Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan Menurut Undang-undang Ketenagakerjaan Chapter III V

BAB III
PERKEMBANGAN PEKERJA RUMAHAN DI ERA GLOBALISASI
A. Pekerja Rumahan di Indonesia
Dewasa ini pekerja rumahan menjadi pusat perhatian masyarakat dan
menjadi fenomena yang berkembang pesat di Indonesia,padahal pekerja rumahan
telah ada di Indonesia sejak lama, hal ini dapat dibuktikan dari pernyataan
Koordinator Program Trade Union Rights Center (TURC), I Gede Pandu,
mengatakan pekerja rumahan sudah sejak lama dikenal dalam masyarakat
Indonesia, ia menyebutkan bahwa bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja
rumahan adalah melaksanakan pekerjaan bukan di pabrik atau perusahaan tapi di
rumah si pekerja rumahan itu sendiri atau di tempat lain yang bukan milik
pemberi kerja. 46
Perkembangan pekerja rumahan mayoritas dilakukan oleh seorang
perempuan khususnya ibu rumah tangga,hal ini diperkuat dengan penelitian
pengambilan sampel pembagian pekerja rumahan di Indonesia oleh ILO yang
mempekerjakan perempuan

sebagai pekerja rumahan terbanyak terbagi atas

beberapa wilayah, yaitu Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta,
Jawa Timur, Banten 47, khususnya untuk wilayah Sumatera Utara jumlah pekerja

rumahan diperkirakan mencapai ribuan orang, hal ini disampaikan oleh Direktur
Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Badan Perencanaan

46

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt571067a950528/pekerja-rumahanbutuh-perlindungan diakses pada tanggal 5 September 2016.
47
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_438251.pdf diakses tanggal 5 September 2016.

Universitas Sumatera Utara

Pembangunan Nasional (Bappenas), 48 sedangkan di Kota Medan dan Kabupaten
Deli Serdang total pekerja rumahannya adalah 446 orang, dengan jumlah pekerja
rumahan perempuan jauh lebih banyak dibandingkan dengan laki laki, dengan
upah maksimum Rp 200.000 setiap minggunya setara dengan Rp 800.000
sebulannya, sangat jauh dibawah upah minimum Provinsi Sumatera Utara yang
mencapai Rp 1.625.000 (2015). 49
Sesuai dengan penelitian diatas dapat diketahui bahwa intensitas pekerja
rumahan perempuan lebih banyak dibanding dengan pekerja rumahan laki-laki
karena mereka adalah perempuan dan sangat terkait dengan posisi relasi gender

yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan sehingga harus berkiprah di
bidang sektor domestik,

50

selain itu tingginya intensitas pekerja rumahan

perempuan diakibatkan karena pekerjaan tersebut telah diwariskan secara turuntemurun atau dapat dikatakan pekerja rumahan merupakan warisan dari keluarga
mereka. 51
Adapun persoalan yang sering dihadapi oleh pekerja rumahan antara lain:
1. Tak ada perjanjian tertulis/kontrak
2. Tak ada posisi tawar
3. Upah dibawah UMK

4. Jam kerja yang seringkali panjang
5. Tidak ada jaminan pekerjaan atau pendapatan yang tak tentu
6. Tidak ada jaminan sosial
48

https://www.jurnalasia.com/ragam/pekerja-rumahan-di-sumut-bentuk-sp/

diakses pada tanggal 8 September 2016.
49
Yayasan Bitra Indonesia, Op.Cit, halaman 8.
50
Triana Sofiani, Op.Cit, halaman 198.
51
Agusmidah, Op.cit

Universitas Sumatera Utara

7. Tidak ada perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja
8. Tidak ada perlindungan maternal (kehamilan, melahirkan dan menyusui)
9. Tidak ada mekanisme untuk penyelesaian perselisihan
10. Hambatan untuk membentuk atau menjalankan aktivitas serikat pekerja
11. Keterlibatan pekerja anak
12. Ikut menanggung sebagian biaya produksi dan resiko yang umumnya

merupakan tanggung jawab pemberi kerja 52
Selain persoalan kondisi kerja diatas, secara umum pekerja rumahan juga
menghadapi tantangan utama, yaitu:

1.

Invisible/tidak nampak (dalam hal representasi, kebijakan, program,
anggaran, dsb.)

2.

Tercakup

dalam Undang-undang

Nomor

13

Tahun 2003

Tentang

Ketenagakerjaan, namun pada kenyataannya tidak menerima hak dan

perlindungan seperti yang diatur di dalam Undang-undang.
3.

Sering tidak dikenal sebagai pekerja, dan sering tidak menyadari
keberadaannya sebagai pekerja

4.

Tersebar dan tidak teroganisir, kurang kesadaran dan kemampuan untuk
menegakkan hak

5.

Rantai pasokan yang rumit dan perantara yang berlapis sehingga hubungan
kerja yang sering “samar” dan kondisi kerja mereka sulit untuk dipantau dan
diawasi. 53

52
53


Yayasan Bitra Indonesia, Op.Cit
Ibid

Universitas Sumatera Utara

B. Pekerja Rumahan di Beberapa Negara
Keberadaan pekerja rumahan tidak hanya terdapat di Indonesia, akan
tetapi permasalahan pekerja rumahan juga terdapat di negara-negara lain, terutama
negara berkembang seperti: Chili, Thailand, Filipina dan India.
1. Chili
Chili merupakan sebuah negara berkembang dan berdaulat di Benua
Amerika yang terletak di bagian tenggara Amerika Selatan, nama resmi negara ini
yaitu Republik Chili (bahasa Spanyol: República de Chile) yang berarti dimana
tanah berakhir, selain itu Chili juga dikenal dengan nama Pais de poetas yang
berarti negara penyair dan ibu kota negara ini terletak di Kota Santiago, 54 sebagai
penyandang status negara berkembang Chili memiliki permasalahan di bidang
perekonomian yang mulai mengalami perlambatan semenjak tahun 1999, selain
itu Chili juga memilki permasalahan penting di bidang perburuhan.
Permasalahan yang dihadapi Chili di bidang perburuhan dapat dilihat dari
memihaknya


sistem

kepada

suatu

kelompok

elite

tertentu

sehingga

mengenyampingkan pekerja kecil seperti buruh, hal ini dibuktikan dari banyaknya
pekerja rumahan yang dipekerjakan oleh pengusaha tanpa adanya perhatian yang
lebih dari Pemerintah dalam masalah perlindungan hak, hal ini dapat dilihat dari
adanya suatu peraturan yang berbentuk Undang-undang yang mengatur tentang
pekerja rumahan, akan tetapi peraturan tersebut belum dapat memberikan

kepastian hukum kepada pekerja rumahan.

