Peran Saikong Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP dan LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka
Kajian merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan
dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Kajian pustaka
merupakan hasil dari meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari, KBBI
(1990:951).
Herbert. 2010. Dalam Skripsi “ Penggunaan dan Fungsi Ansambel Chui Ko
dalam Upacara Bing Yi Guan pada Masyarakat Tionghoa di Yayasan Balai
Persemayaman Angsapura Medan”. Medan: USU Press. Skripsi ini mengatakan bahwa
peran Saikong dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa adalah sebagai pemimpin
dalam upacara kematian, menentukan hari baik penguburan atau pembakaran jenazah
yang disemayamkan, selain itu Saikong juga memainkan peranan dalam bermain musik.
Penelitian ini memberikan kontribusi

kepada peneliti mengenai tahapan upacara

kematian, peralatan atau benda-benda perlengkapan upacara, peserta upacara serta
memberikan gambaran kepada peneliti mengenai peran Saikong dalam upacara kematian
masyarakat Tionghoa.

Wu Juan. 2011. Dalam Jurnal “ 民 间 葬 礼 中 的 道 场 仪 式 ’’. China: China
Academic Journal Publishing House. Jurnal ini mengatakan bahwa peran Saikong
merupakan tokoh yang amat penting dalam upacara kematian masyarakat Tiongkok.

Universitas Sumatera Utara

Peran Saikong dalam upacara kematian rakyat Tiongkok adalah sebagai pembaca doa,
melafalkan paritta, dan sebagai pemain musik. Jurnal ini sangat membantu peneliti
membandingkan peran Saikong di Tiongkok dengan di Indonesia khususnya kota Medan.

2.2 Konsep

Konsep merupakan rancangan, idea atau pengertian yang diabstraksikan dalam
istilah konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang
digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain, KBBI (1990:456).
Konsep bertujuan untuk memusatkan penelitian sehingga terfokus pada tujuan yang
ingin dicapai dengan demikian hasilnya menjadi lebih maksimal dan terfokus pada inti
permasalahan. Konsep merupakan semacam peta perencanaan sehingga dapat dijadikan
pedoman dalam melangkah ke depan.


2.2.1 Peran
Menurut penulis, peran adalah keterlibatan seseorang di dalam suatu kegiatan
atau kelompok. Namun di bawah ini penulis mengutip beberapa defenisi peran yaitu:
Peran adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki orang yang
berkedudukan di masyarakat (KBBI). Soekanto dalam Maryati (2001:4) juga
mengatakan bahwa: “…Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan (status), apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya, maka dia menjalankan suatu peran”.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya Rohman (2003:33) mengatakan bahwa: “… Peran adalah pola tindakan
atau perilaku yang diharapkan dari orang yang memiliki status tertentu”.
Perilaku individu dalam kesehariannya di dalam masyarakat berhubungan erat
dengan peran. Dari peran yang dijalankan dalam kesehariannya, akan tampak status
sosialnya. Sehingga status dan peran tidak dapat dipisahkan, keduanya saling beriringan,
Rohman (2003:33).

2.2.2 Budaya
Defenisi kebudayaan sampai sekarang masih belum baku karena defenisi
kebudayaan itu dinamis artinya berubah-ubah sesuai perkembangan zaman. Namun

dalam hal ini penulis mengutip beberapa defenisi kebudayaan menurut para ahli.
E.B Taylor dalam Warsani (1978:53) mengatakan: “ Kebudayaan itu adalah
keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuankemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat”.
Selanjutnya, R.Linton dalam Warsani (1978:53) juga mengatakan bahwa: “…the
configuration of learned behavior and result of behavior whose components elements
are shared and transmitted by the members of particular society”. (Kebudayaan adalah
konfigurasi dari tingkah laku yang dipelajari dan hasil dari tingkah laku yang unsurunsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu).
Koentjaraningrat dalam Warsani, (1978:53) juga mengatakan bahwa: ‘‘…Kebudayaan
itu keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata

Universitas Sumatera Utara

kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar yang semuanya tersusun dalam
kehidupan bermasyarakat”.
Kebudayaan adalah dipelajari, diperoleh dari tradisi masyarakat dan cara-cara
hidup dari anggota masyarakat, termasuk pola-pola hidup mereka, cara berfikir, perasaan,
perbuatan, tingkah laku. Kebudayaan juga merupakan sistem nilai (value) dan arti
(meaning) yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang atau masyarakat termasuk

pengejawantahan dari nilai-nilai dan arti dalam objek materi. Sekelompok orang atau
masyarakat memiliki ide bersama mengenai apa yang benar atau yang salah, atau apa
yang baik atau yang buruk, mereka juga memiliki pengetahuan tentang lingkungan dan
cara-cara mengerjakan sesuatu, Warsani (1978:54).
Manusia tidak

dapat hidup sendiri, selalu berusaha mencari teman karena

manusia hidup bermasyarakat. Ada kemungkinan bahwa manusia yang mempunyai
kebudayaan berpindah tempat atau dengan sengaja mencari tempat agar terdapat
hubungan (relasi). Oleh karena itu ada kemungkinan kebudayaan menyebar dari satu
daerah ke daerah lain. Sama halnya dengan masyarakat tionghoa yang menyebar atau
berimigrasi ke tempat atau daerah yang lain maka secara langsung kebudayaanya juga
berpindah atau menyebar. Migrasi masyarakat Tionghoa ke Indonesia menyebabkan
Indonesia memiliki pertambahan keanekaragaman kebudayaan,

salah satunya

kebudayaan Tionghoa.


Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Saikong
Saikong merupakan sosok atau tokoh yang berperan di dalam upacara kematian
masyarakat Tionghoa, juga dipercaya memiliki kekuatan supranatural yaitu bisa
berkomunikasi dengan dewa. Dalam upacara kematian Saikong berperan memimpin
jalannya upacara mulai dari awal hingga berakhirnya upacara kematian, membaca doa
dan melafalkan paritta. Kesuksesan upacara kematian sangat ditentukan oleh kepiawaian
seorang Saikong dalam memimpin upacara tersebut. Mulai dari pemilihan hari baik
mengenai kapan diadakannya upacara pemakaman hingga mengantarkan jenazah ke
peristirahatan terakhir. Tujuan diadakannya pemimpin dalam setiap upacara adalah agar
upacara tersebut dapat

berjalan dengan baik dan terarah. Untuk menjadi seorang

pemimpin dibutuhkan pengaruh yang besar di dalam masyarakat. Koentjaraningrat
(2005: 174) mengatakan bahwa:
“Pengaruh yang besar diperoleh dengan adanya sifat-sifat pemimpin sebagai
berikut:
1.

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Sifat-sifat yang disenangi warga masyarakat pada umumnya.
Sifat-sifat yang diidam-idamkan warga masyarakat pada umumnya yang
karena akan ditiru.
Memiliki keahlian yang diperlukan dan diakui warga masyarakat.
Pengesahan resmi,atau keabsahan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
adat masyarakat.
Sifatnya yang keramat,menurut pandangan umum dalam masyarakat.
Memiliki lambang-lambang pemimpin,sesuai dengan adat dalam
masyarakat.
Memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuatan fisik”.

Kepercayaan masyarakat Tionghoa terhadap Saikong didasari oleh keyakinan
mereka bahwa Saikong bukanlah sosok yang biasa, namun memiliki kemampuan yang


Universitas Sumatera Utara

luar biasa. Sosok seperti inilah yang di dalam kehidupan masyarakat sering dianggap
memiliki sifat-sifat keramat sehingga disegani oleh masyarakat. Koentjaraningrat (2005:
174) mengatakan bahwa:
“ Seorang pemuka agama atau pendeta adalah seorang pemimpin yang memiliki
sifat-sifat yang dianggap keramat oleh masyarakat. Pemimpin seperti ini
biasanya ditaati, disegani, atau bahkan ditakuti orang, dinamakan “mempunyai
karisma” karena ia dianggap sebagai orang yang telah mendapat wahyu dari pada
leluhur, para dewa, atau oleh Tuhan”.

