Analisis Simbol dalam Upacara Kematian Masyarakat Suku Hokkian di Kota Medan

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan hasil dari penelitian terdahulu yang memaparkan pandangan dan analisis yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti. Kajian pustaka merupakan hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah mempelajari (KBBI, 1990:951 ).

Sabriandi, Erdian. 2008. dalam Tesis “Analisis SemiotiK Syair-Syair Upacara Kematian Etnis China dikota Medan”. Medan: USU Press. Tesis ini menguraikan tata urutan upacara kematian masyarakat cina. Teori didalam tesis ini menggunakan teori semiotik menurut Charles Sanders Pierce ( 1893- 1914), Ferdinand De Saussure (1857-1913), dan Charles Morris (1955).

Pardosi, Jhonson. 2008. dalam Logat “Makna Simbolik Umpasa, Sinamot, dan Ulos pada Adat Perkawinan Batak Toba”. Medan: USU Press. Menguraikan tentang makna simbol -simbol yang dipakai dalam upacara pernikahan masyarakat batak Toba. Teori yang digunakan pada pembahasan adalah teori interaksi simbolik yang bercikal bakal dari faham fenomenologi, berusaha memahami tentang suatu “gejala” erat hubungannya dengan situasi, kepercayaan, motive pemikiran yang melatarbelakangi.

Andhara, Aisya. 2008. dalam Skripsi “Simbol (福) dalam Perayaan Tahun Baru Cina”. Depok: UI Press. Menguraikan tentang makna simbol 福 dalam perayaan tahun baru Cina dan memaparkan makna simbol-simbol yang ada dalam tahun baru Cina seperti simbol hewan, gambar, bungga dan tanaman, dan aksara Cina (汉字) hànzì.


(2)

Ningsih, Sri. 2011. dalam Artikel “Upacara kematian Tionghoa upacara kematian masyarakat Tionghoa”. Upacara kematian Sangat erat kaitannya dengan ajaran Konfusius, yaitu tanda bakti seorang anak kepada orangtuanya, dan tujuannya untuk menunjukkan rasa hormat kepada orangtua almarhum agar mendapatkan kehidupan yang damai.

Rinto, Jiang. 2011. dalam Artikel “Budaya dan adat-istiadat Tionghoa”. Menyatakan bahwa pangkat digunakan hanya sebagai tanda belasungkawa oleh masyarakat Tionghoa, walaupun dalam keadaannya orang tersebut telah memeluk agama, penggunaan pangkat ini hanyalah bentuk simbolis saja. Sama halnya dengan pengibaran bendera setengah tiang di Indonesia, sebagai tanda berkabung untuk menghormati orang yang telah meninggal di Indonesia.

Xuan, Tong. 2011. dalam Artikel “Tradisi Upacara Pemakaman dan Kematian Tionghoa”. Menguraikan bahwa upacara yang dilakasanakan dalam upacara kematian, memiliki tahapan dan aturan menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa.

2.2 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide pemikirian yang akan dituangkan secara konkret melalui pemahaman dan pengeritian dari para ahli. Konsep merupakan rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dalam istilah kongkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 1990: 456).


(3)

Singarimbun (1989:33) mendefinisikan konsep sebagai “…istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambar secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian”.

Konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan penyamaan persepsi tentang apa yang akan di teliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

2.2.1 Masyarakat Hokkian

Beberapa ahli memberikan definisi tentang masyarakat, seperti Smith, Stanley, dan Shores, (1950:5) mendefinisikan masyarakat sebagai ”…suatu kelompok individu-individu yang terorganisasi serta berfikir tentatang diri mereka sendiri sebagai suatu kelompok yang berbeda”.

Berdasarkan pengertian di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan dari masyarakat, bahwa masyarakat merupakan kelompok yang terorganisasi, dan masyarakat juga merupakan suatu kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok lainnya. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berkumpul dan bermungkim disuatu tempat yang belajar dan menghasilkan kebudayaan (Koentjaraningrat, 2003:23).

Masyarakat Tionghoa datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19 pada zaman penjajahan Belanda. Imigran dari Cina ini mayoritas berasal dari dua daerah yang berbeda yaitu berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan dan provinsi Guandong. Masyarakat Tionghoa di Medan terdiri atas berbagai kelompok suku


(4)

bangsa dan satu hal yang dapat membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan. Ada beberapa suku bangsa Tionghoa yang ada di Medan, diantaranya adalah suku Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Ai lo hong, dan Tio chio.

Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi kuli kontrak, dan buruh kebun bagi orang Belanda melalui penyalur yang berasal di Cina dan disalurkan ke Indonesia khususnya kota Medan. Hingga akhir bangsa Belanda mengakui kekalahannya dan meninggalkan Indonesia, maka masyarakat Tionghoa mengambil alih perkebunan Belanda dan menjadikan kebun menjadi ladang untuk mereka mencari nafkah.

2.2.2 Kebudayaan

Kebudayaan merupakan sistem ide atau gagasan yang diperoleh melalui proses belajar manusia. Koentjaraningrat (2009:144) mengatakan, “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi.

Berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri, seperti: makan, minum, atau berjalan dengan kedua kaki. Manusia makan pada waktu tertentu, makan dan minum dengan menggunakan alat-alat. Prilaku sopan santun manusia yang sering sangat rumit dan perlu dipelajari dahulu dengan susah payah. Manusia berjalan tidak hanya menurut wujud biologisnya yang ditentukan oleh alam, tetapi seiring berjalannya waktu merombak gaya


(5)

berjalan seperti seorang prajurit, pragawati dengan gaya berjalan yang lebah lembut, dan lainnya. Semua yang dilakukan manusia melalui proses belajar. (Koentjaraningrat, 2009:146)

Berbicara tentang konsep kebudayaan sama dengan menyelami lautan luas yang tidak terbatas, sehingga tidak mengherankan bila sejak kemunculan ilmu antropologi sa mpai dengan perkembangannya yang sekarang terdapat begitu banyak ragam dan variasi mengenai konsep tersebut.

Kluckhon (2009:145) mengatakan, ”Kebudayaan adalah segala tindakan yang harus dibiasakan oleh manusia dengan belajar (learned behavior)”.

Eppink (www.Wikipedia.com) mengatakan “…kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat”.

Berdasarkan definisi di atas, diperoleh pengertian bahwa kebudayaan sebagai sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Perwujudannya kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.


(6)

2.2.3 Upacara Kematian

Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin dihindari. Kematian pasti akan dialami tiap manusia. Kematian begitu menyengat nyawa, tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan Agama. Bruce Milne (1982:16) mengatakan “…kematian merupakan salah satu bentuk hukuman ilahi”. Menurut alkitab firman Tuhan, walaupun kematian tidak terelakkan, bukan merupakan akhir dari segala sesuatu. Itu sebabnya manusia yang di beri kesempatan untuk hidup haruslah mempergunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya.

Menurut pandangan filsafat Tionghoa tentang kematian, baik dari Taoisme dan Ruisme, kematian bukanlah hal yang menakutkan. Kematian dianggap sebagai perjalanan atau juga kembali ke asal. kembali ke asal yaitu kembali dengan jiwa yang baru, karena masyarakat Tionghoa mempercayai adanya reinkarnasi setelah kematian. Dalam konsepnya memang terlihat seperti mengingkari takdir kehidupan manusia, tapi dengan belajar memahami konsep ruang dan waktu menurut filsafat Tionghoa, kita bisa memahami apa itu keterikatan kepada ruang dan waktu.

Upacara kematian bagi masyarakat Tionghoa, merupakan tradisi yang masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber malapetaka atau sial. Hal ini terkait dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa apabila upacara kematian dijalankan dengan ritual keagamaan yang benar maka kelak mereka keturunannya tidak akan di ganggu oleh roh yang meninggal.


(7)

Menurut konsep budaya Tionghoa maupun filsafatnya, ada tiga hal yang terpenting dalam kehidupan manusia yaitu lahir, menikah dan meninggal. Seperti yang dikatakan Kong Zi seorang filsuf Cina mengatakan, “kita bisa mengetahui kematian setelah kita memahami apa itu kehidupan”. Tradisi Tionghoa sangat menuntut agar anak-anaknya senantiasa menghormati orang tua. Upacara kematian Tionghoa sendiri ada empat upacara yang dilakukan yaitu,

1. Upacara sebelum masuk peti mati 2. Upacara masuk peti dan penutupan peti 3. Upacara pemakaman

4. Upacara sesudah pemakaman

2.2.3.1Upacara Sebelum Masuk Peti Mati

Sejak kematian seseorang yang sudah mempunyai cucu, para anak dan cucu harus membakar kertas perak yang merupakan lambang biaya perjalanan ke akhirat. Kegiatan ini dilakukan sambil memanjatkan doa.

Sebelum mayat dimasukkan ke dalam peti mati, mayat harus dimandikan, setelah bersih lalu diberi pakaian yang terbuat dari kain blacu. Sesudah diberipakaian orang yang meninggal dibaringkan dan kedua mata, lubang hidung, mulut, serta telinga, diberi mutiara sebagai lambang penerangan untuk berjalan ke alam lain.

