Pelaksanaan Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara Dikaitkan Dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012

(1)

15

A. Pengartian dan Landasan Hukum Pengangkutan Udara

1. Pengertian Pengangkutan Udara

Istilah “Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti

“mengangkut atau membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan

sebagai “pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang).10

Pengertian pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.11

Pengangkutan dalam arti luas dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan M. N Nasution menyatakan pengangkutan adalah hal yang membuat sebuah bangsa menjadi besar dan makmur, yakni tanah yang subur, kerja keras, dan kelancaran pengangkutan orang dan barang dari satu bagian negara ke bagian bagian lainnya.12

10

Hasim Purba, Op. Cit, hal. 3. 11

H. M. N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 2.

12


(2)

Dalam hal ini unsur-unsur pengangkutan ialah sebagai berikut :13 a. Ada sesuatu yang diangkut

b. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutnya, dan c. Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.

Proses pengangkutan itu merupakan gerak dari tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan di mana angkutan itu diakhiri. Pengangkutan juga dapat diartikan dalam arti sempit yang meliputi kegiatan membawa penumpang atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandara tempat pemberangkatan ke stasiun/terminal/pelabuhan/bandara tujuan. Untuk menentukan pengangkutan itu dalam arti luas atau arti sempit bergantung pada perjanjian pengangkutan yang dibuat oleh pihak-pihak, bahkan kebiasaan masyarakat.14

Fungsi Pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja,

13

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 178.

14


(3)

tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lainnya.15

Subjek hukum pengangkutan terdiri dari : a. Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan

b. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan Objek hukum pengangkutan terdiri dari :

a. Alat pengangkut b. Muatan yang diangkut c. Biaya pengangkutan d. Dokumen pengangkutan

Adapun tujuan dari pengangkutan ialah untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan dari satu tempat ke tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit, atau meninggal dunia.Jika yang diangkut itu barang, selamat artinya barang yang diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau kemusnahan.16

Adapun jenis-jenis pengangkutan sesuai dengan alat angkut yang ada sesuai dengan wilayah pengangkutannya, Ridwan Khairandy mengklasifikasikan macam-macam moda pengangkutan sebagai berikut:17

15

H. M. N Purwosutjipto,Op. Cit., hal. 1-2. 16

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 15. 17


(4)

a. Pengangkutan Darat :

1. Pengangkutan melalui jalan (raya) 2. Pengangkutan dengan kereta api b. Pengangkutan Laut

c. Pengangkutan Udara

Sedangkan Hasim Purba membedakan jenis-jenis pengangkutan itu sebagai berikut:18

a. Pengangkutan di darat, yang terdiri dari: 1. Pengangkutan dengan kendaraan bermotor 2. Pengangkutan dengan kereta api

3. Pengangkutan dengan tenaga hewan b. Pengangkutan di perairan yang terdiri dari:

1. Pengangkutan di laut

2. Pengangkutan di sungai dan danau 3. Pengangkutan penyeberangan c. Pengangkutan udara.

Pengertian angkutan udara atau pengangkutan udara itu sendiri telah diuraikan pada ketentuan umum Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang berbunyi:

Setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut

penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.

Pengangkutan udara ialah pengangkutan yang diangkut dengan pesawat udara, pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer

18


(5)

karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.

Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.

Kegiatan angkutan udara terbagi dua, angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga, tujuan khusus pengangkutan udara dengan pesawat udara niaga ialah:19

1. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktik persaingan usaha yang tidak sehat

2. Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi pengangkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional

3. Membina jiwa kedirgantaraan 4. Menjunjung kedaulatan Negara

5. Menciptakan daya saing dengan pengembangan teknologi dan industri pengangkutan udara nasional

6. Menunjang, menggerakan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional

19

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 22.


(6)

7. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara

8. Meningkatkan ketahanan nasional, dan 9. Mempererat hubungan antar bangsa

2. Landasan Hukum Pengangkutan Udara

Peraturan-peraturan yang menjadi dasar-dasar hukum pengangkutan udara di Indonesia ialah:20

a. Undang-undang

Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

b. Ordonansi

1. Luchtverkeersverordening (S. 1936 - 425), yang mengatur lalu lintas udara, misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-lain.

2. Verordening Toezicht Lucthtvaart (S.1936 - 426), yang merupakan peraturan pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain pengawasan atas personil penerbangan, selanjutnya pemeriksaan

20


(7)

sebab-sebab kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di wilayah Indonesia dan lain-lain.

3. Luchtvaartquarantine Ordonnantie (S. 1939 - 149, jo S.1939 - 150) yang mengatur persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penumpang- penumpang pesawat terbang.

4. Luchtvervoerordonnantie (S. 1939 –100), Ordonansi Pengangkutan udara, yang mengatur pengangkutan penumpang, bagasi, dan pengangkutan barang serta pertanggung jawab pengangkutan udara. Pada Ordonansi ini negara-negara di dunia tunduk secara global (umum), termasuk Indonesia kecuali jika telah ada peraturan khusus yang dibuat oleh masing-masing negara.

c. Peraturan Pemerintah

1. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2000.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1996 tentang Kebandarudaraan.

d. Perjanjian-Perjanjian Internasional dan Perjanjian Khusus 1. Perjanjian Warsawa 1929

Perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933.Perjanjian ini sangat


(8)

100). Bunyi konsiderans “Luchtvervoerordonnantie” sebagai berikut :

Dat Hij, in aansluiting aan het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het internasional luchtvervoer (S. 1933 - 344) voorzieningen willende treffen inzake het binnenlandsch luchtvervoer, zoveel mogelijk overeenkomstig de bij de wet van 10 September 1936 (Ned. S. 1936 - 523) voor Nederland vestgestelde

voorschriften; enz.”

(Bahwa dia dengan menghubungkan perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933, yang mempersatukan beberapa ketentuan mengenai pengangkutan udara internasional (S. 1933 - 344), hendak mengatur tentang pengangkutan udara nasional yang sedapat mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dengan undang-undang Nederland tanggal 10 September 1936 (Ned. S. 1936 -523). Pasal 1, “Lechtvervoerordonnantie” (S. 1939 - 100) berbunyi:

“De bepalingen van deze ordonnantie vinden toepassing,

voozoveel niet ingevolgen het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het interrnationale luchtvevoer (S. 1933 - 344), hierna te

noemen “het vengrdrag”, een andere voorzieningen geldt”

(Ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini berlaku, bila perjanjian tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933 untuk mempersatukan ketentuan-ketentuan mengenal pengangkutan udara internasional


(9)

(S. 1933 - 344) selanjutnya disebut “Perjanjian”, tidak menetapkan ketentuan lain).21

2. Perjanjian Roma 1933

Perjanjian Roma tanggal 29 Mei 1933, tentang “Convention on Damage caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The

Surface”. Perjanjian ini mengatur tentang tanggung jawab

pengangkut udara mengenai kerusakan/kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di muka bumi. Perjanjian ini diperbaharui pada tahun 1952.

