Komunikasi Persuasif Dan Prestasi Belajar (Studi Korelasional Tentang Komunikasi Persuasif Pengajar Terhadap Prestasi Belajar Anak Didik Di Slb-E Negeri Pembina Medan)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang
layak. Oleh karenanya, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang
harus diterima oleh anak di Indonesia. Dengan sistem pendidikan yang baik, hasil
pendidikan yang berkualitas tentunya akan mudah diraih.
Banyak sistem pendidikan yang sudah dirancang untuk mendidik anakanak pada umumnya. Tetapi tidak untuk sistem pendidikan anak berkebutuhan
khusus (ABK). Kurangnya tenaga pengajar untuk pendidikan luar biasa
menyebabkan sistem pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus kurang
berkembang. Menurut Kompas.com (2010) berdasarkan pengakuan Menteri
Pendidikan Nasional saat itu, jumlah tenaga pendidik dengan siswa didik adalah
satu berbanding empat (edukasi.kompas.com).
Di Indonesia, sistem pendidikan yang mengatur penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik berkebutuhan khusus baru diberi perhatian pada
tahun 1970an setelah keberhasilan proyek pendidikan terpadu melalui Keputusan
Menteri Pendidikan dan Budaya No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu
bagi Anak Cacat. Pada intinya keputusan tersebut mengatur bahwa anak
berkebutuhan khusus yang memiliki kemampuan akademis dapat diterima
bersekolah di sekolah regular (Rahardja, 2005:1).
Lebih lanjut Rahardja (2005) mengatakan bahwa walaupun pada akhirnya
implementasi pendidikan terpadu tersebut mengalami kemunduran yang
disebabkan oleh kurang tepatnya konsep yang tertanam pada masyarakat
pendidikan, khususnya sekolah reguler, tentang hak anak-anak luar biasa untuk
belajar bersama-sama secara terpadu dengan anak-anak normal, kurangnya
koordinasi antara pihak penyelenggara pendidikan guru (LPTK), birokrasi
pendidikan, sekolah, dan masyarakat, kurangnya sosialisasi perangkat peraturan
yang ada, serta kurangnya upaya kampanye kepedulian dan kesadaran masyarakat
mengenai hakikat dan konsep keluarbiasaan yang tepat.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis
pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal
32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus
adalah pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Teknis layanan pendidikan jenis pendidikan khusus untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 tahun
2010 pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan
pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
Konsep anak berkebutuhan khusus sebagai peserta didik adalah anak yang
mengalami hambatan dalam mengikuti pembelajaran sebagaimana peserta didik
umumnya. Hambatan atau gangguan tersebut dapat berupa hambatan yang bersifat
temporer yang berarti peserta didik tidak harus menerima layanan pendidikan
khusus secara terus-menerus maupun permanen, peserta didik perlu mendapatkan
layanan khusus berdasarkan tingkat kebutuhannya. Hal ini dikatakan sebagai
hambatan permanen karena fisik dan mental mereka tidak bisa diubah seperti anak
pada umumnya (Sugiarmin, Jurnal Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dalam
Perspektif Pendidikan Inklusif).
Komunikasi persuasif merupakan salah satu metode yang dapat di pakai
dalam menangani kebutuhan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dahulu
tujuan akhir dalam komunikasi persuasif itu sendiri hanyalah mempengaruhi
audiens atau komunikan untuk melakukan pesan yang komunikator atau
pembicara sampaikan. Dewasa ini komunikasi persuasif digunakan sebagai sarana
untuk membentuk dan membimbing opini serta menentukan sikap seseorang.
Pendekatan komunikasi persuasif yang sebaiknya digunakan dalam mendidik
peserta tunalaras adalah positive appeals, yaitu pendekatan yang dilakukan
melalui perangsangan dan ganjaran (Siahaan, 1991:129).
Universitas Sumatera Utara
3
Dalam suatu negara demokrasi, usaha mempengaruhi pendapat, sikap atau
tingkah laku hanya boleh dilakukan berdasarkan bujukan-bujukan atau ajakan
(persuasive), tetapi tidak berdasarkan pemaksaan atau penekanan (coersion).
