Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah adalah salah satu alat utama bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah, seperti bercocok tanam dalam hal faktor produksi dan bias juga digunakan sebagai modal dalam kegiatan perekonomian. Dikarenakan Negara Indonesia Negara agraris, oleh karena itulah tanah merupakan salah satu sumber daya penting bagi masyarakat.

Dinamika dalam pembangunan subjek tanah menempati posisi yang khusus sebagai faktor produksi dan merupakan modal yang tidak dapat digantikan, tidak dapat dipindahkan dan tidak dapat direproduksi. Tanah juga merupakan alas tempat tingga, bahkan bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, tanah memiliki arti perjuangan kebangsaan sebagaimana tercermin dalam ungkapan “tanah air”. Arti yang beragam dan begitu penting mengenai tanah

mengarah pada satu esensi utama yakni tanah untuk kemakmuran rakyat.1

1

Noer Fauzi, Penghargaan Populisme dan Pembangunan Kapitalisme, Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial (Dalam Reforma Agraria). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997, hal. 7.


(2)

Dengan demikian, tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi kehidupan manusia.Tanah tidak lagi dipandang sebagai masalah agraria semata yang selama ini diidentikkan sebagai pertanian belaka, melainkan telah berkembang baik manfaat maupun kegunaannya, sehingga terjadi dampak negatif yang semakin kompleks, bahkan tanah sering menimbulkan guncangan

dalam masyarakat serryta sendatan dalam pelaksanaan pembangunan.2

Tanah dalam sistem sosial-ekonomi-politik apapun, dianggap sebagai faktor produksi utama. Hal yang membedakan antara sistem yang satu dan sistem lainnya hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan, dan cara pandang terhadap tana itu sendiri. Dalam sistem feodal, fungsi tanah lebih merupakan symbol statuus kekuasaan bangsawan atau kerajaan.Tanah secara keseluruhan dimiliki kelas bangsawan, sementara petani hanyalah pihak penggarap.Dalam sistem kapitalisme, tanah dan faktor produksi lainnya merupakan mesin pencetak laba, merupakan sesuatu yang dapat mengakumulasikan modal, sementara petani hanya pekerja.Dalam sistem sosialisme, tanah tidak dimiliki secara pribadi, tetapi secara kolektif.Tanah merupakan alat produksi dan hasilnya digunakan secara Selain dari faktor produksi tanah juga menyangkut hal-hal lain dalam aspek yang berbeda yang memiliki arti penting baik itu pada aspek sosial maupun aspek politik.Oleh sebab itu dapat kita simpulkan bahwa tanah tidak semata-mata merupakanmasalah hubungan antara manusia dengan tanah, tetapi lebih dari itu dimana secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia/makhluk sosial.

2


(3)

bersama.3

Akibat dari pentingnya tanah dalam kebutuhan sehari-hari maka kerap adanya kecenderungan terjadi konflik bahwa orang yang memiiliki akan berupaya mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar. Oleh karena itu tidak heran bila konflik pertanahan mengundang berbagai bentuk kekerasan, baik individu maupun massal.Adanya konflik sosial yang berkaitan dengan masalah tanah/lahan sebenarnya sudah ada sejak zaman feudal, tetapi intensitas permasalahannya tidak seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Adanya istilah patron client yang mengatur hubungan antara petani pemilik lahan luas dengan petani gurem atau buruh tani yang berfungsi sebagai peredam gejolak masalah konflik tanah yang muncul.

Begitu pula dalam pendekatan (neo) populisme, tanah dianggap sebagai sebagai alat produksi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat petani. Dalam pandangan ini tanah tidak dimiliki atau dikuasai bangsawan, Negara ( kolektif), atau kelas tuan tanah, tetapi tanah dikuasai secara tersebar olehh sejumlah besar rumah tangga pertanian. Dalam sistem-sistem tersebut, tanah mempunyai nilai strategis, walaupun memiliki fungsi berbeda-beda.

4

Kata “konflik” menurut Kamus Ilmiah Populer adalah pertentanggan,

pertiikaian, persengketaan, dan perselisihan.5 Menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia diartikan dengan pertentangan, percekcokan.6

3

Arief Budiman, Fungsi Tanah dalam Kapitalisme, Dalam Jurnal Aanalisis Sosial: Penerbit Yayasan Akatiga, Edisi 3/Juli 1996, hal. 14 (dalam bentuk PDF).

4

Heru Nugroho, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001, hal. 246.

5

Partanto dan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arloka, 1994, hal. 354

6

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta-Bandung: Penerbit PT Ersco, 1979, hal. 518.

Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa konflik mengandung arti pertentangan dua pihak atau lebihh bahkan segolongan besar seperti Negara. Konflik dapat disebabkan


(4)

pertentangan, bermacam-macam kepentingan, kebencian, kecurigaan, rasa minder, dominasi pihak lemah oleh pihak kuat. Konflik agraria sendiri terjadi manakala pihak-pihak yang berkonflik memiliki posisi ddan motivasi yang bertentangan atas penguasaan sumber daya agraria, tetapi mempunyai kepentingan yang sama untuk memiliki sumber daya agraria yakni tanah dengan segala produk yang dihasilkannya. Dengan demikian, konflik agraria tidak terbatas pada konflik-konflik masalah tanah, tetapi juga konflik terhadap semua sumber daya alam, berikut konflik terhadap sumber daya agraria yang sudah diusahakan oleh rakyat maupun yang kelihatannya belum diusahakan oleh rakyat

tetapi sebenarnya sudah ada dalam penguasaan rakyat.7

Pola konflik agraria di Indonesia sudah bergeser dari konfliksecara horizontal dimasa Orde Lama menjadi konflik bersifat vertikal dimasa Orde Baru, yang artinya bahwa pada masa Orde Lama konflik agraria lebih di dominasi antara rakyat dengan rakyat, akan tetapi pada masa Orde Baru konflik agraria tidak hanya antara rakyat dengan rakyat tetapi terdapat kecenderungan lebih didominasi konflik antara rakyat dengan pemodal yang sering di dukung oleh intervensi pemerintah. Pengambilan tanah-tanah rakyat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran denga menggunakan kekerasan, penaklukan, dan manipulasi ideologis dengan cara-cara yang melanggar hak asasi

manusia.8

Konflik agraria atau yang juga kerap disebut konflik pertanahan merupakan kasus yang pelik di negeri ini, hampir setiap tahunnya di berbagai

7

Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Yayasan AKATIGA, 1997, hal. 32.

8

Noer Fauzi, dalam M. Mas’oed, Tanah dan Pembangunan,Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 9


(5)

daerah terjadi permasalahan tentang agraria. Bergantinya rezim penguasa di negeri ini juga pun tidak ada niatan untuk membahas tuntas akar permasalahan yang terus menerus terjadi di negeri ini. Seperti pada zaman Orde Baru, konflik pertanahan yang merupakan ciri pokok perubahan dan yang selalu menjadi istilah “pembangunan” sebagai slogan yang cenderung menjadi jargon politik yang disakralkan seolah-olah menjadi ideologi, akan tetapi dalam kenyataannya model pembangunan itu justru merusak makna pembangunan itu sendiri, dalam arti jiwa kemandirian hilang, semangat kebersamaan merosot, keadilan hamper lenyap, kesenjangaan sosial meningkat, kondisi fisik lingkungan rusak berat, kekayaan

alam terkuras, dan sebagainya.9

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 pada awalnya dimaksudkan sebagai undang-undang induk keagrariaan mencakup pembaruan relasi sosial di atas tanah. Dalam praktikpemerintahan Orde Baru, meletakkan UUPA No. 5 Tahun1960 hanya bersifat teknis dan sektoral, sebagaimana halnya dengan beberapa undang-undang yang telah diundangkan dan sangat memfasilitasi serta memberikan dukungan terhadap pertumbuhan modal bersifat kapitalistik yang seharusnya tidak demikian, oleh karena UUPA sebagaiman bersemangat populistik. Rezim Orde Baru yang lalu gagal mewujudkan keadilan agraria termaksud, khususnya gagal menjamin kepastian penguasaan tanah atau SDA lain bagi komunitas local yang telah memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Bahkan, sebaliknya praktek pembangunan semasa Orde

9

Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang belum berakhir, Insist Press, KPA & Pustaka pelajar hal. 159.


(6)

Baru justru menyingkirkan akses rakyat terhadap tanah dan SDA lain yang telah

lama dipunyainya.10

10

Suhendar, op.cit, hal. 50.

Dalam era reformasi, konflik agraria yang terjadi menimbulkan banyak dampak yang dialami oleh rakyat, dimana adanya hak-hak rakyat yang terabaikan oleh pemerintah dan dalam menciptakan suatu perubahan kebijakan yang ada untuk pemuliha kondisi korban yang dirugikan akibat dari konflik agraria ini, dimana rakyat telah diperlakukan secara tidak adil dan terusiknya rasa keadilan mereka mengekspresikan hasrat mereka dalam berbagai tindakan protes dan mendorong tindakan kolektif rakyat untuk merebut kembali apa yang telah dirampas dari hak-hak mereka. Dengan diperlakukan secara tidak adil dan hak rakyat yang terabaikan mmerupakan salah satu indikasi dari pelanggaran Hak Azasi Manusia itu sendiri.

Di Indonesia sendiri begitu banyaknya konflik agraria yang terjadi seiring berjalannya waktu, seperti salah satu contohnya adalah konflik agrarian di Mesuji, Lampung.Konflik Mesuji adalah contoh dari bagaimana kewenangan pemerintahan digunakan dan disalahgunakan untuk pengembangan perusahan-perusahaan kapitalis raksasa.Konflik agraria di Mesuji adalah bagian kecil dari ribuan konflik agraria nasional.Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), bahwa setelah mencuatnya kasus Mesuji berturut-turut konflik agrarian bermunculan ke permukaan seperti konflik agraria di Pulau Padang, pembakaran rumah-rumah masyarakat adat di Sumbawa dalam konflik dengan Dinas Kehutanan.