54

https://id.wikipedia.org/wiki/Chili diakses pada tanggal 1 September 2016.

Universitas Sumatera Utara

Bentuk dari ketidakpastian hukum terhadap pekerja rumahan di Chili dapat
dibuktikan dari perumusan Undang-undang Ketenagakerjaan yang membuat
pengecualian terhadap pekerja rumahan jarak jauh yang membentuk kontrak jarak
jauh dengan pengusaha agar dapat bekerja di rumah dan tetap memiliki hak-hak
ketenagakerjaan dan jaminan sosial mereka, meskipun demikian pekerja rumahan
tetap tidak mendapatkan pengakuan hukum yang efektif, demikian pula dengan
pekerja mandiri yang didiskualifikasi dari perlindungan tenaga kerja karena
mereka dianggap sebagai pengusaha mikro mandiri, namun ada satu ketentuan
dalam Undang-undang

Ketenagakerjaan (Pasal 216)


yang memfasilitasi

pengorganisasian pekerja.
Kurangnya kepastian hukum dari peraturan Pemerintah mengenai pekerja
rumahan di Chili tersebut mengakibatkkan munculnya lembaga pekerja rumahan
yang bernama Centro de Capacitation para la Mujer Trabajadora, atau
PusatPelatihan Pekerja Perempuan (CECAM) yang merupakan lembaga non
pemerintah yang berjuang melindungi hak pekerja rumahan dan bekerja keras
untuk memperjuangkan hak-hak pekerja rumahan agar tidak terlindas, selain itu
CECAM juga menggerakkan para pekeerja rumahan untuk mendirikan sebuah
serikat pekerja agar tidak bergantung pada seorang pemberi kerja. 55
2. Thailand
Kerajaan Thai , yang lebih sering disebut Thailand dalam bahasa Inggris,
atau dalam bahasa aslinya Mueang Thai (dibaca: "meng-thai", sama dengan versi
Inggrisnya, berarti "Negeri Thai"), adalah sebuah negara berkembang di Asia
55

Francesco d’Ovidio, Pekerja berbasis rumahan: Kerja layak dan perlindungan
sosial melalui organisasi dan pemberdayaan.


Universitas Sumatera Utara

Tenggara yang

berbatasan

dengan Laos dan Kamboja di

timur, Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di
barat. Kerajaan Thai dahulu dikenal sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949.
Kata "Thai" berarti "kebebasan" dalam bahasa Thai, namun juga dapat merujuk
kepada suku Thai, sehingga menyebabkan nama Siam masih digunakan di
kalangan warga negara Thai terutama kaum minoritas Tionghoa.
Sebagai salah satu negara berkembang seperti Chili, negara Thailand juga
memiliki permasalahan di bidang perburuhan seperti di bidang pekerja rumahan,
definisi pekerja rumahan di Thailand pada dasarnya hampir sama dengan definisi
pekerja rumahan di negara lain yang membedakan adalah lembaga yang
melindungi pekerja rumahan tersebut, adapun lembaga tersebut yaitu HomeNet
(Jaringan pekerja berbasis rumahan dan organisasi pendukungnya di lingkup
negara atau di tingkat regional atau internasional), FLEP (Yayasan untuk Promosi

Tenaga Kerja dan Lapangan Kerja) dan HNTA (Asosiasi HomeNet Thailand,
organisasi pekerja berbasis rumahan dan ekonomi informal berbasis keanggotaan
Thailand).
Pekerja berbasis rumahan dan pekerja informal lain pada umumnya tidak
terlindung di bawah Undang-undang Ketenagakerjaan Thailand yang utamanya
mencakup pekerja dalam hubungan formal pemberi kerja-pekerja. Namun, karena
advokasi kebijakan oleh, antara lain, HomeNet Thailand dan FLEP, Kementerian
Tenaga Kerja mengeluarkan sebuah Peraturan Menteri tentang Perlindungan
Pekerja rumahan B.E. 2547 (2004), untuk secara resmi mengakui pekerja
rumahan dan melindungi hak-hak mereka. Peraturan tersebut menetapkan:

Universitas Sumatera Utara

a. Pekerja rumahan harus berusia sekurang-kurangnya 15 tahun. Pemberian kerja
kepada seseorang yang berusia di bawah 15 tahun sebagai pekerja rumahan
dilarang keras.
b. Pemberi kerja harus membuat kontrak kerja, memberikan satu salinan kepada
pekerja, dan memilikinya yang siap untuk diperiksa oleh petugas pengawasan
ketenagakerjaan.
c. Pemberi kerja dilarang memberikan pekerjaan berbahaya kepada pekerja
rumahan.
d. Jika pemberi kerja tidak mematuhi undang-undang yang berlaku, pekerja
memiliki hak untuk mengadukan kepada pejabat pengawasan ketenagakerjaan
atau Pengadilan Perburuhan. Pelanggaran terhadap Peraturan tersebut dianggap
sebagai tindak pidana.
e. Pemberi kerja dilarang melakukan diskriminasi dalam pekerjaan dan harus
mematuhi prinsip persamaan perlakuan antara pekerja laki-laki dan perempuan
berkaitan dengan pengupahan.
Perlindungan terhadap pekerja rumahan dipantau oleh Departemen
Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Kerja, Kemenaker, yang kemudian
menyusun draft Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumahan dan Undangundang ini mulai diberlakukan pada bulan Mei 2012 dengan ketentuan penting
sebagai berikut:
1. Pekerjaan rumahan diakui sebagai pekerjaan dan sebagai bagian dari usaha
industri.