3. Perjanjian internasional khusus pengangkutan, International Air Transport Association (IATA).

Sebagai suatu organisasi internasional, dalam mana tergabung sebagian besar pengangkutan-pengangkutan udara di seluruh dunia, mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota-anggotanya. IATA telah menyetujui “General Condition of

Carriage” (syarat-syarat umum pengangkutan), baik untuk

penumpang, bagasi maupun untuk barang, berdasarkan ketentuan-ketentuan perjanjian Warsawa. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat pengangkutan bagi para anggotanya, berlaku bagi para anggotanya, berlaku bagi pengangkutan udara internasional yang diselenggarakan oleh pengangkut udara anggota IATA. Selain

21


(10)

daripada itu, setiap pengangkut udara mempunyai pula syarat-syarat

khusus sendiri yang didasarkan pada “General Condition of

Carriage” dari IATA. Syarat khusus itu selalu dapat diminta dan dilihat oleh setiap orang yang akan membeli tiket atau akan mengangkut barangnya dengan pesawat terbang dari pengangkut udara yang bersangkutan. Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui dahulu oleh calon penumpang atau pengirim barang, sebab dalam tiket penumpang itu selalu disebutkan bahwa pengangkutan udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan dan Ordonansi Pengangkutan Udara di Indonesia.

B. Pihak-pihak yang Terkait dalam Pengangkutan Udara

Dalam sistem angkutan udara ada beberapa pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pengangkutan yaitu:

a. Pengangkut

Secara umum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Indonesia tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut.22 Pengangkut adalah barang siapa yang baik dengan persetujuan charter menurut waktu (time charter) atau charter menurut perjalanan baik dengan suatu persetujuan lain mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya maupun sebagian melalui pengangkutan. Pengangkut menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 adalah suatu badan usaha angkutan udara

22


(11)

niaga yang pemegang izin kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

b. Pengirim

Pengirim tidak didefinisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan selain itu dia juga memberikan muatan. Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan itu. Dalam sistem angkutan udara dengan multimoda transportasi pihak-pihak dalam pengangkutan yang dikemukakan Sinta Uli terdiri dari beberapa pihak yaitu:23

1. Pengirim Barang

Pengirim barang dalam sistem angkutan bisa saja bukan pemilik barang, tetapi pihak yang diberikan kuasa untuk melakukan pengiriman barang. Seperti dalam sistem MTO biasanya pengirim barang adalah forwarding

yang memegang B/L FIATA yang oleh karena tidak mempunyai sistem angkutan udara sendiri, maka pengangkut tersebut disubkontrakkan kepada perusahaan angkutan udara. Jadi dalam sistem MTO pihak pengirim barang bukanlah pemilik barang tetapi perusahaan forwarding

yang memberikan kuasa berdasarkan B/L FIATA mensubkontrakkan kepada perusahaan angkutan udara.

23

Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport, Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara, USU Press, Medan, 2006, hal. 87.


(12)

2. Pengangkut

Pihak pengangkut dalam angkutan udara adalah perusahaan angkutan udara yang diberikan kuasa oleh pengirim untuk melakukan pengangkutan barang ke suatu tujuan tertentu.

C. Dokumen-dokumen dalam Pengangkutan Udara

Dokumen pengangkutan udara dengan pesawat udara terdiri atas tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara. Tiket penumpang dan tiket bagasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tetapi undang-undang ini tidak memuat perincian keterangan isi dokumen.24 Pengangkutan udara dengan pesawat udara diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 150 mencantumkan bahwa dokumen pengangkutan udara terdiri dari tiket penumpang pesawat udar, pas masuk pesawat udara (boarding pass), tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag) dan surat muatan udara (airway bill)

1. Tiket Penumpang Pesawat Udara

Pengertian tiket menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ialah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.

24


(13)

Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif. Tiket Penumpang sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 paling sedikit memuat :

a. Nomor, tempat, dan tanggal penerbitan

b. Nama penumpang dan nama pengangkut

c. Tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan

d. Nomor penerbangan

e. Tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada dan

f. Pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam

Undang-Undang ini.

Menurut ketentuan OPU Indonesia, tiket penumpang diterbitkan tidak atas nama (niet op naam) sebab dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan mencantumkan nama penumpang. Pasal itu hanya memuat butir-butir berikut ini:25

a. Tempat dan tanggal penerbitan b. Bandara pemberangkatan dan tujuan

c. Pendaratan yang direncanakan di tempat antara bandara pemberangkatan dan tujuan mengingat hak pengangkut udara untuk mengajukan syarat bahwa dia bila perlu dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan

d. Nama dan alamat pengangkut udara

e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur oleh ordonansi ini atau Perjanjian Warsawa Pasal 5 ayat (1) OPU Indonesia.

Dalam praktik perjanjian pengangkutan udara, nama penumpang justru harus dicantumkan dalam tiket penumpang. Tiket penumpang harus diterbitkan

25


(14)

“atas nama” (on name). Pencantuman nama penumpang perlu karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan untuk kepastian dalam pengangkutan udara.26 Tiket tidak perlu dinyatakan merupakan perjanjian pengangkutan udara namun tetap tiket itu merupakan tanda bukti adanya perjanjian pengangkutan udara, dan perjanjian pengangkutan udara itu tetap bersifat konsensuil.27

2. Pas Masuk Pesawat Udara (Boarding Pass)

Pengangkut harus menyerahkan pas masuk pesawat udara, pas masuk pesawat udara pada pasal 152 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 paling sedikit memuat:

a. Nama penumpang

b. Rute penerbangan

c. Nomor penerbangan

d. Tanggal dan jam keberangkatan

e. Nomor tempat duduk

f. Pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara (boarding gate) dan

g. Waktu masuk pesawat udara (boarding time).