(7)

Selama ini, belum ada penyelesaian menyeluruh mengenai konflik-konflik agraria ini. Data yang dihimpun Perkumpulan untuk pembaharuan Hukum dan Masyarakat (HuMa) menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat 108 konflik agrarian di 10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh konflik tenurial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus). Badan Pertanahan Nasional (BPN) bahkan mencatat 8000 konflik agraria di Indonesia.Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia.Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani.HuMa juga mengamati bahwa hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian

dan militer.Selain itu juga keterlibatan preman atau pamswakarsa.11

Begitu juga yang terjadi di daerah Sumatera Utara banyak konflik yang terjadi.Perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia berada di Sumatera Utara dengan luas areal 1.018.580 Ha, dikelola swasta, BUMN maupun perkebunan rakyat. Dengan produksi CPO rata-rata 3,5 Juta ton per tahun, perkebunan tersebar di beberapa wilayah datran rendah seperti Sumatera bagian Timur dan Sumatera bagian Tenggara. Hampir semua perusahaan berkonflik dengan petani, rakyat dan masyarakat adat yang berada di sekitar perkebunan. Konflik karena persoalan lahan sering terjadi di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Simalungun, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Konflik itu biasanya terjadi antara perusahaan perkebunan swasta.Konflik yang mencuat berupa perusakan,


(8)

pembakaran fasilitas perusahaan dan rumah, serta pembunuhan.Menurut data dari Polda Sumut dalam kurun 2006-2012 terjadi 2.833 kasus lahan atau yang kerap

disebut konflik agraria.12

Di Sumatera Utara, dalam semester pertama tahun 2013, Kasus konflik lahan antar petani, rakyat dan masyarakat adat dengan korporasi (pemerintah dan

swasta) semakin meningkat. Menurut majalah Burta13

12

Harian Kompas, 28 mei 2013

13

Majalah Burta: Semangat Perjuangan Buruh dan Tani, Bom waktu Konflik Lahan ( Edisi 1 Tahun-I/2012), Lentera Rakyat, 2012, hal. 4.

bahwa sampai saat ini ada delapan kelompok petani yang berkonflik dengan perusahaan, kasus tersebut terdiri dari kasus baru juga kasus lama yang kembali mencuat.Dari konflik yang terjadi, rakyat selalu menjadi korban dari tindakan pihak perusahaan yang di back up oleh aparat keamanan maupun pengaman swakrasa yang disewa perusahaan.

Kriminalisasi tersebut dilakukan dengan dua pola.Pertama, dilakukan langsung oleh negara melalui aparat kepolisian yang cenderung berpihak kepada korporasi.Kedua, dilakukan oleh korporasi melalui satuan pengamanan swakarsa yang mereka bentuk.Kriminalisasi tersebut biasanya dilakukan dengan melanggar hak-hak sipil, politik maupun hak-hak ekonomi dan sosial budaya petani. Konflik yang terjadi antara petani dengan perusahaan perkebunan di Sumatera Utara tercatat seperti tabel berikut ini:


(9)

Tabel 1

Konflik Tani dengan Perusahaan Perkebunan di Sumatera Utara

No .

Kasus dan Profil Singkat Kasus Keterangan

1 Konflik Lahan antara kelompok Tani Padang Halaban

Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART

Konflik Baru

2 Konflik lahan antara Kelompok Tani Penghijauan di

DESA Sukaramai Labuhan Batu Utara dengan PT. Sawita Ledong Jaya

Konflik Lama

3 Konflik Lhan antara warga Desa Hutang Balang Kec.

Badiri, Kab. Tapanuli Tengah dengan PT. AFP ( sebelumnya bernama PT. Cahaya Pelita Andika)

Konflik Baru

4 Konflik Lahan antara warga Dusun I Desa Bangun Pulo

Rakyat, Kab. Asahan dengan Koperasi Bina Tani

Konflik Baru

5 Konflik lahan antara Kelompok Tani Sei Mencirim Kab.

Deli Serdang dengan PTPN II

Konflik Baru

6 Konflik lahan antara warga Mandailing Natal Desa Huta

Godang Muda dengan PT. Sorik Mas Mining

Konflik Lama


(10)

Saentis, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang dengan PTPN II

8 Konflik lahan antara warga Desa patogo janji, Kab.

Padang Lawas dengan PT. Sumatera Riang Lestari dan PT. Sumatera Silva Lestari (PT. SSL)

Konflik Lama

Dari delapan kasus diatas, ada tiga kasus yang sedang diadvvokasi salah satu diantaranya termasuk Konflik Lahan Kelompok Tani Padang Halaban sekittarnya (KTPH-s), Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, dimana Kelompok Tani bertikai dengan pihak perkebunan, yaitu PT. Smart Cooporaion, Tbk sebagai salah satu fokus peneliti dalam pembuatan penelitian ini. Luas lahan yang disengketakan oleh warga seluas ± 3000 Ha terletak di sepanjang Perkebunan Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara. Lokasi masyarakat berada di sekitar perkebunan dan berada di 6 desa diantaranya desa Karang Anyar, Kampung Lalang, Sidomulyo/sidomukti, Panigoran, Padang Halaban, Kampung Selamat. Posisi pemukiman warga mengelilingi lahan sengketa.