Universitas Sumatera Utara

2. Perselisihan ketenagakerjaan antara pemberi kerja dan pekerja rumahan berada
di bawah yurisdiksi pengadilan perburuhan.
3. Pekerja rumahan harus dibayar dengan upah yang sama untuk pekerjaan
dengan jenis, kualitas dan kuantitas serupa dan harus mendapatkan upah yang
sama dengan yang diterima oleh pekerja yang dilindungi oleh undang-undang
ketenagakerjaan, tanpa memandang apakah pekerja rumahan tersebut adalah
laki-laki atau perempuan.
4. Perempuan hamil atau anak-anak di bawah usia 15 tahun dilarang bekerja
dalam pekerjaan berbahaya atau tidak aman.
5. Pekerja rumahan dilarang dipekerjakan untuk bekerja dengan zat-zat berbahaya
atau melaksanakan pekerjaan yang bisa berdampak pada kesehatan,
keselamatan atau lingkungan.
6. Seorang pemberi kerja bertanggung jawab atas perawatan medis dan biaya
pemakaman pekerja rumahan yang terluka atau meninggal karena pekerjaan
rumahan tersebut, dan bahaya kerja atau cedera karena kerja tidak karena
kesengajaan atau kelalaian pekerja rumahan.
7. Sebuah Komite Pekerjaan Rumahan akan dibentuk untuk mengusulkan
kebijakan tentang perlindungan, promosi dan pengembangan pekerja rumahan.
Komite tersebut akan beranggotakan 5 perwakilan dari Kementerian Tenaga
Kerja, 1 perwakilan dari Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Tenaga
Kerja akan menunjuk 3 perwakilan pengusaha, 3 perwakilan pekerja rumahan,
dan 3 perwakilan ahli hukum, ekonomi keuangan, atau lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

8. Kementerian Tenaga Kerja akan melakukan pengawasan ketenagakerjaan
melalui inspektorat ketenagakerjaannya.
Dalam pandangan FLEP dan HNTA, ada beberapa celah besar dalam
Undang-undang tersebut yang perlu ditangani. Ini meliputi:
a. Definisi pekerja rumahan harus jelas dan mencakup berbagai jenis pekerjaan
rumahan yang ada, yang meliputi industri manufaktur, kerajinan tangan dan
jasa.
b. Jika tidak ada mekanisme pemantauan standar, ada kemungkinan bahwa
mediasi akan mewakili kepentingan pengusaha atau kontraktor alih-alih
kepentingan pekerja rumahan. Oleh karena itu, Komite Mediasi Perselisihan
harus dibentuk, yang beranggotakan organisasi pemerintah daerah dan ahli
ketenagakerjaan, untuk menyelesaikan perselisihan melalui mediasi.
c. Ahli hak ketenagakerjaan dan hak asasi manusia harus ditambahkan ke Komite
Pekerjaan Rumahan di samping para ahli hukum, ekonomi keuangan, atau
lingkungan untuk memastikan orientasi berbasis hak di dalam Komite tersebut.
d. Partisipasi masyarakat harus didorong dengan merekrut relawan pengawas
ketenagakerjaan lokal sebagai asisten untuk pengawas ketenagakerjaan.
e. Langkah-langkah untuk promosi dan pengembangan pekerja rumahan harus
ditetapkan sebagai hak hukum. 56
3. Filipina
Filipina atau Republik Filipina (Republika ng Pilipinas) adalah sebuah
negara republik di Asia Tenggara, sebelah utara Indonesia, dan Malaysia. Filipina

56

Francesco d’Ovidio, Op.Cit, halaman 14-16.

Universitas Sumatera Utara

merupakan sebuah negara kepulauan yang terletak di Lingkar Pasifik Barat,
negara ini terdiri dari 7.107 pulau, dan negara ini menopang perekonomiannya
pada sistem agraris.
Sebagai salah satu negara agraris paling maju di benua Asia, negara
Filipina memiliki kelemahan di bidang pertumbuhan ekonomi, korupsi dan
ketenagakerjaan, salah satu bentuk permasalahan di bidang ketenagakerjaan yang
dihadapi oleh Filipina yaitu permasalahan tenaga kerja asing dan pekerja
rumahan, untuk menanggulangi hal tersebut banyak lembaga swadaya masyarakat
yang muncul untuk melindungi hak pekerja tersebut, di bidang pekerja rumahan
diawasi dan didukung oleh PATAMABA (Pambansang Kalipunan ng mga
Manggagawang Impormal sa Pilipinas atau Jaringan Pekerja Informal Nasional,
Filipina sejak bulan Mei 2003, dulunya Pambansang Tagapag-ugnay ng
Manggagawa sa Bahay atau Jaringan Nasional Pekerja Berbasis Rumahan).
PATAMABA dalam menjalankan visi dan misinya melindungi pekerja
rumahan menyelenggarakan kongres pembentukan pekerja rumahan dalam rangka
meningkatkan kesadaran pekerja rumahan lembaga pemerintah dan masyarakat
umum mengenai kebutuhan dan prioritas pekerja rumahan, adapun tujuan akhir
dari PATAMABA adalah membayangkan sebuah bangsa yang bebas, damai,
sejahtera dan demokratis, di mana semua orang menikmati hak asasi manusia,
dengan gaya hidup yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan pemberdayaan
pekerja yang aktif dan komprehensif di perekonomian informal menuju
kemandirian individu dan kolektif. Melalui pengembangan kapasitas dan
pengorganisasian berkelanjutan, organisasi ini berusaha untuk:

Universitas Sumatera Utara

a. Memastikan hak dan meningkatkan kondisi ekonomi, politik dan sosial pekerja
di perekonomian informal.
b. Mengintegrasikan hak, kebutuhan dan kepentingan perempuan dalam
kebijakan dan programnya.
c. Membangun jaringan dan hubungan nasional dan internasional untuk
mobilisasi

sumber

daya,

pengembangan

kapasitas,

perencanaan

dan

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi berbagai program dan proyek
pembangunan untuk keberlanjutan dan kemandirian.
d. Berperan sebagai kendaraan untuk memulai dan mendukung kegiatan yang
menangani kebutuhan pekerja informal melalui cabang lokalnya di seluruh
negeri. 57
4. India
Republik

India adalah

sebuah negara di Asia yang

memiliki

jumlah

penduduk terbanyak kedua di dunia, dengan populasi lebih dari satu miliar jiwa,
dan adalah negara terbesar ketujuh berdasarkan ukuran wilayah geografis. Jumlah
penduduk India tumbuh pesat sejak pertengahan 1980-an. Ekonomi India adalah
terbesar keempat di dunia dalam PDB, diukur dari segi paritas daya beli (PPP),
dan salah satu pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. India, negara dengan
sistem demokrasi liberal terbesar di dunia, juga telah muncul sebagai kekuatan
regional yang

penting,

memiliki kekuatan

militer

terbesar,

dan

memiliki kemampuan senjata nuklir.

