Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 05 PAILIT 2012 PN NIAGA.SMG)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan,
dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar
utangnya.1
Menurut Soematri Hartono, kepailitan adalah lembaga hukum perdata Eropa
sebagai realisasi dari dua asas pokok dalam hukum perdata Eropa yang tercantum
dalam Pasal-Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata).2
Pasal 1131 : “menetapkan bahwa semua harta kekayaan debitur (si berutang) baik
benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang ada maupun yang baru aka ada
dikemudian hari menjadi jaminan untuk semua perikatan-perikatan pribadinya”.
Pasal 1132: “menetapkan bahwa benda-benda milik debitur tersebut menjadi jaminan
bersama-sama bagi para krediturnya (si berpiutang) dan hasil penjualan benda-benda
milik debitur itu dibagi menurut keseimbangan (proporsional) yaitu menurut besar
kecilnya tagihan kreditur masing-masing kreditur, kecuali apabila diantara kreditur
ada alasan-alasan untuk didahulukan”
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan bahwa yang dimaksud dengan

kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan

1

Imran Nating,Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, Edisi Revisi 2, Raja Grafindo, Jakarta, 2009, hal.2.
2
Sutarno,Aspek-aspek Hukum Prekreditan pada Bank, Alfabet, Bandung, 2003, hal.341.

1

Universitas Sumatera Utara

2

pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”
Debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 ayat (1) adalah : “Debitur adalah
orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan”. Jadi berdasarkan hal tersebut dapat

disimpulkan bahwa dalam kepailitan ada unsur-unsur:
1) Adanya keadaan ‘berhenti membayar’ atas suatu utang.
2) Adanya permohonan pailit.
3) Adanya pernyataan pailit (oleh Pengadilan Niaga).
4) Adanya sita dan eksekusi atas harta kekayaan pihak yang dinyatakan pailit
(debitur).
5) Dilakukan oleh pihak yang berwenang,
6) Semata-mata untuk kepentingan kreditur.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para
kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan
menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan debitur
dapat dibagikan kepada semua kreditur sesuai dengan hak masing-masing. Lembaga
kepailitan pada dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu solusi
terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu

Universitas Sumatera Utara

3


membayar. Lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus,
yaitu:3
1. Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditur bahwa debitur
tidak akan berbuat curang, dan tetap bertanggung jawab terhadap semua
hutang-hutangnya kepada semua kreditur.
2. Kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan kepada debitur
terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi
keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau
sebagai suatu upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang
taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan
1132 KUH Perdata.
Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata merupakan perwujudan adanya jaminan
kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan oleh debitur
terhadap kreditur-krediturnya dengan kedudukan yang proporsional. Adapun
hubungan kedua Pasal tersebut adalah sebagai berikut. Bahwa kekayaan debitur
(Pasal 1131) merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132) secara
proporsional, kecuali kreditur dengan hak mendahului (hak Preferens).
Undang-Undang Kepailitan menyebutkan pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan
bahwa : ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih krediturnya”.
Dari uraian di atas, untuk bisa dinyatakan pailit, debitur harus telah memenuhi
tiga syarat yaitu:4

3
4

Imran Nating,Op.Cit, hal.9.
Ibid., hal.23-26.

Universitas Sumatera Utara

4

1. Memiliki Minimal Dua Kreditur.
Keharusan ada dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang
Kepailitan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Karena seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya
mempunyai seorang kreditur adalah tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur

diantara para kreditur.
2. Harus Ada Utang
Pasal 1 ayat (6) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan : ”Utang adalah
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata
uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi
hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.”
3. Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang kepailitan yang dimaksud dengan:
"utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih" adalah kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis
arbitrase.”

Universitas Sumatera Utara

5


Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa debitur bisa orang-perorangan maupun
badan hukum. dalam tulisannya Imran Nating menyebutkan bahwa pihak yang dapat
dinyatakan pailit antara lain :5
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Orang perorangan.
Harta peninggalan (warisan).
Perkumpulan perseroan (holding company).
Penjamin (guarantor).
Badan hukum.
Perkumpulan bukan badan hukum.
Bank.