Berdasarkan Laporan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara14

14

Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Medan: Laporan Perkembangan Penyelidikan Kasus Tanah di Perkebunan Padang Halaban, Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara, 3 Juli 1999

bahwa Sejarah perjuangan rakyat dimulai tahun 1953/1954 tanah perkebunan Padang Halaban termasuk tanah konsesi yang dikelola oleh Perusahaan Belanda bernama NV. Sumcana.Perusahaan perkebunan tersebut menanami sayuran dan buah-buahan, lalu setelah dipanen, tanah tersebut dipergunakan oleh masyarakat dengan


(11)

menanami tanaman palawija, padi, jagung, rambutan, dan tanaman keras lainnya, serta diatasnya berdiri rumah-rumah tempat tinggal dan sudah menjadi perkampungan yang kompak.Di sekitar tahun 1956 Telah diadakan pendaftaran tanah oleh Kantor Reorganisasi Pemekaran Tanah Sumatera Timur dan berkesimpulan tanah tersebut termasuk tanah yang dilindungi oleh Undang-undang darurat Nomor 8 Tahun 1954. Pada tahun 1968 oleh Kepala Inspeksi Agraria Sumatera Utara Drs. Soeradi Hadisoewarno mengeluarkan surat keputusan pembentukan Badan Penyelesaian Pesengketaan Tanah Sumatera Timur (BPPST) member putusan bahwa untuk menertibkan tanah garapan rakyat diatas areal Perkebunan Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo menetapkan kepada masing-masing penggarap (per-KK) diberikan 2 Ha (20.000 m²) dan 1000 m² untuk pemukiman dan para penggarap menerima hasil keputusan tersebut.

Namun, imbas dari pertentangan politik di tingkat nasional sampai juga pada masyarakat di desa-desa sekitar perkebunan Padang Halaban.Melalui koordinasi

oknum angkatan darat dan Komando Aksi 15

15

Komando Aksi adalah komando dari organisasi-organisasi kemasyarakatan, preman, tuan tanah yang anti terhadap perkembangan gerakan Komunis di Indonesia. Terbangunnya komando ini diprakarsai oleh Angkatan Darat.

melakukan penyisiran untuk menangkap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).Penangkapan dilakukan hampir setiap malam dari berbagai penjuru tempat, tidak jarang juga penangkapan disertai dengan tindakan penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tertuduh.Penangkapan disertai dengan penghilangan orang terjadi di desa Sidomulyo, Panigoran, Aek Korsik, Sidomukti, dan beberapa daerah di kawasan perkebunan Padang Halaban.Di Sidomulyo kepala desa beserta pimpinan organisasi buruh dan


(12)

organisasi petani menjadi korban, bahkan sampai detik ini keberadaan jasad korban tidak diketahui oleh sanak keluarga.Mereka di bantai secara kejam seperti menombak anggota badan, mengikat di kedua ibu jari, memukul, menendang, menyayat anggota organ tubuh, memenggal kepala korban, memperkosa korban dan mencampakkan mayat ke sungai. Peristiwa yang hampir-hampir tidak bisa terlupakan meskipun para pelaku sejarah sampai dimakan usia.

Seperti yang terjadi di Titi Panjang desa Panigoran menjadi tempat pembantaian terhadap anggota Pemuda Rakyat, yaitu : Mahmud, Karsan, Saru dan Suroso; di desa Sidomulyo ada proses penangkapan dan penghilangan kepada Bapak Langkir, Bapak Mico, Bapak Suyoto, Bapak Saud; di desa Patok Besi ada Bapak Suzari, dan beberapa korban lainnya yang tempat penguburannya tersebar di areal perkebunan dan pemakaman umum. Berdasarkan kesaksian kerabat korban di desa brussel terdapat 7 (tujuh) orang korban pembantaian dalam satu lubang di dekat simpang, yang kemudian simpang tersebut dikenal warga dengan Simpang Maut.Di Pamingke Blok Sepuluh terdapat dua lubang penguburan yang berisikan 6 (enam) orang korban pembantaian dari warga yang diambil di desa sekitar perkebunan Padang Halaban.Dimana dimungkinkan salah satu korban yang dikubur adalah bapak Suyoto dari Sidomulyo.Situasi mencekam pada tahun 1965 – 1968 dimanfaatkan oleh pihak perkebunan Plantagen AG untuk mengintimidasi dan menebarkan teror kepada rakyat.Mengkonsolidasikan seluruh perangkat keamanan di sekitar perkebunan Padang Halaban, tidak terkecuali militer dan bekas komando aksi serta para pekerja kebun yang didatangkan dari luar daerah untuk membantu proses-proses penggusuran.


(13)

Ketika tahun 1969/1970 terjadi penggusuran atas tanah rakyat yang dilakukan oleh PT. PLANTAGEN AG (PT. SMART CORPORATTION) perkebunan Padang Halaban. Imbas dari penggusuran Tanah tersebut mengakibatkan berkurangnya luas wilayah terhadap desa-desa dan hilangnya beberapa Perkampungan Rakyat yang terletak di sekitar Perkebunan Padang Halaban serta terjadinya korban Tindak Kekerasan dan Ham yang menimpa warga dan petani setempat. Surat-surat seperti KTPPT/KRPT yang dilindungi oleh UU Darurat No. 8/ 1954, surat keterangan tanah,kwitansi IPEDA/KOHIR/PajakPeralihan dan data-data Yuridis penguasaan/ kepemilikan sebahagian besar diambil paksa atau dirrampas dari tangan rakyat dengan cara intimidasi yang dilakukan piihak perusahaaan yang dibecking oleh Alat dan Aparatur Negara yaitu Pemerintah dan ABRI.