57

Francesco d’Ovidio, Op.Cit, halaman 19-20.

Universitas Sumatera Utara

Sebagai negara berkembang India mempertahankan peradaban kuno
seperti Peradaban Lembah Sungai Indus dan merupakan tempat kelahiran dari
empat agama utama dunia: Hindu, Buddha, Jainisme, dan Sikhisme, Negara ini
merupakan bagian dari Britania Raya sebelum meraih kemerdekaan pada 1947, 58
sama seperti negara berkembang lainnya, India memiliki organisasi mengenai
pekerja rumahan yaitu SEWA mendefinisikan diri sebagai sebuah organisasi dan
juga sebuah gerakan, yang berakar pada gerakan buruh, gerakan koperasi dan
gerakan perempuan. “Ini adalah gerakan pekerja mandiri; gerakan lokal mereka
sendiri dengan perempuan sebagai pemimpin. Melalui gerakan mereka sendiri,
perempuan menjadi kuat, terlihat dan kontribusi ekonomi dan sosial mereka yang
luar biasa mendapatkan pengakuan.”
SEWA memiliki dua tujuan dasar: Pekerjaan penuh dan kemandirian
anggota. Pekerjaan penuh berarti pekerjaan dimana pekerja memperoleh jaminan
pekerjaan, jaminan pendapatan, jaminan pangan, dan jaminan sosial (sekurangkurangnya perawatan kesehatan, penitipan anak dan tempat tinggal). Demikian
pula, kemandirian berarti bahwa para perempuan mandiri dan bisa mengandalkan
diri sendiri, secara individu dan kolektif, baik secara ekonomi maupun dalam hal
kemampuan pengambilan keputusan mereka. Para anggota percaya bahwa
pekerjaan penuh dan kemandirian meningkatkan daya tawar pekerja. SEWA telah
menciptakan organisasi pekerja rumahan berbasis anggota, yang bekerja membuat
bidi (rokok lokal), batang dupa, pakaian, lilin, layang-layang, kembang api,
produk pertanian atau hutan, dll. Pada tahun 2012, jumlah anggota SEWA di

58

https://id.wikipedia.org/wiki/India diakses pada tanggal 2 September 2016.

Universitas Sumatera Utara

seluruh negeri meningkat menjadi 1,4 juta. Di Ahmedabad, Gujarat, kampung
halaman SEWA, saja, jumlah anggota pada tahun 2012 adalah 396.654, yang
hampir 121.000 di antaranya adalah PBR. Saat ini, SEWA diakui sebagai serikat
pekerja nasional dan organisasi dengan anggota perempuan yang unik di
perekonomian informal. Basis anggota SEWA berada pada titik 1,7 juta anggota
perempuan, sepertiga dari daerah perkotaan dan dua pertiga dari daerah perdesaan
yang tinggal dan bekerja di 15 kabupaten di Negara Bagian Gurajat dan sembilan
negara bagian lain di India.
Dalam proses pengorganisasian perempuan untuk mata pencaharian
berkelanjutan dan kemandirian, SEWA membuka beberapa lembaga kembaran,
yang dibentuk oleh anggota SEWA untuk mengejar tujuan-tujuan tertentu,
misialnya advokasi kebijakan, akses ke kredit dan dukungan pemasaran,
pengembangan koperasi, pengembangan kapasitas dan dukungan perumahan.
Daftar lembaga kembaran utama SEWA adalah sebagai berikut:
1. Banyak anggota SEWA membentuk asosiasi distrik, misalnya, anggota SEWA
dari distrik Kheda dan Anand membentuk Kheda Jilla Swashrayi Mahila Sewa
Bachat Mandal (Asosiasi Tabungan Perempuan Pekerja Mandiri Distrik
Kheda).
2. Federasi Koperasi Gujarat SEWA merupakan federasi lebih dari 120
masyarakat koperasi perempuan yang dibentuk oleh anggota SEWA untuk
menghasilkan pendapatan di Negara Bagian Gujarat.
3. Bank Koperasi SEWA menyediakan berbagai macam produk pinjaman untuk
memenuhi kebutuhan kredit produktif dan kebutuhan darurat nasabahnya.

Universitas Sumatera Utara

4. Jaring Pengaman Sosial SEWA menyediakan asuransi perawatan anak,
perawatan kesehatan dan jenis-jenis asuransi sosial lain bagi para anggotanya.
5. Akademi Perempuan Pekerja Mandiri India (Indian Academy of Self
Employed Women, IASEW), sebelumnya dikenal sebagai Akademi SEWA
berfungsi sebagai universitas dan memberikan pelatihan, melek huruf,
penelitian dan komunikasi kepada PBR, organisator dan pemimpin mereka dan
anggota organisasi dukungan dan pemerintah dari India dan negara lain.
6. Dewan Nasional SEWA (SEWA National Council, SNC) didirikan untuk
memulai prakarsa advokasi tingkat nasional dan untuk memandu dan
memantau badan-badan perempuan dari sektor informal di tingkat negara
bagian.
7. SEWA Bharat di Delhi mengkoordinasikan program dan kegiatan SEWA di
berbagai negara bagian di tingkat nasional.
8. SEWA Gram MahilaHaat didirikan oleh anggota SEWA untuk memasarkan
dan mendistribusikan produk-produk pertanian dari anggota SEWA dari daerah
perdesaan.
9. Pusat Fasilitasi Perdagangan SEWA memberikan dukungan pemasaran untuk
membantu produsen akar rumput mengakses pasar-pasar global arus utama.
10. SEWA Mahila Housing Trust adalah perserikatan amal yang didirikan oleh
anggota SEWA untuk memberikan dukungan perumahan kepada anggota.59

59

Francesco d’Ovidio, Op.Cit, halaman 23-24.

