Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

(1)

TRADISI PERSEMBAHAN MAKANAN KEPADA ORANG MENINGGAL DALAM UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN

棉兰华人在丧葬期间使用的食物供品的意义和作用分析研究

Mianlan Hua Ren Zai Sang Zang Qi Jian Shi Yong de Shiwu Gongpin de Yiyi he Zuo Yong Fenxi Yanjiu.

SKRIPSI

DISUSUN OLEH :

NOVA HERLINDA SAGALA NIM :100710036

PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TRADISI PERSEMBAHAN MAKANAN KEPADA ORANG MENINGGAL DALAM UPACARA KEMATIAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN

棉兰华人在丧葬期间使用的食物供品的意义和作用分析研究

Mianlan Hua Ren Zai Sang Zang Qi Jian Shi Yong de Shiwu Gongpin de Yiyi he Zuo Yong Fenxi Yanjiu.

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam bidang ilmu Sastra Cina.

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum NIP. 19640922 198903 1 001

Yang Yang, M.A.

PROGRAM STUDI SASTRA CINA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

2014

Disetujui Oleh:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi S-1 Sastra Cina Ketua

Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A NIP. 19630109 198803 2 001


(4)

Abstract

The title of this paper is " Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan". The purpose of this research to familymemberswhodiedweregivenofferings, toknowhow topresentofferingsto thedeadandtoknow themeaning ofgivingofferingsto thedead. Primary data got from field research and secondary data got from library research. The author did field research in the Balai persemayaman Angsapura on Waja Street no 2-4 Medan. The author uses the theory of functionalism and semiotic theory toanalyzethe tradition ofgivingofferingsto thedead in medan chinese death of ceremony, while the method used is descriptive method with quqlitqtive approach, from the result of research, writer can knowthe tradition of givingofferingstomake thehappyspiritsinthe afterlife. chinese death of ceremony have three part that is, ceremony before enter the box, enter the box and closing of ceremony, and the last is funeral ceremony.


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucap syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penulisan skripsi ini.Skripsi ini berjudul “Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan”.Skripsi ini diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar S-1 pada program studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menghadapi banyak rintangan dan hambatan.Tampa bantuan, arahan, dan bimbingan dari banyak pihak maka skripsi ini tidak dapat terselesaikan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan Pembantu Dekan ( PUDEK) I, II, III, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A selaku ketua Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sastra China Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum, selaku dosen pembimbing I penulis, yang dengan sabar telah mengarahkan, memberi masukan dan memeriksa lembar demi lembar skripsi ini.

5. Ibu Yang Yang M.A, selaku dosen pembimbing II, yang telah menyediakan waktu untuk membimbing saya dalam menulis skripsi ini ke dalam bahasa Mandarin.


(6)

6. Dosen-dosen dan staf pengajar FIB-USU yang telah membimbing dan mengajari saya selama 4 tahun.

7. Yang terhormat, seluruh dosen Jinan University yang mengajar di Program Studi Sastra Cina lainya yang telah memberikan ilmu dan didikan selama masa perkuliahan.

8. Para informan yang telah bersedia memberikan informasi tentang Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal.

9. Orangtuaku Tercinta, ayahanda Bistok Sagala dan ibunda Nurhayana Tamba yang setia memberikan dukungan terhadap saya, baik dukungan moral, kasih sayang, doa dan bentuk mareriil.

10.Saudara-saudaraku tercinta, Elly Sagala, Natalia Sagala, yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis, terimakasih buat waktu-waktu yang selalu tersedia untuk mendengarkan keluhkesah ku.

11.Teman-teman Mahasiswa Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Stambuk 2010, yang menjadi rekan dan sahabatku selama menempuh pendidikan di Sastra China USU.

12.Kakak-kakak kelas ku, baik stambuk 2007, 2008 dan 2009, terkhusus buat kak Vero Sembiring, kak Nyerly Gultom, kak Dameria Elisabeth. Terimakasih telah menyempatkan waktu untuk bertukar pikiran dengan ku.

13.Teman-temanku, Aria Artina Manurung, Cristina Hasibuan, Ira Riris, Terimakasih untuk kebersamaan kita selama ini.

14.Adik-adik Sastra Cina USU, yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, yang selalu menanyakan kabar skripsi ini, terimakasih untuk doa-doanya.


(7)

Akhir kata Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.Terima kasih.

Medan, July 2014

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRACT………..i

KATA PENGANTAR…………...………ii

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………..……1

1.2 Batasan Masalah………...…….5

1.3 Rumusan Masalah………..…...6

1.4 Tujuan Penelitian………..………...……….6

1.5 Manfaat Penelitian………..………..6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka………..……..8

2.2 Konsep……….……...8

2.2.1 Tradisi………9

2.2.2 Kebudayaan……….………..10

2.2.3 Masyarakat Tionghoa……….……….….11

2.2.4 Kematian ……….………13

2.2.5 Upacara Kematian……….………14

2.2.6 Persembahan Makanan……….15

2.3 Landasan Teori………..…..16

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian………...………19

3.2 Lokasi Penelitian……….………...20

3.3 Data dan Sumber Data………...20


(9)

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Sekunder…….….……….………21

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Primer………..……….21

3.5 Teknik Analisis Data……….……….22

BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan……….23

4.1.1 Sejarah Kedatangan Masyarakat Tionghoa………..………23

4.1.2 Bahasa………..……….……24

4.1.3 Sistem Kemasyarakatan………25

4.1.4 Mata Pencaharian………..25

4.2 Agama dan Kepercayaan ………..26

4.2.1 Buddha……….……….26

4.2.2 Konghucu……….……….30

4.2.3 Taoisme……….………33

4.3 Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa………....…34

4.3.1 Upacara Sebelum Masuk Peti………...…35

4.3.2 Upacara Masuk Peti dan Penutupan Peti………..…...…36

4.3.3 Upacara Pemakaman………..….38

4.3.4 Upacara Sesudah Pemakaman……….………....39

4.4 Lokasi Upacara, Peserta Upacara, Perlengkapan Upacara………41

4.4.1 Lokasi Upacara………...…41

4.4.2 Peserta Upacara……….……41


(10)

BAB V PERSEMBAHAN MAKANAN KEPDA ARWAH, CARA PENYAJIAN DAN MAKNA PERSEMBAHAN MAKANAN

5.1 Anggota keluarga etnis Tionghoa yang meninggal menerima persembahan makananan………53 5.1.1 Persembahan makanan kepada orang tua atau yang berkeluarga………...54 5.1.2 Persembahan makanan kepada orang yang belum berkeluarga……..…...55 5.1.3 Persembahan makanan kepada bayi atau balita……….….……56 5.2 Cara Penyajian memberikan Persembahan Makanan….……….…..57 5.3 Makna Persembahan Makanan ……….62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan………..………65 6.2 Saran………66


(11)

Abstract

The title of this paper is " Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan". The purpose of this research to familymemberswhodiedweregivenofferings, toknowhow topresentofferingsto thedeadandtoknow themeaning ofgivingofferingsto thedead. Primary data got from field research and secondary data got from library research. The author did field research in the Balai persemayaman Angsapura on Waja Street no 2-4 Medan. The author uses the theory of functionalism and semiotic theory toanalyzethe tradition ofgivingofferingsto thedead in medan chinese death of ceremony, while the method used is descriptive method with quqlitqtive approach, from the result of research, writer can knowthe tradition of givingofferingstomake thehappyspiritsinthe afterlife. chinese death of ceremony have three part that is, ceremony before enter the box, enter the box and closing of ceremony, and the last is funeral ceremony.


(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Masyarakat Tionghoa adalah salah satu kelompok masyarakat yang mendiami wilayah Indonesia dan masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan pada abad ke-16. Masyarakat Tionghoa, saat ini telah menjadi salah satu bagian dari masyarakat dan kebudayaan Indonesia.

Di Kota Medan kedatangan masyarakat Tionghoa pada awalnya adalah sebagai kuli kontrak perkebunan Belanda. Lambat laun mereka mulai menggeluti bidang perdagangan di Kota Medan. Masyarakat Tionghoa di Kota Medan hidup berdampingan dengan suku-suku lain, termasuk suku asli maupun suku pendatang.

Sama seperti suku lainnya, di Indonesia masyarakat Tionghoa juga memiliki kebudayaan tersendiri. Setiap proses kehidupan mereka dinyatakan dalam berbagai upacara budaya. Misalnya, kelahiran, perkawinan, maupun kematian.Upacara kematian adalah salah satu budaya masyarakat Tionghoa yang erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa.Upacara kematian dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang sudah meninggal. Apabila upacara kematian di jalankan sesuai ritual keagamaan yang benar, masyarakat Tionghoapercaya bahwa mereka sebagai keturunan orang meninggal tidak akan diganggu orang-orang yang telah meninggal.

Upacara kematian adalah suatu proses kegiatan yang biasa dilakukan untuk menghantarkan manusia ke alam yang berbeda dari alam yang biasanya didiami. Proses kegiatan itu dinamakan upacara kematian. Setiap etnis memiliki upacara kematian yang berbeda dikarenakan adat


(13)

istiadat dan kebudayaan yang berbeda.Dengan demikian, dalam upacara kematian setiap etnis memiliki upacara yang berbeda antara suku yang satu dengan suku yang lainnya, tidak terkecuali pada masyarakat Tionghoa.Mereka juga memiliki upacara kematian tersendiri.

Demikian juga, dalam tradisi memberikan persembahan makanan pada upacara kematian. Bagi masyarakat Tionghoa : lahir, tua, sakit, dan mati adalah satu siklus yang harus dilalui oleh setiap manusia. Masyarakat Tionghoa yang mengamalkan ajaran Taoisme, Buddisme, dan konfusianisme percaya akan adanya kehidupan setelah kematian yang dikenal dengan istilah

reinkarnasi. Mungkin karena kepercayaan inilah yang membuat masyarakat Tionghoa kaya akan tradisi-tradisi yang bertujuan agar kehidupan setelah kematian menjadi baik.

Setiap adanya Kematian maka akan ada upacara kematian, yaitu suatu proses yang menghantarkan manusia kealam yang biasanya didiami. Proses tersebut dinamakan upacara kematian. Setiap etnis memiliki upacara kematian yang berbeda dikarenakan adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda.

(Koentjaraningrat 1980:241) mengatakan bahwa “…. Ada empat komponem upacara yaitu, tempat upacara, benda-benda dan orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara”.Tempat upacara adalah lokasi atau tempat dilakukanya upacara, alat-alat upacara adalah peralatan atau benda-benda yang digunakan dalam upacara tersebut.Sedangkan pemimpin upacara adalah orang yang memimpin atau mengatur upacara tersebut.