Sisi kiri dan sisi kanan peti orang yang meninggal diisi pakaiannya. Sedangkan, sepatu yang terbuat dari kain katun dipakaikan pada kedua kaki orang yang meninggal. Apabila


(8)

orang yang meninggal pada masa hidupnya menggunakan kacamata, maka kedua kaca pada kaca mata tersebut harus dipecahkan. Hal ini melambangkan bahwa orang yang meninggal telah berada di alam lain.

2.2.3.2 Upacara Masuk Peti dan Penutupan Peti

Ketika upacara masuk peti berlangsung, seluruh keluarga harus mengenakan pakaian tertentu yang terbuat dari kain katun atau blacu. Anak laki-laki mengenakan pakaian yang terbuat dari kain blacu. Kepala memakai topi atau ikat kepala yang terbuat dari kain tetron atau blacu. Pakaian ini di pakai untuk mengikuti prosesi upacara masuk peti.

Sesudah masuk peti, dilaksanakan upacara penutupan peti dengan memanjatkan doa-doa yang di pimpin oleh Biksu atau Biksuni bagi yang beragama Budha. Upacara ini cukup lama, dilaksanakan dengan mengelilingi peti mati. Pada saat upacara ini dilakukan pemecahan sebuah kaca yang kemudian dimasukkan ke dalam peti mati. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, pada hari ketujuh mendiang bangun dan akan melihat kaca yang dipecahkan tersebut sehingga orang yang meninggal menyadari dia bahwa dirinya sudah meninggal.

2.2.3.3 Upacara Pemakaman

Menjelang peti akan di angkat, diadakan penghormatan terakhir kepada orang yang meninggal. Penghormatan berupa pembacaan doa-doa dengan dipimpin oleh Biksu atau Biksuni. Sesudah menyembah dan berlutut, mereka harus mengitari peti mati beberapa kali


(9)

dengan cara berjalan jongkok sambil terus menangis mengikuti arah jalan Biksu atau Biksuni. Perjalanan menuju tempat pemakaman, pihak anak dari orang yang meninggal juga harus dilakukan dengan berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah.

Demikian pula setelah selesai penguburan. kembali diadakan upacara penguburan. Upacara dilakukan untuk memohon kepada dewa bumi (toapekong) agar mau menerima jenasah dan arwah mendiang. Upacara dilakukan sambil membakar uang akhirat. Setibannya di rumah, upacara dilanjutkan dengan membasuh muka dengan air kembang. Membasuh muka dengan air kembang bermakna agar dapat melupakan wajah mendiang.

2.2.3.4Upacara Sesudah Pemakaman

Dari awal upacara kematian berlangsung sampai upacara ini selesai, semua keluarga harus memakai pakaian dan pangkat yang terbuat dari sepotong blacu yang diikatkan di lengan atas kiri. Keluarga mendiang tidak boleh memakai pakaian warna ceria seperti, merah, kuning, coklat, oranye. Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal. Upacara yang dilakukan sesudah pemakaman hanya memanjatkan doa untuk orang yang meninggal, agar jalan orang yang meninggal menuju surga lebih mudah.

2.2.4 Simbol Kekerabatan

Simbol merupakan lambang pengertian yang tersirat, sehingga memuat kesan misteri dam magis. Kesan seperti itulah yang menjadi tantangan bagi manusia untuk menggungkapkan


(10)

makna dibalik simbol tersebut. Fungsi simbol itu sendiri sebagai pengganti suatu objek yang ingin ditampilkan dengan cara yang lain (Zeffry 1999:25).

Kekerabatan adalah hubungan antara tiap keluarga yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori dan silsilah. Hartono, (1993:43) mengatakan “…Ikatan kekerabatan keluarga menciptakan ikatan yang lebih kuat dari pada ikatan apapun”.

Masyarakat Tionghoa memiliki kekerabatan sama seperti suku Batak di Indonesia. Memiliki sistem kekerabatan patrilineal yaitu garis keturunan di ambil dari pihak laki-laki atau ayah. Kekerabatan masyarakat Tionghoa juga di kenal dengan istilah anak dalam dan anak luar.

Bagi masyarakat Tionghoa anak dalam ialah istilah untuk anak laki-laki dan anak perempuan yang belum menikah, dan sebutan istilah anak luar hanya digunakan untuk anak perempuan yang sudah menikah, begitu juga halnya dengan cucu luar, yang berarti bahwa cucu tersebut merupakan anak dari anak luar (anak perempuan yang sudah menikah).

