Itsbat nikah akibat pernikahan di bawah tangan bagi pasangan menikah di bawah umur (studi analisis penetapan pengadilan agama Cibinong Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)

(1)

BAGI PASANGAN MENIKAH DI BAWAH UMUR

(STUDI ANALISIS PENETAPAN PENGADILAN AGAMA CIBINONG NOMOR: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.sy)

Oleh Luluk Muthoharo NIM : 1111044100097

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

Luluk Muthoharo. NIM 1111044100097. ITSBAT NIKAH AKIBAT PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN BAGI PASANGAN MENIKAH DI BAWAH UMUR (Studi Analisis Penetapan Pengadilan Agama Cibinong No. 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn). Skripsi Progam Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2015 M/1436 H. Terdiri dari ix + 77 halaman + 6 lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama yang menetapkan mengabulkan permohohonan itsbat nikah akibat perkawinan tidak tercatat yang dilakukan oleh pasangan menikah dibawah umur.

Penelitian ini merupakan gabungan antara penelitian hukum normatif (pustaka) dan penelitian yuridis empiris (Penetapan No. 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn). Penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif yakni dengan mengumpulkan data-data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dari pihak-pihak terkait yang dapat diamati dari sebagai (subjek) itu sendiri, dimana penulis dengan mencari data-data primer ke Pengadilan Agama Cibinong, Kantor Urusan Agama Kecamatan Cigudeg, dan Kelurahan Cintamanik yakni tempat tinggal para pemohon guna menganalisis data yang ada. Dan mewawancarai pihak-pihak terkait.

Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwasannya syarat itsbat nikah akibat perikahan dibawah tangan bagi pasangan yang menikah dibawah umur adalah dengan melampirkankan surat penetapan dispensasi nikah. Ternyata pada kenyataannya Pengadilan Agama Cibinong mengabulkan permohonan itsbat nikah pasangan menikah dibawah umur tanpa ada penetapan dispensasi nikah.

Kata Kunci : Itsbat Nikah, Pernikahan di Bawah Tangan dan Pernikahan di Bibawah Umur.

Pembimbing : Dr. H. Umar Haddad, M.Ag Daftar Pustaka : Tahun 1984 s.d tahun 2015


(6)

Segala puji bagi Allah SWT, maha adil dan maha pengasih yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada semua mahluk-Nya dan penulis terutama dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat yang telah banyak berkorban dalam mensyiarkan agama Islam sehingga kita dapat merasakan nikmatnya iman sampai saat ini.

Skripsi ini ditulis dalam rangka melengkapi sarat-syarat guna memperoleh gelar strata satu (S.I), dalam konsentrasi Peradilan Agama, program studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul ITSBAT NIKAH AKIBAT PERNIKAHAN DI BAWAH TANGAN BAGI PASANGAN MENIKAH DI BAWAH UMUR (Studi Analisis Penetapan Pengadilan Agama Cibinong Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn).

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Tanpa Ridho Allah SWT, serta doa, dukungan, bimbingan, bantuan dan saran-saran dari berbagai pihak, maka skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan. Tanpa adanya partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam penyelesaian skripsi ini tentu akan terasa berat.


(7)

banyak-banyak terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Kamarusdiana, S.HI.,MH Ketua Program Studi Hukum Keluarga, Sri Hidayati, M.Ag. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga.

3. Dr. H. Umar al-Haddad, M.Ag. Dosen pembimbig yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, koreksi, dan bimbingan yang sangat berarti demi kelancaran pembuatan skripsi ini, serta segala kesabaran dalam memberikan masukan kepada penulis sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

4. Staf Pengadilan Agama Cibinong yang telah memberikan izin, arahan dan bantuan dalam melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian, khusus kepada Drs. H. Hasan Basri, SH, MH hakim yang telah bersedia diwawancarai dalam menggali keterangan seputar judul yang penulis angkat.

5. Kepala KUA Kecamatan Cigudeg Bapak Drs. Nukman yang telah bersedia diwawancarai serta staf KUA Kecamatan Cigudeg yang telah memberikan izin serta bantuan dalam melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian.


(8)

semester dengan ikhlas dan sabar memeberikan ilmu pengetahuan, semoga ilmu yang diberikan dapat menjadi bekal hidup penulis dalam menghadapi samudra kehidupan dan dapat diamalkan dalam keseharian. Serta tidak lupa para pemimpin dan staf perpustakaan baik perpustakaan umum maupun perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

7. Teristimewa ucapan terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Abdurrahman dan Ibunda Umu Chulsum tercinta yang senantiasa memberikan banyak bantuan baik berupa moril atau materil, terima kasih pula atas doa, keridhoan dan pengorbanan kalian yang tak ternilai harganya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Hanya allah SWT, yang mampu membalas segala pengorbanan kalian, semoga kalian selalu dalam rahmat dan lindungan allah SWT”. Amin

8. Kakak-kakaku Muhammad Mashud, Muhammad Ubaidillah dan Adik perempuanku Lisa Setiawati yang telah memberikan banyak nasihat dan motivasi yang membangkitkan semangat penulis untuk terus berjuang dalam menamatkan bangku perkuliahan.


(9)

tiada hentinya, memberi semangat diasaat penulis terpuruk, memberi motivasi disaat penulis goyah, memberi teguran disaat penulis lalai, memberi saran disaat penulis bimbang dan dengan sabar selalu mengiringi suka duka penulis dalam pembuatan skripsi ini.

10. Sahabat-sahabatku, teman-teman tercinta seperjuangan jurusan Peradilan Agama angkatan 2011, teman-teman WASIAT dan kawan-kawan KKN Cintamanik, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah rela bersama-sama mengukir sejarah selama delapan semester ini.

Semoga segala kebaikan kalian semua dicatat oleh Allah SWT, serta diberikan balasan yang berlipat ganda dan menjadikannya amal jariyah yang tiada henti mengalir kebaikannya hingga yaum al-Akhir. Besar harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 14 Maret 2015

Luluk Muthoharo


(10)

LEMBAR PERNYATAAN ……… iv

ABSTRAK ………. v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ………..………. vii

DAFTAR LAMPIRAN ……… ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ………. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………... 10

D. Riview Studi Terdahulu ………... 11

E. Metode Penelitian ………... 13

F. Kerangka Teori ………... 16

G. Sistematika Penulisan ………... 17

BAB II ITSBAT NIKAH BAGI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR A. Pengertian dan Hukum Perkawinan di Bawah Umur …... 19

B. Perkawinan di Bawah Tangan dan Urgensi Pencatatan Nikah ………... 22

C. Pengertian dan Dasar Hukum Itsbat Nikah …………... 30

D. Syarat dan Prosedur Itsbat Nikah ………... 33

E. Akibat Hukum Dari Itsbat Nikah ………... 38


(11)

A. Sejarah Pengadilan Agama Cibinong ………... 40 B. Visi dan Misi Pengadilan Agama Cibinong …………... 43 C. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Cibinong …………... 44 D. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Cibinong …... 51

BAB IV DASAR HUKUM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA

CIBINONG NO. 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn DAN DAMPAKNYA A. Duduk Perkara ………... 54 B. Pertimbangan dan Penetapan Majelis Hakim …………... 57 C. Analisa Terhadap Penetapan Majelis Hakim

Menurut Hukum Positif ………... 60 D. Proses Pencatatan Ulang Itsbat Nikah Setelah Adanya

Penetapan Dari Pengadilan Agama Cibinong …………... 66 E. Dampak Hukum Yang Ditimbulkan Setelah Adanya

Penetapan Dari Pengadilan Agama Cibinong …………... 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 72 B. Saran …………...……… 73

DAFTAR PUSTAKA ………... 75


(12)

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ……...…… 78

B. Surat Permohonan Wawancara ………... 79

C. Surat Keterangan Peneletian ………... 80

D. Daftar Responden ………... 84

E. Pedoman Wawancara ………... 85

F. Hasil Wawancara ………... 91

G. Fotokopi KTP Para Pemohon ………. 104

H. Penetapan Pengadilan Agama ………. 106


(13)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi kodrat manusia diciptakan dan dilahirkan ke dunia dari dua jenis yang berbeda yakni laki-laki dan perempuan. Keduanya ditakdirkan hidup saling berpasang-pasangan antar individu yang kemudian menimbulkan dorongan untuk menjalin hubungan suami istri serta membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah dalam suatu ikatan yang kokoh disebut dengan perkawinan. Hal ini menjadi penting, sebab dari perkawinan secara otomatis akan terbentuk suatu keluarga. Selajutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat.

Dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan didefinisikan dalam pasal 1 yaitu: “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” kemudian dalam pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwasannya: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.1 Adapun menurut kompilasi hukum islam, seperti yang terdapat dalam pasal 2 yang dinyatakan perkawinan dalam islam

1

Tim penyusun, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

(T.tp., Citra Umbara, 2007), h. 2.