3. Tanda Pengenal Bagasi (baggage identification/claim tag)

Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, mewajibkan menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada pasal 150 huruf c kepada penumpang. Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 153 ayat (1) paling sedikit memuat:

a. Nomor tanda pengenal bagasi

b. Kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan

c. Berat bagasi

26

Ibid, 135-136. 27


(15)

Tiket Bagasi merupakan tanda bukti penitipan barang, yang nanti bila penumpang turun dari pesawat terbang, barang bagasi itu akan diminta kembali. Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan bagasi

ini merupakan “accessoire verbintenis.” Jadi, tiket bagasi itu hubungannya erat sekali dengan perjanjian pengangkutan, meskipun begitu dengan tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket bagasi itu tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam OPU (Pasal 6 ayat (5) OPU), akan tetapi bila pengangkut udara menerima bagasi untuk diangkut tanpa memberikan suatu tiket bagasi, maka dia tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan OPU, yang meniadakan atau membatasi tanggung jawab.

Dari ketentuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk kepentingan sendiri, pengangkutan udara harus memberikan tiket bagasi kepada penumpang, sebab kalau tidak, dia sendiri akan rugi bila barang bagasi hilang atau rusak.28

4. Surat Muatan Udara (Airway bill)

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang dimaksud Surat Muatan Udara (Airway bill) adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian pengangkutan udara antara pengirim kargo dan pengangkut, dan hak penerima kargo untuk mengambil kargo. Surat muatan udara dibuat dalam rangkap tiga oleh pengirim, bagian pertama untuk perusahaan penerbangan yang ditandatangani oleh pengirim, bagian kedua untuk penerima barang yang

28


(16)

ditandatangani oleh perusahaan penerbangan dengan pengirim barang dan bagian ketiga untuk pengirim yang ditandatangani oleh perusahaan penerbangan pada saat barang diserahkan oleh pengirim kepada perusahaan penerbangan. Tanda tangan tersebut dapat dilakukan dengan stempel atau tanda tangan asli.

Bilamana diminta oleh pengirim, perusahaan penerbangan membuat surat muatan udara (Airway Bill), perusahaan penerbangan dianggap bekerja untuk dan atas nama pengirim kecuali secara tegas terbukti sebaliknya.29

Menurut Pasal 10 OPU, surat muatan udara harus berisi:30

1. Tempat dan tanggal surat muatan udara itu dibuat

2. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan

3. Pendaratan-pendaratan yang direncanakan dengan mengikat hak pengangkut

udara untuk merubah rencana itu bila perlu

4. Nama dan alamat pengangkut pertama

5. Nama dan alamat pengirim

6. Nama dan alamat penerima

7. Macam barang

8. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa atau nomor

barang-barang

9. Berat, jumlah, besar atau ukuran barang-barang

10.Keadaan luar barang-barang dan pembungkusannya

11.Uang angkutan udara, tanggal dan tempat pembayaran, dan orang-orang yang harus membayar

12.Jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran, harga barang-barang dan jumlah biaya-biaya

13.Jumlah nilai barang-barang

14.Dalam rangkap berapa surat muatan udara dibuat

15.Surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai barang-barang 16.Lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang rute yang

ditempuh

17.Pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk pada ketentuan-ketentuan tanggung jawab yang diatur dalam OPU atau perjanjian Warsawa.

29

K. Martono, Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009,Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 268-269.

30


(17)

Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa surat muatan udara ini isinya lebih lengkap daripada tiket penumpang atau tiket bagasi, tetapi kedudukan hukumnya sama saja dengan tiket penumpang atau tiket bagasi.31 Pada OPU surat muatan udara ialah apabila seorang akan mengirim barang menggunakan pesawat udara sedangkan dia sendiri tidak turut pergi maka pengirim barang itu memberikan surat muatan kepada pengangkut udara. Sebaliknya pengirim berhak minta kepada pengangkut untuk menerima surat muatan udara tersebut.

Dokumen yang diperlukan dalam pengiriman barang/kargo ada dua yaitu: 1. SMU (Surat Muatan Udara) khusus untuk penerbangan domestik.

Surat muatan udara sebagaimana dimaksud pada Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, paling sedikit memuat:

a. Tanggal dan tempat surat muatan udara di buat

b. Tempat pemberangkatan dan tujuan

c. Nama dan alamat pengangkut pertama

d. Nama dan alamat pengirim kargo

e. Nama dan alamat penerima kargo

f. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa, atau nomor kargo yang ada

g. Jumlah, berat, ukuran, atau besarnya kargo

h. Jenis atau macam kargo yang dikirim, dan

i. Pernyataan bahwa pengangkutan kargo ini tunduk pada ketentuan dalam

undang-undang ini.

Angkutan kargo juga diatur dalam Pasal 4 Konvensi Montreal 1999, Menurut pasal tersebut, perusahaan penerbangan harus menyerahkan surat muatan udara (Airway Bill) kepada pengirim barang. Surat muatan udara dapat diganti dengan sarana apapun untuk penyerahan, apabila digunakan sarana lain dari surat

31


(18)

muatan udara perusahaan penerbangan harus menyerahkan kepada pengirim pada saat penyerahan barang oleh pengirim kepada perusahaan penerbangan. Surat muatan udara tersebut berisikan antara lain indikasi bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan, apabila bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan berada dalam satu wilayah negara anggota konvensi Montreal 1999, harus ada satu atau lebih pendaratan antara (intermediate lending) di negara lain walaupun bukan negara anggota konvensi Montreal 1999.

2. AWB (Airway Bill) khusus untuk penerbangan internasional

Dokumen yang digunakan dalam pengangkutan kargo udara dikenal dengan airway bill atau surat kargo udara yang harus berisi 18 elemen sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Konvensi Warsawa 1929. Pengadilan menetapkan yang terpenting adalah Pasal 8c karena itu yang akan menentukan apakah suatu pengangkutan itu tunduk pada konvensi atau tidak.

Fungsi surat kargo udara adalah untuk dapat diterapkannya Konvensi. Hal ini merupakan kompromi dari dua kehendak yaitu kehendak pertama berpendapat bahwa untuk melindungi para pihak dalam pengangkutan harus dengan surat kargo udara dan kehendak kedua berpendapat bahwa untuk melindungi kepentingan para pihak diserahkan kepada para pihak sendiri yaitu dengan cara pengirim membuat surat kargo dan ditandatangani oleh pengangkut.

