja
Tangga
Pabrik
Rumah majikan Pabrik

Dari
penjualan
barang/jasa

Untuk pekerjaan Untuk
(waktu)
pekerjaan
(waktu atau
per potong)
Disediakan oleh Disediakan
majikan
oleh
pengusaha

Disediakan
sendiri

Mandiri

Majikan

Pengawasan
langsung

Perusahaan/
pengusaha

Pengawasan
langsung

4. Hak-hak Dasar Ketenagakerjaan
Sebagaimana yang dilindungi Undang-undang, pekerja rumahan memiliki
hak-hak ketenagakerjaan dasar, seperti :
1. Kontrak Kerja
Pekerja rumahan dapat mengikatkan diri pada sebuah kontrak kerja
melalui perjanjian yang lisan maupun tulisan. Namun meskipun tanpa kontrak
kerja tertulis, pekerja rumahan memiliki hak ketenagakerjaan dan hak atas
tunjangan seperti yang dijamin oleh Undang-undang Ketenagakerjaan dan

Universitas Sumatera Utara

peraturan ketenagakerjaan lainnya, ketentuan mengenai perjanjian kerja yang
diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan dirumuskan dalam Pasal 50 sampai
dengan Pasal 66.
2. Perlakuan Setara dan Non–diskriminatif
Rumusan Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan merumuskan bahwa setiap pekerja berhak untuk menndapatkan
perlakuan yang setara tanpa diskriminasi dari majikannya, begitupula dengan
pekerja rumahan yang harus diperlakukan samadengan pekerja biasa pada
umumnya.Persyaratan ketenagakerjaan berikut tunjangan dan haknya juga harus
berlaku untuk pekerja rumahan.
3. Kebebasan Berorganisasi dan Membuat Kesepakatan Kerja Bersama
Pekerja rumahan, sebagai pekerja, berhak untuk berkumpul dan
membentuk serikat pekerja. Mereka juga berhak untuk terlibat dalam penyusunan
kesepakatan kerja bersama dengan pihak pemberi kerja untuk mengusung hak dan
kepentingannya, hal ini diatur dalam Pasal 104 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan.
4. Upah
Setiap pekerja, termasuk pekerja rumahan, berhak memperoleh upah atas
kerja yang dilakukannya. Pengupahan ini harus cukup untuk menyokong dirinya
dan keluarganya, dan tidak boleh dihitung di bawah upah minimum. Pekerja
rumahan berhak untuk mendapat informasi tentang upahnya dan aturan tentang
pemotongan upah sebelum melakukan pekerjaan. Pekerja rumahan berhak untuk
menerima upah tersebut secara penuh pada waktu yang telah ditentukan, hal ini

Universitas Sumatera Utara

diatur dalam Pasal 88-98 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan.
5. Jam kerja
Ketentuan umum tentang jam kerja adalah 40 jam seminggu. Bagi pekerja
rumahan, ini berarti bahwa pesanan kerja yang diterima tidak boleh melebihi masa
kerja 40 jam seminggu, kecuali telah disepakati oleh pekerja dan upah lembur
berlaku bagi jam kerja tambahan diluar 40 jam kerja tersebut. Pekerja rumahan
berhak menolak pesanan kerja jika itu membuat mereka bekerja untuk waktu kerja
yang berlebihan, hal ini diatur dalam Pasal 77-78 Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
6. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Setiap pekerja harus diperlengkapi dengan peralatan untuk melindungi
mereka dari kecelakaan kerja. Ini berarti pemberi kerja/perantara berkewajiban
untuk melakukan penilaian terhadap kesehatan dan keselamatan kerja terhadap
pekerja rumahan dan menyediakan perlengkapan perlindungan yang dibutuhkan
dan pelatihan untuk mengurangi resiko kecelakaan kerja, hal ini diatur dalam
Pasal 86-87 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
7. Perlindungan dan jaminan sosial
Setiap pekerja, terlepas dari statusnya yang sementara, harian, lepas atau
musiman harus diikutsertakan dalam program jaminan sosial dan menerima
kontribusi dari majikan. Ini berarti pekerja rumahan, terlepas dari frekuensi
pesanannya, harus diikutsertakan oleh majikan/perantaranya dalam program
jaminan sosial. Majikan atau perantara juga bertanggungjawab untuk memberikan

