STATUS PEKERJA OUTSOURCING DALAM HAL TERJADINYA PELANGGARAN JANGKA WAKTU PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.

(1)

TERJADINYA PELANGGARAN JANGKA WAKTU

PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13

TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

IDA AYU KADE RIENDA CINTYA DEWI NIM. 1116051235

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

2

STATUS PEKERJA

OUTSOURCING

DALAM HAL

TERJADINYA PELANGGARAN JANGKA WAKTU

PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 13

TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

IDA AYU KADE RIENDA CINTYA DEWI NIM. 1116051235

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 3-Maret-2016

Pembimbing I

I KETUT MARKELING, SH., MH NIP 195412311984031007

Pembimbing II

I NYOMAN MUDANA, SH., MH NIP 195612311986011001


(4)

4

SKRIPSI INI TELAH DIUJI PADA TANGAL : 3-Maret-2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 0196/UN14.4E/IV/PP/2016 Tanggal : 3-Maret-2016

Ketua : I KETUT MARKELING, SH., MH ( )

NIP 195412311984031007

Sekretaris : I NYOMAN MUDANA, SH., MH ( )

NIP 195612311986011001

Anggota : 1. Dr. I MADE SARJANA, SH., MH ( )

NIP 196112311986011001

2. I NYOMAN DARMADHA SH., MH ( ) NIP 195412311981031033

3. I MADE DEDY PRIYANTO, SH., M.Kn ( ) NIP 198404112008121003


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunianyalah sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa guna melengkapi persyaratan dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Adapun judul skripsi adalah :

“Status Pekerja Outsourcing Dalam Hal Terjadinya Pelanggaran Jangka Waktu

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan”.

Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih adanya kekurangan dari yang diharapkan secara ilmiah, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman. Kritik, saran dan bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua pihak sangat diharapkan guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu pada kesempatan ini dengan segala hormat disampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :


(6)

6

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H, Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiartha, S.H. M.H, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., M.H, Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana S.H., M.H, Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., M.H, Ketua Bagian Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Anak Agung Gede Oka Parwata, S.H., Msi, Ketua Program Non

Reguler Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Ibu Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati, S.H., M.kn., LLM, Pembimbing

Akademis yang telah membimbing dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

8. Bapak I Ketut Markeling, S.H., M.H, Dosen Pembimbing I yang dengan

sabar dan tiada hentinya memberikan arahan dan masukan yang berguna hingga terselesainya skripsi ini.

9. Bapak I Nyoman Mudana, S.H., M.H, Dosen Pembimbing II yang telah

banyak memberikan waktunya untuk tiada hentinya memberikan arahan dan masukan yang berguna hingga terselesainya skripsi ini.


(7)

10. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah mengajar dan mendidik penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11. Bapak dan Ibu Pegawai Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah

cukup banyak membantu dalam pengurusan administrasi.

12. Bapak dan Ibu Pegawai Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Udayana yang banyak membantu penulis dalam memperoleh literature

dan refrensi untuk penyusunan skripsi ini.

13. Ibunda tercinta, Tutik Nugrahini, terimakasih untuk semua dukungan dan

doa yang tiada hentinya kepada ananda, hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

14. Ayahanda tercinta, Ida Bagus Kade Winaya, terimakasih untuk semua

dukungan dan doa yang tiada hentinya kepada ananda, hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

15. Saudara-saudara penulis, Ida Ayu Putu Niya Pradnya Santhi, Ida Ayu

Komang Tiara Pratistha Sari, Ida Bagus Komang Karistika, dan keponakanku tercinta Ida Ayu Putu Raisha Gandhasaci yang tiada hentinya memberikan dukungan dan doa kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

16. Seluruh keluarga tercinta yang tiada hentinya memberikan dukungan

maupun doa kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.


(8)

8

17. Seluruh keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Ekstensi (HMPE),

terkhusus kepada sahabat-sahabat Inti Badan Pengurus HMPE Periode 2014-2015 atas kebersamaan, kekompakan, dan pengalaman organisasi yang telah didapatkan penulis selama di Fakultas Hukum Universitas Udayana yang juga telah banyak memberikan dukungan dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

18. Sahabat penulis, Wulan Yulianita, terimakasih atas waktu dan

kebersamaan selama ini yang telah banyak membantu penulis, memberikan dukungan, semangat maupun doa dalam menyelesaikan skripsi ini.

19. Sahabat penulis, Sonia Taruli Beatrix Siahaan, terimakasih atas waktu dan

kebersamaan selama ini yang telah memberikan dukungan, semangat maupun doa dalam menyelesaikan skripsi ini.

20. Teman-teman seperjuangan sekaligus keluarga besar kelas Z (X-Recht)

angkatan 2011, terkhusus Adi Kusna, Wisnu Wisesa, Widhi Semarajaya, Gung Wah, Luthfi Adriansyah, Anom, Tugus, Panji, Permadi, Eka Saputra, Gede Hardiana, Yudi Hartawan, Yogi, Ade Swandewi, Ita, Mitia, Violeta Prema, Diah, Rika, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, yang sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

21. Para Hakim, pegawai dan teman-teman PKKH di Pengadilan Tata Usaha

Negara Denpasar yang telah memberikan pengalaman dalam praktik di lapangan.


(9)

22. Bapak Risnu, Kepala Cabang PT. Resik Cemerlang Bali yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

23. Seluruh teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2011 yang telah banyak

memberikan dorongan mental dan semangat dalam membuat skripsi ini.

Akhir kata penulis harapkan skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi

pedoman untuk seluruh tenaga kerja, khususnya tenaga kerja outsourcing serta

perkembangan ilmu hukum mengenai Perjanjian kerja pada khususnya.

Denpasar, 3-Maret-2016

Penulis


(10)

10

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ………. i

HALAMAN SAMPUL DALAM ……… ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ……….... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ………. iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ………….. v

KATA PENGANTAR ………. vi

DAFTAR ISI ……… xi

HALAMAN SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ……….. xiv

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah ………..………... 1

1. 2 Rumusan Masalah ………... 3

1. 3 Ruang Lingkup Masalah ………. 4

1. 4 Orisinalitas ……….. 4

1. 5 Tujuan Penelitian ……… 6

1.5.1 Tujuan umum ……….. 6

1.5.2 Tujuan khusus ………. 6

1. 6 Manfaat Penelitian ……….. 7

1.6.1 Manfaat teoritis ………... 7

1.6.2 Manfaat praktis ……….. 7

1. 7 Landasan Teoritis ………... 7


(11)

1. 8 Metode Penelitian ………. 14

1.8.1 Jenis penelitian ……….. 14

1.8.2 Jenis pendekatan ……… 15

1.8.3 Sumber bahan hukum ……… 16

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ……….. 18

1.8.5 Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum ………….. 18

BAB II Tinjauan Umum Hubungan Kerja dan Outsourcing 2.1 Hubungan Kerja ……… 21

2.1.1 Pengertian hubungan kerja ……… 21

2.1.2 Dasar hukum hubungan kerja ……… 26

2.1.3 Jenis hubungan kerja ………. 28

2.2 Outsourcing ………... 31

2.2.1 Istilah dan pengertian ……… 31

2.2.2 Jenis pekerjaan outsourcing ………... 32

2.2.3 Pihak-pihak dalam outsourcing ………….. 33

2.2.4 Kekuatan mengikat perjanjian outsourcing ………... 35

2.2.5 Kelebihan dan kekurangan outsourcing ……… 36

BAB III Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Hubungan Kerja Outsourcing 3. 1 Hubungan Hukum Para Pihak dalam Hubungan Kerja Outsourcing ……….. 40