Maksud Konvensi menyerahkan pembuatan atau pengisian surat kargo udara kepada pengirim agar terjamin akuratnya karena pengirim dianggap paling mengetahui tentang kargo yang dikirimnya. Oleh karena itu, ketidakakuratan surat kargo udara menjadi tanggung jawab pengirim. Dalam hal surat kargo udara


(19)

dibuat oleh pengangkut atau agennya jika terjadi kesalahan atau keterangan yang berbeda maka tanggung jawab pengangkut akan lebih besar karena segala keterangan dianggap benar. Surat kargo udara merupakan bukti adanya kontrak, penyerahan kargo, dan penerimaan persyaratan perjanjian, juga merupakan instruksi kepada pengangkut dimana dan kepada siapa kargo diserahkan dan siapa yang akan membayar.

Dalam praktiknya surat kargo udara sudah distandarisasikan sehingga para pihak hampir tidak mungkin membicarakan persyaratan kontrak. Dengan demikian, kontrak itu menjadi kontrak baku (standart contract). Namun, surat kargo udara bukan merupakan syarat mutlak adanya kontrak pengangkutan, hanya sebagai alat pembuktian adanya kontrak. Bagi pengangkut, menerbitkan surat kargo udara bukan merupakan kewajiban tetapi merupakan hak, namun secara sepintas hak ini mempunyai konsekuensi yang merugikan pengangkut dan bukannya merugikan pengirim.

D. Perjanjian Pengangkutan Udara

Sebelum membahas apa itu perjanjian pengangkutan udara kita perlu mengetahui apa itu perjanjian secara umum. Istilah “Perjanjian” dalam “Hukum

Perjanjian” merupakan kesepakatan dari istilah “Overeenkomst” dalam bahasa

Belanda, atau “Agreement” dalam bahasa Inggris.32 Perjanjian secara umum diatur dalam KUH Perdata. Pengertian perjanjian di dalam KUH Perdata ialah

32

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 2.


(20)

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Pada Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, sedangkan Buku III KUH Perdata itu sendiri tidak memberikan rumus tentang perikatan. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.33

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.34

Untuk syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat artinya terjadi kesesuaian kehendak antara para pihak.Kesesuaian kehendak ini terjadi pada saat melakukan negosiasi penawaran (offer) telah diterima (acceptance). Kesepakatan dianggap tidak terjadi, meskipun terjadi penandatanganan kontrak apabila terjadi paksaan, penipuan, ataupun khilafan

33

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 1.

34

S.B. Marsh and J. Soulsby, BusinessLaw, By Mc Graw-Hill Book Company(UK) Ltd, 1978, hal. 93.


(21)

dan kekeliruan. Jika kesepakatan ini tidak tercapai meskipun terjadi perjanjian, maka status perjanjian yang demikian adalah dapat dibatalkan, artinya pihak tertentu dapat mengajukan pembatalan.Jika pembatalan tidak dilakukan, maka perjanjian tersebut berjalan terus.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Cakap maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian apabila orang-perorangan sudah dewasa, sehat akal fikiran, dan tidak di bawah perwalian atau pengampuan. Apabila yang melakukan perjanjian adalah suatu badan hukum atau organisasi, maka harus orang yang mempunyai kemampuan atau kompeten untuk melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga dapat dibatalkan.

Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum: a. Anak di bawah umur (minderjarigheid)

b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan c. Istri

Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dalam melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.35

3. Suatu hal tertentu

Objek yang diperjanjiakan adalah hal tertentu maksudnya isi perjanjian harus jelas spesifikasinya, sehingga obyeknya mudah diidentifikasi keberadaannya. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka status perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula perjanjian dianggap tidak ada, sehingga tidak

35

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Mataram, 2003, hal. 24.


(22)

dapat dilaksanakan, dan kalau terjadi ingkar janji, maka tidak dapat dituntut di pengadilan.

4. Suatu sebab yang halal

Objek yang diperjanjikan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan.Jika hal ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga batal demi hukum.36

Adapun Asas-asas Hukum Kontrak antara lain sebagai berikut:37 1. Asas Konsensualisme

Asas ini sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu.

Asas ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku pada kontrak konsensual sedangkan pada kontrak formal dan riel tidak berlaku.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak berdasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

36

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6. 37

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3-5


(23)

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian

d. Bebas menentukan bentuk perjanjian, dan

e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung perjanjian-perjanjian yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.

4. Asas Iktikad Baik

Asas ini merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian, ketentuan ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.

Setelah mengetahui perjanjian secara umum barulah masuk kepada perjanjian pengangkutan, perjanjian pengangkutan ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari


(24)

satu ke lain tempat sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.38

Perjanjian pengangkutan menurut Abdulkadir Muhammad adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan tetapi didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan mengikat.39

Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkut baru diselenggarakan setelah biaya angkutan dibayar terlebih dahulu, di samping ketentuan undang-undang juga berlaku kebiasaan masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan kemudian. Perjanjian pengangkutan biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam arti luas, yaitu kegiatan memuat, membawa, dan menurunkan/membongkar, kecuali bila dalam perjanjian telah ditentukan lain.

Menurut undang-undang seorang juru-pengangkut (bahasa Belanda:

vervoerder, bahasa Inggris: cerrier) hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengangkutan saja, jadi tidaklah perlu bahwa ia sendiri mengusahakan sebuah alat-pengangkutan, meskipun pada umumnya (biasannya) ia sendiri yang mengusahakannya. Selanjutnya menurut undang-undang ada perbedaan antara seorang pengangkut dan seorang ekspeditur, yang terakhir ini hanya memberikan jasa-jasanya dalam soal pengiriman barang saja dan pada hakekatnya hanya

38

R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 69. 39


(25)

memberikan perantaraan antara pihak yang hendak mengirimkan barang dari pengangkutan pihak pengangkut adalah bebas untuk memilih sendiri alat pengangkutan yang hendak dipakainya.

Sebagaimana dengan perjanjian-perjanjian lain, kedua belah pihak diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri segala hal mengenai pengangkutan yang akan diselenggarakan itu. Apabila terjadi kelalaian pada salah satu pihak, maka akibat-akibatnya ditetapkan sebagaimana berlaku untuk perjanjian-perjanjian pada umumnya dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam perjanjian pengangkutan itu pihak pengangkut dapat dikatakan sudah mengakui menerima barang-barang dan menyanggupi untuk membawanya ketempat yang telah ditunjuk dan menyerahkannya kepada orang yang dialamatkan. Kewajiban yang terakhir ini dapat dipersamakan dengan kewajiban seorang yang harus menyerahkan suatu barang berdasarkan suatu perikatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1235 BW, dalam perikatan mana termaksud

kewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang tersebut sebagai “seorang bapak rumah yang baik”. Apabila si pengangkut melalaikan kewajibannya, maka

pada umumnya akan berlaku peraturan-peraturan yang untuk itu telah ditetapkan dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pula, yaitu dalam pasal 1243 dan selanjutnya.