(14)

adalah “aqad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.2

Hal diatas sejalan dengan firman Allah dalam Q.S An-Nisa/4:21

۱۲

و

يك

ف

أت

خ

ذو

ن

ۥه

و

دق

فأ

ض

ى

عب

ض

ك

م

لإ

ى

عب

ض

أو

خ

ذ

ن

م

كن

م

م

ثي

اق

غ

يل

ظ

ا

Artinya:

Dan bagaimana kamu akan meggambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu. (Qs. An-Nisa/4: 21).

Jika dianalisis dari segi yuridis perkawinan akan menimbulkan suatu hubungan hukum yang bersifat hak dan kewajiban antara suami dan istri secara timbal balik. Selain dari pada itu perkawinan juga merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam agama, hal ini sangat berkaitan erat dengan kerohanian seseorang. Karena perkawinan adalah satu dari sekian permasalahan dalam keagamaan, maka setiap agama di dunia ini mempunyai peraturan tersendiri terkait dengan perkawinan. Sehingga prinsipnya diatur dan harus tunduk pada ketentuan-ketentuan ajaran agama yang dianut oleh mereka yang akan melangsungkan perkawinan.3

Setelah diamati dari segi arti, kedudukan dan tujuan utama dari perkawinan itu sendiri, maka sangat diperlukan adanya suatu peraturan yang dapat dijadikan pedoman pergaulan hidup berupa norma atau kaidah. Dalam

2

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 2007), h. 14.

3

Abdurrahman dan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia,


(15)

rangka memenuhi kebutuhan itu, setiap orang berhak melaksanakan suatu perbuatan dengan rasa aman dan damai dengan tidak mendapat gangguan dari siapapun dan pihak manapun. Maka dari itu dibuatlah suatu aturan yang menjadi pedoman bagi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya. Sehingga dengan demikian kepentingan masing-masing dapat terjamin, dan setiap anggota masyarakat mengetahui akan hak dan kewajibannya masing- masing.4

Adapun yang termasuk macam-macam norma agama, hukum dan kesusilaan diantaranya, norma agama yang dimaksud adalah agama Islam yang bersumber pada hukum syara’ yang terkandung dalam alquran dan hadis. Sedangkan norma hukum bersumber pada:5

1. Undang-undang; 2. Kebiasaan (custom);

3. Himpunan putusan hakim (yurisprudensi); 4. Traktat

Terkait permasalahan yang berkenaan dengan perkawinan, didalam agama islam telah diatur sedemikian rupa sehingga seorang muslim diwajibkan berpedoman kepada hukum syara’. Yang mana dalam hukum syara’ itu sendiri banyak menerangkan ketentuan tentang hal-hal yang diwajibkan, dilarang, dan dibolehkan.

4

Mufti Wiriadhihardja, Kitab Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Gadjha Mada, 2002), Cet, Ke-7, h. 6.

5

C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Tesa Mas, 2001),Cet. Ke-III, h. 44.


(16)

Disamping wajib mengikuti ketentuan hukum syara’ sebagai seorang muslim sekaligus warga Negara Indonesia juga harus berpedoman pada norma hukum yang bersumber pada undang-undang Negara. Adapun yang dimaksud dengan undang-undang adalah peraturan atau ketetapan yang dibentuk oleh perlengkapan Negara yang mempunyai kewenangan membentuk undang- undang yakni presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dimana diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Hal ini dapat dirartikan dengan diundangkannya undang-undang perkawinan, maka secara otomatis akan menjadi pedoman bagi seluruh warga Negara Indonesia, baik muslim maupun non muslim. Undang-undang tersebut merupakan sumber hukum mengenai perkawinan berlaku dan mengikat untuk seluruh warga Negara Indonesia serta mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat memaksa dan ditetapkan dengan jelas sanksi bagi pelanggarnya.

Di dalam UU No. 1 tahun 1974 pada bab I tentang dasar perkawinan pasal 2 ayat (2) menegaskan bahwasannya “tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.6 Pencatatan perkawinan dan aktanya, bagi sebagian masyarakat tampaknya masih perlu disosialisasikan. Boleh jadi hal ini akibat pemahaman fikih sentris, yang mana didalam kitab fikih sejauh ini hampir tidak pernah dibicarakan, sejalan dengan

6

Tim penyusun, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,


(17)

situasi dan kondisi waktu fikih itu ditulis. Namun jika kita memperhatikan ayat mudayanah (Qs. Al-Baqarah: 282) mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan guna menjaga kepastian hukum. Bahkan, secara redaksional menunjukkan bahwa “pencatatan” (kitabah) didahulukan dari pada kesaksian, yang mana dalam perkawinan (persaksian) menjadi salah satu rukun yang harus dilaksanakan.7

Dalam kaidah hukum islam, pencatatan perkawinan dan pembuktikannya dengan akta nikah, sangat jelas dapat mendatangkan maslahat bagi tegaknya mahligai rumah tangga. Hal ini sejalan dengan prinsip: “Menolak kemudaratan lebih didahulukan dari pada memperoleh kemaslahatan” dan prinsip: “suatu tindakan (peraturan) pemerintah bertujuan untuk terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan masyarakat”.8

Meski secara agama dan adat istiadat perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah, namun di mata hukum penguasa (hukmu al –hakim) tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak sangat merugikan bagi istri, dan perempuan pada umumnya. Bagi istri dampak hukumnya adalah tidak dianggap sebagai istri yang sah karena tidak memiliki Akta Nikah sebagai bukti hukum yang otentik. Akibatnya istri tidak berhak atas nafkah dan harta warisan suami jika ia meninggal dunia dan istri tidak

7

Muhammad Rasyid Ridha,Tafsir al-quran al-Hakim, (Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr, TT), juz III, h. 117.

8

Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), h. 139.


(18)

berhak atas harta bersama jika terjadi perceraian karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.9

Oleh sebab itu pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang diatur dalam undang undang, untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Dalam pelaksanaannya, pencatatan perkawinan diatur dengan PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama No. 3 dan 4 Tahun 1975. Di dalam Bab II pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menyatakan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkannya menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 32 Tahun 1945 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.10

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 5 ayat (1) dan (2) menyatakan:

a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat.

b. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Menurut Abdurrahman Bilamana suatu perkawinan tidak dicatat sekalipun perkawinan itu sah menurut hukum agama, perkawinan tersebut

9

Siti Musdah Mulia, pokok-pokok Pikiran Bagi Revisi KHI, Makalah (Jakarta: Tidak Diterbitkan, 2003), h. 3.

10

Moh. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Cet. II, (Jakarta: Ind. Hii-Co, 1990), h. 131.


(19)

tidak diakui oleh Negara, begitu pula segala akibat hukum yang timbul dari perkawinan tersebut, dan bagi mereka dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Sedangkan bagi petugas agama yang melangsungkan perkawinan itu dikenai pidana yang diatur dalam pasal 530 KUHP.11

Maraknya praktek perkawinan dibawah tangan dikalangan masyarakat awam menuntut pemerintah untuk mensiasati permasalahan tersebut, salah satunya dengan membuka peluang itsbat nikah bagi pasangan menikah dibawah tangan yang menginginkan pernikahannya diakui dan tercatat secara resmi dalam administrasi negara sehingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.

Aturan pengesahan nikah tercantum dalam pasal 2 ayat (5) Undang- undang Nomor 22 Tahun 1946 jis. Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 dan pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam.

Dalam pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya

11

Mahkamah Agung RI Lingkungan Peradilan Agama, Suara Uldilag, (Jakarta: Pokja Perdata Agama MA-RI, 2006), Vol. III No.8 April, h. 37.


(20)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun pada prakteknya dilapangan Hakim Pengadilan Agama banyak mengabulkan permohonan itsbat nikah bagi pasangan yang melangsungkan pernikahannya sesudah tahun 1974.

Kemudian dalam pasal 7 ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dengan tegas bahwasannya syarat dibolehkannya Itsbat Nikah adalah perkawinan yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini menjadi masalah jika perkawinan yang akan diitsbatkan tersebut dulunya dilakukan oleh para pasangan berusia dibawah umur. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) secara tegas menyatakan “perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun”.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menganalisa permasalahan tentang Itsbat Nikah Masal yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Cibinong di Kelurahan Cintamanik Kec. Cigudeg Kab. Bogor, Penetapan Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn.

Penulis ingin menggali lebih dalam lagi bagaimana sebenarnya itsbat nikah bila perkawinannya terjadi sesudah munculnya Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dan Itsbat Nikah bagi para pasangan yang pada saat melangsungkan pernikahannya berusia dibawah umur. Apakah hal tersebut telah sesuai dengan hukum posistif yang ada.