3. 2 Dasar Hukum Hubungan Kerja Outsourcing ……… 45


(12)

12

3. 3 Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Hubungan Kerja Outsourcing

……….. 46

3. 4 Syarat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Akibat Hukumnya

Terhadap Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ……….. 48

BAB IV Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja Outsourcing

4.1 Jenis-jenis Penyelesaian Perselisihan ……….. 57

4.2 Penyelesaian Perselisihan Hubungan Kerja Outsourcing ………... 65

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ……… 69

5.2 Saran-saran ………. 69

DAFTAR PUSTAKA ……… 71

RINGKASAN SKRIPSI LAMPIRAN


(13)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi Hukum yang berlaku. Demikian surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 3-Maret-2016 Yang menyatakan,

(IDA AYU KADE RIENDA CINTYA DEWI) NIM. 1116051235


(14)

14

Abstract

Employment agreement by specified time (EAST) is an employment agreement that has specified time who was agreed by the company and the employee. EAST must be done appropriate with the Acts. If there is infraction in EAST, so the agreement must be invalid by the law or can also be the employment agreement without specified time (EAWST). In general, outsourcing system using EAST. The concern that will be addressed in this scientific journal is the employee status of the outsourcing workers in infraction of EAST based on Act no 13/2003 about the employment and how the solution of infraction status of outsourcing workers.

The objective of this jurnal is to knowing and understanding the status of

outsourcing workers if there’s infraction in EAST and to knowing and understanding the solution status of outsourcing workers if there’s infraction in

EAST.

Outsurcing workers in infraction EAST must to be the permanent workers in the company of service provider of workers. The solution can be done by the courts of infraction industrial relations (CIIR). The solution of industrial relations is have to be dong by discussion to have agreement from both side. Keywords : Status of employee, Outsourcing, Infraction, Employment Agreement By Specified Time


(15)

Abstrak

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) merupakan perjanjian kerja yang memiliki batas waktu tertentu dalam pengerjaannya sengan disepakati para pihak. PKWT harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan. Jika terjadi pelanggaran pada PKWT maka perjanjian tersebut dapat dikatakan batal demi hukum dan dapat pula menjadi

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Sistem outsourcing pada

umumnya menggunakan PKWT. Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam

karya ilmiah ini yaitu mengenai, status pekerja outsourcing dalam hal terjadinya

pelanggaran PKWT jika ditinjau dari Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan bagaimana penyelesaian permasalahan status pekerja outsourcing tersebut.

Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk dapat

mengetahui dan memahami status pekerja outsourcing jika terjadi pelanggaran

PKWT serta untuk mengetahui dan memahami penyelesaian status pekerja outsourcing jika terjadi pelanggaran PKWT. Jenis penelitian yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah jenis penelitian hukum yuridis normatif, penelitian ini terutama menggunakan bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sebagai sumber bahan penelitiannya.

Pekerja outsourcing dalam hal terjadinya pelanggaran PKWT seharusnya

berstatus sebagai pekerja tetap di perusahaan penyedia jasa pekerja. Penyelesaian permasalahan tersebut dapat melalui penyelesaian diluar pengadilan maupun melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Penyelesaian industrial sebaikya diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Kata Kunci : Status Pekerja, Outsourcing, Pelanggaran, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu


(16)

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Masalah

Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berlimpah. Hal tersebut bisa menjadi keuntungan maupun permasalahan bagi bangsa Indonesia. Sumber daya manusia yang berlimpah menandakan Indonesia memiliki banyak individu-individu produktif dalam membangun masa depan bangsa. Namun sumber daya manusia yang berlimpah juga merupakan salah satu masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia sekarang ini.

Kebutuhan akan biaya hidup sehari-hari merupakan permasalahan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat dituntut untuk bekerja. Individu akhirnya terlibat dalam persaingan mendapatkan pekerjaan, mengingat lapangan kerja yang sangat terbatas dan tidak seimbang. Pendidikan sangat berpengaruh dalam proses persaingan mencari kerja. Namun, bagi individu yang berpendidikan tinggi terkadang susah untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Hal tersebut akan lebih memojokkan bagi masyarakat yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dikarenakan masyarakat tersebut tergolong masyarakat ekonomi lemah. Banyak dari mereka yang akhirnya bekerja sebagai buruh. Salah

satunya adalah dengan bekerja sebagai tenaga kerja alih daya (outsourcing).

Tenaga kerja outsourcing pada awalnya terdapat secara tersirat pada Pasal

64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada


(18)

2

perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Dalam bidang ketenagakerjaan, outsourcing diartikan sebagai pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan

penyedia/pengerah tenaga kerja.1 Dari pengertian tersebut, disimpulkan bahwa

terdapat 3 pihak yang terlibat dalam perjanjian outsourcing, yakni : perusahaan

penyedia jasa pekerja, perusahaan pemberi pekerjaan, dan pekerja itu sendiri. Perusahaan penyedia jasa pekerja merupakan perusahaan penerima pekerja yang kemudian menyalurkan pekerja tersebut kepada perusahaan pemberi pekerjaan untuk kemudian bekerja diperusahannya sesuai dengan perjanjian tertulis.

Kemudian lahirlah istilah outsourcing, (dalam hal ini maksudnya menggunakan

sumber daya manusia dari pihak di luar perusahaan).2

Dari ketiga pihak tersebut hanya terdapat dua perjanjian tertulis. Yakni perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan pekerja (perjanjian kerja) dan antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan(perjanjian pemborongan). Sehingga antara pekerja dan perusahaan pemberi pekerjaan tidak memiliki ikatan hukum yang kuat.

Perusahaan pemberi pekerjaan mempekerjakan pekerja outsourcing karena

dapat menghemat keuangan perusahaan itu sendiri. Pekerja outsourcing bekerja

dalam waktu tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian tertulis antar perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan pemberi pekerjaan. Pekerja

1 Lalu Husni, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Lalu Husni I), h. 187.

2 Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi I), h. 217.


(19)

outsourcing menerima upah yang terhitung sedikit dan diharapkan dapat bekerja dengan baik tanpa ada jaminan ikatan secara langsung kepada perusahaan pemberi pekerjaan.

Dengan adanya outsourcing, perusahaan pemberi pekerjaan cendrung

diuntungkan karena menghemat biaya pengeluaran perusahaan namun justru merugikan bagi pekerja outsourcing itu sendiri karena upah dan jaminan yang minim namun harus bekerja dengan baik.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

seharusnya dapat menjadi pelindung hukum bagi pekerja outsourcing. Namun,

Undang-undang tersebut memiliki kekosongan norma, karena tidak memiliki

aturan yang spesifik terhadap pekerja outsourcing. Jika pihak-pihak yang

berhubungan dengan outsourcing (perusahaan maupun pakerja) melakukan suatu

pelanggaran, tentunya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban yang sesuai dengan perbuatannya, dikarenakan aturan maupun sanksi yang ada kurang

mengikat, sehingga dapat merugikan salah satu pihak. Pekerja outsourcing lebih

sering terkena dampaknya, karena antara pekerja outsourcing dengan perusahaan

pemberi kerja tidak ada aturan yang mengikat berupa Peraturan perundang-undangan maupun perjanjian kerja.