Perusahaan efek.
Perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan badan usaha milik negara
Pengajuan permohonan pailit dapat dilakukan oleh antara lain:6

1. Debitur sendiri.
2. Permohonan satu atau lebih krediturnya
3. Pailit bisa atas permintaan untuk kepentingan umum, pengadilan wajib
memanggil debitur.
4. Bank Indonesia, bila debiturnya bank.
5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), bila debiturnya Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kliring Dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian efek
6. Menteri Keuangan, bila debiturnya Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pension, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak
dibidang kepentingan publik.
Apabila seorang debitur telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara
yuridis akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:
1. Debitur kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas
kekayaan harta bendanya (asetnya), baik menjual, menggadai, dan lain
sebagainya, serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan sejak

tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya.
5

Ibid., hal.28-36.
Abdul R. Saliman dkk,Hukum Bisnis Untuk Perusahaan; Teori dan Contoh Kasus, Edisi 2
Cetakan 4, Renada Media Grup, Jakarta, 2005, hal.151.
6

Universitas Sumatera Utara

6

3. Untuk melindungi kepentingan kreditur, selama putusan atas permohonan
pernyataan pailit belum diucapkan, kreditur dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan untuk :
a) Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur.
b) Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur,
menerima pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau penggunaan
kekayaan debitur (Pasal 10)

4. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (Pasal 15 ayat (4).7
Akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit adalah ia tidak boleh lagi
mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan selanjutnya yang akan
mengurus

harta kekayaan atau

perusahaan

debitur pailit tersebut adalah

Kurator.Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan menunjuk
seorang Hakim Pengawas, yang mengawasi perjalanan proses kepailitan (pengurusan
dan pemberesan harta pailit).8
Dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan oleh pemerintah harus dilihat
bukan hanya sebagai upaya yang bersifat reaktif semata-mata untuk menghadapi
krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia saat ini, tetapi juga harus
dilihat sebagai pembangunan hukum nasional dalam rangka penggantian sistem dan
pranata hukum warisan masa Kolonial Belanda menjadi hukum nasional Indonesia.
Perseroan Terbatas merupakan suatu artificial person, yaitu suatu badan

hukum yang dengan sengaja diciptakan, yang pada dasarnya mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan manusia. Bila manusia memiliki anggota tubuh,
perseroan memiliki organ-organ seperti komisaris, direksi, dan Rapat Umum
Pemegang Saham. Hak dan kewajiban organ-organ perseroan ini tidak hanya diatur
7
8

Ibid., hal.153.
Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU Press, Medan, 2009, hal. 16

Universitas Sumatera Utara

7

oleh undang-undang, anggaran dasar, dan doktrin. Perubahan anggaran dasar
perseroan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Anggaran
Dasar.9
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
perjanjian, yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu, yang seluruhnya
terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undangundang ini serta peraturan pelaksananya.

Perseroan terbatas sebagai badan hukum dapat dinyatakan pailit, kepailitan
Perseroan terbatas dapat memberikan akibat hukum terhadap organ-organ perseroaan
terbatas tersebut salah satunya adalah direksi. Jabatan anggota direksi dalam
pengurusan perseroan merupakan jabatan penting, karena seluruh kegiatan
operasional dari suatu perseroan terletak di tangan direksi.10 Dalam Pasal 1 ayat (4)
UUPT disebutkan bahwa direksi adalah “organ perseroan yang bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun diluar pengadilan sesuai ketentuan
Anggaran Dasar”.
Dalam melakukan tugas dan wewenangnya direksi harus bertolak dari
landasan bahwa tugas dan kedudukannya diperoleh berdasarkan dua prinsip yaitu
pertama kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (fiduciary duty) dan kedua

9

Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan,PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53.
10
M. Udin Silalahi, Badan Hukum Organisasi Perusahaan, Jemmars, IBLAM, Jakarta, hal.
40.

Universitas Sumatera Utara

8

yaitu prinsip duty of skill and care atau kemampuan dan kehati-hatian tindakan
Direksi.11
Di dalam Undang-Undang Peseroan Terbatas, tugas dan wewenang direksi
terdapat dalam Pasal-Pasal berikut ini : Pasal 92 yaitu antara lain :
1. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
2. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang
ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar.
3. Direksi Perseroan terdiri atas 1 (satu) orang anggota Direksi atau lebih.
Sebagaimana telah diketahui bahwa organ perseroan terdiri dari Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. Ketiga organ ini memiliki
tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lainnya. Direksi adalah
merupakan salah satu organ perseroan terbatas yang memiliki tugas serta bertanggung
jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan tujuan perseroan serta
mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar. Direksi mempunyai fungsi dan peranan yang sangatsentral dalam
paradigma perseroan terbatas. Hal ini karena direksi yang akan menjalankan fungsi
pengurusan dan perwakilan perseroan terbatas.12

11

Chatamarrasjid, Op.Cit., hal.71.
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Edisi
Pertama, Cet. ke-1. Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.225.
12