Kemudian itsbat nikah yang dilakukan di Pengadilan Agama tentunya akan melibatkan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai instansi dalam


(21)

pencatatan akta nikah, sehingga nantinya suami istri yang telah disahkan pernikahannya mendapat salinan akta nikah sebagai bukti sahnya pernikahan mereka dimata Negara. Penulis akan membandingkan bagaimana proses pencatatan perkawinan antara pencatatan melalui itsbat nikah dengan pencatatan nikah yang langsung dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Guna tersitematisnya materi penulisan skripsi ini maka penulis mengemasnya dalam satu judul yaitu: “Itsbat Nikah Akibat Pernikahan di Bawah Tangan Bagi Pasangan Menikah di Bawah Umur (Studi Analisis

Penetapan Pengadilan Agama Cibinong Nomor:

499/Pdt.P/2014/PA.Cbn)”.

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Menyadari luasnya pembahasan mengenai perkawinan, maka penulis membatasi penelitian dalam skripsi ini sebagai berikut:

a. Itsbat nikah, yaitu penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan atas kebenaran (keabsahan) suatu perkawinan.

b. Pernikhadan di bawah tangan, yaitu perkawinan yang terjadi diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

c. Pernikahan di bawah umur, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.


(22)

d. Perkara nomor 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn, yaitu perkara tentang itsbat nikah yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Cibinong pada tanggal 24 Oktober 2014.

e. Pengadilan Agama Cibinong, yaitu Pengadilan Agama yang berada di Jalan Bersih Komplek Pemda Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor.

f. Data yang di teliti berasal dari data tahun 1984 sampai dengan tahun 2015.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitihan ini adalah:

a. Apa yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama Cibinong dalam penetapan itsbat nikah nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn setelah adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974?

b. Bagaimana Dampak itsbat nikah terhadap pasangan menikah di bawah tangan?

c. Bagaimana tinjauan hukum positif di Indonesia tentang praktik pelaksanaan itsbat nikah bagi pasangan yang menikah dibawah umur?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah:


(23)

a. Untuk mengindentifikasi dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Cibinong dalam penetapan itsbat nikah nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn setelah adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

b. Untuk menjelaskan dampak yang ditimbukan dengan adanya itsbat nikah.

c. Untuk mendeskripsikan pandangan hukum positif di Indonesia tentang praktek pelaksanaan itsbat nikah bagi pasangan yang menikah dibawah umur.

2. Manfaat secara toritis dari penelitian ini adalah:

a. Bagi akademisi penelitian ini dapat menambah wawasan tentang cara hakim memutuskan suatu perkara dan metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan atau memutuskan.

b. Menambah kontribusi keilmuan bagi akademisi dalam rangka menganalisis ketentuan hukum perkawinan Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

c. Memberikan pemahaman yang benar kepada akademisi tentang aturan aturan hukum itsbat nikah, agar sesuai dalam penerapannya di masyarakat.

D. Riview Studi Terdahulu

Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan persoalan penelitian ini antara lain:


(24)

1. Skripsi yang ditulis oleh Saiful Bahri tahun 2009 yang berjudul “Pelaksanaan Itsbat Nikah Dalam Rangka Pencatatan Perkawinan (Analisis Putusan Hakim No. 002/Pdt.P/2008/PA.Bks Pada Pengadilan Agama Bekasi)”.

Skripsi tersebut memaparkan tentang itsbat nikah, yakni itsbat atas pernikahan yang tidak dijalankan secara sah menurut undang-undang perkawinan yaitu perkawinan dicatatkan. Adapun penelitian skripsi ini tentang pengesahan nikah dibawah tangan setelah lahirnya Undang- undang No. 1 Tahun 1974. Cara penelitian yang dilakukan sama yakni menganalisis penetapan pengadilan, hanya saja permasalahannya berbeda. Dalam penelitian ini mengangkat permasalahan tentang itsbat nikah bagi pasangan menikah dibawah umur.

2. Skripsi yang ditulis oleh Syaiful Hadi tahun 2010 yang berjudul “Faktor- faktor Yang Mempengarui Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”.

Skripsi tersebut menjelaskan tentang faktor-faktor yang memepengarui adanya itsbat nikah dengan menganalisa beberapa penetapan tentang itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Yang mana didalamnya memaparkan penyebab dominan tingginya itsbat nikah di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Cara penelitian yang dilakukan sama yakni menganalisis penetapan pengadilan, hanya saja permasalahannya berbeda. Dalam penelitian ini mengangkat permasalahan tentang itsbat nikah bagi pasangan menikah dibawah umur.


(25)

E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif yang menggambarkan data-data dan informasi berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam. Adapun data yang diperoleh meliputi transkip interview, catatan lapangan, arsip pengadilan, dokumen pribadi dan lain-lain.12 Jenis data yang digunakan bersifat naratif, dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang menggunakan penalaran. Menganalisa perkara itsbat nikah yang sudah mendapat penetapan hukum, kemudian juga menganalisa isi (content analisis) penetapan untuk melihat sejauh mana proses penyelesaian perkara oleh hakim dan penerapan peraturan perundang- undangannya tentang itsbat.

2. Sumber Data a. Data Primer

1) Berkas-berkas penetapan itsbat nikah perkara nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn yang diperoleh dari Pengadilan Agama Cibinong.

2) Wawancara kepada Dr. H. Hasan Basri, SH, MH selaku (Hakim Ketua) yang memutus perkara nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn.

12

Sudarwan Danim, Menjadi Penelitian Kualitatif, cet. Ke 5, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 51.


(26)

3) Wawancara kepada Rahmat Firmansyah, S.Ag selaku (Panitera Pengganti) yang mendampingi hakim dalam memutuskan perkara nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn.

4) Wawancara kepada Drs. Nukman selaku (Ketua KUA) Kec. Cigudeg Kab. Bogor.

5) Wawancara kepada Ahmad Adadi, SH selaku (Pegawai Pencatat Nikah) di KUA Kec. Cigudeg Kab. Bogor.

6) Wawancara kepada para pemohon perkara nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn.

b. Data sekunder

1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.

2) Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), khususnya yang berkenaan dengan perkawinan. 3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan

anak.

4) Aturan hukum dalam kitab fikih, khususnya yang berkenaan dengan pencatatan perkawinan.

5) Buku-buku yang berkenaan denga itsbat nikah, pencatatan nikah dan pernikahan dibawah umur.

6) Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan permasalahan itsbat dan pencatatan nikah.


(27)

3. Tehnik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Penulusuran dokumen, yakni mengkaji hasil penetapan itsbat nikah di Pengadilan Agama Cibinong.

b. Wawancara mendalam (indept interview), yaitu tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.13 Tehnik ini digunakan untuk mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut, dan pihak-pihak terkait.

c. Studi pustaka, yakni mengkaji buku-buku atau artikel yang berhubungan dengan skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan

content analysist (analisa isi) yaitu menganalisa dengan cara menguraikan

serta mendeskripsikan penetapan itsbat dan menganalisis pertimbangan hakim dengan menghubungkan hasil wawancara, dalil tentang nash, aturan fikih, dan aturan perundang-undangan tentang itsbat. kemudian membandingkannya satu sama lain. Serta meneliti pula dampak sosial dari hukum dan penetapan tersebut.

13

Nasution, Metode Reserch (Penelitian Ilmiah), Cet. ke IV, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 27.


(28)

5. Tehnik Penulisan

Pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada

Pedoman Penulisan Skripsi Universitas Islam Negri, Fakultas Syariah

dan Hukum, yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu

(PPJM) tahun 2012.

F. Kerangka Teori

Landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini diantaranya:

1. Teori yang di perkenalkan oleh Al-Ghazali dan Syatibi yang berpandangan bahwa tujuan utama dari Syariah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, yakni: Daruriyat (keadaan yang mendesak), Hajiyyat (secara bahasa berarti kebutuhan) dan Tahsiniyyat (hal-hal penyempurna).14

2. Teori tentang tujuan hukum juga diperkenalkan oleh Prof. Soebekti, S.H dalam buku ”Dasar-dasar hukum dan Pengadilan” tujuan hukum adalah bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan para rakyatnya. Hukum melayani tujuan negara tersebut dengan menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Keadilan lazim dilambangkan dengan neraca keadilan, dimana dalam keadaan yang sama, setiap orang harus mendapatkan bagian yang sama pula.

14

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), H. 247.


(29)

3. Teori Lawrence M. Friedman yang berpandangan bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang- undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.15

G. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan, bab ini berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan tehnik penulisan, kerangka teori, sistematika penulisan.

BAB II Pembahasan dalam bab ini mengenai pengertian dan hukum perkawinan dibawah umur, perkawinan dibawah tangan dan urgensi pencatatan nikah, pengertian dan dasar hukum itsbat nikah, syarat dan prosedur itsbat nikah, hubungan itsbat nikah dengan pencatatan perkawinan, dampak itsbat nikah sebelum dan sesudah adanya penetapan Pengadilan Agama.

BAB III Profil dan eksistensi Pengadilan Agama Cibinong, dalam bab ini mengupas masalah kewenangan Pengadilan Agama Cibinong dan proses penyelesaian perkara itsbat nikah masal yang masuk

2004), h. 32

15


(30)

di Pengadilan Agama Cibinong, termasuk uraian terbitnya penetapan Nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn tentang itsbat nikah masal yang terjadi di Kelurahan Cintamanik Kec. Cigudeg Kab. Bogor yang menjadi objek kajian skripsi ini.

