Pengujian Metode Hidrograf Satuan Sintetik di Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.1.1 Pengertian DAS

Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah tangkapan air yang dihulu dibatasi oleh punggung–punggung gunung atau bukit, dimana air hujan yang jatuh di daerah tersebut dan air tanahnya akan mengalir menuju sungai utama pada suatu titik/stasiun yang ditinjau (Triatmodjo, 2009). Undang-undang No.7 tahun 2004 pasal 1 menyatakan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

DAS biasanya dibagi menjadi tiga bagian yaitu daerah hulu, tengah, dan hilir. Fungsi suatu DAS merupakan suatu respon gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor alamiah dan buatan manusia dan yang ada pada DAS tersebut. Sebuah DAS yang besar dapat dibagi menjadi SubDAS-SubDAS yang lebih kecil (Gambar 2.1). Unit spasial yang lebih kecil dapat dibentuk pada SubDAS untuk melakukan analisa spasial yang lebih akurat berdasarkan jenis tanah dan penggunaan lahannya.

Faktor utama kerusakan DAS ditandai dengan menurunnya kemampuan menyimpannya yang menyebabkan tingginya laju erosi dan debit banjir sungai-sungainya. Faktor utama penyebab adalah 1) hilang/rusaknya penutupan vegetasi permanen/hutan, 2) penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, dan 3) penerapan teknologi pengelolaan lahan/pengelolaan DAS yang tidak tepat (Sinukaban, 2007).


(2)

Gambar 2.1: Daerah Aliran Sungai (DAS) 2.1.2 Pengertian Sungai

Permukaan bumi secara alami mengalami erosi begitu muncul ke permukaan. Salah satu faktor penting penyebab erosi yang bekerja secara terus menerus untuk mengikis permukaan bumi, hingga sama dengan permukaan laut adalah air. Air adalah benda cair yang senantiasa bergerak ke arah tempat yang lebih rendah yang dipengaruhi oleh gradien sungai dan gaya gravitasi bumi. Menurut Sandy (1985), dalam pergerakannya air selain melarutkan sesuatu juga mengikis bumi sehingga akhirnya terbentuklah cekungan dimana air tertampung melalui saluran kecil atau besar yang disebut dengan istilah alur sungai.

Sebagian besar air hujan yang turun ke permukaan tanah mengalir ke tempat tempat yang lebih rendah. Setelah mengalami bermacam macam perlawanan akibat gaya berat, air hujan akhirnya melimpah ke danau atau ke laut. Suatu alur yang panjang di ata s permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan disebut alur sungai. Dan perpaduan antara alur sungai dan aliran air didalamnya disebut sungai.


(3)

Suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air akan mengalir melalui sungai dan anak sungai disebut daerah aliran sungai (DAS). Dalam istilah bahasa inggris disebut Catchment Area, Wa tershed, atau River Basin.

Menurut Waryono (2001) bahwa struktur sungai pada hakekatnya merupakan bentuk luar penampang badan sungai yang memiliki karakteristik berbeda pada bagian hulu, tengah, dan hilir. Lebih jauh dikemukakan bahwa bagian dari struktur sungai meliputi badan sungai, tanggul sungai dan bantaran sungai. Forman (1986) menggambarkan struktur koridor sungai secara rinci sebagai berikut (Gambar 2.2):

Gambar 2.2: Struktur Koridor Sungai

Keterangan:

A: Penyangga tepian sungai D: Batas tinggi air semu

B: Dataran Banjir E: Dasar Sungai

C: Badan Sungai F: Vegetasi riparian

Fungsi pokok sungai adalah untuk mengalirkan kelebihan air dari permukaan tanah, sedangkan fungsi lainnya adalah dapat digunakan untuk kesejahteraan manusia, seperti sumber air minum, PLTA, pengairan, transportasi air, untuk meninggikan tanah yang rendah dan mengatur suhu tanah. Menurut peraturan perundangan yang ada, fungsi sungai adalah:

a. Sungai sebagai sumber air yang merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan manusia.