Kekerabatan masyarakat Tionghoa dapat dilihat juga dari simbol kekerabatan yang digunakan pada saat upacara kematian masyarakat Tionghoa suku Hokkian. Simbol digunakan untuk menunjukan hubungan kekerabatan keluarga yang memakai simbol kekerabatan dengan orang yang meninggal.

Setiap keturunan memakai simbol yang sama sesuai dengan hubungan kekerabatan keluarga dengan orang yang meninggal, dan warna yang digunakan pada tiap simbol menjadi


(11)

penunjuk hubungan kekerabatan yang dimiliki. Simbol yang digunakan dalam upacara kematian terdiri dari empat jenis yaitu, pangkat, pakaian, selempang, dan topi.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaiaan fakta saja, tetapi tidak aka nada ilmu pengetahuan. Koentjaraningrat (1973:10) mengatakan, “…untuk menganalisis lebih dalam fungsi dan makna pangkat dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, penulis menggunakan teori fungsional dan semiotik.

2.2.1 Teori Fungsional

Teori fungsional ini adalah teori yang biasa digunakan dalam ilmu sosial dan ilmu budaya. Teori ini dikemukaan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam ilmu sastra slavik, jadi tidak heran jika Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 Malinowski lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Kegemarannya membaca buku-buku folkor dan dongeng-dongeng rakyat, Malinowski menjadi tertarik kepada ilmu psikologi dan kemudian belajar psikologi kepada professor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).

Malinowski mengembangkan suatu kerangka teori untuk menganalisis fungsi kebudayaan masyarakat yang disebut dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a funcitional theory of culture.


(12)

Sebuah orientasi teori yang dinyatakan oleh Malinowski (2006:66) mengatakan “…semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat”. Pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan dinyatakan dalam setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Malinowski (2006: 67) mengatakan:

“fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuan untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari pada warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan”.

Untuk meneliti fungsi simbol kekerabatan pada penelitian ini, penulis menggunakan teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme mengacu pada fungsi tiap jenis simbol yang di pakai oleh masyarakat Tionghoa dalam upacara kematian.

2.2.2 Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semeion yang berarti tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi, baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular Endaswara (2008: 64).

Berlo (1960:50) mengatakan, “…melalui teori semiotik seseorang dapat menganalisis makna yang tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia yaitu


(13)

penggunaan lambang, pemaknaan pesan, dan cara penyampaiannya Dalam teori semiotik juga dibicarakan hubungaan segitiga antara lambang, objek, dan Barthes (1967:79).

Roland Barthes seorang penerus pemikiran Saussure mengemukakan pendapatnya mengenai semiotik. Kusumarini (2006:26) mengatakan “Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkatan pertandaan yang menjelaskan hubungan peanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti”.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunaannya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunaannya. Gagasan Barthes di kenal dengan “order of signification” yang mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Inilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure (Koentjaraningrat, 2009).

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signfied, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos (Junaedi, 2008:23).


(14)

Penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes untuk menganalisis makna simbol kekerabatan yang digunakan dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa.


(1)

dengan cara berjalan jongkok sambil terus menangis mengikuti arah jalan Biksu atau Biksuni. Perjalanan menuju tempat pemakaman, pihak anak dari orang yang meninggal juga harus dilakukan dengan berlutut menghadap orang-orang yang mengantar jenasah.

Demikian pula setelah selesai penguburan. kembali diadakan upacara penguburan. Upacara dilakukan untuk memohon kepada dewa bumi (toapekong) agar mau menerima jenasah dan arwah mendiang. Upacara dilakukan sambil membakar uang akhirat. Setibannya di rumah, upacara dilanjutkan dengan membasuh muka dengan air kembang. Membasuh muka dengan air kembang bermakna agar dapat melupakan wajah mendiang.

2.2.3.4Upacara Sesudah Pemakaman

Dari awal upacara kematian berlangsung sampai upacara ini selesai, semua keluarga harus memakai pakaian dan pangkat yang terbuat dari sepotong blacu yang diikatkan di lengan atas kiri. Keluarga mendiang tidak boleh memakai pakaian warna ceria seperti, merah, kuning, coklat, oranye. Waktu perkabungan berlainan lamanya, tergantung siapa yang meninggal. Upacara yang dilakukan sesudah pemakaman hanya memanjatkan doa untuk orang yang meninggal, agar jalan orang yang meninggal menuju surga lebih mudah.

2.2.4 Simbol Kekerabatan

Simbol merupakan lambang pengertian yang tersirat, sehingga memuat kesan misteri dam magis. Kesan seperti itulah yang menjadi tantangan bagi manusia untuk menggungkapkan


(2)

makna dibalik simbol tersebut. Fungsi simbol itu sendiri sebagai pengganti suatu objek yang ingin ditampilkan dengan cara yang lain (Zeffry 1999:25).