BAB IV pada bab ini menjelaskan tentang analisis penetapan hakim Pengadilan Agama Cibinong tentang pengesahan nikah di bawah tangan setelah tahun 1974 yang meliputi pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan terhadap perkara nomor: 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn, pendapat dari pihak-pihak terkait, diantaranya: hakim yang memutuskan, panitera pengganti yang mendampingi hakim dalam memutuskan, kepala KUA, pegawai pencatat nikah dan para pemohon. Selain itu Pada bab ini juga menjelaskan tentang proses pencatatan ulang itsbat nikah setelah setelah adanya penetapan Pengadilan Agama Cibinong serta dampak hukum yang ditimbulkan akibat dari itsbat nikah tersebut.

BAB V Bab ini berisikan kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan serta saran-saran.


(31)

BAB II

HUKUM DAN SYARAT ITSBAT NIKAH BAGI PERKAWINAN DIBAWAH UMUR

A. Pengertian dan Hukum Perkawinan Dibawah Umur

Perkawinan dibawah umur adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang secara hukum dianggap belum layak menikah dikarenakan belum mencapai batas usia yang telah ditentukan oleh hukum positif yang ada. Sebagaimana diketahui, hukum Islam tidak menetapkan usia minimal kecakapan seseorang untuk melangsungkan perkawinan, kecuali adanya ketetapan bahwa seorang tersebut telah baligh atau mumayyiz.1 Demikian pula tidak ada larangan eksplisit dari para ulama terhadap laki-laki atau perempuan yang telah baligh atau mumayyiz untuk melangsungkan perkawinan.

Dalam trend modernisasi hukum keluarga di Negara-negara muslim, dapat diketahui hampir semua Negara Muslim mengatur tentang usia minimum perkawinan, baik laki-laki atau perempuan. Disamping karena tuntutan dari telah terbangunnya sistem norma perlindungan hak-hak anak yang disepakati komunitas internasional, terutama yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, perkawinan usia dini juga memiliki efek negative bagi perkembangan seseorang atau kepada suatu rumah tangga. Di antaranya adalah resiko kematian ibu atau anak yang dilahirkan dari usia yang belum

1

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, ( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 251.


(32)

matang,2 secara sosial tingginya angka perceraian atau kegagalan membina hubungan keluarga karena ketidak siapan masing-masing pasangan, dan bukan tidak mungkin memberikan efek lain seperti maraknya pelacuran, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka atau anak-anak.3

Dengan mempertimbangkan dampak negatif yang timbul dari perkawinan dibawah umur, perlu ditinjau kembali ketentuan hukum Islam yang secara definitive tidak melarang perkawinan usia dibawah umur. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menetapkan bahwa:

1. Untuk kemashlahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974.4

Merujuk kepada pasal 70 UU Hukum Keluarga Afganistan, usia perkawinan ditetapkan bagi anak perempuan adalah 16 tahun dan 18 tahun bagi anak laki-laki. Meskipun begitu belum ada sanksi yang tegas bagi mereka yang menikah atau yang menikahkan anak dibawah umur. Sama halnya, Bangladesh pun menetapkan batas usia minimum perkawinan, sebagaimana

2

Erick Eckholm dan Katleen Newland, Wanita, Kesehatan dan Keluarga Berencana. Penerjemah Masri Maris dan Ny. Soekanto ,(Jakarta: YOI dan Sinar Harapan, 1984), h. 15

3

Kantong-kantong Daerah dengan Tradisi Nikah di Bawah Umur: Karena Janda Kedokan Gabus tak Betah di Rumah”, (Bogor),Radar Bogor, 3 September 2008.

4


(33)

ditetapkan dalam UU Larangan Perkawinan Anak Tahun 1929, adalah 21 tahun bagi anak laki-laki dan 18 tahun bagi anak perempuan.5 Sementara di Turki sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 UU Hukum Perdata Turki, usia perkawinan baik laki-laki atau perempuan adalah 18 tahun, dengan persetujuan dari hakim. Kemudian pembatasan usia perkawinan juga dilakukan di Malaysia, sebagaimana UU Hukum Keluarga Malaysia menetapkan bahwa perkawinan tidak dapat dilangsungkan ketika laki-laki berusia dibawah 18 tahun dan perempuan dibawah 16 tahun, kecuali ketika hakim Syariah memberikannya izin secara tertulis dengan alasan yang mendesak.6

Dari ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa Negara-negara mayoritas muslim mulai membatasi usia perkawinan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal utama yang tidak dapat dihindarkan dari kenyataan tersebut adalah bahwa Negara-negara mayoritas muslim masih dipengarui oleh tradisi hukum Islam yang masih kuat di setiap wilayah, sehingga tidak adanya ketetapan eksplisit yang dibuat oleh para Ulama terdahulu tentang usia perkawinan dianggap sebagai suatu hal yang harus dipertahankan. Hanya beberapa Negara saja yang mulai beranjak dari pengertian tradisional tentang usia kelayakan, dengan lebih mempertimbangkan aspek psikis dan fisik calon pengantin.7

5

Kamrul Hossain, ”In Serch of Equality: Marriage Related Lawsfo Muslim Womenin Bangladesh”, h. 97.

6

Pasal 5 UU Hukum Keluarga Malaysia.

7

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, ( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 253-259.


(34)

Sekalipun dalam hukum positif Indonesia telah menetapkan batas minimum usia perkawinan, namun disisi lain juga diatur Undang-undang mengenai dispensasi nikah. Dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 bahwasannya seseorang yang belum cukup umur untuk melangsungkan pernikahan jika tidak terpenuhi maka tidak dapat melagsungkan pernikahan. Akan tetapi dalam pasal (2) dijelaskan lebih lanjut bahwasannya: “dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.

Adapun ketentuan landasan dispensasi nikah bagi bagi calon mempelai yang belum mencapai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan adalah pasal 7 ayat (1) sampai (3) UU No. 1 Tahun 19874 tentang Perkawinan.8

B. Perkawinan Bawah Tangan dan Urgensi Pencatatan Nikah

Perkawinan bawah tangan atau biasa dikenal dengan nikah sirri menurut hukum Islam adalah sah apabila memenuhi semua rukun dan syarat sahnya perkawinan meskipun perkawinan tersebut tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Dalam beberapa hadis disebutkan tentang larangan orang menikah secara sembuyi-sembunyi (illegal). Seperi hadis yang berbunyi: “janganlah kalian melacur dan melakukan pernikahan sirri”.9

8

Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam: (Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan

Hukum Perwakafan), (Bandung: Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2008), Cet. Ke-II, h. 82-83

9


(35)

Hadis tersebut menunjukkan tentang keharusan melakukan publikasi terhadap peristiwa suci tersebut. Karena pada hakikatnya perkawinan adalah hal mulia yang patut di I’lankan. Seperti hanya hadis Nabi yang Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

ف ذن تا و ٍ◌ ه ع ا ٌ◌ ت ش ض ا ً◌ ،ذ ج ا س ً◌ نا فً◌ ٌهه ع جا ً◌ حا ك نﺎﻧ ٌانه ع ا

Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ).

Kemudian dalam konteks ini, dijumpai pula sebuah pernyataan sahabat Umar bin Khattab yang tidak mengakui keabsahan suatu perkawinan yang dihadiri oleh satu orang saksi saja.10 Atsar ini menujukkan bahwa perkawinan merupakan peristiwa penting dan sakral secara privacy sekaligus membutuhkan pengakuan publik karena pada gilirannya nanti akan bersinggungan dengan persoalan-persoalan publik.

Menurut agama Islam, adanya penentuan terhadap sah atau tidaknya perkawinan bawah tangan sangat tergantung kepada sejauh mana rukun dan syarat sah perkawinan tersebut dapat terpenuhi. Apabila semua rukun dan syarat nikah ini dipenuhi ketika perkawinan bawah tangan tersebut digelar, maka perkawinan tersebut dapat dikatakan sah menurut agama Islam.

Meskipun demikian pencatatan perkawinan dan aktanya, merupakan perkara yang penting dalam Hukum Perkawinan Islam. Hal ini didasari oleh firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282:

ب ٌأ ل َ◌ ً◌ ﺬﻟ عن ٱت ة تا ك ى كن ٍ◌ ت ة تك ٍ◌ ن ً◌ ٌهﺖﺛ كٱ ف ى ً◌ س ي م ج أ ى نإ ٍ◌ ٌ◌ ذت ىت ن ٌ◌ ذا ت ار إ ا ٌ◌ ني اء ٍ◌ ٌ◌ زن ٱ اي ٌ◌ أ ٌ◌ ا ٍ◌ ش ون ي س خ ث ٌ◌ ل َ◌ ً◌ ۥو ت س لل ٱ ق ت ٍ◌ ن ً◌ ق ح نٱ و ٍ◌ ه ع ي زن ٱ م ه ٍ◌ً◌ ن ً◌ ة تك ٍ◌ هف لل ٱ و ً◌ ه ع ا ً◌ ك ة تك ٌ◌ ٌ◌ أ ة تا ك 10


(36)

ﺬﻟ عن ٱت ۥو ٍ◌ ن ً◌ م ه ٍ◌ً◌ هف ىٌ◌ م ً◌ ٌ◌ ٌ◌ أ ع ٍ◌ ط ت س ٌ◌ َل أً◌ اف ٍ◌ ع ض أً◌ اي ٍ◌ ف س ق ح نٱ و ٍ◌ ه ع ي زن ٱ ٌ◌ اك ٌ◌ إف ى كن ا ج س ٍ◌ ي ٍ◌ ٌ◌ ذ يٍ◌ ش ا ً◌ ذ ي ش ت س ٱ ً◌ Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu melakukan utang- piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak umtuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah,Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikitpun dari padanya. Jika yang berhutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaknya walinya mendiktekan dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki diantara kamu. (Q.S al-Baqarah/2:282).

