Efektivitas Pelayanan Sosial Anak Di Panti Sosial Perpulungen Wilayah Sidikalang Oleh Dinas Kesejahteraan Dan Sosial Provinsi Sumatera Utara

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Sosial
2.1.1 Pengertian Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial adalah suatu aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki
hubungan dengan lingkungan sosialnya. Pelayanan sosial disebut juga sebagai
pelayanan kesejahteraan sosial. Menurut Walter Friedlander, kesejahteraan sosial
adalah sistem yang terorganisir dari usaha–usaha sosial dan lembaga–lembaga sosial
yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai relasi
perseorangan dan sosial yang dapat memungkinkan mereka mengembangkan
kemampuan secara penuh, serta mempertinggi kesejahteraan selaras dengan
kebutuhan–kebutuhan keluarga dan masyarakat (Wibhawa dkk, 2010 : 24).
Dari defenisi di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem atau “organized system”
yang berintikan lembaga – lembaga dan pelayanan sosial.
2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang
sejahtera dalam arti singkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan
dan kesehatan, dan juga relasi – relasi sosial dengan lingkungannya.
3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan “kemampuan
individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi

kebutuhannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial, Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu

mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Kesejahteraan
sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial pasal 2 ayat 1 : “Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga
negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah,
rohaniah, sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan
menjungjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan pancasila”
(Muhidin, 1992: 5).
Lingkup pengertian kesejahteraan sosial yang sebenarnya sangat meluas dan
melingkupi berbagai aspek kehidupan. Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat
usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu di
dalamnya. Pelayanan sosial diartikan dalam dua macam, yaitu:
a. Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup

fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan,
kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.
b. Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan
kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan
kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak
terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya
(Muhidin, 1992: 41).
Dalam kegiatannya terdapat beberapa tahapan dalam pelayanan sosial yaitu :
1. Tahap pendekatan awal (engagement, intake, contack, and contract),
adalah suatu proses kegiatan penjajagan awal, konsultasi dengan pihak

terkait; sosialisasi program pelayanan, identifikasi calon penerima pelayanan,
pemberian motivasi, seleksi, perumusan kesepakatan, dan penempatan calon
penerima pelayanan; serta identifikasi sarana dan prasarana pelayanan.
2. Pengungkapan dan pemahaman masalah (assessment), adalah suatu proses
kegiatan pengumpulan dan analisis data untuk mengungkapkan dan
memahami masalah, kebutuhan, dan sistem sumber penerima pelayanan.
3. Penyusunan rencana pemecahan masalah (planning), adalah suatu proses
perumusan tujuan dan kegiatan pemecahan masalah, serta penetapan berbagai
sumber daya (manusia, biaya, metode-teknik, peralatan, sarana-prasarana,

dan waktu) yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Pelaksanaan pemecahan masalah (intervention), adalah suatu proses
penerapan rencana pemecahan masalah yang telah dirumuskan. Kegiatan
pemecahan masalah yang dilaksanakan adalah melakukan pemeliharaan,
pemberian motivasi, dan pendampingan kepada penerima pelayanan dalam
bimbingan fisik, bimbingan keterampilan, bimbingan psikososial, bimbingan
sosial, pengembangan masyarakat, resosialisasi, dan advokasi.
5. Evaluasi, terminasi dan rujukan, evaluasi pemecahan masalah adalah suatu
proses kegiatan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan
pemecahan masalah dan atau indikator-indikator keberhasilan pemecahan
masalah; terminasi adalah suatu proses kegiatan pemutusan hubungan
pelayanan/ pertolongan antara lembaga dengan penerima pelayanan; rujukan
merupakan

suatu

kegiatan

merancang,


melaksanakan,

mensupervisi,

mengevaluasi, dan menyusun laporan kegiatan rujukan penerima program
pelayanan kesejahteraan sosial (http://dokumen.tips/documents/buku-sakupekerja-sosialdocx.html diakses pada 22 Oktober 2015 pukul 22.30).

2.1.2 Fungsi–Fungsi Pelayanan Sosial
Pelayanan sosial diklasifikasikan dalam berbagai cara, tergantung dari tujuan
klasifikasi. Perserikatan bangsa bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan
sosial sebagi berikut :
1.

Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat

2.

Pengembangan sumber-sumber manusiawi

3.


Orientasimasyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuian
sosial

4.

Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat untuk tujuan
pembangunan.

5.

Penyediaan dan penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar
pelayanan pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi.

Richard M, titmuss mengemukakan fungsi pelayanan sosial ditinjau dari perspektif
masyarakat sebagai berikut:
1.

Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk
lebih meningkat kesejahteraan individu kelompok dan masyarakat untuk

masa sekarang dan untuk masa yang akan datang.

2.

Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai
suatu investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan tujan sosial (suatu
program tenaga kerja)

3.

Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan untuk
melindungi masyarakat.

4.

Pelayanan-pelayanan atau keuntungan-keuntungan yang diciptakan sebagai
program kompensasi bagi orang orang yang tidak mendapat pelayanan sosial
(misalnya kompensasi kecelakaan industri dan sebagainya)

Alfred J. Khan menyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah :

1.

Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan, dimaksudkan untuk

mengadakan perubahan perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program
program pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Tujuanya
yaitu untuk menanamkan nilai nilai masyarakat dalam usah pengembangan
kepribadian anak. Bentul-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain :
a.

Program penitipan anak

b.

Program-program kegiatan remaja atau pemuda

c.

Program-program pengisian waktu terluang bagi anak dan remaja dalam
keluarga.


2.

Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi,

mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang baik
secara individu maupun didalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar
mampu

mengatasi

masalah-masalahnya.