Masyarakat Tionghoa selalu melestarikan kebudayaan dari leluhur mereka terdahulu. Bagi masyarakat Tionghoa Kota Medan, khususnya yang beragama Buddha, ajaran bakti kepada orangtua merupakan ciri khas masyarakat Tionghoa dan selalu dijunjung tinggi. Bakti ditujukan


(14)

kepada orangtua bukan hanya sewaktu orangtua masih hidup, melainkan juga setelah meninggal. Itulah sebabnya etnis Tionghoa sangat menjunjung tinggi tradisi memberikan makanan kepada orang yang sudah meninggal.Masyarakat mengembangkan dan membangun sistem kepercayaan atau keyakinan terhadap sesuatu. Sistem keyakinan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan. termasuk di dalamnya adalah Menghormati orang yang sudah meninggal. Anggota keluarga yang masih hidup berusaha mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat.

Penghormatan anak adalah sebuah konsep untuk selalu mengasihi orang tua. Etnis Tionghoa percaya,meskipun orang yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung, serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Pengertiannya adalah orang yang sudah meninggal dianggap menjadi dewa yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan mempengaruhi kehidupan anggota keluarga yang masih hidup.

Bagi etnis Tionghoa, tradisi memberikan persembahan makanan kepada orang yang sudah meninggal adalah tradisi yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk memberikan makanan kepada roh orang yang sudah meninggal.

Dalam tradisi persembahan makanan, setiap anggota keluarga masyarakat Tionghoa yang meninggal wajib diberikan persembahan makanan kecuali pada bayi.Cara penyajian dalam memberikan persembahan makanan adalah dengan cara, makanan diletakan di depan foto almarhum, dan yang menyajikan makanan tersebut harusanggota keluarga yang lebih mudah dari almarhum.Sama seperti ketika almarhum hidup di dunia, anggota keluarga yang masih hidup selalu memberikan dan mengganti makanan tiga kali sehari yaitu pagi, siang, dan malam. Khusus


(15)

pada hari pemakaman jenazah, anggota keluarga selalu menyajikan makanan yang lebih banyak dan mewah. Setelah acara pemakaman selesai keluarga kembali lagi memberikan dan menggganti persembahan makanan setiap tiga kali sehari. Proses ini dilakukan pihak keluarga yang masih hidup dimulai dari hari pertama kematiannya hingga ke-49 hari kematiannya. Namun, pihak keluarga yang masih hidup wajib memberikan persembahan makanan selama 7 hari kematiannya, karena pada hari pertama sampai hari ketujuh, arwah belum menyadari bahwa dirinya telah meninggal

Makanan yang dipersembahkan tersebut biasanya adalah makanan yang biasa dia makan semasa dia hidup di dunia, Seperti nasi, sayur, teh, dan buah.Pada hari ketujuh etnis Tionghoa wajib menambahkan makanan yang disebut kue wajik.kue wajik di persembahkan di hari ketujuh kematian. Kue wajik bersifat lengket, sehingga jika roh merasa lapar dia akan menyantap

makanan yang dipersembahkan termasuk kue wajik. Ketika tangan roh menyentuh kue wajik, tangannya akan lengket, dan roh akan mencuci tangannya. Ketika roh mencuci tangannya dia akan menyadari bahwa dirinnya telah meninggal. Karena, ketika roh menyentuh air, kulit dan tulang roh akan hancur. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa roh orang yang baru meninggal belum menyadari bahwa dirinya telah meninggal dan masih ada di sekitar mereka.Mereka juga percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal juga merasakan lapar, Itulah sebabnya

masyarakat Tionghoa selalu memberikan makanan kepada orang yang meninggal.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengkaji berbagai hal terkait dengan upacara persembahan makanan kepada orang meninggal bagi masyarakat Tionghoa di Kota Medan.


(16)

1.2Batasan Masalah

Mengingat luasnya ruang lingkup tentang persembahan makanan kepada orang meninggal bagi etnis Tionghoa, maka penulis membatasi ruang lingkup dan kajian yang akan di teliti. Penulis mengkaji Tradisi persembahan makanan kepada orang meninggal dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa di kota Medan

1.3Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah sebagai berikut:

1 Siapa-siapa saja anggota keluarga yang sudah meninggal yangdiberikan persembahan makanan?

2 Bagaimana cara penyajian dalam memberikan makanan kepada orang meninggal? 3 Apa Makna persembahan makanan kepada orang meninggal?

1.4 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui siapa-siapa saja anggota keluarga yang sudah meninggal yang diberikan persembahan makanan.

2. Untuk mengetahui cara-cara penyajian dalam memberikan persembahan makanan kepada orang meninggal.

3. Untuk mengetahui Makna persembahan makanan yang diberikan kepada orang yang sudah meninggal.


(17)

1.5 Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1 Memperkenalkan tradisi Persembahan makanan kepada masyarakat sekaligus memberikan tambahan pengetahuan mengenai Tradisi persembahan makanan dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa.

2 Sebagai sumber pengetahuan bagi penulis di bidang kebudayaan dan juga sebagai sumber untuk penelitian selanjutnya.

3 Sebagai bahan refrensi bagi peneliti selanjutnya.

1.5 .2Manfaat Praktis

Manfaat praktisnya adalah sebagai informasi kepada masyarakat atau kalangan umum yang berminat atau tertarik pada kebudayaan Tionghoa, khususnya tentang tradisi memberi persembahan makanan kepada orang sudah meninggal dalamupacara kematian Masyarakat Tionghoa.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP dan LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Kajian merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Kajian pustaka merupakan hasil dari meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari, (KBBI 1990:951).

(Nyerli.2013). Dalam Skripsi “Peran Saikong dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa di kota Medan mengatakan, Sesajian merupakan persembahan kepada dewa umumnya terdiri dari buah-buahan, sedangkan sesajian untuk roh umumnya berupa nasi, mie, dan teh. Sesajian ini diletakkan di altar dewa dan altar roh.

(Alan Fung. 2007). Dalam jurnal “ Ritual persembahan makanan dalam adat Hakka”Jurnal ini mengatakan bahwa persembahan makan adalah makanan yang di persembahkan kepada Roh yang sudah meninggal dan mempunyai kekuatan spritual


(19)

2.2 Konsep

Konsep merupakan rancangan yang diabstraksikan dalam istilah konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang di luar bahasa yang di gunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain, Pada inti permasalahan. Konsep merupakan semacam peta perencanaan sehingga dapat dijadikan pedoman dalam melangkah ke depan.

2.2.1 Tradisi

Tradisi adalah suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang.

Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacu pada adat atau kebiasan yang turun temurun, atau peraturan yang dijalankanmasyarakat. Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” .Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitu juga dengan budaya keduanya saling mempengaruhi.

Abdul Syani. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat(1995:53) mengemukakan bahwa Tradisi merupakan segala sesuatu yang berupa adat, kepercayaan dan kebiasaan. Kemudian adat kepercayaan dan kebiasaan itu menjadi ajaran-ajaran atau paham-paham yang turun temurun


(20)

dari para pendahulu kepada generasi-generasi berikutnnya, berdasarkan dari mitos-mitos yang tercipta atas kebiasaan yang menjadi rutinitas yang selalu dilakukan oleh orang orang.

Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi. Tradisi berevolusi menjadi budaya. Itulah sebab sehingga keduanya merupakan personifikasi. Budaya adalah cara hidup yang dipatuhi oleh anggota masyarakat atas dasar kesepakatan bersama.Kedua kata ini merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, dalam perwujudan ide, nilai, norma, dan hukum.

2.2.2 Kebudayaan

Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari

buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. ( Koentjaraningrat, 2002:181).

E.B Taylor dalam (Warsani 1978:53) mengatakan : “Kebudayaan itu adalah keseluruhan yang kompleks yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain serta yang didapat oleh manusia sebagai angota masyarakat”.

Selanjutnya, Herskovit dalam (Warsani1987:53) juga mengatakan bahwa : kebudayaan adalah bagian dari kebutuhan hidup yang di ciptakan manusia sebagai sesuatu yang superorganik sebab meskipun sesuatu telah punah, kebudayaan selalu hidup turun menurun dari generasi ke generasi. Salim dalam Warsani, (1978:53) juga mengatakan bahwa kebudayaan itu adalah keseluruhan


(21)

pengetahuan sikap dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan oleh suatu angota masyarakat tertentu.

Kebudayaan diperoleh dari tradisi masyarakat dan cara-cara hidup dari anggota masyarakat, termasuk pola-pola hidup mereka, cara berfikir, perasaan, perbuatan, tingkahlaku. Kebudayaan juga merupkan sistem nilai (value) dan arti ( meaning) yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang atau masyarakat dari nilai-nilai dan arti dalam objek materi. Sekelompok orang atau masyarakat memiliki ide bersama mengenai apa yang benar atau yang salah, atau apa yang baik atau yang buruk, mereka juga memiliki pengetahuan tentang lingkungan dan cara-cara mengerjakan sesuatu, (Warsani 1978:54).

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri sendiri atau individu. Manusia membutuhkan makhluk sesama untuk bisa berinteraksi dan bertahan hidup.

2.2.3 Masyarakat Tionghoa

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama ( Koenjaraningrat, 2002:146).

Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Tionghoa adalah sebutan untuk orang-orang dari suku-suku atau ras Tiongkok. Kata ini dipakai sebagai penganti kata “Cina” yang sering diartikan memiliki konotasi negatif.


(22)

Beberapa ahli mendefinisikan masyarakat, seperti Smith, Stanley, dan Shores mendefinisikan masyarakat sebagai “...suatu kelompok individu-individu yang terorganisasi serta berfikir tentang diri mereka sendiri sebagi suatu kelompok yang berbeda”.

Berdasarkan pengertian di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan dari masyarakat, bahwa masyarakat merupakan kelompok yang terorganisasi, dan masyarakat juga merupakan suatu kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok lainnya. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berkumpul dan bermukim di satu tempat yang belajar dan menghasilkan kebudayaan (Koentjaranigrat, 2002:23).

Masyarakat Tionghoa sudah ada di Sumatera Utara sejak tahun 1860-an, tetapi belum ramai. Namun, semakin ramai ketika banyak buruh-buruh dariChina di datangkan sebagai buruh kuli kontrak sejak abad ke19.Sejak itu lah Medan ramai ditempati Masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa yang berada di Indonesia terdiri dari beberapa sukubangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Provinsi Fukien bagian selatan dan Provinsi Guandong. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku-bangsanya sendiri-sendiri bersama dengan perbedaan kesukuan mereka. Di Medan ada terdapat beberapa suku Tionghoa ialah Hokkien, Teo-Chiu, Hakka , Kwong Fu, dan Ai lo hong. yang memiliki perbedaan bahasa yang besar. Masyarakat Tionghoa di kota Medan terdiri dari berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan.

Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli kontrak, dan buruh kebun bagi orang belanda melalui penyalur yang berasal dari Cina dan disalurkan ke Indonesia, khususnya Kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui kekalahannya dan meninggalkan Indonesia.


(23)

Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi yaitu perdagangan. Sebagaimana yang di ketahui, masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup pintar dalam berdagang. Hal ini sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang etnis Tionghoa itu sendiri. Kemudian masyarakat Tionghoa itu menyebar dan persebarannya meliputi pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri atas marga atau suku yang tidak terkait secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku-suku lainnya di Indonesia.

Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup terkenal dengan kebudayaan yang beragam. Seperti seni tulis atau kaligrafi, seni menggunting kertas, pengobatan, seni bela diri, seni opera atau teater, seni musik tradisional, hingga tradisi pemujaan leluhur yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa.

2.2.4 Kematian

Kematian adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Setelah kematian, tubuh makhluk hidup mengalami pembusukan.

Kematian pada dasarnya semua orang tahu adalah kewajaran dalam hidup. Namun demikian, banyak orang berpendapat bahwa hidup ini bersifat ironis, karena manusia sebanarnya tidak pernah meminta agar ia dilahirkan, tetapi begitu ia lahir, mencintai hidup dan


(24)

kehidupannya ia dihadapkan pada realitas yang senang atau tidak senang harus dijalaninnya sebagaimana kelahirannya sendiri, (Louis 1996 :14).

Goethe dalam Louis (1996:1) mengatakan bahwa: kematian adalah sesuatu yang aneh walaupun kita akan mengalaminya, kita tidak berfikir bahwa kematian itu mungkin adalah sesuatu yang untuk kita hargai, kematian selalu mengejutkan kita karena itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipercayai.

2.2.5 Upacara Kematian

Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin dihindari. Kematian pasti akan dialami oleh setiap manusia. Kematian begitu menyengat nyawa, tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan agama. (Bruce Milne 1992:16) mengatakan “.. kematian merupakan salah satu bentuk hukuman “ilahi”. Menurut pandangan filsafat Tionghoa tentang kematian, kematian bukanlah hal yang menakutkan. Kematian dianggap sebagai perjalanan kembali ke asal. Kembali keasal yaitu kembali dengan jiwa yang baru, karena mayarakat Tionghoa mempercayai adanya reinkarnasi setelah kematian. Menurut konsep budaya Tionghoa maupun filsafatnya, ada tiga hal yang terpenting dalam kehidupan manusia yaitu, lahir, menikah dan meningal.

Upacara kematian adalah upacara yang dilakukan untuk menghantarkan jenazah keperistirahatannya yang terakhir. Hertz seorang ahli antropologi mengungkap bahwa upacara kematian selalu dilakukan manusia dalam rangka adat-istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya, yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Ia melihat bahwa gagasan kolektif


(25)

mengenai gejala kematian yang terdapat pada banyak suku bangsa di dunia adalah gagasan bahwa mati itu berarti suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain, maksudnya dari kedudukan sosial dalam dunia ini ke kedudukan sosial dalam dunia makhluk halus, (Koentjaraningrat 1980:71). Masyarakat Tionghoa percaya apabila upacara kematian dilakukan dengan benar maka kelak keturunannya tidak akan diganggu oleh roh orang yang meninggal.

2.2.6 Persembahan Makanan

Persembahan makanan merupakan tradisi yang dilakukan Etnis Tionghoa sejak dulu, Yakni tradisi di mana persembahan makanan wajib diberikan dari hari pertama kematian hingga hari ketujuh.Sampai ke 49 hari. Caranya mereka menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman seperti nasi, sayur, buah-buahan, dan kue yang dianggap biasanya dimakan oleh anggota keluarga yang meninggal,persembahan diberikan dengan carameletakan makanan di depan foto anggota keluarga yang meninggal, lengkap dengan api dupa untuk kelengkapan dalam memberikan persembahan kepada orang yang meninggal. Upacara memberikan makanan kepada anggota keluarga yang meninggal serta mempersilahkannya menyantap makanan yang disediakananak ataupun anggota keluarga,Kemudian masing-masing melakukan doa untuk memberikan makanan kepada anggota keluarga yang sudah meninggal. Yaitu dengan cara memegang dupa yang telah berapi, kemudian mengayun beberapa kali sambil mulut mereka berdoa dengan gaya yang khas, meskipun di antara mereka beragama lain.


(26)

Bagi mereka tidak ada masalah melakukan upacara tersebut karena bagi mereka tujuannya hanyalah melakukan bakti penghormatan pada orang tua mereka. Tradisi ini kata mereka akan tetap dipertahankan karena memiliki nilai luhur dalam hal penghormatan pada orang tua yang sudah melahirkan dan membesarkan mereka.

2.3 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk menganalisis berbagai fenomena. Tampa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Teori merupakan rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian dalam ilmu pengetauan.

Adapun teori yang penulis gunakan adalah teori fungsionalisme dan teori semiotik.

2.3.1 Teori fungsionalisme

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori Fungsionalisme.Tokoh terpenting dalam teori fungsionalisme adalah Bronislaw Malinowski.

Menurut Malinoski fungsi dari suatu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan sekunder. Seperti kebutuhan manusia akan makan, menyebabkan munculnya unsur kebudayaan yaitu berupa mata pencaharian hidup dan alat-alat produksi. Kebutuhan manusia akan keindahan menyebabkan lahirnya sistem pengetahuan dalam masyarakat. Pada intinya setiap unsur kebudayaan itu masih ada hingga saat ini karena masih berfungsi atau bermanfaat dalam kehidupan masyarakat, (Koentjaraningrat 1980:171)


(27)

2.3.2 Teori Semiotik

Semiotik berasal dari Bahasa Yunani yaitu semeion

Dalam membahas makna persembahan makanan kepada orang meninggal bagi masyarakat Tionghoa secara lebih mendetail, penulis menggunakan teori semiotik. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut diangap mewakili suatu objek secara representative.

yang berarti tanda. Tanda tersebut diangap mewakili sesuatu objek secara represntatif. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi, (Endaswara 2003:64).

Menurut Barthes (Kusumarini, 2006:26) denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Oleh karena itu, penulis juga mengunakan teori semiotik untuk membahas makna persembahan makanan kepada orang meninggal bagi Masyarakat Tionghoa di kota Medan.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam metode penelitian pada dasarnya peneliti mengungkapkan sejumlah cara yang disusun secara sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum, ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga diharapkan maupun menjawab secara ilmiah perumusan masalah yang telah ditetapkan. Metode penelitian yang digunakan dalam meneliti fungsi dan makna persembahan makanan kepada orang meninggal pada upacara kematian masyarakat Tionghoa adalah metode deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Fokus penulisan ini yaitu dengan memperhatikan dinamika hubungan antar fenomena yang diamati dengan mengunakan logika ilmiah.

Metode penelitian deskriptif bertujuan untuk menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Dengan teknik observasi, penulis melakukan pengumpulan data primer dengan cara pengamatan langsung dan merekam hal-hal yang dapat diamati.

Secara deskriptif penulis dapat memberikan ciri-ciri, bentuk serta gambaran tentang hasil penelitian melalui pemilihan data setelah semua data terkumpul. Penulis juga akan


(29)

mempertimbangkan semua data dari segi hubungan keterkaitan data tersebut dengan penelitian yang dilakukan.

3.2Lokasi penelitian

Lokasi penelitian adalah Balai Persemayaman Angsapura yang terletak di jalan Waja no 2-4 Medan. Alasan Pemilihan lokasi adalah :

1. Merupakan balai persemayaman terbesar di kota Medan.

2. Lebih mudah mencari objek yang akan diteliti karena hampir setiap hari Balai persemayaman Angsapura melayani upacara persemayaman.

3. Lokasi penelitian lebih Strategis dan Mudah dijangkau oleh peneliti.

3.3 Data dan Sumber Data

Data adalah keterangan berdasarkan fakta yang ada disimpan atau dicari untuk mendapatkan kebenaran. Apabila dilihat dari (KBBI 1990:187) data adalah keterangan yang benar dan nyata, yang dapat dijadikan dasar kajian. Data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yakni berupa hasil wawancara dengan para informan di lokasi penelitian. Sementara itu, data sekunder adalah data pendukung dari penelitian ini berupa segala informasi yang berkaitan dengan persembahan makananpada upacara kematian masyarakat Tionghoa.


(30)

Sumber data primer penelitian ini berasal dari iforman yang diwawancarai saat melakukan penelitian lapangan.Sumber data sekunder diambil dari buku-buku, jurnal-jurnal, majalah, artikel yang berkaitan dengan persembahan makanan kepada orang meninggal pada upacara kematian masyarakat Tionghoa.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah bagaimana cara untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian, Penulis membagi teknik pengumpulan data menjadi 2 yaitu : teknik pengumpulan data sekunder, dan teknik pengumpulan data primer.

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

1. Membaca judul buku yang berhubungan dengan persembahan makanan kepada leluhur bagi masyarakat Tionghoa.

2. Melihat daftar isi 3. Membaca isi buku.

4. Mengklasifikasikan buku yang berhubungan dengan objek kajian

5. Membaca jurnal, majalah, dan artikel yang berhubungan dengan penelitian

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Primer

1. Melakukan observasi, yaitu mengamati upacara kematian yang dilaksanakan.


(31)

3.5 Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh peneliti ketika proses pengumpulan data atau informasi berlangsung, sampai pada penarikan kesimpulan berupa konsep atau hubungan antarkonsep (Hamidi, 2010:97). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif.Penulis mengupaakan kedalaman data untuk menjawab keseluruhan pertanyaan penelitian secara spesifik.

Peneliti melakukan proses : wawancara terhadap beberapa masyarakat Tionghoa yang melakukan Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal, Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang mendukung dalam penulisan ini dan memilih data yang diangap penting dalam penyusunan penelitian ini. Lalu, berdasarkan data-data yang diambil, penulis membuat kesimpulan dari hasil yang diteliti.


(32)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu etnis yang ada di Indonesia yang sebelumnya merupakan etnis pendatang yang kemudian menetap dan berbaur dengan penduduk asli.Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Hokkien, Tiochiu, atau Hakka.

Dalam bahasa Mandarin orang Tionghoa disebut Tangren (唐人) atau lazim disebut dengan Huaren (华人).Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa Tangren adalah orang Tionghoa yang mayoritas berasal dari Tiongkok Selatan dan menyebut dirinya sebagai orang Tang, sementara orang Tiogkok Utara menyebut dirinya sebagai orang Han.(Yusiu,2000: 2 )

Migrasi Kelompok Masyarakat Tionghoa ke Indonesia,khususnya Medandapat digolongkan menjadi 3 tahapan.Gelombang kedatangan mereka disebabkan oleh latar belakang tertentu yang datang darinegara Cina sendiri maupun dari Indonesia.Kedatangan gelombang pertama terjadi sebelum datangnya Belanda ke Indonesia.Tujuan gelombang pertama adalah sebagai kelompok pedagang tetapi karena beberapa faktor, kemudian tinggal dan menetap di Indonesia.Kelompok pertama ini dikatakan sebagai kelompok etnis Tionghoa peranakan, dimana budaya asli masyarakat Tionghoa mulai berkurang dan mereka lebih banyak menggikuti budaya lokal.(Yusiu, 2000:6 )


(33)

Gelombang kedua terjadi karena faktor dari dalam Nusantara sendiri yaitu setelah masa eksploitasi Belanda terhadap sistem perekonomian di Indonesia.

Aktivitas yang dilakukan masyarakat Tionghoa pada masa gelombang kedua adalah sebagai pedagang perantara.Kaum pribumi sebagai produsen dan kepala distributor pertama.

