Pelaksanaan Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara Dikaitkan Dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012

(1)

PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN POS YANG DIANGKUT

MELALUI PESAWAT UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

NO. KP. 152 TAHUN 2012

(

Studi pada PT. Garuda Indonesia, Tbk. Cabang Medan)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

RAHMI PAMBPHA P.M NIM : 090200119

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

2

PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN POS YANG DIANGKUT

MELALUI PESAWAT UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN

DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA

NO. KP. 152 TAHUN 2012

(

Studi pada PT. Garuda Indonesia, Tbk. Cabang Medan)

Oleh :

RAHMI PAMBPHA P.M NIM : 090200119

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I

Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing II

Aflah, SH, M.Hum NIP. 197005192002212001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

NAMA : RAHMI PAMBPHA P.M

NIM : 090200119

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

JUDUL SKRIPSI : PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN POS YANG DIANGKUT MELALUI PESAWAT UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NO. KP. 152 TAHUN 2012

(Studi pada PT. Garuda Indonesia, Tbk Cabang Medan)

Dengan ini menyatakan :

1. Skripsi yang saya tulis ini tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Juni 2015

RAHMI PAMBPHA P.M NIM :090200119


(4)

i

ABSTRAK

Rahmi Pambpha P.M* Dr.H. Hasim Purba, SH., M.Hum**

Aflah, SH., M.Hum***

Dalam kehidupan sehari-hari untuk menjangkau wilayah-wilayah di seluruh wilayah bagian Indonesia yang berupa daratan dan sebagian besar perairan yang terdiri atas perairan laut, sungai, dan danau yang sedemikian luas ini membutuhkan banyak pengangkutan melalui daratan, perairan, dan udara yang mampu menjangkau seluruh wilayah negara Indonesia, bahkan ke negara-negara lain. Kenyataan ini mengakibatkan kebutuhan pengangkutan semakin meningkat, baik pengangkutan orang maupun barang (kargo), saat ini pengangkutan kargo yang diangkut melalui pengangkutan udara pelaksanaan pengamanannya masih belum maksimal, masih banyak adanya hal-hal yang janggal terjadi dalam pengangkutan kargo dan pos dengan banyak permasalahan di dalam pengamanannya, permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini ialah bagaimana pelaksanaan dan penerapan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara terkait Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP.152 Tahun 2012, hambatan yang terjadi pada pelaksanaan peraturan tersebut dan bagaimana menyelesaikan masalah yang terjadi dari hambatan tersebut.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain, data primer, data sekunder, dan data tersier. Bahan hukum primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara secara langsung melalui studi lapangan (field research), bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research).

Setiap pengangkutan udara sudah semestinya selalu memperhatikan keamanan penerbangan. Pada dasarnya prosedur pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara yang berlaku pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk telah sesuai dengan peraturan yang ada dengan menggunakan empat konsep keamanan berupa Screening, Ground handeling, X-ray,dan Security Avsec Angkasa Pura, namun setelah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 pelaksanaan pengamanan kargo dan pos pada PT. Garuda Indonesia (Persero). Tbk mendapat hambatan yaitu kebijakan yang membagi dua lini di bandar udara, yang menyebabkan proses pengangkutan kargo menjadi lama, dengan adanya hambatan tersebut pihak maskapai melakukan berbagai penyelesaian dengan menambah SDM, mengeluarkan info-info dan bekerja sama dengan pihak bandar udara.

Kata Kunci:Pengamanan Kargo dan Pos, Pesawat Udara

*

Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

** Pembimbing I, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan *** Pembimbing II, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan


(5)

ii

rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Pelaksanaan Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara Dikaitkan Dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012” (studi pada PT. Garuda Indonesia, Tbk. Cabang Medan).

Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun, sehingga dapat menjadi perbaikan di masa yang akan datang,

Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril maupun materil, untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., M.H, D.F.M, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

iii

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I saya yang telah banyak memberikan bimbingan, bantuan, serta nasihat dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Rabiatul Syariah, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Aflah, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dengan sosok keibuan nan lembutnya telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, menasihati, memberikan saran serta bantuan dalam penulisan skripsi ini hingga selesai, terimakasih banyak bu.

8. Ibu Rabiatul Syariah, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Ibu Sinta Uli, SH., M.Hum, selaku dosen pengajar hukum keperdataan yang telah banyak berjasa mentransfer ilmu-ilmuyang mudah dimengerti dan dipahami selama perkuliahan.

10.Ibu Hj. Puspa Melati, SH., M.Hum, selaku dosen pengajar hukum keperdataan.

11.Bapak dan Ibu Dosen pengajar, serta seluruh staf di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

12.Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan untuk papa dan mama tercinta tersayang Nurmala Sari Tarigan yang telah banyak berkorban, bersusah payah dan begitu tegar selalu ada saat suka duka, merawat, mendidik, membesarkan, menyekolahkan hingga seperti sekarang ini, I love


(7)

iv

Komisariat Fakultas Hukum USU yang tidak dapat disebutkan satu per satu. 15.Keluarga Mapala Natural Justice FH USU, abang-abang pendiri terima kasih

untuk segala bimbingan dan arahannya, perintis, adek-adek angkatan cakrawala, adek-adek angkatan manusia ilusi, yang tidak bisa disebut satu per satu, ayok cepat sarjana, rajin-rajin kuliahnya yang masih kuliah, makasih ya buat dukungan, hiburan, dan semuanya.

16.Sepupu-sepupu tercinta yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

17.Rekan-rekan satu setambuk 2009, Yenny, Nova, Fenny, Angga, Cipo, dan teman-teman lainnya yang pernah sama-sama berjuang.

18.Rekan-rekan se-almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan kita semua, akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Medan, Juni 2015 Penulis

Rahmi Pambpha PM 090200119


(8)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Metode Penelitian ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II :

PENGANGKUTAN UDARA MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009

TENTANG PENERBANGAN

A. Pengertian dan Landasan Hukum Pengangkutan Udara . 15 B. Pihak-pihak yang terkait dalam Pengangkutan Udara .... 24

C. Dokumen-dokumen dalam Pengangkutan Udara ... 26

D. Perjanjian Pengangkutan Udara ... 33

E. Penyelenggaraan Pengangkutan Udara ... 42

BAB III :

PENGAMANAN KARGO YANG DIANGKUT

MELALUI ANGKUTAN UDARA

A. Pengaturan Tentang Pengamanan Kargo Pengangkutan Udara ... 53


(9)

vii

D. Pelaksanaan Pengangkutan Kargo oleh PT.Garuda

Indonesia (Persero), Tbk ... 70

BAB IV :

PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN

POS YANG

DIANGKUT MELALUI PESAWAT

UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN

DIREKTUR

JENDERAL

PERHUBUNGAN

UDARA

NO. KP. 152 TAHUN 2012

A. Penerapan dan Pelaksanaan Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut melalui Pesawat Udara Dikaitkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012 Di PT. Garuda

Indonesia (Persero), Tbk ... 72

B. Hambatan-hambatan yang Dihadapi Dalam

Pelaksanaan Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut melalui Pesawat Udara di PT.Garuda Indonesia (Persero), Tbk. Sebelum dan Sesudah Adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012... 77 C. Penyelesaian Hambatan-hambatan yang Dihadapi

Dalam Pelaksanaan Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut melalui Pesawat Udara di PT.Garuda Indonesia (Persero), Tbk. Sebelum dan Sesudah


(10)

viii

D. Adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012 ... 80

BAB V :

KESIMPULAN DAN SARAN

A.

Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 84


(11)

i

Aflah, SH., M.Hum

Dalam kehidupan sehari-hari untuk menjangkau wilayah-wilayah di seluruh wilayah bagian Indonesia yang berupa daratan dan sebagian besar perairan yang terdiri atas perairan laut, sungai, dan danau yang sedemikian luas ini membutuhkan banyak pengangkutan melalui daratan, perairan, dan udara yang mampu menjangkau seluruh wilayah negara Indonesia, bahkan ke negara-negara lain. Kenyataan ini mengakibatkan kebutuhan pengangkutan semakin meningkat, baik pengangkutan orang maupun barang (kargo), saat ini pengangkutan kargo yang diangkut melalui pengangkutan udara pelaksanaan pengamanannya masih belum maksimal, masih banyak adanya hal-hal yang janggal terjadi dalam pengangkutan kargo dan pos dengan banyak permasalahan di dalam pengamanannya, permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini ialah bagaimana pelaksanaan dan penerapan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara terkait Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP.152 Tahun 2012, hambatan yang terjadi pada pelaksanaan peraturan tersebut dan bagaimana menyelesaikan masalah yang terjadi dari hambatan tersebut.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Data-data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain, data primer, data sekunder, dan data tersier. Bahan hukum primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara secara langsung melalui studi lapangan (field research), bahan hukum sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan (library research).

