PAYUNG HUKUM PERDAGANGAN ELEKTRONIK E CO
1
PAYUNG HUKUM PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-COMMERCE)
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Disusun Oleh: Ikhwan Nul Yusuf Maulana
Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet
telah berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia di berbagai
belahan dunia termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah aspek ekonomi dengan
hadirnya kemudahan cara bertransaksi secara elektronik yang disebut sebagai ecommerce atau perdagangan elektronik.
Dalam riset Google bersama Temasek baru-baru ini disebutkan, digital
ekonomi di Indonesia semakin meningkat terutama pada dua sektor yaitu e-travel
dan e-commerce. Valuasi transaksinya pada 2025 diperkirakan akan mencapai
US$ 81 miliar (kurang lebih 900 triliun). E-commerce diperkirakan akan tumbuh
39 persen per tahun, tumbuh dari 1,7 miliar dollar AS di 2015 menjadi 46 miliar
dollar AS di 2025. Sementara untuk e-travel dapat berkembang menjadi 17 persen
per tahun dari 5 miliar dollar AS di 2015 menjadi 24,5 miliar dollar AS di 2025.1
Payung hukum berupa peraturan perundang-undangan menjadi hal yang
sangat penting dalam hal ini sebagai sarana dan upaya dalam mendorong
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia serta melindungi
berbagai pihak yang terlibat didalamnya. Diantaranya pengaturan mengenai hak
dan kewajiban sehingga dapat menciptakan suatu kepastian hukum yang
menjamin pelaku (produsen) maupun konsumen dalam bertransaksi secara
elektronik dengan aman dan nyaman.
Pembahasan
Negara Indonesia sebagai negara hukum memiliki tujuan hidup bernegara
salah satunya adalah melindungi seluruh warga negaranya dalam setiap aspek
1Arie Liliyah, “Riset Google: Peluang Digital Indonesia Capai US$ 81 miliar”, SWA,
diakses dari https://swa.co.id/swa/trends/riset-google-peluang-digital-indonesia-capai-us-81-miliar
pada 01 Mei 2017
2
kehidupan,
kesejahteraan
termasuk
aspek
rakyatnya.2
perekonomian
Dengan
demikian
dalam
sudah
rangka
menjadi
mewujudkan
kewajiban
konstitusional bagi negara guna melindungi setiap warga negaranya dengan
membentuk suatu tata hukum yang menjamin kepastian hukum dalam setiap
perbuatan hukum.
Mochtar Kusumaatmadja memberikan pandangan bahwa hukum seharusnya
tidak hanya dipandang sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup
lembaga (instituions) dan proses (procces) yang diperlukan untuk mewujudkan
hukum itu dalam kenyataan.3
Sehubungan dengan teori hukum pembangunan, Mochtar Kusumaatmadja
menjelaskan bahwa hakikat pembangunan dalam arti seluas-luasnya yaitu
meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada satu segi
kehidupan. Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan
sehingga peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur demikian
dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau bahkan
kombinasi dari kedua-duanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum menjadi
suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.4
Adapun masalah-masalah dalam suatu masyarakat yang sedang membangun
yang harus diatur oleh hukum secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan
besar yaitu: Pertama, masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan
pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spritual
masyarakat. Kedua, masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat dan
kemajuan pada umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor lain dalam masyarakat
2 Pembukaan Alinea ke-4 dan Bab I, Pasal 1, Ayat (3), UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Amandemen ke-4
3 Mochtar Kusumaatmadja dalam Otje Salman dan Eddy Damian (Eds), Konsep-Konsep
Hukum
dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002, hlm 91.
4 Ibid, hlm 19-20
3
terutama faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan, serta bertambah pentingnya
peranan teknologi dalam kehidupan masyarakat moderen.5
Landasan konstitusional dan pandangan dari Mochtar Kusumaatmadja diatas
dapat direfleksikan sebagai dasar bahwa hukum harus selalu hadir mengatur dan
menjadi alat suatu pembangunan dan pembaruan di masyarakat sehingga
perubahan tersebut dapat berjalan secara teratur dan tertib ke arah yang telah
direncanakan. Termasuk dalam hal ini adalah e-commerce sebagai bentuk
daripada kemajuan teknologi yang perlu memperoleh legitimasi hukum.
