Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Yang Membebaskan Terpidana Kasus Penyerobotan Tanah (Studi Putusan Nomor 564 K PID 2013

viii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh
dilakukan serta yang dilarang. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial
dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana
yang dianggap merupakan penyimpangan terhadap aturan hukum dan apa sanksi
atau tindakan yang dilakukan oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut.1
Hukum pidana adalah sebagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku
di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut. Pengenaan hukum pidana ini, adalah sebagai salah
satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan
penegakan hukum. Di samping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum
itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Selain itu, hukum pidana juga

menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenankan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
diancamkan sekaligus menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu

1

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan sosiologis), (Jakarta,
PT Toko Gunung Agung, 2002), hal. 87.

1

Universitas Sumatera Utara

2

dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan itu.2
Permasalahan tanah terkait penyerobotan tanah bukan merupakan suatu
hal yang baru di berbagai daerah di Indonesia. Secara umum istilah penyerobotan
tanah dapat diartikan sebagai perbuatan menguasai, menduduki, atau mengambil

alih tanah milik orang lain secara melawan hukum, melawan hak, atau melanggar
peraturan hukum yang berlaku. Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah
merupakan perbuatan yang melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai
suatu tindak pidana.3
Penyerobotan tanah merupakan salah satu dalam perkara pidana yang
merupakan perkara publik, yang dilibatkan adalah orang atau subyek hukum yang
melawan Negara yang dalam hal ini dijalankan oleh lembaga penegak hukum baik
kepolisian dan kejaksaan sekaligus hakim sebagai tonggak keadilan dalam
penyelesaian kasus pidana.
Lembaga peradilan sebagai lembaga penegakan hukum pidana yang
merupakan tumpuan dari para pencari keadilan selalu menghendaki peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan.4 Keadilan yang dihasilkan melalui proses
peradilan yang tertuang di dalam putusan hakim merupakan syarat utama untuk
menjaga wibawa hukum sebagai panglima yang menjaga kelangsungan hidup
masyarakat.

2

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana , (Jakarta, PT Rineke Cipta, 2008), hal. 4-5.
“Penyerobotan Tanah Secara Tidak Sah Dalam Prespektif Pidana”, melalui

http://www.hukumproperti.com, diakses tanggal 6 Desember 2015.
4
Lihat Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman.
3

Universitas Sumatera Utara

3

Putusan hakim harus dipahami dalam konteks deindividuasi putusan,
selain memang merupakan hasil cipta dan olah pikir serta rasa dari hakim itu
sendiri. Bahwa putusan hakim ketika telah diketuk palu maka pada saat itulah
terjadi deindividuasi, yaitu putusan hakim berubah menjadi putusan pengadilan
yang sekaligus menjadi perwajahan pengadilan tersebut.5
Putusan sebagai produk pengadilan sejatinya lahir dari proses yang penuh
kecermatan dan kehati-hatian. Hakim dalam memutus suatu perkara senantiasa
dituntut untuk mendayahgunakan segenap potensi yang dimilikinya untuk mengkonstatir (menemukan fakta-fakta hukum), meng-kualifisir (menemukan dan
mengklasifikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok
perkara), serta meng-konstituir (menetapkan hukum dari perkara tersebut).

Putusan hakim harus memuat pertimbangan hukum yang cukup dan relevan
sebagai dasar dari kesimpulan dan ketetapan hakim (ground of the judgment) agar
tidak dikualifikasi sebagai onvoldoende gemotiveerd (kurang pertimbangan
hukum) yang menyebabkan putusan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih
tinggi. Onvoldoende gemotiveerd dalam perkembangan hukum Indonesia
kemudian disepakati sebagai salah satu alasan (reasoning) bagi pengadilan yang
lebih tinggi untuk membatalkan putusan pengadilan yang ada dibawahnya.6
Kualitas suatu putusan hakim serta tingkat kecerdasan dan intelektualitas
yang dimilikinya akan direfleksikan sekaligus dipertaruhkan pada bagaimana
hakim merumuskan ratio decidenci dalam putusannya. Penalaran hukum (legal
reasoning) serta rumusan argumentasi hukum (legal argumentation) akan
5

M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim (Pendekatan Multidispliner dalam
Memahami Putusan Peradilan Perdata), (Yogyakarta, UII-Press, 2014), hal. 4.
6
Ibid.,