Biasanya ongkos pengangkut dibayar oleh pengirim barang, tetapi ada kalanya juga ongkos itu dibayar oleh orang yang dialamatkan. Bagaimanapun


(26)

juga si pengangkut selalu berhak menuntut pembayaran ongkos pengangkutan itu kepada kedua-duanya, yaitu baik kepada si pengirim, maupun kepada si penerima barang. Perjanjian pengangkutan ini tidak diatur dalam BW, tetapi mengenai pengangkutan terdapat berbagai peraturan diluar BW. Meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya sudah harus tunduk pada pasal-pasal dari bagian umum dari hukum perjanjian BW, akan tetapi oleh undang-undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang bertujuan untuk kepentingan umum membatasi kebebasan dalam hal membuat perjanjian pengangkutan, yaitu dengan meletakan berbagai kewajiban khusus kepada pihaknya si pengangkut yang tidak boleh disingkirkan dalam perjanjian.40

Sifat hukum perjanjian pengangkutan, dalam perjanjian pengangkutan kedudukan para pihak, yaitu pengirim dan pengangkut sama tinggi tidak seperti pada perjanjian perburuhan, di mana para pihak tidak sama tinggi, yakni majikan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada si buruh. Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan ini disebut kedudukan subordinasi, sedangkan kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah sama tinggi atau kedudukan koordinasi.41

Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan itu, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak terus-menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan

semacam ini disebut “pelayanan berkala,” sebab pelayanan ini bersifat tetap,

hanya kadang kala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan. Perjanjian

40

R. Subekti, Op. Cit., hal. 70-71. 41


(27)

yang bersifat “pelayanan berkala” ini disinggung dalam Pasal 1601 KUH Perdata.42

Perjanjian pengangkutan bersifat (consensual) yang artinya timbal balik, pihak pengangkut mempunyai kewajiban untuk mengangkut barang ataupun orang dari satu tempat ke tempat lain dengan selamat sedangkan pihak pengirim berkewajiban menyerahkan ongkos yang disepakati serta menyerahkan barang yang dikirim pada alamat tujuan dengan jelas. Ditempat tujuan barang tersebut diserahterimakan kepada penerima yang mana dan alamatnya tercantum dalam surat angkutan sebagai pihak ketiga yang turut serta bertanggung jawab atas penerima barang. Kedudukan pihak penerima barang karena sesuatu perjanjian untuk berbuat sesuatu bagi penerima barang apakah barang itu diterimanya sebagai suatu hadiah.43

Perjanjian pengangkutan dan perjanjian pengangkutan udara itu sendiri tidak diatur secara khusus di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.Hukum Dagang hanya mengatur pengangkutan laut saja. Untuk menyelenggarakan pengangkutan, lebih dahulu harus ada perjanjian antara pengangkut dan penumpang/pengirim. Perjanjian pengangkutan adalah konsep mengenai gejala normatif disebut juga gejala yuridis mengenai pengangkutan.Pengangkutan adalah konsep mengenal gejala peristiwa yang disebut juga gejala empiris mengenal pelaksanaan perjanjian pengangkutan, dan kedua konsep tersebut saling berhubungan erat.44

42

Ibid.

43

Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang Dan Penumpang, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1995 , hal. 67.

44


(28)

Perjanjian pengangkutan udara dijelaskan pada Pasal 1 ayat (29) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 berbunyi:

“perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.”

Dalam kontrak pengangkutan, materi kontrak adalah penyerahan kargo dari pengirim kepada pengangkut atau agen pengangkut. Hal ini sesuai dengan persyaratan umum (general condition) IATA Pasal 6 ayat (3) yang menyatakan perjanjian mengikat segera setelah pengangkut menyetujui untuk mengangkut kargo dengan surat kargo udara (the contract as soon as a carrier agrees to transport the good with airway bill) yang menimbulkan dugaan pengangkut sudah menandatangani surat kargo udara pada waktu kargo diserahkan. Ketentuan ini memungkinkan surat kargo udara hak adalah dapat menolak sudah ditandatangani, sedangkan kargo belum diserahkan kepada pengangkut, oleh karena itu, penerapannya harus dikaitkan pula dengan asas konsensual consideration, dan

equity dalam perjanjian pengangkutan udara.

E. Penyelenggaraan Pengangkutan Udara

Konsep penyelenggaraan pengangkutan di mana perjanjian pengangkutan yang dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengirim. Antara kedua belah pihak tercipta hubungan kewajiban dan hak yang perlu direalisasikan melalui proses penyelenggaraan pengangkutan dan pembayaran biaya pengangkutan. Proses penyelenggaraan pengangkutan adalah rangkaian perbuatan pemuatan penumpang atau barang ke


(29)

dalam alat pengangkut, pemindahan penumpang atau barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan yang telah disepakati, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang di tempat tujuan.45

Proses penyelenggaraan pengangkutan kereta api, darat, laut, dan udara yang terdiri atas serangkaian perbuatan pemuatan, pemindahan, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang akan melibatkan berbagai perusahaan penunjang pengangkutan. Tanpa didukung oleh perusahaan penunjang tersebut, penyelenggaraan pengangkutan akan sulit berlangsung secara cepat, lancar, dan tepat guna. Beberapa perusahaan penunjang penyelenggaraan pengangkutan yang dimaksud antara lain adalah:46

a. Perusahaan keagenan penumpang (trevel agency)

Yang bergerak di bidang jasa pengantara pengangkutan penumpang antara perusahaan pengangkutan dan penumpang. Contohnya adalah travel agent dan travel bureau.

b. Perusahaan ekspedisi muatan (cargo agency)

Yang bergerak di bidang jasa pengantar pengangkutan barang antara perusahaan pengangkutan dan pengirim barang. Contohnya adalah ekspedisi muatan kereta api (EMKA), dan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), ekspedisi muatan kapal udara (EMKU) yang umumnya disebut Cargo Forwarding Company.