Kedatangan gelombang ketiga masyarakat Tionghoa karena faktor tenaga kerja yang dijadikan sebagai buruh di perkebunan Sumatera Timur.Hal ini merupakan aktivitas baru yang dilakukan masyarakat Tionghoa.Mereka yang didatangkan langsung dari negeri Tiongkok ke Medan sebagai buruh yang siap kerja di perkebunan.

Tjong A Fie adalah seorang tandel yang bertugas sebagai kepala rombongan dan bertanggung jawab penuh kepada kelompok masyarakat Tionghoa selama masa kontrak di perkebunan milik belanda yang sebelumnya melakukan kontrak kerja di Medan.Kehidupan di perkebunan mengawali aktivitas masyarakat etnis Tionghoa pada gelombang ketiga.

4.1.2 Bahasa

Di Medan ( Sumatera Utara), mereka lebih senang disebut orang Tionghoa. Hal ini dikarenakan kata Tionghoa menunjukan makna kultural dibanding dengan penyebutan orang Cina yang menunjukan makna geografis.Dalam kehidupan sehari-hari istilah ini sama-sama dipergunakan.Bahasa yang umum digunakan adalah bahasa Hokkien, bukan Bahasa Mandarin.Hal ini karena mereka lebih akrab dengan bahasa Hokkien.Kedua bahasa ini juga tetap diajarkan dan di praktikkan kepada anak-anak mereka atau generasi muda Tionghoa.


(34)

4.1.3 Sistem Kemasyarakatan

Dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara lapisan buruh dan lapisan majikan, golongan miskin dan golongan kaya, tetapi perbedaan ini tidak begitu kelihatan.Hal ini disebabkan karena masih adanya ikatan kekeluargaan antara si buruh dan si majikan.

Tionghoa peranakan yang kebanyakan terdiri dari orang Hokkien, mereka merasa dirinya lebih tinggi dari Tionghoa Totok yang umumnya berasal dari kuli dan buruh.Sebaliknya Tionghoa Totok menganggap rendah Tionghoa peranakan karena mereka dianggap mempunyai darah campuran.

Sekarang ini dengan adanya pemisahan pendidikan bagi anak-anak Tionghoa yaitu sebagian yang mengikuti pendidikan Indonesia dan Barat maka timbul pemisahan antara golongan yang berpendidikan.

4.1.4 Mata Pencaharian

Sejarah kedatangan masyarakat Tionghoa ke Medan dapat diketahui bahwa mata pencahariannya adalah sebagai pedagang, bekerja di bidang bisnis dan petani.Saat ini masyarakat Tionghoa lebih dominan bekerja sebagai pedagang dan di bidang bisnis.Mereka dikenal gigih, ulet dan memiliki jaringan yang baik dengan sesamanya sehingga seringkali membuat masyarakat setempat atau pribumi merasa iri hati atas keberhasilan mereka di bidang ekonomi.


(35)

4.2 Agama dan Kepercayaan

Menurut masyarakat Tiongkok, fungsi filsafat dalam kehidupan manusia adalah utuk mempertinggi tingkat rohani.Artinya rohani manusia diharapkan dapat menjulang tinggi untuk meraih nilai-nilai yang lebih tinggi daripada nilai-nilai moral.Dari sudut moral, orang yang arif bijaksana adalah manusia yang paling sempurna di dalam suatu masyarakat. Menurut kebiasaan masyarakat Tiongkok, kewajiban memungkinkan manusia untuk memperolehwatak yag digambarkan sebagai orang yang bijaksana, Achmadi (1994:87).

Tiga aliran filsafat yang diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa adalah Buddhisme, konfusianisme, dan Taoisme.Ketiga aliran filsafat tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan kerangka berfikir masyarakat Tionghoa. Hariyono (1993:19)

4.2.1 Buddha

Agama Buddha mempunyai pengaruh yang cukup berarti bagi masyarakat Tionghoa.Seperti diketahui, Buddha dianggap penganutnya seperti guru dunia yang menerangi umat manusia dan menunjukan kepadanya jalan yang melepaskan mereka dari kesengsaraan.Dalam ajarannya Buddha Gautama sebenarnya hanya menyampaikan ajaran moral belaka dan mengajarkan manusia menghindari kejahatan tertentu, seperti membunuh, mencuri, menipu, berdusta, berzina, mabuk dan lainnya.Kitab suci agama Buddha adalah “Tripitaka” artinya tiga keranjang.


(36)

Agama Buddha mempunyai catatan-catatan sejarah yang berhubungan dengan perjuangan Bodhisatva Siddharta Gautama hingga mencapai SammaSambuddha atau penerang agung. Perjuangan Siddharta menyampaikan ajaran yang telah ditemukannya adalah demi kebahagiaan semua makhluk di muka bumi, Mathar (2013 :19)

Ajaran Buddha tertulis pada kitab suci Tripitaka yang artinya tiga kelompok yaitu,

Vinaya Pitaka yaitu kelompok kitab yang memuat peraturan dan tata cara hidup biarawan/ biarawati, yang kedua adalah Sutta Pitaka yaitu kelompok kitab yang memuat kotbah-kotbah Buddha, dan yang ketiga adalah Abhiddhamma Pitaka yaitu kelompok kitab yang memuat ajaran pisikologi agama Buddha, Mathar (2003:19)

Keyakinan terhadap pencerahan merupakan tema utama dalam ajaran Buddha.Umat Buddha selalu berupaya memperoleh pencerahan batin. Upaya pencapaian pencerahan batin ini dilakukan melalui cara hidup yang melatih atau mengembangkan kebijaksanaan , kesusilaan, dan meditasi. Kebijaksanaan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu: (1) mendengar , membaca, bercakap-cakap; (2) berfikir , merenung; (3) bermeditasi. kesusilaan Buddhis bermacam-macam sesuai dengan kemampuan pelaksanaan oleh umat Buddha itu sendiri. Sedangkan meditasi Buddhis adalah latihan pengembangan batin menuju ketenangan dan pencerahan, Mathar (2003:20)

Menurut ajaran Buddha, manusia merupakan perpaduan jasmani dan batin. Jasmani merupakan perpaduan antara unsur padat, cair, udara, dan panas.Masing-masing unsur merupakan perpaduan dari bagian unsur-unsur yang lebih kecil.Batin terdiri dari perpaduan unsur kesadaran, benuk-bentuk pemikiran, ingatan dan perasaan.Menurut agama Buddha hanya


(37)

Nibbanayang bukan berupa perpaduan unsur-unsur karena Nibbana itu Esa, atau tunggal. Nibbana adalah Yang Maha Esa dalam agama Buddha, Mathar (2003:21)

Umat Buddha sanggat dianjurkan untuk melakukan perbuatan baik sebab benih-benih kebaikan akan membuahkan kebahagiaan hidup. Ada empat macam perbuatan baik yang diperhatikan oleh umat Buddha yaitu: berdana, melatih kesusilaan, melatih meditasi serta melakaukan puja bakti (kebaktian) yang benar. Kehidupan manusia berlangsung dalam rangkaian proses lahir, tumbuh berkembang, meninggal dunia. Setelah meninggal dunia manusia yang belum mencapai kebebasan mutlak (Nibbana)akan terus berproses dalam keidupan berikutnya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Seseorang yang banyak berbuat baik akan menikmati kebahagiaan dalam proses kehidupan selanjutnya. Sebaliknya, seseorang yang banyak berbuat jahat akan mengalami penderitaan dalam proses kehidupan selanjutnya. Demikianlah hidup berulang kali berproses sesuai benih-benih perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan. Proses yang berkesinambungan itu dinamakan timbal lahir, Mathar (2003:22)

Keyakinan umat Buddha ditumbuhkembangkan dari pengertian atau pemahaman terhadap ajaran Buddha.Makin tinggi pemahaman umat Buddha terhadap kebenaran ajaran Buddha berarti makin kuat pula keyakinannya.Objek keyakinan umat Buddha adalah Buddha,

Dhamma, dan Sangha. Buddha sering diibaratkan sebagai dokter, sedangkan ajaran Dhamma

adalah obat yang diberikan oleh dokter itu, Sangha adalah orang-orang yang sehat dari sakit dengan meminum obat yang diberikan oleh dokter tersebut. Analisis Buddha terhadap hidup yang termuat dalam empat kebenaran mirip denggan analisis seorang dokter terhadap orang sakit, yaitu: adanya sakit atau penderita, penyebab sakit, lenyapnya sakit atau menjadi sehat dan jalan untuk melenyapkan sakit atau cara untuk menjadi sehat, Mathar (2003:176-177). Jodithammo dalam Mathar (2003:289) mengatakan bahwa:


(38)

“Agama Buddha memiliki lima peraturan moral atau pancasila Buddis yaitu sebagai berikut:

1. Menghindari pembunuhan makhluk hidup. 2. Menghindari pencurian.

3. Menghindari perbuatan asusila.

4. Menghindari ucapan yang tidak benar.

5. Menghindari perbuatan yang menyebabkan mabuk atau ketagihan”.

Di Negara Tiongkok Agama Buddha secara resmi diterima di pusat kerajaan pada zaman dinasti Ming-Ti pada abad pertama masehi.Penyebaran agama Buddha ke Tiongkok memerlukan perjuangan keras.Hal ini disebabkan karena ajaran Tao dan Konghucu telah berkembang pesat di Tiongkok.Mereka memandang rendah agama Buddha.berkat usaha yang keras daripada misionaris agama Buddha di Tiongkoksecara umum agama Buddha di sana mendapat perlindungan dari pemerintah dan mencapai zaman keemasannya sampai abad ke 11 Masehi. Mathar (2003:29).

Di kota Medan, kedatangan agama Buddha masuk bersamaan dengan masuknya masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa masuk ke Kota Medan pada awalnya adalah sebagai kuli kontrak perkebunan Belanda. Agama Buddha merupakan salah satu agama yang diresmikan pemerintah berdasarkan surat Edaran Menteri dalam Negeri no.477/74054 pada tanggal 18 november 1978 yang mengatakan bahwa: “... Agama yang resmi diakui oleh pemerintah adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha”.


(39)

Pengaruh ajaran Buddha bagi Masyarakat Tionghoa khususnya di Kota Medan, dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat Tionghoa dalam bekerja keras untuk mencari penghidupan yang benar atau halal.Kebiasaan berbuat baik kepada sesama karena ajaran Buddha mempercayai

karma yaitu seseorang akan mendapatkan balasan sesuai dengan perbuatannya, kepercayaan akan adanya reinkarnasi yaitu setiap manusia akan mengalami suatu proses kelahiran kembali sesuai dengan apa yang dilakukan semasa hidupnnya di dunia.

4.2.2 Konghucu

Agama Konghucu atau konfusianisme adalah agama yang tertua di Cina.Agama Konghucu dipadankan dengan sejumlah sebutan: Kong Jiao/Kung Chiao, Rujiao/Chiao, dan Ji Kau. Semua sebutan tersebut merujuk pada sejarah bahwa Konghucu merupakan suatu “agama” klasik Tiongkok yang dibangkitkan kembali oleh Khongcu, yang dalam bahasa asalnya berarti agama kaum yang taat, yang lemah lembut, yang memperoleh bimbingan, atau kaum terpelajar.