Bentuk-bentuk

pelayanan

sosial tersebut antar lain :
a.


Bimbingan sosial bagi keluarga

b.

Program asuhan keluarga dan adopsi anak

c.

Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman

d.

Program-program rehabilitas bagi penderita cacat

e.

Program-program bagi lanjut usia

f.
g.


Program-program penyembuhan bagi penderita gangguan mental
Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah
dalam bidang pendidikan

h.

Program-program bimbingan bagi para pasien dirumah-rumah sakit

3.

Pelayanan akses, kebutuhan akan program pelayanan sosial akses
disebabkan oleh karena :
a.

Adanya birokrasi modern

b.

Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap


hal hal dan kewajiban atau tanggung jawabnya
c.

Jarak geografis antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang

yang memerlukan pelayanan sosial.
Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial disini
mempunyai fungsi sebagai akses untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat
antara berbagai program sehingga Program-program tersebut dapat berfungsi dan
dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Pelayanan akses bukanlah
semata-mata memberikan informasi tetapi juga termasuk menghubungkan seseorang
dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan melaksanakan Program-program
referral.
Fungsi tambahan dari pelayanan sosial ialah menciptakan partisipasi anggota
masyarakat untuk mengatasi masalah sosial. Tujuan dapat berupa : individual dan
sosial untuk memberikan kepercayaan kepada diri individu dan masyarakat dan
untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial dalam pembagian politis, yaitu untuk
mendistibusikan sumber-sumber dan kekuasaan.
Partisipasi mungkin merupakan konsekwensi dari bagaimana program itu
diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Ada yang memandang partisipasi dan
pelayanan merupakan dua fungsi yang selalu konflik karenanya harus dipilih salah
satu. Karena harus dipilih partisipasi sebagai tanggung jawab masyarakat dan
pelayanan sebagai tanggung jawab program. Pada umunya sulit untuk meningkatkan
kedua-duanya secara sekaligus

(http://kodarsocialwelfare.blogspot.co.id/2011/12/pelayanan-sosial.html diakses pada
23 Oktober 2015 pukul 15.00)

2.1.3 Dasar-Dasar Pelayanan Sosial
Dalam Undang –undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
disebut sebagai Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yaitu organisasi sosial atau
perkumpulan sosial yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraaan sosial yang
dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
Panti Sosial atau lembaga Kesejahteraan Sosial memiliki posisi strategis,
karena memiliki tugas dan tanggung jawab mencakup 4 kategori, yaitu :
1. Bertugas dalam mencegah timbulnya permasalahan sosial penyandang
dengan melakukan deteksi dan pencegahan sedini mungkin.
2. Bertugas melakukan rehabilitasi sosial untuk memulihkan rasa percaya
diri, dan tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya, dan meningkatkan
kemampuan kerja fisik dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendukung
kemandirian di masyarakat.
3. Memberikan pelayanan pemakanan sesuai dengan standar gaji pembinaan
fisik, agama, psikologis, sosial dan pendidikan disekolah bagi anak sekolah
usia sekolah, agar mampu berperan aktif di lingkungan masyarakat.
4. Bertugas untuk mengembalikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) ke masyarakat melalui penyiapan sosial, penyiapan masyarakat agar
mengerti dan menerima kehadiran kembali dan membantu penyaluran ke
berbagai sektor kerja dan usaha produktif.

5. Melakukan pengembangan individu dan keluarga, seperti mendorong
peningkatan

taraf

hidup

kesejahteraan

pribadi,

meningkatkan

rasa

tanggungjawab sosial untuk berpartisipasi aktif di tengah masyarakat,
mendorong partispasi masyarakat untuk menciptakan iklim yang mendukung
pemulihan dan memfasilitasi dukungan psiko-sosial dari keluarga.

2.1.4 Pelayanan Sosial Berbasis Panti
Secara empirik lembaga pelayanan sosial sebagi salah satu wujud organisasi
pelayanan manusia, mempunyai berbagai jenis pelayanan sosial yang diberikan
kepada kliennya. Jenis pelayanan yang diberikan dalam pelayanan berbasis panti
bagi anak yang bermasalah secara sosial sebagai berikut :
1. Pelayanan pengasramaan yaitu pelayanan pemberian tempat tinggal
sementara kepada klien
2. Pelayanan kebutuhan pangan yaitu pelayanan pemberian makan, minum
dengan berbagai menu yang telah ditetapkan agar tingkat gizi klien
terjamin kualitasnya.
3. Pelayanan konseling yaitu pelayanan bimbingan untuk meningkatkan
kemauan dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain, manjalankan
peran sosial, memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah.
4. Pelayanan kesehatan yaitu pelayanan pengontrolan dan pengecekan
kesehatan klien oleh tenaga medis, agar diketahui tingkat kesehatan klien.
5. Pelayanan pendidikan yaitu pelayanan pemberian kesempatan kepada
klien untuk mengikuti pendidikan formal.

6. Pelayanan keterampilan yaitu pelayanan bimbingan keterampilan kerja,
seperti pertukangan, perbengkelan, kerajinan tangan, komputer, dan
sebagainya.
7. Pelayanan bimbingan mental yaitu pelayanan keagamaan dengan
menjalankan aktivitas agama masing-masing klien dan mengikuti
ceramah-ceramah keagamaan.
8. Pelayanan rekreasi dan hiburan yaitu pelayanan yang ditujukan untuk
memberikan rasa gembira dan senang melalui permainan, musik, media,
dan kunjungan kesuatu tempat rekreasi.