Universitas Sumatera Utara


4

menggambarkan kecermatan dan tingkat intelektualitas hakimnya. Hakim dalam
merumuskan putusannya tidak hanya berkutat pada silogisme formal belaka,
bukan juga sekedar menafsir secara mekanis, melainkan sebagai pekerjaan
intelektual yang membutuhkan analisis dan penafsiran secara komprehensif.7
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan :
1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/atau tata tertib;
2. Putusan bebas;
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.8
Terhadap putusan bebas (vrijspraak) dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP
menyatakan bahwa : “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa di putus bebas. Selanjutnya
dalam rumusan van Bemmelen dalam bukunya Andi Hamzah tentang “hukum
acara pidana Indonesia” berbunyi : “Putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak
memperoleh keyakinan mengenai kebenaran (mengenai pertanyaan apakah
terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan) atau ia yakin bahwa apa
yang didakwakan tidak atau setidak-tidaknya bukan terdakwa ini yang
melakukannya”.9

Berbicara tentang masalah tujuan putusan bebas didalam sistem peradilan
pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri
sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu
perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau undang-undang tidak mempunyai
7

Ibid., hal. 8.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia , (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), hal. 285.
9
Ibid., hal. 287.

8

Universitas Sumatera Utara

5

tujuan, tentunya acara penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia pun akan
berjalan dengan suatu ketidakpastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu
tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

Terkait putusan bebas yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara tindak
pidana penyerobotan tanah, sebagaimana pada Perkara No. 564/K/Pid/2013 yang
amar putusannya membebaskan terpidana kasus penyerobotan tanah merupakan
salah satu wewenang dari hakim untuk menjatuhkan putusan bebas berdasarkan
keyakinan hakim di persidangan. Maka terhadap putusan bebas tersebut harus
sedapat mungkin dilengkapi dengan pertimbangan yang cukup. Karena putusan
yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd), selain merendahkan mutu
putusan, juga akan membawa hakim pada kesimpulan akhir yang keliru atau
kurang mencerminkan keadilan, baik bagi para pencari keadilan maupun
masyaraat pada umumnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengajukan judul dengan :
“Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2013 Yang
Membebaskan Terpidana Kasus Penyerobotan Tanah”.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana penyerobotan tanah?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung No.
564/K/Pid/2013 terhadap perkara terpidana kasus penyerobotan tanah?


Universitas Sumatera Utara

6

3. Bagaimana penerapan hukum terhadap putusan bebas terpidana tindak
pidana penyerobotan tanah dalam putusan Mahkamah Agung No.
564/k/pid/2013?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana penyerobotan tanah.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung
No. 564/K/Pid/2013 terhadap perkara terpidana kasus penyerobotan tanah.
3. Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap putusan bebas terpidana
tindak pidana penyerobotan tanah dalam Putusan Mahkamah Agung No.
564/k/pid/2013.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat penelitian di dalam pembahasan proposal ditunjukkan kepada

berbagai pihak terutama :
1. Secara teoritis untuk melengkapi literatur di bidang hukum acara pidana
khususnya mengenai putusan yang membebaskan terpidana kasus
penyerobotan tanah.
2. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran bagi kepentingan negara,
Bangsa, Masyarakat, dan Pembangunan.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research)
khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara yang membahas tentang

Universitas Sumatera Utara

7

“Analisis Putusan Mahkamah Agung No.564/K/Pid/2013 Yang Membebaskan
Terpidana Kasus Penyerobotaan Tanah” ini belum pernah dilakukan dalam
judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini asli serta
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


F. Tinjauan Kepustakaan
1. Tinjauan Umum Mahkamah Agung
Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha

negara,

dan

oleh

sebuah

Mahkamah

Konstitusi,


untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Penegakkan hukum atau pemberian sanksi adalah monopoli penguasa.
Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan
hukum (menghakimi sendiri), tindakan menghakimi sendiri tidak lain
merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri
yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang
berkepentingan.10
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
10

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberti,
2008), hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

8

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.11
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua
lingkungan badan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya bebas
dari pemerintah. Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia memegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang
berada dibawah Mahkamah Agung adalah sebagaimana diuraikan dibawah
ini:
a. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan
oleh Pengadilan Negeri sebagai peradilan tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang tertinggi atau tingkat
kasasi.
Adapun kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga berikut ini:
1) Pengadilan Negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/kota, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota.
Pengadilan Negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang
dibentuk dengan keputusan Presiden.

11

Lihat Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.

Universitas Sumatera Utara

9

2) Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang
dibentuk dengan undang-undang. Pengadilan Tinggi berkedudukan
di ibukota provinsi, yang daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi. 12
b. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana Kekuasaan
Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang.
Dalam

lingkungan

Peradilan

Agama,

kekuasaan

kehakiman

dilaksanakan oleh:
1) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota Provinsi dan
daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi dan di bentuk dengan
undang-undang.
2) Pengadilan Agama merupakan peradilan tingkat pertama di
lingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota,
kabupaten atau kota dan dibentu dengan keputusan Presiden.13
c. Peradilan Militer adalah peradilan yang kekuasaan kehakimannya
dilakukan oleh Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi, dan
Mahkamah Tentara Agung yang mengenai kejahatan-kejahatan yang
berkaitan dengan tindak pidana militer.14

12

Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia , (Jakarta, Sinar Grafika, 2013), hal.