(4)

b. Sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan pemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

2.1.3 Bentuk-bentuk Daerah Aliran Sungai

Bentuk bentuk DAS dapat dibagi dalam empat, antara lain: A. Bentuk memanjang/ bulu burung

B. Bentuk radial C. Bentuk paralel D. Bentuk komplek

A. Bentuk memanjang/ bulu burung

Biasanya induk sungainya akan memanjang dengan anak anak sungai langsung mengalir ke induk sungai kadang kadang berbentuk seperti bulu burung. Bentuk ini biasanya akan menyebabkan besar aliran banjir relatif lebih kecil karena perjalanan banjir dari anak sungai itu berbeda beda, dan banjir berlangsung agak lama. Bentuk dari DAS ini ditunjukkan pada (Gambar 2.3).


(5)

B. Bentuk radial

Bentuk DAS ini seolah olah memusat pada satu titik sehingga menggambarkan adanya bentuk radial, kadang kadang gambaran tersebut memberi bentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut maka waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru anak sungai memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Sebagai contoh DAS Bengawan Solo seperti pada (Gambar 2.4).

Gambar 2.4: DAS bentuk radial C. Bentuk paralel

DAS ini dibentuk oleh dua jalur DAS yang bersatu dibagian hilir. Apabila terjadi banjir di daerah hilir biasanya terjadi setelah dibawah titik pertemuan. Sebagai contoh adalah banjir di Batang Hari di bawah pertemuan Batang Tembesi seperti pada (Gambar 2.5).


(6)

D. Bentuk komplek

DAS Bentuk komplek merupakan bentuk kejadian gabungan dari beberapa bentuk DAS yang dijelaskan di atas, sebagai contoh pada (Gambar 2.6).

Gambar 2.6: DAS bentuk komplek

2.2 Hidrologi

Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi – penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah. Sebagian akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan di mana sebagian akan menguap dan sebagian lagi akan jatuh atau mengalir melalui dahan-dahan ke permukaan tanah. Gambar 2.7 berikut merupakan gambar siklus hidrologi.


(7)

Gambar 2.7 Siklus Hidrologi

2.2.1 Curah Hujan

Data curah hujan yang tercatat diproses berdasarkan areal yang mendapatkan hujan sehingga didapat tinggi curah hujan rata-rata dan kemudian diramalkan besarnya curah hujan pada periode tertentu. Berikut dijabarkan tentang cara menentukan tinggi curah hujan arel. Dengan melakukan penakaran atau pecatatan hujan, kita hanya mendapat curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Jika di dalam suatu areal terdapat beberapa alat penakar atau pencatat curah hujan, maka dapat diambil nilai rata -rata untuk mendapatkan nilai curah hujan areal.


(8)

Ada 3 macam cara yang berbeda dalam menentukan tinggi curah hujan rata-rata pada areal tertentu dari angka-angka curah hujan di beberapa titik pos penakar atau pencatat.

1. Rata-rata aljabar

Tinggi rata-rata curah hujan didapatkan dengan mengambil nilai rata-rata hitung (a rithma tic mea n) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan di dalam areal studi.

d = d +d +d + … + dnn = ∑n din

i= (2.1)

di mana d = tinggi curah hujan rata-rata, d1, d2 . . . dn = tinggi curah hujan pada pos

penakar 1, 2, . . . , n, dan n = banyak pos penakaran.

Cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika pos-pos penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran masing-masing pos penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh pos di seluruh areal.

2. Cara Poligon Thiessen

Cara ini berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Masing-masing penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung di antara dua buah pos penakar. Gambar 2.8 menunjukkan contoh posisi stasiun 1, 2, dan 3 dari skema poligon Thiessen dalam Daerah Aliran Sungai (DAS).


(9)

Gambar 2.8 Poligon Thiessen pada DAS Curah hujan pada suatu daerah dapat dihitung dengan persamaan berikut:

(2.2) (2.3) dimana d = tinggi curah hujan rerata daerah (mm), dn = hujan pada pos penakar hujan

(mm), An = luas daerah pengaruh pos penakar hujan (km2), dan A = luas total DAS

(km2).

3. Cara isohyet

Dalam hal ini kita harus menggambarkan dulu kontur dengan tinggi curah hujan yang sama (isohyet), seperti terlihat pada Gambar 2.9 berikut.

Gambar 2.9 Peta Isohyet

n 2 1 n n 2 2 1 1 A ... A A d . A ... d . A d . A d        A d . A ... d . A d . A


(10)

Kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yeng berdekatan diukur, dan nilai rata-ratanya dihitung sebagai berikut:

(2.4)

(2.5) di mana d = tinggi curah hujan rata-rata areal, A = luas areal total = A1 + A2 + A3 + ...+

An, dan d0, d1, ..., dn = curah hujan pada isohyet 0, 1, 2, ..., n.

Ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan areal rata-rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat yang memungkinkan untuk membuat isohyet. Pada waktu menggambar garis-garis isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan (hujan orografik).

2.2.2 Distribusi Frekuensi Curah Hujan

Untuk menganalisis probabilitas curah hujan biasanya dipakai beberapa macam distribusi yaitu:

A. Distribusi Normal

B. Log Normal

C. Gumbel

D.Log Pearson Type III A. Distribusi Normal

n 2 1 n n 1 n 2 1 1 0 ...A A A A 2 d d ... A 2 d d A 2 A d d d        

   i i i 1 i A A 2 d d d


(11)

Distribusi normal atau kurva normal disebut pula distribusi Gauss. Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Normal, dengan persamaan sebagai berikut:

XT = X + k.Sx (2.6)

Dimana:

XT: Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah

hujan rencana untuk periode ulang T tahun.

X: Harga rata–rata dari data n

X

n

1 i

K: Variabel reduksi

Sx : Standard Deviasi

1 n

X X

n

1 i n

1 2 i

 

Tabel 2.1 Nilai Variabel Reduksi Gauss

(sumber: Buku sistem dra ina se perkota an ya ng berkelanjuta n ha l 37)


(12)

Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode distribusi Log Normal, dengan persamaan sebagai berikut:

Log XT = Log X + k.Sx Log X (2.7)

Dimana:

Log XT : Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan

rancangan untuk periode ulang T tahun.

Log X : Harga rata – rata dari data

n ) (X log

n

1

i

SxLog X: Standard Deviasi

1 n

) X Log (LogX

n

1 i n

1

2 i

 

K : Variabel reduksi

Tabel 2.2 Nilai K untuk Distribusi Log Normal

(Sumber: Buku sistem dra ina se perkotaa n yang berkela njuta n ha l 37) C. Distribusi Gumbel


(13)

Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode E.J. Gumbel, dengan persamaan sebagai berikut:

XT= X + K.Sx (2.8)

Dimana:

XT: Variate yang diekstrapolasikan, yaitu besarnya

curah hujan rencana untuk periode ulang T (tahun).

X: Harga rata – rata dari data n

X

n

1 i

Sx: Standard Deviasi

1 n

X X

n

1 i n

1 2 i

 

K: Variabel reduksi.

Untuk menghitung variabel reduksi E.J. Gumbel mengambil harga: K

n n T

S Y

Y 

 (2.9)

Dimana:

YT : Reduced variate sebagai fungsi dari periode ulang T

Yn : Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (N)

Sn: Reduced standard deviation sebagai fungsi dari banyak data N


(14)

(Sumber: Buku sistem dra ina se perkotaa n yang berkela njuta n ha l 51)

Tabel 2.4 Reduksi Variat (YTR) sebagai fungsi periode ulang Gumbel

(Sumber: Buku sistem dra ina se perkotaa n yang berkela njuta n ha l 52) Tabel 2.5 Reduksi Standard Deviasi (Sn) untuk Distribusi Gumbel


(15)

D. Distribusi Log Person III

Untuk analisa frekuensi curah hujan menggunakan metode Log Person Type III, dengan persamaan sebagai berikut:

Log XT = LogX + Ktr. S1 (2.10)

Dimana:

Log XT: Variate diekstrapolasikan, yaitu besarnya curah hujan

rancangan untuk periode ulang T tahun.

Log X : Harga rata – rata dari data, LogX

n X Log n 1 i i

S1: Standard Deviasi, S1 =

1 n X Log X Log n 1 i 2 i  

Ktr : Koefisien frekuensi, didapat berdasarkan hubungan nilai Cs

dengan periode ulang T.