2.1.5 Standar Pelayanan Sosial dalam Panti
Standar panti sosial adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja
tertentu bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial dan lembaga pelayanan sosial
lainnya yang sejenis. Standarisasi panti telah dituangkan dalam Lampiran Keputusan
Menteri Sosial RI Nomor : 50/HUK/2004 tentang standarisasi Panti Sosial atau
Pedoman Akreditasi Panti Sosial, sebagai landasan untuk menetapkan standar
pelayanan dalam panti.
Ada dua macam standar panti sosial, yaitu standar umum dan standar khusus.
Standar umum adalah ketentuan yang memuat kondisi dan kinerja tertentu yang perlu
dibenahi bagi penyelenggaraan sebuah panti sosial atau lembaga pelayanan sosial
lainnya yang sejenis sesuai dengan karakteristik panti sosial. Standar umum panti
sebagaimana yang dimaksud adalah :
1. Kelembagaan

a. Legalitas Organisasi, mencakup bukti legalitas dari instansi yang
berwenang dalam rangka memperoleh perlindungan dan pembinaan
profesionalnya.
b. Visi dan Misi, memiliki landasan yang berpijak pada visi dan misi.
c. Organisasi dan tata kerja, memiliki struktur organisasi tata kerja
dalam rangka penyelenggaraan pelayanan sosial.
2. Sumber Daya Manusia, mencakup 2 aspek yaitu:
a. Aspek penyelenggaraan panti, terdiri dari 3 unsur :
a) Unsur Pimpinan, yaitu kepala panti dan kepala – kepala unit
yang ada di bawahnya.
b) Unsur Operasional, meliputi pekerja sosial, instruktur,
pembimbing rohani, dan pejabat fungsional lainnya.
c) Unsur Penunjang, meliputi pembina asrama, pengasuh, juru
masak, petugas kebersihan, satpam dan sopir.
b. Pengembangan personil panti, Panti Sosial memiliki program
pengembangan Sumber Daya Manusia.
3. Sarana dan Prasarana, meliputi :
a. Pelayanan Teknis, mencakup peralatan assesment, bimbingan
sosial, keterampilan fisik dan mental.
b. Perkantoran, memiliki ruang kantor, ruang pertemuan (aula), ruang
tamu, kamar mandi, WC, peralatan kantor seperti alat komunikasi,
alat transportasi dan tempat penyimpanan dokumen.
c. Umum, memiliki ruang makan, ruang tidur, mandi dan cuci,
kerapian diri, belajar, kesehatan, dan peralatan lainnya.

4. Pembiayaan, memiliki anggaran yang berasal dari sumber tetap maupun
sumber tidak tetap.
5. Pelayanan Sosial Dasar, Pelayanan Sosial dasar untuk pemenuhan
kebutuhan sehari –hari klien, meliputi: makan, tempat tinggal, pakaian,
pendidikan dan kesehatan.
6. Monitoring dan evalusi meliputi:
a. Monev Proses, yakni penilaian terhadap proses pelayanan yang
diberikan kepada klien.
b. Monev Hasil, yakni monitoring dan evaluasi terhadap klien, untuk
melihat

tingkat

pencapaian

dan

keberhasilan

klien

setelah

memperoleh proses pelayanan.
Standar

Pelayanan

Minimal

(SPM)

standar

kualitas/mutu

untuk

menjembatani terwujudnya pelayanan sosial yang diberikan yang layak secara
keilmuan bagi klien. Kata ’minimal’ merujuk pada kewajiban tanggung jawab serta
tindakan-tindakan positif yang setidaknya harus dilampaui/dijalankan, bukan
diterjemahkan sebagai kelonggaran negatif yang memperbolehkan pelayanan dengan
apa adanya atau sekedarnya. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sebagai dasar
menuju pada Pelayanan berkualitas.

2.2 Anak
2.2.1 Pengertian Anak
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1tahun) usia
bermain/oddler (1- 2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia sekolah (5-11 tahun) hingga

remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara anak satuu dengan yang lain
mengingat latar belakang anak berbeda. (Hurlock, 1980: 45)
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dijelaskan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian
menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, juga menjelaskan tentang pengertian anak yaitu sebagai berikut:
“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
demi kepentingannya.”

2.2.2 Hak-hak Anak
Undang-undang No.23 tahun 2002 memuat 20 hak–hak anak yang diatur oleh
undang-undang tersebut. Setiap anak memiliki hak yaitu:
1. Untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar
sesuai

dengan

harkat

dan

martabat

kemanusiaan,

serta

mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan
3. Untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan usianya, dalam bimbingan orang tua.
4. Untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya.
5. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagi anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan
kebutuhan fisik, mental, spritual dan sosial.
7. Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
8. Selain hak anak sebagimana dimaksud, khusus bagi anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan
bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan
khusus.
9. Menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan
memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
10. Untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak
yang sebaya, beriman, bereaksi dan berkreasi sesuai denga minat, bakat dan
tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri.
11. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
12. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain
maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi
b. Eksploitasi
c. Penelantaran
d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
e. Ketidakadilan,
f. Perlakuan salah lainnya.

13. Untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan
hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan
terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
14. Untuk memperoleh perlindungan dari:
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan
e. Pelibatan peperangan
15. Memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau
penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
16. Memperoleh kebebasan sesuai hukum
17. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakuakan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
18. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa.
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku.
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
19. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

20. Setiap anak menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Undang-undang ini juga mengatur bahwa dalam hal orang tua, wali, atau
pengasuh anak tidak diperbolehkan melakukan segala bentuk perlakukan
sebagaimana dimaksud yaitu melakukan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi
maupun

seksual,

penelantaran,

kekejaman,

kekerasan

dan

penganiayaan,

ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya (Samawati, 2012:80-83).