Berbeda dengan sistem yang digunakan di negara otoriter, dimana pemaksaan
lebih banyak menonjol daripada ajakan. Jika pun ajakan itu dilakukan, maka hal
tersebut biasanya berdasarkan landasan kegiatan pemaksaan (Roekomy, 1992:1).
Lebih lanjut Roekomy (1992) meyatakan bahwa usaha mempengaruhi
pendapat, sikap dan tingkah laku di negara demokratis merupakan hal yang lebih
berat daripada di negara otoriter, oleh karena kegiatannya harus dilakukan secara
persuasi. Oleh karena hal tersebut, persuasi memerlukan kiat dalam pelaksanaan
yang bersumber pada pengetahuan ilmiah.
Metode ini dianggap tepat dalam menangani anak didik yang mengalami
hambatan emosi, pendidik atau guru sebaiknya tidak menggunakan paksaan
karena hal itu hanya akan membuat anak didik semakin agresif. Pendidik atau
guru juga diharapkan memiliki pengetahuan dasar yang cukup dan metode
mengajar yang tepat diterapkan untuk mendidik anak berkebutuhan khusus
dengan hambatan emosi sehingga pesan atau pelajaran yang akan disampaikan
dapat di terima dengan baik oleh anak didik.
Saat ini pendidikan sekolah luar biasa ditangani unit Direktorat Pendidikan
Luar Biasa di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah untuk tingkat nasional. Di tingkat daerah pendidikan luar biasa berada
di bawah naungan Subdin Pendidikan Luar Biasa atau Subdin yang menangani
Pendidikan Luar Biasa pada Dinas Pendidikan Propinsi. Lembaga pendidikan luar
biasa yang ada saat ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.
Sekolah Luar Biasa (SLB) digolongkan dalam beberapa jenis yaitu,
Sekolah Luar Biasa bagian Tunanetra untuk anak dengan gangguan penglihatan
(SLB A), Sekolah Luar Biasa bagian Tunarungu untuk anak dengan gangguan
pendengaran (SLB B), Sekolah Luar Biasa bagian Tunagrahita untuk anak dengan
yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau keterbelakangan
mental (SLB C), Sekolah Luar Biasa bagian Tunadaksa untuk anak dengan
gangguan fungsi pada tulang, otot dan sendi (SLB D), Sekolah Luar Biasa bagian
Universitas Sumatera Utara
4
Tunalaras untuk anak dengan gangguan tingkah laku (SLB E), dan Sekolah Luar
Biasa bagian Tunaganda untuk anak dengan gangguan lebih dari satu (SLB G)
(http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan-khusus-untuk-anaktunalaras.html).
Namun secara luas, anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa tidak
hanya seperti yang telah disebutkan tetapi juga termasuk anak berbakat atau
supernormal (SLB F, di mana penelitian tentang anak dengan kemampuan
intelektual yang tinggi ini di mulai pada tahun 1980) dan anak berkesulitan belajar
(SLB H). Penelitian ini akan membahas mengenai anak berkebutuhan khusus
bagian tunalaras.
Secara umum tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan mengalami gangguan emosi.
Masyarakat justru lebih mengenal mereka sebagai anak nakal, anak yang sulit
diatur, anak pelanggar hukum, anak jahat, dan lain sebagainya daripada mengenal
mereka sebagai anak yang mengalami hambatan emosi. Oleh sebab itu, tidak
jarang anak tunalaras diabaikan bahkan dijauhi oleh orang-orang sekitarnya.
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak
pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan
minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami.
Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa
mereka memiliki inteligensi yang rendah. Walaupun memang di antara anak
tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental. Kelemahan dalam
perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan
tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan inteligensi yang rendah di
sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, sedangkan
pada dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama
yang berkaitan dengan prestasi belajar (Somantri, 2007:149).