1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka karya ilmiah mengangkat beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut :


(20)

4

1. Bagaimana status pekerja outsourcing dalam hal terjadinya

pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)?

2. Bagaimana penyelesaian status pekerja outsourcing dalam hal

terjadinya pelanggaran perpanjangan waktu dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)?

1. 3 Ruang Lingkup Masalah

Dalam menyelesaikan permasalahan diatas penulisan karya ilmiah ini memberikan suatu pembatasan, yaitu terhadap permasalahan yang pertama

mengenai status pekerja outsourcing jika terjadi pelanggaran perpanjangan waktu

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dan serta terhadap permasalahan yang kedua mengenai penyelesaian pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu (PKWT) dalam hubungan kerja outsourcing.

1. 4 Orisinalitas

Dalam melakukan penulisan karya ilmiah ini, telah dilakukan pemeriksaan terhadap semua karya ilmiah yang berhubungan dengan judul dan isi karya ilmiah ini, baik dalam internet, jurnal, skripsi dan karya ilmiah lainnya dan tidak ditemukan judul dan isi yang sama.

No

Daftar Penelitian Sejenis Daftar Penelitian Penulis Judul Skripsi &

Penulis

Rumusan Masalah

Judul Skripsi & Penulis

Rumusan Masalah


(21)

1

Perjanjian Kerja Outsourcingdala m

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Menurut Hukum Islam. Didit Aditya Permana (Mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) Tahun 2009 Bagaimana perjanjian kerja Outsourcing yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Perspektif hukum islam? Status Pekerja Outsourcing dalam Hal Terjadinya Pelanggaran Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Ditinjau dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan . Ida Ayu Kade Rienda Cintya Dewi (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar) Tahun 2015 1. Bagaimana status pekerja outsourcing dalam hal terjadinya pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)? 2. Bagaimana penyelesaian status pekerja outsourcing dalam hal terjadinya pelanggaran perpanjangan waktu dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)? 2 Implikasi Hukum Terhadap Sistem outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. Eko Saputra (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar) Tahun 2013 1.Bagaimanakah konsekuensi analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011? 2.Bagaimanakah implikasi hukum terhadap tenaga kerja outsourcing pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011? 3 Akibat Hukum Penerapan Kontrak Kerja Baku Oleh PT. ISS Indonesia terhadap pekerja kontrak pada PT. HM. Sampoerna Bali. Fajar Sahat Ridoli Sitompul 1.Bagaimanakah penerapan kontrak kerja baku kepada pekerja kontrak pada PT. ISS

Indonesia? 2.Bagaimanakah


(22)

6

(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana

Denpasar) Tahun 2014

sengketa klaim kesehatan antara PT. ISS

Indonesia dengan tenaga kerja kontrak?

1. 5 Tujuan Penelitian

Di dalam penulisan karya ilmiah ini, dapat dilihat dalam dua tujuan, yaitu meliputi tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut antara lain :

1.5.1 Tujuan umum

Adapun tujuan umum dari karya ilmiah ini, yaitu sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui status pekerja outsourcing jika terjadi

pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT);

2) Untuk mengetahui penyelesaian status pekerja outsourcing

jika terjadi pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

1.5.2 Tujuan khusus

Di samping terdapatnya tujuan umum, juga terdapat tujuan secara khusus dari karya ilmiah ini, yaitu :

1) Untuk memahami status pekerja outsourcing jika terjadi

pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT);


(23)

2) Untuk memahami penyelesaian status pekerja outsourcing jika terjadi pelanggaran perpanjangan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

1. 6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari karya ilmiah ini, yakni : 1.6.1 Manfaat teoritis

1. Dari penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan

informasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan status

pekerja outsourcing apabila terjadi pelanggaran

perpanjangan waktu perjanjian kerja waktu tertentu ditinjau dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;

2. Selain itu, penulisan skripsi ini diharapkan juga dapat

menambah pemahaman bagi mahasiswa terhadap teori-teori yang diperoleh dalam perkuliahan.

1.6.2 Manfaat praktis

Penulisan karya ilmiah ini dapat dipakai pedoman baik oleh

pemerintah, pekerja, pengusaha, praktisi, mereka yang

berkepentingan dan berbagai pihak dalam menyelesaikan permasalahan yang sejenis.

1. 7 Landasan Teoritis


(24)

8

Outsourcing adalah pemanfaatan tanaga kerja untuk melakukan proses produksi atau melakukan suatu pekerjaan oleh suatu perusahaan, melalui jasa penyedia tenaga kerja. Penyedia jasa tenaga kerja secara khusus melatih, mempersiapkan, menyediakan dan mempekerjakan tenaga kerja yang nantinya akan bekerja di perusahaan lain. Pekerja tersebut kemudian bekerja di perusahaan tersebut. Outsourcing merupakan bisnis kemitraan dengan tujuan memperoleh keuntungan bersama, membuka peluang bagi berdirinya perusahaan-perusahaan baru di bidang jasa penyedia tenaga kerja, serta efisiensi bagi dunia usah. Pengusaha tidak perlu disibukkan dengan urusan yang tidak terlalu penting yang banyak memakan waktu dan pikiran karena hal tersebut bisa diserahkan kepada perusahaan yang khusus bergerak di bidang itu.3 Dalam outsourcing terdapat 2 jenis perjanjian, yakni perjanjian antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja dan antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pemberi kerja.

b. Perjanjian dan Perjanjian Kerja

Perjanjian atau kontrak terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebihh.” Sehingga perjanjian mengikat para pihak secara hukum. Dari pengertian perjanjian diatas, diperoleh unsur-unsur perjanjian yakni:

Ada pihak-pihak, minimal 2 orang; Ada persetujuan antara pihak tersebut;

3Lalu Husni, 2014, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Lalu Husni II), h. 168.


(25)

Ada tujuan yang akan dicapai; Ada prestasi yang akan dilaksanakan; Ada bentuk tertentu (lisan atau tulisan);

Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.

Sumber hukum mengenai perjanjian antara lain : KUHPerdata dan peraturan perundang-undangan. Dalam perjanjian terdapat pihak-pihak yang terikat di dalamnya, yakni:

Antara orang dengan orang;

Antara orang dengan badan usaha berbadan hukum; Antara orang dengan badan usaha bukan berbadan hukum. Perjanjian hanya mengikat orang yang membuat, dan para pihak harus menaati apa yang diperjanjikan, keharusan itu lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata). Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. (Pasal 1339 KUHPerdata). Dengan demikian perjanjian dapat meimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut, karena itu perjanjian yang mereka buat adalah sumber hukum formal, asal perjanjian tersebut adalah perjanjian yang sah4.

Mengenai perjanjian kerja, diatur dalam Pasal 1601 a KUH Perdata: “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu

4 Abdul R. Saliman, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,


(26)

10

(si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.” Sedangkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjabarkan pengertian lain mengenai perjanjian kerja: “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.” Unsur-unsur yang dapat ditarik dari pengertian tersebut adalah5:

Pekerjaan

Pekerjaan merupakan objek perjanjian. Di dalam KUH Perdata Pasal 1603 a berbunyi, “buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya.”