Universitas Sumatera Utara

9

Direksi adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab
penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
Menurut teori Organisme dari Otto von Gierke sebagaimana yang dikutip oleh
Syuiling (1948),
“Direksi adalah organ atau alat perlengkapan badan hukum. Seperti halnya manusia
mempunyai organ-organ, seperti tangan, kaki, mata, telinga dan seterusnya dan
karena setiap gerakan organ-organ itu dikehendaki atau diperintahkan oleh otak
manusia, maka setiap gerakan atau aktifitas Direksi badan hukum dikehendaki atau
diperintah oleh badan hukum sendiri, sehingga Direksi adalah personifikasi dari
badan hukum itu sendiri. Sebaliknya Paul Scholten dan Bregstein (1954), langsung
mengatakan bahwa Direksi mewakili badan hukum”.13
Bertitik tolak dari pendapat ketiga ahli tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Direksi PT itu bertindak mewakili PT sebagai badan hukum.
Kapan PT memperoleh status sebagai badan hukum, menurut Pasal 7 ayat (4) UUPT
adalah “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya
Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”.
Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap
perbuatan yang dilakukan untuk dan atas narna perseroan berdasarkan wewenang
yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai perbuatan
perseroan terbatas yang merupakan subjek hukum mandiri sehingga perseroanlah
yang bertanggungjawab terhadap perbuatan perseroan itu sendiri yang dalam hal ini
13

Nindyo Pramono,Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank Menurut UU Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Buletin Hukum dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor
3 Tahun 2007, 2007, hal.15.

Universitas Sumatera Utara

10

direpresentasikan oleh direksi. Narnun, dalam beberapa hal direksi dapat pula
dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan perseroan terbatas
ini.14
Pada prinsipnya direksi tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap
perbuatan yang dilakukan atas nama perseroan yang dilakukan berdasarkan
wewenang yang dimilikinya. Hal ini karena perbuatan direksi dipandang sebagai
perbuatan perseroan terbatas yang merupakan subjek hukum. namun ada beberapa hal
direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya secara pribadi dalam kepailitan
perseroan terbatas.15
Pasal 104 ayat (2) UUPT
“Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak
terlunasi dari harta pailit tersebut”
Pasal 104 ayat (4) menyebutkan :
Pasal 104 ayat (4) merupakan perwujudan dari asas piercing the corporate
veil dimana anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepalitan perseroan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan :
a) Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,
b) Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh
tanggungjawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan.
c) Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan
d) Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan”

14

M. Hadi Subhan,Op.Cit, hal.232.
Agus Salim Harahap,Tanggung Jawab Direksi Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas, Lex
Jurnalica, Vol.5 Nomor 3, Sekolah Tinggi Ilmu Alhikmah, Medan, www.google.com, hal.166.
15

Universitas Sumatera Utara

11

Bukanlah hal yang mudah untuk membuktikan direksi telah melakukan
kesalahan dan/atau kelalaian sehingga menyebabkan suatu perseroan mengalami
kebangkrutan yang berujung pada kepailitan. Fenomena seperti ini sudah sejak
dahulu terjadi. Dari pengaturan ini, maka sebenarnya ada benang merah antara
tanggung jawab direksi perseroan terbatas tidak dalam pailit dan tanggungjawab
direksi dalam hal perseroan terbatas mengalami pailit.
Berbagai teori tanggung jawab direksi dapat dipakai pula untuk mengukur
tanggung jawab direksi dalam hal perseroan terbatas mengalami kepailitan. Pasal 104
Ayat (2) UUPT merupakan implikasi yuridis dari sifat kolegialitas dari direksi di
mana segenap direksi bertanggung jawab secara renteng (jointly and severely).
Sehingga bagi anggota direksi yang berkehendak untuk melepaskan tanggung jawab
renteng tersebut, maka anggota direksi itu wajib membuktikan mengenai hal itu.
Aspek kolegialitas atau disebut dengan tanggung jawab secara renteng bisa
menciptakan ketidakadilan dari anggota direksi yang tidak melakukan perbuatan
tertentu namun dapat dimintai pertanggungjawaban. Untuk menjembatani persoalan
ketidakadilan in, pendapat Rudhi Prasetya sangat tepat yang menyatakan bahwa
“Sebenarnya penting ketentuan dalam anggaran dasar yang mengatur
mengenai lembaga rapat direksi benar-benar diimplementasikan dan jangan
sekadar dijadikan hiasan. Agar direksi dalam mengambil keputusan benarbenar telah dirundingkan di antara segenap anggota direksi,yang notabene di
antara mereka bertanggung jawab secara kolegial”.16