Para fuqaha dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya, sehingga mereka menganggap bahwa hal itu tidak penting. Namun, bila diperhatikan perkembangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemashlahatan serta sejalan dengan kaidah fiqh yang mengungkapkan: ح نا ص ً◌ ﺎﻧ ﺞھة ى ه ع وذ قي ﺎﺳذ ف ً◌ ﺎﻧ ا س د

Artinya: “menolak kemudharatan itu lebih diutamakan dari pada

mendatangkan kemashlahatan.” Dan juga kaidah:

ة ﮫﺣ ص ً◌ نات ط ٌ◌ ني ة ٍ◌ ع شن ا ى ﻊھ ﻞﯾاو َ◌ ا ف ش ص

ت Artinya: “Suatu tindakan (peraturan)

pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan

kemashlahatan masyarakat”.11

Dengan demikian, pelaksanaan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pencatatan dan pembuktian perkawinan dengan akta nikah merupakan

11

As Suyuti. al Asybah wa An-Nadhair. (Bierut: Dar al Kutub al Ilmiyah. 1993) Cet. Pertama, h. 121


(37)

tuntutan dari perkembangan hukum dalam mewujudkan kemashlahatan umum

(mashlahat mursalah) di Negara Republik Indonesia. Pemikiran itu didasari

oleh metodologis asas yang kuat, yaitu qiyas dari ayat al-Quran yang berkaitan dengan muamalah (Surat Al-Baqarah ayat 282) dan maslahat mursalah dari perwujudan kemaslahatan.12

Ayat diatas dikenal oleh para ulama dengan ayat mudayanah (ayat utang piyutang). Ayat ini berisi tentang penulisan utang-piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya atau notaris, didalamnya juga ditekankan pentingnya menulis utang walaupun sedikit, disertai dengan jumlah dan ketepatan waktunya.13

Mengenai ayat ini, ulama berbeda pendapat tentang hukum pencatatan tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa pencatatan tersebut hukumnya tidak wajib karena hanya bersifat ajuran. Hal ini menurut Quraish Shihab berdasarkan praktek para sahabat Nabi ketika itu, keadaan kaum muslimin ketika turunnya ayat ini belum banyak yang memiliki kepandaian tulis menulis, maka jika perintah tersebut bersifat wajib tentunya akan sangat memberatkan masyarakat muslim pada saat itu. Namun demikian ayat ini mengisyaratkan pentingnya belajar tulis menulis, karena dalam hidup seseorang dapat mengalami kebutuhan pinjam dan meminjamkan. Hal ini diisyaratkan dengan penggunaan kata ارا (apabila) yang terdapat pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk kepastian akan terjadinya

12

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesi , (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 30

13

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. Ke-1, h.562-563.


(38)

sesuatu.14 Berdasarkan pendapat Quraish Shihab diatas, dapat disimpulkan bahwa pada kondisi saat ini dimana keahlian tulis menulis sudah dikuasai oleh sebagian besar masyarakat, serta penggunaan pencatatan sebagai salah satu bukti yang diterima dimata hukum, maka pencatatan tersebut hukumnya menjadi wajib.

Didalam kompilasi Hukum Islam pasal 3 dijelaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.15 Oleh karena itu, untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah maka setiap perkawianan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana yang disebutkan dalam KHI tentang pencatatan perkawinan:

1. Pasal 5 ayat (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pasal 5 ayat (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Kemudian teknik pelaksanaannya, dijelaskan dalam pasal 6 yang menyebutkan:

14

M. Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. Ke-1, h.564-565.

15

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesi, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), Cet Ke-5, h. 114


(39)

1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Selain itu, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui Perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan gholidhon) perkawinan, dan lebih khusus lagi bagi perempuan dalam kedidupan rumah tangga.16 Bukti perkawinan yang sudah dicatatkan adalah berupa Akta Nikah yang dapat dijadikan bukti otentik, bila suatu waktu di dalam perkawinan ada masalah.

Ahmad rofiq berpendapat setidaknya ada dua manfaat dari pencatatan nikah yaitu manfaat refresif dan manfaat preventif. Manfaat refresif dari pencatatan nikah adalah terbentuknya kesempatan itsbat (penetapan) bagi suami istri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah. Ketentuan ini tertera jelas dalam KHI pasal 7 ayat (2) dan (3). Sedangkan manfaat preventif dari pencatatan nikah adalah untuk menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat-syarat perkawinan baik menurut hukum agama maupun hukum perundang-undangan, dengan ini dapat dihindari adanya pelanggaran terhadap kompetensi relative pegawai pencatat nikah, atau menghindari terjadinya

107

16


(40)

pemalsuan (penyimpangan hukum), seperti identitas calon mempelai, status perkawinan, perbedaan agama dan usia calon mempelai tersebut.17 Dalam hal ini, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengaturnya dalam pasal 3 yang berbunyi:

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan dilangsungkan.

2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.

3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Bagi orang yang beragama islam pemberitahuan disampaikan kepada Kantor Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk. Sedangkan bagi orang-orang yang bukan beragama islam, pemberitahuannya dilakukan kepada Kantor Catatan Sipil setempat.18

Adapun lebih detail tentang persyaratan dan pelaksanaannya dijelaskan dalam pasal 5 yang berbunyi: Pemberitahuan memuat tentang nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kedaman calon mempelai, apabila

17

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h.111-112

18

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Study

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1 Tahun 1974 sampai KHI), (Jakarta:


(41)

salah seorang atau kedua calon mempelai pernah kawin disebutkan juga nama istri dan suami terdahulu.

Kemudian pasal 6 juga dijelaskan bahwasannya Pegawai pencatat nikah yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.

Selain penelitihan terhadap hal sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pegawai pencatat meneliti pula:

1. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang setingkat dengannya.

2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.

Ketentuan dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) di atas memberi beberapa manfaat diantaranya Pertama: memelihara ketertiban hukum yang menyangkut kopetensi relatif dari Pegawai Pencatat Nikah. Kedua:

meghindari terjadinya pemalsuan atau penyimpangan seperti identitas calon mempelai dan status perkawinan mereka. Oleh karena itu, ketelitian Pegawai Pencatat Nikah sangat diperlukan dan menjadi faktor penentu tidak terjadinya penyimpangan.


(42)

Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7 ayat (1) dan (2) menyebutkan:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah dapat diajukan Itsbat Nikahnya ke Pengadilan Agama.19

Permohonan itsbat nikah menurut pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa yang berhak mengajukan itsbat nikah adalah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.20

C. Pengertian dan Dasar Hukum Itsbat Nikah

Itsbat nikah merupakan gabungan dari dua kata, yakni itsbat dan nikah. Itsbat merupakan kata masdar dari ثاثت ٌ◌ثثت اﺚﺛاات bentuk infinitif yang berarti penetapan atau pembuktian.21 Sedangkan nikah adalah ikatan lahir batin antarara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.22 Apabila ditinjau dari perspektif ulama fikih nikah berarti penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut istilah

19

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, h.115

20

Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 29

21

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al Munawir (Arab-Indonesia), (Yogyakarta: Pustaka Progesif, 1997), Cet. 14, h. 145

22

Tim penyusun, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (T.tp., Citra Umbara, 2007), h. 2.


(43)

syariat, nikah bermakna akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.23

Jika digabungkan antara kedua kalimat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya itsbat nikah berarti penetapan oleh pengadilan atas terjadinya suatu ikatan atau akad yang menghalalkan hubungan suami istri, sebagaimana yang dirumuskan dalam kamus bahasa Indonesia bahwasannya itsbat nikah adalah penetapan tentang kebenaran (keabsahan) suatu pernikahan.24 Singkatnya itsbat nikah adalah penetapan oleh pengadilan atas perkawinan yang sah tetapi tidak mempunyai akta nikah akibat tidak terdaftar secara administrasi Negara.