Kaidah Hukum Positif di Indonesia tentang E-commerce
Secara yuridis, sebenarnya transaksi jual-beli sebagai salah satu bentuk
perjanjian sudah diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, khususnya pada Buku III dengan judul tentang Perikatan. Akan tetapi
pengaturan pada Buku III KUH Perdata tersebut hanya mengatur transaksi jualbeli dalam model konvensional yang tidak mengatur sama sekali tentang transaksi
e-commerce.
E-commerce baru diatur secara jelas dan khusus pada 11 Maret 2014
dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan. Sebelumnya aturan e-commerce hanya bersandar pada UU ITE dan
KUH Perdata dalam pelaksanaannya. Namun setelah UU Nomor 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan disahkan oleh pemerintah, maka berlaku asas Lex specialis
derogat legi generali pada undang-undang tersebut yang mengatur secara khusus
diantaranya mengenai e-commerce.
Pengaturan e-commerce tersebut memberikan kepastian dan kesepahaman
mengenai apa yang dimaksud dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
(selanjutnya disingkat PMSE) dan memberikan perlindungan dan kepastian
kepada pedagang, penyelenggara PMSE, dan konsumen dalam melakukan
kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik.6
5 Ibid. hlm 90
6Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, “e-Commerce di Indonesia Sudah
Diatur Dalam UU Perdagangan”, diakses dari http://www.pajak.go.id/content/e-commerce-di-
4
Dalam UU Perdagangan diatur bahwa setiap pelaku usaha yang
memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
wajib menyediakan data dan atau informasi secara lengkap dan benar. Setiap
pelaku usaha dilarang memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan
menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan atau informasi
dan penggunaan sistem elektronik tersebut wajib memenuhi ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Data dan atau informasi PMSE paling sedikit harus memuat identitas dan
legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi,
persyaratan teknis Barang yang ditawarkan, persyaratan teknis atau kualifikasi
Jasa yang ditawarkan, harga dan cara pembayaran Barang dan atau Jasa, dan cara
penyerahan Barang.
UU Perdagangan sendiri mendefinisikan PMSE sebagai perdagangan yang
transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Jenis pelaku usaha PMSE meliputi pedagang (merchant) dan Penyelenggara
Perdagangan Secara Elektronik ("PPSE"), terdiri atas Penyelenggara Komunikasi
Elektronik, Iklan Elektronik, penawaran elektronik, Penyelenggara sistem aplikasi
Transaksi Elektronik, Penyelengara jasa dan sistem aplikasi pembayaran dan
Penyelenggara jasa dan sistem aplikasi pengiriman barang.
Bentuk Perusahaan PMSE dapat berbentuk orang perseorangan atau
berbadan hukum. Penyelenggara Sarana Perdagangan Secara Elektronik dapat
berbentuk perorangan atau berbadan hukum.
Permasalahan Hukum dalam e-commerce dan Penyelesaiannya menurut
Hukum Positif di Indonesia
Transaksi dan perdagangan secara elektronik tidak dapat dipungkiri sering
kali menimbulkan beberapa permasalahan hukum. Hal ini disebabkan oleh
transaski elektronik yang tidak sama dengan transaksi secara tradisional. Pada
transaksi tradisional semua aktivitas mulai dari penawaran sampai dengan
indonesia-sudah-diatur-dalam-uu-perdagangan pada 01 Mei 2017
5
perjanjian dilakukan dengan menitikberatkan pada dokumen fisik yang tertulis
(papered based transaction) dan bahkan dilakukannya negosiasi secara tatap
muka langsung.