Perintah

Majikan memberikan perintah untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan apa yang diperjanjikan;

Upah

Pekerja bekerja pada majikannya untuk memperoleh upah, sehingga upah merupakan hak bagi pekerja dan merupakan kewajiban bagi majikan.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian kerja adalah perikatan yang terjadi antara pekerja dengan perusahaan/majikan sesuai

5 Lalu Husni I, op. cit, h. 63.


(27)

dengan ketentuan agar para pihak memenuhi hak dan kewajibannya. Dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa6:

Buruh/pegawai mengikatkan diri untuk bekerja pada

majikan/perusahaan;

Majikan/perusahaan yang bersangkutan mengikatkan diri pula untuk memberikan imbalan kerja (berupa gaji, upah, berbagai fasilitas dan sebagainya) dalam jumlah tertentu serta pada waktu-waktu yang tertentu pula.

Menurut Pasal 1320 dan Pasal 52 ayat 1 undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan bahwa agar perjanjian kerja dapat dikatakan sah, maka haru memenuhi syarat berupa:

1. Kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Teori mengenai asas perjanjian kontrak tidak berbeda dengan asas perjanjian pada umumnya. Teori mengenai asas perjanjian yakni:

1. Asas kebebasan berkontrak

Adalah asas yang membebaskan para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, mementukan isi perjanjian, pelaksanaan dan

6A. Ridwan Halim, 1990, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat A. Ridwan Halim I), h. 22.


(28)

12

persyaratan, dan menentukan bentuk perjanjian (lisan atau tertulis). Teori ini dikembangkan lewat ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau.

2. Asas Konsensualisme

Merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan dua belah pihak7. Asas ini merupakan perkembangan teori dari hukum romawi dan hukum jerman. 3. Asas Pacta Sunt Servanda

Disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini terdapat pada Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” artinya di dalam asas ini, baik hakim maupun pihak ketiga harus menghormati yang terdapat dalam perjanjian sebagaimana undang-undang. asas ini mulanya dikenal dalam hukum gereja. 4. Asas Itikad Baik

Seperti namanya, asas ini merupakan kepercayaan atau keyakinan bagi para pihak yang membuatnya bahwa perjanjian ini dibuat dengan kemauan dan maksud yang baik. Asas itikad baik berasal dari teori Hoge Road.

5. Asas Kepribadian

7Salim H.S., 2008, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, h. 10.


(29)

Merupakan asas dimana perjanjian dibuat untuk menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepeningan perseorangan saja8

c. Pelanggaran Perjanjian

Perjanjian tidak terlepas dari pelaksanaannya, Pasal 1234 KUHPerdata menentukan bahwa “tiap-tiap perikatan adalah untuk

memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”.

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prestasi adalah perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Wanprestasi (ingkar janji) timbul karena tidak dipatuhinya perjanjian, seperti:

a. tidak melakukan apa yang ia sanggupi akan dilakukan

(tidak dapat memenuhi seluruh perjanjian);

b. melaksanakan apa yang ia janjikan, namun diluar dari apa

yang diperjanjikan (hanya memenuhi sebagian isi perikatan);

c. melakukan apa yang telah ia janjikan namun terlambat; dan

d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh ia

lakukan.

Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dekenakan sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan resiko,

8Ibid, h. 12.


(30)

14

maupun membayar biaya perkara. Pihak yang melakukan

wanprestasi dapat membela diri dengan alasan9:

Keadaan memaksa (overmacht/force majeure);

Kelalaian pihak lain; dan

Pihak lainnya telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi pada pihak yang melakukan wanprestasi.

Dalam suatu kontrak baku sering dijumpai ketentuan bahwa para pihak telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266 KUHPerdata. Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka perjanjian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim, tetapi dengan sendirinya sudah batal demi hukum. Dalam hal ini, wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi, beberapa ahli hukum berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal terjadi wanprestasi perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipuns salah satu pihak sudah wanprestasi hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan kepadanya untuk

memenuhi perjanian.10

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian

9 Abdul R. Saliman, op.cit, h. 48.

10 Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana Prenanda Media Group, Jakarta, h. 61.


(31)

Untuk mendapatkan jawaban dan guna menguraikan masalah yang diangkat, maka jenis penelitian hukum yang digunkan adalah bersifat yuridis normatif. Penelitian secara yuridis yaitu penelitian yang berdasarkan atas peraturan-peraturan hukum yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diangkat oleh penulis, sedangkan penelitian secara normatif yakni penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Penelitian secara yuridis normatif ini terutama menggunakan bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sebagai sumber

bahan penelitiannya.11

Ciri penelitian hukum secara yuridis normatif antara lain :

a) Suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan

dalam norma/asas hukum;

b) Tidak menggunakan hipotesis;

c) Menggunakan landasan teori; dan

d) Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.12

1.8.2 Jenis pendekatan

11 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 166.

12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, cet. VIII, Raja Grafindo, Jakarta, h.13.


(32)

16

Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan yaitu

pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute

Approach). Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah

pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.13 Dalam

penelitian ini pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan

mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait

permasalahan yang diangkat, yakni : KUH Perdata, undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.101/MEN/VI/2004, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang telah digantikan Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

1.8.3 Sumber bahan hukum


(33)

Dalam Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum antara lain:

1. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat, yakni menggunakan Undang-undang Dasar 1945, KUH Perdata, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :

KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.101/MEN/VI/2004, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain yang telah digantikan Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada

Perusahaan Lain.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, buku-buku hukum, hasil penelitian, pendapat


(34)

18

para pakar (doktrin) serta jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum) dan

ensiklopedia yang juga berkaitan dengan penelitian ini.14

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara menelaah dan meneliti data pustaka seperti bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Pencatatan terhadap bahan-bahan temuan dalam studi kepustakaan perlu dilakukan secara teliti dan jelas, pencatatan ini juga dilakukan secara menyeluruh terhadap bahan-bahan yang ada relevansinya

dengan penelitian.15

1.8.5 Teknik pengolahan dan analisis bahan hukum

Terdapat 2 jenis pengolahan bahan hukum, yakni:

1. Metode pengolahan secara kuantitatif

Menggunakan teknik sampling, yaitu prosedur yang

digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan

14 Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, h. 32.

15 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 50.


(35)

karakteristik dari suatu populasi, meskipun hanya beberapa orang yang diwawancarainya;

2. Metode pengolahan secara kualitatif

Penelitian yang mengacu pada norma hukum yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dan putusan

pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka menggunakan metode pengolahan secara kualitatif.

Untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan maka dipergunakan beberapa teknik analisis yaitu:

1. Teknik deskripsi, dengan menggunakan teknik ini

peneliti menguraikan secara apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proporsi-proporsi hukum atau non-hukum.

2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis

penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal.

3. Teknik evaluasi merupakan penelitian berupa tepat


(36)

20

salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan primer meupun dalam bahan hukum sekunder.

4. Teknik argumentasi berupa pernyataan-pernyataan

yang berasal dari pemikiran atau analisis penulis yang dituangkan dalam bentu tulisan.

Setelah dilakukan teknik argumentasi, maka

didapatlah kesimpulan yang menjawab


(37)

BAB II

TINJAUAN UMUM HUBUNGAN KERJA DAN OUTSOURCING

2.1 Hubungan Kerja

2.1.1 Pengertian hubungan kerja

Pengusaha dan pekerja memililki hubungan yang disebut dengan hubungan kerja. Hubungan kerja dan perjanjian kerja tidak dapat dipisahkan.