Perjuangan kaum tani tidak hanya berhenti disitu, berdasarkan keterangan warga setempat,mereka terus memperjuangkan tanah mereka meskipun adanya terjadi penangkapan dan tindakan brutal dari aparat kepolisian kepada para petani di Perkebunan Padang Halaban sekitar awal Juni 2012. Dan pada tanggal 4 Juni 2012 Aparat kepolisian dibantu oleh pihak pamswakarsa/preman berdasarkan perintah pemerintah kabupaten merangsek masuk ke lahan sengketa dan melakukan tindakan penyerangan brutal kepada warga, dengan membawa klewang, parang, panah beracun, soda api serta tongkat pemukul dan mereka tidak mengindahkan keberadaan puluhan warga dilahan dan menangkap 60 warga dengan alasan akan diberikan pengarahan. Mereka benrencana melakukan okupasi


(14)

di atas lahan yang sudah ditanami dan dijaga oleh puluhan petani.16

16

http;/sawitwatch.or.id/2012/06/masyarakat-perkebunan-padang-halaban-sumatera-utara-bentruk-dengan-preman-pt-smart/, data diunduh pada 6 desember 2013, pukul 16.00 WIB

Akhir dari bentrokan ini menyebabkan 19 orang dari pihak perkebunan dan 3 orang dari warga mengalami luka-luka.Dan setelah kejadian ini berlangsung adanya pengankapan petani yang diilakukan pihak kepolisian, dimana sebanyak 60 orang petani ditangkap oleh pihak kepolisian dengan alasan pengarahan. Inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik di Perkebunan Padang Halaban, yaitu adanya perampasan tanah yang diambil oleh pihak PT. SMART CORPORATION, adanya kriminalisasi terhadap petani, ditambah lagi adanya korban penangapan 60 orang petani di perkebunan tersebut yang dalam proses hukum agar dibebaskan.

Penulis juga akan menyangkut pautkan konflik agraria yang terjadi di Desa Padang halaban dalam perspektif HAM dengan kehidupan para petani sesuai dengan legitimasi Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan sesuai dengan landasan kewenangan untuk bertindak dalam mengatur segala sesuatu yang terkait dengan tanah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 33ayat 3 UUD 1945 ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Amanat konstitusi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang ialah pasal 13 yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai berikut:


(15)

1. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

2. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari

organisasi-organisasi dan perseoranganyang bersifat monopoli swasta.

3. Usah-usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli

hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.

4. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,

termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.

Dan adanya pelanggaran HAM yang terjadi yang dirasakan masyarakat dalam hal ini Kelompok Tani di Desa Padang Halaban dan tindakan represif seperti adanya tindak kriminalisasi terhadap petani berupa penembakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, pengrusakan lahan dan korban penangkapann sekitar 10 orang petani juga membuktikan bahwa melanggar sejumlah hak sipil korban diantaranya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan hokum, hak kesamaan di depan hukum, hak bebas dari rasa takut dan hak kebebasan dari intimidasi, dan terjadi pembodohan terhadap rakyat tani dimana adanya Hak Guna Usaha PT SMART yang palsu dan direkayasa yang bekerja sama dengan Pemerintahan Daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya.


(16)

Oleh karena itu, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: Konflik Agraria dalam Perspektif

HAM (Studi Kasus: Konflik antara Masyarakat Desa Padang Halaban,Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu “Mengapa konflik agraria kerap mengakibatkan pelanggaran HAM khususnya yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan usaha-usaha bagaimana untuk menetapkan masalah dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Dimana batasan masalah berfungsi untuk mengidentifikasi faktor mana yang tidak masuk ke dalam ruang penelitian, maka batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa sebab-sebab terjadinya konflik di Desa Padang Halaban, Kec. Aek

Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART?

2. Bentuk pelanggaran apa yang dialami oleh masyarakat tani di Desa

Padang Halaban Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART?


(17)

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui penyebab konflik agraria yang terjadi lebih lanjut antara

masyarakat tani di Desa Padang Halaban dengan PT. SMART.

2. Memahami dan menganalisa bagaimana Penyelesaian konflik agraria

1.5 Signifikansi Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang sungguh

diharapkan mampu memberikan sebuah sumbangsih pemikiran mengenai konsep-konsep dan Teori Konflik dan konsep HAM terutama dalam bentuk konflik agraria.

2. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dan sumbangsih

bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam ilmu politik, khususnya dalam konflik agraria, HAM di Indonesia dan menjadi referensi/kepustakaan Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Teori Konflik

Teori konflik sebenarnya suatu sikap kritis terhadap Marxisme yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi dan tentang elit dominan, pengaturan kelas dan manajemen pekerja. Keadaan permasalahan masyarakat tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan yang melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi


(18)

(imperatively coordinated association) dan mewakili peran-peran organisasi yang

dapat dibedakan.17

Menurut teoritisi konflik bahwasanya masyarakat disatukan oleh” ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Otoritas .Dahrendorf memusatkan perhatiaanya pada struktur social yang lebih luas.Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam suatu masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisi konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas didalam masyarakat.karena memusatkan perhatian kepada struktur bersekala luas seperti peran otoritas. Dahrendorf ditentang oleh para peneliti yang memusarkan perhatiannya tingkat individual. Dahrendorf, menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari sejumlah unit yang ia sebut asosiasi yang dikoordinasikan secara inperatif. Masyarakat terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hierarki posisi otoritas.Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi, karena itu hanya ada dua, kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi. Kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang memiliki kepentingan tertentu Ada sebuah konsep kunci lain dalam teori konflik Dahrendorf , yakni kepentingan. Kelompok yang berada diatas dan yang berada sibawah.Didifinisikan berdasarkan kepentingan bersama.Untuk tujuan analisis sosiologis tentang kelompok konflik konflik kelompok, perlu menganut orientasi structural dari tindakan pemegang posisi tertentu. Dengan analogi terhadap orientasi kesadaran (Subjektif) tampaknya dapat dibenarkan untuk

17


(19)

mendiskripsikan ini sebagai kepentingan, asumsi kepentingan objektif yang diasosiasikan dengan posisi social tidak mengandung rimifikasi atau implikasi psikologis ini adalah termasuk dlam level analisi Sosiologis .Dalam setiap asosiasi , orang yang berbeda pada posisi dominant berupaya mempertahankan Status Qou, sedangkan orang yang berbeda berada dalam posisi subordianat berupaya bagaimana bisa menciptakan perubahan.adapun konflik kepentingan akan selalu ada sepanjang waktu.