Sedangkan pada transaksi e-commerce aktivitas transaksi sejak dilakukannya
penawaran oleh pihak penjual (produsen) sampai dengan lahirnya kesepakatan
perjanjian jual-beli dan pelaksanaannya, semua menggunakan sarana berbentuk
data elektronik dengan memanfaatkan jaringan koneksi internet dan komputer,
sehingga transaksi tersebut dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan
cara yang sangat fleksibel.
Dengan karakteristiknya yang unik tersebut, terkadang menimbulkan
masalah dalam kepastian hukum. Permasalahan yang lebih luas terjadi pada
bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan transaksi jual-beli
berbasis e-commerce telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan
internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi
informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat
dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi
informasi dan komunikasi.
Menurut TID UN ESCAP (2007), terdapat sekitar 10 permasalahan utama
dalam penggunaan e-commerce, yaitu:7
1. Kontrak elektronik
2. Tandatangan elektronik/tandatangan digital
3. Pembayaran elektronik dan jaminan keamanan
4. Penyelesaian sengketa
5. Batas negara dan hukum yang digunakan
6. Perlindungan konsumen
7. Kejahatan internet
8. Hak kekayaan intelektual
9. Pajak
10. Harmonisasi sistem hukum
7Rachmoez Jack, “Penggunaan E-Commerce dan Permasalahan Hukum”, diakses dari
http://dominique122.blogspot.co.id/2015/05/penggunaan-e-commerce-dan-permasalahan.html
pada 01 Mei 2017
6
Menurut Vera, Ellen dan Melissa (2008), beberapa permasalahan hukum
dalam aktivitas e-commerce:
1.
2.
3.
4.
5.
Otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
Saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan megikat secara hukum;
Obyek transasksi yang diperjual belikan;
Mekanisme peralihan hak;
Hubungan hukum dan pertanggung jawaban para pihak yang terlibat
dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti
perbankan, internet service provider (ISP), dan lain sebagainya;
6. Legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai
alat bukti;
7. Mekanisme penyelesaian sengketa;
8. Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian
sengketa
Hukum perjanjian Indonesia menganut azas kebebasan berkontrak
berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata. Azas ini memberikan kebebasan kepada
para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk menentukan
sendiri bentuk serta isi suatu suatu perjanjian. Dengan demikian para pihak yang
membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan hukum diantara mereka.
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce menimbulkan
perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Implikasi dari
perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para
pihak yang terlibat.
Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUH
Perdata sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual
beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai
media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka
ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual beli yang diatur dalam buku
II KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia.
Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut menimbulkan sengketa,
maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut.
7
Menurut Marhum Djauhari (2009), permasalahannya tidaklah sesederhana
itu. E-commerce merupakan model perjanjian jual beli dengan karakteristik dan
aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual beli konvensional, apalagi
dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Adaptasi
secara langsung ketentuan jual beli konvensional akan kurang tepat dan tidak
sesuai dengan konteks e-commerce.
Sebagai fenomena yang relatif baru,
bertransaksi bisnis melalui internet memang menawarkan kemudahan, namun
memanfaatkan internet sebagai fondasi aktivitas bisnis memerlukan tindakan
terencana agar berbagai implikasi yang menyertainya dapat dikenali dan diatasi.
Dalam aspek hukum, saat ini Indonesia telah memiliki perangkat hukum
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU-ITE), yang didalamnya antara lain mengatur upaya
melindungi masyarakat dari transaksi elektronik. Selain itu juga Indonesia telah
memiliki Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 yang mengatur secara khusus
mengenai perdagangan elektronik yang termuat didalamnya. Dengan demikian
seluruh transaksi dan perdagangan elektronik di Indonesia telah memiliki dasar
hukum yang jelas.
Menurut UU Nomor 7 Tahun 2014 Pelaku Usaha dalam perdagangan
elektronik dinyatakan wajib melakukan pendaftaran dan memenuhi ketentuan
teknis dari instansi yang terkait. Setiap pelaku usaha harus memiliki dan
mendeklarasikan etika bisnis (business conduct atau code of practices). Pelaku
usaha dilarang mewajibkan konsumen untuk membayar produk yang dikirim
tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu (inertia selling). Informasi atau
dokumen elektronik dapat digunakan sebagai suatu alat bukti. Informasi atau
dokumen elektronik memiliki nilai kekuatan hukum yang sama dengan akta
otentik.
