Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pariwisata bagi Masyarakat Lokal D 902009101 BAB I
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang Penelitian
Pariwisata adalah suatu komoditas yang bahan dasarnya
adalah kekayaan sumberdaya alam dan kebudayaan di suatu
negara. Oleh karena itu maka tidak mengherankan jika ada negara
yang mengandalkan sektor ini terutama pendapatan negara.
Hampir semua negara di Eropa memanfaatkan peninggalan masa
lampau untuk menarik wisatawan ke negara mereka. Monaco dan
Perancis adalah dua negara tujuan yang paling banyak menyedot
wisatawan dari seluruh penjuru dunia karena peninggalan masa
lalu yang kaya. Beberapa negara kecil di lautan Karibia, Amerika
Latin, seperti Bahama, Barbados, Puerto Rico, Republik Dominika,
dan Jamaika lebih menggantungkan diri terhadap potensi sektor
pariwisata sebagai sumber utama pendapatan negara. Singapura,
sebuah negara pulau berhasil menarik wisatawan dalam jumlah
yang cukup besar karena telah menyediakan fasilitas belanja bagi
wisatawan Asia.
Dari sini jelas bahwa pariwisata adalah komoditas ekspor
yang bertujuan mendatangkan valuta asing yang dibutuhkan
sebuah negara untuk melancarkan perdagangan luar negeri.
Ekspor komoditas pariwisata tentunya sedikit berbeda dengan
kegiatan ekspor komoditas manufaktur. Kita memasarkan produk
pariwisata dengan mendatangkan pembeli, sedangkan komoditas
manufaktur kita harus mengangkutnya ke negara pembeli. Produk
pariwisata adalah produk jasa oleh karena itu faktor pelayanan
menjadi sangat penting. Pelayanan yang dimaksud di sini jangan
kita artikan secara sempit, yaitu pelayanan di hotel atau rumah
1
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
makan, namun menyangkut keseluruhan proses pelayanan sejak
wisatawan datang berkunjung ke suatu negara atau daerah. Hal ini
menyangkut pelayanan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
Hampir semua negara yang telah berhasil mendatangkan banyak
wisatawan adalah negara yang menjamin kenyamanan para tamu
karena pelayanan yang terintegrasi baik.
Indonesia sampai saat ini masih harus terus berupaya dan
berbenah diri untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan. Hal ini
dapat dilihat dari perombakan kabinet baru-baru ini, menteri
pariwisata mendapat tugas yang baru untuk mengintegrasikan
industri kreatif ke dalam kebijakan pembangunan pariwisata di
Indonesia. Selama ini kita masih mengandalkan eksotisme Pulau
Bali sebagai daya tarik. Memang pada masa yang lalu beberapa
tempat seperti Yogyakarta, Pulau Samosir di Sumatera Utara, dan
Bukit Tinggi di Sumatera Barat adalah obyek wisata yang sudah
mulai dikenal wisatawan manca negara namun kemudian surut.
Salah satu alasan adalah kondisi sosial politik di Indonesia yang
semakin tegang setelah Orde Baru tumbang menyebabkan banyak
negara seperti Australia, Amerika, dan negara-negara Eropa selalu
memperingatkan warganya agar selalu berhati-hati berkunjung ke
Indonesia (travel warning).
Indonesia seharusnya dapat menjadi suatu negara yang
menarik wisatawan sebanyak mungkin. Kekayaan sumberdaya
alam melimpah dan budaya sangat bervariasi, namun belum
dilihat sebagai potensi pariwisata. Sejauh ini kita terlalu terpukau
dengan destinasi pariwisata konvensional dengan tujuan seperti
Bali dan Yogyakarta dan melupakan bahwa masih ada potensi lain
yang tidak kalah menariknya. Memang akhir-akhir ini Lombok
mulai berkembang sebagai suatu destinasi pariwisata baru yang
sebenarnya merupakan luapan dari pariwisata Bali yang sudah
mulai mencapai titik jenuh. Banyak potensi wisata di Indonesia
bagian Timur yang sebenarnya tidak kalah dengan Lombok
namun tidak bisa berkembang karena terkendala infrastruktur,
2
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
seperti pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan transportasi darat.
Memang ada masalah kualitas sumberdaya manusia di wilayahwilayah ini tapi masih bisa diatasi dengan pelatihan yang intensif.
Setelah lebih dari sepuluh tahun otonomi daerah bergulir
di Indonesia, ternyata pariwisata mulai menjadi pilihan menarik
bagi pemerintah daerah kabupaten dan kota yang secara kreatif
menggali potensi pariwisata pada daerah mereka masing-masing.
Hampir semua daerah berlomba mengidentifikasi obyek wisata
yang bisa ditawarkan kepada wisatawan. Ada obyek wisata yang
layak untuk dipromosikan, namun ada juga obyek wisata yang
kelihatannya dipaksakan walaupun tidak layak. Hal ini karena
setiap pemerintah kabupaten dan kota ingin mempunyai obyek
wisata yang menjadi prestise tersendiri bagi daerah. Oleh karena
itu jangan heran kadang ada obyek wisata yang harus ditempuh
dua sampai empat jam dari ibukota kabupaten dengan sarana
seadanya tapi tetap dikembangkan. Dengan kata lain pariwisata
telah menjadi ikon baru setiap daerah untuk memperkenalkan
daerah kepada orang luar.
Sebenarnya pemerintah daerah sendiri dan pemerintah
pusat mempunyai kepentingan berbeda dengan pengembangan
pariwisata. Bagi pemerintah daerah kehadiran wisatawan akan
menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan PAD (Pendapatan
Asli Daerah). Kedua aspek ini yang paling sering dimuat media
massa ketika mengutip pendapat pejabat di daerah. Memang
seorang pejabat akan diakui kinerjanya jika berhasil mengurangi
pengangguran dan juga secara bersamaan dapat meningkatkan
PAD. Namun bagi pemerintah pusat pariwisata selalu dikaitkan
dengan penghasilan devisa bagi negara. Pemerintah pusat
menganggap semakin banyak wisatawan akan semakin baik bagi
perekonomian makro karena semakin banyak devisa yang masuk.
Walaupun mereka berbeda dalam penekanan strategi terhadap
pengembangan kepariwisataan, namun baik pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat beranggapan kebijakan mass tourism
3
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
baik bagi daerah maupun bagi negara.