Universitas Sumatera Utara

C. Pekerja Rumahan Berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan
Pekerja rumahan atau buruh rumahan di Indonesia tidak secara eksplisit
didefinisikan di dalam regulasi ketenagakerjaan nasional yaitu Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 maupun dalam statistik nasional,definisi atau pemahaman
tentang pekerja rumahan tersebut diartikan berbeda di kalangan pengambil
kebijakan, masyarakat umum, dan bahkan kadang-kadang di kalangan pekerja
rumahan sendiri, akan tetapi definisi pekerja rumahan dapat dipedomani dari
rumusan Pasal 1 angka2 dan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu:
1. Pasal 1 angka 2: Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
2. Pasal 1 angka 3: Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. 60
Melihat kepada pengaturan hukum pekerja rumahan yang tidak diatur
dalam Undang-undang Ketenagakerjaan mengakibatkan beberapa Lembaga
Swadaya Masyarakat berusaha membentuk suatu draft yang diajukan kepada
Pemerintah Daerah dalam rangka perlindungan dan kepastian hukum kepada
pekerja rumahan, adapun isi draft tersebut, yaitu dapat dilihat dari lampiran
penelitian ini.

60

Emma Allen dkk, 2015. Pekerja Rumahan di Indonesia, halaman 17.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
STATUS HUBUNGAN KERJA BAGI PEKERJA RUMAHAN
BERDASARKAN UNDANG UNDANG KETENAGAKERJAAN
A. Status Hubungan Kerja Pekerja Rumahan dengan Pemberi Kerja
Unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja sesuai
dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan adalah:
1. Adanya pekerjaan (arbeid)
2. Di bawah perintah (gezag ver houding)maksudnya buruh melakukan
pekerjaan atas perintah majikan, sehingga bersifat subordinasi
3. Adanya upah tertentu (loan)
4. Dalam waktu (tijd) yang ditentukan (dapat tanpa batas waktu/pensiun atau
berdasarkan waktu tertentu). 61
Unsur yang pertama adalah adanya pekerjaan (arbeid), yaitu pekerjaan itu
bebas sesuai dengan kesepakatan antara buruh dan majikan, asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
Unsur kedua, yaitu di bawah perintah (gezag ver houding), di dalam
hubungan kerja kedudukan majikan adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan
sekaligus berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan
dengan pekerjaannya. Kedudukan buruh sebagai pihak yang menerima perintah
untuk melaksanakan pekerjaan. Hubungan antara buruh dan majikan adalah

61

Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika.

Universitas Sumatera Utara

hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan, sehingga bersifat
subordinasi (hubungan yang bersifat vertikal, yaitu atas dan bawah).
Unsur ketiga adalah adanya upah (loan) tertentu yang menjadi imbalan
atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh buruh. Pengertian upah berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi
pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.
Unsur yang keempat adalah waktu (tijd), artinya buruh bekerja untuk
waktu yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak tertentu atau selamalamanya. 62
Waktu kerja pekerja dalam satu minggu adalah 40jam/minggu. Untuk 6
hari kerja perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam lima hari dan 5 jam dalam 1
hari. Adapun untuk 5 hari kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari. Apabila
kebutuhan proses produksi menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan
lembur maksimal 3 jam perhari atau 14 jam perminggu. Kenyataannya lembur
yang terjadi di dalam praktik melebihi batas maksimal tersebut.
Selama bekerja, setiap 4 jam pekerja bekerja, harus diberikan istirahat
selama setengah jam. Dalam satu minggu harus ada istirahat minimal satu hari

62

Ibid

Universitas Sumatera Utara

kerja. Dalam satu tahun pekerja harus diberikan istirahat 12 hari kerja/tahun.
Apabila pekerja telah bekerja selama 6 tahun maka wajib diberikan istirahat/cuti
besar selama satu bulan dengan menerima upah penuh.
Untuk waktu tertentu yang dikenal dengan istilah kontrak kerja dan
pekerja harian lepas. Sedangkan untuk waktu yang tidak tertentu dikenal dengan
pekerja tetap.
Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja
antara pengusaha dan pekerja atau buruh,

63

dan dalam pandangan Imam

Soepomo, hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan majikan, muncul karena
adanya perjanjian kerja. 64 Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa hubungan kerja
itu dasarnya adalah perjanjian kerja sebagaimana terlihat dari definisi yang diatur
dalam Ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan. 65
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1
angka 14 memberikan pengertian perjanjian kerja adalah:
“Perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang

memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para

pihak.” 66

63

Ibid
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003),
halaman 70.
65
Suria Ningsih, Ibid, halaman 65.
66
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka
14.
64

Universitas Sumatera Utara

Dalam Bahasa Belanda perjanjian kerja disebut Arbeidsoverenkoms.
Menurut pasal 1601 KUHPerdata, perjanjian kerja adalah:
“Persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya
untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, si majikan, untuk suatu
waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Berdasarkan rumusan yang dikemukakan dalam pasal 1601 KUHPerdata
tersebut, dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja adalah: 67
a. Perjanjian antara seorang pekerja atau buruh dengan majikan untuk
melakukan suatu pekerjaan yang disepakati bersama. Jadi si pekerja
sendiri yang harus melakukan pekerjaan tersebut, dan tidak dapat
dialihkan kepada orang lain.
b. Dalam melakukan pekerjaan itu pekerja harus tunduk dan patuh kepada
pengusaha atau pemberi kerja. Jadi antara keduanya ada hubungan antara
yang diperintah dan yang memerintah.
c. Sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan, pekerja berhak atas upah
yang dibayarkan pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang
melakukan pekerjaan.
1. Bentuk Perjanjian Kerja
Ada 2 bentuk perjanjian kerja, yaitu:
a. Perjanjian kerja secara lisan
Perjanjian kerja umumnya secara tertulis, tetapi masih ada juga perjanjian
kerja yang disampaikan secara lisan. Pasal 63 Undang-undang Nomor 13 tahun
67

Sendjun H. Manulang, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,
(Rineka Cipta, 1995), halaman 64.