Pengertian iman dalam agama Konghucu ialah, Sing. Kata Singini menurut asalnya terdiri dari rangkaian antarakata Gan dan Sing.Ganberarti bicara, sabda, kalam dan Sing berarti sempurna.Karena itu pengertian Singmengandung makna sempurna.Di dalam kehidupan beragama, umat Konghucu wajib memilikiSingatau iman terhadap kebenaran ajaran agama yang dipeluknya.

Menurut ajaran Konghucu manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang maha Esa pembawa sifat Tuhan di dunia. Manusia diciptakan melalui kekuatan alam (ying dan yang),


(40)

dan abstrak dari lima unsur yaitu; bumi, tumbuh-tumbuhan, logam, api dan air, Mathar (2003:184).

Aaran Konghucu mengajarkan bahwa manusia haruslah memanusiakan dirinya. Caranya dengan mengembangkan benih-benih kebajikan yang sudah ada dalam watak sejatinya antara lain mempunyai kualitas cinta kasih, berani menegakkan kebenaran karena mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tjhie Tjay Ing dalam Mathar (2003:185-186) mengatakan bahwa: “Tiap umat Konghucu wajib memahami, menghayati, dan mengimani dasar keimanannya

Umat Konghucu meyakini bahwa pada saat megalami kematian, roh seorang manusia akan meningalkan badan. Orang yang semasa hidupnya mampu hidup sesuai dengan fitrah atau watak sejati rohnya akan menjadi Shengatau roh-roh suci. (Mathar:2003).

Agama Konghucu masuk ke bumi nusantara bersama dengan masuknya perantau Tiongkok yang mengarungi samudera kemudian singgah dan berladang serta menetap di beberapa kepulauan di indonesia dari masa ke masa. Agama Konghucu kemudian tumbuh dan berkembang di Indonesia, terbukti dari berdirinya lembaga-lembaga agama Konghucu seperti rumah abu untuk menghormati abu-abu leluhur.

Pada awal masuknya agama Konghucu ke Indonesia tidak diketahui jumlah penganut Konghucu secara pasti. Hal ini disebabkan agama yang diakui secara resmi di Indonesia pada saat itu hanya enam yaitu: Islam, Protestan Katolik, Hindu dan Buddha. Akibatnya, pada saat pencatatan atau pengurusan dokumen kependudukan, masyarakat penganut agama Konghucu akan mengaku sebagai penganut salah satu dari enam agama yang diresmikan tersebut.


(41)

Setelah agama Konghucu diresmikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, tepatnya pada tahun 2000 melalui Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000,maka penganut agama konghucu telah memiliki kebebasan untuk mengaku dan mencatatkan dirinya sebagai penganut konghucu yang sah. Pemerintah menjamin masyarakat Tionghoa penganut agama

Konghucu memiliki hak yang sama dengan penganut agama lain yang dalam hukum dan pemerintahan.

Pengaruh agama Konghucu dalam kehidupan masyarakat Tionghoa di Kota Medan yang pertama adalah kewajiban berbakti dan menyayangi orang yang masih hidup seperti; sifat berbakti pada orang tua, kewajiban untuk menghormati orang yang lebih tua seperti kakak, serta adanya rasa saling menyayangi antar sesama saudara. Sedangkan yang kedua adalah kewajiban untuk menghormati orang yang telah wafat atau para pendahulu seperti pemujaan leluhur, kewajiban untuk melakukan wujud bakti terhadap orang yang meninggal sebagai contoh dalam upacara kematian, adanya masa berkabung, ziarah pada bulan 3 penanggalan Imlek, serta membersihkan altar atau kuburan.


(42)

4.2.3 Taoisme

Ajaran Tao tercipta atas dasar reaksi alamiah manusia dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan misteri.Setelah perjalanan panjangnya selama 5.000 tahun, kini terwarisi berbagai metode Tao.Metode untuk menjalani hidup yang berlandaskan alamiah, selaras dan mengikuti kodrat alam.Metode yang merupakan reaksi alamiah manusia untuk bertahan hidup, menigkatkan kualitas hidup, mengungkap misteri hidup serta memberi arti hidup.

Dengan ‘Naluri Alamiah’ inilah para leluhur Tionghoa kuno mengembangkan segenap potensi dirinya yaitu kecerdasan, Nurani serta Akal Budi,dan mulai mengembangkan sebuah metode untuk menjalani hidup. Proses perkembangan ajaran Tao terjadi secara bertahap, Diwariskan dan diperbaiki dari generasi kegenerasi berikutnya. membentuk berbagai seni dan ilmu yang mewarnai budaya Tionghoa.

Inti dari ajaran ini adalah setiap orang hendaknya memberikan kasih sayang tidak terbatas bukan pada para anggota keluarga saja, akan tetapi harus kepada seluruh anggota keluarga yang lain. Peperangan dan upacara ritual yang mengeluarkan biaya tinggi akan merugikan rakyat, dan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan dasar kecintaan manusia dan oleh karenanya dicela. Prinsip pokok Taoisme adalah jika kita menyayangi orang lain maka orang lain akan menyayangi kita, Achmadi (1994:93)

Taoisme mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan manusia harus hidup denggan Wu Wei artinya tidak berbuat apa-apa yang bertentagan dengan alam. Sesuai dengan ajaran itu maka manusia yang paling berbahagia menurut ajaran Taoisme adalah mereka yang hidup dengan alam seperti para petani, nelayan, dan para biarawan, Tamburaka (1999:248).


(43)

Taoisme di Kota Medan masuk bersamaan dengan masuknya masyarakat Tionghoa ke kota Medan. Alasan yang mendasari hal tersebut adalah, karena Taoisme dipuja bersamaan dengan dua ajaran masyarakat Tionghoa yang lain yaitu: Buddha dan Konghucu yang disebut dengan Sam Kauw Hwee ( perkumpulan Tiga Agama atau Buddha Tri Dharma) atau San Chiao Wei Yi ( ketiga agama adalah satu). Oleh karena itu ada kemungkinan masyarakat Tionghoa yang menganut lebih dari satu agama, seperti seorang penganut Buddha yang juga mengamalkan ajaran Tao dan Konghucu, begitu juga sebaliknya.

Pengaruh ajaran Taoisme bagi masyarakat Tionghoa dapat dilihat dari tindakan-tindakan yang positif dan kecintaan masyarakat Tionghoa terhadap lingkungan.Selain itu berusaha mewujudkan perdamaian dan cinta kasih teradap sesama umat manusia.

4.3 Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa

Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu suku yang sangat menghargai siklus kehidupan.Bagi masyarakat Tionghoa, lahir, tua, sakit dan mati adalah hal yang harus dilalui semua orang. Menurut masyarakat Tionghoa, kematian merupakan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat Tionghoa yang menganggap bahwa kematian merupakan sesuatu yang buruk meskipun mereka meyakini adanya kehidupan setelah kematian yang dikenal dengan istila Reinkarnasi.

Upacara kematian pada masyarakat Tionghoa terdiri dari beberapa tahapan, dan merupakan proses panjang yang harus dilalui. Hal ini disebabkan, upacara kematian merupakan saat yang tepat bagi anak cucu untuk memberi balas jasa dan penghormatan terakhir bagi orang


(44)

yang telah meninggal. Upacara ini juga bertujuan untuk memanjatkan doa kepada dewa dan dewi agar orang yang meninggal mencapai tempat tertinggi yaitu nirwana sehingga rohnya tidak tersasar ke dunia. Selain itu, masyarakat Tionghoa mempercayai bahwa jika sanak keluarga yang telah meninggal memperoleh tempat yang baik di nirwana, maka hal ini akan berpengaruh terhadap kehidupan keluarga yang ditinggalkan di bumi. Sanak keluarga akan memperoleh rejeki yang melimpah, kesehatan yang baik serta memiliki umur yang panjang.

Upacara kematian pada masyarakat Tionghoa terbagi atas 4 tahapan yaitu:upacara sebelum masuk peti, upacara masuk peti dan penutupan peti, upacara pemakaman, serta sesudah upacara pemakaman.

4.3.3 Upacara Sebelum Masuk Peti

Segara setelah seseorang meninggal, anak-cucu sudah harus membakar kertas perak (uang di akhirat )yang merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat yang dilakukan sambil mendoakan yang meninggal.Ketika terjadi kematian dalam masyarakat Tionghoa, biasanya pihak keluarga segera menutup kaca atau benda yang dapat memantulkan bayangan. Hal tersebut dilakukan karena menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa apabila kaca tidak ditutup maka arwah akan terkejut melihat bayangan dirinya terpantul lewat kaca atau cermin.

Setelah itu jenazah dibersihkan dengan cara dimandikan dengan air bunga. Lalu diberikan pakaian sebanyak tujuh lapis.Lapis pertama adalah pakaian putih sewaktu almarhum menikah. Selanjutnya, pakaian yang lain sebanyak enam lapis, biasanya adalah pakaian yang biasa


(45)

dipakai almarhum semasa hidupnya didunia. Sesudah dibaringkan kedua mata lubang hidung, mulut, telinga diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.

Di sisi kiri dan kanan diisi dengan pakaian yang meninggal.Sepatu yang dipakai harus dari kain. Apabila yang meninggalsemasa hidupnya memakai kacamata maka kedua kaca harus dipecah yang melambangkan bahwa dia telah berada di alam lain

Jenazah biasanya disemayamkan di rumah atau di balai persemayaman. Di tempat inilah tahapan upacara kematian akan dilaksanakan. Di bawah jenazah diletakkan semangkuk nasi dan diatasnya ditancapkan sumpit.Jika jenazah diletakan di rumah, biasanya pihak keluarga segera menyiapkan altar roh, dan pada altar roh diletakkan hiolo(tempat dupa) beserta sesajian berupa nasi, mie, dan teh.Jika jenazah disemayamkan di balai persemayaman, maka pihak keluarga tak perlu repot menyiapkan altar dan kebutuhan upacara lainnya, karena di balai persemayaman segala kebutuhan upacara telah tersedia.

4.3.4 Upacara Masuk Peti dan Penutupan Peti

Pada saat upacara masuk peti berlangsung, Seluruh keluarga harus menggunakan pakaian tertentu.Anak laki-laki harus memakai pakaian berwarna putih. Kepala diikat dengan sehelai kain putih .Demikian pula pakaian yang dipakai oleh anak perempuan.Cucu hanya memakai pakaian berwarna putih.

Saat pelaksanaan upacara masuk peti ditentukan oleh pemimpin upacara melalui pemilihan hari baik. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat Tionghoa bahwa jika upacara tersebut tidak dilakukan berdasarkan pemilihan hari baik, maka akan mendatangkan sial bagi keluarga yang ditinggalkan.