Lebih lanjut Somantri (2007:149) mengemukakan bahwa ketidakmampuan
anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam belajar dapat menjadikan
anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sehingga anak
mencari kompensasi yang sifatnya negatif, misalnya: membolos, lari dari rumah,
berkelahi, mengacau dalam kelas, dan sebagainya. Akibat lain dari kelemahan
Universitas Sumatera Utara
5
inteligensi ini terhadap timbulnya gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan
anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan, mudah
dipengaruhi sehingga mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang negatif.
Walaupun memiliki hambatan, anak berkebutuhan khusus tetap dapat
berprestasi baik di bidang akademis, olahraga dan kesenian. 24 hingga 26 Mei
2012, Dinas Pendidikan Pemprov Sumatera Utara mengadakan perlombaan yang
ditujukan bagi seluruh sekolah luar biasa (SLB) se-Sumatera Utara. 37 orang dari
13 SLB se-Sumatera Utara mengikuti perlombaan seni (mencakup desain grafis
komputer, menyanyi solo, pantomime, melukis, tata rias dan tari kreasi daerah),
olahraga (lari 100 meter, lompat jauh, lempar cakram, bulu tangkis, catur khusus
anak berkebutuhan khusus tunanetra) dan sains (matematika, fisika dan biologi)
(sumutpos.com).
Sistem pengajaran yang tepat, tentunya sangat diperlukan anak yang
mengalami gangguan emosi. Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina di Medan,
merupakan salah satu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus, khususnya untuk anak tunalaras. Sekolah negeri tingkat
provinsi ini didirikan pada tahun 1983. Diawali dengan 5 anak didik dan 2 tenaga
pendidik, saat ini SLB-E Negeri Pembina tidak hanya menyelenggarakan
pendidikan untuk anak tunalaras, tetapi juga untuk penyandang tunarungu
(penyandang hambatan pendengaran), tunagrahita (penyandang gangguan
perkembangan inteligensi), autis, dan cacat ganda (penyandang hambatan fisik
dan mental) (profil UPT SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Sumatera
Utara).
SLB-E Negeri Pembina terdiri dari jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan
SMALB. Saat ini SLB-E Negeri Pembina mempunyai anak didik berjumlah 336
orang dengan 60 orang tenaga pendidik. SLB-E Negeri Pembina menggunakan
sistem pengajaran individual, dimana seorang guru akan mengajar lima sampai
dengan delapan anak didik. Selain menyelengarakan pendidikan bagi siswa yang
memiliki kekurangan dalam intelektual dan mental, sekolah ini juga
menyelengarakan beberapa pendidikan keterampilan seperti tata boga, tata
busana, pertamanan, perikanan, otomotif, pengelasan, perkayuan, pavin blok dan
Information Communication Technology (ICT) serta keterampilan musik.
Universitas Sumatera Utara
6
Sekolah ini juga memiliki prestasi mulai dari akademis, olahraga (salah
satu anak didik bahkan sudah ke Athena untuk mengikuti lomba lari), dan seni
(salah satu anak didik tunarungu menjadi peserta dibidang seni tari). Berdasarkan
uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang
”Komunikasi Persuasif terhadap Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri
Pembina Medan”.
1.2
Batasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian yang akan dilaksanakan, maka peneliti merasa perlu
membuat pembatasan masalah yang lebih jelas, fokus dan spesifik. Adapun
pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Persuasif difokuskan pada kesungguhan anak didik untuk belajar.
2. Pelaksanaan Komunikasi Persuasif di lakukan oleh guru kelas secara
menyeluruh.
3. Penelitian ini difokuskan pada Komunikasi Persuasif yang dilakukan
pengajar di SLB-E Negeri Pembina Medan.