3 i n 1 i 3 i S . ) 2 n ( ) 1 n ( X Log X Log . n Cs    

 Dimana :


(16)

Tabel 2.6 Nilai K untuk distribusi Log Pearson


(17)

2.2.3 Uji Distribusi Frekuensi Curah Hujan

Untuk mengetahui apakah data tersebut benar sesuai dengan jenis sebaran teoritis yang dipilih maka perlu dilakukan pengujian lebih lanjut. Untuk keperluan analisis uji kesesuaian dipakai dua metode statistik sebagai berikut:

1. Uji Chi Kuadrat

Uji Chi Kuadrat digunakan untuk menguji apakah distribusi pengamatan dapat disamai dengan baik oleh distribusi teoritis. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan berikut:

(2.11) di mana k = 1 + 3,22 Log n, OF = nilai yang diamati, dan EF = nilai yang diharapkan.

Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 hitung < X2Cr. Harga X2Cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikan α dengan derajat

kebebasan. Batas kritis X2 tergantung pada derajat kebebasan dan . Untuk kasus ini derajat kebebasan mempunyai nilai yang didapat dari perhitungan sebagai berikut:

DK = JK - (P + 1) (2.12)

di mana DK = derajat kebebasan, JK = jumlah kelas, dan P = faktor keterikatan (untuk pengujian Chi-Square mempunyai keterikatan 2).

2. Uji Smirnov Kolmogorof

 k

1 i

2 2

hit

EF ) OF -(EF X


(18)

Tahap-tahap pengujian Smirnov Kolmogorof adalah sebagai berikut:

a. Plot data dengan peluang agihan empiris pada kertas probabilitas, dengan menggunakan persamaan Weibull:

 

x 100% 1

n m P

 (2.13)

di mana m = nomor urut dari nomor kecil ke besar, dan n = banyaknya data. b. Tarik garis dengan mengikuti persamaan:

d T logX G .S

X

Log   (2.14)

Dari grafik ploting diperoleh perbedaan perbedaan maksimum antara distribusi teoritis dan empiris:

Pt -Pe

max 

 (2.15)

di mana max= selisih maksimum antara peluang empiris dengan teoritis, Pe = peluang empiris, dan Pt = peluang teoritis.

c. Taraf signifikan diambil 5% dari jumlah data (n), didapat ΔCr dari tabel. Dari tabel Uji Smirnov Kolmogorof, bila Δ maks < ΔCr, maka data dapat diterima.

2.3 Hidrograf Satuan Sintetik

Di daerah di mana data hidrologi tidak tersedia untuk menurunkan hidrograf satuan, maka dibuat hidrograf satuan sintetis yang didasarkan pada karakteristik fisik dari DAS. Berikut ini diberikan beberapa metode yang biasa digunakan dalam menurunkan hidrograf banjir.


(19)

1. Hidrograf Satuan Gama I

Kajian sifat dasar Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gamma I adalah hasil penelitian 30 buah daerah aliran sungai di Pulau Jawa. Sifat-sifat daerah aliran sungai dalam metode HSS Gamma I adalah sebagai berikut:

1. Faktor sumber (source factor, SF) adalah perbandingan antara jumlah panjang sungai-sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai semua tingkat.

2. Frekuensi sumber (source frequency, SN) ditetapkan sebagai perbandingan antara jumlah pangsa sungai semua tingkat.

3. Faktor simetri (symmetry factor, SIM), ditetapkan sebagai hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas relatif DPS sebelah hulu (RUA).

4. Faktor lebar (width fa ctor, WF) adalah perbandingan antara lebar DAS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¾ L dan lebar DPS yang diukur dari titik di sungai yang berjarak ¼ L dari tempat pengukuran.

5. Luas relatif DPS sebelah hulu (relative upper catchment area ), yaitu perbandingan antara luas DPS sebelah hulu garis yang ditarik terhadap garis yang mengubungkan titik tersebut dengan tempat pengukuran dengan luas DPS.

6. Jumlah pertemuan sungai (number of junction, JN)

Gambar 2.10 berikut merupakan model parameter karakteristik DAS Metode Gamma I. untuk X ~ A = 0,25 L, X ~ B = 0,75 L, dan WF = WU/WL.


(20)

Gambar 2.10 Model Parameter Karakteristik DAS Metode Gamma I

Rumus-rumus yang digunakan dalam metode HSS Gamma I adalah sebagai berikut: B = 1,5518 N-0,14991 A-0,2725 SIM–0,0259 S-0,0733 (2.16) di mana N = jumlah stasiun hujan, A = luas DAS (km2), SIM = faktor simetri, S = landai sungai rata-rata, dan B = koefiesien reduksi.