Konflik kepentingan ini tidak perlu selalu disadari oleh pihak subordinat dan superordinat.karena individu tidak perlu selalu menginternalisasikan harapan itu atau tidak perlu menyadari dalam rangka bertindak untuk sesuai dengan harapan itu.Karena harapan yang disadari ini menurut Dahrendorf, disebut kepentingan tersembunyi.Kepentingan nyata adalah kepentingan tersembunyi yang telah disadari.Dahrendorf melihat analisi hubungan antara kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata.ini sebagai tugas utama teori konflik.Karena walau bagaimanapun actor tidak perlu menyadari kepentingan mereka untuk bertindak sesuaidengan kepentingan itu.

Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya.Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan (authority), dimana


(20)

beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lain.

Dasar Teori Konflik adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut.Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok kerja tingkat bawah.

Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini.Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat.Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan.Kemudian teori konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat.Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda.Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi.Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.


(21)

Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu supaya terciptanya perubahan sosial.Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, didalamnya teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan.Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama.Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.Menurut teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”.Maksudnya, keteraturan yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi).Oleh karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.

Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai.Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.


(22)

Teori Konflik yang dikemukakan juga membahas tentang intensitas bagi individu atau kelompok yang terlibat konflik.Dalam hal ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik.Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2) tingkat mobilitas.Selain itu juga membicarakan tentang kekerasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya.Tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan

yang bersifat kejasmanian.18

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan

Perlu diketahui salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur.Pada hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu secara terus-menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat.

18 Ralf Dahrendorf,.”The modern social conflict: an essay on the politics of liberty”. University of


(23)

melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya. Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di dunia internasional kita dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja perundingan mampu menetapkan batas-batas geografis nasional.Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya dalam pengukuhan sebagai kelompok.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan.Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut.


(24)

1.6.2. Peraturan Pertanahan/Agraria di Indonesia

Konsep dasar tentang kasus-kasus pertanahan platform dari filosofis konstitusional tercermin dalam perumusan sila ke lima Pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selanjutnya kebijakan dan regulasi di bidang pertanahan ditegakkan pada landasan konstitusi negara yaitu pada pasal 33 (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peraturan Pelaksanaan dari ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria ( Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104) atau disebut juga Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), serta dijabarkan dalam berbagai peraturan organik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden ( Kepres), Peraturan Mentri/Pejabat

dan lain-lain.19

Hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada subjek hukum diatur dalam pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) yang terdiri dari: 1) Hak Milik, 2) Hak Guna Usaha, 3) Hak Guna Bangunan, 4) Hak Pakai, 5) Hak Sewa, 6) Hak Membuka Tanah, 7) Hak Memungut Hasil Hutan, 8) Hak-hak lain serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak lain misalnya Hak Pengelolaan, sedangkan Hak yang sifatnya sementara

19

Ediwarman, Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus pertanahan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), cet I, hal. 35.


(25)

adalah Hak Gadai, Hak Guna Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian.

Tuntutan Masyarakat atas areal perkebunan PT. Smart Cooporation adalah ganti rugi atas tanah rakyat yang telah diambil alih dan dilakukan penggusuran atas tanah-tanah rakyat tersebut oleh Perkebunan Padang Halaban ditahun 1969/1970 seluas 3000 Ha. Selain itu adanya tuntutan masyarakat atas dasr Hak Ulayat Masyarakat Adat dan masyarakat lainnya menjadi salah satu faktor penyebab kasus pertanahan di Sumatera Utara, termasuk di Perkebunan Padang Halaban sampai sekarang belum dapat diselesaikan secara tunas karena permasalahan yang dihadapi sangat rumit sejalan dengan sejarah keberadaan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Sumatera Utara khususnya mengenai sengketa tanah perkebunan. Peraturan perundang-undangan dan kebijakan tersebut antara lain sebgai berikut:

1. Undang-undang darurat Nomor 8 Tahun 1954 Tentang

Pemakaian Tanah oleh Rakyat

2. Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

3. Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 Tentang Larangan

Pemakaian Tanah yang berhak atau kuasanya

4. Pedoman Menteri Agraria Nomor I Tahun 1960 Tentang

Penyelesaian Sengketa Pemakaian Tanah Perkebunan Di Sumatera Timur


(26)

5. Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria Nomor II Tahun 1963 Tentang Penyelesaian Tanah Jaluran

6. Surat Keputusan Badan Pekerja Panitia Landreform Kabupaten

Labuhan Batu Nomor 2/K/II/12/1968 Tentang penyelesaian persoalan tanah-tanah garapan yang berada diatas areal Perkebunan Padang Halaban