Setiap pengangkutan udara sudah semestinya selalu memperhatikan keamanan penerbangan. Pada dasarnya prosedur pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara yang berlaku pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk telah sesuai dengan peraturan yang ada dengan menggunakan empat konsep keamanan berupa Screening, Ground handeling, X-ray,dan Security Avsec Angkasa Pura, namun setelah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 pelaksanaan pengamanan kargo dan pos pada PT. Garuda Indonesia (Persero). Tbk mendapat hambatan yaitu kebijakan yang membagi dua lini di bandar udara, yang menyebabkan proses pengangkutan kargo menjadi lama, dengan adanya hambatan tersebut pihak maskapai melakukan berbagai penyelesaian dengan menambah SDM, mengeluarkan info-info dan bekerja sama dengan pihak bandar udara.

Kata Kunci:Pengamanan Kargo dan Pos, Pesawat Udara

*

Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

** Pembimbing I, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan *** Pembimbing II, Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan


(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dengan beribu-ribu pulau besar dan kecil berupa daratan dan sebagian besar perairan yang terdiri atas perairan laut, sungai, dan danau.Diatas teritorial daratan dan perairan tersebut terbentang teritorial udara, semuanya itu merupakan wilayah negara Indonesia yang sangat luas.1

Keadaan wilayah negara Indonesia yang sedemikian luas ini membutuhkan banyak pengangkutan melalui daratan, perairan, dan udara yang mampu menjangkau seluruh wilayah negara Indonesia, bahkan ke negara-negara lain. Kenyataan ini mengakibatkan kebutuhan pengangkutan di Indonesia semakin meningkat sesuai dengan lajunya pembangunan fisik ataupun psikis serta perkembangan penduduk Indonesia yang tersebar di seluruh pulau yang diselingi laut.2

Keberadaan kegiatan pengangkutan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan atau aktivitas kehidupan manusia sehari-hari, mulai dari zaman kehidupan manusia yang paling sederhana (tradisional) sampai kepada taraf kehidupan manusia yang modern senantiasa didukung oleh kegiatan pengangkutan, bahkan salah satu barometer penentu kemajuan kehidupan dan peradaban suatu

1

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, hal. 30

2


(13)

masyarakat adalah kemajuan dan perkembangan kegiatan maupun teknologi yang dipergunakan masyarakat tersebut dalam kegiatan pengangkutan,3 namun di sisi lain infrastruktur dan sarana pengangkutan melalui jalur darat, laut, dan udara yang telah lama ada kini masih belum juga memenuhi persyaratan secara wajar atau dengan kata lain sudah tidak sesuai lagi dengan sistem pengangkutan modern. Keadaan ini adalah salah satu dari alasan yang menjadi pendorong pembangunan hukum dan pengangkutan modern dengan menggunakan alat pengangkut modern yang digerakan secara mekanik.4

Pengangkutan modern dengan menggunakan alat pengangkut modern yang digerakan secara mekanik salah satunya ialah pengangkutan udara yang menggunakan alat angkut berupa pesawat udara. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang berlaku sekarang, didalamnya hanya diatur mengenai angkutan laut dan angkutan perairan lainnya, sedangkan angkutan darat, dan angkutan udara sama sekali tidak diatur di dalamnya. Hal tersebut dapat dimengerti karena pada adad yang lalu alat angkutan darat baru merupakan alat yang ditarik oleh hewan, belum berkembang seperti sekarang ini, sedangkan angkutan udara baru lahir setelah tahun 1919.5

Pengangkutan atau transportasi dengan menggunakan moda pesawat udara lebih menguntungkan dibandingkan dengan menggunakan moda transportasi di jalan dengan menggunakan mobil, kereta api maupun laut dengan menggunakan kapal laut, karena transportasi udara dengan menggunakan pesawat udara lebih

3

Hasim Purba, Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal. 3.

4

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 31.

5

E. Suherman, Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 162.


(14)

3

cepat, nyaman dapat menjangkau tujuan yang jauh tanpa hambatan atau kemacetan seperti perjalanan dengan moda transportasi di jalan. Transportasi udara dengan menggunakan pesawat udara tarifnya relatif terjangkau bagi masyarakat sejak tahun 2000 sampai sekarang, namun para pengguna jasa pesawat udara juga harus memperhatikan masalah keamanan dan keselamatan penerbangan yang sangat penting di dalam penerbangan, karena itu masalah keamanan dan keselamatan menjadi perhatian utama bagi penyelenggaran penerbangan baik bagi pabrikan, regulator, perusahaan penerbangan, operator bandar udara maupun pengguna jasa penerbangan.6

Dalam penyelenggaraan penerbangan, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 penyelenggarakan penerbangan bertujuan mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktik persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus perpindaan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan wawasan nusantara, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan

6K. Martono, at.al, Transportasi Bahan dan/atau Barang Berbahaya dengan Pesawat


(15)

merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kepentingan umum, keterpaduan, tegaknya hukum, kemandirian, anti monopoli dan keterbukaan, berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, serta kenusantaraan.7

Pada mulanya, pesawat udara hanya digunakan untuk mengangkut penumpang sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan hukum tentang tanggung jawab pengangkut udara terhadap penumpang lebih pesat dari pada pertumbuhan tanggung jawab pengangkut terhadap kargo. Dalam perkembangannya, pengangkutan kargo mulai menampakan peranan penting. Sebagai contoh pada waktu Kota Paris tahun 1870 dikepung, kargo mulai digunakan untuk membuat jembatan udara dengan menggunakan balon udara. Pengiriman kargo terjauh dimulai ketika dilakukan pengiriman dari Dayton ke Ohio Amerika Serikat tahun 1910 yang menempuh jarak hampir 100 km, dan penerbangan komersial kargo pertama dilakukan antara London dan Paris pada tahun 1919. Konvensi pertama yang mengatur pengangkutan udara internasional dimulai tahun 1919 yang disebut Konvensi Paris, namun konvensi ini tidak pernah berlaku. Pada mulanya konvensi tentang kargo dan penumpang akan dibuat secara terpisah, tetapi karena mengingat pertimbangan ekonomis dan kesatuan (uniform) maka akhirnya pengaturan keduanya, kargo dan penumpang disatukan.8

7Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Alinea 6.

8

Toto Tohir Suriaatmadja, Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan Udara Nasional, CV. Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 1-2.


(16)

5

Pimpinan sidang pada konferensi di Warsawa menyatakan bahwa suatu konvensi merupakan atau dibentuk atas konsesi yang seimbang (mutual consession). Oleh karena itu dipandang perlu membuat suatu sistem hukum yang seimbang dan bebas, sikap itulah yang menyebabkan Konvensi Warsawa berhasil disahkan. Hasil penting dari Konvensi Warsawa 1929 adalah keseragaman dalam aturan hak-hak penumpang dan pengirim/penerima kargo dalam pengangkutan udara, keseragaman tanggung jawab pengangkut dalam pengangkutan udara internasional serta istilah-istilah dalam kontrak. Konvensi Warsawa kemudian diperbaharui dengan The Hague Protocol 1955 yang mengubah beberapa aturan dalam Konvensi Warsawa 1929.9

Pada pengangkutan udara dengan pesawat tebang keselamatan penerbangan sangat penting, dimana keselamatan penerbangan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya, untuk menjaga dan meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan pemerintah membuat peraturan-peraturan nasional terkait keselamatan dan keamanan penerbangan baik untuk mengangkut orang maupun barang (kargo dan pos).

Saat ini pengangkutan kargo yang diangkut melalui pengangkutan udara pelaksanaan pengamanannya masih belum maksimal, masih banyak adanya hal-hal yang janggal terjadi dalam pengangkutan kargo dan pos seperti perbedaan berat isi dari kargo tersebut dengan berat yang ada pada surat muatan udara itu

9


(17)

sendiri, dan perbedaan antara jenis yang terdapat di dalamnya dengan jenis yang tercantum dalam surat muatan udara serta masih adanya barang-barang berbahaya yang lolos pada pengiriman kargo dan pos melalui pengangkutan udara, dan hal-hal lainnya.