16

Ibid, hal. 167

Universitas Sumatera Utara

12

Mengenai tanggung jawab direksi yang perseroannya mengalami pailit, Munir
Fuady dalam M. Hadi Subhan17 menyatakan bahwa apabila suatu perseroan pailit,
maka tak sekonyong-konyong (tidak demi hukum) pihak direksi harus bertanggung
jawab secara pribadi. Agar pihak anggota direksi dapat dimintakan tanggung jawab
pribadi ketika suatu perusahaan pailit, haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:18
a) Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari direksi
(dengan pembuktian biasa).
b) Untuk membayar utang dan ongkos-ongkos kepailitan, haruslah diambil
terlebih dahulu dari aset-aset perseroan. Bila aset perseroan tidak
mencukupi, barulah diambil aset direksi pribadi.
c) Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) bagi anggota
direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan perseroan bukan karena
kesalahan. (kesengajaan) atau kelalaiannya.
Pada dasarnya dalam praaktik proses kepailitan dilakukan oleh pengadilan
niaga salah satunya yang telah berkekuatan hukum tetap berimbas kepada tanggung
jawab direksi pada putusan tersebut.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 05/Pailit/2012/PN/
NIAGA.SMG memutuskan pailitnya antara Kreditur (Hendrianto Muliawan dan
Agung Hariyono) melawan PT. Indonesia Antique dan Wahyu Hanggono. Hendrianto
Muliawan dan Agung Hariyono adalah para pemohon pailit yang telah mengajukan
surat pailitnya tertanggal 7 Mei 2012 terhadap para termohon pailit yaitu PT.
Indonesia Antique sebagai Termohon I yaitu perusahaan dan atau perseroan yang
didirikan berdasarkan hukum dan perundang-undangan yang bergerak di bidang
17
18

M. Hadi Subhan,Op.Cit, hal.236.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

13

produksi dan di bidang meuble. Dalam hal ini Termohon II yaitu Saudara Wahyu
Hanggono menjabat selaku direktur di perusahaan PT. Indonesia Antique tersebut
bertindak dalam jabatannya dan juga secara pribadi telah membuat dan
menandatangani hutang piutang dengan pemohon I dengan nilai utang piutang
sebesar Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah), sebagaimana dimaksud dalam
perjanjian tertanggal 10 Januari 2010. Dalam perjanjian dimaksud telah disepakati
pengembalian dan atau pembayaran hutang sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah), akan dilakukan seketika pada tanggal 10 April 2010 dan oleh karenanya
dalam hal ini telah disepakati tanggal jatuh tempo pada tanggal 10 April 2010.
Pada saat utang telah jatuh tempo, pemohon I telah meminta para termohon
untuk melakukan pembayaran atas utang dimaksud, namun demikian ternyata pada
tanggal 1 jatuh tempo para termohon belum melakukan pembayaran. Pemohon I telah
mengirimkan dua surat peringatan (somatie) kepada para termohon yaitu pada tanggal
1 April 2010 (somatie I) namun tidak diindahkan oleh termohon, selanjutnya surat
peringatan (somatie II) tanggal 2 Mei 2010 namun juga tidak diindahkan oleh para
termohon. Pemohon I juga telah melakukan serangkaian upaya penagihan yang patut,
namun para termohon tidak juga mengindahkan dan melaksanakan pembayaran.
Selain memiliki utang kepada pemohon I para termohon juga memiliki utang kepada
pemohon II sebesar Rp 90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah) sebagaimana
terbukti dalam perjanjian utang piutang tertanggal 15 April 2011 yang telah
disepakati pengambalian utang tersebut sebesar 90.000.000,- (sembilan puluh juta
rupiah) dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2011 secara seketika. Namun pada saat

Universitas Sumatera Utara

14

jatuh tempo utang yang telah diperjanjikan yaitu 15 Oktober 2011 para termohon
tidak melaksanakan pembayaran utangnya. Pemohon II telah melakukan penagihan
kepada para termohon, namun pihak para termohon belum dapat melakukan
pembayaran dengan alasan pembayaran terdapat kesulitan berbisnis. Pemohon II juga
telah mengirimkan tiga kali surat peringatan (somatie) masing-masing tanggal 1
Nopember 2011, 7 Nopember 2011 dan 4 Nopember 2011. Meskipun para termohon
telah melakukan somatie sebanyak tiga kali dari pemohon dua ternyata hingga
didaftarkannya permohonan pernyataan pailit ini para termohon juga tidak melakukan
pembayaran kepada pemohon II.
Dari uraian kasus di atas bila dikaitkan dengan topik permasalahan penelitian
ini maka bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap perseroan terbatas tersebut,
apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan kepailitan PT dan
bagaimana tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT tersebut.
Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini,
adalah dalam rangka untuk menyelesaikan studi di Program Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara dengan judul : ”Pertanggungjawaban Direksi
Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah
Agung No. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG)”