Sulawesi Utara telah mempunyai program pengembangan
pariwisata yaitu dengan mencanangkan daerah ini sebagai salah
satu pintu gerbang dan daerah tujuan wisata di Indonesia. Pada
awalnya, andalan produk wisata yang ditawarkan daerah ini
adalah wisata bahari seperti “diving in Bunaken”, kemudian
dalam perkembangannya muncul beberapa obyek wisata baru
disekitarnya yang mulai dikenal para wisatawan. Tampaknya para
wisatawan sedang mencari tempat lain di luar Bali dan dalam hal
ini Sulawesi Utara adalah salah satu pilihan. Memang dalam hal
ini Sulawesi Utara harus bersaing dengan daerah-daerah lainya
seperti Nusa Tenggara Barat yang mempromosikan Pulau Lombok,
atau Nusa Tenggara Timur dengan Pulau Komodonya. Dengan
demikian Sulawesi Utara harus bekerja lebih keras lagi setelah
mendapat saingan kedua provinsi tersebut.
Seperti diungkapkan di atas, di dalam kerangka otonomi
daerah, maka usaha pariwisata tidak lepas dari kepentingan dinas
pendapatan daerah (Dispenda) yang menganggap kegiatan ini
potensial menghasilkan pajak dan retribusi bagi daerah. Biasanya
yang dilihat adalah hanya manfaat jangka pendek pengembangan
pariwisata dan tidak memperhitungkan pendapatan dalam jangka
panjang dengan kurang memperhatikan masa depan pariwisata itu
sendiri. Ini yang menjadi kelemahan pengembangan pariwisata di
daerah seperti Sulawesi Utara yang sering hanya melihat manfaat
jangka pendek dan mengabaikan kelangsungan pariwisata.
Hal yang cukup serius adalah penyelesaian konflik Tata
Ruang sebagai pedoman pengembangan suatu kawasan pariwisata.
Salah satu kendala pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara
kalau dibandingkan dengan-daerah lain adalah belum selesainya
pemerintah merampungkan Perda Tata Ruang oleh karena masih
tersandung dengan masalah alih fungsi lahan dengan Departemen
Kehutanan, sehingga ada konflik antara Pemerintah Pusat dengan
4
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Pemerintah Daerah. Sekarang Perda Tata Ruang sedang dibahas
di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan diharapkan
akan rampung sebelum akhir Oktober 2011 ini. Namun sebelum
Perda Tata Ruang disetujui DPRD, Menteri Kehutanan telah
mengeluarkan persetujuan kebijakan alih fungsi lahan, yang jika
dipaksakan akan menimbulkan paradoks atau kejanggalan karena
di suatu sisi pemerintah ingin mengembangkan ekowisata yang
sangat peduli dengan upaya konservasi, namun disisi lainnya
melegalisasikan ijin membangun di kawasan konservasi. Apa yang
saya ungkapkan di atas adalah suatu contoh konflik yang
mungkin timbul diantara pemerintahan daerah dan pemerintah
pusat.
Ada dua Taman Nasional yang menjadi obyek wisata
primer di Sulawesi Utara, yaitu Taman Nasional Bunaken, dan
Taman Wisata Alam Tangkoko Batuangus dekat Cagar Alam Dua
Saudara. Pengembangan pariwisata di kedua kawasan ini tidak
dapat dilakukan sembarangan, dan harus tetap mengacu pada
semangat konservasi. Dalam jangka panjang upaya konservasi
lingkungan akan mendukung pariwisata yang berkelanjutan. Di
sini yang menjadi tekanan adalah keuntungan pengembangan
pariwisata dalam jangka panjang dan bukan jangka pendek saja.
Pengembangan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan akan
selalu mempertimbangkan aspek lingkungan yang bersih dan
teratur. Dalam hal ini lokasi Bunaken dan Tangkoko masih perlu
berupaya keras untuk menata lingkungan mereka.
Posisi penduduk seringkali menjadi bahan perdebatan
dalam pengembangan pariwisata. Ada yang melihat bahwa sebuah
kawasan wisata harus murni untuk wisatawan dan tidak boleh ada
penduduk yang tinggal di sekitar obyek wisata. Namun ada pula
yang melihat bahwa penduduk asli adalah asset yang perlu
dipertahankan karena mereka menjadi daya tarik bagi wisatawan
ke suatu obyek wisata. Di kawasan pariwisata Bunaken dan
Tangkoko sudah ada pemukiman penduduk yang sudah lama
5
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
berdiam di sana sebelum kawasan tersebut dijadikan kawasan
konservasi menurut John Rahasia (1986). Pemerintah daerah di
kedua wilayah tersebut merasa mengalami masalah mengawasi
aktivitas penduduk di sana yang mungkin merusak kawasan
konservasi. Pemerintah bahkan juga takut jika pertumbuhan
penduduk akan menyebabkan aktivitas berlebihan di kawasan
konservasi dan dapat melampaui daya dukung (carrying capacity)
wilayah tersebut. Pandangan seperti ini sering menuai ketegangan
dan konflik antara masyarakat lokal dan pemerintah. Namun tidak
tertutup kemungkinan ketegangan antara penduduk lokal dengan
pengusaha ketika mereka para pengusaha mendapat dukungan
pemerintah daerah memanfaatkan lahan konservasi tersebut.
Kecurigaan terhadap penduduk lokal kadang bisa dilihat
sebagai tindakan berlebihan. Mereka yang berpotensi merusak
alam bukan saja penduduk lokal tapi juga dari wisatawan. Dalam
banyak hal penduduk lokal justru mempunyai kesadaran menjaga
lingkungan karena berhubungan dengan habitat mereka. Di sini
penduduk harusnya bisa dilihat sebagai mitra dalam pelestarian
lingkungan.
Yang perlu diperhatikan dalam merancang pengembangan
pariwisata adalah jangan sampai penduduk dilihat sebagai masalah
dan harus direlokasi ke tempat lain. Merelokasi penduduk bukan
saja hanya memindahkan mereka secara fisik dan menyelesaikan
masalah, tapi pemerintah justeru menimbulkan masalah lain yaitu
menggeser orang dari sumber livelihood lama ke yang baru dan
belum tentu cocok dengan mereka.