Pengaturan terkait dengan keselamatan dan pengamanan penerbangan terhadap pengangkutan barang (kargo dan pos) salah satunya ialah Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Dengan Pesawat Udara setelah mencabut Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP 255/IV/2011 tentang Pemeriksaan Keamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Dengan Pesawat Udara dimana peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan pengamanan dan keselamatan pada pengangkutan udara yang berupa kargo dan pos.

B. Permasalahan

Berdasarkan judul skripsi ini mengenai “Pelaksanaan Pengamanan

Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara Dikaitkan Dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 (Studi pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk)”, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan dan pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara dikaitkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk.


(18)

7

2. Apa saja hambatan-hambatan yang di hadapi dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., Sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012.

3. Bagaimana penyelesaian hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., Sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012.

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penerapan dan pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara dikaitkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012. 3. Untuk mengetahui penyelesaian hambatan-hambatan dalam pelaksanaan

pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012.


(19)

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi ini secara teoritis adalah meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam ilmu hukum dagang khususnya hukum pengangkutan tentang pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara dikaitkan dengan adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 yang bermanfaat bagi pengangkutan yang ada di Indonesia agar dapat meningkatkan kemajuan serta kelancaran pengangkutan serta pengamanan kargo dan pos melalui pengangkutan udara, sekaligus dapat mengikuti perkembangan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai hukum pengangkutan dan hukum pengangkutan udara.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Selain itu melalui penulisan skripsi ini juga menambah pengetahuan dan wawasan kita akan pengangkutan udara serta pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara.

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara Dikaitkan Dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 (Studi pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk Cabang Medan)” ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri, bukan jiplakan atau diambil dari skripsi milik orang lain.


(20)

9

Adapun judul skripsi yang telah ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara cabang Fakultas Hukum USU/Pusat Dokumentasi dan Informasi FH USU adalah :

Nama : Arisanta P.H.S NIM : 070200051 Tahun : 2011

Judul : Tanggung Jawab Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat Udara Perjanjian Angkutan Kargo Melalui Pengangkutan Udara

Rumusan Masalah :

1. Bagaimana hubungan hukum antara pengguna jasa angkutan kargo dengan pihak Perusahaan Ekspedisi Muatan Pesawat udara?

2. Apa saja bentuk-bentuk kerugian dalam angkutan kargo udara? 3. Bagaimana tanggung jawab pihak Perusahaan Ekspedisi Muatan

Pesawat Udara terhadap pengguna jasa angkutan kargo akibat kerusakan, kehilangan, dan kemusnahan kargo?

Nama : Emariana Surya Putri NIM : 940200062

Judul : Suatu Tinjauan Terhadap Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Angkutan Udara Antara Pengirim dan Freight Forwading (Studi Kasus PT. Prima International Cargo Cabang Medan)

Nama : Irne Deliz Saragih NIM : 960200061


(21)

Judul : Aspek Hukum Dalam Pengiriman Barang Melalui Biro Air Cargo (Studi Kasus PT. Dharma Bandar Mandala Medan)

F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, penelitian hukum normatif dimana bahan atau materi penulisan diperoleh dengan mengkaji peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012 Pengamanan Kargo dan Pos melalui Pesawat Udara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), serta literatur lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini, sedangkan penelitian hukum empiris terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektivitas hukum yang diperoleh dengan melakukan wawancara dengan pihak PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berupa data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut:


(22)

11

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012 tentang Pengamanan Kargo Dan Pos Yang Diangkut Melalui Pesawat Udara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Selain itu, hasil wawancara yang diperoleh melalui studi lapangan pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk.

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan bahan hukum sekunder yang terdiri atas semua catatan, buku-buku, makalah, artikel tentang hukum, jurnal-jurnal hukum, dan situs internet (website).

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.


(23)

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

a. Studi Kepustakaan (library research) yaitu studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, berupa literatur-literatur, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier. Disini penulis mengumpulkan sebanyak mungkin bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi dan permasalahan yang diteliti, selanjutnya menginventarisasi bahan-bahan tersebut sehingga pada akhirnya permasalahan semakin jelas dan dapat dipecahkan.

b. Studi Lapangan (field research) yaitu studi yang langsung dilakukan di lapangan. Data yang diperoleh adalah berasal dari proses wawancara yang dilakukan langsung kepada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk. 4. Analisa Data

Analisa data yang digunakan adalah metode kualitatif yaitu dengan menggunakan kenyataan-kenyataan yang terungkap dari data sekunder yang dihimpun dimana kemudian berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan pola berfikir deduktif-induktif.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Uraian singkat atas bab-bab dan sub bab tersebut akan diuraikan sebagai berikut:


(24)

13

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PENGANGKUTAN UDARA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

Dalam bab ini dibahas mengenai pengertian dan landasan hukum pengangkutan udara, pihak-pihak yang terkait dalam pengangkutan udara, dokumen-dokumen dalam pengangkutan udara, perjanjian pengangkutan udara, penyelenggaraan pengangkutan udara.

BAB III : PENGAMANAN KARGO YANG DIANGKUT MELALUI ANGKUTAN UDARA

Dalam bab ini memaparkan pengaturan tentang pengamanan kargo pengangkutan udara, jenis-jenis kargo dalam pengangkutan udara, prosedur kengamanan kargo pada PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk, pelaksanaan pengangkutan kargo oleh PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk.

BAB IV : PELAKSANAAN PENGAMANAN KARGO DAN POS YANG DIANGKUT MELALUI PESAWAT UDARA DIKAITKAN DENGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NO. KP. 152 TAHUN 2012

Dalam bab ini membahas mengenai penerapan dan pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara dikaitkan dengan peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No.


(25)

Kp. 152 Tahun 2012 Di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012, penyelesaian hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara di PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., sebelum dan sesudah adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis menyampaikan pendapat berupa kesimpulan dari seluruh isi skripsi ini yang merupakan rangkuman dari pembahasan dan penulis juga menyampaikan saran-saran dari permasalahan skripsi ini.


(26)

15

BAB II

PENGANGKUTAN UDARA MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

A. Pengartian dan Landasan Hukum Pengangkutan Udara 1. Pengertian Pengangkutan Udara

Istilah “Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti

“mengangkut atau membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan

sebagai “pembawaan barang-barang atau orang-orang (penumpang).10

Pengertian pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.11

Pengangkutan dalam arti luas dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan M. N Nasution menyatakan pengangkutan adalah hal yang membuat sebuah bangsa menjadi besar dan makmur, yakni tanah yang subur, kerja keras, dan kelancaran pengangkutan orang dan barang dari satu bagian negara ke bagian bagian lainnya.12

10

Hasim Purba, Op. Cit, hal. 3.

11

H. M. N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 2.

12


(27)

Dalam hal ini unsur-unsur pengangkutan ialah sebagai berikut :13 a. Ada sesuatu yang diangkut

b. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutnya, dan c. Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.

Proses pengangkutan itu merupakan gerak dari tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan di mana angkutan itu diakhiri. Pengangkutan juga dapat diartikan dalam arti sempit yang meliputi kegiatan membawa penumpang atau barang dari stasiun/terminal/pelabuhan/bandara tempat pemberangkatan ke stasiun/terminal/pelabuhan/bandara tujuan. Untuk menentukan pengangkutan itu dalam arti luas atau arti sempit bergantung pada perjanjian pengangkutan yang dibuat oleh pihak-pihak, bahkan kebiasaan masyarakat.14

Fungsi Pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja,

13

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 178.

14


(28)

17

tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lainnya.15

Subjek hukum pengangkutan terdiri dari : a. Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan

b. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan Objek hukum pengangkutan terdiri dari :

a. Alat pengangkut b. Muatan yang diangkut c. Biaya pengangkutan d. Dokumen pengangkutan

Adapun tujuan dari pengangkutan ialah untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan dari satu tempat ke tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit, atau meninggal dunia.Jika yang diangkut itu barang, selamat artinya barang yang diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau kemusnahan.16

Adapun jenis-jenis pengangkutan sesuai dengan alat angkut yang ada sesuai dengan wilayah pengangkutannya, Ridwan Khairandy mengklasifikasikan macam-macam moda pengangkutan sebagai berikut:17

15

H. M. N Purwosutjipto,Op. Cit., hal. 1-2.

16

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 15.