“Dengan diadakannya perjanjian kerja maka terjalin hubungan kerja antara pemberi kerja dangan penerima kerja yang bersangkutan, dan selanjutnya akan berlaku ketentuan tentang hukum perburuhan, antara lain mengenai syarat-syarat kerja, jaminan sosial, kesehatan, dan keselamatan kerja, penyelesaian perselisihan

dan pemutusan hubungan kerja yang kesemuanya diatur dalam perjanjian kerja.”1

Perjanjian kerja diatur dalam Pasal 1601 a KUH Perdata, Perjanjian kerja adalah

suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Sedangkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menjabarkan pengertian lain mengenai perjanjian kerja, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Sehingga menurut undang-undang tersebut, suatu perjanjian kerja tidak dapat terlepas dari hak dan kewajiban para pihak dengan mematuhi syarat-syarat yang berlaku diantara para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja.

Pihak-pihak yang dimaksud dalam perjanjian kerja adalah :

1 Aloysius Uwiyono et. al., 2014, Asas-asas Hukum Perburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 52.


(38)

22

A. Pekerja

Buruh merupakan istilah yang digunakan sejak zaman penjajahan Belanda sebelum digunakannya istilah pekerja.

Pada zaman penjajahan belanda yang dimaksud dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan

pekerjaan kasar, orang-orang ini disebut dengan “Blue Collar”.

Sedangkan pekerja di kantor pemerintahan maupun swasta disebut

sebagai “karyawan/pegawai” (white collar). “Pembedaan tersebut membawa konsekuensi pada perbedaan perlakuan dan hak-hak tersebut oleh pemerintah belanda tidak terlepas dari upaya untuk memecah belah orang pribumi. Setelah Indonesia merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Namun lebih tepat jika disebut sebagai

pekerja sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945”. 2

Pengertian pekerja pada Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan yakni “Pekerja/buruh adalah setiap

orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk

lain.”

Selain itu pekerja/buruh dapat diartikan sebagai3 :

a. Bekerja pada atau untuk majikan/perusahaan;

b. Imbalan kerjanya dibayar oleh majikan/perusahaan;

c. Secara resmi/terang-terangan dan kontinu mengadakan

hubungan kerja dengan majikan/perusahaan, baik untuk waktu yang tertentu maupun untuk jangka waktu yang tidak tertentu lamanya.

2 Lalu Husni I, op.cit. h. 45.

3 A. Ridwan Halim, 1983, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat A. Ridwan Halim II), h. 11.


(39)

Istilah tenaga kerja maupun pekerja/buruh memiliki istilah yang hampir mirip, namun perbedaannya adalah bahwa tenaga kerja yang sudah

bekerja yang dapat disebut sebagai pekerja4.

B. Perusahaan

Istilah perusahaan tidak dapat terlepas dari pengusaha maupun pemberi kerja. Perusahaan merupakan bentuk badan hukum yang didirikan oleh pengusaha, sedangkan pemberi kerja adalah pengusaha/perusahaan yang menyediakan lahan pekerjaan bagi pekerja dengan memberikan upah/gaji. Pengertian pengusaha menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tetang ketenagakerjaan adalah :

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara

berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan milikya;

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada

di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Undang-undang tersebut juga menyebutkan mengenai pengertian pemberi kerja yakni orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja degan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 4). Pengertian

4 Lalu Husni I, op.cit,h. 31.


(40)

24

pemberi kerja lebih luas dibanding pengertian pengusaha. Seorang pegusaha merupakan pemberi kerja, namun pemberi kerja belum tentu pengusaha. Jadi, dari pengertian mengenai pengusaha tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pengusaha bisa berarti perseorangan, dapat pula persekutuan atau badan hukum.

Istilah perusahaan adalah istilah yang lahir sebagai akibat adanya pembahruan dalam hukum dagang. Oleh karena itu, sejak beberapa pasal dalam buku I KUHD dicabut, maka sejak itu pula istilah dan pengertian pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan) tidak layak lagi mewakili kepentingan kaum pedagang khususnya dan masyarakat pada umumnya yang kemungkinan memiliki hubungan, kepentingan dan atau ikut ambil bagian dalam aktivitas

perusahaan.5

Namun sesuai dengan perkembangan undang-undang, pengertian perusahaan terdapat pada Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perusahaan adalah :

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai

pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

5 Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan : Bentuk-bentuk Badan Usaha Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, h. 6.


(41)

Antara tenaga kerja, pekerja, maupun perusahaan memiliki huungan yang sangat erat. Hubungan tersebut bersifat saling

menguntungkan (Simbiosis Mutualisme), karena pekerja melakukan

pekerjaannya di perusahaan agar perusahaan tersebut dapat maju dan berkembang, timbal baliknya pekerja tersebut mendapatkan upah/imbalan dari perusahaan tersebut atas kerja kerasnya. Untuk menjaga hubungan baik timbal balik tersebut, maka dibuatlah perjanjian kerja untuk mengikat pihak-pihak tersebut.

Para pihak dalam perjanjian kerja tersebut pada akhirnya menciptakan hubungan yang selaras demi terciptanya kerjasama yang saling menguntungan para pihak. Hubungan antara para pihak tersebut disebut dengan hubungan kerja. Hubungan kerja berbeda dengan hubungan kerjasama pada umumnya. Hubungan kerja diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Hubungan kerja merupakan bentuk hubungan hukum yang lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan

pengusaha6. Berdasarkan pengertian tersebut, hubungan kerja antara

perusahaan dan pekerja memiliki pengertian yang berbeda dengan hubungan pada umumnya, seperti hubungan antara penjual dengan pembeli maupun hubungan antara guru dan murid. Perbedaan tersebut

6Lalu Husni I, op. cit. h. 61.


(42)

26

dapat dilihat dari unsur-unsur yang terdapat pada Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa unsur dari hubungan kerja tersebut adalah: pekerjaan, upah dan perintah. Perusahaan dan pekerja terlibat dalam suatu ikatan yang disebut dengan pekerjaan. Pekerjaan dilakukan oleh pekerja sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja oleh perusahaan. setelah pekerja tersebut melaksanakan pekerjaannya, maka perusahaan wajib membayarkan upah. Upah merupakan kewajiban bagi perusahaan dan hak bagi pekerja. Pekerja melaksanakan apa yang menjadi pekerjaannya berdasarkan perintah dari perusahaan. Unsur-unsur tersebut yang membedakan antara hubungan kerja dengan hubungan pada umumnya.

2.1.2 Dasar hukum hubungan kerja

Hubungan kerja yang resmi wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam undang-undang. “Hubungan kerja adalah hubugan antara

pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai

unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” (Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan). Dari pengertian hubungan kerja diatas, dapat dipastikan bahwa hubungan kerja dan perjanjian kerja tidak dapat dipisahkan. Perjanjian kerja dan perjanjian pada umumnya memiliki arti yang

berbeda. Perjanjian didefinisikan oleh ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata “Suatu


(43)

dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Menurut Subekti, Perjanjian tertulis untuk hubungan bisnis itu lazim disebut dengan kontrak Namun demikian, tidaklah semua perjanjian tertulis harus diberikan judul kontrak, tetapi tergantung pada kesepakatan para pihak, sifat, materi perjanjian dan kelaziman dalam penggunaan

istilah untuk perjanjian itu.7

Pengertian lain dari perjanjian/kontrak adalah kontrak atau contracts

(dalam bahasa inggris) dan overeenkomst (dalam bahasa belanda) dalam

pengertian yang lebih luas sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah peristiwa dimana dua orang atau lebih saring berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut

perikatan (verbintenis). Dengan demikian, kontrak dapat menimbulkan hak

dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut, karena itu kontrak yang mereka buat adalah sumber hukum formal, asal kontrak

tersebut adalah kontrak yang sah.8

Imam Soepomo berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian kerja dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan

diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.9

Sedangkan perjanjian kerja terdapat pada Pasal 1601 a KUH Perdata yang memberikan pengertian bahwa Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang

7I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Hukum Perjanjian kedalam

Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 28. 8 Abdul R. Saliman, op. cit. h. 45.