Dari sisi konservasi, kita ketahui kawasan Bunaken serta
Tangkoko dan sekitarnya sejak tahun 2002 sudah ditetapkan
menjadi Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Upaya
konservasi sudah melibatkan masyarakat lokal, namun demikian
masih ada saja penduduk memanah ikan (bajubi). Tentu penduduk
melakukan itu karena ada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan
6
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
mereka. Di sini muncul masalah upaya menciptakan pendapatan
bagi masyarakat lokal. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan
adalah posisi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di
daerah mereka. Penduduk lokal yang dimaksud di sini adalah bagi
mereka yang berdomisili atau tinggal di sekitar obyek wisata tanpa
mempersoalkan daerah asal mereka, dan dampak yang dimaksud
disini bisa positif dan negatif, tergantung persepsi mereka dalam
kaitan pariwisata dengan pemenuhan kebutuhan sehari-harinya.
Dari penelusuran literatur yang saya lakukan pengetahuan
tentang pariwisata Sulawesi Utara dapat dikatakan masih langka.
Sebagai obyek wisata yang cukup terkenal saya berharap dapat
melihat lebih banyak kajian tentang wilayah ini, namun ternyata
belum banyak karya tentang pariwisata di Sulawesi Utara. Dari
sejumlah literatur yang saya telusuri baru ada satu buku yang
membahas pariwisata di Sulawesi Utara yang ditulis oleh
Mangindaan dan Fredrik (1980). Selain itu dari publikasi jurnal
yang saya telusuri hanya ada beberapa artikel menarik tentang
pariwisata di Sulawesi Utara, seperti yang ditulis oleh Ross (1999) ,
Tighe, et al. (2005), dan de Vantier dan Turak (2004). Pada
umumnya karya-karya tersebut lebih memberi perhatian pada
topik yang berhubungan dengan ekowisata atau masalah
lingkungan di Bunaken sebagai obyek wisata. Singkatnya para
penulis yang menulis tentang pariwisata Sulawesi Utara lebih
tertarik memberi perhatian pada green tourism (pariwisata hijau,
atau pariwisata yang berwawasan lingkungan).
Pertanyaannya adalah mengapa baru ada sedikit kajian
tentang pariwisata di Sulawesi Utara padahal daerah ini sudah
cukup terkenal. Saya berpikir salah satu alasan adalah wilayah ini
masih relatif baru bagi para peneliti profesional di bidang
pariwisata. Sulawesi Utara mungkin lebih dikenal para peneliti
ekologi dan biologi karena keunikan flora dan faunanya, namun
tidak demikian dengan pariwisata. Hal lain adalah sebagai obyek
wisata yang relatif baru Sulawesi Utara belum menjadi target mass
7
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
tourism. Inilah yang barangkali membuat para peneliti pariwisata
belum memberi perhatian serius ke wilayah ini. Oleh karena itu
masih banyak ruang pengetahuan tentang pariwisata di Sulawesi
Utara yang masih kosong.
Dari kajian yang sudah ada para peneliti belum memberi
perhatian yang cukup kepada masyarakat yang tinggal di sekitar
obyek wisata. Karya tentang masyarakat dan pariwisata sudah kita
lihat pada tulisan Beeton (2006), namun untuk Sulawesi Utara
belum banyak yang menulis. Oleh karena itu buku ini adalah
menjadi sebuah kajian tentang bagaimana masyarakat yang tinggal
di sekitar lokasi wisata memandang pariwisata yang sedang
berkembang di daerah mereka. Kajian seperti ini memberi tempat
sentral kepada penduduk lokal sebagai pelaku utama pariwisata itu
sendiri.
Saya kira penduduk lokal perlu mendapat perhatian serius
dalam pengembangan pariwisata. Ketika penduduk lokal hanya
sebagai penonton kegiatan pariwisata di daerah mereka maka
muncul suatu masalah moral di sini. Apakah layak membiarkan
masyarakat lokal hidup dalam kemiskinan di antara mercusuar
pariwisata yang dikuasai orang luar? Apakah kita bisa menerima
secara moral merelokasi masyarakat dengan alasan pembangunan
pariwisata? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul ketika ada
kebijakan pembangunan yang menyangkut masyarakat selalu
menempatkan masyarakat dalam posisi yang kalah. Hal ini sangat
nampak ketika rejim Orde Baru masih berkuasa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah menggambarkan dinamika ekonomi masyarakat pada
kawasan pariwisata di wilayah pesisir. Saya berupaya merekam
pandangan dan bahkan kegelisahan penduduk yang tinggal di
sekitar lokasi obyek wisata yang berkaitan dengan perkembangan
ekonomi rumah tangga mereka. Penduduk lokal senang dengan
pengembangan pariwisata di daerah mereka jika mereka mendapat
8
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
manfaat dari situ, tapi menjadi gelisah dan frustrasi jika mereka
hanya menjadi penonton pengembangan pariwisata di daerah
mereka. Sering yang terakhir ini yang memicu konflik terbuka
antara masyarakat lokal dengan pemerintah atau perusahan. Salah
satu contoh konflik yang terjadi di Jawa Tengah antara masyarakat
lokal dengan pengusaha dan Perhutani. Sekelompok warga
menyegel Taman Nasional Gunung Merbabu, Kopeng Jawa
Tengah karena merasa kehadiran taman tersebut tidak memberi
manfaat apa pun kepada mereka yang berdiam di sekitar taman 1 .
Peristiwa semacam ini adalah contoh masyarakat yang tidak
puas dengan pengembangan pariwisata di daerah mereka.
Setelah latar belakang di atas kemudian saya merumuskan
sebuah pertanyaan inti yang merupakan pokok utama kajian ini.
Pertanyaan inti sering disebut juga sebagai pertanyaan payung
adalah pertanyaan yang mewarnai seluruh buku ini. Pertanyaan
inti yang saya ajukan adalah: Bagaimana dinamika pariwisata yang
berbasis masyarakat di Sulawesi Utara? Berdasarkan pertanyaan
inti, saya mengajukan sebuah pertanyaan yang sifatnya empiris
yang meliputi tiga wilayah penelitian. Pertanyaan empiris
dimaksudkan untuk menggali informasi dari lapangan agar dapat
memberi jawaban terhadap pertanyaan inti di atas. Pertanyaan
empiris yang saya ajukan adalah: Apa pendapat masyarakat
tentang perkembangan pariwisata di Bunaken, di Kimabajo, atau
di Tangkoko? Pertanyaan empiris sifatnya lebih deskriptif yang
untuk tiga wilayah yang nantinya akan dijabarkan dalam tiga bab
empiris yang berbeda.
Berdasarkan pertanyaan di atas saya mulai mengajukan
beberapa tujuan penelitian sebagai berikut: Pertama, saya ingin
menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap pengembangan
pariwisata di tiga daerah penelitian, yaitu Bunaken, Kimabajo, dan
Tangkoko. Masing-masing daerah akan diulas secara mendalam di
1
Kompas Regional. Warga segel, Treetop Adenture.Park. Kompas.com,
(2011).