17


(29)

a. Pengangkutan Darat :

1. Pengangkutan melalui jalan (raya) 2. Pengangkutan dengan kereta api b. Pengangkutan Laut

c. Pengangkutan Udara

Sedangkan Hasim Purba membedakan jenis-jenis pengangkutan itu sebagai berikut:18

a. Pengangkutan di darat, yang terdiri dari: 1. Pengangkutan dengan kendaraan bermotor 2. Pengangkutan dengan kereta api

3. Pengangkutan dengan tenaga hewan b. Pengangkutan di perairan yang terdiri dari:

1. Pengangkutan di laut

2. Pengangkutan di sungai dan danau 3. Pengangkutan penyeberangan c. Pengangkutan udara.

Pengertian angkutan udara atau pengangkutan udara itu sendiri telah diuraikan pada ketentuan umum Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang berbunyi:

“Setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.”

Pengangkutan udara ialah pengangkutan yang diangkut dengan pesawat udara, pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer

18


(30)

19

karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.

Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.

Kegiatan angkutan udara terbagi dua, angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga, tujuan khusus pengangkutan udara dengan pesawat udara niaga ialah:19

1. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktik persaingan usaha yang tidak sehat

2. Memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi pengangkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional

3. Membina jiwa kedirgantaraan 4. Menjunjung kedaulatan Negara

5. Menciptakan daya saing dengan pengembangan teknologi dan industri pengangkutan udara nasional

6. Menunjang, menggerakan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional

19

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 22.


(31)

7. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara

8. Meningkatkan ketahanan nasional, dan 9. Mempererat hubungan antar bangsa

2. Landasan Hukum Pengangkutan Udara

Peraturan-peraturan yang menjadi dasar-dasar hukum pengangkutan udara di Indonesia ialah:20

a. Undang-undang

Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

b. Ordonansi

1. Luchtverkeersverordening (S. 1936 - 425), yang mengatur lalu lintas udara, misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-lain.

2. Verordening Toezicht Lucthtvaart (S.1936 - 426), yang merupakan peraturan pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain pengawasan atas personil penerbangan, selanjutnya pemeriksaan

20


(32)

21

sebab-sebab kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di wilayah Indonesia dan lain-lain.

3. Luchtvaartquarantine Ordonnantie (S. 1939 - 149, jo S.1939 - 150) yang mengatur persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penumpang- penumpang pesawat terbang.

4. Luchtvervoerordonnantie (S. 1939 –100), Ordonansi Pengangkutan udara, yang mengatur pengangkutan penumpang, bagasi, dan pengangkutan barang serta pertanggung jawab pengangkutan udara. Pada Ordonansi ini negara-negara di dunia tunduk secara global (umum), termasuk Indonesia kecuali jika telah ada peraturan khusus yang dibuat oleh masing-masing negara.

c. Peraturan Pemerintah

1. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2000.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1996 tentang Kebandarudaraan.

d. Perjanjian-Perjanjian Internasional dan Perjanjian Khusus 1. Perjanjian Warsawa 1929

Perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933.Perjanjian ini sangat erat hubungannya dengan “Luchtvervoerordonnantie” (S. 1939–


(33)

100). Bunyi konsiderans “Luchtvervoerordonnantie” sebagai berikut :

“Dat Hij, in aansluiting aan het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het internasional luchtvervoer (S. 1933 - 344) voorzieningen willende treffen inzake het binnenlandsch luchtvervoer, zoveel mogelijk overeenkomstig de bij de wet van 10 September 1936 (Ned. S. 1936 - 523) voor Nederland vestgestelde voorschriften; enz.”

(Bahwa dia dengan menghubungkan perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933, yang mempersatukan beberapa ketentuan mengenai pengangkutan udara internasional (S. 1933 - 344), hendak mengatur tentang pengangkutan udara nasional yang sedapat mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dengan undang-undang Nederland tanggal 10 September 1936 (Ned. S. 1936 -523). Pasal 1, “Lechtvervoerordonnantie” (S. 1939 - 100) berbunyi:

“De bepalingen van deze ordonnantie vinden toepassing, voozoveel niet ingevolgen het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het interrnationale luchtvevoer (S. 1933 - 344), hierna te noemen “het vengrdrag”, een andere voorzieningen geldt”

(Ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini berlaku, bila perjanjian tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933 untuk mempersatukan ketentuan-ketentuan mengenal pengangkutan udara internasional


(34)

23

(S. 1933 - 344) selanjutnya disebut “Perjanjian”, tidak menetapkan ketentuan lain).21

2. Perjanjian Roma 1933

Perjanjian Roma tanggal 29 Mei 1933, tentang “Convention on Damage caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The Surface”. Perjanjian ini mengatur tentang tanggung jawab pengangkut udara mengenai kerusakan/kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di muka bumi. Perjanjian ini diperbaharui pada tahun 1952.

3. Perjanjian internasional khusus pengangkutan, International Air Transport Association (IATA).

Sebagai suatu organisasi internasional, dalam mana tergabung sebagian besar pengangkutan-pengangkutan udara di seluruh dunia, mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota-anggotanya. IATA telah menyetujui “General Condition of Carriage” (syarat-syarat umum pengangkutan), baik untuk penumpang, bagasi maupun untuk barang, berdasarkan ketentuan-ketentuan perjanjian Warsawa. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat pengangkutan bagi para anggotanya, berlaku bagi para anggotanya, berlaku bagi pengangkutan udara internasional yang diselenggarakan oleh pengangkut udara anggota IATA. Selain

21


(35)

daripada itu, setiap pengangkut udara mempunyai pula syarat-syarat khusus sendiri yang didasarkan pada “General Condition of Carriage” dari IATA. Syarat khusus itu selalu dapat diminta dan dilihat oleh setiap orang yang akan membeli tiket atau akan mengangkut barangnya dengan pesawat terbang dari pengangkut udara yang bersangkutan. Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui dahulu oleh calon penumpang atau pengirim barang, sebab dalam tiket penumpang itu selalu disebutkan bahwa pengangkutan udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan dan Ordonansi Pengangkutan Udara di Indonesia.

B. Pihak-pihak yang Terkait dalam Pengangkutan Udara

Dalam sistem angkutan udara ada beberapa pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pengangkutan yaitu:

a. Pengangkut

Secara umum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Indonesia tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut.22 Pengangkut adalah barang siapa yang baik dengan persetujuan charter menurut waktu (time charter) atau charter menurut perjalanan baik dengan suatu persetujuan lain mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya maupun sebagian melalui pengangkutan. Pengangkut menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 adalah suatu badan usaha angkutan udara

22


(36)

25

niaga yang pemegang izin kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

b. Pengirim

Pengirim tidak didefinisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan selain itu dia juga memberikan muatan. Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan itu. Dalam sistem angkutan udara dengan multimoda transportasi pihak-pihak dalam pengangkutan yang dikemukakan Sinta Uli terdiri dari beberapa pihak yaitu:23

1. Pengirim Barang

Pengirim barang dalam sistem angkutan bisa saja bukan pemilik barang, tetapi pihak yang diberikan kuasa untuk melakukan pengiriman barang. Seperti dalam sistem MTO biasanya pengirim barang adalah forwarding

yang memegang B/L FIATA yang oleh karena tidak mempunyai sistem angkutan udara sendiri, maka pengangkut tersebut disubkontrakkan kepada perusahaan angkutan udara. Jadi dalam sistem MTO pihak pengirim barang bukanlah pemilik barang tetapi perusahaan forwarding

yang memberikan kuasa berdasarkan B/L FIATA mensubkontrakkan kepada perusahaan angkutan udara.

23

Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport, Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara, USU Press, Medan, 2006, hal. 87.


(37)

2. Pengangkut

Pihak pengangkut dalam angkutan udara adalah perusahaan angkutan udara yang diberikan kuasa oleh pengirim untuk melakukan pengangkutan barang ke suatu tujuan tertentu.

C. Dokumen-dokumen dalam Pengangkutan Udara

Dokumen pengangkutan udara dengan pesawat udara terdiri atas tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara. Tiket penumpang dan tiket bagasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tetapi undang-undang ini tidak memuat perincian keterangan isi dokumen.24 Pengangkutan udara dengan pesawat udara diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 150 mencantumkan bahwa dokumen pengangkutan udara terdiri dari tiket penumpang pesawat udar, pas masuk pesawat udara (boarding pass), tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag) dan surat muatan udara (airway bill)

1. Tiket Penumpang Pesawat Udara

Pengertian tiket menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ialah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.