Menghitung waktu puncak HSS Gamma I (tr) dengan rumus berikut:

tr = 0.43 ( L/ 100 SF) 3 + 1.0665 SIM + 1.277 (2.17)

di mana tr = waktu naik (jam), L = panjang sungai induk (km), SF = faktor sumber, dan

SIM = faktor simetri.

Menghitung debit puncak banjir HSS Gamma I (Qp) dengan rumus berikut:

Qp = 0,1836 A0,5884 JN0,2381 tr-0,4008 (2.18)

di mana Qp = debit puncak (m3/det), dan JN = jumlah pertemuan sungai.

Menghitung waktu dasar pada metode HSS Gamma I (tb) dengan rumus berikut: A

B WL

WU X


(21)

tb = 27,4132 tr0,1457 S-0,0986 SN0,7344 RUA0,2574 (2.19) di

mana S = landai sungai rata-rata, SN = frekuensi sumber, dan RUA = luas relatif DPS sebelah hulu (km2).

Menghitung koefisien resesi (K) pada metode ini dihitung dengan rumus: K = 0,5671 A0,1798 S-0,1446 SF-1,0897 D0,0452 (2.20)

di mana K = koefisien tampungan (jam), A = luas DPS (km2), S = landai sungai rata-rata, SF = faktor sumber (km/km2), dan D = kerapatan jaringan kuras (km/km2).

Menghitung aliran dasar sungai dihitung dengan rumus:

QB = 0,4751 A0,6444 D0,9430 (2.21)

2. Hidrograf Satuan Nakayasu

Perhitungan debit banjir rancangan menggunakan metode Nakayasu. Persamaan umum Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut:

) T T (0,3 3,6

R . A . C

Q

0,3 P

0 p

 (2.22) Tp =

tg + 0,8 tr (2.23) tg =

0,21 x L0,7 (L < 15 km) (2.24)

tg = 0,4 + 0,058 x L (L > 15 km) (2.25)


(22)

di mana Qp = debit puncak banjir (m3/det), C = koefisien pengaliran, R0 = hujan satuan

(mm), A = luas DAS (km2), Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak

banjir (jam), T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak

sampai menjadi 30% dari debit puncak, tg= waktu konsentrasi (jam), tr = satuan waktu

hujan, diambil 1 jam,  = parameter hidrograf, bernilai antara 1.5 – 3.5, dan L = panjang sungai (m).

Gambar 2.11 merupakan contoh gambar hidrograf nakayasu berupa hubungan antara waktu dengan debit puncaknya.

Gambar 2.11 Model Hidrograf Nakayasu

Persamaan-persamaan yang digunakan dalam hidrograf nakayasu adalah:

a. Pada kurva naik, 0 ≤ t ≤ Tp, maka p 4 , 2

p

t x Q

T t Q

     0,3 Qp

0,32 Qp

0,8 Tr tg

Qp

LengkungNaik Lengkung Turun

Tp T0,3 1,5 T0,3

Tr

Q

t (jam)


(23)

b. Pada kurva turun, Tp< t ≤ (Tp + T0,3), maka        

 T0,3

Tp -t

p t Q x 0,3

Q , untuk (Tp + T0,3) ≤ t

≤ (Tp + T0,3 + 1,5T0,3), maka 

         0,3 0,3 1,5T 0,5T Tp -t p t Q x 0,3

Q , dan untuk t > (Tp + T0,3 +

1,5T0,3), maka 

         0,3 0,3 2T 1,5T Tp -t p t Q x 0,3

Q .

di mana Qt = debit pada saat t jam (m3/det)

3. Hidrograf satuan Snyder

Dalam permulaan tahun 1938, F.F. Snyder dari Amerika Serikat telah mengembangkan rumus empiris dengan koefisien-koefisien empiris yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran. Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan :

A= Luas daerah pengaliran (km2) L= Panjang aliran utama (km)

LC= Jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet) yang diukur sepanjang aliran utama

Dengan unsur-unsur tersebut Snyder membuat rumus-rumusnya sebagai berikut :

tp = Ct (L. Lc) (2.27)

5, 5

p r

t

t  (2.28)

.A 2, 78 p p p C Q t  (2.29)


(24)