Universitas Sumatera Utara

2003 Tentang Ketenagakerjaan memperbolehkan perjanjian kerja dilakukan
secara lisan, dengan syarat pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi
pekerja, yang berisi:
a. Nama dan alamat pekerja
b. Tanggal mulai bekerja
c. Jenis pekerjaan
d. Besarnya upah
Untuk pekerjaan-pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu
dan pengusaha bermaksud memperkerjakan karyawan untuk waktu tertentu
(PKWT), perjanjian kerja tidak boleh dibuat secara lisan.
b. Perjanjian kerja Tertulis
Perjanjian kerja tertulis harus memuat tentang jenis pekerjaan yang akan
dilakukan, besarnya upah yang akan diterima dan berbagai hak serta kewajiban
lainnya bagi masing-masing pihak. Perjanjian kerja tertulis harus secara jelas
menyebutkan apakah perjanjian kerja itu termasuk Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT atau disebut sistem kontrak) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT atau sistem permanen/tetap). 68
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus didasarkan
pada ketentuan Pasal 52 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
ketenagakerjaan yang merumuskan:
a. Kesepakatan kedua belah pihak untuk melakukan hubungan kerja.
c. Kecakapan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum.
68

Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, (Jakarta : Visimedia, 2006),
halaman 3.

Universitas Sumatera Utara

d. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
e. Pekerjaan yang diperjanjikan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu bahwa perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yaitu perjanjian yang dibuat oleh pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja yang disahkan oleh Pemerintah (Instansi
Ketenagakerjaan). Asas yang berlaku dalam hukum perjanjian adalah, hal-hal
yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian berlaku sebagai
Undang-undang yang mengikat. Ketentuan tersebut dikenal dengan Asas
Kebebasan Berkontrak. 69
Namun demikian, sekalipun Undang-undang memberikan kebebasan
kepada pihak-pihak untuk menentukan isi perjanjian, syarat dan ketentuan
perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan norma
keadilan.
2. Jenis-jenis Perjanjian Kerja
Perjanjian Kerja ada banyak jenis dan masing-masing perjanjian kerja
tersebut mempunyai konsekuensi berbeda bila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK). Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan ditentukan ada beberapa jenis
Perjanjian kerja, yaitu sebagai berikut:
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
A. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
69

Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Jakarta : DSS Publishing, 2006), halaman 10.

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian kerja ini diatur dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jika mengacu
pada ketentuan Pasal 59 ayat (1), pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha yang
hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu
yang bersifat sementara.
Pengertian tersebut sependapat dengan pendapat Payman Simanjuntak 70
bahwa PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dengan pengusaha
untuk melaksanakan pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tertentu
yang relatif pendek yang jangka waktunya paling lama 2 tahun, dan hanya dapat
diperpanjang satu kali untuk paling lama sama dengan waktu perjanjian kerja
pertama, dengan ketentuan seluruh (masa) perjanjian tidak boleh melebihi tiga
tahun lamanya. Lebih lanjut dikatakan , bahwa PKWT dibuat untuk jangka waktu
1 (satu) tahun, maka hanya dapat diperpanjang satu kali dengan jangka waktu
(perpanjangan) maksimum 1 (satu) tahun. Jika PKWT dibuat untuk ½ tahun,
70

Arman Simanjuntak, Hubungan Kerja antara Pengusaha dan Pekerja beserta
Sifatnya, dalam http://edukasi.kompasiana.com/2009/11/16/ hubungan-kerja-antarapengusaha-dan-pekerja-beserta-sifatnya/.

Universitas Sumatera Utara

maka dapat diperpanjang ½ tahun. Demikian juga apabila PKWT untuk 2 tahun,
hanya dapat diperpanjang 1 tahun sehingga seluruhnya maksimum 3 tahun.
PKWT adalah perjanjian bersyarat, yakni (antara lain) dipersyaratkan
bahwa harus dibuat tertulis dam dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan ancaman
bahwa apabila tidak dibuat secara tertulis dan tidak dibuat dengan bahasa
Indonesia, maka dinyatakan atau dianggap sebagai PKWTT. 71 PKWT tidak dapat
dipersyaratkan adanya masa percobaan dan apabila dalam perjanjiannya terdapat
atau diadakan (klausul) masa percobaan dalam PKWT tersebut, maka klausul
tersebut dianggap sebagai tidak pernah ada (batal demi hukum). 72 Dengan
demikian apabila dilakukan pengakhiran hubungan kerja (pada PKWT) karena
alasan masa percobaan, maka pengusaha dianggap memutuskan hubungan kerja
sebelum berakhirnya perjanjian kerja, dan oleh karena itu pengusaha dapat
dikenakan sanksi untuk membayar ganti kerugian kepada pekerja atau buruh
sebesar upah pekerja atau buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu
perjanjian kerja. 73
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: 74
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau pekerjaan yang bersifat sementara
sifatnya

71

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 57 ayat

(2).
72

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 58.
Amran Simanjuntak, Op.Cit
74
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 59 ayat
73

(1).

Universitas Sumatera Utara

2. Pekerjaan yang (waktu) penyelesaiannya diperkirakan dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun
3. Pekerjaan yang bersifat musimam
4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan (yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan).
Selain perjanjian kerja waktu tertentu yang harus dalam bentuk tertulis,
maka perjanjian lain yang harus dalam bentuk tertulis adalah:
a. Perjanjian kerja laut
b. Antarkerja antardaerah
c. Antarkerja antarnegara. 75
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
1. Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha
2. Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh
3. Jabatan atau jenis pekerjaan
4. Tempat pekerjaan
5. Besarnya upah dan cara pembayaran
6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan
pekerja/buruh
7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat
9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian. 76

75

Hardijan Rusli, Hubungan Ketenagakerjaan 2003, Penerbit Ghalia Indonesia.
Ibid

76

Universitas Sumatera Utara

Ketentuan dalam perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan
peraturan

perusahaan,

perjanjian

kerja

bersama

(Kesepakatan

Kerja

Bersama/KKB) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis dibuat sekurang-kurangnya
rangkap dua, yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta
pekerja atau buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian
kerja. Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan atau diubah, kecuali atas
persetujuan para pihak.
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan
perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha (Pasal
53 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003). 77
B. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja
antara pekerja atau buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja
yang bersifat tetap. 78 Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat dibuat secara
tertulis maupun lisan. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat
secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja
atau buruh yang bersangkutan (Pasal 63 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003).
Dalam hal pengusaha tidak membuat surat pengangkatan untuk pekerja
yang terikat dengan hubungan kerja untuk waktu tidak terbatas itu maka akan