7. Surat Keputusan Kepala Agraria Daerah Kabupaten Labuhan

Batu Nomor 94/II/12/LR-69 Tentang Pembayaran Bantuan Ganti Rugi atas tanah Garapan yang terletak di atas areal Perkebunan Padang Halaban

8. Peraturan Menteri Pertaniaan dan Agraria/Kepala BPN Nomor

5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat

9. SK BPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

10.Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

11.PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan,dan Hak Pakai atas tanah

1.6.3. Hak Azasi Manusia (HAM)

Istilah HAM pada hakekatnya memiliki pengertian yang hampir sama, meskipun masing-masing negara menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Misalnya, HAM dalam bahasa inggris dikenal sebagai


(27)

sebagai des droits de I’Homme.Hak asasi manusia dalam hal ini merupakan seperangkat hak yang melekat pada keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dinjunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik, dan hak-hak dasar lain yang melekat pada diri manusia dan tidak dapat diganggu

gugat oleh orang lain.20

Dalam salah satu dokumen yang diterbitkan oleh PBB, dapat ditemukan defenisi HAM yang lebih singkat, sebagaimana dikutip Bahrudin Lopa dalam menegaskan, yaitu: “Human Rights could be

generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human beings”. Dalam konteks ini ,

HAM dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat (inherent), yang secara alamiah manusia tidak dapat hidup tanpa adanya hak-hak tersebut. Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Maha Pencipta sebagai hak kodrat.Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup

20

Arkal Salim, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, Jakarta: IAIN Press, 2000, hal. 5.


(28)

dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrat yang tidak bias terlepas

dari dan dalam kehidupan manusia.21

• Undang-Undang Dasar 1945, yang diuraikan dalam pembukaan

UUD 1945 pada alinea pertama, yaitu dinyatakan tentang kemerdekaan yang dimiliki oleh segala bangsa di dunia maka oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan keadilan.

Berbagai instrument Hak asasi Manusia yang dimiliki Negara Republik Indonesia, yakni:

• Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi

Manusia, yang diuraikan dalam lampiran ketetapan ini berupa naskah HAM pada angka I huruf D butir I menyebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.

• Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

dalam pasal 1 Ayat (1) bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Lalu Menurut pasal 1 Ayat (6) dijelaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapat atau

21

Azyumardi Azra, Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Penerbit Tim ICCE UIN,2003,hal. 130.


(29)

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang

adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.22

Menurut ajaran Hak Asasi Manusia, penyelenggaraan Negara sesungguhnya memiliki kewajiban untuk :

(i) menghargai hak asasi manusia rakyatnya;

(ii) melindungi hak asasi manusia rakyatnya; dan

(iii) memenuhi hak asasi manusia rakyatnya.

Kewajiban pertama, untuk menghargai, mensyaratkan penyelenggara negara sendiri tidak melangggar hak-hak asasi rakyatnya.Hal ini mencakup tindakan negara untuk memberlakukan hukum-hukum baru yang berlaku yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjaminnya hak-hak korban pelanggaran HAM di masa lampau pada masa kini, dan dengan demikian dapat menyelesaikan pelanggaran hak di masa lampau itu.Kewajiban kedua, untuk melindungi, mempersyaratkan penyelenggara negara mencegah dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak bukan negara dengan menegakkan aturan-aturan hukum yang diberlakukan pada pelanggar itu.Kewajiban ketiga, untuk memenuhi, mempersyaratkan penyelenggara negara mengkaji ulang prioritas kerjanya, membuat perubahan-perubahan aturan, administrasi,

22

Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 96.


(30)

anggaran, peradilan dan hal yang diperlukan lainnya untuk mewujudkan

hak-hak tertentu rakyatnya.23

Menurut Hadari Nawawi

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

24

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat penggambaran secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana basis konflik agrarian yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dari bab ke bab dan akan menggambarkan konflik agrarian di desa ini keterkaitannya dengan perspektif HAM. Disamping itu juga penelitian , metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.

23

Stephen A. Hansen, Thesaurus of Economic, Social and Cultural Rights: Terminology and Potential Violation, Washington: American Association for Advancement of Science, 2000. Halaman 6-7( dalam bentuk PDF).

24

Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63.


(31)

ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai sebuah kerangka acuan dari pengamatan langsung yang diperoleh di lapangan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti.Oleh karenanya jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

1.7.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data informasi yang dibutuhkan maka

penulis, melakukan teknik pengumpulan data primer dan data sekunder.25

1. Data Primer

Teknik pengumpulan data tersebutyakni sebagai berikut:

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini nyakni metode wawancara (interview). Teknik pengupulan data melalui wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta melakukan Tanya jawab secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian ini.Dalam hal

25

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Erlangga,2009, hal. 105.


(32)

ini peneliti mengambil informan yang berkaitan dengan konflik yang terjadi di Desa Padang Halaban seperti ketua kelompok tani di desa tersebut dan masyarakat tani yang tinggal di daerah tersebut, pihak PT. SMART, dan dari pihak aktivis HAM dan aktivis pertanahan.

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah mencari data informasi melalui buku-buku, internet, jurnal, dan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.Selain itu penulis juga mencari informasi dan referensi tambahan melalui perundang-undangan, artikel-artikel dalam majalah, Koran dan sebagainya.