24


(38)

27

Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif. Tiket Penumpang sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 paling sedikit memuat :

a. Nomor, tempat, dan tanggal penerbitan b. Nama penumpang dan nama pengangkut

c. Tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan d. Nomor penerbangan

e. Tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada dan

f. Pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Menurut ketentuan OPU Indonesia, tiket penumpang diterbitkan tidak atas nama (niet op naam) sebab dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan mencantumkan nama penumpang. Pasal itu hanya memuat butir-butir berikut ini:25

a. Tempat dan tanggal penerbitan b. Bandara pemberangkatan dan tujuan

c. Pendaratan yang direncanakan di tempat antara bandara pemberangkatan dan tujuan mengingat hak pengangkut udara untuk mengajukan syarat bahwa dia bila perlu dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan

d. Nama dan alamat pengangkut udara

e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuan mengenai tanggung jawab yang diatur oleh ordonansi ini atau Perjanjian Warsawa Pasal 5 ayat (1) OPU Indonesia.

Dalam praktik perjanjian pengangkutan udara, nama penumpang justru harus dicantumkan dalam tiket penumpang. Tiket penumpang harus diterbitkan

25


(39)

“atas nama” (on name). Pencantuman nama penumpang perlu karena dia adalah

pihak dalam perjanjian dan untuk kepastian dalam pengangkutan udara.26 Tiket tidak perlu dinyatakan merupakan perjanjian pengangkutan udara namun tetap tiket itu merupakan tanda bukti adanya perjanjian pengangkutan udara, dan perjanjian pengangkutan udara itu tetap bersifat konsensuil.27

2. Pas Masuk Pesawat Udara (Boarding Pass)

Pengangkut harus menyerahkan pas masuk pesawat udara, pas masuk pesawat udara pada pasal 152 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 paling sedikit memuat:

a. Nama penumpang b. Rute penerbangan c. Nomor penerbangan

d. Tanggal dan jam keberangkatan e. Nomor tempat duduk

f. Pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara (boarding gate) dan g. Waktu masuk pesawat udara (boarding time).

3. Tanda Pengenal Bagasi (baggage identification/claim tag)

Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, mewajibkan menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada pasal 150 huruf c kepada penumpang. Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 153 ayat (1) paling sedikit memuat:

a. Nomor tanda pengenal bagasi

b. Kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan c. Berat bagasi

26

Ibid, 135-136.

27


(40)

29

Tiket Bagasi merupakan tanda bukti penitipan barang, yang nanti bila penumpang turun dari pesawat terbang, barang bagasi itu akan diminta kembali. Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan bagasi ini merupakan “accessoire verbintenis.” Jadi, tiket bagasi itu hubungannya erat sekali dengan perjanjian pengangkutan, meskipun begitu dengan tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket bagasi itu tidak mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam OPU (Pasal 6 ayat (5) OPU), akan tetapi bila pengangkut udara menerima bagasi untuk diangkut tanpa memberikan suatu tiket bagasi, maka dia tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan OPU, yang meniadakan atau membatasi tanggung jawab.

Dari ketentuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk kepentingan sendiri, pengangkutan udara harus memberikan tiket bagasi kepada penumpang, sebab kalau tidak, dia sendiri akan rugi bila barang bagasi hilang atau rusak.28

4. Surat Muatan Udara (Airway bill)

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang dimaksud Surat Muatan Udara (Airway bill) adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian pengangkutan udara antara pengirim kargo dan pengangkut, dan hak penerima kargo untuk mengambil kargo. Surat muatan udara dibuat dalam rangkap tiga oleh pengirim, bagian pertama untuk perusahaan penerbangan yang ditandatangani oleh pengirim, bagian kedua untuk penerima barang yang

28


(41)

ditandatangani oleh perusahaan penerbangan dengan pengirim barang dan bagian ketiga untuk pengirim yang ditandatangani oleh perusahaan penerbangan pada saat barang diserahkan oleh pengirim kepada perusahaan penerbangan. Tanda tangan tersebut dapat dilakukan dengan stempel atau tanda tangan asli.

Bilamana diminta oleh pengirim, perusahaan penerbangan membuat surat muatan udara (Airway Bill), perusahaan penerbangan dianggap bekerja untuk dan atas nama pengirim kecuali secara tegas terbukti sebaliknya.29

Menurut Pasal 10 OPU, surat muatan udara harus berisi:30

1. Tempat dan tanggal surat muatan udara itu dibuat 2. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan

3. Pendaratan-pendaratan yang direncanakan dengan mengikat hak pengangkut udara untuk merubah rencana itu bila perlu

4. Nama dan alamat pengangkut pertama 5. Nama dan alamat pengirim

6. Nama dan alamat penerima 7. Macam barang

8. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa atau nomor barang-barang

9. Berat, jumlah, besar atau ukuran barang-barang 10.Keadaan luar barang-barang dan pembungkusannya

11.Uang angkutan udara, tanggal dan tempat pembayaran, dan orang-orang yang harus membayar

12.Jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran, harga barang-barang dan jumlah biaya-biaya

13.Jumlah nilai barang-barang

14.Dalam rangkap berapa surat muatan udara dibuat

15.Surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai barang-barang 16.Lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang rute yang

ditempuh

17.Pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk pada ketentuan-ketentuan tanggung jawab yang diatur dalam OPU atau perjanjian Warsawa.

29

K. Martono, Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009,Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 268-269.

30


(42)

31

Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa surat muatan udara ini isinya lebih lengkap daripada tiket penumpang atau tiket bagasi, tetapi kedudukan hukumnya sama saja dengan tiket penumpang atau tiket bagasi.31 Pada OPU surat muatan udara ialah apabila seorang akan mengirim barang menggunakan pesawat udara sedangkan dia sendiri tidak turut pergi maka pengirim barang itu memberikan surat muatan kepada pengangkut udara. Sebaliknya pengirim berhak minta kepada pengangkut untuk menerima surat muatan udara tersebut.

Dokumen yang diperlukan dalam pengiriman barang/kargo ada dua yaitu: 1. SMU (Surat Muatan Udara) khusus untuk penerbangan domestik.

Surat muatan udara sebagaimana dimaksud pada Pasal 155 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, paling sedikit memuat:

a. Tanggal dan tempat surat muatan udara di buat b. Tempat pemberangkatan dan tujuan

c. Nama dan alamat pengangkut pertama d. Nama dan alamat pengirim kargo e. Nama dan alamat penerima kargo

f. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa, atau nomor kargo yang ada

g. Jumlah, berat, ukuran, atau besarnya kargo h. Jenis atau macam kargo yang dikirim, dan

i. Pernyataan bahwa pengangkutan kargo ini tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.

Angkutan kargo juga diatur dalam Pasal 4 Konvensi Montreal 1999, Menurut pasal tersebut, perusahaan penerbangan harus menyerahkan surat muatan udara (Airway Bill) kepada pengirim barang. Surat muatan udara dapat diganti dengan sarana apapun untuk penyerahan, apabila digunakan sarana lain dari surat

31


(43)

muatan udara perusahaan penerbangan harus menyerahkan kepada pengirim pada saat penyerahan barang oleh pengirim kepada perusahaan penerbangan. Surat muatan udara tersebut berisikan antara lain indikasi bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan, apabila bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan berada dalam satu wilayah negara anggota konvensi Montreal 1999, harus ada satu atau lebih pendaratan antara (intermediate lending) di negara lain walaupun bukan negara anggota konvensi Montreal 1999.

2. AWB (Airway Bill) khusus untuk penerbangan internasional

Dokumen yang digunakan dalam pengangkutan kargo udara dikenal dengan airway bill atau surat kargo udara yang harus berisi 18 elemen sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Konvensi Warsawa 1929. Pengadilan menetapkan yang terpenting adalah Pasal 8c karena itu yang akan menentukan apakah suatu pengangkutan itu tunduk pada konvensi atau tidak.

Fungsi surat kargo udara adalah untuk dapat diterapkannya Konvensi. Hal ini merupakan kompromi dari dua kehendak yaitu kehendak pertama berpendapat bahwa untuk melindungi para pihak dalam pengangkutan harus dengan surat kargo udara dan kehendak kedua berpendapat bahwa untuk melindungi kepentingan para pihak diserahkan kepada para pihak sendiri yaitu dengan cara pengirim membuat surat kargo dan ditandatangani oleh pengangkut.