2.2.3 Masalah Sosial Anak
Masalah sosial anak adalah anak yang mengalami permasalahan sosial yang
diakibatkan oleh anak rawan yang dapat diartikan sebagai suatu situasi, kondisi dan
tekanan yang menyebabkan belum atau tidak terpenuhinya hak-haknya dan dilanggar
haknya. Anak akan tersisih dari kehidupan normalnya dan terganggu proses tumbuh
kembangnya secara wajar. Sering menjadi korban situasi sosial, terekploitasi dan
mengalami diskriminasi, serta perlakuan salah oleh lingkungannya (Suyanto,
2013:4). Anak yang memiliki masalah sosial menimbulkan beberapa masalah sosial.
Masalah sosial yang terjadi pada anak :
1. Anak terlantar
2. Putus sekolah
3. Anak yang dilacurkan
4. Anak jalanan
5. Anak perempuan korban pelecehan dan kekerasan seksual
6. Perdagangan dan penculikan anak
7. Anak korban pedofilia
8. Pengungsi Anak

9. Putus Sekolah
Pada umumnya anak yang menjadi warga binaan di penelitian yang akan
diteliti adalah anak terlantar dan putus sekolah.
2.2.3.1 Anak Terlantar
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat 2 dikatakan bahwa Setiap
anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembangan serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam hal ini anak merupakan suatu
hal yang harus dijaga, dilindungi, serta diberikan perhatian yang khusus dalam
mempersiapkan anak sebagai penerus bangsa.
Menurut Undang–undang No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
mengatakan bahwa tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis dan
sosial anak merupakan tanggung jawab orang tua. Undang–undang tersebut juga
mengatakan anak–anak yang tidak memiliki orang tua mempunyai hak untuk diasuh
oleh negara atau lembaga lain.
Faktor penyebab terjadi Anak Terlantar :
1. Tidak adanya orang tua
2. Orang tua bercerai
3. Konflik (Perang ) atau keadaan darurat
4. Bencana alam
Anak terlantar sesungguhnya adalah anak-anak yang termasuk kategori anak
rawan atau anak-anak membutuhkan perlindungan khusus (Children in need of
special protection). Dalam buku Pedoman Pembinaan Anak Terlantar yang
dikeluarkan Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur disebutkan bahwa yang disebut anak
terlantar adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan
dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

Seorang anak dikatakan terlantar, bukan sekedar karena sudah tidak lagi
memiliki salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, terlantar disini juga
dalam pengertian ketika hak–hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk
memperoleh pendidikan yang layak, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang memadai, tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua,
ketidakmampuan atau kesengajaan (Suyanto, 2013:229).
Ciri-ciri anak terlantar:
1. Mereka biasanya berusia 5-18 tahun, dan merupakan anak yatim, piatu,
atau anak yatim piatu.
2. Anak terlantar acap kali adalah anak yang lahir dari hubungan seks diluar
nikah dan kemudian mereka tidak ada yang mengurus karena orang tuanya
tidak siap secara psikologis maupun ekonomi untuk memelihara anak yang
dilahirkannya.
3. Anak yang kelahirannya tidak direncanakan atau tidak diingankan oleh
kedua orang tuanya atau keluarga besarnya, sehingga cenderung rawan
diperlakukan salah.
4. Meski kemiskinan bukan satu–satunya penyebab anak ditelantarkan dan
tidak

pula

keluarga

miskin

akan

menelantarkan

anaknya.

Tetapi,

bagaimanapun harus diakui bahwa tekanan kemiskian dan kerentanan
ekonomi keluarga akan menyebabkan kemampuan mereka memberikan
fasilitas dan memenuhi hak anaknya menjadi terbatas.
5. Anak yang berasal dari keluarga yang broken home, korban perceraian
orang tuanya, anak yang hidup ditengah kondisi keluarga yang bermasalah–
pemabuk, kasar, korban PHK, terlibat Narkotika dan sebagainya.

2.2.3.2 Anak Putus Sekolah
Dalam Konvensi Hak Anak yang telah diratisifikasi oleh Pemerintah
Indonesia sebenarnya telah disebutkan dan diakui bahwa anak–anak pada hakekatnya
berhak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan mereka seyogyanya tidak
terlibat dalam aktivitas ekonomi secara dini. Namun demikan, akibat tekanan
kemiskinan, kurangnya animo orang tua terhadap arti penting pendidikan, dan
sejumlah faktor lain , maka secara sukarela maupun terpaksa anak menjadi salah satu
sumber pendapatan keluarga yang penting.
Menurut hasil kajian Sukamdinata (dalam Suyanto, 2010:342) faktor utama
penyebab anak putus sekolah adalah kesulitan ekonomi atau karena orang tua tidak
mampu menyediakan biaya bagi sekolah anak–anaknya. Disamping itu, tidak jarang
terjadi orang tua meminta anaknya berhenti sekolah karena mereka membutuhkan
tenaga anaknya untuk membantu pekerjaan orang tua.
Secara garis besar, karakteristik anak yang putus sekolah adalah:
1. Berawal dari tidak tertib mengikuti pelajaran di sekolah, terkesan
memahami belajar hanya sekedar kewajiban masuk kelas, dan mendengarkan
guru berbicara tanpa dibarengi dengan kesungguhan untuk mencerna
pelajaran secara baik.
2. Akibat prestasi yang rendah, pengaruh keluarga, atau karena pengaruh
teman sebaya, kebanyakan anak yang putus sekolah selalu ketinggalan
pelajaran dibanding teman–teman sekelasnya.
3. Kegiatan belajar di rumah tidak tertib, dan tidak disiplin, terutama karena
tidak didukung oleh upaya pengawasan dari pihak orang tua.
4. Perhatian terhadap pelajaran kurang dan mulai didominasi oleh kegiatan
lain yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran.