45

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 173 46


(30)

c. Perusahaan muat bongkar (cargo handling company)

Yang bergerak di bidang jasa pemuatan barang ke dalam alat pengangkutan atau jasa pembongkaran barang dari alat pengangkutan ke dermaga atau tempat yang ditentukan.

d. Perusahaan pergudangan (warehousing company)

Yang bergerak di bidang jasa penyimpanan barang yang akan dimuat ke dalam atau barang yang dibongkar dari alat pengangkut guna memudahkan proses penyelesaian dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan dan penyerahan barang.47

Lingkup penyelenggaraan pengangkutan, apabila diperinci, proses penyelenggaraan pengangkutan kereta api, darat, perairan, dan udara selalu meliputi lima tahap kegiatan, yaitu tahap persiapan, pemuatan, pengangkutan, penurunan/pembongkaran, dan penyelesaian. Setiap tahap diuraikan satu demi satu seperti berikut ini:48

a. Tahap persiapan

Pada tahap ini para penumpang atau pengirim mengurus penyelesaian biaya pengangkutan dan dokumen pengangkutan serta dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan bagi pengangkutan barang, misalnya dokumen perpajakan dan dokumen perizinan. Pengangkut menyediakan alat pengangkut pada hari, tanggal, dan waktu yang telah disepakati berdasarkan dokumen pengangkutan yang telah diterbitkan. Pengurusan biaya pengangkutan dan dokumen pengangkutan serta dokumen-dokumen lainnya oleh penumpang atau

47

Ibid. hal.174. 48


(31)

pengirim dapat diwakilkan kepada pihak lain, seperti agen perjalanan ataupun perusahaan ekspedisi muatan.

b. Tahap Pemuatan

Pada tahap ini penumpang yang sudah memiliki karcis/tiket penumpang dapat naik dan masuk alat pengangkutan yang telah disediakan berdasarkan peraturan dan tata tertib yang berlaku. Pada pengangkutan barang, pengirim atau ekspeditur yang mewakilinya menyerahkan barang kepada pengangkut untuk dimuat dalam alat pengangkut atau pengirim menyerahkan barang kepada perusahaan jasa di bidang muat bongkar untuk dimuat ke dalam alat pengangkut.

c. Tahap pengangkutan

Pada tahap ini pengangkut menyelenggarakan pengangkutan, yaitu kegiatan memindahkan penumpang atau barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan dengan menggunakan alat pengangkut yang sesuai dengan jenis perjanjian pengangkutan. Tempat pemberangkatan dan tempattujuan dilakukan pemeriksaan atau pengecekan (check point) dokumen dan barang yang diangkut guna menetapkan apakah penumpang atau barang yang diangkut itu sah menurut undang-undang atau sah untuk dapat dilakukan tindakan pengamanan.

d. Tahap penurunan/pembongkaran

Pada tahap ini penumpang diturunkan dari alat pengangkut karena pengangkutan sudah berakhir di tempat tujuan, sedangkan pada pengangkutan barang kegiatannya adalah pembongkaran barang dari alat pengangkut.Pada


(32)

tahap ini pengangkut menyerahkan barang kepada penerima dan penerima menyerahkan pembongkaran barangnya kepada perusahaan jasa di bidang usaha muat bongkar dan meletakkannya ke tempat yang telah disepakati.Penerima menyerahkan pengurusan selanjutnya kepada ekspeditur, baik mengenal barang maupun dokumen.

e. Tahap penyelesaian

Pada tahap ini pihak-pihak menyelesaikan persoalan yang terjadi selama atau sebagai akibat pengangkutan.Penumpang yang mengalami kecelakaan, luka, atau meninggal dunia diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kesepakatan. Pada pengangkutan barang, pengangkut menerima biaya pengangkutan dan biaya-biaya lainnya dari penerima jika belum dibayar oleh penerima. Pengangkut menyelesaikan semua klaim ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab jika itu timbul akibat penyelenggaraan pengangkutan.

Peningkatan permintaan jasa angkutan udara oleh masyarakat, harus diimbangi dengan sistem penyelenggaraan angkutan yang dapat memenuhi seluruh jenis kebutuhan masyarakat secara terpadu. Sebagai akibat berhasilnya pembangunan nasional, kebutuhan jasa angkutan udara tidak terbatas pada kebutuhan untuk memindahkan orang, barang dari satu tempat ke tempat lain secara komersial, melainkan kebutuhan angkutan barang maupun orang untuk menunjang badan usaha yang lain seperti penerbangan perminyakan, perkebunan dan sebagainya.


(33)

Penerbangan komersial harus diusahakan agar setiap saat yang telah ditentukan tersedia angkutan udara. Untuk maksud ini telah diselenggarakan adanya penerbangan berjadwal walaupun tarif angkutan relatif lebih mahal. Sebaliknya, untuk pemerataan kenikmatan jasa angkutan udara oleh masyarakat, perlu diselenggarakan tarif angkutan yang relatif lebih murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada umumnya.Hal ini dapat diselenggarakan dengan penerbangan carter (charter flight), walaupun mereka harus mengorbankan waktunya.49

Proses penyelenggaraan pengangkutan adalah rangkaian perbuatan pemuatan penumpang atau barang ke dalam alat pengangkut, pemindahan penumpang atau barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan yang telah disepakati, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang di tempat tujuan.

1. Kegiatan di Bandara Pemberangkatan

Setiap pesawat udara sipil Indonesia yang dipergunakan untuk terbang wajib dilakukan pemeriksaan dan pengujian.Hasil pemeriksaan dan pengujian yang memenuhi persayaratan dibuktikan dengan sertifikat kelayakan udara standar pertama (airworthiness). Persayaratan untuk memperoleh sertifikat kelayakan udara standar pertama adalah:50

a. Telah terdaftar sebagai pesawat sipil Indonesia.

49

K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hal. 62.

50


(34)

b. Pesawat diproduksi dan telah dilakukan uji terbang produksi dansesuai dengan kategori sertifikat tipe pesawat udara tersebut.

c. Telah diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan sertifikat tipe dan aman untuk dioperasikan.

d. Memenuhi persyaratan baru impor harus telah diperiksa dan sesuai dengan sertifikat tipe validasi Indonesia.

e. Bagi pesawat bekas impor harus sesuai dengan program perawatan pabrik pembuat atau dengan program perawatan yang setara.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, setelah terjadi perjanjian pengangkutan udara, penumpang atau pengirim melunasi biaya pengangkutan udara yang dibuktikan dengan dokumen pengangkutan udara. Pengangkut (perusahaan pengangkutan udara) menyediakan pesawat udara di bandara keberangkatan.Pengangkutan udara niaga hanya dapat dilakukan oleh badan usaha pengangkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha pengangkutan udara niaga berjadwal.51

Badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan pengangkutan udara niaga tidak terjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dapat dilakukan atas inisiatif instansi pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha pengangkutan udara niaga nasional.