Terkait pajak, transaksi perdagangan secara elektronik dikenakan pajak
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku Usaha yang
menawarkan secara elektronik kepada Konsumen Indonesia wajib tunduk pada
8
ketentuan perpajakan Indonesia karena dianggap memenuhi kehadiran secara fisik
dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di Indonesia.
Terkait bea materai, pengenaan bea materai terhadap dokumen bukti
transaksi elektronik diberlakukan terhadap bukti transaksi yang dilakukan secara
tertulis di atas kertas. Situs yang telah diaudit berhak memperoleh trustmark. Situs
yang tidak bertanggungjawab dapat dimasukkan dalam blacklist.
Perihal kontrak elektronik, kontrak perdagangan elektronik sah ketika
terdapat kesepakatan para pihak. Kontrak Perdagangan Elektronik paling sedikit
harus memuat identitas para pihak, spesifikasi barang dan atau Jasa yang
disepakati, legalitas barang dan atau jasa, nilai transaksi perdagangan, persyaratan
dan jangka waktu pembayaran, prosedur operasional pengiriman barang dan atau
jasa, dan prosedur pengembalian barang dan atau jika terjadi ketidaksesuain.
Kontrak Perdagangan Elektronik dapat menggunakan tanda tangan
elektronik dan harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Kontrak Perdagangan
Elektronik harus disimpan dalam jangka waktu tertentu. PPSE wajib membuat
sistem yang memungkinkan penyimpanan kontrak elektronik.
Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem
elektronik,
orang
atau
badan
usaha
yang
mengalami
sengketa
dapat
menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya.
Terkait yuridiksi, pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa
ditentukan oleh para pihak dan atau mengikuti kaedah dalam hukum perdagangan
internasional. Atas transaksi antara pelaku usaha asing dengan konsumen
Indonesia dan antara pelaku usaha asing dengan pemerintah Indonesia, berlaku
hukum perlindungan Indonesia.
Penutup
Kesimpulan
9
Dengan demikian dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi harus selalu
disertai dengan payung hukum yang jelas berupa peraturan perundanganundangan yang menjadi alat pembangunan dan pembaruan di masyarakat
sehingga perubahan tersebut dapat berjalan secara teratur dan tertib ke arah yang
telah direncanakan. Artinya hukum tidak boleh tertinggal tapi berjalan
berdampingan dengan kemajuan teknologi.
Adapun payung hukum e-commerce di Indonesia diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
diharapkan dapat menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dalam pelaksanaan
transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
10
Kusumaatmadja, Mochtar. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan
dalam Otje Salman dan Eddy Damian (Eds). Bandung: Alumni.
Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio. 2009. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Balai Pustaka.
B. Sumber lain
SWA, “Riset Google: Peluang Digital Indonesia Capai US$ 81 miliar”, 26
Agustus 2016, [diakses 01 Mei 2017]
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, “e-Commerce di Indonesia
Sudah Diatur Dalam UU Perdagangan”, 17 Oktober 2014,
[diakses 01 Mei 2017]
Rachmoez Jack, “Penggunaan E-Commerce dan Permasalahan Hukum”, 2015,
[diakses 01 Mei 2017]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2013
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE)
PAYUNG HUKUM PERDAGANGAN ELEKTRONIK (E-COMMERCE)
DALAM TATA HUKUM INDONESIA
Disusun Oleh: Ikhwan Nul Yusuf Maulana
Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi khususnya internet
telah berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia di berbagai
belahan dunia termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah aspek ekonomi dengan
hadirnya kemudahan cara bertransaksi secara elektronik yang disebut sebagai ecommerce atau perdagangan elektronik.