5. Kegiatan bermain dengan teman-teman sebayanya meningkat pesat.
6. Mereka yang putus sekolah kebanyakan berasal dari keluarga ekonomi
lemah, dan berasal dari keluarga yang tidak teratur.
Sebagian Anak terlantar dan Anak putus sekolah yang kurang mampu,
terutama anak yatim atau yatim piatu, umumnya tinggal di panti dan hidup dibawah
asuhan pengelola panti. Di dalam panti mereka diberikan perawatan dan penjagaan
oleh pekerja sosial baik panti milik pemerintah Indonesia (UPT Dinas Kesejahteraan
dan Sosial) serta lembaga swasta lainnya.

2.2.4 Warga Binaan Anak
Warga binaan adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial yang
mendapat pelayanan dan binaan oleh suatu lembaga untuk meningkatkan
kemandirian dan dapat menjalankan keberfungsian sosialnya. Warga binaan anak
adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial khusus anak yang mendapatkan
pelayanan dan binaan oleh suatu lembaga untuk meningkatkan kemandirian dan
dapat

menjalankan

keberfungsian

sosial

anak

kelak

di

masyarakat

dan

lingkungannya.

2.2.5 Perlindungan Anak
Perlindungan anak merupakan upaya agar setiap anak tidak dirugikan,
bersifat melengkapi hak-hak lain,dan menjamin bahwa anak akan menerima apa
yang dibutuhkan agar dapat hidup berkembang dan tumbuh dengan wajar.
Pembangunan dan perlindungan anak sangat diperlukan dalam mewujudkan
pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan, mewujudkan
pembangunan dan perlindungan anak untuk melaksanakan komitmen pemerintah di

tingkat Internasional dalam pemenuhan hak anak sebagaimana yang telah diratifikasi
dengan Keputusan Pemerintah No.36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014, perlindungan anak
merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh kembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Upaya perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin, yakni sejak
dari janin dalam kandungan sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

2.2.6 Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak
Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan, yang tujuannya
adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga, dan masyarakat.
Sementara itu, pengertian pekerjaan sosial yang diadopsi oleh IFSW (International
Federation of Social Workers), General Meeting, 26 July 2000, Montreal, Canada
adalah: Profesi pekerjaan sosial adalah untuk meningkatkan perubahan sosial,
pemecahan masalah dalam hubungan kemanusiaan dan pemberdayaan serta
kebebasan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Dengan menggunakan
teori-teori perilaku manusia dan sistem sosial, pekerjaan sosial mengintervensi pada
titik-titik di mana masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak
asasi manusia dan keadilan sosial adalah hal yang fundamental bagi pekerjaan sosial
Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak, yakni:
(1) Child Based Services. Strategi ini menempatkan anak sebagai basis
penerima pelayanan. Anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis
perlu segera diberikan pertolongan yang bersifat krisis, baik perawatan

medis, konseling, atau dalam keadaan tertentu anak dipisahkan dari
keluarga yang mengancam dan membahayakan kehidupannya.
(2) Institutional Based Services. Anak yang mengalami masalah ditempatkan
dalam lembaga/panti. Pelayanan yang diberikan meliputi fasilitas tinggal
menetap, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan dan
pelatihan keterampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya.
(3) Family Based Service. Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama
pelayanan. Pelayanan ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan
keluarga agar memiliki kemampuan ekonomi, psikologis dan sosial dalam
menumbuhkembangkan anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya
sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan
anak. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis
dalam memenuhi kebutuhan anak. Misalnya; program Usaha Ekonomis
Produktif (UEF), diterapkan pada keluarga yang mengalami masalah
keuangan Terapi perkawinan diberikan pada keluarga yang mengalami
permasalahan emosional dan sosial.
(4) Community Based Services. Strategi yang menggunakan masyarakat
sebagai pusat penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan
tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan
anak. Para pekerja sosial datang secara periodik ke masyarakat untuk
merancang

dan

melaksanakan

program

pengembangan

masyarakat,

bimbingan dan penyuluhan, terapi sosial, kampanye sosial, aksi sosial, serta
penyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang.
(5) Location Based Service. Pelayanan yang diberikan di lokasi anak yang
mengalami masalah. Strategi ini biasanya diterapkan pada anak jalanan, anak

yang bekerja di jalan dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik
atau tempat-tempat di mana anak berada, dan memanfaatkan sarana yang ada
di sekitarnya sebagai fasilitas dan media pertolongan. Untuk anak jalanan dan
anak yang bekerja di jalan, strategi ini sering disebut sebagai Street Based
Services (Pelayanan Berbasiskan Jalanan).
(6) Half-way House Services. Strategi ini disebut juga strategi semi-panti
yang lebih terbuka dan tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah
singgah, rumah terbuka untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah
persinggahan anak dengan keluarganya, rumah keluarga pengganti, atau
tempat anak yang mengembangkan sub-kultur tertentu. Para pekerja sosial
menentukan program kegiatan, pendampingan, dan berbagai pelayanan dalam
rumah singgah.
(7) State Based Services. Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan
tidak langsung (macro and indirrect services). Para pekerja sosial
mengusahakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi terselenggaranya usaha
kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan sosial dan
perangkat hukum untuk perlindungan merupakan bentuk program dalam
strategi ini.
2.2.7 Peranan Pekerja Sosial dalam Menangani Masalah Anak
Hingga saat ini sangatlah banyak defenisi pekerjaan sosial yang dikemukakan
banyak pakar maupun institusi. Salah satu defenisi pekerjaan sosial yang banyak
digunakan adalah defenisi yang dirumuskan oleh Dewan Pendidikan Pekerjaan
Sosial, yang mengemukakan, bahwa pekerjaan sosial adalah upaya meningkatkan
fungsi sosial daripada pribadi-pribadi ataupun kelompok, melalui aktivitas yang
berfokus pada komunikasi sosial mereka, yang terwujud dalam interaksi antara