1.7.4. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan tidak berarti apa-apa tanpa dianalisa. Tujuan dari analisa data adalah untuk memperoleh keluaran (output) dari hasil yang ingin dicapai dari proses penelitian. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan diolah dan kemudian dianalisis untuk dapat diambil kesimpulan sebagai hasil penelitian. Penelitian ini mencoba untuk menganalisis


(33)

konflik agraria yang terjadi di Desa Padang halaban dalam perspektif HAM, dimana para petani yang lahannya diambil oleh PT. SMART dan petani dalam memperjuangkan tanahnya mengalami tindakan represifitas dan tidak mendapat perlindungan yang seharusnya terjadi pada para petani.


(34)

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan Latar belakan masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, menguraikan profil kelompok tani di desa tersebut dan juga profil PT. SMART.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini menguraikan hasil penelitian berupa apa yang menjadi penyebab konflik agraria yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dan menganalisisnya dengan kajian teori Marx tentang perjuangan kelas dan mengungkapkan bentuk pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat petani di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan.


(1)

dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.22

Menurut ajaran Hak Asasi Manusia, penyelenggaraan Negara sesungguhnya memiliki kewajiban untuk :

(i) menghargai hak asasi manusia rakyatnya;

(ii) melindungi hak asasi manusia rakyatnya; dan

(iii) memenuhi hak asasi manusia rakyatnya.

Kewajiban pertama, untuk menghargai, mensyaratkan penyelenggara negara sendiri tidak melangggar hak-hak asasi rakyatnya.Hal ini mencakup tindakan negara untuk memberlakukan hukum-hukum baru yang berlaku yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjaminnya hak-hak korban pelanggaran HAM di masa lampau pada masa kini, dan dengan demikian dapat menyelesaikan pelanggaran hak di masa lampau itu.Kewajiban kedua, untuk melindungi, mempersyaratkan penyelenggara negara mencegah dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak bukan negara dengan menegakkan aturan-aturan hukum yang diberlakukan pada pelanggar itu.Kewajiban ketiga, untuk memenuhi, mempersyaratkan penyelenggara negara mengkaji ulang prioritas kerjanya, membuat perubahan-perubahan aturan, administrasi,

22

Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 96.


(2)

anggaran, peradilan dan hal yang diperlukan lainnya untuk mewujudkan hak-hak tertentu rakyatnya.23

Menurut Hadari Nawawi

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

24

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat penggambaran secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan bagaimana basis konflik agrarian yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dari bab ke bab dan akan menggambarkan konflik agrarian di desa ini keterkaitannya dengan perspektif HAM. Disamping itu juga penelitian , metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagai mana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.

23

Stephen A. Hansen, Thesaurus of Economic, Social and Cultural Rights: Terminology and Potential Violation, Washington: American Association for Advancement of Science, 2000. Halaman 6-7( dalam bentuk PDF).

24

Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987, hal. 63.


(3)

ini menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai sebuah kerangka acuan dari pengamatan langsung yang diperoleh di lapangan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti.Oleh karenanya jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.

1.7.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi penelitian di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data informasi yang dibutuhkan maka penulis, melakukan teknik pengumpulan data primer dan data sekunder.25

1. Data Primer

Teknik pengumpulan data tersebutyakni sebagai berikut:

Pengumpulan data primer dalam penelitian ini nyakni metode wawancara (interview). Teknik pengupulan data melalui wawancara ialah dengan bertanya langsung kepada informan ataupun narasumber yang dianggap sesuai dengan objek penelitian serta melakukan Tanya jawab secara langsung kepada informan yang terkait dengan penelitian ini.Dalam hal

25

Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Erlangga,2009, hal. 105.


(4)

ini peneliti mengambil informan yang berkaitan dengan konflik yang terjadi di Desa Padang Halaban seperti ketua kelompok tani di desa tersebut dan masyarakat tani yang tinggal di daerah tersebut, pihak PT. SMART, dan dari pihak aktivis HAM dan aktivis pertanahan.

2. Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini adalah mencari data informasi melalui buku-buku, internet, jurnal, dan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.Selain itu penulis juga mencari informasi dan referensi tambahan melalui perundang-undangan, artikel-artikel dalam majalah, Koran dan sebagainya.

1.7.4. Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan tidak berarti apa-apa tanpa dianalisa. Tujuan dari analisa data adalah untuk memperoleh keluaran (output) dari hasil yang ingin dicapai dari proses penelitian. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan diolah dan kemudian dianalisis untuk dapat diambil kesimpulan sebagai hasil penelitian. Penelitian ini mencoba untuk menganalisis


(5)

konflik agraria yang terjadi di Desa Padang halaban dalam perspektif HAM, dimana para petani yang lahannya diambil oleh PT. SMART dan petani dalam memperjuangkan tanahnya mengalami tindakan represifitas dan tidak mendapat perlindungan yang seharusnya terjadi pada para petani.


(6)

1.8 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan Latar belakan masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PROFIL LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, menguraikan profil kelompok tani di desa tersebut dan juga profil PT. SMART.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini menguraikan hasil penelitian berupa apa yang menjadi penyebab konflik agraria yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dan menganalisisnya dengan kajian teori Marx tentang perjuangan kelas dan mengungkapkan bentuk pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat petani di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini akan berisi kesimpulan dan saran-saran yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan.


Dokumen yang terkait

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

1 62 136

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

1 109 111

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

4 50 123

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 9

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 0 2

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 1 18

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 5

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 21

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 12

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

0 0 12