Dalam riset Google bersama Temasek baru-baru ini disebutkan, digital
ekonomi di Indonesia semakin meningkat terutama pada dua sektor yaitu e-travel
dan e-commerce. Valuasi transaksinya pada 2025 diperkirakan akan mencapai
US$ 81 miliar (kurang lebih 900 triliun). E-commerce diperkirakan akan tumbuh
39 persen per tahun, tumbuh dari 1,7 miliar dollar AS di 2015 menjadi 46 miliar
dollar AS di 2025. Sementara untuk e-travel dapat berkembang menjadi 17 persen
per tahun dari 5 miliar dollar AS di 2015 menjadi 24,5 miliar dollar AS di 2025.1
Payung hukum berupa peraturan perundang-undangan menjadi hal yang
sangat penting dalam hal ini sebagai sarana dan upaya dalam mendorong
perkembangan dan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia serta melindungi
berbagai pihak yang terlibat didalamnya. Diantaranya pengaturan mengenai hak
dan kewajiban sehingga dapat menciptakan suatu kepastian hukum yang
menjamin pelaku (produsen) maupun konsumen dalam bertransaksi secara
elektronik dengan aman dan nyaman.
Pembahasan
Negara Indonesia sebagai negara hukum memiliki tujuan hidup bernegara
salah satunya adalah melindungi seluruh warga negaranya dalam setiap aspek
1Arie Liliyah, “Riset Google: Peluang Digital Indonesia Capai US$ 81 miliar”, SWA,
diakses dari https://swa.co.id/swa/trends/riset-google-peluang-digital-indonesia-capai-us-81-miliar
pada 01 Mei 2017
2
kehidupan,
kesejahteraan
termasuk
aspek
rakyatnya.2
perekonomian
Dengan
demikian
dalam
sudah
rangka
menjadi
mewujudkan
kewajiban
konstitusional bagi negara guna melindungi setiap warga negaranya dengan
membentuk suatu tata hukum yang menjamin kepastian hukum dalam setiap
perbuatan hukum.
Mochtar Kusumaatmadja memberikan pandangan bahwa hukum seharusnya
tidak hanya dipandang sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup
lembaga (instituions) dan proses (procces) yang diperlukan untuk mewujudkan
hukum itu dalam kenyataan.3
Sehubungan dengan teori hukum pembangunan, Mochtar Kusumaatmadja
menjelaskan bahwa hakikat pembangunan dalam arti seluas-luasnya yaitu
meliputi segala segi dari kehidupan masyarakat dan tidak terbatas pada satu segi
kehidupan. Masyarakat yang sedang membangun dicirikan oleh perubahan
sehingga peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa
perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur. Perubahan yang teratur demikian
dapat dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau bahkan
kombinasi dari kedua-duanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum menjadi
suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.4
Adapun masalah-masalah dalam suatu masyarakat yang sedang membangun
yang harus diatur oleh hukum secara garis besar dapat dibagi dalam dua golongan
besar yaitu: Pertama, masalah-masalah yang langsung mengenai kehidupan
pribadi seseorang dan erat hubungannya dengan kehidupan budaya dan spritual
masyarakat. Kedua, masalah-masalah yang bertalian dengan masyarakat dan
kemajuan pada umumnya dikaitkan dengan faktor-faktor lain dalam masyarakat
2 Pembukaan Alinea ke-4 dan Bab I, Pasal 1, Ayat (3), UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 Amandemen ke-4
3 Mochtar Kusumaatmadja dalam Otje Salman dan Eddy Damian (Eds), Konsep-Konsep
Hukum
dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2002, hlm 91.
4 Ibid, hlm 19-20
3
terutama faktor ekonomi, sosial dan kebudayaan, serta bertambah pentingnya
peranan teknologi dalam kehidupan masyarakat moderen.5
Landasan konstitusional dan pandangan dari Mochtar Kusumaatmadja diatas
dapat direfleksikan sebagai dasar bahwa hukum harus selalu hadir mengatur dan
menjadi alat suatu pembangunan dan pembaruan di masyarakat sehingga
perubahan tersebut dapat berjalan secara teratur dan tertib ke arah yang telah
direncanakan. Termasuk dalam hal ini adalah e-commerce sebagai bentuk
daripada kemajuan teknologi yang perlu memperoleh legitimasi hukum.