Definisi lain menyebutkan bahwa itsbat nikah adalah suatu penetapan, penentuan, pembuktian, atau pengabsahan pengadilan tehadap perkawinan yang telah dilakukan karena alasan-alasan tertentu.25

Didalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dalam pasal 24 dijelaskan bahwasannya: untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.26 Adanya ketentuan ini maka perkawinan yang berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah sah. Begitu juga masalah itsbat nikah dianggap

7, h. 29

23

Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, (Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2011), Cet.

24

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet ke-11, h.339

25

Yayan Shofyan, Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Setelah Diberlakukan UU No 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Ahkam

IV, No. 8 (2008), h. 75

26

Abdul Ghoni Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan


(44)

sah, karena itsbat nikah ini sudah ada dan melembaga dalam himpunan dan penetapan Pengadilan Agama sejak tahun 50 an.

Kemudian setelah diundangkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989 yang menggantikan segala landasan hukum Pengadilan Agama sebelumnya. Memang lembaga itsbat nikah tidak dimekarkan lagi tetapi tidak berarti hilang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 49 ayat (2) bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a bahwasannya: hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku, sedangkan dalam pasal 49 ayat (2) menyebutkan bahwasannya salah satu bidang perkawinan yang diatur dalamUndang-undang No 1 Tahun 1974 adalah tentang sah nya perkawinan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Jadi lembaga itsbat nikah atau pengesahan nikah yang ditampung oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama, terbatas pada alasan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan itsbat nikah atau pengesahan nikah yang karena alasan-alasan lain tidak dimuat dan tidak ada penjelasan-penjelasan tentang ketidak bolehannya.

Yang menjadi dasar hukum dari Itsbat Nikah adalah Bab XIII pasal 64 ketentuan peralihan Undang-undang perkawinan yaitu untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum


(45)

Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan lama adalah sah.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku I pasal 7, yang terkandung dalam pasal 64 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut dikualifikasikan sebagai upaya hukum yang disebut dengan “Itsbat Nikah”.27

Mengenai Itsbat Nikah ini ada PERMENAG Nomor 3 Tahun 1975 yang dalam pasal 39 ayat (4) menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang, maka untuk menetapkan adanya nikah, cerai atau rujuk harus dibuktikan dengan penetapan Pengadilan Agama. Namun aturan itu hanya berkaitan dengan perkawinan yang dilangsungkan sebelum adanya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya. Akan tetapi, pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ternyata memberi Pengadilan Agama kompetensi absolut yang sangat luas terhadap Itsbat Nikah.

D. Syarat dan Prosedur Itsbat Nikah

Pengesahan pengukuhan nikah (Itsbat Nikah) itu biasanya diperlukan bagi mereka yang sudah lama melangsungkan pernikahan, yang membutuhkan keterangan dengan akta yang sah. Seperti untuk mendapatkan harta bersama, pensiunan janda, naik haji, dan lain sebagainya.

27


(46)

Penetapan tentang sah atau tidaknya tentang perkawinan yang terjadi sebelum tahun 1974 diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 64 yang menjelaskan bahwasannya: untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islan juga mengatur mengenai itsbat nikah, dalam pasal 7 disebutkan:

1. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2. Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3. Itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka menyelesaikan perceraian.

b. Hilangya akta nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.


(47)

Tetapi dalam pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwasannya perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Di dalam pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam menyatakan perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pada dasarnya permohonan itsbat nikah diajukan secara voluntair, akan tetapi jika terdapat pihak yang keberatan maka pihak yang berkeberatan atas adanya itsbat tersebut boleh mengajukan bantahan ke Pengadilan Agama, baik sebelum atau sesudah itsbat nikah tersebut berkekuatan hukum tetap.28

Karena pada dasarnya itsbat nikah itu diajukan secara voluntair, maka atasnya di syaratkan adanya permohonan dari pihak yang berperkara. Adapun surat permohonan adalah suatu permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang tidak mengandung sengketa, sehingga peradilan yang mengadili dapat dianggap sebagai suatu proses pengadilan yang bukan sebenarnya.

Dalam perkara permohonan hanya ada satu pihak saja yakni pemohon. Namun demikian di Pengadilan Agama ada permohonan yang perkaranya mengandung sengketa, sehingga didalamnya ada dua pihak yang disebut pemohon dan termohon, yaitu dalam permohonan izin ikrar talak dan permohonan izin beristri lebih dari seorang.

28

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan,

Buku II Teknisi Administrasi dan Teknisi di Lingkungan Peradilan Agama,(Jakarta: 4 april, 2006),


(48)

Pada prinsipnya semua gugatan/permohonan harus dibuat secara tertulis, bagi penggugat/pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatan/permohonan diajukan scara lisan kepada ketua Pengadilan Agama. Kemudian ketua memerintahkan kepada hakim untuk mencatat segala sesuatu yang dikemukakan oleh penggugat/pemohon, maka gugatan/permohonan tersebut ditandatangani oleh ketua/hakim yang menerima itu berdasarkan ketentuan pasal 114 ayat (1) R. Bg atau pasal 120 HIR. Gugatan/permohonan yang dibuat secara tertulis ditandatangani oleh penggugat/pemohon (pasal 142 ayat (1) R. Bg/ pasal 118 ayat (1) HIR). Jika penggugat/pemohon telah menunjuk kuasa khusus maka surat gugatan/permohonan ditandatangani oleh kuasa hukumnya (pasal 147 ayat (1) R. Bg/ pasal 123 HIR).

Surat gugatan/permohonan rangkap enam, masing-masing satu rangkap untuk penggugat/pemohon, satu rangkap untuk tergugat/termohon atau menurut kebutuhan dan empat rangkap untuk majelis hakim yang memeriksanya (satu hakim ketua, dua hakim anggota dan satu panitera pengganti).

Apabila surat gugatan/permohonan dibuat satu rangkap, maka harus dibuat salinannya sejumlah yang diperlukan dan dilegalisir oleh panitera. Adapun isi dari surat gugatan/permohonan diantaranya:

1. Identitas para pihak (pemohon dan termohon) a. Nama (beserta bin/binti dan aliasnya) b. Umur


(49)

c. Agama d. Pekerjaan

e. Tempat tinggal, bagi pihak yang tempat tinggalanya tidak diketahui hendaknya ditulis, “dahulu bertempat di ..., tetapi sekarang tidak diketahui tempat tinggalnya di Indonesia.

f. Kewarganegaraan (jika diperlikan)

2. Posita, yaitu penjelasan tentang keadaan/peristiwa dan penjelasan yang berhubungan dengan hukum yang dijadikan dasar/alasan gugat. Posita berisi tentang:

a. Alasan yang berdasarkan fakta/peristiwa hukum.

b. Alasan yang berdasarkan hukum, tetapi hal ini bukan merupakan keharusan. Hakimlah yang harus melengkapinya dalam keputusan nanti.

3. Petitum, yaitu tuntutan yang diminta oleh pemohon agar dikabulkan oleh hakim.29

Adapun cara mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama yang dipaparkan oleh Yayan Sofyan adalah sebagai berikut:30

1. Pemohon datang ke Pengadilan di wilayah kekuasaan relatif Pengadilan Agama tersebut (wilayah tempat tinggalnya) dengan membawa surat-surat yang diperlukan. Misalnya, surat keterangan

29

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, cet ke-1 (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996), h. 39-40

30

Yayan Sofyan, Itsbat Nikah Bagi Perkawinan Yang Tidak Dicatat Setelah

Diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 di Pengadilan Agama (Jakarta Selatan, Ahkan IV, No. 8:


(50)

dari RT, RW, lurah/kepala desa setempat atau surat keterangan kehilangan akta nikah dari kepolisian bila akta nikah hilang.

2. Mengajukan pemohonan baik secara tertulis maupun secara lisan kepada ketua Pengadilan Agama dengan menyampaikan sebab- sebab pengajuan permohonan.

3. Membayar uang panjar biaya perkara. Bagi yang tidak mampu membayar uang perkara, Pengadilan Agama bisa mengajukan prodeo (pembebasan biaya).

4. Membawa saksi-saksi yang diperlukan, yaitu orang yang bertindak sebagai wali dalam pernikahan yang telah terjadi, petugas atau orang yang menikahkan, para saksi perkawinan, orang-orang yang mengetahui adanya perkawinan itu.

E. Akibat Hukum Itsbat Nikah

Setelah dikabulkan permohonan itsbat nikah, maka secara otomatis yang berkepentingan akan mendapat bukti otentik tentang pernikahan mereka yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menyelesaikan persoalan di Pengadilan Agama nantinya, itsbat nikah ini berfungsi sebagai kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum atas perkawinan itu sendiri, dengan demikian maka pencatatan perkawinan merupakan persyaratan formil syahnya perkawinan, persyaratan formil ini bersifat prosedural dan administratif.


(51)

Dengan adanya pencatatan perkawinan maka eksistensi perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Telah memenuhi ketentuan hukum materil, yaitu telah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun menurut hukum Islam.

2. Telah memenuhi ketentuan hukum formil, yaitu telah di catatat pada Pegawai Pencatat Nikah yang berwewenang.

Sebaliknya perkawinan yang tidak tercatatkan dan tidak pula diminta itsbat nikahnya maka kedudukan perkawinan itu adalah:

1. Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada perkawinan sehingga tidak menimbulkan akibat hukum.

2. Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-undang No. 1 tahun 1974.

3. Tidak dapat dijadikan dasar hukum menjatuhkan pidana berdasarkan ketentuan pasal 219 kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP).

4. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak oleh pihak wanita sebagai istri dan juga anak-anaknya.31

31

Ahmad Mukti Arto, Masalah Pencatatan Perkawinan dan Sahnya Perkawinan,


(52)

BAB III

PROFIL PENGADILAN AGAMA CIBINONG

A. Sejarah Pengadilan Agama Cibinong

Pengadilan diidentifikasi sebagai bagian dari pranata hukum untuk memenuhi kebutuhan penegakan hukum dan keadilan yang mengacu kepada hukum yang berlaku. Sedangkan hukum dapat diidentifikasi sebagai bagian dari pranata sosial.

Demikian juga pertumbuhan dan perkembangan Pengadilan Agama Cininong, yakni berhubungan secara timbal balik dengan pranata hukum dan pranata sosial lainnya. Ia tumbuh berkembang sejalan dengan perkembangan politik, yang berbasis pada struktur sosial dan pada budaya didalam system masyarakat. Ia merupakan alokasi perwujudan nilai-nilai Islami dalam menata jalinan hubungan antara manusia untuk mewujudkan penegakan hukum dan keadilan.1

Pengadilan Agama Cibinong berkedudukan di Jalan Bersih Komplek Pemda Kecamatan Cibinong, Tlp (021) 87907651, Fax. (021) 87907651. Gedung Peradilan Agama Cibinong dibangun diatas tanah seluas 1650 m dengan luas bangunan tanah 4919,70 m. terdiri dari dua lantai yang dibangun pada tahun 2002 dengan keadaan gedung kantor yang demikian besar dan volume pekerjaan yang cukup padat, begitu pula dengan karyawan yang

1

Dr. Jaih Mubarok, M.Ag., Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraiys, 2004), Cet ke-1, h. 3


(53)

berjumlah 39 orang ditambah dengan pegawai honorer 4 orang maka kantor ini dapat dikatakan cukup memadai.2

Sejarah kelahiran Peradilan Agama Cibinong erat sekali kaitannya dengan sejarah pembentukan Peradilan Agama pada umumnya diseluruh Indonesia khususnya di Daerah Bogor Jawa Barat. Dasar hukum pembentukan Pengadilan Agama Cibinong adalah berdasarkan Kepres No. 85 Tahun 1996 tentang pembentukan 9 (Sembilan) Pengadilan Agama.

Pengadilan Agama Cibinong terbentuk sejalan dengan perjalanan sejarah singkat Kabupaten Bogor pada tahun 1075, dimana pemerintah pusat menginstruksikan bahwa Kabupaten Bogor harus memiliki pusat pemerintahan wilayah Kabupaten sendiri dan pindah dari pusat pemerintahan Kota Madya Bogor. Atas dasar tersebut, Pemerintah Tingkat II Bogor mengadakan penelitian di beberapa wilayah Kabupaten Daerah Tingat II Bogor untuk dijadikan sebagai calon Ibu Kota sekaligus berperan sebagai pusat pemerintahan. Adapun alternatif lokasi yang dulunya akan dipilih diantaranya adalah Ciawi (Rancamayu) Leuwiliang, Parung, dan Kecamatan Cibinong (desa tengah), maka dari hasil penelitihan tersenut didalam sidang pleno DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor ditetapkan di Desa Tengah Kecamatan Cibinong.

Penetapan calon Ibu Kota diusulkan kembali ke Pemerintah Pusat dan langsung mendapat persetujuan serta dikukuhkan dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1982 yang menegaskan bahwa Ibu Kota Pusat

2


(54)

Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor berkedudukan di Desa Tengah Kecamatan Cibinong di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. Atas dasar tersebut Pengadilan Agama Cibinong dibentuk berdasarkan Kepres No. 85 Tahun 1996 tanggal 1 November 1996 dimana pengoprasiannya diresmikan oleh Bapak Direktur DIRBIN BAPELA ISLAM pada tanggal 25 juni 1997.

Adapun dasar hukum pembentukan Daerah Tingkat II di wilayah Pengadilan Agama Cibinong Kabupaten Bogor adalah:3

1. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1995 tentang perubahan atas wilayah Kota Madya dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor. 2. Putusan Mentri Dalam Negeri No. 49 Tahun 1989 tentang

Pedoman Perubahan Batas Wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Bogor.

3. Keputusan DPRD Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor No. 650/03/KPTS/DPRD/1989 tanggal 3 juli 1989 tentang Persetujuan Prinsip Terhadap Rencana Perluasan Wilayah Kota Madya Daerah Tingkat II Bogor.

4. Surat Keputusan Pimpinan DPR tanggal 12 Oktober 1990 Kabupaten Daerah Tinggal II Bogor No. 650/SK.Pem.21/DPRD/1990 tentang Persetujuan Pengembangan Bogor Raya.

3


(55)

5. Kesepakatan bersama anatara Pemerintah Kota Madya Daerah Tingkat II Bogor dan Kabupaten Daerah Tingkat II Bogor.

B. Visi dan Misi Pengadilan Agama Cibinong:4

1. Visi Pengadilan Agama Cibinong adalah mewujudkan citra dan wibawa serta kemandirian Pengadilan Agama Cibinong dalam melaksanakan tugas pokok dan kewenangannya sebagai Peradilan Negara yang sejajar dengan Peradilan lainnya, bermartabat dan dihormati demi tegaknya hukum dan keadilan, ketertiban dan kepastian hukum di tengah masyarakat Kabupaten Bogor yang religius menuju terlaksananya syariat Islam yang efektif. 2. Misi Pengadilan Agama Cibinong adalah:

a. Pemberdayaan peran, kedudukan dan kewenangan Pengadilan Agama sebagai Peradilan Negara dan sebagai lembaga penegak hukum agar lebih mampu dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan terhadap masyarakat melalui keputusan yang berkualitas.

b. Pembinaan moralitas dan pengangkatan profesionalisme sumber daya aparatur Peradilan Agama, sarana dan prasarana penegakan hukum. c. Pengembangan budaya dan kepastian hukum sehingga mampu

memberikan kontribusi positif dan membangun masyarakat yang religius berdasarkan syariat Islam.

4

Pengadilan Agama Cibinong, Visi dan Misi” artikel dikases pada 09 Februari 2015 dari http://www.pa-cibinong.go.id/visi-dan-misi


(56)

C. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Cibinong5

Wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Cibinong serupa dengan wilayah yuridiksi Pengadilan Agama pada umumnya. Wilayah yuridiksi yang dimaksud dalam pembahasan ini merujuk pada istilah kewenangan memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan. Dalam istilah “kewenangan” merupakan sinonim dari kata “kekuasaan”. Adapun yang dimaksud dengan kewenangan dan kekuasaan itu didalam HIR dikenal dengan istilah kompetensi.

Dalam Bab III pasal 49 sampai dengan pasal 53 UU No. 7 Tahun 1989. Dalam ketentuan pasal 49 dinyatakan:6

1. Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah.

2. Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan untuk Undang- undang mengenai perkawinan yang berlaku.

3. Bidang kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai

5

Peradilan Agama Cibinong, “Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Cibinong” artikel diakses pasa 04 Februari 2015 dari http://www.pa-cibinong.go.id/yuridiksi-pa.

6

Dr. Jaih Mubarok, M.Ag., Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraiys, 2004), Cet ke-1, h. 14


(57)

harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.7

Dalam ketentuan-ketentuan itu menunjukkan bahwa cakupan kekuasaan absolut Pengadilan Agama Cibinong secara garis besar meliputi perkara perkara perdata tertentu dikalangan orang-orang yang beragama Islam. Perkara-perkara perdata itu adalah di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.

Berbicara mengenai kompetensi, jika diklasifikasikan lagi Pengadilan Agama Cibinong mempunyai dua kompetensi, yaitu:

1. Kompetensi absolut, yaitu kewenangan atau kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan perkara atau tingkat pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan lainnya.8 Pada Undang-undang No. 3 Tahun 2006 jo UU no. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan BAB II mengenai kekuasaan Pengadilan pasal 29 yang berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang:

a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat

h. 22

7

Undang-undang Peradilan Agama (UU No. 7 Th. 1989), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),

8

H. Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(Jakarta: Rajawali Pers, 1991), Cet ke-1, h. 27.


(58)

d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infak h. Shadaqoh

i. Ekonomi Syariah

Semua kompetensi yang disebutkan diatas berdasarkan Undang- undang Perkawinan, Kewarisan, Peraturan Pemerintah dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun pelaksanaan tugas-tugas pokok ini pembinaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Khusus mengenai bidang perkawinan, maka dalam penjelasan dalam pasal 49 ayat (2) UU No. 3 tahun 2006 jo. No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwasannya kompetensi absolut Peradilan Agama mengenai hal-hal yang berhubungan perkawinan antara lain:

a. Izin beristri lebih dari seorang

b. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang berusia 21 tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.

c. Dispensasi nikah. d. Pencegahan perkawinan.

e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah. f. Pembatalan Perkawinan.