Universitas Sumatera Utara

15

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ditarik pokok permasalahan yang akan
menjadi dasar dalam penyusunan tesis ini. Perumusan masalah dalam suatu penelitian
sangat penting keberadaannya karena akan diteliti lebih jauh lagi. Adapun pokok
permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah :
1. Bagaimana akibat hukum putusan pailit terhadap Perseroan Terbatas?
2. Apakah direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan kepailitan PT?
3. Bagaimana tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui akibat hukum putusan pailit terhadap Perseroan Terbatas
2. Untuk mengetahui direksi secara pribadi dapat dipailitkan sejalan dengan
kepailitan PT
3. Untuk mengetahui tanggung jawab direksi terhadap kepailitan PT
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan suatu penentu apakah penelitian itu berguna
atau tidak. Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis menghendaki supaya
penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat antara lain sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

16

1. Manfaat secara teoritis.
a. Diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang
diteliti.
b. Diharapkan

dapat

digunakan

sebagai

sumbangan

pemikiran

dan

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada
khususnya dan penelitian ini dapat menambah bahan terutama mengenai
hukum kepailitan dan Perseroan Terbatas.
c. Diharapkan dapat menambah referensi/ literatur sebagai bahan acuan bagi
penelitian yang akan datang apabila melakukan penelitian dibidang yang sama
dengan yang penyusun teliti.
2. Manfaat secara praktis
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian bagi pihak-pihak
berkepentingan dalam penelitian ini.
b. Diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat umum dan pelaku
bisnis lainnya agar dapat lebih mengetahui dan memahami akibat hukum
terhadap direksi Perseroan Terbatas yang dijatuhi putusan pailit sehingga
dapat menjadi referensi bagi semua pihak.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang
ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan magister
kenotariatan belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul “pertanggungjawaban

Universitas Sumatera Utara

17

direksi terhadap kepailitan perseroan terbatas Studi: Terhadap Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia No. 05/PAILIT/2012/PN/NIAGA.SMG yang telah
berkekuatan hukum tetap ini berimbas kepada tanggung jawab direksi pada putusan
tersebut, belum ada yang membahasnya.
Adapun penelitian yang berkaitan berkaitan dengan pertanggungjawaban
direksi terhadap kepailitan Perseroan Terbatas antara lain :
1. Irma Hani Nasution/NIM.047010012/M.Kn dengan judul “Sistem Tanggung
Jawab Direksi Perseroan Terbatas di Indonesia”
Rumusan masalah :
a. Bagaimana sistem pertanggungjawaban PT di Indonesia apabila terjadi
kepailitan?
b. Apakah proses kepailitan PT dapat sejalan dengan proses kepailitan direksi?
c. Bagaimna akibat hukum terjadinya kepailitan PT dan kepailitan terhadap
direksi?
2. Bornok Maria Irene P. Nababan/NIM.077021118/M.Kn dengan judul, “Analisis
Hukum Terhadap Tanggung Jawab Direksi dalam Pelepasan Aset Perseroan
Terbatas”.
Rumusan masalah :
a. Bagaimana tanggung jawab direksi terhadap PT berdasarkan prinsip-prinsip
dasar good corporate governance?
b. Bagaimana tanggung jawab direksi dalam pelepasan asset perusahaan PT?

Universitas Sumatera Utara

18

c. Bagaimana akibat hukumnya terhadap pelepasan asset perusahaan PT oleh
direksi?
3. Zuwina Putri/NIM. 057011016/M.Kn dengan judul, “Pelaksanaan Tugas dan
Kewenangan Kurator dalam Kepailitan pada Perseroan Terbatas”
Perumusan masalah :
a. Bagaimana tugas dan kewenangan kurator dalam kepailitan PT?
b. Bagaimana pengurusan dan pemberesan harta pailit PT oleh kurator
berdasarkan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU?
Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun ada peneliti-peneliti terdahulu yang pernah
melakukan penelitian mengenai masalah pertanggungjawaban Direksi Terhadap
Kepailitan Perseroan Terbatas, namun menyangkut judul dan substansi pokok
permasalahan adalah berbeda dengan penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
a) Teori Badan Hukum
Dalam hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu
yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subyek hukum. Yang dimaksud
subyek hukum disini adalah siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk

Universitas Sumatera Utara

19

bertindak di dalam hukum, atau dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum
untuk mempunyai hak.19
Sudah merupakan kenyataan pula, bahwa dalam ilmu hukum dan pergaulan
hidup manusia di dalam masyarakat telah diterima adanya subjek hukum lain
disamping manusia. Selanjutnya untuk membedakan dengan apa yang disebut orang
dalam artian yuridis, maka subjek hukum yang lain digunakan istilah Badan
Hukum.20Badan Hukum merupakan salah satu dari subjek hukum, karena selain
Badan Hukum terdapat subjek hukum lain yaitu manusia (natuuralijkpersoon).
Manusia (natuuralijkpersoon) sebagai subjek hukum memiliki hak dan kewajiban
dalam hukum. Manusia sebagai subjek hukum sudah dimulai sejak masih dalam
kandungan dan berakhir sampai ia meninggal dunia, hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga
kepentingan si anak menghendakinya.
Mati setelah dilahirkan, dianggaplah ia tidak pernah telah ada”. Manusia
pribadi (natuurlijk persoon) sebagai subyek hukum mempunyai hak dan mempu
menjalankan haknya yang dijamin oleh hukum yang berlaku.21Disamping manusia
pribadi sebagai pembawa hak, terdapat pula badan-badan (kumpulan manusia) yang