2.2.4 Masyarakat Tionghoa
Koentjaraningrat (2002:147) mengatakan bahwa: “Masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang
bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama”.
J.L Gillin dan J.P Gillin dalam Koentjaraningrat (2002:147) juga mengatakan
bahwa: “Masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar yang mempunyai
kebiasaan, tradisi sikap dan perasaan persatuan yang sama”.
Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat di Indonesia.

Tionghoa adalah sebutan untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok. Kata ini
dipakai sebagai pengganti kata “Cina” yang sering diartikan memiliki konotasi negatif.
Purcell dalam Yusiu (2000: 1) mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa adalah:
“Seluruh imigran cina dan keturunanya yang tinggal dalam ruang lingkup
budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraanya sebagai

Universitas Sumatera Utara

“Cina’’atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saaat bersamaan
mereka berhubungan dengan cina perantauan lain atau dengan Tiongkok secara
social atau lainnya,tanpa memandang kebangsaan, bahasa atau kaitan erat
dengan budaya Cina.”

Proses kedatangan atau migrasi masyarakat Tionghoa ke Indonesia berlangsung
secara bergelombang,dan alam jangka waktu yang bervariasi. Gelombang pendatang
paling padat tiba pada abad ke-19, ketika banyak orang terpaksa meninggalkan tanah
airnya akibat kebutuhan ekonomi dan dibawah tekanan kolonialisme modern. Mereka
membawa bahasa mereka sendiri, dan juga teman-teman sedaerah mereka, baik yang
semarga maupun yang bukan, ke Indonesia. Ribuan diantaranya direkrut sebagai kuli
kontrak yang kemudian memunculkan dikotomi totok dan peranakan, Yusiu (2000: 4).

Selain itu awal mula kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia juga
dipengaruhi oleh berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yaitu
perdagangan. Seperti yang kita ketahui masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat
yang cukup pintar dalam berdagang dan hal ini sudah turun temurun diwariskan oleh
nenek moyang etnis tionghoa itu sendiri. Kemudian masyarakat Tionghoa itu menyebar
dan persebaranya meliputi pulau Sumatera, jawa ,Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat
Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri atas marga atau suku
yang tidak terkait secara geometris dan territorial yang selanjutnya telah menjadi satu
dengan suku-suku lainnya di Indonesia .
Proses kedatangan masyarakat Tionghoa ke kota Medan melalui imigrasi yang
bertahap mayoritas berasal dari dua daerah yang berbeda yaitu berasal dari propinsi

Universitas Sumatera Utara

Fukien dan Guangdong. Masyarakat Tionghoa di medan terdiri dari berbagai suku yang
tampak dari bahasa atau dialek yang mereka gunakan. Ada beberapa suku Tionghoa
yang ada di Medan, diantaranya adalah suku Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Ai lo
hong, dan Tio chio.
Sesuai dengan pasal 2 UU nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan
Republik Indonesia bahwa “orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia

digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional”. Dengan demikian secara
tidak langsung undang-undang itu menjamin bahwa masyarakat Tionghoa memiliki hak
yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk juga hak untuk
berusaha dan mendapatkan penghidupan yang layak. Hal itulah yang mendasari
mengapa masyarakat Tionghoa yang kita kenal sekarang banyak yang terjun kedalam
ranah politik, hukum, ekonomi, dan perdagangan.
Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup terkenal dengan
kebudayaannya yang beragam. Seperti seni tulis atau kaligrafi, seni menggunting kertas,
pengobatan, seni bela diri, seni opera atau teater, seni musik tradisional, hingga tradisi
pemujaan leluhur yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat
Tionghoa. Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup mempertahankan
nilai-nilai budaya dan sangat menghargai tradisi-tradisi yang mereka percayai
merupakan sesuatu yang baik untuk terus dijaga dan dilestarikan untuk kehidupan
dimasa mendatang. Masyarakat Tionghoa juga merupakan tipe masyarakat yang sangat
menjunjung tinggi keharmonisan antara kehidupan manusia dengan alam itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara

2.2.5 Kematian
Goethe dalam Louis (1996:1) mengatakan bahwa: ‘‘Death is Something so

stranger that inspite of our experience of it,we do not think it is possible for those we
cheris,it always

surprises us as something unbelievable and paradoxal’’. Artinya

kematian adalah sesuatu yang aneh walaupun kita akan mengalaminya, Kita tidak
berpikir bahwa kematian itu mungkin adalah sesuatu yang untuk kita hargai, kematian
selalu mengejutkan kita karena kematian itu merupakan sesuatu yang tidak dapat
dipercayai dan paradoks.
Kematian pada dasarnya semua orang tahu adalah kewajaran dalam hidup.
Namun demikian banyak orang berpendapat bahwa hidup ini bersifat ironis, karena
manusia sebenarnya tidak pernah meminta agar ia dilahirkan, tetapi begitu ia lahir,
mencintai hidup dan kehidupanya ia dihadapkan pada realitas yang senang atau tidak
senang harus dijalaninya sebagaimana kelahirannya sendiri, Louis (1996:14).
Kelahiran dan kematian yang harus dijalani akhirnya menjadi salah satu misteri
yang paling besar bagi manusia. Mati menjadi pasangan dari hidup. Setiap yang
bernyawa pasti merasakan kematian. Kematian datang pada diri kita bagaikan pencuri,
menyelinap masuk lalu keluar membawa roh kehidupan kita dengan meninggalkan
jasad tergolek tak berdaya. Kematian sering identik dengan tragedi yang membawa
kesedihan bagi yang ditinggalkan, Louis (1996:15). Siti Gazalba (1982:67) juga
mengatakan bahwa:

Universitas Sumatera Utara

“Pertanyaan tentang kematian adalah pertanyaan yang muncul dari kesangsian.
Kesangsian lahir dari ketidakpastian. Ketidakpastian menimbulkan kegelisahan.
Kegelisahan pada akhirnya membawa manusia kepada kecemasan dan
ketakutan. Ketakutan bagaimanapun juga merupakan penyakit rohani yang
menyiksa”.
Pada banyak suku bangsa ada kepercayaan bahwa jiwa dapat meninggalkan
tubuh pada setiap saat. Saat orang tidur, jiwanya dapat pergi melayang dan
mengunjungi tempat-tempat lain. Jasmaninya tetap berada di tempat tidur dengan
demikian dapat melihat tempat-tempat yang dikunjungi jiwanya yang dinyatakan
sebagai mimpinya. Demikian juga saat orang pingsan, seluruh tubuhnya menjadi tidak
berdaya, karena jiwanya meninggalkanya untuk sementara waktu. Tetapi kalau jiwanya
telah meninggalkan tubuhnya untuk tidak kembali lagi, dan telah memutuskan
hubungan dengan jasmani, maka tubuh itu mati, Koentjaraningrat (2005:208).
Masyarakat Tionghoa sendiri memandang kematian adalah perjalanan
kembali ke asal, kembali ke asal yaitu dengan jiwa yang baru karena masyarakat
Tionghoa mempercayai adanya Reinkarnasi setelah kematian. Dengan kepercayaan
akan reinkarnasi ini timbul kesadaran akan akibat panjang dari amal perbuatan
seseorang semasa hidupnya. Namun meskipun demikian kematian merupakan hal yang
tabu untuk

dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat

Tionghoa

menganggap lahir, tua, sakit, dan mati adalah siklus yang harus dilalui oleh semua
orang.