(59)

h. Perceraian karena talak. i. Gugatan percerain.

j. Penyelesaian harta bersama. k. Hadhanah.

l. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya.

m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri. n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.

o. Putusan tentang pencabutan kekuasan orang tua. p. Pencabutan kekuasaan wali.

q. Penunjukan orang tua lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut.

r. Penunjukan seorang wali dalam hal belum cukup umur (18 tahun) yang ditinggal kedua orang tuanya.

s. Pembentukan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya.

t. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam.

u. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran.


(60)

v. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.

2. Sedangkan kompetensi relative yang dimiliki oleh pengadilan agama yaitu: kewenangan atau kekuasaan untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan suatu perkara bagi pengadilan yang berhubungan dengan wilayah atau domisili para pihak pencari keadilan. Hal demikian tersebut terdapat pada ketentuan sebagai berikut:

a. HIR pasal 118 ayat (1 s/d 4) atau 142 R. Bg.

b. Undang-undang Peradilan Agama pasal 66 ayat (1 s/d 5) dan pasal 73 ayat (1 s/d 3) tentang kompetensi relative.

Khusus mengenai bidang kewarisan, wasiat dan hibah diatur dalam Statsblaad 1882 No. 152, yang kemudian diubah dengan

Statsblaad 1937 No. 1116 dan 610. Sebagaimana tercermin dalam

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1975 menjelaskan bahwasannya kompetensi absolut Peradilan Agama Cibinong di bidang kewarisan mencakup empat hal yaitu:

a. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris. b. Penentuan mengenai harta peninggalan (tirkah).

c. Penentuan masing-masing ahli waris dari harta peninggalan itu. d. Menjelaskan pembagian harta peninggalan tersebut.

Selain itu ketentuan mengenai kewenangan Pengadilan Agama Cibinong khusus dibidang wakaf dan shodaqah merujuk pada PP No. 28


(61)

Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik dan ketentuan pasal 17 Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978, yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syariat Islam diantaranya:9

a. Wakaf, wakif, nadzir, ikrar, dan saksi. b. Bayinah (alat bukti) administrasi wakaf. c. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf.

Adapun kompetensi relative Pengadilan Agama Cibinong mewilayahi 39 Kecamatan, 423 Desa dan 457 kelurahan. Wilayah Kecamatan terdiri dari desa dan kelurahan sebagai berikut:

1. Kecamatan Ciawi : 13 Desa 2. Kecamatan Cisarua : 9 Desa 3. Kecamatan Caringin : 11 Desa 4. Kecamatan Cijeruk : 12 Desa 5. Kecamatan Taman Sari : 18 Desa 6. Kecamatan Ciomas : 11 Desa 7. Kecamatan Cibinong : 12 Desa 8. Kecamatan Dramaga : 10 Desa 9. Kecamatan Gunung Putri : 10 Desa 10. Kecamatan Citeureup : 12 Desa 11. Kecamatan Babakan Madang : 3 Desa 12. Kecamatan Sukaraja : 13 Desa

9

Dr. Jaih Mubarok, M.Ag., Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraiys, 2004), Cet ke-1, h. 19-20.


(62)

13. Kecamatan Mega Mendung : 10 Desa 14. Kecamatan Suka Makmur : 14 Desa 15. Kecamatan Jonggol : 12 Desa 16. Kecamatan Cileungsi : 9 Desa 17. Kecamatan Kapala Nunggal : 20 Desa 18. Kecamatan Cariu : 9 Desa 19. Kecamatan Parung : 10 Desa 20. Kecamatan Ciseeng : 9 Desa 21. Kecamatan Kemang : 16 Desa 22. Kecamatan Bojong Gede : 6 Desa 23. Kecamatan Ranca Bungur : 10 Desa 24. Kecamatan Gunung Sindur : 19 Desa 25. Kecamatan Leuwiliang : 15 Desa 26. Kecamatan Pamijahan : 13 Desa 27. Kecamatan Rumpin : 15 Desa 28. Kecamatan Cibungbulang : 19 Desa 29. Kecamatan Ciampea : 15 Desa 30. Kecamatan Jasinga : 9 Desa 31. Kecamatan Tenjo : 11 Desa 32. Kecamatan Parung Panjang : 11 Desa 33. Kecamatan Nangung : 9 Desa 34. Kecamatan Sukajaya : 9 Desa 35. Kecamatan Cigudeg : 15 Desa


(63)

36. Kecamatan Leuisedang : 8 Desa 37. Kecamatan Tajur Haling : 7 Desa 38. Kecamatan Tenjolaya : 57 Desa 39. Kecamatan Cigombong : 8 Desa

D. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Cibinong

KETUA

WAKIL KETUA

HAKIM HAKIM

PANITERA/SEKRETARIS

WAKIL PANITERA WAKIL SEKRETARIS

PANMUD GUGATAN

PANMUD PERMOHONAN

PANMUD HAKIM

KAUR KEUANGAN

KAUR KEPEGAWAIAN

KAUR UMUM

PANITERA PENGGANTI JURUSITA JURUSITA PENGGANTI

Adapun susunan petugas Pengadilan Agama Cibinong adalah sebagai berikut: 1. Pegawai Teknis


(64)

NO NAMA JABATAN 1 Drs. H. M. Hasany Nasir, SH. MH Hakim/Ketua 2 Dra. Ernida. Basry. MH Hakim/Wakil 3 Drs. H. Hasan Basri, SH. MH Hakim 4 Dra. Sulkha Harwiyanti, SH Hakim

5 Ahmad Bisri, SH. MH Hakim

6 Drs. Baidhowi, MH Hakim

7 Drs. H. Subarkah, SH. MH Hakim

8 Drs. Yusri Hakim

9 Drs. H. Fikri Habibi, SH. MH Hakim 10 Drs. Abdul Hamid Maleyi, SH Hakim

b. Daftar nama tenaga kepaniteraan Pengadilan Agama Cibinong

NO NAMA JABATAN

1 Drs. Harun Al-Rosyid Panitera 2 Pupu Syaripudin, S.Ag Wakil Panitera

3 Suprianto, SE Wakil Sekretaris

4 Rahmat Firmansyah, S.Ag Panitera Muda Hukum 5 Hj. Nuryani, S.Ag Panitera Muda Permohonan 6 Nani Nuraeni, SH Panitera Muda Gugatan 7 Suryadi, S.Ag Panitera Pengganti


(65)

8 Hidayah, S.Ag Panitera Pengganti 9 Hj. Tati Sunengsih, SH. MH Panitera Pengganti 10 Aceng Nasrudin, SHI Panitera Pengganti 11 Rahmat Firmansyah, S.Ag Panitera Pengganti 12 Dra. Siti Mariam Adam Panitera Pengganti 13 Helda Fitriani, SH Panitera Pengganti

2. Daftar Tenaga Kejurusitaan Pengadilan Agama Cibinong

NO NAMA JABATAN

1 Holid, SH Jurusita

2 Firmansyah Maruyuana Jurusita

3 Supartini, SH Jurusita

3. Pegawai Administrasi

NO NAMA JABATAN

1 Sumaryati, SH Wakil Sekretaris

2 Dicky Mulyawan, A.Md Kaur Keuangan 3 Marwan Hasiallah, S.HI Kaur Kepegawaian


(66)

BAB IV

DASAR HUKUM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA CIBINONG NO. 499/Pdt.P/2014/PA.Cbn DAN DAMPAKNYA

A. Duduk Perkara

Telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, bagaimana tata cara Itsbat bagi pasangan yang ingin pernikahannya dianggap sah dimata Negara, sehingga mempunyai kekuatan hukum.

Dalam surat gugatan atau permohonan, duduk perkara/posita sangat penting eksistensinya, setiap surat gugatan memuat posita. Pada hakikatnya posita atau fundamentum petitum yaitu menguraikan tentang kejadian- kejadian atau peristiwa-peristiwa.1 Biasanya dalam praktik, baik dalam putusan ataupun surat gugatan lebih dikenal dan lebih lazim disebut dengan duduk perkara yang menjadi dasar yuridis penetapan atau menguraikan secara kronologis duduk perkaranya kemudian penguraian tentang hukumnya, tidak berarti harus menyebutkan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar tuntutan.2

Perkara yang diajukan oleh pihak yang terkait itu tergolong dalam bentuk surat permohonan, adapun pengertian dari surat permohonan itu sendiri adalah suatu permohonan yang didalamnya berisi tuntutan hak perdata oleh suatu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hal yang didalamnya tidak

1

Faijal Kamil, Asas Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2005), h. 60.

2

Fauzi Yusuf Hasibun, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Yayasan Pustaka Hukum Indonesia, 2006), h. 9.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)