Maksud Konvensi menyerahkan pembuatan atau pengisian surat kargo udara kepada pengirim agar terjamin akuratnya karena pengirim dianggap paling mengetahui tentang kargo yang dikirimnya. Oleh karena itu, ketidakakuratan surat kargo udara menjadi tanggung jawab pengirim. Dalam hal surat kargo udara


(44)

33

dibuat oleh pengangkut atau agennya jika terjadi kesalahan atau keterangan yang berbeda maka tanggung jawab pengangkut akan lebih besar karena segala keterangan dianggap benar. Surat kargo udara merupakan bukti adanya kontrak, penyerahan kargo, dan penerimaan persyaratan perjanjian, juga merupakan instruksi kepada pengangkut dimana dan kepada siapa kargo diserahkan dan siapa yang akan membayar.

Dalam praktiknya surat kargo udara sudah distandarisasikan sehingga para pihak hampir tidak mungkin membicarakan persyaratan kontrak. Dengan demikian, kontrak itu menjadi kontrak baku (standart contract). Namun, surat kargo udara bukan merupakan syarat mutlak adanya kontrak pengangkutan, hanya sebagai alat pembuktian adanya kontrak. Bagi pengangkut, menerbitkan surat kargo udara bukan merupakan kewajiban tetapi merupakan hak, namun secara sepintas hak ini mempunyai konsekuensi yang merugikan pengangkut dan bukannya merugikan pengirim.

D. Perjanjian Pengangkutan Udara

Sebelum membahas apa itu perjanjian pengangkutan udara kita perlu mengetahui apa itu perjanjian secara umum. Istilah “Perjanjian” dalam “Hukum Perjanjian” merupakan kesepakatan dari istilah “Overeenkomst” dalam bahasa Belanda, atau “Agreement” dalam bahasa Inggris.32 Perjanjian secara umum diatur dalam KUH Perdata. Pengertian perjanjian di dalam KUH Perdata ialah

32Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Penerbit PT. Citra


(45)

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Pada Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang, sedangkan Buku III KUH Perdata itu sendiri tidak memberikan rumus tentang perikatan. Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.33

Suatu perjanjian adalah semata-mata suatu persetujuan yang diakui oleh hukum. Persetujuan ini merupakan kepentingan yang pokok dalam dunia usaha, dan menjadi dasar dari kebanyakan transaksi dagang, seperti jual beli barang, tanah, pemberian kredit, asuransi, pengangkutan barang, pembentukan organisasi usaha dan sebegitu jauh menyangkut juga tenaga kerja.34

Untuk syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yang telah diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Sepakat artinya terjadi kesesuaian kehendak antara para pihak.Kesesuaian kehendak ini terjadi pada saat melakukan negosiasi penawaran (offer) telah diterima (acceptance). Kesepakatan dianggap tidak terjadi, meskipun terjadi penandatanganan kontrak apabila terjadi paksaan, penipuan, ataupun khilafan

33

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 1.

34S.B. Marsh and J. Soulsby, BusinessLaw, By Mc Graw-Hill Book Company(UK) Ltd,


(46)

35

dan kekeliruan. Jika kesepakatan ini tidak tercapai meskipun terjadi perjanjian, maka status perjanjian yang demikian adalah dapat dibatalkan, artinya pihak tertentu dapat mengajukan pembatalan.Jika pembatalan tidak dilakukan, maka perjanjian tersebut berjalan terus.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Cakap maksudnya bahwa para pihak yang membuat perjanjian apabila orang-perorangan sudah dewasa, sehat akal fikiran, dan tidak di bawah perwalian atau pengampuan. Apabila yang melakukan perjanjian adalah suatu badan hukum atau organisasi, maka harus orang yang mempunyai kemampuan atau kompeten untuk melakukan hubungan hukum dengan pihak lain. Apabila syarat ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga dapat dibatalkan.

Orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum: a. Anak di bawah umur (minderjarigheid)

b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan c. Istri

Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dalam melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.35

3. Suatu hal tertentu

Objek yang diperjanjiakan adalah hal tertentu maksudnya isi perjanjian harus jelas spesifikasinya, sehingga obyeknya mudah diidentifikasi keberadaannya. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka status perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula perjanjian dianggap tidak ada, sehingga tidak

35Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika,


(47)

dapat dilaksanakan, dan kalau terjadi ingkar janji, maka tidak dapat dituntut di pengadilan.

4. Suatu sebab yang halal

Objek yang diperjanjikan tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan kesusilaan.Jika hal ini tidak terpenuhi, maka statusnya juga batal demi hukum.36

Adapun Asas-asas Hukum Kontrak antara lain sebagai berikut:37 1. Asas Konsensualisme

Asas ini sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu.

Asas ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena asas ini hanya berlaku pada kontrak konsensual sedangkan pada kontrak formal dan riel tidak berlaku.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak berdasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) BW, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

36M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 6.

37

Ahmadi Miru, Hukum Kontra k dan Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3-5


(48)

37

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian

d. Bebas menentukan bentuk perjanjian, dan

e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung perjanjian-perjanjian yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.

4. Asas Iktikad Baik

Asas ini merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian, ketentuan ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.

Setelah mengetahui perjanjian secara umum barulah masuk kepada perjanjian pengangkutan, perjanjian pengangkutan ialah suatu perjanjian dimana satu pihak menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau barang dari


(49)

satu ke lain tempat sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar ongkosnya.38

Perjanjian pengangkutan menurut Abdulkadir Muhammad adalah persetujuan dengan mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, dan penumpang atau pengirim mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan. Perjanjian pengangkutan selalu diadakan secara lisan tetapi didukung oleh dokumen pengangkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi dan mengikat.39

Dalam undang-undang ditentukan bahwa pengangkut baru diselenggarakan setelah biaya angkutan dibayar terlebih dahulu, di samping ketentuan undang-undang juga berlaku kebiasaan masyarakat yang dapat membayar biaya angkutan kemudian. Perjanjian pengangkutan biasanya meliputi kegiatan pengangkutan dalam arti luas, yaitu kegiatan memuat, membawa, dan menurunkan/membongkar, kecuali bila dalam perjanjian telah ditentukan lain.

Menurut undang-undang seorang juru-pengangkut (bahasa Belanda:

vervoerder, bahasa Inggris: cerrier) hanya menyanggupi untuk melaksanakan pengangkutan saja, jadi tidaklah perlu bahwa ia sendiri mengusahakan sebuah alat-pengangkutan, meskipun pada umumnya (biasannya) ia sendiri yang mengusahakannya. Selanjutnya menurut undang-undang ada perbedaan antara seorang pengangkut dan seorang ekspeditur, yang terakhir ini hanya memberikan jasa-jasanya dalam soal pengiriman barang saja dan pada hakekatnya hanya

38R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 69.

39


(50)

39

memberikan perantaraan antara pihak yang hendak mengirimkan barang dari pengangkutan pihak pengangkut adalah bebas untuk memilih sendiri alat pengangkutan yang hendak dipakainya.

Sebagaimana dengan perjanjian-perjanjian lain, kedua belah pihak diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri segala hal mengenai pengangkutan yang akan diselenggarakan itu. Apabila terjadi kelalaian pada salah satu pihak, maka akibat-akibatnya ditetapkan sebagaimana berlaku untuk perjanjian-perjanjian pada umumnya dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dalam perjanjian pengangkutan itu pihak pengangkut dapat dikatakan sudah mengakui menerima barang-barang dan menyanggupi untuk membawanya ketempat yang telah ditunjuk dan menyerahkannya kepada orang yang dialamatkan. Kewajiban yang terakhir ini dapat dipersamakan dengan kewajiban seorang yang harus menyerahkan suatu barang berdasarkan suatu perikatan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1235 BW, dalam perikatan mana termaksud kewajiban untuk menyimpan dan memelihara barang tersebut sebagai “seorang bapak rumah yang baik”. Apabila si pengangkut melalaikan kewajibannya, maka pada umumnya akan berlaku peraturan-peraturan yang untuk itu telah ditetapkan dalam Buku III dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pula, yaitu dalam pasal 1243 dan selanjutnya.