1.3
Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan serangkaian pertanyaan yang dijadikan
dasar pijakan bagi peneliti untuk menentukan berbagai desain dan strategi
penelitiannya. Harus dituliskan dalam wujud kalimat tanya dengan bahasa yang
singkat dan jelas (Idrus, 2009:48). Perumusan masalah adalah konteks penelitian
yang mengarahkan pelaksanaan dan pencapaian tujuan penelitian (Silalahi,
2009:54). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai
berikut: “Apakah Komunikasi Persuasif pengajar berpengaruh terhadap Prestasi
Belajar anak didik SMP di SLB-E Negeri Pembina Medan?”
Universitas Sumatera Utara
7
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan jawaban mengapa penelitian tersebut harus
dilakukan (Idrus, 2009:49). Tujuan penelitian ini:
1. Untuk mengetahui bagaimana strategi penggunaan komunikasi persuasif
di SLB-E Negeri Pembina Medan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh komunikasi persuasif yang
diberikan terhadap prestasi belajar siswa/siswi SMP di SLB-E Negeri
Pembina Medan.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang bisa didapatkan setelah
penelitian tersebut dilaksanakan (Idrus, 2009:50). Manfaat penelitian bukanlah
manfaat yang dirasakan oleh peneliti tetapi merupakan manfaat yang didapatkan
setelah penelitian dilakukan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan
dan menjadi referensi di bidang komunikasi, khususnya bagi mahasiswa
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik untuk SLB-E Negeri
Pembina Medan maupun pihak atau organisasi lainnya yang memiliki
tujuan untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia.
3. Secara teoritis, penelitian ini sebagai wadah menerapkan ilmu yang sudah
peneliti dapatkan selama menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP
USU, sekaligus memperkaya wawasan peneliti mengenai Komunikasi
Persuasif
dalam
dunia
pendidikan
khususnya
pendidikan
anak
berkebutuhan khusus.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945, setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang
layak. Oleh karenanya, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang
harus diterima oleh anak di Indonesia. Dengan sistem pendidikan yang baik, hasil
pendidikan yang berkualitas tentunya akan mudah diraih.
Banyak sistem pendidikan yang sudah dirancang untuk mendidik anakanak pada umumnya. Tetapi tidak untuk sistem pendidikan anak berkebutuhan
khusus (ABK). Kurangnya tenaga pengajar untuk pendidikan luar biasa
menyebabkan sistem pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus kurang
berkembang. Menurut Kompas.com (2010) berdasarkan pengakuan Menteri
Pendidikan Nasional saat itu, jumlah tenaga pendidik dengan siswa didik adalah
satu berbanding empat (edukasi.kompas.com).
Di Indonesia, sistem pendidikan yang mengatur penyelenggaraan
pendidikan untuk peserta didik berkebutuhan khusus baru diberi perhatian pada
tahun 1970an setelah keberhasilan proyek pendidikan terpadu melalui Keputusan
Menteri Pendidikan dan Budaya No. 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu
bagi Anak Cacat. Pada intinya keputusan tersebut mengatur bahwa anak
berkebutuhan khusus yang memiliki kemampuan akademis dapat diterima
bersekolah di sekolah regular (Rahardja, 2005:1).
Lebih lanjut Rahardja (2005) mengatakan bahwa walaupun pada akhirnya
implementasi pendidikan terpadu tersebut mengalami kemunduran yang
disebabkan oleh kurang tepatnya konsep yang tertanam pada masyarakat
pendidikan, khususnya sekolah reguler, tentang hak anak-anak luar biasa untuk
belajar bersama-sama secara terpadu dengan anak-anak normal, kurangnya
koordinasi antara pihak penyelenggara pendidikan guru (LPTK), birokrasi
pendidikan, sekolah, dan masyarakat, kurangnya sosialisasi perangkat peraturan
yang ada, serta kurangnya upaya kampanye kepedulian dan kesadaran masyarakat
mengenai hakikat dan konsep keluarbiasaan yang tepat.