(46)

Pada saat yang ditentukan telah tiba, maka jenazahakan dimasukkan kedalam peti.Jenazahharus diangkat oleh anak-anak lelaki.Sementara itu anakperempuan, cucu dan seterusnya harus terus menangis dan membakar kertas perak, di bawah peti mati.Mereka harus memperlihatkan rasa duka cita yang amat dalam sebagai tanda bakti.Sesudah masuk peti, ada upacara penutupan peti yang dipimpin olehSaikong.Bagi yang beragama Budha upacara ini dipimpin oleh Biksu atauBiksuni.Upacara ini berlangsung cukup lama, dan dilaksanakan di sekeliling peti mati dengan satusyarat bahwa air mata keluarga yang masih hidup pada upacara penutupan peti tidak boleh mengenai jenazah.

Bagi anak cucu yang “berada” (kaya), mulai menyiapkan rumah-rumahan yang diisi dengan segala perabotan rumah tangga yang dipakai semasa hidup.Semuanya harus dibuat dari kertas.Bahkan, diperbolehkan pula diisi secara berlebih-lebihan, termasuk adanya para pembantu rumahtangga.Semua perlengkapan ini dapat dibeli pada toko tertentu.

Setiap tamu-tamu yang datang harus bersalaman dengan anak-anaknya, terutama anak laki-laki. Di atas meja kecil yang terletak di depan peti mati, selalu disediakan makanan yang menjadi kesukaannya semasa masih hidup.Selama peti mati masih di dalam rumah, harus ada sepasang lampion putih yang selalu menyala di depan rumah. Hal ini menandakan bahwa ada orang yang meninggal di rumah tersebut.Ketika tiba pada waktu yang telah ditetapkan berdasarkan penghitungan hari baik, maka diadakan upacara penutupan peti.Dalam tahapan ini semua anak, menantu, cucu dan sanak keluarga dari almarhum harus jongkok atau berjalan mengelilingi peti mati.


(47)

4.3.5 Upacara Pemakaman

Menjelang peti akan diangkat, diadakan penghormatan terakhir. Dengan dipimpin oleh saikong, kembali mereka melakukan upacara penghormatan. Sesudah menyembah dan berlutut, mereka harus mengelilingi peti mati beberapa kali dengan jalan jongkok sambil terus menangis mengikutisaikong yang mendoakan arwah almarhum.

Untuk orang kaya, diadakan meja persembahan yang memanjang 2 sampai 5 meter.Di atas meja disediakan macam-macam jenis makanan dan buah-buahan. Pada bagian depan meja diletakkan kepala babi dan di depan meja berikutnya kepala kambing.

Putra tertua memegang photo almarhum dan sebatang bambu yang diberi sepotong kertas putih yang bertuliskan huruf Tiongkok, biasa disebut “Hoe”. Ia harus berjalan mengelilingi peti mati, diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain. Begitu peti mati diangkat, sebuah semangka dibanting hingga pecah sebagai tanda bahwa kehidupan almarhum di dunia ini sudah selesai.

Setibanya di pemakaman, selanjutnya diadakan upacara penguburan, sembari berdoamemohon kepada dewa bumi agar mau menerima jenasah dan arwah almarhum, sambil membakar uang akhirat. Semua anak – cucu tidak diperkenankan meninggalkan kuburan sebelum semuanya selesai.Setibanya di rumah, mereka harus membasuh muka dengan air kembang.Sekedar untuk melupakan wajah almarhum.


(48)

4.3.6 Upacara Sesudah Pemakaman

Semenjak ada yang meninggal sampai ke 49 hari, semua keluarga harus memakai pakaian tanda berkabung. Keluarga tidak boleh memakai pakaian berwarna ceria, seperti : merah, kuning, coklat, atau oranye.

Upacara sesudah pemakaman biasanya terdiri dari Meniga hari (3 hari sesudah meninggal) Sesudah 3 hari pemakaman seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (pergi ke kuburan almarhum).Mereka membawa makanan, buah-buahan, dupa, lilin, uang akhirat.Dengan memakai pakaian berkabung mereka melakukan upacara penghormatan.Tak lupa mereka juga menangis dan meratap sambil membakar uang akhirat.Pulang ke rumah, mereka kembali mencuci muka dengan air kembang.

Tujuh hari sesudah pemakaman,seperti halnya upacara meniga hari, seluruh keluarga melakukan upacara penghomatan dan peringatan di tempat jenasah berada (kembali ke kuburan ). Mereka membawa makanan, buah-buahan, kue wajik dan rumah-rumahan, serta uang akhirat. Lilin dan dupa ( hio ) dinyalakan. Seluruh rumah-rumahan dan sisa harta yang perlu dibakar, dibakar sambil melakukan upacara mengelilingi api pembakaran. Sesudah selesai, tanah sekepal / segenggam diambil, diserakkan ke atasnya.

Empat puluh sembilan hari sesudah pemakaman, Pada hari ke 49 ini kembali anak, cucu dan keluarga melakukan upacara penghormatan di tempat jenasah berada ( kuburan). Semua baju duka dibuka dan diganti baju biasa.Mereka masih dalam keadaan berkabung, namun telah rela melepaskan arwah si almarhum ke alam akhirat.


(49)

Tiap-tiap tahun memperingati hari kematian satu tahun dan tahun-tahun berikutnya, akan selalu diperingati oleh anak cucunya sebagai tanda berbakti dan menghormati. Peringatan tahunan ini berupa upacara persembahan. Bagi keluarga yang berada, di atas meja persembahan diletakkan berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman, antara lain teh dan kopi, manisan minimal 3 macam, rokok, lilin merah sepasang dan hio. Senja hari sebelum upacara, harus dinyalakan lilin merah berpasang-pasang tergantung pada jumlah orang / leluhur yang akan diundang. Maksud dari upacara ini adalah meminta kepada dewa bumi (toapekong tanah) untuk membukakan jalan bagi para arwah yaitu dengan cara membakar uang akhirat (kertas perak dan kertas emas ).

4.5. Lokasi , Peserta, dan Perlengkapan Upacara 4.5.1 Lokasi Upacara

Sebelum dimakamkan, biasanya jenazah disemayamkan terlebih dahulu.Lamanya jenazah disemayamkan berkisar antara 4 hingga 7 hari tergantung pihak keluarga dan penentuan hari baik.Persemayaman dapat dilakukan di rumah pihak keluarga maupun di balai

persemayaman.Namun pada saat ini di kota-kota besar seperti Medan persemayaman jenazah yang dilakukan di rumah sudah jarang ditemuka n.Saat ini di kota-kota besar seperti Medan pada umumnya jenazah disemayamkan di balai persemayaman.Hal ini disebabkan beberapa alasan di antaranya pada saat jenazah disemayamkan biasanya dilakukan berbagai tahapan upacara.Dalam upacara persemayaman, biasanya identik dengan suasana yang riuh sehingga menimbulkan kebisingan yang dapat mengganggu lingkungan sekitar.Selain itu meletakkan mayat selama hampir seminggu membuat masyarakat Tionghoa merasa segan terhadap tetangga atau


(50)

dan keperluan untuk upacara sehingga tidak merepotkan pihak keluarga untuk menyiapkan segala kebutuhan upacara.

4.5.2 Peserta Upacara

Peserta upacara biasanya terdiri dari suami, istri, anak, cucu menantu dan saudara dekat dari orang yang telah meninggal. Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, Peserta upacara tersebut nantinya akan mengikuti jalannya upacara dan mendengarkan instruksi dari sang pemimpin upacara. Peserta upacara tersebut memiliki peran masing-masing.


(51)

4.5.3 Perlengkapan Upacara

Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, mulai dari persemayaman hingga pemakaman peralatan-peralatan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Altar Roh

1. Altar Sembayang

Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa dibutuhkan dua buah altar. Altar berwarna merah untuk para dewa dan altar berwarna biru untuk roh yang disemayamkan. Altar ini

adalah tempat meletakkan persembahan, lilin, dupa, hiolo, tugwan yang bertuliskan nama orang yang telah meninggal dan Diatas kiri dan kanan altar terdapat lampion berwarna putih.


(52)

Gambar 2. Pakaian Berkabaung

2. PakaianBerkabung

Dalam upacara kematian masyrakat Tionghoa Orang yang berkabung atau berduka biasanya disebut dengan (Hao Lam) mereka harus mengenakan pakaian serba putih, dan topi putih yang terbuat dari kain blacu. Untuk etnis Tionghoa yang lebih kental tradisinya mereka memakai pakaian serba hitam. Namun seiring berjalannya waktu sudah jarang sekali masyarakat Tionghoa yang mengunakan pakaian serba hitam dalam upacara kematian. Selain itu dipasang Ha di lengan baju kiri tanda berkabung. Tujuan mereka memakai pakaian berkabung adalah untuk meringankan penderitaan orang yang meninggal, semakin kental tradisi itu dijalankan maka semakin ringan penderitaannya. Sedangkan dampaknya bagi yang berkabung, mereka akan mendapat pengaruh baik atau Hokky. Semakin lama masa berkabung, maka semakin banyak pengaruh baiknya.


(53)

Gambar 3. Tempat Dupa

3. Dupa (hio) dan Tempat dupa (hiolo)

Tempat dupa (Hio Lo), merupakan sebuah bokor kecil yang fungsinya sebagai tancapan dupa.Pada umumnya Hio Lo itu terbuat dari timah, namun sekarang ini tidak jarang kita lihat yang terbuat dari tanah liat, itu karena tanah liat lebih mudah untuk didapat.Hio Lo itu diisi abu dapur yang kemudian dipercayai sebagai abu leluhur dan harus dipelihara dan dijaga sampai generasi turun-temurun.Dupa (Hio) merupakan alat sembahyang yang dibakar dan mengeluarkan bau-bau harum.Makna yang terkandung dalam pembakaran dupa ialah menemukan jalan suci.Dalam konteks kematian seperti ini Hio menyatakan bahwa yang bersangkutan hadir dalam acara perkabungan. Melalui Hio ini akan terjalin komunikasi antara hidup dan yang mati.


(54)

Gambar 4. Peti mati

4. Peti Mati

Peti mati yang dipakai orang Tionghoa sudah teradisi kelihatannya menyeramkan, sebab selain ukurannya besar dan berat ditambah lagi banyak ukir-ukiran kuno.Bagi masyarakat Tionghoa Merupakan kebanggan tersendiri, apabila sanak keluarga mampu membeli sendiri peti mati. Ada kepercayaan mereka, siapa yang membeli dialah yang akan mendapat banyak rezeki. Karena jika yang membeli peti mati adalah orang lain atau bukan keluarga, mereka percaya rezeki itu akan lari ke orang yang membeli peti mati tersebut. Bagi mereka peti mati merupakan sarana untuk menghantar orang mati ke dalam kuburnya, Oleh sebab itu peti mati harus mewah. Karena semua barang-barang kesayangan almarhum akan dimasukkan ke dalamnya. Pembelian peti mati yang mahal juga merupakan salah satu bukti Hao nya anak-anak, dan ada kebiasaan peti tersebut tidak boleh ditawar harganya.