13

Ibid., hal. 99.
Ibid., hal. 103.

92.
14

Universitas Sumatera Utara

10

d. Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha
Negara.15

2. Tinjauan Umum Putusan Hakim
Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah
seseorang bersalah atau tidak. Proses berjalannya peradilan pidana
dilakukan dengan prosedur yang terdapat dalam peraturan perundangundangan yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir
pada putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap kasus pidana.
Mengenai putusan yang dijatuhkan oleh hakim ini, KUHAP telah
diatur tentang definisi putusan yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 angka
11. Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan bahwa : “Putusan pengadilan
adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini”.
Ada juga yang mengartikan putusan (vonnis) sebagai vonnis tetap
(definitief) (Kamus istilah Hukum Fockema Andreae). Rumusan-rumusan
yang kurang tepat terjadi sebagai akibat penerjemah ahli bahasa yang
bukan ahli hukum. Sebaliknya, dalam pembangunan hukum yang sedang
berlangsung diperlukan kecermatan dalam penggunaan istilah-istilah.
Mengenai kata putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir
15

Ibid., hal. 107.

Universitas Sumatera Utara

11

dari pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Ada juga yang disebut
interlocutoire yang diterjemahkan dengan keputusan antara atau keputusan

sela

dan

preparatoire

yang

diterjemahkan

dengan

keputusan

pendahuluan/keputusan persiapan serta keputusan provisionale yang
diterjemahkan dengan keputusan untuk sementara.16 Yang harus terbukti
adalah kenyataan-kenyataan yang dituduhkan dalam surat tuduhan (acte
van verwijzing). Kenyataan-kenyataan yang dituduhkan itu merupakan

unsur-unsur dari tindak pidana yang dituduhkan.17
Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri
atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Untuk memutus
suatu perkara pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa
perkaranya.18 Bagian yang amat penting dari suatu surat putusan hakim
ialah bagian yang memuat pertimbangan-pertimbangan hakim, yang
mengalirkan pikiran hakim ke arah bunyi putusan.19
Bentuk dari suatu putusan tidak diatur pada KUHAP. Namun jika
diperhatikan bentuk-bentuk putusan, maka bentuknya hampir bersamaan
dan tidak pernah dipermasalahkan karenanya sebaiknya bentuk-bentuk
putusan yang telah ada tidak keliru jika diikuti.20

16

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan Dan Pengadilan
Negeri Upaya Hukum Dan Eksekusi) Bagian Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 129-130.
17
Ibid., hal. 106.
18
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi Dan Putusan Peradilan) , (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 123.
19
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di Indonesia , (Bandung: Sumur
Bandung, 1983), hal. 145.
20
Leden Marpaung, Op.Cit., hal. 144.

Universitas Sumatera Utara

12

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193
ayat (1) KUHAP, maka setidaknya dapat diketahui sifat putusan hakim.
Pasal 191 ayat (1) dan (2) KUHAP berbunyi:
(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan
kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
terdakwa diputus bebas.
(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan
kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum.
Pasal 193 ayat (1) KUHAP menentukan : “Jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Dari ketentuan tersebut di atas maka ada 2 (dua) sifat putusan
hakim yaitu:21
a. Putusan pemidanaan, apabila ada yang didakwakan oleh Penuntut
Umum dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum; dan
b. Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas
(vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
recht vervolging).

Putusan hakim merupakan aspek penting dalam penyelesaian
perkara pidana. Di satu pihak, putusan hakim berguna bagi terdakwa untuk
memperoleh kepastian hukum (rechts zekerheid) tentang statusnya dan
21

Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 126.

Universitas Sumatera Utara

13

sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan
tersebut dalam artian berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya
hukum banding, kasasi, dan sebagainya. Sedangkan di lain pihak, putusan
hakim merupakan mahkota sekaligus puncak pencerminan nilai-nilai
keadilan serta penguasaan hukum atau fakta dan moralitas dari hakim yang
bersangkutan. Karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus
memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehatihatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, sampai dengan
kecakapan teknik membuatnya.