77

Ibid
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP
100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Pasal 1 (2).
78

Universitas Sumatera Utara

dikenakan sanksi pidana pelanggaran berupa denda paling sedikit Rp 5.000.000.(lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 50.000.000.- (lima puluhjuta rupiah).
Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa
percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.
Syarat masa percobaan harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Bila
perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan kerja harus
diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dicantumkan dalam surat
pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam
surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. 79
C. Akibat Hukum Perjanjian Kerja yang sah
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-undang
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, Perjanjian kerja dibuat secara tertulis
atau lisan. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu
syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil diatur dalam Pasal 52 Undangundang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, sedangkan syarat formil diatur
dalam Pasal 54 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
Syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 52
Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan kedua belah pihak
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

79

Hardijan Rusli, Op.Cit, halaman 94-95.

Universitas Sumatera Utara

c. Adanya perjanjian kerja yang diperjanjikan
d. Perkerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 80
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang
mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian
kerja harus setuju atau sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan.
Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja
menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja
tersebut untuk dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian.
Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah
cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur
minimal 18 tahun (Pasal 1 angka 26 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13
Tahun 2003). Selain itu seseorang dikatakan cakap membuar perjanjian jika orang
tersebut tidak terganggu jiwanya atau waras.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320
KUHPerdata adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek
dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya
melahirkan hak dan kewajiban para pihak.
Objek perjanjian (pekerjaan) harus halal yakni tidak boleh bertentangan
dengan Undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang

80

Asri Wijayanti, Op. Cit

Universitas Sumatera Utara

diperjanjikan merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan
secara jelas. 81
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi
semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan
bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak
dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif
karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat
adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal
disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Kalau syarat
objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula
perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat
subjektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihakpihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh
orangtua/wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian
dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian
perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh
hakim. 82
Pentingnya status hubungan kerja adalah agar pekerja atau buruh
mendapat pengakuan dan dipenuhi hak-haknya sebagai pekerja. Dalam Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan Pasal 1 angka 4
memberikan pengertian pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja

81

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketengakerjaan Indonesia, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2007).
82
Ibid

Universitas Sumatera Utara

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini agak
umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang
bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan
lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan
imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan
dengan uang, padahal ada pula pekerja atau buruh yang menerima imbalan dalam
bentuk barang. 83
Melihat kepada penjelasan diatas akan ditemukan kontradiksi dengan
status hubungan kerja antar pekerja rumahan dengan pemberi kerja, seperti yang
diketahui bahwa pekerja rumahan menurut Konvensi ILO salah satunya
memenuhi kriteria bekerja diluar tempat pemberi kerja berada, dari hal itu jelas
bahwa status pekerja rumahan sangat berbeda dengan status pekerja pada
umumnya, yaitu status pekerja yang bekerja di tempat pemberi kerja, selain itu
keadaan pekerja rumahan yang berada di luar tempat pemberi kerja tidak
mendapat jaminan keselematan kerja seperti pekerja pada umumnya, sehingga
dapat disimpulkan bahwa status pekerja rumahan dengan pemberi kerja tidak
terikat kontrak karena pekerja rumahan hanya berhubungan dengan perantara dari
pemberi kerja.
Mengutip dari Agusmidah dalam Makalahnya menyebutkan bahwa
Indonesia

dalam

peraturan

perundang-undangan

ketenagakerjaan

belum

mendefiniskan istilah pekerja rumahan sehingga banyak masyarakat yang sering
menyalahartikan pekerja rumahan tersebut, kemudian hal lain yang menyebabkan

83

Lalu Husni, Op. Cit

Universitas Sumatera Utara

terdengar asingnya pekerja rumahan dalam peraturan perundang-undangan yaitu
langkanya data statistik yang memperlihatkan keberadaan mereka secara sosialekonomi. 84
Fenomena tidak adanya definisi tentang pekerja rumahan menimbulkan
bermacam-macam akibat

salah satunya

mengakibatkan tidak

pahamnya

masyarakat yang bekerja sebagai pekerja rumahan akan hak dan kewajibannya,
sehingga terjadi kekaburan status hubungan pekerja rumahan dengan pemberi
kerja, adapun bentuk dari kaburnya status hubungan kerja adalah tidak adanya
perjanjian kerja secara tertulis antara pekerja rumahan dengan pemberi kerja,
sehingga menyebabkan keuntungan dipihak pemberi kerja dan kerugian bagi
pekerja rumahan. 85
B. Dampak Hukum Dari Ketidakjelasan Hubungan Kerja Antara
Pekerja Rumahan Dengan Pemberi Kerja
Ketidakjelasan hubungan kerja dalam sistem pekerja rumahan sangat
merugikan bagi pekerja rumahan tersebut, ketidakjelasan hubungan kerja dalam
sistem kerja rumahan dapat dilihat dari:
1. Tidak adanya daftar pekerja rumahan yang dipekerjakan secara jelas
Dalam hal pekerja rumahan, sering didapatkan adanya ketidakjelasan
mengenai daftar pekerja rumahan yang dipekerjakan secara jelas. Adapun yang
dimaksud dengan daftar pekerja rumahan ini adalah catatan berupa informasi
mengenai pekerja rumahan yang dipekerjakan. Catatan informasi tersebut berupa:
a. Nama, jenis kelamin, usia dan lokasi pekerja rumahan
84