(55)

Gambar 5. Uang arwah

5. Uang Arwah

Masyarakat Tionghoa biasa mempersembahkan uang arwah atau uang orang mati. Uang arwah buakanlah uang yang digunakan manusia di dunia, melainkan lembaran kertas yang melambangkan uang . Saat uang arwah dibakar Masyarakat Tionghoa mempercayai nilainya akan di transfer atau dikirim kepada leluhur di akhirat. Ukurannya besar atau kecil menjadi penentu besar kecilnya nominal dari uang tersebut.Uang arwah dipercayai etnis Tionghoa sebagai uang pegangan arwah di akhirat. Masyarakat Tionghoa juga percaya, arwah leluhur mereka juga melakukan kegiatan yang sama seperti kegiatan manusia di bumi. Itulah sebabnya etnis Tionghoa sangat sering membakar kertas tersebut agar para leluhur mereka tidak kekuranagan uang di akhirat.Terdapat dua jenis uang arwah yaitu uang emas dan uang perak uang perak. Cara pengunaanya terbagi dua yaitu : dibakar pada saat upacara persemayaman dan di masuka n kedalam peti mati.


(56)

Gambar 6. Lilin arwah/penerang jalan

6. Lilin Penerang Jalan

Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa terdapat dua buah lilin Lilin Penerang jalan dipakai dalam sembayanag arwah, lilin penerang jalan diletakkan di pintu masuk upacara. Lilin penerang jalan adalah lilin yang berwarna merah dan diletakan bersamaan dengan dupa, dupa digunakan untuk memanggil arwah agar datang ke lokasi upacara.Masyarakat Tionghoa mempercayai lilin ini dapat menjadi penerang jalan bagi arwah yang meninggal untuk mendatangi lokasi upacara, sehingga roh tidak tersesat saat mendatanggi lokasi.


(57)

Gambar 7. Lampion

7. Lampion

Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa mereka megunakan dua buah lampion berwarna putih yang terletak di sisi kanan dan kiri bagian atas altar roh.Apabila lampion yang menyala disebelah kiri artinya yang meninggal adalah laki-laki, jika yang menyala sebelah kanan artinya yang meninggal adalah wanita.Apabila kedua lampion menyala artinya yang meninggal masih muda. Pada lampion tertulis nama dan tanggal lahir orang yang meninggal.


(58)

Gambar 8.Lilin untuk Dewa Gambar 9. Lilin untuk roh

8. Lilin

Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa Terdapat Altar yang berisikan alat-alat upacara kematian.Pada masing-masing altar terdapat dua buah lilin.Lilin berwarna merah untuk altar Dewa dan lilin berwarna putih untuk altar roh.Menurut masyarakat Tionghoa Lilin merupakan tanda duka-cita, menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa tetesan air lilin ini tidak boleh terkena tubuh manusia, karena jika tubuh manusia terkena tetesan air lilin tersebut masyarakat Tionghoa Percayaakan membawa sial seumur hidup.


(59)

Gambar 10. Ha Tanda atau simbol Gambar 11. salah satu bentuk pemakaian Ha

9. Ha (Tanda atau Simbol)

Ha adalah sejenis tanda simbolis yang diwujudkan dalam bentuk kain yang menandakan status hubungan kekerabatan antara orang yang meninggal dengan keluarga orang yang meninggal. Hubungan kekerabatan dalam simbol ini dapat dilihat dari warna yang digunakan.Ha atau sumbol digunakan untuk menandakan tanda balas budi kepada almarhum.

Ha atau simbol dikenakan oleh keluarga almarhum dengan warna yang berbeda dan status yang berbeda.


(60)

Gambar 12. Tungwan

10. Tungwan

Tungwan adalah salah satu benda yang digunakan dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, Tungwan adalah sebuah ranting bambu yang dikaitkan dengan kertas panjang berwarna putih yang bertuliskan nama orang yang telah meniggal.Tungwan berfungsi sebagai salah satu media pemanggil roh orang yang telah meninggal untuk datang dan mengikuti upacara kematian.Pada saat upacara berlangsung.tungwan harus di pegang oleh anak laki-laki tertua.


(61)

Gambar 13. Saikong

11. Saikong

Saikong adalah sosok yang tidak asing lagi dalam kebudayaan masyarakat Tionghoa.Saikong dipandang sebagai sosok yang bijaksana.Saikong adalah orang yang berperan dalam tiap tahapan upacara kematian. Seorang Saikong juga berperan menentukan hari baik penguburan atau pembakaran jenazah yang disemayamkan. Selain hal yang disebutkan diatas, saikong juga merupakan sosok yang cukup dipercaya.Masyarakat Tionghoa meyakini bahwa sosok ini merupakan sosok yang memiliki supranatural. Kekuatan supranatural maksudnya , sosok yang memiliki kemampuan atau kesaktian yang luar biasa. Salah satunya adalah mampu berinteraksi dengan dewa. Dengan kemampuan ini, saikong merupakan sosok yang diangap tepat sebagai media penghubung anatara dewa dan manusia.


(62)

BAB V

PERSEMBAHAN MAKANAN KEPADA ALMARHUM, CARA PENYAJIAN, DAN MAKNA PERSEMBAHAN MAKANAN

5.1 Anggota Keluarga Etnis Tionghoa Yang Diberikan Persembahan Makanan Pada Upacara Kematian

Bagi masyarakat Tionghoa memberikan makanan kepada orang yang sudah meninggal pada saat terjadinya kematian dan dihari upacara kematian adalah Tradisi yang sudah ada sejak dulu.Kegiatan tersebut adalah kewajiban yang di lakukakan anggota keluarga yang masih hidup sebagai wujud rasa hormata untuk mengingat jasa-jasa beliau semasa Almarhum hidup di dunia.Persembahan makanan selalu di berikan dari hari pertama kematian hingga ke 49 hari.Hari pertama meninggal keluarga selalu menyajikan makanan sehari-hari yang biasa Almarhum makan, makanan tersebut di ganti tiga kali sehari.yaitu, pagi, siang dan malam, hingga pada hari upacara pemakaman Almarhum. Pada hari upacara pemakaman persembahan makanan yang di berikan lebih banyak dan mewah dari hari biasa. Mereka percaya roh-roh leluhur yang lain akan hadir, sehingga pada upacara pemakaman tiba etnis Tionghoa selalu memberikan persembahan makanan yang lebih banyak dan mewah. untuk menjamu roh-roh leluhur mereka. Namun dalam adat etnis Tionghoa, tidak semua anggota keluarga yang meninggal di berikan persembahan makanan.

Berdasarkan tradisi tersebut, peneliti membahas tentang tradisi dalam memberikan persembahan makanan kepada orang meninggal dalam budaya masyarakat Tionghoa di kota Medan.


(63)

5.1.1 Persembahan makanan kepada orang tua atau yang berkeluarga

Masyarakat Tioghoa sampai saat ini masih mengangap kematian merupakan suatu hal yang tabu untuk di bicarakan. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, seseorang yang sudah meninggal secara otomatis berubah statusnya menjadi menjadi dewa.Namun tidak semua yang meninggal bisa di anggap sebagai dewa.karena hanya yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai keturunanlah yang bisa di sebut dewa. Oleh sebab itu orang tersebut harus di sembah, terutama oleh mereka yang lebih mudah termasuk anak dan cucu Almarhum.Ketika terjadinya kematian, masyarakat Tionghoa harus memberikan persembahan makanan kepada Almarhum sebagai tanda rasa hormat seorang anak untuk mengenang jasa Almarhum.Etnis Tionghoa selalu memberikan persembahan makanan dari hari pertama kematiannya hingga ke 49 hari, dengan tujuan agar roh Almarhun tidak merasakan kelaparan di alam yang didiaminya. Penyembahan dilakuakan dengan cara memanggil arwah tersebut di depan altar (Hio-lo) nya untuk mempersilahkan roh menyantap makanan yang telah di sediakan.

Biasanya makanan yang di persembahkan kepada Roh adalah makanan yang bisa ia makan semasa dia hidup di dunia. Seperti nasi, sayur, daging, dan lain-lain. Dalam proses ini mereka juga membakar uang yang terdiri dari kertas uang, diatasnya tertera bentuk segi empat dengan cat kuning keemasan dan perak putih. Dengan cara membakar kertas ini, etnis Tionghoa percaya bawa ketras-kertas itu akan berubah menjadi uang dan sampai kepada roh dan dapat di gunakan oleh roh leluhur mereka sebagai uang. Masyarakat Tionghoa percaya jika ritual persembahan ini tidak dilakukan, Roh akan marah dan akan mengangu anggota keluarga yang masi hidup. Initulah sebabnya etnis Tionghoa selalu memberikan Tradisi persembahan makanan kepada orang yang sudah meninggal, Sebagai bentuk rasa penghormatan mereka kepada Almarhum.


(64)

5.1.2 Persembahan Makanan Kepada Orang yang belum Berkeluarga.

Bagi masyarakat Tionghoa jika yang meninggal belum menikah dan belum berkeluarga, jenazah tidak boleh di bawa pulang kerumah. Tetapi harus disemayamkan di rumah duka.Karena etnis Tionghoa mempunyai prinsip bahwa orang yang lebih tua tidah harus menunjukan rasa hormat kepada yang lebih mudah. Mereka percaya jika jenazah yang belum menikah dan belum berkeluarga di bawa pulang ke rumah, maka keluarga yang masih hidup akan terkena sial. Itulah sebabnya mengapa jenazah yang belum berkeluarga tidak boleh di bawa pulang kerumah, dan harus di bawa ke persemayaman.

Begitu juga dengan persembahan makanan, jika yang meninggal belum menikah atau belum memiliki keluarga, Almarhum tidak harus di berikan persembahan makanan.Namun boleh di berikan Tapi hanya sekedarnya saja.karena pihak keluarga ada yang tidak tega jika tidak memberikan persembahan makanan kepada jenazah, pihak keluarga biasanya menuyuruh pengurus balai persemayaman untuk memberikan dan menganti makanan tersebut, karena keluarga tidak boleh memberikannya secara langsung. Persembahan makanan di berikan dari hari pertama dia meninggal hingga hari pemakamannya. Pada saat hari pemakamannya tiba, jenazah hanya di doakan oleh saikong atau biksu untuk memberagkatkan jenazah, pada hari pemakaman, jenazah yang belum berkeluarga tidak boleh di berikan persembahan makanan.Berbeda dengan jenazah yang sudah memiliki keluarga, pada saat upacara pemakaman biasanya etnis Tionghoa mempersembahkan makanan yang banyak dan mewah untuk memberangkatkan jenazah.

Begitu juga dengan Doa, orang tua tidak boleh memberikan doa kepada anak mereka. Karena jenazah belum menikah dan dia tidak memiliki anak untuk melakukan ritual ini.Itulah


(65)

sebabnya mengapa etnis Tionghoa tidak memberikan persembahan makanan kepada orang meninggal yang belum menikah atau memiliki keluarga.

5.1.3 Persembahan Makanan Kepada Bayi Atau balita

Bagi Masyarakat Tionghoa, jika yang meninggal adalah Bayi Atau Balita, Etnis Tionghoa sama sekali tidak boleh melakukan upacara pemakaman. Jika yang meninggal adalah Bayi atau Balita keluarga sama sekali tidak boleh memberikan persembahan makanan, karena menurut adat etnis Tionghoa penghormatan tidak diberikan kepada Bayi atau Balita.