Biasanya ongkos pengangkut dibayar oleh pengirim barang, tetapi ada kalanya juga ongkos itu dibayar oleh orang yang dialamatkan. Bagaimanapun


(51)

juga si pengangkut selalu berhak menuntut pembayaran ongkos pengangkutan itu kepada kedua-duanya, yaitu baik kepada si pengirim, maupun kepada si penerima barang. Perjanjian pengangkutan ini tidak diatur dalam BW, tetapi mengenai pengangkutan terdapat berbagai peraturan diluar BW. Meskipun perjanjian pengangkutan pada hakekatnya sudah harus tunduk pada pasal-pasal dari bagian umum dari hukum perjanjian BW, akan tetapi oleh undang-undang telah ditetapkan berbagai peraturan khusus yang bertujuan untuk kepentingan umum membatasi kebebasan dalam hal membuat perjanjian pengangkutan, yaitu dengan meletakan berbagai kewajiban khusus kepada pihaknya si pengangkut yang tidak boleh disingkirkan dalam perjanjian.40

Sifat hukum perjanjian pengangkutan, dalam perjanjian pengangkutan kedudukan para pihak, yaitu pengirim dan pengangkut sama tinggi tidak seperti pada perjanjian perburuhan, di mana para pihak tidak sama tinggi, yakni majikan memiliki kedudukan lebih tinggi daripada si buruh. Kedudukan para pihak dalam perjanjian perburuhan ini disebut kedudukan subordinasi, sedangkan kedudukan para pihak dalam perjanjian pengangkutan adalah sama tinggi atau kedudukan koordinasi.41

Dalam melaksanakan perjanjian pengangkutan itu, hubungan kerja antara pengirim dengan pengangkut tidak terus-menerus, tetapi hanya kadang kala, kalau pengirim membutuhkan pengangkutan untuk mengirim barang. Hubungan semacam ini disebut “pelayanan berkala,” sebab pelayanan ini bersifat tetap, hanya kadang kala saja, bila pengirim membutuhkan pengangkutan. Perjanjian

40R. Subekti, Op. Cit., hal. 70-71.

41


(52)

41

yang bersifat “pelayanan berkala” ini disinggung dalam Pasal 1601 KUH Perdata.42

Perjanjian pengangkutan bersifat (consensual) yang artinya timbal balik, pihak pengangkut mempunyai kewajiban untuk mengangkut barang ataupun orang dari satu tempat ke tempat lain dengan selamat sedangkan pihak pengirim berkewajiban menyerahkan ongkos yang disepakati serta menyerahkan barang yang dikirim pada alamat tujuan dengan jelas. Ditempat tujuan barang tersebut diserahterimakan kepada penerima yang mana dan alamatnya tercantum dalam surat angkutan sebagai pihak ketiga yang turut serta bertanggung jawab atas penerima barang. Kedudukan pihak penerima barang karena sesuatu perjanjian untuk berbuat sesuatu bagi penerima barang apakah barang itu diterimanya sebagai suatu hadiah.43

Perjanjian pengangkutan dan perjanjian pengangkutan udara itu sendiri tidak diatur secara khusus di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.Hukum Dagang hanya mengatur pengangkutan laut saja. Untuk menyelenggarakan pengangkutan, lebih dahulu harus ada perjanjian antara pengangkut dan penumpang/pengirim. Perjanjian pengangkutan adalah konsep mengenai gejala normatif disebut juga gejala yuridis mengenai pengangkutan.Pengangkutan adalah konsep mengenal gejala peristiwa yang disebut juga gejala empiris mengenal pelaksanaan perjanjian pengangkutan, dan kedua konsep tersebut saling berhubungan erat.44

42

Ibid.

43Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang Dan Penumpang, PT. Rineka Cipta,

Jakarta, 1995 , hal. 67.

44


(53)

Perjanjian pengangkutan udara dijelaskan pada Pasal 1 ayat (29) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 berbunyi:

perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.”

Dalam kontrak pengangkutan, materi kontrak adalah penyerahan kargo dari pengirim kepada pengangkut atau agen pengangkut. Hal ini sesuai dengan persyaratan umum (general condition) IATA Pasal 6 ayat (3) yang menyatakan perjanjian mengikat segera setelah pengangkut menyetujui untuk mengangkut kargo dengan surat kargo udara (the contract as soon as a carrier agrees to transport the good with airway bill) yang menimbulkan dugaan pengangkut sudah menandatangani surat kargo udara pada waktu kargo diserahkan. Ketentuan ini memungkinkan surat kargo udara hak adalah dapat menolak sudah ditandatangani, sedangkan kargo belum diserahkan kepada pengangkut, oleh karena itu, penerapannya harus dikaitkan pula dengan asas konsensual consideration, dan

equity dalam perjanjian pengangkutan udara.

E. Penyelenggaraan Pengangkutan Udara

Konsep penyelenggaraan pengangkutan di mana perjanjian pengangkutan yang dibuat secara sah mengikat kedua belah pihak, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengirim. Antara kedua belah pihak tercipta hubungan kewajiban dan hak yang perlu direalisasikan melalui proses penyelenggaraan pengangkutan dan pembayaran biaya pengangkutan. Proses penyelenggaraan pengangkutan adalah rangkaian perbuatan pemuatan penumpang atau barang ke


(54)

43

dalam alat pengangkut, pemindahan penumpang atau barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan yang telah disepakati, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang di tempat tujuan.45

Proses penyelenggaraan pengangkutan kereta api, darat, laut, dan udara yang terdiri atas serangkaian perbuatan pemuatan, pemindahan, dan penurunan penumpang atau pembongkaran barang akan melibatkan berbagai perusahaan penunjang pengangkutan. Tanpa didukung oleh perusahaan penunjang tersebut, penyelenggaraan pengangkutan akan sulit berlangsung secara cepat, lancar, dan tepat guna. Beberapa perusahaan penunjang penyelenggaraan pengangkutan yang dimaksud antara lain adalah:46

a. Perusahaan keagenan penumpang (trevel agency)

Yang bergerak di bidang jasa pengantara pengangkutan penumpang antara perusahaan pengangkutan dan penumpang. Contohnya adalah travel agent dan travel bureau.

b. Perusahaan ekspedisi muatan (cargo agency)

Yang bergerak di bidang jasa pengantar pengangkutan barang antara perusahaan pengangkutan dan pengirim barang. Contohnya adalah ekspedisi muatan kereta api (EMKA), dan ekspedisi muatan kapal laut (EMKL), ekspedisi muatan kapal udara (EMKU) yang umumnya disebut Cargo Forwarding Company.

45

Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 173

46 Ibid.


(55)

c. Perusahaan muat bongkar (cargo handling company)

Yang bergerak di bidang jasa pemuatan barang ke dalam alat pengangkutan atau jasa pembongkaran barang dari alat pengangkutan ke dermaga atau tempat yang ditentukan.

d. Perusahaan pergudangan (warehousing company)

Yang bergerak di bidang jasa penyimpanan barang yang akan dimuat ke dalam atau barang yang dibongkar dari alat pengangkut guna memudahkan proses penyelesaian dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan dan penyerahan barang.47

Lingkup penyelenggaraan pengangkutan, apabila diperinci, proses penyelenggaraan pengangkutan kereta api, darat, perairan, dan udara selalu meliputi lima tahap kegiatan, yaitu tahap persiapan, pemuatan, pengangkutan, penurunan/pembongkaran, dan penyelesaian. Setiap tahap diuraikan satu demi satu seperti berikut ini:48

a. Tahap persiapan

Pada tahap ini para penumpang atau pengirim mengurus penyelesaian biaya pengangkutan dan dokumen pengangkutan serta dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan bagi pengangkutan barang, misalnya dokumen perpajakan dan dokumen perizinan. Pengangkut menyediakan alat pengangkut pada hari, tanggal, dan waktu yang telah disepakati berdasarkan dokumen pengangkutan yang telah diterbitkan. Pengurusan biaya pengangkutan dan dokumen pengangkutan serta dokumen-dokumen lainnya oleh penumpang atau

47Ibid. hal.174.