Universitas Sumatera Utara

2.2.6

Upacara Kematian

Upacara adalah perbuatan atau perayaan yang dilakukan sehubungan dengan
peristiwa penting (KBBI). Menurut Koentjaraningrat (1980:241) ada empat komponen
upacara yaitu, tempat upacara, waktu upacara, benda-benda dan alat-alat upacara, orangorang yang melakukan dan memimpin upacara.
Upacara kematian adalah upacara yang dilakukan untuk menghantarkan jenazah
ke peristirahatannya yang terakhir. Hertz seorang ahli antropologi menganggap bahwa
upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur
sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Ia melihat bahwa
gagasan kolektif mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku bangsa di
dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan
sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain, maksudnya dari kedudukan sosial
dalam dunia ini ke kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus, Koentjaraningrat
(1980:71). Hertz dalam Koentjaraningrat (1980:71) mengatakan bahwa:
“ Dalam rangka upacara kematian dari banyak suku-suku bangsa di dunia ada
lima anggapan di belakang upacara inisiasi pada umumnya. Kelima anggapan
itu adalah:
1. Anggapan bahwa peralihan dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial
yang lain adalah suatu masa krisis, suatu masa penuh bahaya gaib, tidak
hanya bagi individu bersangkutan, tetapi juga bagi masyarakat.
2. Anggapan bahwa jenazah dan juga semua orang yang ada hubungan dekat
dengan orang yang meninggal itu, dianggap mempunyai sifat keramat (sacre).
3. Anggapan bahwa suatu peralihan dari satu kedudukan sosial ke suatu
kedudukan sosial lain itu tak dapat berlangsung sekaligus, tetapi setingkat
demi setingkat , melalui serangkaian masa antara yang lama.
4. Anggapan bahwa upacara inisiasi harus mempunyai tiga tahap, yaitu tahap
yang melepaskan si obyek dari hubungannya dengan masyarakatnya yang

Universitas Sumatera Utara

lama, tingkat yang mempersiapkannya bagi kedudukannya yang baru, dan
tingkat yang mengangkatnya ke dalam kedudukan yang baru.
5. Anggapan bahwa dalam tingkat persiapan dari masa inisiasi, si obyek
merupakan seorang mahluk yang lemah sehingga harus dikuatkan dengan
berbagai upacara ilmu gaib”.
Masyarakat Tionghoa percaya apabila upacara kematian dilakukan dengan benar
maka kelak keturunnya tidak akan diganggu oleh roh orang yang meninggal. Selain itu
tujuan dari upacara kematian itu sendiri bagi masyarakat Tionghoa adalah sebagai
wujud bakti kepada orang yang telah meninggal.

2.3 Landasan Teori
Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis
berbagai fenomena dan juga sebagai

rujukan utama dalam memecahkan

masalah

penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut maka dalam sebuah
penelitian membutuhkan landasan teori yang mendasarinya, karena landasan teori
merupakan kerangka dasar sebuah penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Fungsionalisme. Tokoh penting
dalam teori fungsionalisme adalah Bronislaw Malinowsky. Malinowsky dalam T.O
Ihromi (2006:59) mengatakan bahwa: “…Semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi
masyarakat di mana unsur itu terdapat”.
Menurut Malinowski fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya
untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar,

Universitas Sumatera Utara

yaitu kebutuhan sekunder. Seperti kebutuhan manusia akan makanan, menyebabkan
munculnya unsur kebudayaan yaitu berupa mata pencaharian hidup dan alat-alat
produksi. Kebutuhan manusia akan keindahan menyebabkan lahirnya unsur kebudayaan
yaitu kesenian. Sifat keingintahuan manusia menyebabkan lahirnya sistem pengetahuan
dalam masyarakat. Pada intinya setiap unsur kebudayaan itu masih ada hingga saat ini
karena masih berfungsi atau bermanfaat dalam kehidupan masyarakat, Koentjaraningrat
(1980:171).

Universitas Sumatera Utara