Kekerabatan adalah hubungan antara tiap keluarga yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori dan silsilah. Hartono, (1993:43) mengatakan “…Ikatan kekerabatan keluarga menciptakan ikatan yang lebih kuat dari pada ikatan apapun”.

Masyarakat Tionghoa memiliki kekerabatan sama seperti suku Batak di Indonesia. Memiliki sistem kekerabatan patrilineal yaitu garis keturunan di ambil dari pihak laki-laki atau ayah. Kekerabatan masyarakat Tionghoa juga di kenal dengan istilah anak dalam dan anak luar.

Bagi masyarakat Tionghoa anak dalam ialah istilah untuk anak laki-laki dan anak perempuan yang belum menikah, dan sebutan istilah anak luar hanya digunakan untuk anak perempuan yang sudah menikah, begitu juga halnya dengan cucu luar, yang berarti bahwa cucu tersebut merupakan anak dari anak luar (anak perempuan yang sudah menikah).

Kekerabatan masyarakat Tionghoa dapat dilihat juga dari simbol kekerabatan yang digunakan pada saat upacara kematian masyarakat Tionghoa suku Hokkian. Simbol digunakan untuk menunjukan hubungan kekerabatan keluarga yang memakai simbol kekerabatan dengan orang yang meninggal.

Setiap keturunan memakai simbol yang sama sesuai dengan hubungan kekerabatan keluarga dengan orang yang meninggal, dan warna yang digunakan pada tiap simbol menjadi


(3)

penunjuk hubungan kekerabatan yang dimiliki. Simbol yang digunakan dalam upacara kematian terdiri dari empat jenis yaitu, pangkat, pakaian, selempang, dan topi.

2.3 Landasan Teori

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengalaman. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaiaan fakta saja, tetapi tidak aka nada ilmu pengetahuan. Koentjaraningrat (1973:10) mengatakan, “…untuk menganalisis lebih dalam fungsi dan makna pangkat dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa, penulis menggunakan teori fungsional dan semiotik.

2.2.1 Teori Fungsional

Teori fungsional ini adalah teori yang biasa digunakan dalam ilmu sosial dan ilmu budaya. Teori ini dikemukaan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1942). Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah guru besar dalam ilmu sastra slavik, jadi tidak heran jika Malinowski memperoleh pendidikan yang kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 Malinowski lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Kegemarannya membaca buku-buku folkor dan dongeng-dongeng rakyat, Malinowski menjadi tertarik kepada ilmu psikologi dan kemudian belajar psikologi kepada professor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).

Malinowski mengembangkan suatu kerangka teori untuk menganalisis fungsi kebudayaan masyarakat yang disebut dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a funcitional theory


(4)

Sebuah orientasi teori yang dinyatakan oleh Malinowski (2006:66) mengatakan “…semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat”. Pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan dinyatakan dalam setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Malinowski (2006: 67) mengatakan:

“fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuan untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari pada warga suatu masyarakat. Kebutuhan pokok seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan dasar itu, muncul kebutuhan jenis kedua (derived needs), kebutuhan sekunder yang harus juga dipenuhi oleh kebudayaan”.

Untuk meneliti fungsi simbol kekerabatan pada penelitian ini, penulis menggunakan teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Malinowski. Teori fungsionalisme mengacu pada fungsi tiap jenis simbol yang di pakai oleh masyarakat Tionghoa dalam upacara kematian.

2.2.2 Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semeion yang berarti tanda. Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi, baik semiotik atau semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular Endaswara (2008: 64).

Berlo (1960:50) mengatakan, “…melalui teori semiotik seseorang dapat menganalisis makna yang tersirat di balik penggunaan lambang dalam kehidupan manusia yaitu


(5)

penggunaan lambang, pemaknaan pesan, dan cara penyampaiannya Dalam teori semiotik juga dibicarakan hubungaan segitiga antara lambang, objek, dan Barthes (1967:79).

Roland Barthes seorang penerus pemikiran Saussure mengemukakan pendapatnya mengenai semiotik. Kusumarini (2006:26) mengatakan “Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkatan pertandaan yang menjelaskan hubungan peanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti”.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunaannya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunaannya. Gagasan Barthes di kenal dengan “order of signification” yang mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal). Inilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure (Koentjaraningrat, 2009).

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk system sign-signifier-signfied, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos (Junaedi, 2008:23).


(6)

Penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Roland Barthes untuk menganalisis makna simbol kekerabatan yang digunakan dalam upacara kematian masyarakat Tionghoa.