9
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
bab-bab yang berlainan. Kedua, saya bermaksud membuat sebuah
sintesa berdasarkan dari data empiris dalam rangka mengangkat
temuan-temuan lapangan yang sifatnya lebih konseptual. Ketiga,
berdasarkan sintesa tersebut saya merancang sebuah model yang
menggambarkan dinamika ekonomi masyarakat lokal di wilayah
pariwisata, dan terakhir, adalah merancang model pemberdayaan
masyarakat berdasarkan model ekonomi masyarakat sebelumnya.
Model terakhir ini kemudian yang dapat dirancang setelah saya
mengidentifikasi ada faktor-faktor penghambat masyarakat untuk
berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata di daerah mereka secara
umum.
Struktur Penulisan Disertasi
Disertasi ini dimulai dengan Bab 1 sebagai Pendahuluan.
Pada bab ini saya mendahului dengan latar belakang yang menjadi
dasar mengapa saya tertarik melakukan penelitian ini. Dalam bab
ini juga saya mengajukan pertanyaan penelitian yang menjadi
dasar bagi saya untuk melakukan kajian lapangan. Selain itu saya
juga mengajukan tujuan penelitian yaitu hal-hal yang diharapkan
dapat dicapai dalam penelitian ini. Apa yang saya ungkapkan di
atas adalah merupakan suatu standar yang harus dipenuhi dalam
kajian akademik.
Kemudian Bab 2 menguraikan tentang kajian pustaka yang
pada intinya memuat tentang literatur yang relevan dengan topik
yang sedang saya bahas. Beberapa topik yang saya angkat dalam
kajian pustaka adalah yang berkaitan dengan manfaat pariwisata
baik bagi pemerintah maupun juga masyarakat, atau konflik dalam
pengembangan pariwisata itu sendiri, maupun peran pemerintah
dalam pengembangan kepariwisataan, dan masalah peningkatan
kapasitas masyarakat lokal.
Bab 3, isinya adalah bab metode penelitian, dimana akan
dijelaskan tentang pertimbangan mengapa saya memilih metode
penelitian kualitatif dalam disertasi ini. Di dalam bab ini juga akan
10
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
dijelaskan tentang teknik pencarian informasi di lapangan, metode
Focus Group Discussion, dan melengkapi hasil penelitian dengan
in-depth intervieuw. Selain itu juga di dalam bab ini saya akan
mengungkapkan tentang proses analisa data-data hingga menjadi
sebuah tulisan.
Bab 4, isinya adalah kajian-kajian kebijakan dalam rangka
pembangunan pariwisata di Sulawesi Utara. Kajian kebijakan
diperoleh melalui suatu proses Focus Group Discussion di tingkat
provinsi, dengan para pengambil keputusan baik yang masih aktif
maupun yang sudah menjadi mantan kepala dinas pariwisata
provinsi. Dalam bab ini saya mencoba menjabarkan permasalahan
dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata.
Dalam Bab 5, tentang pengembangan pariwisata di
Bunaken dan saya berupaya menjabarkan masalah-masalah yang
muncul dengan adanya pengembangan pariwisata di Bunaken.
Masalah lingkungan seperti sampah baik di pantai maupun di
daerah penyelaman menjadi pokok bahasan. Selain itu saya juga
mengungkapan tentang potensi konflik antara masyarakat lokal
dengan pengusaha, dan antara masyarakat dengan pemerintah.
Bab 6, adalah Pariwisata di Kimabajo. Ini merupakan bab
empiris yaitu tentang tanggapan masyarakat Kimabajo terhadap
pengembangan pariwisata di daerah mereka. Isi bab ini sekitar
masalah pariwisata dan konflik yang terjadi di Desa Kimabajo.
Demi kelangsungan usaha pariwisata yang telah memberdayakan
masyarakat sekitar, maka konflik yang berasal dari perbedaan
kepentingan walaupun sedikit menyerempet kepada masalah
keyakinan akhirnya dapat diselesaikan secara win-win solution.
Suatu keputusan yang langka jika terjadi dewasa ini di tengah
bangkitnya (revival) keagamaan di beberapa wilayah Indonesia.
Uraian ini juga menjadi menarik karena sifatnya spesifik dalam
penyelesaian masalah atau konflik yang tidak sama dengan yang
terjadi ditempat lain.
11
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Sedangkan Bab 7 menguraikan tentang Tangkoko sebagai
tujuan wisata alam. Masalah pariwisata dengan lingkungan yang
menonjol saya temukan di Kelurahan Batuputih Bawah atau yang
dikenal sebagai pemukiman Tangkoko. Hadirnya pariwisata di
kawasan ini karena daya tarik keanekaragaman hayati suaka
margasatwa yang pernah ditulis oleh penemunya yakni Albert
Russel Wallace (1861) seorang ahli geografi berkebangsaan Inggris
pada waktu berkunjung ke pulau Celebes. Dalam bab ini saya
mengungkapkan konflik yang muncul antara pemandu wisata
lokal dengan pegawai dinas kehutanan yang juga menjadi
pemandu sebagai kerja sampingan.
Selanjutnya Bab 8 merupakan bab sintesa. Dalam bab ini
saya menguraikan temuan konseptual yang berbasis pada tiga bab
empiris sebelumnya. Dalam analisis ini saya berusaha untuk
menguraikan secara detail permasalahan yang ditemui di lapangan
serta berusaha untuk menggambarkan pesan-pesan yang tersirat
dari harapan masyarakat lokal yang seharusnya diuntungkan
dalam situasi ini. Ada permasalahan yang sudah diatasi, tetapi
masih ada juga masalah latent yang hingga saat ini belum berhasil
diselesaikan dengan tuntas. Selanjutnya sintesa menjadi menarik
dengan model integratif yang menggambarkan situasi ekonomi
masyarakat lokal dan usul model pemberdayaan.
Bab 9 atau bab terakhir adalah kesimpulan yang pada
intinya menyarikan keseluruhan isi buku ini dan juga mengajak
pembaca melihat aspek-aspek tertentu yang menjadi pokok yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut. Selain itu dalam bagian ini saya
mencoba mengungkapkan beberapa topik penelitian yang bisa
dikaji pada masa yang akan datang.