(44)

28

lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan

menerima upah.”

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1

angka 14 memberikan pengertian yakni : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian

antara pekerja buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.”

Mengenai syarat perjanjian kerja secara umum, diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Suatu perjanjian dikatakan sah apabila :

1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

Perjanjian kerja tersebut mengikat antara perusahaan maupun pekerjanya. Karena, baik perusahaan maupun pekerja merupakan pihak yang telah membuat perjanjian, sehingga perjanjian tersebut berlaku sebagai Undang-undang bagi pihak yang telah membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata).

2.1.3 Jenis hubungan kerja

Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, pekerja/buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lain (pengusaha/majikan) yang mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan


(45)

pekerja/buruh dengan membayar upah.10 Hubungan kerja dan perjanjian kerja yang tidak dapat dipisahkan pada akhirnya membentuk dua jenis perjanjian kerja. Jenis perjanjian kerja tersebut dapat digolongkan menurut waktunya, yakni perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

A. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)

Pekerja perjanjian kerja waktu tertentu atau biasa disebut juga dengan pekerja kontrak. Perjanjian ini dibuat untuk pekerjaan yang memiliki waktu tertentu dalam pengerjaannya. PKWT diatur dalam

keputusan menteri KEP.100/MEN/VI/2004 didefinisikan sebagai

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu untuk pekerja tertentu. Suatu perjajian dapat disebut sebagai PKWT jika terdapat unsur:

Hanya sesekali pengerjaan (sementara/musiman);

Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya tidak terlalu lama, yakni sekitar 3 Tahun;

Pekerjaan diluar produk baru, kegiatan, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Dalam implementasinya, PKWT tudak mensyaratkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja jika ada PHK. Jika ada hal-hal sekitar perjanjian kerja, selebihnya diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentag ketenagakerjaan. PKWT wajib dibuat secara tertulis,

10 Imam soepomo, 1980, Hukum Perburuhan di Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, h. 1.


(46)

30

selain itu juga wajib didaftarkan pada instansi yang sah, jika tidak didaftarkan pada instansi ketenagakerjaan maka PKWT dianggap tidak sah dan secara otomatis PKWT tersebut akan menjadi karyawan sehingga pekerja tersebut akan membuat dan memperoleh hak-haknya sesuai undang-undang.

Jika PKWT seseorang telah habis, dapat diperpanjang paling lama dua tauhun dan boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. PKWT tidak mengenal adanya masa percobaan.

B. Perjanjian waktu tidak tertentu (PKWTT)

Adalah perjanjian kerja yang tidak ditentukan waktunya (bersifat tetap). PKWTT dapat dibuat secara lisandan tidak wajib mendapatkan pengesahan dari instansi ketenagakerjaan. Apabila dibuat secara lisan, maka klausulnya diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan sehingga

dianggap menyetujui Undang-undang ketenagakerjaan sebagai “dasar

perikatan”. Selain itu, jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang sekurang-kurangnya memuat : nama dan alamat karyawan, tanggal mulai bekerja, jenis pekerjaan, dan besarnya upah. Jika PKWT tidak mensyaratkan adanya masa percobaan kerja, maka PKWTT mensyaratkan adanya masa percobaan kerja selama tiga bulan dengan perusahaan tetap membayar upah pekerja tidak lebih rendah dari UMR (Upah Minimum Regional).


(47)

Pekerja meninggal dunia;

Berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja (PKWT); Adanya putusan pengadilan atau putusan/penetapan lembaga penyelesaian perselisihan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

Munculnya keadaan tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja yang dapat berakhirnya hubungan kerja. Perbedaan antara PKWT dan PKWTT adalah:

PKWT dibuat menggunakan bahasa Indonesia, jika tidak secara otomatis akan berubah menjadi PKWTT;

Dalam PKWT harus mencantumkan masa berlaku perjanjian kerja sesuai dengan yang disepakati;

Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan penggantian hak tidak diwajibkan dalam PKWT;

Bila salah satu pihak dalam PKWT melakukan PHK maka pihak yang terkena mendapatkan ganti rugi sejumlah sisa masa kontrak.

2.2 Outsourcing

2.2.1 Istilah dan pengertian

“Istilah Outsourcing tidak dipergunakan dalam Undang-undang. Outsourcing merupakan istilah yang digunakan untuk menggantikan istilah alih


(48)

32

tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan oleh suatu

perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja.”11

Pasal 64 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Artinya ada perusahaan lain yang melatih sumber daya manusia dengan keterampilan-keterampilan yang nantinya akan dipekerjaan di perusahaan lain dengan pekerja tersebut masih berstatus tenaga kerja di perusahaan awal tersebut. Perusahaan lain yang mempekerjaan tenaga kerja dari perusahaan awal menggunakan jasa pekerja tersebut untuk mengisi posisi yang telah disediakan yang tentunya tidak berhubungan dengan kegiatan

inti produksi. Karyawan/pekerja outsourcing adalah karyawan kontrak yang

disediakan dari perusahaan jasa outsourcing untuk membantu pekerjaan-pekerjaan

khusus yang tak berhubungan dengan pekerjaan inti.12

2.2.2 Jenis pekerjaan outsorcing

Sebagai sistem alih daya, pekerjaan yang berhubungan dengan outsourcing dibagi menjadi beberapa jenis. Berdasarkan Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pekerja/buruh dari perusahaan penyadia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan

11 Lalu Husni II, op. cit. h. 168

12 Doni Judian, 2014, Tahukah Anda Tentang Pekerja Tetap, Kontrak, Freelance, Outsourcing, Dunia Cerdas, Jakarta, h. 143.


(49)

langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Dapat disimpulkan bahwa ada jenis-jenis pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai outsourcing. Kelima jenis pekerjaan tersebut adalah cleaning service, jasa

keamanan, katering, transportasi, dan kontraktor pertambangan.13

Kelima jenis pekerjaan outsourcing tersebut tidak secara spesifik

disebutkan sebagai bagian dari outsourcing karena belum ada peraturan yang

membahas secara spesifik mengenai outsourcing. Bahkan dalam Pasal 4

Permenakertrans No. KEP-101/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh memberi kebebasan kepada pihak perusahaan untuk menentukan sendiri jenis pekerjaan yang akan di pekerjakan dalam perjanjian kerja. Namun, berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, secara umum kelima perkerjaan tersebut

yang dipakai sebagai acuan mengenai jenis pekerjaan outsourcing di Indonesia.