Kaidah Hukum Positif di Indonesia tentang E-commerce
Secara yuridis, sebenarnya transaksi jual-beli sebagai salah satu bentuk
perjanjian sudah diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, khususnya pada Buku III dengan judul tentang Perikatan. Akan tetapi
pengaturan pada Buku III KUH Perdata tersebut hanya mengatur transaksi jualbeli dalam model konvensional yang tidak mengatur sama sekali tentang transaksi
e-commerce.
E-commerce baru diatur secara jelas dan khusus pada 11 Maret 2014
dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan. Sebelumnya aturan e-commerce hanya bersandar pada UU ITE dan
KUH Perdata dalam pelaksanaannya. Namun setelah UU Nomor 7 Tahun 2014
tentang Perdagangan disahkan oleh pemerintah, maka berlaku asas Lex specialis
derogat legi generali pada undang-undang tersebut yang mengatur secara khusus
diantaranya mengenai e-commerce.
Pengaturan e-commerce tersebut memberikan kepastian dan kesepahaman
mengenai apa yang dimaksud dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
(selanjutnya disingkat PMSE) dan memberikan perlindungan dan kepastian
kepada pedagang, penyelenggara PMSE, dan konsumen dalam melakukan
kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik.6
5 Ibid. hlm 90
6Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, “e-Commerce di Indonesia Sudah
Diatur Dalam UU Perdagangan”, diakses dari http://www.pajak.go.id/content/e-commerce-di-
4
Dalam UU Perdagangan diatur bahwa setiap pelaku usaha yang
memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik
wajib menyediakan data dan atau informasi secara lengkap dan benar. Setiap
pelaku usaha dilarang memperdagangkan Barang dan atau Jasa dengan
menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan atau informasi
dan penggunaan sistem elektronik tersebut wajib memenuhi ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Data dan atau informasi PMSE paling sedikit harus memuat identitas dan
legalitas Pelaku Usaha sebagai produsen atau Pelaku Usaha Distribusi,
persyaratan teknis Barang yang ditawarkan, persyaratan teknis atau kualifikasi
Jasa yang ditawarkan, harga dan cara pembayaran Barang dan atau Jasa, dan cara
penyerahan Barang.
UU Perdagangan sendiri mendefinisikan PMSE sebagai perdagangan yang
transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Jenis pelaku usaha PMSE meliputi pedagang (merchant) dan Penyelenggara
Perdagangan Secara Elektronik ("PPSE"), terdiri atas Penyelenggara Komunikasi
Elektronik, Iklan Elektronik, penawaran elektronik, Penyelenggara sistem aplikasi
Transaksi Elektronik, Penyelengara jasa dan sistem aplikasi pembayaran dan
Penyelenggara jasa dan sistem aplikasi pengiriman barang.
Bentuk Perusahaan PMSE dapat berbentuk orang perseorangan atau
berbadan hukum. Penyelenggara Sarana Perdagangan Secara Elektronik dapat
berbentuk perorangan atau berbadan hukum.
Permasalahan Hukum dalam e-commerce dan Penyelesaiannya menurut
Hukum Positif di Indonesia
Transaksi dan perdagangan secara elektronik tidak dapat dipungkiri sering
kali menimbulkan beberapa permasalahan hukum. Hal ini disebabkan oleh
transaski elektronik yang tidak sama dengan transaksi secara tradisional. Pada
transaksi tradisional semua aktivitas mulai dari penawaran sampai dengan
indonesia-sudah-diatur-dalam-uu-perdagangan pada 01 Mei 2017
5
perjanjian dilakukan dengan menitikberatkan pada dokumen fisik yang tertulis
(papered based transaction) dan bahkan dilakukannya negosiasi secara tatap
muka langsung.