1
Universitas Sumatera Utara
2
Menurut pasal 15 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, bahwa jenis
pendidikan bagi Anak berkebutuan khusus adalah Pendidikan Khusus. Pasal
32 (1) UU No. 20 tahun 2003 memberikan batasan bahwa Pendidikan khusus
adalah pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Teknis layanan pendidikan jenis pendidikan khusus untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa dapat
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah. Menurut pasal 130 (1) PP No. 17 tahun
2010 pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan
pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
Konsep anak berkebutuhan khusus sebagai peserta didik adalah anak yang
mengalami hambatan dalam mengikuti pembelajaran sebagaimana peserta didik
umumnya. Hambatan atau gangguan tersebut dapat berupa hambatan yang bersifat
temporer yang berarti peserta didik tidak harus menerima layanan pendidikan
khusus secara terus-menerus maupun permanen, peserta didik perlu mendapatkan
layanan khusus berdasarkan tingkat kebutuhannya. Hal ini dikatakan sebagai
hambatan permanen karena fisik dan mental mereka tidak bisa diubah seperti anak
pada umumnya (Sugiarmin, Jurnal Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dalam
Perspektif Pendidikan Inklusif).
Komunikasi persuasif merupakan salah satu metode yang dapat di pakai
dalam menangani kebutuhan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Dahulu
tujuan akhir dalam komunikasi persuasif itu sendiri hanyalah mempengaruhi
audiens atau komunikan untuk melakukan pesan yang komunikator atau
pembicara sampaikan. Dewasa ini komunikasi persuasif digunakan sebagai sarana
untuk membentuk dan membimbing opini serta menentukan sikap seseorang.
Pendekatan komunikasi persuasif yang sebaiknya digunakan dalam mendidik
peserta tunalaras adalah positive appeals, yaitu pendekatan yang dilakukan
melalui perangsangan dan ganjaran (Siahaan, 1991:129).
Universitas Sumatera Utara
3
Dalam suatu negara demokrasi, usaha mempengaruhi pendapat, sikap atau
tingkah laku hanya boleh dilakukan berdasarkan bujukan-bujukan atau ajakan
(persuasive), tetapi tidak berdasarkan pemaksaan atau penekanan (coersion).
Berbeda dengan sistem yang digunakan di negara otoriter, dimana pemaksaan
lebih banyak menonjol daripada ajakan. Jika pun ajakan itu dilakukan, maka hal
tersebut biasanya berdasarkan landasan kegiatan pemaksaan (Roekomy, 1992:1).
Lebih lanjut Roekomy (1992) meyatakan bahwa usaha mempengaruhi
pendapat, sikap dan tingkah laku di negara demokratis merupakan hal yang lebih
berat daripada di negara otoriter, oleh karena kegiatannya harus dilakukan secara
persuasi. Oleh karena hal tersebut, persuasi memerlukan kiat dalam pelaksanaan
yang bersumber pada pengetahuan ilmiah.
Metode ini dianggap tepat dalam menangani anak didik yang mengalami
hambatan emosi, pendidik atau guru sebaiknya tidak menggunakan paksaan
karena hal itu hanya akan membuat anak didik semakin agresif. Pendidik atau
guru juga diharapkan memiliki pengetahuan dasar yang cukup dan metode
mengajar yang tepat diterapkan untuk mendidik anak berkebutuhan khusus
dengan hambatan emosi sehingga pesan atau pelajaran yang akan disampaikan
dapat di terima dengan baik oleh anak didik.
Saat ini pendidikan sekolah luar biasa ditangani unit Direktorat Pendidikan
Luar Biasa di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah untuk tingkat nasional. Di tingkat daerah pendidikan luar biasa berada
di bawah naungan Subdin Pendidikan Luar Biasa atau Subdin yang menangani
Pendidikan Luar Biasa pada Dinas Pendidikan Propinsi. Lembaga pendidikan luar
biasa yang ada saat ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.