manusia dan lingkungan mereka. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok fungsi, yaitu penyempurnaan atas daya yang telah lemah,
penyediaan sumber daya pribadi dan sosial, dan pencegahan ketidakberfungsian
sosial
Dalam Ketentuan Umum UU NO. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial ditegaskan pengertian pekerja sosial professional, yaitu seseorang yang
bekerja baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan
profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh
melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
Seorang Pekerja Sosial, mempunyai pemahaman tentang pribadi dan tingkah
laku manusia serta lingkungan sosialnya atau kondisi di mana manusia itu hidup.
Menurut pandangan Zastrow (dalam Adi: 1994), setidak-tidaknya ada tujuh peran
yang biasa dilakukan oleh pekerja sosial, yaitu:
1) Enabler
Sebagai enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar dapat
mengartikulasikan kebutuhan mereka, mengidentifikasikan masalah mereka
dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang
mereka hadapi secara lebih efektif.
2) Broker
Peranan seorang broker berperan dalam menghubungkan individu ataupun
kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan
masyarakat (community services), tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana
mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat juga dikatakan menjalankan

peran sebagai mediator yang menghubungkan pihak yang satu (klien) dengan
pemilik sumber daya.
3) Expert
Dalam kaitan peranan seorang community worker sebagai tenaga ahli
(expert), ia lebih banyak memberikan advis (saran) dan dukungan informasi
dalam berbagai area. Misalnya saja, seorang tenaga ahli dapat memberikan
ususlan mengenai bagaimana struktur organisasi yang bisa dikembangkan
dalam masyarakat tersebut dan kelompok-kelompok mana saja yang harus
terwakili. Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan
bukanlah mutlak harus dijalankan masyarakat, tetapi usulan dan saran
tersebut

lebih

merupakan

sebagai

masukan

gagasan

untuk

bahan

pertimbangan masyarakat ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut.
4) Social Planner
Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai masalah sosial yang
terdapat dalam masyarakat tersebut; menganalisanya, dan menyajikan
alternatif tindakan yang rasional untuk menganani masalah tersebut. Setelah
itu perencana sosial mengembangkan program, mencoba mencari alternatif
sumber pendanaan, dan mengembangkan konsensus dalam kelompok yang
mempunyai berbagai minat atau kepentingan.
5) Advocate
Peran sebagai advokat dalam pengorganisasian masyarakat dicangkok dari
profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (directive),
di mana community worker menjalankan fungsi sebagai advokat (advocacy)
yang mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan
ataupun layanan, tetapi institusi yang seharusnya memberikan bantuan

ataupun layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun
menolak tuntutan warga).
6) Activist
Sebagai

activist,

seorang

community

worker

melakukan

perubahan

institusional yang lebih mendasar, dan seringkali tujuannya adalah pengalihan
sumber daya ataupun kekuasaan (power) pada kelompok yang kurang
mendapatkan keuntungan (disadvantaged group). Seorang activist biasanya
memperhatikan isu-isu tertentu, seperti ketidaksesuaian dengan hukum yang
berlaku (injustice), ketidakadilan (inequity), dan perampasan hak.
7) Educator
Dalam menjalankan peran sebagai pendidik (educator), pekerja sosial
diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik.
Pekerja sosial harus mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan
informasi mengenai beberapa hal tertentu, sesuai dengan bidang yang
ditanganinya.
Dalam pelayanan sosial anak, umumnya pekerja sosial berperan sebagai
enabler, dimana mereka membantu anak untuk dapat mengidentifikasikan masalah
mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah secara
efektif, disamping itu juga pekerja sosial berperan sebagai educator (pendidik) yang
diharapkan membantu anak dalam hal pendidikannya.

2.3 Efektivitas Pelayanan Sosial
2.3.1 Pengertian Efektivitas
Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang
telah ditentukan dalam setiap organisasi. Kata efektif berasal dari bahasa Inggris

effective artinya berhasil. Sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Schein
(dalam Pabundu Tika, 2006) mengemukakan bahwa efektifitas organisasi adalah
kemampuan untuk bertahan, menyesuaikan diri, memelihara diri dan tumbuh, lepas
dari fungsi tertentu yang dimilikinya. Adapun pengertian efektivitas menurut para
ahli diantaranya sebagai berikut :
Sondang P. Siagian (2001 : 24) memberikan definisi sebagai berikut :
“Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam
jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan
sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas
menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah
ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin
tinggi efektivitasnya.
Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar
kontribusi atau sumbangan output terhadap pencapaian tujuan maka semakin efektif
organisasi, program maupun kegiatan. Efektivitas berfokus pada outcome atau hasil
program atau kegiatan yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat
memenuhi tujuan yang diharapkan (Mahmudi,2005:92).
Efektivitas ialah ukuran sejauh mana tujuan (organisasi) dapat dicapai.
Efektivitas adalah suatu kontinum yang merentang dari efektif, kurang efektif,
sedang-sedang, sangat kurang, sampai tidak efektif (Sigit, 2003: 2). Menurut Steers
(dalam Sutrisno, 2010), pada umumnya efektivitas hanya dikaitkan dengan tujuan
lembaga, yaitu laba, yang cenderung mengabaikan aspek terpenting dari keseluruhan
prosesnya, yaitu sumber daya manusia. Dalam penelitian mengenai efektivitas
organisasi, sumber daya manusia dan perilaku manusia seharusnya selalu muncul