72 3

b p

T   t (2.30)

dimana:

tp : Waktu mulai titik berat hujan sampai debit puncak dalam jam

tr : Lama curah hujan efektif

Qp : Debit maksimum total Tb : Waktu dasar hidrograf

Koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan dengan rumus sebagai berikut :  Keterlambatan DAS (basin lag)

(2.31)

dimana :

Ct : Koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah

yang sama

 Menghitung debit puncak per satuan luas dari hidrograf satuan standar :

(2.32)

dimana :

0,3

t = C (L.L )p t c

2, 75.Cp q =p


(25)

Cp : Koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah

yang sama

Harga L dan Lc diukur dari peta DAS untuk menghitung Ct dan Cp pada DAS yang terukur. Berdasarkan hidrograf satuan yang diturunkan dapat diperolrh durasi efektif tR

dalam jam, kelambatan DAS tpR dalam jam. Jika maka :

tr = tR

tp = tpR dan qp = qpR

Jika tpR jauh dari 5,5 tR, maka kelambatan DAS standar adalah :

(2.33)

Dan persamaan (2.29) dan (2.33) diselesaikan untuk mendapatkan nilai tr dan tp. Nilai Ct dan Cp kemudian dihitung dari persamaan (2.32) dan (2.33).

Lamanya hujan efektif tr ‘=tp/5,5 dimana tr diasumsi 1 jam. Jika tr’ > tr ( asumsi),

dilakukan koreksi terhadap tp

' 0, 25( ')

p p r r

t  t t t (2.34)

maka :

' 2

r

P p

t

T  t (2.35)

Jika tr’ < tr (asumsi), maka :

2

r

p p

t

T  t (2.36)

t = 5,5 tp r

t tr- R t = t R +p p


(26)

Menentukan grafik hubungan antara Qp dan t (UH) berdasarkan persamaan Alexseyev sebagai berikut :

.

QY Qp (2.37)

dimana :

2

(1 )

10

x a

x

Y

 

 (2.38)

R

t X

T

 (2.39)

2

1,32 0,15 0, 045

a      (2.40)

( . )

( . )

p R

Q T h A

  (2.41)

dimana:

Q : Debit dengan periode hidrograf

Y : Perbandingan debit periode hidrograf dengan debit puncak

X : Perbandingan waktu periode hidrograf dengan wktu mencapai puncak banjir

Setelah  dan a dihitung, maka nilai y untuk masing-masing x dapat dihitung (dengan membuat table), dari nilai-nilai tersebut diperoleh t=xTp dan Q=y.Qp , selanjutnya dibuat


(1)

tb = 27,4132 tr0,1457 S-0,0986 SN0,7344 RUA0,2574 (2.19) di

mana S = landai sungai rata-rata, SN = frekuensi sumber, dan RUA = luas relatif DPS sebelah hulu (km2).

Menghitung koefisien resesi (K) pada metode ini dihitung dengan rumus: K = 0,5671 A0,1798 S-0,1446 SF-1,0897 D0,0452 (2.20)

di mana K = koefisien tampungan (jam), A = luas DPS (km2), S = landai sungai rata-rata, SF = faktor sumber (km/km2), dan D = kerapatan jaringan kuras (km/km2).

Menghitung aliran dasar sungai dihitung dengan rumus:

QB = 0,4751 A0,6444 D0,9430 (2.21)

2. Hidrograf Satuan Nakayasu

Perhitungan debit banjir rancangan menggunakan metode Nakayasu. Persamaan umum Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut:

) T T (0,3 3,6

R . A . C

Q

0,3 P

0 p

 (2.22) Tp =

tg + 0,8 tr (2.23) tg =

0,21 x L0,7 (L < 15 km) (2.24)

tg = 0,4 + 0,058 x L (L > 15 km) (2.25)


(2)

di mana Qp = debit puncak banjir (m3/det), C = koefisien pengaliran, R0 = hujan satuan

(mm), A = luas DAS (km2), Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak

banjir (jam), T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak

sampai menjadi 30% dari debit puncak, tg= waktu konsentrasi (jam), tr = satuan waktu

hujan, diambil 1 jam,  = parameter hidrograf, bernilai antara 1.5 – 3.5, dan L = panjang sungai (m).

Gambar 2.11 merupakan contoh gambar hidrograf nakayasu berupa hubungan antara waktu dengan debit puncaknya.

Gambar 2.11 Model Hidrograf Nakayasu

Persamaan-persamaan yang digunakan dalam hidrograf nakayasu adalah:

a. Pada kurva naik, 0 ≤ t ≤ Tp, maka

4 , 2

Q x t Q

    

0,3 Qp

0,32 Qp

0,8 Tr tg

Qp

LengkungNaik Lengkung Turun

Tp T0,3 1,5 T0,3

Tr

Q

t (jam)


(3)

b. Pada kurva turun, Tp< t ≤ (Tp + T0,3), maka        

 T0,3

Tp -t p

t Q x 0,3

Q , untuk (Tp + T0,3) ≤ t

≤ (Tp + T0,3 + 1,5T0,3), maka 

         0,3 0,3 1,5T 0,5T Tp -t p

t Q x 0,3

Q , dan untuk t > (Tp + T0,3 +

1,5T0,3), maka 

         0,3 0,3 2T 1,5T Tp -t p

t Q x 0,3

Q .

di mana Qt = debit pada saat t jam (m3/det)

3. Hidrograf satuan Snyder

Dalam permulaan tahun 1938, F.F. Snyder dari Amerika Serikat telah mengembangkan rumus empiris dengan koefisien-koefisien empiris yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik daerah pengaliran. Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan :

A= Luas daerah pengaliran (km2) L= Panjang aliran utama (km)

LC= Jarak antara titik berat daerah pengaliran dengan pelepasan (outlet) yang diukur sepanjang aliran utama

Dengan unsur-unsur tersebut Snyder membuat rumus-rumusnya sebagai berikut :

tp = Ct (L. Lc) (2.27)

5, 5

p r

t

t  (2.28)

.A 2, 78 p p p C Q t  (2.29)


(4)

72 3

b p

T   t (2.30)

dimana:

tp : Waktu mulai titik berat hujan sampai debit puncak dalam jam

tr : Lama curah hujan efektif

Qp : Debit maksimum total Tb : Waktu dasar hidrograf

Koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan dengan rumus sebagai berikut :  Keterlambatan DAS (basin lag)

(2.31)

dimana :

Ct : Koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah

yang sama

 Menghitung debit puncak per satuan luas dari hidrograf satuan standar :

(2.32)

dimana :

0,3 t = C (L.L )p t c

2, 75.Cp q =p


(5)

Cp : Koefisien yang diturunkan dari DAS yang memiliki data pada daerah

yang sama

Harga L dan Lc diukur dari peta DAS untuk menghitung Ct dan Cp pada DAS yang terukur. Berdasarkan hidrograf satuan yang diturunkan dapat diperolrh durasi efektif tR

dalam jam, kelambatan DAS tpR dalam jam. Jika maka :

tr = tR

tp = tpR dan qp = qpR

Jika tpR jauh dari 5,5 tR, maka kelambatan DAS standar adalah :

(2.33)

Dan persamaan (2.29) dan (2.33) diselesaikan untuk mendapatkan nilai tr dan tp. Nilai Ct dan Cp kemudian dihitung dari persamaan (2.32) dan (2.33).

Lamanya hujan efektif tr ‘=tp/5,5 dimana tr diasumsi 1 jam. Jika tr’ > tr ( asumsi),

dilakukan koreksi terhadap tp

' 0, 25( ')

p p r r

t  t t t (2.34)

maka :

' 2

r

P p

t

T  t (2.35)

Jika tr’ < tr (asumsi), maka :

2 r p p

t

T  t (2.36)

t = 5,5 tp r

t tr- R t = t R +p p


(6)

Menentukan grafik hubungan antara Qp dan t (UH) berdasarkan persamaan Alexseyev sebagai berikut :

.

QY Qp (2.37)

dimana :

2 (1 ) 10

x a

x Y

 

 (2.38)

R t X

T

 (2.39)

2

1,32 0,15 0, 045

a      (2.40)

( . )

( . ) p R Q T

h A

  (2.41)

dimana:

Q : Debit dengan periode hidrograf

Y : Perbandingan debit periode hidrograf dengan debit puncak

X : Perbandingan waktu periode hidrograf dengan wktu mencapai puncak banjir

Setelah  dan a dihitung, maka nilai y untuk masing-masing x dapat dihitung (dengan membuat table), dari nilai-nilai tersebut diperoleh t=xTp dan Q=y.Qp , selanjutnya dibuat