12
Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang Penelitian
Pariwisata adalah suatu komoditas yang bahan dasarnya
adalah kekayaan sumberdaya alam dan kebudayaan di suatu
negara. Oleh karena itu maka tidak mengherankan jika ada negara
yang mengandalkan sektor ini terutama pendapatan negara.
Hampir semua negara di Eropa memanfaatkan peninggalan masa
lampau untuk menarik wisatawan ke negara mereka. Monaco dan
Perancis adalah dua negara tujuan yang paling banyak menyedot
wisatawan dari seluruh penjuru dunia karena peninggalan masa
lalu yang kaya. Beberapa negara kecil di lautan Karibia, Amerika
Latin, seperti Bahama, Barbados, Puerto Rico, Republik Dominika,
dan Jamaika lebih menggantungkan diri terhadap potensi sektor
pariwisata sebagai sumber utama pendapatan negara. Singapura,
sebuah negara pulau berhasil menarik wisatawan dalam jumlah
yang cukup besar karena telah menyediakan fasilitas belanja bagi
wisatawan Asia.
Dari sini jelas bahwa pariwisata adalah komoditas ekspor
yang bertujuan mendatangkan valuta asing yang dibutuhkan
sebuah negara untuk melancarkan perdagangan luar negeri.
Ekspor komoditas pariwisata tentunya sedikit berbeda dengan
kegiatan ekspor komoditas manufaktur. Kita memasarkan produk
pariwisata dengan mendatangkan pembeli, sedangkan komoditas
manufaktur kita harus mengangkutnya ke negara pembeli. Produk
pariwisata adalah produk jasa oleh karena itu faktor pelayanan
menjadi sangat penting. Pelayanan yang dimaksud di sini jangan
kita artikan secara sempit, yaitu pelayanan di hotel atau rumah
1
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
makan, namun menyangkut keseluruhan proses pelayanan sejak
wisatawan datang berkunjung ke suatu negara atau daerah. Hal ini
menyangkut pelayanan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat.
Hampir semua negara yang telah berhasil mendatangkan banyak
wisatawan adalah negara yang menjamin kenyamanan para tamu
karena pelayanan yang terintegrasi baik.
Indonesia sampai saat ini masih harus terus berupaya dan
berbenah diri untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan. Hal ini
dapat dilihat dari perombakan kabinet baru-baru ini, menteri
pariwisata mendapat tugas yang baru untuk mengintegrasikan
industri kreatif ke dalam kebijakan pembangunan pariwisata di
Indonesia. Selama ini kita masih mengandalkan eksotisme Pulau
Bali sebagai daya tarik. Memang pada masa yang lalu beberapa
tempat seperti Yogyakarta, Pulau Samosir di Sumatera Utara, dan
Bukit Tinggi di Sumatera Barat adalah obyek wisata yang sudah
mulai dikenal wisatawan manca negara namun kemudian surut.
Salah satu alasan adalah kondisi sosial politik di Indonesia yang
semakin tegang setelah Orde Baru tumbang menyebabkan banyak
negara seperti Australia, Amerika, dan negara-negara Eropa selalu
memperingatkan warganya agar selalu berhati-hati berkunjung ke
Indonesia (travel warning).
Indonesia seharusnya dapat menjadi suatu negara yang
menarik wisatawan sebanyak mungkin. Kekayaan sumberdaya
alam melimpah dan budaya sangat bervariasi, namun belum
dilihat sebagai potensi pariwisata. Sejauh ini kita terlalu terpukau
dengan destinasi pariwisata konvensional dengan tujuan seperti
Bali dan Yogyakarta dan melupakan bahwa masih ada potensi lain
yang tidak kalah menariknya. Memang akhir-akhir ini Lombok
mulai berkembang sebagai suatu destinasi pariwisata baru yang
sebenarnya merupakan luapan dari pariwisata Bali yang sudah
mulai mencapai titik jenuh. Banyak potensi wisata di Indonesia
bagian Timur yang sebenarnya tidak kalah dengan Lombok
namun tidak bisa berkembang karena terkendala infrastruktur,
2
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
seperti pelabuhan udara, pelabuhan laut, dan transportasi darat.
Memang ada masalah kualitas sumberdaya manusia di wilayahwilayah ini tapi masih bisa diatasi dengan pelatihan yang intensif.
Setelah lebih dari sepuluh tahun otonomi daerah bergulir
di Indonesia, ternyata pariwisata mulai menjadi pilihan menarik
bagi pemerintah daerah kabupaten dan kota yang secara kreatif
menggali potensi pariwisata pada daerah mereka masing-masing.
Hampir semua daerah berlomba mengidentifikasi obyek wisata
yang bisa ditawarkan kepada wisatawan. Ada obyek wisata yang
layak untuk dipromosikan, namun ada juga obyek wisata yang
kelihatannya dipaksakan walaupun tidak layak. Hal ini karena
setiap pemerintah kabupaten dan kota ingin mempunyai obyek
wisata yang menjadi prestise tersendiri bagi daerah. Oleh karena
itu jangan heran kadang ada obyek wisata yang harus ditempuh
dua sampai empat jam dari ibukota kabupaten dengan sarana
seadanya tapi tetap dikembangkan. Dengan kata lain pariwisata
telah menjadi ikon baru setiap daerah untuk memperkenalkan
daerah kepada orang luar.
Sebenarnya pemerintah daerah sendiri dan pemerintah
pusat mempunyai kepentingan berbeda dengan pengembangan
pariwisata. Bagi pemerintah daerah kehadiran wisatawan akan
menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan PAD (Pendapatan
Asli Daerah). Kedua aspek ini yang paling sering dimuat media
massa ketika mengutip pendapat pejabat di daerah. Memang
seorang pejabat akan diakui kinerjanya jika berhasil mengurangi
pengangguran dan juga secara bersamaan dapat meningkatkan
PAD. Namun bagi pemerintah pusat pariwisata selalu dikaitkan
dengan penghasilan devisa bagi negara. Pemerintah pusat
menganggap semakin banyak wisatawan akan semakin baik bagi
perekonomian makro karena semakin banyak devisa yang masuk.
Walaupun mereka berbeda dalam penekanan strategi terhadap
pengembangan kepariwisataan, namun baik pemerintah daerah
maupun pemerintah pusat beranggapan kebijakan mass tourism
3
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
baik bagi daerah maupun bagi negara.