menjadi fokus primer, dan usaha-usaha untuk meningkatkan efektivitas seharusnya
dimulai dengan meneliti perilaku manusia di tempat kerja.
Berdasarkan pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan sejauh mana suatu program
atau aktivitas dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan tujuan serta target yang
direncanakan organisasi. Dalam hal ini ada ketentuan terhadap waktu pelayanan yang
diberikan. Apabila program atau kegiatan tersebut tidak sesuai dengan tujuan serta
sasaran yang disepakati maka program atau kegiatan tidak dilakukan secara efektif.
Efektivitas dan efisiensi adalah dua hal yang berbeda. Efektivitas adalah
melakukan hal yang benar sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.
Efisiensi merupakan melakukan suatu kegiatan yang dilakukan secara benar. Dalam
hal ini efektivitas suatu program dapat menimbulkan sasaran atau tujuan yang telah
disepakati bersama dapat terwujud dan dilaksanakan dengan baik maupun tidak.
Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam
melaksanakan program–program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya, secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai
tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua
tugas–tugas pokok atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.
Dengan demikian, suatu usaha atau kegiatan dikatakan efektivitas apabila
tujuan atau sasaran dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
sebelumnya dan dapat memberikan manfaat yang nyata sesuai dengan kebutuhan.
Dalam mengukur Efektivitas suatu program atau kegiatan perlu diperhatikan
beberapa indikator, yaitu:
a. Pemahaman program
b. Ketepatan sasaran

c. Tepat waktu
d. Tercapainya tujuan
e. Tercapainya target
f. Perubahan nyata ( Sutrisno, 2007: 125-126)
Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan
operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Efektivitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial
dijabarkan dengan jumlah penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah
sarjana sosial efektivitas sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau
program kerja. Singkatnya efektivitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang,
tergantung pada kerangka acuan yang dipakai. Mengingat keanekaragaman pendapat
mengenai sifat dan komposisi dari efektivitas tersebut, maka tidaklah mengherankan
jika sekian banyak pendapat mengalami pertentangan sehubungan dengan cara
meningkatkannya, cara mengatur, dan bahkan cara menentukan indikator dari
efektivitas.

2.3.2 Pendekatan terhadap Efektivitas
Pendekatan efektivitas dilakukan dengan acuan berbagai bagian yang berbeda
dari lembaga damana lembaga mendapatkan input atau masukan berupa berbagai
macam sumber dari lingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam
lembaga mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan
kembali kepada lingkungannya. Pendekatan terhadap efektivitas terdiri dari :
1. Pendekatan Sasaran (Goal Approach)
Pendekatan ini mencoba mengukur sejauh mana suatu lembaga berhasil
merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran

efektifitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkatan
keberhasilan organisasi dalam sasaran tersebut. Sasaran yang penting diperhatikan
dalam pengukuran efektivitas dengan pendekatan ini adalah sasaran yang realistis
untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi Official Goal dengan
memperhatikan permasalahan yang ditimbulkannya, dengan memusatkan perhatian
terhadap aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam
mencapai tingkat output yang direncanakan. Dengan demikian, pendekatan ini
mencoba mengukur sejauh mana organisasi atau lembaga berhasil merealisasikan
sasaran yang hendak dicapai.
2. Pendekatan Sumber (System Resource Approach)
Pendekatan sumber mengukur efektivitas melalui keberhasilan suatu lembaga
dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkannya. Suatu lembaga
harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan
sistem agar dapat menjadi efektif.
Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan system suatu
lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang
merata dengan lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber
yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga
dilemparkannya pada lingkungannya. Sementara itu sumber-sumber yang terdapat
pada lingkungan seringkali bersifat langka dan bernilai tinggi.
Dalam mendapatkan berbagai jenis sumber untuk memelihara system dari
suatu lembaga merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur efektivitas.
Secara sederhana efektivitas seringkali diukur dengan jumlah atau kuantitas berbagai
jenis sumber yang berhasil diperoleh dari lingkungan. Pengukuran efektivitas dengan
pendekatan sumber ini mampu untuk memberikan alat ukur yang sama dalam

mengukur efektivitas berbagai lembaga yang jenis dan programnya berbeda dan
tidak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan sasaran.
3. Pendekatan Proses (Internal Process Approach)
Pendekatan proses menganggap efektivitas sebagai efisiensi dan kondisi
kesehatan dari suatu lembaga internal. Pada lembaga yang efektif, proses internal
berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara
koordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan
perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki
oleh lembaga, yang menggambarkan tingkat efesiensi serta kesehatan lembaga.