Sedangkan pada transaksi e-commerce aktivitas transaksi sejak dilakukannya
penawaran oleh pihak penjual (produsen) sampai dengan lahirnya kesepakatan
perjanjian jual-beli dan pelaksanaannya, semua menggunakan sarana berbentuk
data elektronik dengan memanfaatkan jaringan koneksi internet dan komputer,
sehingga transaksi tersebut dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan
cara yang sangat fleksibel.
Dengan karakteristiknya yang unik tersebut, terkadang menimbulkan
masalah dalam kepastian hukum. Permasalahan yang lebih luas terjadi pada
bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk kegiatan transaksi jual-beli
berbasis e-commerce telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan
internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi
informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat
dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi
informasi dan komunikasi.
Menurut TID UN ESCAP (2007), terdapat sekitar 10 permasalahan utama
dalam penggunaan e-commerce, yaitu:7
1. Kontrak elektronik
2. Tandatangan elektronik/tandatangan digital
3. Pembayaran elektronik dan jaminan keamanan
4. Penyelesaian sengketa
5. Batas negara dan hukum yang digunakan
6. Perlindungan konsumen
7. Kejahatan internet
8. Hak kekayaan intelektual
9. Pajak
10. Harmonisasi sistem hukum
7Rachmoez Jack, “Penggunaan E-Commerce dan Permasalahan Hukum”, diakses dari
http://dominique122.blogspot.co.id/2015/05/penggunaan-e-commerce-dan-permasalahan.html
pada 01 Mei 2017
6
Menurut Vera, Ellen dan Melissa (2008), beberapa permasalahan hukum
dalam aktivitas e-commerce:
1.
2.
3.
4.
5.
Otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;
Saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan megikat secara hukum;
Obyek transasksi yang diperjual belikan;
Mekanisme peralihan hak;
Hubungan hukum dan pertanggung jawaban para pihak yang terlibat
dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti
perbankan, internet service provider (ISP), dan lain sebagainya;
6. Legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai
alat bukti;
7. Mekanisme penyelesaian sengketa;
8. Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian
sengketa
Hukum perjanjian Indonesia menganut azas kebebasan berkontrak
berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata. Azas ini memberikan kebebasan kepada
para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu perjanjian untuk menentukan
sendiri bentuk serta isi suatu suatu perjanjian. Dengan demikian para pihak yang
membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan hukum diantara mereka.
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce menimbulkan
perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi. Implikasi dari
perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para
pihak yang terlibat.
Jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam KUH
Perdata sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model transaksi jual
beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti internet sebagai
media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan lain, maka
ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual beli yang diatur dalam buku
II KUH Perdata berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce di Indonesia.
Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut menimbulkan sengketa,
maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan tersebut.
7
Menurut Marhum Djauhari (2009), permasalahannya tidaklah sesederhana
itu. E-commerce merupakan model perjanjian jual beli dengan karakteristik dan
aksentuasi yang berbeda dengan model transaksi jual beli konvensional, apalagi
dengan daya jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Adaptasi
secara langsung ketentuan jual beli konvensional akan kurang tepat dan tidak
sesuai dengan konteks e-commerce.
Sebagai fenomena yang relatif baru,
bertransaksi bisnis melalui internet memang menawarkan kemudahan, namun
memanfaatkan internet sebagai fondasi aktivitas bisnis memerlukan tindakan
terencana agar berbagai implikasi yang menyertainya dapat dikenali dan diatasi.
Dalam aspek hukum, saat ini Indonesia telah memiliki perangkat hukum
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU-ITE), yang didalamnya antara lain mengatur upaya
melindungi masyarakat dari transaksi elektronik. Selain itu juga Indonesia telah
memiliki Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 yang mengatur secara khusus
mengenai perdagangan elektronik yang termuat didalamnya. Dengan demikian
seluruh transaksi dan perdagangan elektronik di Indonesia telah memiliki dasar
hukum yang jelas.