Sulawesi Utara telah mempunyai program pengembangan
pariwisata yaitu dengan mencanangkan daerah ini sebagai salah
satu pintu gerbang dan daerah tujuan wisata di Indonesia. Pada
awalnya, andalan produk wisata yang ditawarkan daerah ini
adalah wisata bahari seperti “diving in Bunaken”, kemudian
dalam perkembangannya muncul beberapa obyek wisata baru
disekitarnya yang mulai dikenal para wisatawan. Tampaknya para
wisatawan sedang mencari tempat lain di luar Bali dan dalam hal
ini Sulawesi Utara adalah salah satu pilihan. Memang dalam hal
ini Sulawesi Utara harus bersaing dengan daerah-daerah lainya
seperti Nusa Tenggara Barat yang mempromosikan Pulau Lombok,
atau Nusa Tenggara Timur dengan Pulau Komodonya. Dengan
demikian Sulawesi Utara harus bekerja lebih keras lagi setelah
mendapat saingan kedua provinsi tersebut.
Seperti diungkapkan di atas, di dalam kerangka otonomi
daerah, maka usaha pariwisata tidak lepas dari kepentingan dinas
pendapatan daerah (Dispenda) yang menganggap kegiatan ini
potensial menghasilkan pajak dan retribusi bagi daerah. Biasanya
yang dilihat adalah hanya manfaat jangka pendek pengembangan
pariwisata dan tidak memperhitungkan pendapatan dalam jangka
panjang dengan kurang memperhatikan masa depan pariwisata itu
sendiri. Ini yang menjadi kelemahan pengembangan pariwisata di
daerah seperti Sulawesi Utara yang sering hanya melihat manfaat
jangka pendek dan mengabaikan kelangsungan pariwisata.
Hal yang cukup serius adalah penyelesaian konflik Tata
Ruang sebagai pedoman pengembangan suatu kawasan pariwisata.
Salah satu kendala pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara
kalau dibandingkan dengan-daerah lain adalah belum selesainya
pemerintah merampungkan Perda Tata Ruang oleh karena masih
tersandung dengan masalah alih fungsi lahan dengan Departemen
Kehutanan, sehingga ada konflik antara Pemerintah Pusat dengan
4
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Pemerintah Daerah. Sekarang Perda Tata Ruang sedang dibahas
di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan diharapkan
akan rampung sebelum akhir Oktober 2011 ini. Namun sebelum
Perda Tata Ruang disetujui DPRD, Menteri Kehutanan telah
mengeluarkan persetujuan kebijakan alih fungsi lahan, yang jika
dipaksakan akan menimbulkan paradoks atau kejanggalan karena
di suatu sisi pemerintah ingin mengembangkan ekowisata yang
sangat peduli dengan upaya konservasi, namun disisi lainnya
melegalisasikan ijin membangun di kawasan konservasi. Apa yang
saya ungkapkan di atas adalah suatu contoh konflik yang
mungkin timbul diantara pemerintahan daerah dan pemerintah
pusat.
Ada dua Taman Nasional yang menjadi obyek wisata
primer di Sulawesi Utara, yaitu Taman Nasional Bunaken, dan
Taman Wisata Alam Tangkoko Batuangus dekat Cagar Alam Dua
Saudara. Pengembangan pariwisata di kedua kawasan ini tidak
dapat dilakukan sembarangan, dan harus tetap mengacu pada
semangat konservasi. Dalam jangka panjang upaya konservasi
lingkungan akan mendukung pariwisata yang berkelanjutan. Di
sini yang menjadi tekanan adalah keuntungan pengembangan
pariwisata dalam jangka panjang dan bukan jangka pendek saja.
Pengembangan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan akan
selalu mempertimbangkan aspek lingkungan yang bersih dan
teratur. Dalam hal ini lokasi Bunaken dan Tangkoko masih perlu
berupaya keras untuk menata lingkungan mereka.
Posisi penduduk seringkali menjadi bahan perdebatan
dalam pengembangan pariwisata. Ada yang melihat bahwa sebuah
kawasan wisata harus murni untuk wisatawan dan tidak boleh ada
penduduk yang tinggal di sekitar obyek wisata. Namun ada pula
yang melihat bahwa penduduk asli adalah asset yang perlu
dipertahankan karena mereka menjadi daya tarik bagi wisatawan
ke suatu obyek wisata. Di kawasan pariwisata Bunaken dan
Tangkoko sudah ada pemukiman penduduk yang sudah lama
5
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
berdiam di sana sebelum kawasan tersebut dijadikan kawasan
konservasi menurut John Rahasia (1986). Pemerintah daerah di
kedua wilayah tersebut merasa mengalami masalah mengawasi
aktivitas penduduk di sana yang mungkin merusak kawasan
konservasi. Pemerintah bahkan juga takut jika pertumbuhan
penduduk akan menyebabkan aktivitas berlebihan di kawasan
konservasi dan dapat melampaui daya dukung (carrying capacity)
wilayah tersebut. Pandangan seperti ini sering menuai ketegangan
dan konflik antara masyarakat lokal dan pemerintah. Namun tidak
tertutup kemungkinan ketegangan antara penduduk lokal dengan
pengusaha ketika mereka para pengusaha mendapat dukungan
pemerintah daerah memanfaatkan lahan konservasi tersebut.
Kecurigaan terhadap penduduk lokal kadang bisa dilihat
sebagai tindakan berlebihan. Mereka yang berpotensi merusak
alam bukan saja penduduk lokal tapi juga dari wisatawan. Dalam
banyak hal penduduk lokal justru mempunyai kesadaran menjaga
lingkungan karena berhubungan dengan habitat mereka. Di sini
penduduk harusnya bisa dilihat sebagai mitra dalam pelestarian
lingkungan.
Yang perlu diperhatikan dalam merancang pengembangan
pariwisata adalah jangan sampai penduduk dilihat sebagai masalah
dan harus direlokasi ke tempat lain. Merelokasi penduduk bukan
saja hanya memindahkan mereka secara fisik dan menyelesaikan
masalah, tapi pemerintah justeru menimbulkan masalah lain yaitu
menggeser orang dari sumber livelihood lama ke yang baru dan
belum tentu cocok dengan mereka.
Dari sisi konservasi, kita ketahui kawasan Bunaken serta
Tangkoko dan sekitarnya sejak tahun 2002 sudah ditetapkan
menjadi Taman Nasional dan Taman Wisata Alam. Upaya
konservasi sudah melibatkan masyarakat lokal, namun demikian
masih ada saja penduduk memanah ikan (bajubi). Tentu penduduk
melakukan itu karena ada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan
6
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
mereka. Di sini muncul masalah upaya menciptakan pendapatan
bagi masyarakat lokal. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan
adalah posisi masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di
daerah mereka. Penduduk lokal yang dimaksud di sini adalah bagi
mereka yang berdomisili atau tinggal di sekitar obyek wisata tanpa
mempersoalkan daerah asal mereka, dan dampak yang dimaksud
disini bisa positif dan negatif, tergantung persepsi mereka dalam
kaitan pariwisata dengan pemenuhan kebutuhan sehari-harinya.
Dari penelusuran literatur yang saya lakukan pengetahuan
tentang pariwisata Sulawesi Utara dapat dikatakan masih langka.
Sebagai obyek wisata yang cukup terkenal saya berharap dapat
melihat lebih banyak kajian tentang wilayah ini, namun ternyata
belum banyak karya tentang pariwisata di Sulawesi Utara. Dari
sejumlah literatur yang saya telusuri baru ada satu buku yang
membahas pariwisata di Sulawesi Utara yang ditulis oleh
Mangindaan dan Fredrik (1980). Selain itu dari publikasi jurnal
yang saya telusuri hanya ada beberapa artikel menarik tentang
pariwisata di Sulawesi Utara, seperti yang ditulis oleh Ross (1999) ,
Tighe, et al. (2005), dan de Vantier dan Turak (2004). Pada
umumnya karya-karya tersebut lebih memberi perhatian pada
topik yang berhubungan dengan ekowisata atau masalah
lingkungan di Bunaken sebagai obyek wisata. Singkatnya para
penulis yang menulis tentang pariwisata Sulawesi Utara lebih
tertarik memberi perhatian pada green tourism (pariwisata hijau,
atau pariwisata yang berwawasan lingkungan).
Pertanyaannya adalah mengapa baru ada sedikit kajian
tentang pariwisata di Sulawesi Utara padahal daerah ini sudah
cukup terkenal. Saya berpikir salah satu alasan adalah wilayah ini
masih relatif baru bagi para peneliti profesional di bidang
pariwisata. Sulawesi Utara mungkin lebih dikenal para peneliti
ekologi dan biologi karena keunikan flora dan faunanya, namun
tidak demikian dengan pariwisata. Hal lain adalah sebagai obyek
wisata yang relatif baru Sulawesi Utara belum menjadi target mass
7
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
tourism. Inilah yang barangkali membuat para peneliti pariwisata
belum memberi perhatian serius ke wilayah ini. Oleh karena itu
masih banyak ruang pengetahuan tentang pariwisata di Sulawesi
Utara yang masih kosong.
Dari kajian yang sudah ada para peneliti belum memberi
perhatian yang cukup kepada masyarakat yang tinggal di sekitar
obyek wisata. Karya tentang masyarakat dan pariwisata sudah kita
lihat pada tulisan Beeton (2006), namun untuk Sulawesi Utara
belum banyak yang menulis. Oleh karena itu buku ini adalah
menjadi sebuah kajian tentang bagaimana masyarakat yang tinggal
di sekitar lokasi wisata memandang pariwisata yang sedang
berkembang di daerah mereka. Kajian seperti ini memberi tempat
sentral kepada penduduk lokal sebagai pelaku utama pariwisata itu
sendiri.
Saya kira penduduk lokal perlu mendapat perhatian serius
dalam pengembangan pariwisata. Ketika penduduk lokal hanya
sebagai penonton kegiatan pariwisata di daerah mereka maka
muncul suatu masalah moral di sini. Apakah layak membiarkan
masyarakat lokal hidup dalam kemiskinan di antara mercusuar
pariwisata yang dikuasai orang luar? Apakah kita bisa menerima
secara moral merelokasi masyarakat dengan alasan pembangunan
pariwisata? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul ketika ada
kebijakan pembangunan yang menyangkut masyarakat selalu
menempatkan masyarakat dalam posisi yang kalah. Hal ini sangat
nampak ketika rejim Orde Baru masih berkuasa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah menggambarkan dinamika ekonomi masyarakat pada
kawasan pariwisata di wilayah pesisir. Saya berupaya merekam
pandangan dan bahkan kegelisahan penduduk yang tinggal di
sekitar lokasi obyek wisata yang berkaitan dengan perkembangan
ekonomi rumah tangga mereka. Penduduk lokal senang dengan
pengembangan pariwisata di daerah mereka jika mereka mendapat
8
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
manfaat dari situ, tapi menjadi gelisah dan frustrasi jika mereka
hanya menjadi penonton pengembangan pariwisata di daerah
mereka. Sering yang terakhir ini yang memicu konflik terbuka
antara masyarakat lokal dengan pemerintah atau perusahan. Salah
satu contoh konflik yang terjadi di Jawa Tengah antara masyarakat
lokal dengan pengusaha dan Perhutani. Sekelompok warga
menyegel Taman Nasional Gunung Merbabu, Kopeng Jawa
Tengah karena merasa kehadiran taman tersebut tidak memberi
manfaat apa pun kepada mereka yang berdiam di sekitar taman 1 .
Peristiwa semacam ini adalah contoh masyarakat yang tidak
puas dengan pengembangan pariwisata di daerah mereka.
Setelah latar belakang di atas kemudian saya merumuskan
sebuah pertanyaan inti yang merupakan pokok utama kajian ini.
Pertanyaan inti sering disebut juga sebagai pertanyaan payung
adalah pertanyaan yang mewarnai seluruh buku ini. Pertanyaan
inti yang saya ajukan adalah: Bagaimana dinamika pariwisata yang
berbasis masyarakat di Sulawesi Utara? Berdasarkan pertanyaan
inti, saya mengajukan sebuah pertanyaan yang sifatnya empiris
yang meliputi tiga wilayah penelitian. Pertanyaan empiris
dimaksudkan untuk menggali informasi dari lapangan agar dapat
memberi jawaban terhadap pertanyaan inti di atas. Pertanyaan
empiris yang saya ajukan adalah: Apa pendapat masyarakat
tentang perkembangan pariwisata di Bunaken, di Kimabajo, atau
di Tangkoko? Pertanyaan empiris sifatnya lebih deskriptif yang
untuk tiga wilayah yang nantinya akan dijabarkan dalam tiga bab
empiris yang berbeda.
Berdasarkan pertanyaan di atas saya mulai mengajukan
beberapa tujuan penelitian sebagai berikut: Pertama, saya ingin
menggambarkan tanggapan masyarakat terhadap pengembangan
pariwisata di tiga daerah penelitian, yaitu Bunaken, Kimabajo, dan
Tangkoko. Masing-masing daerah akan diulas secara mendalam di
1
Kompas Regional. Warga segel, Treetop Adenture.Park. Kompas.com,
(2011).