48 Ibid.


(56)

45

pengirim dapat diwakilkan kepada pihak lain, seperti agen perjalanan ataupun perusahaan ekspedisi muatan.

b. Tahap Pemuatan

Pada tahap ini penumpang yang sudah memiliki karcis/tiket penumpang dapat naik dan masuk alat pengangkutan yang telah disediakan berdasarkan peraturan dan tata tertib yang berlaku. Pada pengangkutan barang, pengirim atau ekspeditur yang mewakilinya menyerahkan barang kepada pengangkut untuk dimuat dalam alat pengangkut atau pengirim menyerahkan barang kepada perusahaan jasa di bidang muat bongkar untuk dimuat ke dalam alat pengangkut.

c. Tahap pengangkutan

Pada tahap ini pengangkut menyelenggarakan pengangkutan, yaitu kegiatan memindahkan penumpang atau barang dari tempat pemberangkatan ke tempat tujuan dengan menggunakan alat pengangkut yang sesuai dengan jenis perjanjian pengangkutan. Tempat pemberangkatan dan tempattujuan dilakukan pemeriksaan atau pengecekan (check point) dokumen dan barang yang diangkut guna menetapkan apakah penumpang atau barang yang diangkut itu sah menurut undang-undang atau sah untuk dapat dilakukan tindakan pengamanan.

d. Tahap penurunan/pembongkaran

Pada tahap ini penumpang diturunkan dari alat pengangkut karena pengangkutan sudah berakhir di tempat tujuan, sedangkan pada pengangkutan barang kegiatannya adalah pembongkaran barang dari alat pengangkut.Pada


(57)

tahap ini pengangkut menyerahkan barang kepada penerima dan penerima menyerahkan pembongkaran barangnya kepada perusahaan jasa di bidang usaha muat bongkar dan meletakkannya ke tempat yang telah disepakati.Penerima menyerahkan pengurusan selanjutnya kepada ekspeditur, baik mengenal barang maupun dokumen.

e. Tahap penyelesaian

Pada tahap ini pihak-pihak menyelesaikan persoalan yang terjadi selama atau sebagai akibat pengangkutan.Penumpang yang mengalami kecelakaan, luka, atau meninggal dunia diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan kesepakatan. Pada pengangkutan barang, pengangkut menerima biaya pengangkutan dan biaya-biaya lainnya dari penerima jika belum dibayar oleh penerima. Pengangkut menyelesaikan semua klaim ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab jika itu timbul akibat penyelenggaraan pengangkutan.

Peningkatan permintaan jasa angkutan udara oleh masyarakat, harus diimbangi dengan sistem penyelenggaraan angkutan yang dapat memenuhi seluruh jenis kebutuhan masyarakat secara terpadu. Sebagai akibat berhasilnya pembangunan nasional, kebutuhan jasa angkutan udara tidak terbatas pada kebutuhan untuk memindahkan orang, barang dari satu tempat ke tempat lain secara komersial, melainkan kebutuhan angkutan barang maupun orang untuk menunjang badan usaha yang lain seperti penerbangan perminyakan, perkebunan dan sebagainya.


(1)

82 A. Kesimpulan

1. Dalam menerapkan dan melaksanakan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara PT.Garuda Indonesia (Persero), Tbk dikaitkan dengan Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012, PT. Garuda Indonesia telah melakukan pelaksanaan dan penerapan kebijakan dengan baik dan mengutamakan pengamanan dalam pengiriman kargo dan pos, di dalam pelaksanaan pengamanan PT. Garuda Indonesia memiliki 4 konsep pengamanan yaitu:

1) Screening (oleh pegawai PT.Garuda Indonesia (Persero), Tbk)

2) Ground Handeling (oleh Avsec PT.Garuda Indonesia (Persero), Tbk)

3) X-ray Bandara Angkasa Pura

4) Security Avsec Angkasa Pura

Dengan berpatokan pada prosedur keamanan kargo dan pos sebagaiman diatur pada Pasal 11 Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No.KP. 152 Tahun 2012 yang terdiri dari:

1) Penerimaan kargo dan pos 2) Pemeriksaan

3) Penumpukan/ storage 4) Pengepakan/ build up


(2)

83

6) Penempatan di pesawat udara, dan 7) Pengangkutan dengan pesawat udara.

2. Hambatan yang dialami oleh PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk terkait adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012dalam pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara ialah proses pengiriman kargo menjadi lebih lama karena adanya daerah keamanan terbatas dan daerah terbatas yang lebih dikenal dengan lini satu dan lini dua pada bandar udara yang menyebabkan pola diperpanjang dan memakan waktu lebih lama dari biasanya.

Dengan adanya penambahan lini PT. Garuda Indonesia juga harus membagi petugas acceptance mereka untuk ditempatkan pada lini satu dan lini dua.

PT. Garuda Indonesia juga harus mengubah closing timeyang tadinya 2 jam menjadi 4 jam.

Belum berlakunya konsep Regulated Agent pada bandar udara Kuala Namu.

3. Dalam menyelesaikan permasalahan pelaksanaan pengangkutan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara terkait adanya Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. Kp. 152 Tahun 2012, PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk melakukan perubahan perjanjian dengan Ground Handeling untuk menambah SDM dan fasilitas agar proses lebih cepat.


(3)

PT. Garuda Indonesia (Persero), Tbk., melakukan Sosialisasi kepada agen-agen melalui Garuda Indonesia (GA) Info, contohnya perubahan closing time yang tadinya 2 jam menjadi 4 jam guna mengantisipasi kebijakan tersebut.

Meminta operator di lini dua untuk penambahan kendaraan/angkutan dari lini dua ke lini satu dan meminta operator yang ada pada lini dua mengangkut barang ke lini satu tidak lebih dari 1 jam.

B. Saran

1. Dalam pelaksanaan penerapan dan pelaksanaan pengamanan kargo dan pos yang diangkut melalui pesawat udara, PT. Garuda Indonesia telah melaksanakannya dengan baik, saya menyarankan agar hal tersebut dapat selalu dipertahankan demi terciptanya kenyamanan pengangkutan udara. 2. PT. Garuda Indonesia terus selalu mengutamakan para pengguna jasa

pengangkutan baik pengangkutan barang ataupun penumpang.

3. PT. Garuda Indonesia seterusnya dapat selalu memberikan info-infoterkait penerbangannya.

4. Dalam membuat regulasi seharusnya pemerintah lebih mampu mensosialisasikan kebijakan yang ada kepada pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut agar semua regulasi tersebut dapat berjalan dengan baik.

5. Pemerintah lebih bisa dengan tegas memberikan sanksi-sanksi bagi pelanggaran terkait pelaksanaan peraturan yang ada.


(4)

85

6. Sebelum membuat peraturan seharusnya pemerintah dapat berfikir secara matang terhadap kebijakan yang akan diberlakukan agar kebijakan tersebut tidak merugikan ataupun menguntungkan salah satu atau sebagian pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut.


(5)

86

Badrulzaman, Mariam Darus, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fuady, Munir, 2010. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

H S, Salim, 2003. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat Di Indonesia, Sinar Grafika, Mataram.

Khairandy, Ridwan, 2006. Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta. Marsh S. B. and J. Soulsby, 1978. BusinessLaw, By McGraw-Hill Book:

Company(UK).

Martono, K, 1987. Hukum Udara, Angkutan Udara & Hukum Angkasa, Alumni, Bandung.

Martono, K, Amad Sudiro, 2010. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009, Rajawali Pers, Jakarta.

Martono, K, dkk, 2011. Transportasi Bahan dan/atau Barang Berbahaya dengan Pesawat Udara,Rajawali Pers, Jakarta.

Miru, Ahmadi, 2007.Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 2013.Hukum Pengangkutan Niaga, PT. Citra Bakti, Bandung.

Nasution, M. N, 2008.Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Jakarta. Purba, Hasim, 2005.Hukum Pengangkutan di Laut, Pustaka BangsaPress, Medan. Purwosutjipto, H.M.N, 2003.Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3

Hukum Pengangkutan,Penerbit Djambatan, Jakarta.

Subekti, R, 1995.Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Suherman, E, 2000. Aneka Masalah Hukum Kedirgantaraan, Mandar Maju, Bandung.


(6)

87

Tjakranegara,Soegijatna, 1995.Hukum Pengangkutan Barang Dan Penumpang, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Tohir Suriaatmadja, Toto, 2006.Masalah dan Aspek Hukum dalam Pengangkutan

Udara Nasional, Mandar Maju, Bandung.

Uli, Sinta, 2006. Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport,Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara, USU Press, Medan.

Yahya, M, 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara No. KP. 152 Tahun 2012 tentang Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut melalui Pesawat Udara

Perjanjian IATA (International Air Transport Association)

Perjanjian ICAO (International Civil Aviation Organization) Annex 17 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Media Internet:

http://kampoesbiruku.blogspot.com/2013/01/jenis-kargo-udara.html http://khoirulf.blogspot.com/2010/07/pengantar-pengetahuan-cargo.html