19

H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional Dalam
Pusaran Kekuasaan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 1.
20
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1975, hal.7.
21
Ibid, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

20

oleh hukum diberi status “persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti
manusia, hal demikian kita kenal dengan sebutan Badan Hukum.
Badan Hukum sebagai pembawa hak dan tak berjiwa dapat berlaku
selayaknya manusia yang berjiwa sebagai pembawa hak,misalnya Badan Hukum
dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali
terlepas dari kekayaan anggotaanggotanya.22
Istilah Badan Hukum sebagai subyek hukum sering disebut baik didalam
kepustakaan maupun di dalam kehidupan sehari-hari, akantetapi, sampai saat ini
belum ada peraturan perundang-undangan yang memberikan rumusan tentang Badan
Hukum tersebut. Untuk itu dapat dilihat pengertian Badan Hukum dari pendapat para
sarjana antara lain :23
1) E.M. Meijers mengatakan bahwa Badan Hukum meliputi sesuatu yang
menjadi pendukung hak dan kewajiban.
2) Logemann mengatakan bahwa Badan Hukum adalah personifikasiyaitu suatu
perwujudan atau penjelasan hak-kewajiban.
3) E.Utrecht berpendapat bahwa Badan Hukum yaitu badan yangmenurut hukum
berkuasa/berwenang menjadi pendukung hak atauBadan Hukum adalah setiap
pendukung hak yang tidak berjiwa.
4) Bothingk menyebutkan bahwa Badan Hukum hanyalah suatugambar yuridis
tentang identitas bukan manusia yang dapatmelakukan perbuatan-perbuatan.
22
23

Ibid, hal. 7.
Man .S. Sastrawidjaja, Bunga Rampai Hukum Dagang, Alumni, Bandung, 2005, hal. 128-

129.

Universitas Sumatera Utara

21

5) R. Rochmat Soemitro mengemukakan bahwa Badan Hukum ialahsuatu badan
yang dapat mempunyai harta, hak dan kewajibanseperti orang pribadi.
6) Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pengertian suatu BadanHukum sebagai
suatu badan yang di samping manusiaperseorangan juga dianggap dapat
bertindak dalam hukum yangmempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban dan
perhubungan hukumterhadap orang lain atau badan lain.
b) Teori Pertanggungjawaban
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban
menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan
diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi
seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.24 Menurut
hukum tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang
tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral dalam melakukan suatu
perbuatan.25 Selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus
mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang
untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum
orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.26
Menurut hukum perdata dasar pertanggungjawaban dibagi menjadi dua
macam,

yaitu

kesalahan

dan

risiko.

Dengan

demikian

dikenal

dengan

24

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal.87.
26
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka,
Jakarta, 2010, hal 48.
25

Universitas Sumatera Utara

22

pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (lilability without based on fault) dan
pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dikenal (lilability without fault) yang
dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strick liabiliy).27
Prinsip dasar pertanggung jawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa
seseorang harus bertanggung jawab karena ia melakukan kesalahan karena merugikan
orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko adalah bahwa konsumen
penggugat tidak diwajibkan lagi melainkan produsen tergugat langsung bertanggung
jawab sebagai risiko usahanya.
Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan
melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :28
1) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan
sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa
yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.
2) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan
karenakelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan
(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah
bercampur baur (interminglend).
3) Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya
27
28

Ibid. hal. 49.
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010,

hal. 503.

Universitas Sumatera Utara

23

baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan
kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat
perbuatannya.
Istilah perbuatan melawan hukum berasal dari bahasa Belanda disebut dengan
istilah (onrechmatige daad) atau dalam bahasa inggris disebut tort. Kata (tort)
berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan dari
wanprestasi kontrak. Kata (tort) berasal dari bahasa latin (orquer) atau (tortus) dalam
bahasa Prancis, seperti kata (wrong) berasal dari bahasa Prancis (wrung) yang berarti
kesalahan atau kerugian (injury). Pada prinsipnya, tujuan dibentuknya sistem hukum
yang kemudian dikenal dengan perbutan melawan hukum tersebut adalah untuk dapat
tercapai seperti apa yang disebut oleh pribahasa latin, yaitu (juris praecepta sunt haec
honeste vivere,alterum non leadere, suum cuque tribune) artinya semboyan hukum
adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain dan memberikan orang lain
haknya.
Sebelum tahun 1919 yang dimaksud perbuatan melawan hukum adalah
perbuatan yang melanggar peraturan tertulis. Namun sejak tahun 1919 berdasar
Arrest HR 31 Januari 1919 dalam perkara Cohen melawan Lindenbaum, maka yang
dimaksud perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak
oranglain, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, kewajiban hukum serta kepatutan
dan kesusilaan yang diterima di masyarakat.29

29

Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hal. 511.