2.2.3 Pihak-pihak dalam outsorcing

Sebagai sistem alih daya, pihak-pihak yang terlibat dalam outsourcing

tidak jauh berbeda dengan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja pada

umumnya, yakni pekerja dan perusahaan. Namun pada outsourcing terdapat 2

perusahaan yang memiliki arti berbeda. Pada outsourcing, terdapat perusahaan

yang bertugas sebagai penyalur tenaga kerja outsourcing (selanjutnya disebut

sebagai perusahaan penyedia tenaga kerja), dan perusahaan yang meminta tenaga

13Ibid. h. 149


(50)

34

kerja ke perusahaan penyedia tenaga kerja/pemborong pekerja (selanjutnya disebut sebagai perusahaan pemberi kerja). Kedua perusahaan tersebut memiliki arti dan tujuan masing-masing. Adrian Sutedi menggunakan istilah penyedia jasa

pekerja dan pemborongan pekerjaan14 :

A. Perusahaan penyedia tenaga kerja

Perusahaan penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau

kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi

dipersyaratkan:

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan peyedia jasa

pekerja;

b. Perjanjian kerja dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau

perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak;

c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta

perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja;

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan

penyedia jasa pekerja, dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur

dalam undang-undang no.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

B. Perusahaan pemberi kerja

14Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), h. 224.


(51)

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dilakukan dengan perusahaan yang berbadan hukum, dengan syarat (Pasal 65 ayat (2) undang-undang Nomor 13 Tahun 2013) :

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi

perusahaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan;

d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

2.2.4 Kekuatan mengikat perjanjian outsorcing

Kekuatan mengikat perjanjian outsourcing sama dengan kekuatan

mengikat pada perjanjian kerja pada umumnya. Karena dalam outsourcing hanya

membedakan jenis perusahaan penerima tenaga kerjanya dan pihak yang melaksanakan perjanjian kerja tersebut, sehingga kekuatan mengikat dan dasar dibuatnya perjanjian sama dengan perjajian kerja pada umumnya.

Untuk membuat perjanjian kerja, dibuatlah surat kontrak. Dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak menggunakan surat kontrak, tapi istilah yang digunakan adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Ikatan kerja itu pada dasarnya ada 2 (dua) macam, yaitu kerja untuk

waktu tertentu dan kerja untk waktu tidak tertentu15. Tenaga kerja yang sudah

diangkat menjadi pekerja permanen/tetap termasuk ke dalam kerja untuk waktu

15 Doni Judian, op. cit. h. 73.


(52)

36

tidak tertentu. Sedangkan dalam outsourcing termasuk dalam kerja untuk waktu

tertentu, karena masa kerja ditentukan pada saat perjanjian kerja dilakukan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat mengikat orang yang membuat. Para pihak harus menaati apa yang diperjanjikannya itu, keharusan itu lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1388 KUH Perdata). Pada dasarnya perjanjian hanya mengikat bagi para piihak yang membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 yo. 1917 KUH Perdata). Namun demikian, ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata memberikan pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat oleh si berpiutang, maka si berpiutang

dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja (action Pauliana).16

2.2.5 Kelebihan dan kekurangan outsorcing

Sebagai sistem alih daya, outsourcing tentunya memiliki kelebihan

maupum kekurangan dibanding dengan sistem kerja pada umumnya. Menurut

Doni Judian, outsourcing merupakan penyerahan sebagian pekerjaan kepada

perusahaan lain secara langsung atau tidak langsung telah membuka kesempatan kerja yang baru. Serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja

perusahaan17. Sedangkan, menurut Adrian Sutedi kelebihan dari outsourcing

adalah18 :

16 Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit. h 32. 17Doni Judian, op.cit. h. 148


(53)

1. Seorang pekerja outsourcing melakukan efisiensi dan dapat terhindar dari

risiko/ekonomis, seperti perselisihan/PHK, jaminan social, dan

kesejahteraan lainnya;

2. Sedangkan bagi perusahaan terhindar adri risiko perburuhan, seperti PHK,

perselisihan, waktu, tenaga, dana.

Kekurangan dari outsourcing adalah tidak semua pekerjaan dapat

dikategorikan sebagai pekerjaan outsourcing. Oleh karena itu harus diperhatikan

dalam penyerahan sebagian pekerjaan perusahaan lain, adalah dilakukan melalui suatu perjanjian tertulis. Dalam membuat perjanjian, sekurang-kurangnya memuat:

Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa;

Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja;

Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja, bersedia menerima pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal ini terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja.

Sehingga, pada umumnya secara garis besar berdasarkan pendapat ahli


(54)

38

A. Pekerja :

Memudahkan karyawan mendapatkan pekerjaan, karena perusahaan outsourcing yang menyalurkan;

Mendapatkan pelatihan dari perusahaan outsourcing;

Memudahkan pencari kerja yang memiliki keahlian khusus memilih perusahaan yang akan mempekerjakan mereka nantinya dan menentukan gaji yang akan mereka dapatkan karena para pencari kerja dengan keahlian khusus sangat jarang, sehingga menjadi rebutan perusahaan besar;

Mendapatkan banyak pengalaman dan relasi;

Lebih mampu mengekspresikan bakat pada spesialis kerja tertentu; Dapat mengembangkan diri;

Memberi ruang untuk bisa melakukan kegiatan usaha yang lain.

B. Perusahaan :

Tidak memikirkan mengenai tunjangan, jaminan dan asuransi kesehatan; Fokus pada kompetensi inti;

Penghematan dan pengendalian biaya operasional;

Memanfaatkan kompetensi agen outsourcing;

Mengurangi resiko, perusahaan mampu mempekerjakan lebih sedikit karyawan dan dipilih yang intinya;

Perusahaan dapat merespon pasar dengan cepat.

Sedangkan, dari segi kekurangan outsourcing yaitu :


(55)

Tidak ada jenjang karir dalam pekerjaan outsourcing; Masa kerja tidak jelas karena sistem kontrak;

Tidak mendapat tunjangan;

Pemotongan penghasilan tidak jelas; Kesejahteraan tidak terjamin;

Bagi pekerja dengan kemampuan terbatas, memperoleh pendapatan yang terbatas;

Bagi perusahaan :

Kehilangan control manajerial : control manajerial akan menjadi milik

perusahaan lain karena perusahaan outsourcing tidak akan mendorong perusahaan melainkan didorong untuk membuat keuntungan dari layanan yang mereka sediakan;

Adanya biaya tersembunyi : setiap hal yang tidak tercantum dalam kontrak menjadi dasar perusahaan untuk membayar biaya tambahan;

Ancama keamanan dan kerahasiaan : perusahaan outsourcing dapat

menerima informasi tentang catatan gaji, medis dan rahasia lainnya;

Kualitas : kontrak akan mengalami spesifikasi dan akan ada biaya tambahan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan kepada perusahaan outsourcing;

Terkait kesejahteraan keuangan perusahaan lain; perusahaan outsourcing

akan bangkrut; Publisitas buruk.