Menurut UU Nomor 7 Tahun 2014 Pelaku Usaha dalam perdagangan
elektronik dinyatakan wajib melakukan pendaftaran dan memenuhi ketentuan
teknis dari instansi yang terkait. Setiap pelaku usaha harus memiliki dan
mendeklarasikan etika bisnis (business conduct atau code of practices). Pelaku
usaha dilarang mewajibkan konsumen untuk membayar produk yang dikirim
tanpa adanya kesepakatan terlebih dahulu (inertia selling). Informasi atau
dokumen elektronik dapat digunakan sebagai suatu alat bukti. Informasi atau
dokumen elektronik memiliki nilai kekuatan hukum yang sama dengan akta
otentik.
Terkait pajak, transaksi perdagangan secara elektronik dikenakan pajak
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku Usaha yang
menawarkan secara elektronik kepada Konsumen Indonesia wajib tunduk pada
8
ketentuan perpajakan Indonesia karena dianggap memenuhi kehadiran secara fisik
dan melakukan kegiatan usaha secara tetap di Indonesia.
Terkait bea materai, pengenaan bea materai terhadap dokumen bukti
transaksi elektronik diberlakukan terhadap bukti transaksi yang dilakukan secara
tertulis di atas kertas. Situs yang telah diaudit berhak memperoleh trustmark. Situs
yang tidak bertanggungjawab dapat dimasukkan dalam blacklist.
Perihal kontrak elektronik, kontrak perdagangan elektronik sah ketika
terdapat kesepakatan para pihak. Kontrak Perdagangan Elektronik paling sedikit
harus memuat identitas para pihak, spesifikasi barang dan atau Jasa yang
disepakati, legalitas barang dan atau jasa, nilai transaksi perdagangan, persyaratan
dan jangka waktu pembayaran, prosedur operasional pengiriman barang dan atau
jasa, dan prosedur pengembalian barang dan atau jika terjadi ketidaksesuain.
Kontrak Perdagangan Elektronik dapat menggunakan tanda tangan
elektronik dan harus dibuat dalam bahasa Indonesia. Kontrak Perdagangan
Elektronik harus disimpan dalam jangka waktu tertentu. PPSE wajib membuat
sistem yang memungkinkan penyimpanan kontrak elektronik.
Dalam hal terjadi sengketa terkait dengan transaksi dagang melalui sistem
elektronik,
orang
atau
badan
usaha
yang
mengalami
sengketa
dapat
menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya.
Terkait yuridiksi, pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa
ditentukan oleh para pihak dan atau mengikuti kaedah dalam hukum perdagangan
internasional. Atas transaksi antara pelaku usaha asing dengan konsumen
Indonesia dan antara pelaku usaha asing dengan pemerintah Indonesia, berlaku
hukum perlindungan Indonesia.
Penutup
Kesimpulan
9
Dengan demikian dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi harus selalu
disertai dengan payung hukum yang jelas berupa peraturan perundanganundangan yang menjadi alat pembangunan dan pembaruan di masyarakat
sehingga perubahan tersebut dapat berjalan secara teratur dan tertib ke arah yang
telah direncanakan. Artinya hukum tidak boleh tertinggal tapi berjalan
berdampingan dengan kemajuan teknologi.
Adapun payung hukum e-commerce di Indonesia diantaranya adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
diharapkan dapat menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dalam pelaksanaan
transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
10
Kusumaatmadja, Mochtar. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan
dalam Otje Salman dan Eddy Damian (Eds). Bandung: Alumni.
Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio. 2009. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek). Jakarta: Balai Pustaka.
B. Sumber lain
SWA, “Riset Google: Peluang Digital Indonesia Capai US$ 81 miliar”, 26
Agustus 2016, [diakses 01 Mei 2017]
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, “e-Commerce di Indonesia
Sudah Diatur Dalam UU Perdagangan”, 17 Oktober 2014,
[diakses 01 Mei 2017]
Rachmoez Jack, “Penggunaan E-Commerce dan Permasalahan Hukum”, 2015,
[diakses 01 Mei 2017]
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2013
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE)