Pengurusan Harta Warisan Anak Di Bawah Umur Yang Berada Di Bawah Perwalian (Studi Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor 4 Pdt.P 2015 Pa.Mdn)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara masalah perwalian atas seorang anak maka tidak telepas dari
pembahasan anak danbatas usia seorang anak, ini penting karena untuk mengetahui
bilamana

seorang

anak

diletakkan

dibawah

perwalian

dan

dapat


mempertangungjawabkan suatu perbuatanya. Anak dalam bahasa arab disebut
walad1, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai makhluk ciptaan tuhan
yang sedang menempuh perkembangannyakearah abdi allah yang saleh, dimana
dengan memandang anak dan kaitannya dengan perkembangan membawa arti bahwa
anak diberikan tempat khusus yang berbeda dengan kehidupan orang dewasa, dan
anak memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dari orang dewasa dan para
pendidiknya, artinya kehidupan anak tidak dipenggal dan dilepaskan dari dunianya
serta dimensi dan prospeknya.”2
Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam
bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge) tetapi dapat di telaah dari sisi
pandang sentralistis kehidupan. Misalnya agama, hukum dan sosiologi menjadikan
pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.Untuk
meletakkan anak kedalam pengertian subjek hukum maka diperlukan unsur-unsur
internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak
1

Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, (Jakarta:
Pustaka Bangsa, 2003), hlm. 81
2
Ibid.,hlm. 83


1

2

tersebut. Menyangkut masalah pengertian anak ini dan batas umurnya masih
mempunyai ketidakseragaman pendapat, baik itu pendapat para pakar dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Maulana Hasan Wadong juga menyebutkan batas
usia anak dapat dikelompokkan yaitu pengelompokan usia maksimum sebagai wujud
kemampuan anak dalam status hukum, sehingga anaktersebut beralih status menjadi
usia dewasa atau dapat menjadi subjek hukum yangdapat bertanggung jawab secara
mandiri terhadap perbuatan dan tindakan hukumyang dilakukan anak tersebut.”3
Manusia hidup dengan sistem kekeluargaan yang erat sekali.Hubungan darah
menempatkan suatu posisi antara kewajiban dan hak dari masing-masing individu
lainnya. Baik itu kewajiban menjaga, memelihara serta tanggung jawab lainnya.
Meskipun intinya hanya berkisar tanggung jawab tetapi hubungan darah mempunyai
dimensi sosial yang sangat besar bagi perkembangan jiwa seseorang terutama dalam
hal ini seorang anak. Berdasarkan sebab diatas jika orang tua telah tiada maka
tanggung jawab atas pemeliharaan seorang anak tersebut akan diselenggarakan oleh
seorang wali, terutama dalam hal ini adalah anak yang belum dewasa.

Tentang kedewasaan ini, merupakan salah satu dari sekian faktor yang harus
diperhatikan apabila hendak melakukan suatu perbuatan hukum. Masalah tidak akan
timbul jika ternyata seorang anak yang belum dewasa masih berada dibawah
pemeliharaan orang tuanya. Namun apabila sianak yang belum dewasa sudah tidak
berada dibawah kekuasaan orang tuanya lagi maka segala perbuatan hukum sianak

3

Maulana Hasan Wadong, Advokasi Dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Grasindo,
2000), hlm. 14-15

3

harus diwakilkan oleh seseorang sebagai pengganti orang tua si anak, atas hal tersebut
maka diperlukan ketentuan-ketentuan hukum mengaturnya, terutama menempatkan
seorang wali dalam hal pemeliharaan seorang anak.
Penempatan wali ini sangat penting, terlebih pada masalah pewarisan. Apabila
orang tua sianak yang belum dewasa meninggal dunia maka sianak tersebut akan
mendapatkan harta warisan dari orang tuannya itu maka sianak harus diwakilkan oleh
walinya, sehingga dengan akibat tersebut harta peninggalan yang didapatkan seorang

anak atas peristiwa peninggalannya kedua orang tuanya dapat memenuhi rasa
keadilan dan kepastian hukum.
Perwalian dalam istilah bahasa adalah wali yang berarti menolong yang
mencintai.4 Perwalian secara etimologi (bahasa), memiliki beberapa arti, diantaranya
adalah kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari awliya.Kata ini berasal
dari bahasa Arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung.Dalam literatur fiqih
Islam perwalian disebut dengan al-walayah(alwilayah), (orang yang mengurus atau
yang mengusai sesuatu), seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan addilalah.
Secara etimologis memiliki beberapa arti, di antaranya adalah cinta (almahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) dan juga berarti kekuasaan atau otoritas
(as-saltah wa–alqudrah) seperti dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang
mempunyai kekuasaan.Hakikat dari al-walayah (alwilayah) adalah tawalliy al-

4

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren AlMunawir, 1984), hlm. 960

4

amr(mengurus atau menguasai sesuatu).5Perwalian dalam istilah Fiqh disebut
wilayah, yang berarti penguasaan dan perlindungan.Jadi arti dari perwalian menurut

fiqh ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk
menguasai dan melindungi orang atau barang.Orang yang diberi kekuasaan perwalian
disebut wali.6
Perwalian menurut (fiqh) merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anak.
Dalam hukum Islam diatur dalam (hadhanah) yang diartikan melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki atau perempuan, atau yang sudah
besar, tetapi belum tamyiz, dan menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani
dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung
jawabnya.7Dalam hal ini, kedua orang tua wajib memelihara anaknya, baik
pemeliharaan mengenai jasmani maupun rohaninya.Keduanya bertanggung jawab
penuh mengenai perawatan, pemeliharaan, pendidikan, akhlak, dan agama anaknya.
Pada intinya perwalian adalah pengawasan atas orang sebagaimana di atur
dalam undang-undang, dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa
(pupil).8 Demikian juga dengan penguasaan dan perlindungan terhadap seseorang
sebagai wali, orang tersebut mempunyai hubungan hukum dengan orang yang
dikuasai dan dilindungi, anak-anaknya atau orang lain selain orang tua yang telah
5

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2005), hlm. 134-135
6
Soemiyati, Hukum Perkawinan Dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty,
1986), hlm. 41
7
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 8, (Bandung: Al Maarif, 1980), hlm. 173
8
Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 150

5

disahkan oleh hukum untuk bertindak sebagai wali. Oleh karena itu perwalian
tersebut adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan
suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang
tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
Penguasaan dan perlindungan terhadap orang dan benda, dimana seseorang
wali berhak menguasai dan melindungi satu barang, sehingga orang yang
bersangkutan mempunyai hukum dengan benda tersebut, misalnya benda miliknya
atau hak milik orang lain yang telah diserah terimakan secara umum kepadanya. Jadi,

wali dapat melakukan penguasaan dan perlindungan atas barang tersebut sah
hukumnya.Masalah perwalian anak tidak lepas dari suatu perkawinan, karena dari
hubungan perkawinanlah lahirnya anak dan bila pada suatu ketika terjadi perceraian,
salah satu orang tua atau keduanya meninggal dunia, maka dalam hal ini akan timbul
masalah perwalian, dan anak-anak akan berada dibawah lembaga perwalian. Wali
merupakan orang yang mengatur dan bertanggung jawab terhadap kepentingan anakanak tersebut baik mengenai diri si anak maupun harta benda milik anak tersebut.
Sebelum perwalian timbul, maka anak anak berada dibawah kekuasaan orang
tua, yang merupakan kekuasaan yang dilakukan oleh ayah atau ibu, selama ayah atau
ibu masih terikat dalam perkawinan.Kekuasaan itu biasanya dilakukan oleh si ayah,
namun jika siayah berada diluar kemungkinan untuk melakukan kekuasaan tersebut
maka si ibu yang menjadi wali.Pada umumnya, kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak yang belum dewasa, meskipun orang tua dari anak yang

6

belum dewasa tersebut kehilangan hak menyelenggarakan kekuasaan orang tua atau
menjadi wali, hal itu tidak membebaskan orang tua si anak dari kewajiban untuk
memberikan tunjangan untuk membayar pemeliharaan atau pendidikannya sampai
anak tersebut menjadi dewasa.
Menurut hukum Islam perwalian terbagi dalam tiga kelompok. Para ulama

mengelompokan:
a.

Perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan-nafs).

b.

Perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal-mal).

c.

Perwalian terhadap jiwa dan harta (al-walayah ‘alan nafsi wal mali ma’an).9
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-walayah ‘alan-nafs, yaitu

perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang
berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan
dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak yang hak kepengawasan pada
dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para wali yang lain. Perwalian
terhadap harta ialah perwalian yang berhubungan dengan ihwal pengelolaan kekayaan
tertentu dalam hal pengembangan, pemeliharaan, pengawasan, dan pembelanjaan.

Adapun perwalian terhadap jiwa dan harta ialah perwalian yang meliputi urusanurusan pribadi dan harta kekayaan, dan hanya berada ditangan ayah dan kakek. 10
Perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam adalah kewenangan yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil

9

Muhammad Amin Summa, Op. Cit., hlm. 136
Ibid., hlm. 137

10

7

untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang
tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 11 Pasal 107 KHI
menyatakan bahwa perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21
tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan dan perwalian meliputi
perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
Pada dasarnya perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam adalah kekuasaan
yang diberikan kepada seseorang untuk mewakili anak yang belum dewasa dalam

melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan kebaikan si anak, yang meliputi
perwalian terhadap diri juga harta kekayaannya. Adapun anak belum dewasa menurut
Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang belum mencapai usia 21 tahun dan atau
belum pernah menikah. Selain itu dalam Pasal 50 UU Perkawinan menyebutkan
bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah
kekuasaan wali. Dalam Pasal tersebut ayat (2) juga menyebutkan perwalian itu
mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.12
Menurut ketentuan hukum Islam, ada beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi agar seseorang dapat dijadikan wali bagi anak-anak yang belum atau tidak
cakap bertindak secara hukum. Syarat yang dimaksud di antaranya adalah orang yang
telah cukup umur dan berakal serta cakap bertindak hukum, agama wali harus sama
dengan agama anaknya, memiliki sifat adil, dan mempunyai kemauan untuk

11
12

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2001), hlm. 14
Pasal 50 Ayat (1), Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


8

bertindak dan memelihara amanah. Menurut ketentuan hukum perkawinan, seorang
wali harus memiliki syarat dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan
baik.13
Pasal 50-54 UU Perkawinan, Pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam, yang
mengatur tentang perwalian dapat disimpulkan bahwa perwalian didefinisikan
sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau
atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak mampu melakukan
perbuatan hukum. Perwalian bagi anak yatim atau orang yang tidak cakap bertindak
dalam hukum seperti orang gila adalah perwalian jiwa dan harta.Ini artinya wali
berwenang mengurus pribadi dan mengelola pula harta orang di bawah perwaliannya.
Sedangkan membicarakan batas umur dari anak menurut peraturanperundangundangan juga memiliki perbedaan dari pembatasan usia anak ini didasaridari
maksud dan tujuan dari masing-masing peraturan perundang-undangan tersebut,untuk
meletakkan batas usia seoarang anak ini menyebabkan pluralitas dalammenentukan
batas usia seorang anak dimana diantaranya:
1) KUH Perdata menyebutkan batas antara belum dewasa (minderjarigheid) dengan
usia telah dewasa (meerderjarigheid) yaitu 21 tahun kecuali anak tersebut telah
kawin sebelum usianya 21 tahun atau karena pendewasaan (venia aetatis).14
Pendewasaan sebagaimana tersebut dalam Pasal 419 KUHPerdata yaitu dengan
melakukan perlunakan seorang anak belum dewasa boleh dikatakan dewasa atau

13
14

Pasal 51 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 330 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

9

bolehlah diberikan kepadanya hak kedewasaan yang tertentu dimana perlu atas
anak yang belum dewasa tersebut dinyatakan dewasa dengansurat-surat
pernyataan dewasa (venia aetatis)yang diberikan oleh Presiden setelah
mendengarkan nasehat dari Makamah Agung sebagaimana tersebut didalam
Pasal 420 KUH Perdata. Dari ketentuan yang tersebut pada Pasal 330 diatas
dapat diketahui bahwa batasan umur anak merupakan mereka yang belum
berumur 21 tahun, hal ini merupakan pembatasan yang jelas dan tegas disebutkan
tentang seseorang telah dewasa atau belum dewasa.
2) Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
mengatur secara langsung tentang anak namun secara tersirat dapat dilihat dalam
Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan “untuk melakukan suatu perkawinan seseorang
yang belum mencapai umur 21 tahun haruslah mendapat izin dari orang tuanya.”
Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa “perkawinan hanya di izinkan jika pihak
pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16
tahun.” Sedangkan dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) menyebutkan “bahwa anak
yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah melakukan pernikahan
berada dibawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut kekuasaan
orang tuanya.”
3) Hukum Kebiasaan (Hukum Adat dan Hukum Islam). Menurut Soerjono
Soekanto “seorang anak dipandang sebagai suatu keturunan masyarakat, yang
merupakan keturunan dari kedua orang tuanya sehingga anak tersebut
mempunyai hubungan kekerabatan yang dapat ditelusuri, baik melalui ayah

10

ibunya.”15 Menurut hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seorang
anak dianggap dewasa dan wenang bertindak. Dimana ukuran dewasa seseorang
dapat diukur dengan melihat:
a) Kemandirian seseorang anak (telah bekerja).
b) Cakap

untuk

melakukan

apa

yang

diisyaratkan

dalam

kehidupan

bermasyarakat dan bertanggung jawab.
c) Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.16
Hal berbeda diutarakan oleh Hilman Hadikusuma yang menarik garis batas
antara belum dewasa dan sudah dewasa tidak perlu di permasalahkan, oleh karena
pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan
perbuatan hukum misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan perbuatan
jualbeli, berdagang dan sebagainya walaupun dia belum wenang kawin.17 Menurut
Ter Haar “laki-laki atau perempuan dianggap telah cakap untuk melakukan suatu
perbuatan hukum adalah mereka yang telah dewasa, dalam hal ini berarti mereka
telah menikah dan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap dirumah sendiri
dan menjadi keluarga yang mandiri atau berdiri sendiri.”18
Perbedaan ketentuan cakap bertindak karena umur dewasa dalam uraian
tersebut di atas, menunjukkan adanya perbedaan anggapan pada kemampuan fisikdan
atau mental manusia untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang terukursecara
15
16

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Graindo Persada, 2002), hlm. 42
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),

hlm. 19
17
18

166

Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), hlm. 10
B. Ter Haar, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: Pradya Paramita, 1985), hlm.

11

biologis atau psikologis, sehingga dinilai sanggup menyandang hak dan kewajiban
khusus terhadap perbuatan hukum tertentu.”19Kedewasaan seseorang sangat berarti
artinya didalam hukum, terlebih-lebih apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan
pewarisan, manakala seorang meninggal dunia, dan meninggalkan harta, sedangkan
ahli warisnya masih ada yang belum dewasa maka bagaimana peralihan hak dan
kewajiban terhadap harta peninggalan tersebut beralih dan bagaimana pengurusannya
dan sebagainya merupakan masalah yang menarik untuk dibahas, sebab hal ini
tidaklah terlepas dari kehidupan seseorang.
Hukum kekeluargaan di Indonesia terutama dalam hal ini hukum perwalian
seorang anak diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dapat ditarik suatu keadaan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
menyebutkan untuk apa perwalian itu berlangsung. Sedangkan pengertian perwalian
dari uraian singkat diatas dapat dipahami bahwa perwalian itu adalah sangat penting
karena berupa pengawasan terhadap diri sianak yang belum dewasa dan pengurusan
benda kekayaannya.Ketentuan lain terdapat pula dalam Pasal 51 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang menentukan cara penunjukan wali
yaitu sebagaiberikut:
(1) Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan
orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan
dua orang saksi.

19

S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan Di Kantor
Pertanahan, (Jakarta: Gresindo, 2005), hlm. 7

12

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yangsudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta
bendanyasebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya
pada waktu memulai jabatanyadan mencatat semua perubahan-perubahan
hartabenda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah
perwaliannya serta kerugian

yang ditimbulkan

karena kesalahan atau

kelalaiannya.
Menurut M. Yahya Harahap perwalian anak dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu:
(a) Perwalian dengan wasiat dimana perwalian dengan wasiat bersamaan halnya
dengan (testamentaire voogdij), yaitu perwalian yang didasarkan pada tata cara
yang baik oleh ibu atau bapak yang menjalankan kekuasaan orang tua (ouderlijke
macht) atas anak yang belum berusia 18 (delapan belas)tahun, berhak
mengangkat seorang wali bagi anak-anak yang berada dibawah kekuasaannya
sesudah ia meninggal dunia, hal serupa diatur juga dalam Pasal 51 ayat (1)
undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi wali
dapat ditunjuk oleh satu orang yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum
ia meninggal dunia, dengan surat wasiat atau dengan lisan didepan dua orang

13

saksi. Yang mana saat berlakunya perwalian wasiat ini adalah pada saat
sipembuat wasiat tersebut meninggal dunia.20
(b) Wali yang ditunjuk pengadilan dimana perwalian anak yang ditetapkan atas
penunjukan oleh pengadilan dapat terjadi apabila anak-anak tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua, anak-anak tidak berada dibawah pemeliharaan
wali oleh karena wali yang ditetapkan semula telah dicabut haknya disebabkan
alasan-alasan sebagai mana disebut dalam Pasal 49 UU Perkawinan.
Kemungkinan orang tua telah dicabut haknya menjalankan kekuasaan orang tua
sedangkan wali yang telah ditetapkan semula belum mungkin menjalankan
kekuasaan perwalian karena disebabkan suatu hal (misalnya belum diketahui
tempat tinggalnya, atau sedang berada diluar negeri), maka pengadilan atas
kepentingan pemeliharaan anak-anak dapat menunjuk wali untuk suatu jangka
waktu tertentu menunggu waliyang telah ditetapkan itu dapat melaksanakan
perwalian.21
Berkenaan dengan perwalian ini, termasuk pula didalamnya wali yang
diangkat atau ditunjuk oleh hakim melalui penetapan pengadilan. Khusus bagi anak
yang beragama Islam maka penetapan perwaliannya dilakukan oleh pengadilan
agama dimana domisili anak tersebut berada. Dalam penelitian ini penetapan yang
diambil adalah penetapan perwalian yang dikeluarkan oleh pengadilan agama medan
dimana posisi kasus dari penetapan tersebut yakni:

20
21

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm. 224
Ibid., hlm 228

14

1.
2.

3.

4.
5.

6.

7.

8.

Bahwa Surya Utama adalah ayah kandung dari Rizqie Nabila Nasution binti
Surya Utama, perempuan, lahir tanggal 7 Juni 1999 (masih dibawah umur).
Bahwa Pemohon telah menikah dengan seorang perempuan bernama Lince
Megawati binti Rusdi Yatim dan dari pernikahan tersebut telah dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Rizqie Nabilah Nasution.
Bahwa isteri Pemohon yang bernama Lince Megawati binti Rusdi Yatim telah
meninggal dunia pada tanggal 4 September 2000, karena sakit dan dalam
keadaan beragama Islam.
Bahwa setelah almarhumah Lince Megawati binti Rusdi Yatim meninggal dunia,
anak tersebut diasuh oleh Pemohon sendiri selaku ayah kandung anak tersebut.
Bahwa anak Pemohon tersebut mempunyai hak atas harta peninggalan kakeknya
(almarhum Rusdi Yatim alias Rusdi) berupa barang tidak bergerak yakni:
a. Sebidang tanah seluas 88 M² yang terletak di jalan Pekantan No. 20,
Kelurahan Pasar Baru, Medan sesuai dengan Sertifikat Hak Milik No.15 atas
nama Rusdi, yang dikeluarkan Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota
Medan, tanggal 24 November 1994.
b. Sebidang tanah seluas 747 M² yang terletak di jalan Kasuari, Kelurahan Tegal
Sari Mandala II, Medan sesuai dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 297 atas
nama Rusdi, yang dikeluarkan Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota
Medan, tanggal 31 Maret 1997.
c. Sebidang tanah seluas 815,75 M², yang terletak di Jalan Jermal VIII
Lingkungan V, Kelurahan Denai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sesuai dengan Surat Keterangan Nomor 594/021/0076/009/ KM/1992 atas
nama Rusdi Yatim, yang dikeluarkan Kepala Kelurahan Denai tanggal 18
Desember 1992, yang diketahui Camat Kecamatan Medan Denai, Kota Medan
dengan register Nomor: 594/092/009/KM/1992 tanggal 22 Desember 1992.
Bahwa oleh karena ahli waris dari almarhum Rusdi alias Rusdi Yatim,
bermaksud untuk menjual harta peninggalan almarhum Rusdialias Rusdi Yatim
tersebut, sementara salah seorang ahli waris pengganti bernama Rizqie Nabilah
Nasution masih di bawah umur dan mempunyai hak atas harta-harta tersebut,
maka perlu ditetapkan hak perwalian untuk menjual tanah yang menjadi hak anak
yang masih di bawah umur tersebut.
Bahwa Pemohon selaku ayah kandung dari anak yang masih dibawah umur
tersebut adalah mampu, cakap dan amanah sebagai waliatas diri dan harta anak
tersebut dan sekaligus diberi izin untuk menjual harta yang menjadi bagian anak
tersebut.
Bahwa penetapan wali ini dibutuhkan oleh Pemohon untuk mewakili anak
tersebut dalam penjualan harta-harta peninggalan almarhum Rusdi Yatim yang
menjadi hak anak tersebut.22

22

Penetapan PA Medan Nomor 4/Pdt.P/2015/PA.Mdn

15

Dalam penetapan perwalian yang dikeluarkan oleh pengadilan agama medan
didalam amar penetapannya dinyatakan bahwa:23
1.
2.

Mengabulkan permohonan pemohon.
Menetapkan anak bernama Risqie Nabila Nasution binti Surya Utama lahir
tanggal 7 Juni 1999 berada di bawah perwalian pemohon (Surya Utama).
3. Menetapkan memberi izin kepada pemohon (Surya Utama), untuk
menjual/mengagunkan/mengalihkan harta-harta yang menjadi hak anak tersebut
berupa:
a. Sebidang tanah seluas 88 M2 yang terletakan di jalan pekantan Nomor 20,
Keluarahan Pasar Baru, Medan, sesuai dengan sertifikat haka milik nomor 15
atas nama Rusdi, yang dikeluarkan Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota
Medan, tanggal 24 Nopember 1994.
b. Sebidang tanah seluas 747 M2, yang terletak di jalan Kasuari, Kelurahan
Tegal Sari Mandala II, Medan sesuai dengan sertifikat Hak milik nomor 297
atas nama Rusdi yang dukeluarkan Kantor Badan Pertanahan Nasional
Medan, tanggal 31 Maret 1997.
c. Sebidang tanah seluas 815,75 M2 yang terletak di jalan Jermal VIII
Ligkungan V, Keluarahan Denai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan,
sesuai dengan surat keterangan Nomor 594/021/0076/KM/1992, atas nama
Rusdi Yatim, yang dikelaurkan Kepala Kelurahan denai tanggal 18 Desember
1992, yang diketahui Camat Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, dengan
Register Nomor 594/092/009/KM/1992, tanggal 22 Desember 1992.
4. Memerintahkan pemohon untuk mencatat/membukukan semua pengeluaran atas
nama anak tersebut dalam buku yang disediakan untuk itu.
5. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
191.000,00 (seratus sembilan puluh satu ribu rupiah).
Melihat isi dari amar penetapan pengadilan diatas, terdapat tanggung jawab
wali dalam melakukan pengurusan harta anak dibawah umur dimana pengadilan
memerintahkan untuk mencatat atau membukukan semua pengeluaran atas nama
anak tersebut dalam buku yang disediakan untuk itu. Berdasarkan uraian di atas
dapatlah dipahami kedudukan wali sangatlah penting, bukan saja pengurusan
hartanya diutamakan tapi bagaimana perwalian dapat membentuk jiwa anaklah yang

23

Penetapan PA Medan Nomor 4/Pdt.P/2015/PA.Mdn

16

lebih diutamakan. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini diberi judul
“Pengurusan Harta Warisan Anak Dibawah Umur Yang Berada Dibawah Perwalian
(Studi Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor 4/Pdt.P/2015/PA.Mdn).”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka dapat
diidentifikasi beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini,
yaitu:
1.

Bagaimana tanggung jawab wali atas pengurusan harta anak dibawah umur
menurut ketentuan hukum Islam?

2.

Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap harta anak
dibawah umur yang berada dibawah pengurusan wali?

3.

Mengapa majelis hakim memberikan izin kepada wali untuk menjual,
mengagunkan, mengalihkan harta menjadi hak anak dalam Penetapan PA Medan
Nomor 4/Pdt.P/2015/PA.Mdn?

C. Tujuan Penelitian
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah
yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya hukum yang
mengatur tentang perwalian dalam sistem hukum di negara Indonesia. Sesuai
permasalahan yang diatas adapun tujuan penelitian ini adalah:
1.

Untuk mengetahui dan menganalisis tentang tanggung jawab wali atas
pengurusan harta anak dibawah umur menurut ketentuan hukum Islam.

17

2.

Untuk mengetahui dan menganalisis tentang bentuk perlindungan hukum yang
diberikan atas harta anak dibawah umur yang berada dibawah pengurusan wali.

3.

Untuk mengetahui dan menganalisis tentang pertimbangan majelis hakim
memberikan izin kepada wali untuk menjual, mengagunkan, mengalihkan harta
menjadi hak anak dalam Penetapan PA Medan Nomor 4/Pdt.P/2015/PA.Mdn.

D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini tidak dapat dipisahkan dari
tujuan penelitian yang telah diuraikan diatas, yaitu:
1. Manfaat secara teoretis dimana penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan dan masukan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan hukum,
khususnya pengetahuan ilmu hukum waris dan perwalian di Indonesia. Selain itu,
diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat secara praktis adalah bahwa hasil penelitian ini nantinya diharapkan
memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalahan yang diteliti dan
disamping itu peneltian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta
pengembangan teori-teori yang sudah ada.24 Secara praktis diharapkan agar
penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan para pihak yang
berperan serta yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan perannya
dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada hak anak angkat
dalam setiap proses pewarisan yang terjadi di Indonesia.

24

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 106

18

E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul “Pengurusan Harta Warisan Anak Dibawah Umur
Yang

Berada

Dibawah

Perwalian

(Studi

Penetapan

PA

Medan

Nomor

4/Pdt.P/2015/PA.Mdn)” adalah hasil pemikiran sendiri. Penelitian ini menurut
sepengetahuan, belum pernah ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa
judul penelitian yang diuraikan di bawah ini dapat diyakinkan bahwa substansi
pembahasannya

berbeda.

Dengan

demikian

keaslian

penelitian

ini

dapat

dipertanggungjawabkan secara moral dan ilmiah. Pengujian tentang kesamaan dan
keaslian judul yang diangkat di perpustakaan fakultas hukum universitas sumatera
utara khususnya dilingkungan magister kenotariatan dan magister ilmu hukum juga
telah dilakukan dan dilewati, namun ada beberapa penelitian tesis yang memiliki
kemiripan dengan judul yang diangkat, antara lain:
1.

Nama

:

Febry Wenny

Judul

:

Tinjauan Yuridis Atas Pengalihan Harta Warisan Milik Bersama

Anak Dibawah Umur Yang Berupa Tanah
Rumusan Masalah:
1) Bagaimanakah pengaturan hukum pengalihan tanah yang diperoleh karena
pewarisan bagi ahli waris yang berstatus di bawah umur?
2) Bagaimana akibat hukum pengalihan tanah milik bersama anak di bawah
umur tersebut apabila dilakukan tanpa adanya penetapan dari pengadilan?
3) Bagaimana pendaftaran tanah untuk melindungi pemilik hak atas tanah
terhadap adanya pengalihan tanah tanpa adanya penetapan dari pengadilan?

19

2.

Nama

: Getty Rumentha Sitio

Judul

: Pemisahan Dan Pembahagian Harta Warisan Secara Damai Bagi

Orang Pribumi Non Muslim Dihadapan Notaris Di Kota Medan (Kajian Khusus
Terhadap Masyarakat Suku Batak)
Rumusan Masalah:
1) Apakah yang menyebabkan masyarakat suku batak non muslim mengadakan
pemisahan harta warisan dihadapan notaris?
2) Bagaimana penentuan porsi masing-masing ahli waris didalam pemisahan dan
pembagian harta warisan secara damai bagi masyarakat suku batak non
muslim?
3) Bagaimana proses serta akibat hukum dari pemisahan dan pembagian harta
warisan secara damai bagi masyarakat suku batak non muslim dihadapan
notaris?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1.

Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.Kerangka
teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis,
sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.25 Teori berguna untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi

25

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80

20

dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat
menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, dinyatakan bahwa
“keberlanjutan perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi,
aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.26
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau
petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan
penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka kerangka teori diarahkan
secara khas ilmu hukum.Maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami
mengenai status pengurusan harta anak dibawah umum yang berada dalam perwalian
dan tanggungjawab orang tua wali dalam pengurusan harta anak dibawah umur.
Teori dalam penulisan tesis ini menggunakan teori keadilan, dimana teori
keadilan merupakan tujuan dari teori hak dan kewajiban. Apabila hak dan kewajiban
seimbang maka akan muncul rasa adil bagi para pihak dalam perwalian. Adil dalam
bahasa Arab biasa disebut al-adlu, merupakan salah satu sifat yang harus dimiliki
oleh manusia dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapapun tanpa terkecuali,
walaupun akan merugikan dirinya sendiri.27 Secara etimologis, al-adlu berarti tidak
berat sebelah, tidak memihak, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain (almusawah). Secara terminologis adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang
lain baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu tidak menjadi
berat sebelah, dan tidak menjadi berbeda antara satu dengan yang lain. Adil juga
26

Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 6
Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih Dan Usul Fiqih, (Bandung: Cita
Pustaka Media Perintis, 2013), hlm. 95
27

21

berarti berpegang atau berpihak pada kebenaran.Keadilan lebih dititik beratkan
kepada meletakkan sesuatu pada tempatnya.28
Dalam beberapa bidang hukum Islam, persyaratan adil sangat menentukan
besar atau tidaknya dan sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum. Umpamanya
dalam kewarisan bahwa Islam mensyari’atkan aturan hukum yang adil karena
menyangkut penetapan hak milik sesorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang
sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain. 29 Sikap adil juga
sangat diperlukan bagi seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara hukum,
dimana sikap adil meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Persamaan perlakuan antara pihak yang bertikai dari status ekonomi sosial yang
berbeda.
Persamaan perlakuan antara pihak yang berperkara dari agama yang berbeda.
Persamaan perlakuan antara pihak yang berperkara berkaitan dengan posisi
duduk mereka di pengadilan.
Persamaan perlakuan dalam pemeriksaan antara pihak yang berperkara.
Persamaan perlakuan kepada pihak yang berpekara berkaitan dengan cara hakim
berbicara kepada mereka.
Persamaan perlakuan kepada pihak yang berpekara berkaitan dengan perintah
hakim kepada mereka.30
Teori perlindungan hukum juga digunakan dalam penulisan tesis ini. Menurut

Satjipto

Raharjo

hukum

melindungi

kepentingan

seseorang

dengan

cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka
kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur
dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya.Kekuasaan yang demikian itulah

28

Ibid.
Ibid., hlm. 105
30
Ibid., hlm. 113
29

22

yang disebut hak.Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut
sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya
hak itu pada seseorang.31Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau
upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa
yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai
manusia.32
Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi
individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang
menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam
pergaulan hidup antar sesama manusia.33 Perlindungan hukum merupakan suatu hal
yang melindungi subjek-subjek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1.

Perlindungan hukum preventif merupakan erlindungan yang diberikan oleh
pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal
ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk
mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasanbatasan dalam melakukan sutu kewajiban.
31

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53
Setiono, Rule Of Law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum (Pascasarjana:
Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 3
33
Muchsin, Perlindungan Dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Tesis, Magister
Ilmu Hukum (Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14
32

23

2.

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah
terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.34
Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada pancasila
dan prinsip negara hukum yang berdasarkan pancasila. Adapun elemen dan cirri-ciri
negara hukum pancasila ialah:
a.

Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas
kerukunan.

b.

Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara

c.

Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan
sarana terakhir.

d.

Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat

terhadap pemerintah diarahkan kepada:
1) Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan
cara musyawarah.
2) Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan
hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi
sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama
melalui hubungan acaranya.
34

Ibid., hlm. 20

24

3) Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin
mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum
preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif.
Teori perlindungan hukum disini untuk melindungi harta anak dibawah umur
beserta hak-hak anak dibawah umur lainnya selama berada didalam perwalian atau
pengasuhan orang tua walinya. Diperlukannya perlindungan hukum agar ketika
dewasa anak dapat mempergunakan harta peninggalan orang tua kandungnya untuk
kepentingan pendidikan, kesehatan dan kebutuhan hidup lainnya.
2.

Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan
kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikandari hal-hal khusus yang disebut defenisi operasional. 35 Maka dalam
penelitian ini disusun berberapa defenisi operasional dari konsep-konsep yang akan
digunakan agar tidak terjadi perbedaan pengertian yakni:
a.

Perwalian adalah pengawasan pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan
seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua, jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau
meninggal dunia, maka anak tersebut berhak berada dibawah perwalian.

b.

Harta warisan yang dalam istilah fara’id dinamakan tirkah (peninggalan) adalah
sesuau yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik berupa uang atau
35

Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 3

25

materi lainnya yang dibenarkan oleh agama untuk diwariskan kepada ahli
warisnya
c.

Orang tua adalah ayah dan atau ibu seorang anak dalam hubungan biologis.
Umumnya, orang tua memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan
anak, dan panggilan ibu atau ayah dapat diberikan untuk perempuan atau pria
yang bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan
ini.

d.

Anak atau disebut walad, satu kata yang mengandung penghormatan, sebagai
makhluk ciptaan tuhan yang sedang menempuh perkembangannya menuju
kedewasaan, dimana anak belum dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam
adalah anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah
menikah.

e.

Wali adalah orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban
mengurus anak yatim atau anak dibawah umur serta hartanya sebelum anak itu
dewasa atau pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah (yaitu orang yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).
Perwalian anak sebaiknya diberikan kepada individu, lebih diutamakan

bagian dari keluarganya dengan alasan kebutuhan pengasuhan dan pemberian kasih
sayang terhadap anak secara lebih personal. Dalam menetapkan wali, hendaknya
dipertimbangkan juga pendapat anak tentang wali yang akan diangkat, kalau anak
sudah mampu memberikan pendapatnya. Perwalian atas anak dan harta mulai terjadi
sejak orang tua anak meninggal atau ketika orang tua tidak lagi mampu menjalankan

26

kewajibannya, sampai anak berusia 21 tahun atau telah menikah. Kewajiban yang
harus dipenuhi oleh seorang wali yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Mengurus, mengasuh, mendidik, dan melindungi anak.
Membuat daftar harta benda sejak seseorang ditetapkan menjadi wali.
Mencatat semua perubahan-perubahan dan pengeluaran harta benda.
Menyerahkan seluruh harta benda kepada anak apabila anak telah berusia 21
tahun atau telah menikah.
Bertanggungjawab atas kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan atau
kelalaiannya.
Tidak menggadaikan, menjual atau hal-hal lain yang dapat merugikan harta si
anak.
Mengganti kerugian harta si anak, bila pengunaan harta tidak sesuai dengan
ketentuan hukum dan kepentingan si anak.

G. Metode Penelitian
1.

Spesifikasi Penelitian
Penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya,

jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam
proses penelitian. Penelitian harus dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan
konsisten. Metodelogis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara
tertentu, sistematis adalah berdasarkan pada suatu sistem, dan konsisten berarti tidak
adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu.36
Berdasarkan perumusan masalah dalam menyusun penelitian ini, jenis
penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif atau doktriner.
Penelitian hukum normatif atau doktriner yaitu metode penelitian hukum yang
mempergunakan sumber data sekunder atau dengan cara meneliti bahan pustaka yang
36

hlm. 42

Soerjono Soekanto(2), Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001),

27

ada.37 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan
untuk mendapatkan hukum objektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan
penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif
adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan
kewajiban).
Sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis.Penelitian deskriftif
analitis yakni suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan
fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan
manusia. Penelitian deskriptif analitis merupakan penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan
yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang berlangsung, akibat atau
efek yang terjadi, atau tentang kecendrungan yang tengah berlangsung kemudian
dianalisis dan dilakukan pengambilan kesimpulan.38
2.

Metode Pendekatan
Metode pendekatan adalah penggunaan cara atau metode pendekatan apa yang

akan diterapkan dalam penelitian yang akan dilakukan. Sehubungan dengan jenis
penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan
undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

37

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 13

38

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 35

28

ditangani.Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan
legislasi dan regulasi.39 Metode pendekatan ini digunakan dengan mengingat
permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan perundang-undangan dalam
hal hubungan antara yang satu dengan yang lainnya serta kaitannya dengan
penerapannya dalam praktek.
3.

Sumber Data
Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data

sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang
bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi-informasi
serta pemikiran konseptual, baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya
ilmiah lainnya.40 Data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:
a.

Bahan hukum primer yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan
oleh pihak yang berwenang. Dalam penelitian ini diantaranya Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.

b.

Bahan hukum sekunder yaitu semua dokumen yang merupakan bacaan yang
relevan seperti buku-buku, seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran karya
tulis ilmiah dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan materi yang
diteliti.
39

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 93
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya:
Bayumedia, 2006), hlm. 192
40

29

c.

Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep
dan keterangan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, seperti kamus, ensklopedia dan sebagainya.

4.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reseacrh). Studi kepustakaan (library reseacrh) adalah serangkaian usaha untuk
memperoleh

data

dengan

jalan

membaca,

menelaah,

mengklarifikasi,

mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang
berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada
relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut
kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi
dokumen.Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsikonsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan
dengan permasalahan penelitian.41
5.

Analisis Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat

dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian
konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategorikategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut. Data yang telah
dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:

41

Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan
Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24

30

a.

Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundangundangan yang terkait dengan prinsip tanggung jawab produk (product liability)
atas penarikan unit kendaraan bermasalah oleh pelaku usaha.

b.

Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya
melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

c.

Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk
menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum
tersebut.

d.

Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan
teori sebagai pisau analisis.42
Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan

menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca,
menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang
terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang
dirumuskan.43

42

Soejono Soekonto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),

43

Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48

hlm. 225

Dokumen yang terkait

Perhitungan Kuat Medan Listrik Di Bawah Saluran Transmisi Studi Kasus : Perencanaan Transmisi 275 kV Galang-Binjai

8 119 87

KEDUDUKAN HUKUM WALI DARI ANAK DI BAWAH UMUR DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI PENJUALAN HARTA WARISAN (Studi Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Jember No. 95/Pdt.P/2010/PA.Jr)

0 3 17

KEDUDUKAN HUKUM WALI DARI ANAK DI BAWAH UMUR DALAM MELAKUKAN TRANSAKSI PENJUALAN HARTA WARISAN (Studi Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Jember No. 95/Pdt.P/2010/PA.Jr)

0 13 17

Itsbat nikah akibat pernikahan di bawah tangan bagi pasangan menikah di bawah umur (studi analisis penetapan pengadilan agama Cibinong Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)

4 22 105

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENGABULKAN PERMOHONAN DISPENSASI PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DI PENGADILAN AGAMA WATES (Studi Kasus : PENETAPAN Nomor 015/Pdt.P/2015/PA.Wt ;PENETAPAN Nomor 024/Pdt.P/2015/PA.Wt)

0 2 90

Pengurusan Harta Warisan Anak Di Bawah Umur Yang Berada Di Bawah Perwalian (Studi Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor 4 Pdt.P 2015 Pa.Mdn)

0 1 15

Pengurusan Harta Warisan Anak Di Bawah Umur Yang Berada Di Bawah Perwalian (Studi Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor 4 Pdt.P 2015 Pa.Mdn)

0 0 2

Pengurusan Harta Warisan Anak Di Bawah Umur Yang Berada Di Bawah Perwalian (Studi Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor 4 Pdt.P 2015 Pa.Mdn)

0 0 22

Pengurusan Harta Warisan Anak Di Bawah Umur Yang Berada Di Bawah Perwalian (Studi Penetapan Pengadilan Agama Medan Nomor 4 Pdt.P 2015 Pa.Mdn)

0 0 4

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENETAPAN HAKIM TENTANG PERWALIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM PENGUASAAN HARTA WARISAN DI PENGADILAN NEGERI PURWOKERTO - Unissula Repository

0 22 65