Universitas Sumatera Utara

24

Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diatur dalam Buku
IIIKUHPerdata. Rumusan perbuatan melawan hukum terdapat pada Pasal 1365
KUHPerdata yaitu : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain mewajibkan orang yang karena kesalahannya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang
dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melawan hukum
yang dilakukan oleh seorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi
orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) katgori perbuatan melawan hukum,
yaitu sebagai berikut :30
1) Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2) Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaanmaupun
kelalaian).
3) Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Jika ditinjau dari pengaturan KUHPerdata Indonesia tentang perbuatan
melawanhukum lainya, sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara sistem
EropaKontinental, maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut :31
a. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian),
sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
b. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
30

Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hal. 3.
31
Ibid, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

25

c. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat
terbatassebagaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.
c) Teori Bussines Judgement Rule
Jika dilihat dari perkembangan bisnis negara-negara maju bahwa tidak hanya
berpatokan terhadap bisnis saja akan tetapi juga harus memperhatikan rule (aturan)
yang terkait dengan dunia bisnis. Untuk memenuhi perkembangan dunia usaha serta
untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan praktek yang menghendaki perubahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang PT, maka pemerintah merasa perlu
untuk melakukan perubahan dan mengganti Undang-Undang Perseroan Terbatas
tersebut dan terakhir diubah dengan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang biasa juga disebut dengan UUPT. Republik Indonesia
khususnya dalam ruang lingkup Hukum Perusahaan masih sangat dominan menganut
doktrin yang keberadaannya diakomodasi dan bersumber dari sistem Hukum negara
lain baik itu dari sistem Hukum Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental.
Dalam menjalankan kepengurusan terhadap perseroan sepenuhnya adalah
tanggung jawab Direksi, yang mempunyai tanggung jawab penuh atas pengelolaan
perseroan dan tidak terhadap para pemegang saham dalam perseroan melainkan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun
diluar pengadilan. Dengan diakomodirnya doktrin prinsip Business Judgment Rule
kedalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi Direksi dalam mengelola
perseroan sesuai tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip Fiduciary Duty.

Universitas Sumatera Utara

26

Direksi berkewajiban mengurus perseroan dengan itikad baik sebagaimana
ditegaskan didalam Pasal 97 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, bahwa pengurusan sebagaimana dimaksud ayat (1), wajib
dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab,
setiap tindakan Direksi yang didasari oleh itikad baik dilindungi oleh undang-undang
sepanjang perbuatan tersebut dapat dibuktikan dengan cara terhindar dari perbuatan
yang menguntungkan pribadi seorang Direksidalam mengambil suatu keputusan
penting terhadap perseroan yang mengakibatkan perseroan tersebut mengalami
kerugian. Seorang Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi, jika
terbukti melanggar prinsip fiduciary duty dalam menjalankan kepengurusan perseroan
yang mengakibatkan kerugian terhadap perseroan. Dalam perkembangannya
penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam
bagi para Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya.
Permasalahan yang timbul adalah ketika keputusan bisnis yang diambil oleh
seorang Direksi ternyata dianggap merugikan perseroan, padahal dalam mengambil
keputusan tersebut, Direksi melakukannya dengan itikad baik, yaitu adanya tuntutan
perseroan terhadap Direksi yang menuntut pertanggung jawaban Direksi secara
pribadi atas kerugian yang dialami oleh perseroan, yang dikarenakan tindakannya
dalam melaksanakan pengurusan perseroan dianggap mengakibatkan kerugian dalam
hal ini melanggar prinsip fiduciary duty yang diamanahkan oleh perseroan kepada
Direksinya. Ada kecenderungan bahwa penerapan doktrin business judgment rule

Universitas Sumatera Utara

27

terhadap Direksi yang dianggap melanggar prinsip fiduciary duty dalam perseroan ini
belum berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam kepailitan seluruh harta benda debitur di peruntukan bagi pembayaran
tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk
memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di
antara para kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing.32
Pembagian harta kekayaan pailit ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para
kreditur. Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditur dari kreditur
lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari
kreditur lainnya dalam pembagian harta kekayaan, sedangkan perlindungan dari
kreditur yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkap secara
penuh maupun secara priodik. Sementara itu, apabila debitur berada dalam keadaan
susah dapat ditolong maka debitur dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara
terhormat dari permasalahan utangnya.33
Hukum kepailitan dari sifatnya sebagai hukum yang memaksa dan berlaku
secara kolektif yaitu : “A Collective process in that individual creditors are not able
to enforce their debts independently of the other creditors”.34

32

Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan.
Mandar Maju, Bandung, 1999. hal. 2.
33
Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pemaharuan UndangUndang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU , Makalah disampaikan dalam lokakarya
Mengenai Tantangan Perubahan Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU ,
Medan 7 Desember 2001, Kerjasama FH UI, Pascasarjana USU dan University of sout Carolina.
34
Sunarmi, Hukum Kepailitan edisi 2. PT. Soft Media. 2010. hal. 30.