(1)

kerja ke perusahaan penyedia tenaga kerja/pemborong pekerja (selanjutnya disebut sebagai perusahaan pemberi kerja). Kedua perusahaan tersebut memiliki arti dan tujuan masing-masing. Adrian Sutedi menggunakan istilah penyedia jasa pekerja dan pemborongan pekerjaan14 :

A. Perusahaan penyedia tenaga kerja

Perusahaan penyedia jasa pekerja untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi dipersyaratkan:

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan peyedia jasa pekerja;

b. Perjanjian kerja dapat berupa perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak;

c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja;

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja dan perusahaan penyedia jasa pekerja, dibuat secara tertulis sesuai ketentuan yang diatur dalam undang-undang no.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

B. Perusahaan pemberi kerja

14Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut


(2)

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui pemborongan pekerjaan. Perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dilakukan dengan perusahaan yang berbadan hukum, dengan syarat (Pasal 65 ayat (2) undang-undang Nomor 13 Tahun 2013) :

a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi perusahaan;

c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan; d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

2.2.4 Kekuatan mengikat perjanjian outsorcing

Kekuatan mengikat perjanjian outsourcing sama dengan kekuatan mengikat pada perjanjian kerja pada umumnya. Karena dalam outsourcing hanya membedakan jenis perusahaan penerima tenaga kerjanya dan pihak yang melaksanakan perjanjian kerja tersebut, sehingga kekuatan mengikat dan dasar dibuatnya perjanjian sama dengan perjajian kerja pada umumnya.

Untuk membuat perjanjian kerja, dibuatlah surat kontrak. Dalam undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak menggunakan surat kontrak, tapi istilah yang digunakan adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Ikatan kerja itu pada dasarnya ada 2 (dua) macam, yaitu kerja untuk waktu tertentu dan kerja untk waktu tidak tertentu15. Tenaga kerja yang sudah diangkat menjadi pekerja permanen/tetap termasuk ke dalam kerja untuk waktu

15 Doni Judian, op. cit. h. 73.


(3)

tidak tertentu. Sedangkan dalam outsourcing termasuk dalam kerja untuk waktu tertentu, karena masa kerja ditentukan pada saat perjanjian kerja dilakukan.

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian yang dibuat mengikat orang yang membuat. Para pihak harus menaati apa yang diperjanjikannya itu, keharusan itu lahir dari perjanjian itu sendiri yang berkekuatan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1388 KUH Perdata). Pada dasarnya perjanjian hanya mengikat bagi para piihak yang membuatnya, dan tidak mengikat pihak ketiga (Pasal 1340 yo. 1917 KUH Perdata). Namun demikian, ketentuan Pasal 1341 KUHPerdata memberikan pengecualian, yaitu perjanjian yang dibuat oleh si berpiutang, maka si berpiutang dapat mengajukan pembatalan sejauh kerugiannya saja (action Pauliana).16

2.2.5 Kelebihan dan kekurangan outsorcing

Sebagai sistem alih daya, outsourcing tentunya memiliki kelebihan maupum kekurangan dibanding dengan sistem kerja pada umumnya. Menurut Doni Judian, outsourcing merupakan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain secara langsung atau tidak langsung telah membuka kesempatan kerja yang baru. Serta meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja perusahaan17. Sedangkan, menurut Adrian Sutedi kelebihan dari outsourcing

adalah18 :

16 Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, op.cit. h 32.

17Doni Judian, op.cit. h. 148 18Adrian Sutedi II, op.cit. h. 227


(4)

1. Seorang pekerja outsourcing melakukan efisiensi dan dapat terhindar dari risiko/ekonomis, seperti perselisihan/PHK, jaminan social, dan kesejahteraan lainnya;

2. Sedangkan bagi perusahaan terhindar adri risiko perburuhan, seperti PHK, perselisihan, waktu, tenaga, dana.

Kekurangan dari outsourcing adalah tidak semua pekerjaan dapat dikategorikan sebagai pekerjaan outsourcing. Oleh karena itu harus diperhatikan dalam penyerahan sebagian pekerjaan perusahaan lain, adalah dilakukan melalui suatu perjanjian tertulis. Dalam membuat perjanjian, sekurang-kurangnya memuat:

Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa;

Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan, hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja;

Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja, bersedia menerima pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam hal ini terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja.

Sehingga, pada umumnya secara garis besar berdasarkan pendapat ahli diatas, sistem outsourcing memiliki kelebihan pada :


(5)

A. Pekerja :

Memudahkan karyawan mendapatkan pekerjaan, karena perusahaan

outsourcing yang menyalurkan;

Mendapatkan pelatihan dari perusahaan outsourcing;

Memudahkan pencari kerja yang memiliki keahlian khusus memilih perusahaan yang akan mempekerjakan mereka nantinya dan menentukan gaji yang akan mereka dapatkan karena para pencari kerja dengan keahlian khusus sangat jarang, sehingga menjadi rebutan perusahaan besar;

Mendapatkan banyak pengalaman dan relasi;

Lebih mampu mengekspresikan bakat pada spesialis kerja tertentu; Dapat mengembangkan diri;

Memberi ruang untuk bisa melakukan kegiatan usaha yang lain.

B. Perusahaan :

Tidak memikirkan mengenai tunjangan, jaminan dan asuransi kesehatan; Fokus pada kompetensi inti;

Penghematan dan pengendalian biaya operasional; Memanfaatkan kompetensi agen outsourcing;

Mengurangi resiko, perusahaan mampu mempekerjakan lebih sedikit karyawan dan dipilih yang intinya;

Perusahaan dapat merespon pasar dengan cepat. Sedangkan, dari segi kekurangan outsourcing yaitu : Bagi pekerja :


(6)

Tidak ada jenjang karir dalam pekerjaan outsourcing; Masa kerja tidak jelas karena sistem kontrak;

Tidak mendapat tunjangan;

Pemotongan penghasilan tidak jelas; Kesejahteraan tidak terjamin;

Bagi pekerja dengan kemampuan terbatas, memperoleh pendapatan yang terbatas;

Bagi perusahaan :

Kehilangan control manajerial : control manajerial akan menjadi milik perusahaan lain karena perusahaan outsourcing tidak akan mendorong perusahaan melainkan didorong untuk membuat keuntungan dari layanan yang mereka sediakan;

Adanya biaya tersembunyi : setiap hal yang tidak tercantum dalam kontrak menjadi dasar perusahaan untuk membayar biaya tambahan;

Ancama keamanan dan kerahasiaan : perusahaan outsourcing dapat menerima informasi tentang catatan gaji, medis dan rahasia lainnya;

Kualitas : kontrak akan mengalami spesifikasi dan akan ada biaya tambahan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan kepada perusahaan

outsourcing;

Terkait kesejahteraan keuangan perusahaan lain; perusahaan outsourcing

akan bangkrut; Publisitas buruk.


Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pkwt) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

4 75 129

Implementasi Perlindungan Tenaga Kerja Penyedia Jasa (Outsourcing) ditinjau dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

3 16 136

Perjanjian Kerja Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Menurut Hukum Islam.

0 0 15

PEMBERIAN UPAH PEKERJA WAKTU TERTENTU PADA SAAT BULAN RAMADHAN DI PERUSAHAAN KARAOKE DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.

0 0 1

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU PADA PT KERETA API INDONESIA (PERSERO) DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN.

0 0 10

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA DENGAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU (PKWT) TERKAIT HAL PENGALIHAN HUBUNGAN KERJA DI PERUSAHAAN ALIH DAYA BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KE.

0 0 4

Perlindungan Hukum Tenaga Kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus di PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) Area Madiun).

0 0 17

PERLINDUNGAN PEKERJA DALAM PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DI PT. INTERNATIONAL CHEMICAL INDUSTRY.

0 1 1

Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Kontrak Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Muhammad Wildan

0 0 9

PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU DAN SISTEM PENGUPAHAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN - repo unpas

0 0 15