Universitas Sumatera Utara

kontribusi dalam skema bagi pekerja rumahan, hal ini diatur dalam Pasal 99-101
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
8. Usia minimum
Anak-anak berusia 13-15 dapat diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan
yang tidak mengganggu pekerjaan fisik, mental dan sosial; tidak melebihi 3 jam
sehari dan tidak mengganggu kehadiran di sekolah. Pemberi kerja harus
memastikan bahwa pekerjaan yang diberikan bersifat wajar dan tidak
mengharuskan si pekerja rumahan untuk mencari bantuan dari anak-anaknya
untuk memenuhi kuota produksi, hal ini diatur dalam Pasal 68-75Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 32
G. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan
dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan
menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai
tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni:
1. Tipe Penelitian
Peneltian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif empiris,
yaitu produk perilaku hukum 33 dengan cara menganalisis suatu fenomena pekerja
rumahan dan produk Hukum yang dalam hal ini Undang-undang Nomor 13 tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan kemudian fenomena tersebut dilihat dalam artian

32

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_318038.pdf diakses pada tanggal 20 Februari 2016.
33
Albdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1 (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2004), halaman 52.

Universitas Sumatera Utara

yang nyata atau dapat dikatakan meneliti bagaimana bekerjanya hukum di
masyarakat.
Langkah dalam melakukan penelitian tersebut, yaitu pertama dilakukan
penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu
inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan Undang-undang Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kemudian penelitian tersebut
disempurnakan dengan penelitian empiris melakukan wawancara dan penyebaran
kuisioner.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan
pustaka (data sekunder),

34

kemudian untuk kelengkapan data empiris

dilakukanlah wawancara dan penyebaran kuisioner.
A. Data Primer
Data primer merupakandata yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan,
merupakan data penunjang yang berhubungan dengan penelitian.
B. Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder;
dan bahan hukum tersier. 35
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri
dari:Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar
34

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), halaman 12.
35
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 118.

Universitas Sumatera Utara

Republik Indonesia 1945, Undang-undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, diantaranya:Buku-buku yang terkait
dengan hukum, Artikel di jurnal hukum, Komentar-komentar atas putusan
pengadilan, Skripsi, Tesis dan Disertasi Hukum, Karya dari kalangan
praktisi hukum ataupun akademis yang ada hubungannya dengan
penelitian ini.
3. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau
penjelasan

terhadap

bahan

hukum

primer

dan

sekunder,

diantaranya:Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia, Majalah-majalah
yang ada hubungannya dengan penelitian ini, Surat kabar yang terkait
dengan pembahasan dalam skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka
digunakan metode pengumpulan data dengan cara: Studi Kepustakaan dan
wawancara serta penyebaran kuisioner, adapun yang dimaksud dengan studi
kepustakaan yaitu mempelajari dan menganalisis secara sistematis buku-buku,
surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan

Universitas Sumatera Utara

bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi
ini, sedangkan yang dimaksud dengan wawancara yaitu mengumpulkan data
dengan cara komunikasi dua arah dengan adanya narasumber sebagai pemberi
informasi.
4. Analisis Data
Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya

dalam

suatu

pola,

kategori,

dan

satuan

uraian

dasar. 36Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas
dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif
dilakukan guna mendapatkan data yang berdigat deskriptif analistis, yaitu datadata yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahamam terhadap materi dari skripsi ini dan agar
tidak terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis
membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa subsub bab.
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I

PENDAHULUAN

36

Patton membedakan proses analisi data dengan penafsiran, yaitu memberikan
arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari pola
hubungan antar dimensi-dimensi uraian. Lexy J Moeleong, Metodologi Penelitian
Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), halaman 103.

Universitas Sumatera Utara

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang
Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan,
Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II

PENGATURAN PEKERJA RUMAHAN MENURUT
KONVENSI ILO NO. 177
Bab ini berisikan tentang Konvensi Sebagai Produk ILO
dan Daya Ikatnya Bagi Negara-negara Anggota, Pekerja
Rumahan Menurut Konvensi ILO No. 177

BAB III

PERKEMBANGAN PEKERJA RUMAHAN DI ERA
GLOBALISASI
Bab ini berisikan tentang Pekerja Rumahan di Indonesia,
Pekerja Rumahan di Beberapa Negara, Pekerja Rumahan
Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan.

BAB IV

STATUS HUBUNGAN KERJA BAGI PEKERJA
RUMAHAN MENURUT UNDANG-UNDANG
KETENAGAKERJAAN
Bab ini berisikan tentang Status Hubungan Kerja Pekerja
Rumahan dengan Pemberi Kerja, Dampak Hukum dari
Ketidakjelasan Hubungan Kerja Bagi Pekerja Rumahan,
Partisipasi Masyarakat Dalam Penguatan Perlindungan
Pekerja Rumahan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Universitas Sumatera Utara

Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan
skripsi ini, dimana dalam Bab V ini berisikan kesimpulan
dan saran-saran dari penulis.

Universitas Sumatera Utara