9
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
bab-bab yang berlainan. Kedua, saya bermaksud membuat sebuah
sintesa berdasarkan dari data empiris dalam rangka mengangkat
temuan-temuan lapangan yang sifatnya lebih konseptual. Ketiga,
berdasarkan sintesa tersebut saya merancang sebuah model yang
menggambarkan dinamika ekonomi masyarakat lokal di wilayah
pariwisata, dan terakhir, adalah merancang model pemberdayaan
masyarakat berdasarkan model ekonomi masyarakat sebelumnya.
Model terakhir ini kemudian yang dapat dirancang setelah saya
mengidentifikasi ada faktor-faktor penghambat masyarakat untuk
berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata di daerah mereka secara
umum.
Struktur Penulisan Disertasi
Disertasi ini dimulai dengan Bab 1 sebagai Pendahuluan.
Pada bab ini saya mendahului dengan latar belakang yang menjadi
dasar mengapa saya tertarik melakukan penelitian ini. Dalam bab
ini juga saya mengajukan pertanyaan penelitian yang menjadi
dasar bagi saya untuk melakukan kajian lapangan. Selain itu saya
juga mengajukan tujuan penelitian yaitu hal-hal yang diharapkan
dapat dicapai dalam penelitian ini. Apa yang saya ungkapkan di
atas adalah merupakan suatu standar yang harus dipenuhi dalam
kajian akademik.
Kemudian Bab 2 menguraikan tentang kajian pustaka yang
pada intinya memuat tentang literatur yang relevan dengan topik
yang sedang saya bahas. Beberapa topik yang saya angkat dalam
kajian pustaka adalah yang berkaitan dengan manfaat pariwisata
baik bagi pemerintah maupun juga masyarakat, atau konflik dalam
pengembangan pariwisata itu sendiri, maupun peran pemerintah
dalam pengembangan kepariwisataan, dan masalah peningkatan
kapasitas masyarakat lokal.
Bab 3, isinya adalah bab metode penelitian, dimana akan
dijelaskan tentang pertimbangan mengapa saya memilih metode
penelitian kualitatif dalam disertasi ini. Di dalam bab ini juga akan
10
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
dijelaskan tentang teknik pencarian informasi di lapangan, metode
Focus Group Discussion, dan melengkapi hasil penelitian dengan
in-depth intervieuw. Selain itu juga di dalam bab ini saya akan
mengungkapkan tentang proses analisa data-data hingga menjadi
sebuah tulisan.
Bab 4, isinya adalah kajian-kajian kebijakan dalam rangka
pembangunan pariwisata di Sulawesi Utara. Kajian kebijakan
diperoleh melalui suatu proses Focus Group Discussion di tingkat
provinsi, dengan para pengambil keputusan baik yang masih aktif
maupun yang sudah menjadi mantan kepala dinas pariwisata
provinsi. Dalam bab ini saya mencoba menjabarkan permasalahan
dan kendala yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata.
Dalam Bab 5, tentang pengembangan pariwisata di
Bunaken dan saya berupaya menjabarkan masalah-masalah yang
muncul dengan adanya pengembangan pariwisata di Bunaken.
Masalah lingkungan seperti sampah baik di pantai maupun di
daerah penyelaman menjadi pokok bahasan. Selain itu saya juga
mengungkapan tentang potensi konflik antara masyarakat lokal
dengan pengusaha, dan antara masyarakat dengan pemerintah.
Bab 6, adalah Pariwisata di Kimabajo. Ini merupakan bab
empiris yaitu tentang tanggapan masyarakat Kimabajo terhadap
pengembangan pariwisata di daerah mereka. Isi bab ini sekitar
masalah pariwisata dan konflik yang terjadi di Desa Kimabajo.
Demi kelangsungan usaha pariwisata yang telah memberdayakan
masyarakat sekitar, maka konflik yang berasal dari perbedaan
kepentingan walaupun sedikit menyerempet kepada masalah
keyakinan akhirnya dapat diselesaikan secara win-win solution.
Suatu keputusan yang langka jika terjadi dewasa ini di tengah
bangkitnya (revival) keagamaan di beberapa wilayah Indonesia.
Uraian ini juga menjadi menarik karena sifatnya spesifik dalam
penyelesaian masalah atau konflik yang tidak sama dengan yang
terjadi ditempat lain.
11
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Sedangkan Bab 7 menguraikan tentang Tangkoko sebagai
tujuan wisata alam. Masalah pariwisata dengan lingkungan yang
menonjol saya temukan di Kelurahan Batuputih Bawah atau yang
dikenal sebagai pemukiman Tangkoko. Hadirnya pariwisata di
kawasan ini karena daya tarik keanekaragaman hayati suaka
margasatwa yang pernah ditulis oleh penemunya yakni Albert
Russel Wallace (1861) seorang ahli geografi berkebangsaan Inggris
pada waktu berkunjung ke pulau Celebes. Dalam bab ini saya
mengungkapkan konflik yang muncul antara pemandu wisata
lokal dengan pegawai dinas kehutanan yang juga menjadi
pemandu sebagai kerja sampingan.
Selanjutnya Bab 8 merupakan bab sintesa. Dalam bab ini
saya menguraikan temuan konseptual yang berbasis pada tiga bab
empiris sebelumnya. Dalam analisis ini saya berusaha untuk
menguraikan secara detail permasalahan yang ditemui di lapangan
serta berusaha untuk menggambarkan pesan-pesan yang tersirat
dari harapan masyarakat lokal yang seharusnya diuntungkan
dalam situasi ini. Ada permasalahan yang sudah diatasi, tetapi
masih ada juga masalah latent yang hingga saat ini belum berhasil
diselesaikan dengan tuntas. Selanjutnya sintesa menjadi menarik
dengan model integratif yang menggambarkan situasi ekonomi
masyarakat lokal dan usul model pemberdayaan.
Bab 9 atau bab terakhir adalah kesimpulan yang pada
intinya menyarikan keseluruhan isi buku ini dan juga mengajak
pembaca melihat aspek-aspek tertentu yang menjadi pokok yang
menarik untuk dikaji lebih lanjut. Selain itu dalam bagian ini saya
mencoba mengungkapkan beberapa topik penelitian yang bisa
dikaji pada masa yang akan datang.
12