Agusmidah, Op. Cit, halaman 3.
Ibid

85

Universitas Sumatera Utara

b. Waktu yang dialokasikan untuk pekerjaan yang akan dilakukan atau
kontrak dengan pekerja
c. Jumlah pengupahan
d. Biaya yang dikeluarkan, bila ada, oleh para pekerja rumahan dan jumlah
dari biaya tersebut yang akan diganti
e. Pemotongan upah dalam bentuk apapun
f. Nomor jaminan sosial dan catatan pembayaran pengusaha kepada
Jamsostek atau dana jaminan sosial lain atas nama pekerja
g. Pengupahan bruto yang harus dibayar dan pengupahan netto yang
dibayarkan, juga tanggal pembayaran. 86
Maka dari itu ketidakjelasan mengenai daftar pekerja rumahan ini harus
dilakukan oleh pemberi kerja dimana pihak pekerja rumahan juga harus memiliki
salinan dari catatan ini dari arsip mereka atau pemberi kerja sehingga tidak ada
lagi ketidakjelasan hubungan kerja antara pihak pemberi kerja dengan pekerja
rumahan.
2. Tidak adanya kontrak tertulis
Pekerja rumahan pada umumnya tidak memiliki kontrak secara jelas
karena keseluruhan melakukan kontraknya secara lisan dan ini berdampak pada
ketidakjelasan hubungan kerja antara pihak pemberi kerja dengan pekerja
rumahan. Maka seharusnya pada pekerja rumahan memiliki kontrak secara tertulis
agar menghilangkan ketidakjelasan hubungan kerja dari para pihak. Adapun isi
kontrak tertulis untuk pekerja rumahan adalah:
86

http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/publication/wcms_234307.pdf diakses pada tanggal 16 Mei 2016.

Universitas Sumatera Utara

a. Nama, jenis kelamin, usia dan alamat pekerja rumahan
b. Nama dan detil kontak pemberi kerja dan perantara (bila ada)
c. Durasi kontrak termasuk tanggal mulai
d. Jabaran fungsi pekerjaan: tugas dan tanggung jawab pekerja rumahan
e. Jabaran mengenai metode pengiriman/pengambilan bahan dan produk
yang sudah selesai
f. Pengupahan (upah satuan atau gaji)
g. Jam kerja pekerja rumahan yang wajar (setiap jam kerja diluar dari jam
wajar ini harus diperlakukan dan digaji sebagai pekerjaan lembur)
h. Daftar biaya yang dikeluarkan oleh pekerja rumahan yang akan diganti
oleh pemberi kerja
i.

Apabila akan ada pemotongan upah, jabaran rinci mengenai bagaimana
pemotongan ini dilakukan akan ditentukan

j.

Daftar dari manfaat yang didapatkan pekerja rumahan termasuk jaminan
sosial dan kontribusi serta pendaftaran kepada jaminan sosial oleh pemberi
kerja; cuti sakit; cuti bersama berbayar, dll

k. Pengakuan hak pekerja rumahan untuk dapat berserikat dan membentuk
serikat pekerja dan detil kontak serikat pekerja setempat
l.

Kondisi yang mengakibatkan penghentian hubungan kotrak kerja oleh
salah satu pihak

m. Tanda tangan kedua belah pihak. 87
3. Tidak adanya jaminan sosial

87

Ibid

Universitas Sumatera Utara

Semua pekerja berhak atas jaminan sosial termasuk pekerja rumahan akan
tetapi dalam hal ini pemberi kerja tidak memberikan jaminan sosial untuk pekerja
rumahan dilihat dari tidak adanya kontrak kerja secara tertulis dan jelas dari
pemberi kerja. Maka hal inilah yang membuat ketidakjelasan hubungan antara
pemberi kerja dengan pekerja rumahan.
4. Tidak adanya kesehatan dan keselamatan kerja
Dalam setiap pekerjaan pasti memiliki resiko kerja, maka diharuskan
adanya kejelasan mengenai jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Akan tetapi
hal ini tidak berlaku pada pekerja rumahan karena semua resiko kerja ditanggung
oleh para pekerja rumahan tersebut. Daripada itu untuk memperba iki
ketidakjelasan hubungan kerja antara para pihak seharusnya pemberi kerja
memberikan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja bagi para pekerja
rumahan. 88
5. Tidak adanya perlindungan hukum bagi pekerja rumahan
Perlindungan hukum merupakan hal yang terpenting bagi setiap pekerja
karena perlindungan hukum merupakan hak bagi pekerja termasuk bagi pekerja
rumahan. Perlindungan hukum berguna apabila hak-hak pekerja tidak dipenuhi
oleh pemberi kerja dan apabila terjadi permasalahan dalam hubungan kerja. Maka
dari itu perlindungan hukum bagi pekerja rumahan harus diadakan agar
ketidakjelasan hubungan kerja antara para pihak tidak terjadi lagi dan tidak ada
pihak yang dirugikan. Agar status hukum bagi para pihak lebih jelas lagi. 89

88

Ibid
Ibid

89

Universitas Sumatera Utara

Dilihat dari ketidakjelasan hubungan kerja bagi pekerja rumahan dapat
mengakibatkan dampak hukum bagi pekerja rumahan itu sendiri. Ketidakjelasan
hubungan kerja yang terjadi salah satunya adalah tidak adanya kontrak dimana
membuat pihak pekerja rumahan tidak memiliki pertanggungjawaban hukum dari
pihak pemberi kerja sehingga banyak dampak-dampak yang merugikan untuk
pekerja rumahan, seperti:
1. Pertanggungjawaban atas upah bagi pekerja rumahan menjadi tidak jelas.
Ketidakjelasan upah yang dimaksud adalah apabila pekerja rumahan itu
melakukan kontrak tertulis maka persoalan mengenai upah telah disepakati oleh
kedua belah pihak dan tidak bisa diganggu gugat. Akan tetapi pada kenyataannya
para pekerja rumahan melakukan kontrak tidak tertulis, maka apabila pemberi
kerja membayar upah mereka tidak sesuai dengan perjanjian secara lisan, para
pekerja rumahan tidak dapat menutut hal tersebut .Pada kenyataanya seringkali
terjadi upah yang sangat minim bagi pekerja rumahan dan sangat merugikan bagi
pekerja rumahan.
2. Pertanggungjawaban atas keselamatan kerja dan kerugian-kerugian yang
terjadi dalam proses produksi yang ditanggung oleh pekerja rumahan.
Dalam proses produksi pekerja rumahan tidak memiliki kejelasan atas
keselamatan kerja dan kerugian-kerugian yang ditanggung oleh pekerja rumahan
karena hal ini tidak disebutkan dalam kontrak tertulis maupun lisan karena hal
tersebut sudah menjadi resiko dari pihak pekerja rumahan, maka dari itu para
pekerja r