2.3.3 Efektivitas Pelayanan Sosial Anak
Usaha Kesejahteraan Sosial mengacu pada program, pelayanan dan berbagai
kegiatan yang secara kongkret (nyata) berusaha menjawab kebutuhan ataupun
masalah yang dihadapi anggota masyarakat. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri
dapat diarahkan pada individu; keluarga; kelompok; ataupun komunitas. Berdasarkan
hal di atas dapat dirasakan bahwa kesejahteraan sosial tidaklah bermakna bila tidak
diterapkan dalam bentuk usaha kesejahteraan sosial yang nyata yang menyangkut
kesejahteraan warga masyarakat. Oleh karena itu dua terminologi ini sulit untuk
dipisahkan satu dengan lainnya (inseparable) dan seringkali digunakan secara tukarmenukar (interchangeably).
Terminologi tersebut memperlihatkan bahwa usaha kesejahteraan sosial
seharusnya merupakan upaya yang konkret (nyata) baik ia bersifat langsung (direct
services) ataupun tidak langsung (indirect services), sehingga apa yang dilakukan
dapat dirasakan sebagai upaya yang benar-benar ditujukan untuk menangani masalah
ataupun kebutuhan yang dihadapi warga masyarakat, dan bukan sekedar program,

pelayanan ataupun kegiatan yang lebih dititikberatkan pada upaya menghidupi
organisasinya sendiri ataupun menjadikan sebagai “panggung” untuk sekedar
mengekspresikan penampilan diri person dalam suatu lembaga.
Ada berbagai alasan maupun motivasi yang melandasi penyediaan berbagai
usaha kesejahteraan sosial, tetapi secara umum menurut Mendoza (dalam Rukminto,
1994: 8), ada tiga tujuan utama yang terkait dengan kesejahteraan sosial (yang pada
umumnya berhubungan dengan upaya memperoleh sumber daya yang sangat
terbatas):
1. Tujuan yang bersifat Kemanusiaan dan Keadilan Sosial (Humanitarian and
Social Justice Goals). Tujuan kesejahteraan sosial ini berakar dari gagasan
ideal demokratik mengenai keadilan sosial, dan hal ini berasal dari keyakinan
bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk mengembangkan potensi yang
mereka miliki. Meskipun potensi tersebut kadangkala tertutup karena adanya
hambatan fisik, sosial, ekonomi psikis, dan berbagai faktor lainnya yang
menghambat dirinya untuk mengenali potensi yang ia miliki. Berdasarkan
tujuan ini, usaha kesejahteraan sosial banyak diarahkan pada upaya
pengidentifikasian kelompok yang paling tidak mendapat perhatian,
kelompok yang paling mempunyai ketergantungan, kelompok yang paling
diterlantarkan, ataupun kelompok yang tidak mampu untuk menolong dirinya
sendiri, dan menjadikan mereka kelompok sasaran dalam kaitan dengan
upaya menjembatani sumber daya yang langka.
2. Tujuan yang terkait dengan Pengendalian Sosial (Social Control Goal).
Tujuan

ini

berdasarkan

pemahaman

bahwa

kelompok

yang

tidak

diuntungkan, kekurangan, ataupun tidak terpenuhi kebutuhannya dapat
melakukan “serangan” (baik secara individu ataupun kelompok) terhadap

masyarakat (terutama yang sudah mapan). Oleh karena itu masyarakat
tersebut harus berupaya untuk “mengamankan” diri dari sesuatu yang dapat
mengancam kehidupan, pemilikan, maupun stabilitas politik yang sudah
berjalan.
3. Tujuan yang terkait dengan Pembangunan Ekonomi (Economic
Development Goal). Tujuan pembangunan ekonomi memprioritaskan pada
program-program yang dirancang untuk meningkatkan produksi barang dan
pelayanan yang dapat diberikan, ataupun berbagai sumber daya lain yang
dapat memberikan sumbangan terhadap pembangunan ekonomi.
Maka dapat diartikan bahwa efektivitas pelayanan sosial adalah tercapainya
tujuan yang sudah ditetapkan berdasarkan makna dari pelayanan sosial itu sendiri,
sehingga apa yang dilakukan dapat dirasakan sebagai upaya yang benar-benar
ditujukan untuk menangani masalah ataupun kebutuhan yang dihadapi warga
masyarakat. Dikatakan efektif apabila hasil yang dicapai dari pelayanan sosial yang
diberikan telah sesuai dengan apa tujuan awal yang telah ditetapkan.
Sesuai dengan Undang-undang Kesejahteraan Sosial Anak No. 4 Tahun 1979
Bab II tentang Hak Anak, maka dapat disimpulkan, bahwa pelayanan sosial terhadap
anak dapat dikatakan efektif apabila anak telah mendapatkan haknya dengan baik,
yaitu:
1) Anak merasa sejahtera, mendapat perawatan, asuhan, bimbingan
berdasarkan kasih sayang, baik di dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan pihak lain.
2) Anak mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya dengan baik.
3) Anak mendapat pemeliharaan dan perlindungan yang baik.

4) Anak mendapat perlindungan-perlindungan terhadap hal-hal yang
membahayakan dari lingkungannya (Aziz, 1998: 60).

2.4 Kerangka Pemikiran
Saat ini, masalah anak yang ditelantarkan menjadi persoalan yang banyak
diperbincangkan di media massa seperti koran, televisi dan radio. Permasalahan ini
menjadi hal yang sangat sulit dipecahkan oleh pemerintah Indonesia. Anak yang
merupakan aset bangsa menjadi tidak terkendali ketika anak tidak diasuh serta di
lindungi oleh sebuah keluarga. Hal yang terjadi adalah anak menjadi jahat, tidak
memiliki nilai dan moral yang baik dan mengacu pada tindakan–tindakan negatif
yang menimbulkan keresahan bagi masyarakat serta anak menjadi musuh negara
ketika anak memiliki perilaku yang merugikan negara.
Sebagaimana diketahui bahwa anak sebagai penerus masa depan bangsa,
maka pemerintah memberikan perlindungan serta hak yang seharusnya diterima oleh
seluruh anak di Indonesia. Pemerintah memberikan perlindungan kepada anak dan
perlindungan bagi anak agar anak tidak mendapatkan permasalahan sosial serta
memberikan kemandirian untuk anak terlantar agar kemudian hari anak mampu
menjalankan fungsinya di masyarakat.
Pelayanan Sosial yang memberikan perlindungan serta kemandir