Sekolah Luar Biasa (SLB) digolongkan dalam beberapa jenis yaitu,
Sekolah Luar Biasa bagian Tunanetra untuk anak dengan gangguan penglihatan
(SLB A), Sekolah Luar Biasa bagian Tunarungu untuk anak dengan gangguan
pendengaran (SLB B), Sekolah Luar Biasa bagian Tunagrahita untuk anak dengan
yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata atau keterbelakangan
mental (SLB C), Sekolah Luar Biasa bagian Tunadaksa untuk anak dengan
gangguan fungsi pada tulang, otot dan sendi (SLB D), Sekolah Luar Biasa bagian
Universitas Sumatera Utara
4
Tunalaras untuk anak dengan gangguan tingkah laku (SLB E), dan Sekolah Luar
Biasa bagian Tunaganda untuk anak dengan gangguan lebih dari satu (SLB G)
(http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan-khusus-untuk-anaktunalaras.html).
Namun secara luas, anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa tidak
hanya seperti yang telah disebutkan tetapi juga termasuk anak berbakat atau
supernormal (SLB F, di mana penelitian tentang anak dengan kemampuan
intelektual yang tinggi ini di mulai pada tahun 1980) dan anak berkesulitan belajar
(SLB H). Penelitian ini akan membahas mengenai anak berkebutuhan khusus
bagian tunalaras.
Secara umum tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan mengalami gangguan emosi.
Masyarakat justru lebih mengenal mereka sebagai anak nakal, anak yang sulit
diatur, anak pelanggar hukum, anak jahat, dan lain sebagainya daripada mengenal
mereka sebagai anak yang mengalami hambatan emosi. Oleh sebab itu, tidak
jarang anak tunalaras diabaikan bahkan dijauhi oleh orang-orang sekitarnya.
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak
pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan
minat dan konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami.
Kegagalan dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa
mereka memiliki inteligensi yang rendah. Walaupun memang di antara anak
tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental. Kelemahan dalam
perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya gangguan
tingkah laku. Masalah yang dihadapi anak dengan inteligensi yang rendah di
sekolah adalah ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya, sedangkan
pada dasarnya seorang anak tidak ingin berbeda dengan kelompoknya terutama
yang berkaitan dengan prestasi belajar (Somantri, 2007:149).
Lebih lanjut Somantri (2007:149) mengemukakan bahwa ketidakmampuan
anak untuk bersaing dengan teman-temannya dalam belajar dapat menjadikan
anak frustasi dan kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sehingga anak
mencari kompensasi yang sifatnya negatif, misalnya: membolos, lari dari rumah,
berkelahi, mengacau dalam kelas, dan sebagainya. Akibat lain dari kelemahan
Universitas Sumatera Utara
5
inteligensi ini terhadap timbulnya gangguan tingkah laku adalah ketidakmampuan
anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan, mudah
dipengaruhi sehingga mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang negatif.
Walaupun memiliki hambatan, anak berkebutuhan khusus tetap dapat
berprestasi baik di bidang akademis, olahraga dan kesenian. 24 hingga 26 Mei
2012, Dinas Pendidikan Pemprov Sumatera Utara mengadakan perlombaan yang
ditujukan bagi seluruh sekolah luar biasa (SLB) se-Sumatera Utara. 37 orang dari
13 SLB se-Sumatera Utara mengikuti perlombaan seni (mencakup desain grafis
komputer, menyanyi solo, pantomime, melukis, tata rias dan tari kreasi daerah),
olahraga (lari 100 meter, lompat jauh, lempar cakram, bulu tangkis, catur khusus
anak berkebutuhan khusus tunanetra) dan sains (matematika, fisika dan biologi)
(sumutpos.com).
Sistem pengajaran yang tepat, tentunya sangat diperlukan anak yang
mengalami gangguan emosi. Sekolah Luar Biasa E Negeri Pembina di Medan,
merupakan salah satu sekolah yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus, khususnya untuk anak tunalaras. Sekolah negeri tingkat
provinsi ini didirikan pada tahun 1983. Diawali dengan 5 anak didik dan 2 tenaga
pendidik, saat ini SLB-E Negeri Pembina tidak hanya menyelenggarakan
pendidikan untuk anak tunalaras, tetapi juga untuk penyandang tunarungu
(penyandang hambatan pendengaran), tunagrahita (penyandang gangguan
perkembangan inteligensi), autis, dan cacat ganda (penyandang hambatan fisik
dan mental) (profil UPT SLB-E Negeri Pembina Tingkat Provinsi Sumatera
Utara).
SLB-E Negeri Pembina terdiri dari jenjang TKLB, SDLB, SMPLB, dan
SMALB. Saat ini SLB-E Negeri Pembina mempunyai anak didik berjumlah 336
orang dengan 60 orang tenaga pendidik. SLB-E Negeri Pembina menggunakan
sistem pengajaran individual, dimana seorang guru akan mengajar lima sampai
dengan delapan anak didik. Selain menyelengarakan pendidikan bagi siswa yang
memiliki kekurangan dalam intelektual dan mental, sekolah ini juga
menyelengarakan beberapa pendidikan keterampilan seperti tata boga, tata
busana, pertamanan, perikanan, otomotif, pengelasan, perkayuan, pavin blok dan
Information Communication Technology (ICT) serta keterampilan musik.
Universitas Sumatera Utara
6
Sekolah ini juga memiliki prestasi mulai dari akademis, olahraga (salah
satu anak didik bahkan sudah ke Athena untuk mengikuti lomba lari), dan seni
(salah satu anak didik tunarungu menjadi peserta dibidang seni tari). Berdasarkan
uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang
”Komunikasi Persuasif terhadap Prestasi Belajar Anak Didik di SLB-E Negeri
Pembina Medan”.
1.2
Batasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian yang akan dilaksanakan, maka peneliti merasa perlu
membuat pembatasan masalah yang lebih jelas, fokus dan spesifik. Adapun
pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Persuasif difokuskan pada kesungguhan anak didik untuk belajar.
2. Pelaksanaan Komunikasi Persuasif di lakukan oleh guru kelas secara
menyeluruh.
3. Penelitian ini difokuskan pada Komunikasi Persuasif yang dilakukan
pengajar di SLB-E Negeri Pembina Medan.
1.3
Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan serangkaian pertanyaan yang dijadikan
dasar pijakan bagi peneliti untuk menentukan berbagai desain dan strategi
penelitiannya. Harus dituliskan dalam wujud kalimat tanya dengan bahasa yang
singkat dan jelas (Idrus, 2009:48). Perumusan masalah adalah konteks penelitian
yang mengarahkan pelaksanaan dan pencapaian tujuan penelitian (Silalahi,
2009:54). Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai
berikut: “Apakah Komunikasi Persuasif pengajar berpengaruh terhadap Prestasi
Belajar anak didik SMP di SLB-E Negeri Pembina Medan?”
Universitas Sumatera Utara
7
1.4
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan jawaban mengapa penelitian tersebut harus
dilakukan (Idrus, 2009:49). Tujuan penelitian ini:
1. Untuk mengetahui bagaimana strategi penggunaan komunikasi persuasif
di SLB-E Negeri Pembina Medan.
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh komunikasi persuasif yang
diberikan terhadap prestasi belajar siswa/siswi SMP di SLB-E Negeri
Pembina Medan.
1.5
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan kegunaan yang bisa didapatkan setelah
penelitian tersebut dilaksanakan (Idrus, 2009:50). Manfaat penelitian bukanlah
manfaat yang dirasakan oleh peneliti tetapi merupakan manfaat yang didapatkan
setelah penelitian dilakukan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan
dan menjadi referensi di bidang komunikasi, khususnya bagi mahasiswa
Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik untuk SLB-E Negeri
Pembina Medan maupun pihak atau organisasi lainnya yang memiliki
tujuan untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia.
3. Secara teoritis, penelitian ini sebagai wadah menerapkan ilmu yang sudah
peneliti dapatkan selama menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP
USU, sekaligus memperkaya wawasan peneliti mengenai Komunikasi
Persuasif
dalam
dunia
pendidikan
khususnya
pendidikan
anak
berkebutuhan khusus.
Universitas Sumatera Utara