51


(35)

Menurut Pasal 85 Undang-Undang Penerbangan, kegiatan pengangkutan udara niaga tidak berjadwal dilaksanakan oleh badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud diatas tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal lainnya.

Untuk menyelenggarakan pengangkutan udara niaga, pengangkut mengizinkan penumpang yang sudah memiliki tiket naik ke pesawat udara di bandara pemberangkatan pada hari, tanggal, dan waktu yang ditetapkan berdasarkan jadwal penerbangan. Pengirim menyerahkan barang untuk dimuat ke dalam pesawat udara bersama dengan surat muatan udara. Menurut ketentuan OPU Indonesia, surat muatan udara asli dibuat oleh pengirim dengan rankap tiga dan diserahkan bersama-sama dengan barang. Lembar pertama memuat kata-kata

“untuk pengangkut” ditandatangani oleh pengirim, lembar kedua memuat kata-kata

“untuk penerima” ditandatangani oleh pengirim dan pengangkut yang dikirim bersama-sama dengan barang, lembar ketiga ditandatangani oleh pengangkut dan setelah barang diterimanya, lembar ketiga tersebut diserahkan kepada pengirim. Tanda tangan pengangkut dan pengirim dapat dicetak atau diganti dengan cap. Jika pengangkut membuat surat muatan, dia dianggap bertindak atas tanggungan pengirim, kecuali jika ada bukti yang menyatakan sebaliknya.52

52


(36)

Berdasarkan praktik pengangkutan udara, perusahaan pengangkutan udara sudah menyiapkan formulir surat muatan udara yang dicetak, yang memenuhi ketentuan Undang-Undang Pengangkutan Udara. Setiap orang yang akan mengirim barang meminta formulir surat muatan udara kepada pengangkut dan mengisi formulir tersebut dalam rangkap tiga. Formulir yang sudah diisi tersebut diserahkan bersama-sama dengan barang kepada pengangkut. Sejak barang diterima pengangkut, barang berada dalam penjagaan, pengawasan, dan pemeliharaan pengangkutan, baik di bandara, di dalam pesawat udara, maupun di mana saja dalam hal pendaratan di luar bandara.Penjagaan, pengawasan, pemeliharaan ini berlaku juga bagi penumpang53.

2. Pelaksanaan Pengangkutan Udara

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, untuk kelancaran dan keselamatan pengangkutan udara, setiap personal navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoprasional dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku. Lisensi yang dimaksud diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memiliki persyaratan:

a. Administrasi

b. Sehat jasmani dan rohani

c. Memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya d. Lulus ujian

53


(37)

Sertifikat kompetensi yang dimaksud pada Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 berbunyi:

sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Menteri Perhubungan”.

Personal navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikenakan sanksi administrasi berupa:

a. Peringatan

b. Pembekuan lisensi c. Pencabutan lisensi

Pada Pasal 294 menerangkan bahwa lisensi personal navigasi penerbangan yang telah diberikan oleh Negara lain dinyatakan sah melaui proses pegesahan atau validasi oleh Menteri Perhubungan.

Selama tebang, pilot pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk keamanan dan keselamatan penerbangan. Maksud dari “selama terbang” adalah sejak saat semua pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (debarkasi). Kewenangan yang ditetapkan dalam ketentuan ini memberikan landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh pilot pesawat udara dalam rangka keamanan dan keselamatan khusus yang terjadi selama penerbangan sesuai dengan kompetensinya sebagai pilot. Kewenangan ini dapat diperoleh pilot dari Badan Usaha Penerbangan berdasarkan kontrak penerbangan.


(38)

3. Kegiatan di Bandara Tujuan

Setelah pesawat udara mendarat di bandara tujuan, pengangkut membolehkan penumpang turun dari pesawat udara dan pengangkut wajib memberi tahu penerima barang, kecuali jika diperjanjian sebaliknya. Penerima berhak menuntut penyerahan barang dan surat muatan udara setelah dia membayar biaya pengangkutan dan memenuhi semua ketentuan dalam surat muatan udara. Penumpang atau penerima yang telah menerima bagasi atau barang tanpa protes dianggap telah menerima dengan baik.54

Dalam hal ada kerusakan ataupun kehilangan, penerima harus mengajukan protes kepada pengangkut segera setelah kerusakan atau kehilangan itu diketahui selambat-lambatnya dalam waktu 3 hari untuk bagasi dan 7 hari untuk barang (cargo) terhitung mulai hari penerimaannya. Dalam hal ada kelambatan, protes harus diajukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari sesudah hari penyerahan bagasi aatau barang kepada penerima. Protes harus diajukan secara tertulis dengan cara membubuhkan catatan diatas surat muatan udara atau dengan membuat surat lain. Jika dalam jangka waktu yang ditentukan itu tidak diajukan protes, hak menuntut terhadap pengangkut hapus, kecuali jika ada penipuan oleh pengangkutan. Tibanya penumpang dengan selamat dan penyerahan barang kepada penerima, serta penyelesaian segala kewajiban dan hak pihak-pihak, maka berakhirlah perjanjian pengangkut udara.55

54

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 195. 55


(1)

Penerbangan komersial harus diusahakan agar setiap saat yang telah ditentukan tersedia angkutan udara. Untuk maksud ini telah diselenggarakan adanya penerbangan berjadwal walaupun tarif angkutan relatif lebih mahal. Sebaliknya, untuk pemerataan kenikmatan jasa angkutan udara oleh masyarakat, perlu diselenggarakan tarif angkutan yang relatif lebih murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada umumnya.Hal ini dapat diselenggarakan dengan

penerbangan carter (charter flight), walaupun mereka harus mengorbankan

waktunya.49

Proses penyelenggaraan pengangkutan adalah rangkaian perbuatan pemuatan penumpang atau barang ke dalam alat pengangkut, pemindahan penumpang atau barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan yang telah disepakati, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang di tempat tujuan.

1. Kegiatan di Bandara Pemberangkatan

Setiap pesawat udara sipil Indonesia yang dipergunakan untuk terbang wajib dilakukan pemeriksaan dan pengujian.Hasil pemeriksaan dan pengujian yang memenuhi persayaratan dibuktikan dengan sertifikat kelayakan udara

standar pertama (airworthiness). Persayaratan untuk memperoleh sertifikat

kelayakan udara standar pertama adalah:50

a. Telah terdaftar sebagai pesawat sipil Indonesia.

49

K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Penerbit Alumni, Bandung, 1987, hal. 62.