Maka jika yang meninggal adalah Bayi atau Balita, mereka harus dimakamkan secara diam-diam agar tidak ada orang yang tau. Atau pihak keluarga harus menyerahkan kepada pihak lain untuk memakamkan Bayi atau Balita tersebut. Dalam keluarga Tionghoa hal kematian bayi adalah hal yang paling buruk karena menurut mereka kematian bayi berdampak sial bagi keluarga yang di tinggalkan. Sehingga sering ditutup-tutupi seolah tabu untuk di bicarakan


(66)

5.2 Cara Penyajian Dalam Memberikan Persembahan Makanan

Dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, mereka selalu melakukan tradisi memberikan persembahan makanan dan minuman kepada Almarhum dari hari pertama kematiannya hingga ke 49 hari. Pada hari upacara pemakaman Almarhum, Makanan yang di persembahkan berupa makanan Lengkap, terdiri dari hidangan utama berupa nasi beserta lauk pauknya.Namun khusus di hari pemakaman Almarhum keluarga yang masih hidup biasannya menghidangankan makanan lebih mewah dari hari pertama kematian.Untuk memberikan persembahan makanan dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, mereka selalu menambahkan makanan berupa kue dan buah-buahan.Minumananya adalah teh dan arak putih.

Cara-cara penyajian dalam mempersembahkan makanan kepada roh dalam upacara kematian etinis Tionghoa adalah dengan cara, meletakan sajian di atas meja Altar arwah. Penempatan nasi, lauk, sayur dan minuman, serta peralatan bersantap seperti sumpit, sendok bebek, cangkir teh, cangkir arak juga di letakan di atas meja Altar arwah, semuannya ditata di atas meja sama sepeti menjamu tamu, hannya saja dalam upacara ini tamunnya tidak nampak.


(67)

Gambar 12.persembahan makanan pada hari uapacara kematian etnis Tionghoa

Pengaturan letak dalam memberikan persembahan makanan dibagi menjadi tiga bagian dengan posisi berbaris yaitu:

Baris pertama : Nasi, sayur, dan lauk di letakan di bagian depan atas meja dekat dengan foto almarhum. Nasi yang di persembahkan harus nasi yang khusus dimasak untuk keperluan sembayang. Biasannya beras yang di gunakan adalah beras pitih


(68)

Bagian kedua : Sajian bagian kedua diletakan setelah sajian bagian pertama, posisinya diletakan berbaris sama seperti bagian pertama, kue yang bisanya di sajikan adalah kue yang berwarna putih dan kue yang berwarnah merah atau yang sering di sebut dengan kue apem. Kue ini bagi etnis Tionghoa memiliki arti khusus, kue ini memiliki bentuk yang besar dan mengembang, mereka percaya saat memberikan persembahan ini keluarga yang di tinggalkan akan hidup semakin berkembang menjadi yang lebih baik lagi sama seperti kue tersebut yang sifatnya adalah menegmbang. Kue yang berwarna putih adalah kue yang di persembahkan dari anak laki-laki, dan kue yang berwarna merah adalah kue yang di persembahkan dari anak perempuan.

gambar 14. gambar 15.


(69)

Pada hari ketujuh kematian masyarakat Tionghoa, mereka selalu menambahkan kue basah yang bersifat wajib, yaitu kue wajik. Pada saat penyajian kue wajik di letakan di barisa ke dua, di samping kue-kuean yang lain. Wajik harus di hidangkan pada tujuh hari kematian masyarakat Tionghoa. Karena, kue wajik terbuat dari tepung ketan yang lengket, sehingga pada saat roh menyentuh atau mengambil kue wajik tersebut, tangannya akan lengket. karena wajik terbuat dari tepung ketan yang bersifat lengket. Kemudian roh akan mencari air untuk mencuci tanggannya, pada saat ia menyentuh air kulitnya akan hancur. Saat itulah roh akan sadar bahwa dia sudah meninggal. Kue wajik dihidangkan atau dipersembhakan untuk mengigatkan arwah bahwa dirinya sudah berbeda dengan dunia manusia yang menghidangkan makanan baginya.Sehingga roh harus kembali kedunianya.


(70)

Bagian ketiga : bagian ketiga diletakan di bagian paling akhir atau barisan bawah. Namun jika meja altar tidak muat buah-buahan ini bisa diletakan di bagian samping.Tidak ada aturan-aturan yang khusus dalam meletakan jenis buah-buahan, biasanya buah-buahan yang disajikan adalah apel, pir nenas, anggur, jeruk, pisang.Buah-buah yang di sajikan harus lah tertata rapi.

Gambar 18. Susunan persembahan makanan

setelah semua peralatan dan persembahan makanan selesai di atur dimeja Altar, kemudian upacara sembayang dimulai dengan diawali oleh kepala keluarga atau angota laki-laki yang tertua. Upacara sembayang berlangsung kurang lebih satu jam.Setelah selesai upacara sembayang, anggota keluarga menyantap bersama sajian tersebut.


(71)

5.3 Makna Persembahan makanan

Spritual adalah suatu hal yang berhubungan dengan kejiwaan ( rohani atau batin). Hal ini berhubungan dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, tergantung dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat itu sendiri.Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang masih sangat meyakini atau mempercayayi hal-hal yang berhubungan dengan spritual.

Spritual dari setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan dan konsepnya tentang kehidupan.Budaya masyarakat Tionghoa dipengaruhi oleh kekuatan spritual yang kuat.Hal ini dapat kita temui pada praktek penyembahan terhadap dewa dan leluhur yang masih dilakukan hingga saat ini.

Masyarakat Tionghoa di Kota Medan melakaukan doa dan penyembahan terhadap dewa dan leluhur pada saat upacara atau sembahyang. Hal tersebut telah mendasar pada suatu keseimbangan perilaku masyarakat Tionghoa yang melaksanakan sembahyang.Masyarakat Tionghoa melakukan sembahyang untuk memohon keselamatan dan rezeki pada dewa dan leluhur agar manusia dapat menjaga keseimbangan alam yang terwujud oleh Yin dan Yang.

Pada umumnya pada saat masyarakat Tionghoa melakukan sembahyang persembahan makanan, mereka selalu menyajikan makanan untuk di persembahkan kepada dewa danleluhur. Persembahan makanan itu berupa nasi, lauk, sayur, air (air mineral, teh dan arak), kue-kue, buah-buahan seperti ( Pisang, jeruk, apel, nenas) dan lain-lain. Sajian yang dipersembahkan dalam persembahyangan merupakan simbolis atau sebagai lambang.

Setiap persembahan atau sajian yang di persembahkan mengandung nilai-nilai luhur atau petua dari leluhur yang pada masa lalu tidak di paparkan secara nyata.Dalam persembahan makanan tersebut, salah satu yang di persembahkan adalah teh dan arak putih.Arak putih


(1)

第一:米饭、菜肴等主食放在死者照片的周围。在拜祭的时候需要用白米饭。

第二:在主食后通常放置蛋糕,为红色或白色 Apem 蛋糕。对华人来说这个蛋糕有特 殊的含义,它体积庞大并且经过了发酵,华人认为供奉这类蛋糕会使在世家人的生活越来 越好,因为蛋糕会越来越张开。白色的蛋糕供奉给男性死者,红色的则供奉给女性死者。

华人死亡的第七天,家人会供奉一些方形米糕,放在第二排。家人必须在第七天时 用这些方形糕点供奉死者,因为死者的阴灵会用手拿糕点,这样的话糕点就会沾到他手上, 那时阴灵就需要找水来洗手,当水碰到他的皮肤时,皮肤就会被损坏,这样他才会意识到 自己已经死了。因此,方形糕点的作用是提醒已经过世的亡灵不应该在活人的世界里生活


(2)

和游荡了,而应该回到属于自己的新世界里。

第三:最后一部分是水果,放在祭台的末端,如果地方不够大,水果也可以放在另外 一边,没有放置的具体规则,一般使用苹果、梨、菠萝、葡萄、桔子、香蕉等。水果必须 摆放整齐

如果供品都准备好了,家人将对死者进行祭拜。一般一个小时之后家人便吃那些食物。

3.3食物供品的意义

3.3.1 精神意义


(3)

候华人一般对神灵或是祖先进行祭拜,并且总是提供食物,如:米饭、肉类、蔬、饮品 (矿泉水、茶、酒)、糕点和水果。

每种食物供品都有它的含义,比如白酒,一般放在杯里,白酒是友谊或者亲属关系的 象征。

研究者在阿员赴灵堂基础鹅寺访问和调查。阿员赴灵堂基础鹅寺是位于棉兰市,Waja 街3-4号。大厅里每天有几个华人对神仙或祖先做礼拜并供给食物。

上图是给死者的各种食物供品,其中有:米饭、蔬菜、糕点和水果,我们还能看到一 些红色杯子,里边就放着白酒。

之所以供奉这些食物和饮品是因为华人认为死者喜欢,他们相信这些供品会让神灵和 祖先感到开心和快乐。华人相信食物供品是精神食粮,可以实现超自然能力。

给死者提供食物的意义是对祖先和死者的敬意,并且向神灵祈祷给家人带来幸福和平 安。


(4)

第四章结论

华人葬礼的仪式有三个过程即进入棺材之前的仪式,把遗体放进棺材

而关闭的仪式和死人安葬仪式。华人的葬礼仪式里也包含食物供品文化,这

个文化在棉兰华人社会中直到现在还存在。食物供品的方式是由食物供应的

方式和餐具的位置形成的。这表示后代人给长辈和祖先的一种敬礼。这种敬

礼是按照对祖先和神仙的信仰做的。这就是为了让祖先或神仙给予幸福和保

护家人与后辈。


(5)

[1] Nyerli (2013)

Peran Saikong Dalam Upacara Kematian

Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

》这篇论文介绍用在葬礼仪式的食

品。食物一般有水果、面条、菜和茶。这些食物放在神的祭坛和阴灵的

祭坛上。

[

客家文化必然显现出内部的均质性与复杂性,然而长期以来的客家研究

偏重于客家文化和族群精神的普同性特征,忽视了作为“地方性知识

传承载体的地域性文化差异。

[3] Leahly,Louis.1996. Misteri Kematian . Jakatra: Gramedia

Pustaka Utama

[4] Liem, Yusiu.2000.Prasangka Terhadap Etnis China. Jakarta

Djambatan

致谢

四年已过去了,在苏北大学里我经过了很多事情,笑,哭,快乐,难

过等事情。这就是对你们表示感谢的好时间,特别是对我们亲爱的老师。老

师,谢谢您们!因为您们不但给我们科学而且还给我们很多劝告怎么经过我

的生活。您们不只是我们的老师,也是我们的好朋友。谢谢因为您们总是了


(6)

解我们!特别是对我辅导的老师,

杨阳

老师,谢谢老师

!

谢谢因为您总是有

很多时间看我的论文,谢谢因为您很耐心对我改正论文。

我也想感谢我的父母,亲爱的爸爸和妈妈,谢谢你们的爱情。我爱你

爸爸妈妈。