3. Tinjauan Umum Tindak Pidana Penyerobotan Tanah
Tindakan penyerobotan tanah secara tidak sah merupakan
perbuatan yang melawan hukum, yang dapat digolongkan sebagai suatu
tindak pidana. Dari sudut hukum pidana Pasal 2 Undang-Undang Nomor
51 PRP Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang
Berhak Atau Kuasanya menentukan : “Dilarang memakai tanah tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah”. Jika ketentuan ini dilanggar, maka
“dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah)”,
sebagaimana dimaksud ketetuan Pasal 6.
Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 51 PRP Tahun 1960
juga berlaku untuk perbuatan : (1) mengganggu yang berhak atau
kuasanya yang sah didalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
(2) menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau

Universitas Sumatera Utara

14

tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud pada huruf a dan b; (3)
memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan
tersebut pada pasal 2 atau huruf b.
Kasus penyerobotan tanah juga bisa terjadi tindak pidana lainnya
seperti:
a. Penipuan dan penggelapan yang berkaitan dengan proses perolehan

dan pengalihan hak atas tanah dan bangunan dapat dikenakan Pasal
363, 365 KUHP;
b. Memasuki dan menduduki pekarangan, bangunan dan tanah orang lain

dapat dikenakan Pasal 167, Pasal 389 KUHP;
c. Perusakan barang, pagar, bedeng, plang, bangunan dll dapat dikenakan

Pasal 170, Pasal 406 dan Pasal 412 ;
d. Pemalsuan dokumen/akta/surat yang berkaitan dengan tanah dapat

dikenakan Pasal 263, 264, 266 KUHP;
e. Menempati tanah orang lain tanpa hak dapat dikenakan Pasal 167 dan

Pasal 389 KUHP.22

G. Metode Penulisan
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis,
dan konsisten. Melalui proses penelitian terssebut diadakan analisa dan
22

Zahmi Yulis, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaa n Hukum Pidana Dalam
Penyelesaian Sengketa Atau Konflik Pertanahan , dalam Jurnal Mahasiswa S2 Hukum, (Pontianak:
Universitas Tanjung Pura, 2012), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

15

kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. 23 Agar
mendapatkan hasil yang maksimal, maka metode yang dipergunakan dalam
penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan
penelitian hukum yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian untuk
memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala
tertentu. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu dalam memperkuat teori lama atau dalam kerangka menyusun
teori baru. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis
sehingga dapat ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian.
2. Sumber Data
Penelitian ini diperoleh dari data skunder yaitu studi kepustakaan,
yakni dengan melakukan pengumpulan refrensi yang berkaitan dengan
objek atau materi penelitian yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini adalah Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman,

23

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2011), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

16

b. Bahan hukum skunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, yaitu laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau
pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder, berupa
kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.24
3. Alat Pengumpul Data
Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah studi dokumentasi atau literatur, berupa menganalisa
buku-buku, memakai Putusan Mahkamah Agung No. 567/K/Pid/2013
terhadap penjatuhan putusan yang membebaskan terpidana penyerobotan
tanah, menelaah peraturan perundang-undangan, dan karya tulis dari ahli
hukum yang ada relevansinya atau kaitannya dengan obyek penelitian
yang akan dibahas.
4. Analisis Data
Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis
kualitatif yaitu analisis kualitatif yang dipergunakan untuk aspek-aspek
normatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis, yaitu
menguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungakan
satu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum. Dari hasil
analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu

24

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal.

114.

Universitas Sumatera Utara

17

cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan
atas fakta-fakta yang bersifat khusus.25

H. Sistematika Penulisan
Mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penelitian ini
akan dibagi menjadi 5 bab dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat
latar belakang, perumusan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan bab yang menguraikan mengenai Pengaturan hukum
tindak pidana penyerobotan tanah, yang diantaranya berisi tentang aturan
hukum tindak pidana penyerobotan tanah, unsur-unsur tindak pidana
penyerobotan tanah, serta sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana
penyerobotan tanah.
Bab III merupakan bab yang menguraikan secara mendetail mengenai
pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2015
yang membebaskan terpidana kasus penyerobotan tanah, yang berisi Duduk
perkara

terhadap

tindak

pidana

pelaku

penyerobotan

tanah,

dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan bebas terhadap terpidana
tindak pidana penyerobotan tanah, serta kendala hakim dalam menjatuhkan
putusan bebas terhadap terpidana tindak pidana penyerobotan tanah.

25

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986), hal. 112.

Universitas Sumatera Utara

18

Bab IV merupakan bab yang menguraikan mengenai penerapan
hukuman terhadap putusan bebas terpidana tindak pidana penyerobotan tanah
dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2015, yang terdiri dari
penjatuhan putusan bebas terhadap tidak terbuktinya unsur-unsur terjadinya
tindak pidana, alasan penjatuhan putusan bebas terhadap pelaku tindak pidana
penyerobotan tanah dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2015,
serta penerapan terhadap penjatuhan putusan bebas pelaku tindak pidana
penyerobotan tanah dalam putusan Mahkamah Agung No. 564/K/Pid/2015.
Bab V merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi
kesimpulan

dan

saran

yang

berfungsi

memberikan

masukan

bagi

perkembangan hukum pidana di masa yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25