50


(2)

b. Pesawat diproduksi dan telah dilakukan uji terbang produksi dansesuai dengan kategori sertifikat tipe pesawat udara tersebut.

c. Telah diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan sertifikat tipe dan aman untuk

dioperasikan.

d. Memenuhi persyaratan baru impor harus telah diperiksa dan sesuai dengan

sertifikat tipe validasi Indonesia.

e. Bagi pesawat bekas impor harus sesuai dengan program perawatan pabrik

pembuat atau dengan program perawatan yang setara.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, setelah terjadi perjanjian pengangkutan udara, penumpang atau pengirim melunasi biaya pengangkutan udara yang dibuktikan dengan dokumen pengangkutan udara. Pengangkut (perusahaan pengangkutan udara) menyediakan pesawat udara di bandara keberangkatan.Pengangkutan udara niaga hanya dapat dilakukan oleh badan usaha pengangkutan udara nasional yang telah mendapat

izin usaha pengangkutan udara niaga berjadwal.51

Badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan pengangkutan udara niaga tidak terjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud dapat dilakukan atas inisiatif instansi pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha pengangkutan udara niaga nasional.

51


(3)

Menurut Pasal 85 Undang-Undang Penerbangan, kegiatan pengangkutan udara niaga tidak berjadwal dilaksanakan oleh badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud diatas tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha pengangkutan udara niaga berjadwal lainnya.

Untuk menyelenggarakan pengangkutan udara niaga, pengangkut

mengizinkan penumpang yang sudah memiliki tiket naik ke pesawat udara di bandara pemberangkatan pada hari, tanggal, dan waktu yang ditetapkan berdasarkan jadwal penerbangan. Pengirim menyerahkan barang untuk dimuat ke dalam pesawat udara bersama dengan surat muatan udara. Menurut ketentuan OPU Indonesia, surat muatan udara asli dibuat oleh pengirim dengan rankap tiga dan diserahkan bersama-sama dengan barang. Lembar pertama memuat kata-kata

“untuk pengangkut” ditandatangani oleh pengirim, lembar kedua memuat kata-kata

“untuk penerima” ditandatangani oleh pengirim dan pengangkut yang dikirim bersama-sama dengan barang, lembar ketiga ditandatangani oleh pengangkut dan setelah barang diterimanya, lembar ketiga tersebut diserahkan kepada pengirim. Tanda tangan pengangkut dan pengirim dapat dicetak atau diganti dengan cap. Jika pengangkut membuat surat muatan, dia dianggap bertindak atas tanggungan

pengirim, kecuali jika ada bukti yang menyatakan sebaliknya.52

52


(4)

Berdasarkan praktik pengangkutan udara, perusahaan pengangkutan udara sudah menyiapkan formulir surat muatan udara yang dicetak, yang memenuhi ketentuan Undang-Undang Pengangkutan Udara. Setiap orang yang akan mengirim barang meminta formulir surat muatan udara kepada pengangkut dan mengisi formulir tersebut dalam rangkap tiga. Formulir yang sudah diisi tersebut diserahkan bersama-sama dengan barang kepada pengangkut. Sejak barang diterima pengangkut, barang berada dalam penjagaan, pengawasan, dan pemeliharaan pengangkutan, baik di bandara, di dalam pesawat udara, maupun di mana saja dalam hal pendaratan di luar bandara.Penjagaan, pengawasan,

pemeliharaan ini berlaku juga bagi penumpang53.

2. Pelaksanaan Pengangkutan Udara

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,

untuk kelancaran dan keselamatan pengangkutan udara, setiap personal navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoprasional dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku. Lisensi yang dimaksud diberikan oleh Menteri Perhubungan setelah memiliki persyaratan:

a. Administrasi

b. Sehat jasmani dan rohani

c. Memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya

d. Lulus ujian

53


(5)

Sertifikat kompetensi yang dimaksud pada Pasal 292 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 berbunyi:

sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Menteri Perhubungan”.

Personal navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikenakan sanksi administrasi berupa:

a. Peringatan

b. Pembekuan lisensi

c. Pencabutan lisensi

Pada Pasal 294 menerangkan bahwa lisensi personal navigasi penerbangan yang telah diberikan oleh Negara lain dinyatakan sah melaui proses pegesahan atau validasi oleh Menteri Perhubungan.

Selama tebang, pilot pesawat udara yang bersangkutan mempunyai

wewenang mengambil tindakan untuk keamanan dan keselamatan penerbangan.

Maksud dari “selama terbang” adalah sejak saat semua pintu luar pesawat udara

ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk

penurunan penumpang (debarkasi). Kewenangan yang ditetapkan dalam

ketentuan ini memberikan landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh pilot pesawat udara dalam rangka keamanan dan keselamatan khusus yang terjadi selama penerbangan sesuai dengan kompetensinya sebagai pilot. Kewenangan ini dapat diperoleh pilot dari Badan Usaha Penerbangan berdasarkan kontrak penerbangan.


(6)

3. Kegiatan di Bandara Tujuan

Setelah pesawat udara mendarat di bandara tujuan, pengangkut

membolehkan penumpang turun dari pesawat udara dan pengangkut wajib memberi tahu penerima barang, kecuali jika diperjanjian sebaliknya. Penerima berhak menuntut penyerahan barang dan surat muatan udara setelah dia membayar biaya pengangkutan dan memenuhi semua ketentuan dalam surat muatan udara. Penumpang atau penerima yang telah menerima bagasi atau barang

tanpa protes dianggap telah menerima dengan baik.54

Dalam hal ada kerusakan ataupun kehilangan, penerima harus mengajukan protes kepada pengangkut segera setelah kerusakan atau kehilangan itu diketahui selambat-lambatnya dalam waktu 3 hari untuk bagasi dan 7 hari untuk barang (cargo) terhitung mulai hari penerimaannya. Dalam hal ada kelambatan, protes harus diajukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 hari sesudah hari penyerahan bagasi aatau barang kepada penerima. Protes harus diajukan secara tertulis dengan cara membubuhkan catatan diatas surat muatan udara atau dengan membuat surat lain. Jika dalam jangka waktu yang ditentukan itu tidak diajukan protes, hak menuntut terhadap pengangkut hapus, kecuali jika ada penipuan oleh pengangkutan. Tibanya penumpang dengan selamat dan penyerahan barang kepada penerima, serta penyelesaian segala kewajiban dan hak pihak-pihak, maka

berakhirlah perjanjian pengangkut udara.55

54

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 195.

55