Universitas Sumatera Utara

28

Dalam kepailitan dan PKPU, Hakim Pengawas memiliki peranan yang sangat
penting dalam kepailitan. Peranan itu mulai berlaku setelah diucapkan putusan
pernyataan pailit. Hakim Pengawas mengawasi pekerjaan Kurator dalam rangka
melakukan tugas pengurusan dan pemberesan. Tindakan pengawasan yang dilakukan
Hakim Pengawas dituangkan dalam bentuk penetapan atau berita acara rapat.
Penetapan tersebut bersifat final and biding dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu,
kecuali Undang–Undang menentukan lain. Penetapan tersebut sebagai dasar Kurator
dalam menjalankan tugas-tugasnya mengurus dan membebaskan harta debitur pailit.
Dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit, sebaiknya Hakim Pengawas
mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit secara arif, bijaksana dan cermat.
Dalam artian tidaklah boleh merugikan salah satu pihak, apakah itu debitur atau
kreditur dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit. Teori mengenai keadilan
sangatlah sinkron dengan penulisan tesis ini. Dengan adanya rasa keadilan yang
dikedepankan, maka Hakim Pengawas dapat menjalankan tugas tidak berat sebelah,
sehingga tidak akan merugikan salah satu pihak.
Teori mengenai keadilan ini menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama
bagi mereka yang sederajat di depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik
untuk menentukan siapa yang harus diperlakukan sama atau sebaliknya.Pendapat
yang sama juga dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, dalam pembuatan hukum
fungsinya sebagai pengatur kehidupan bersama manusia, oleh karena itu hukum harus
melibatkan aktifitas dengan kualitas yang berbeda-beda. Pembuatan hukum
merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan tersebut, ia merupakan

Universitas Sumatera Utara

29

momentum yang dimiliki keadaan tanpa hukum dengan keadaan yang diatur oleh
hukum. Dia juga mengatakan hukum sebagai perwujudan nilai-nilai yang
mengandung arti, bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.35 R. Soekardono menyebutkan bahwa
kepailitan adalah penyitaan umum atas harta kekayaan si pailit bagi kepentingan
semua penagihnya, dalam artian secara kolektif memaksimalkan kesejahteraan
kelompok.36
Hal-hal yang telah diuraijan di atas maka dapat menjawab permasalahan yang
diajukan dipergunakan pendekatan dengan kerangka teori. Kerangka berfikir menjadi
konsep kedilan dan perlindungan yang seimbang terhadap kepentingan kreditur dan
debitur dalam hukum kepailitan sebaga paradigma filosofis. Selanjutnya paradigma
yang bersifat konstan ini diinteraksikan dengan potensi yang dimiliki Indonesia dan
perkembangan situasi dan kondisi yang berupa kelemahan-kelemahan yang terdapat
dalam hukum kepailitan baik dari segi subtansi maupun dalam praktek serta kondisi
perdagangan nasional dan global.
2. Kerangka Konsepsional
Dalam penelitian ini untuk menemukan atau mendapatkan pengertian atau
penafsiran dalam tesis ini, maka berikut ini adalah definisi operasional sebagai
batasan tentang objek yang diteliti:

35

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan Hukum,
Universitas Muhamadyah, Surakarta. 2004. hal. 60.
36
Sunarmi, Op. Cit hal. 22.

Universitas Sumatera Utara

30

a. Kepailitan adalah suatu sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang
pengurusan dan pemberesannya di lakukannya oleh Kurator di bawah
pengawasan sebagai mana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 1 butir
Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Pasal 1 butir 1
ini secara tegas menyatakan bahwa “kepailitan adalah sita umum, bukan sita
individual”, karena itu disyaratkan dalam Undang-Undang 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU bahwa untuk mengajukan permohonan pailit
harus memiliki 2 (dua) atau lebih kreditur. Seorang kreditur yang hanya
memiliki 1 (satu) kreditur tidak dapat dinyatakan pailit karena hal ini
melanggar prinsip sita. Apabila hanya satu kreditur maka yang berlaku adalah
sita individual, dan penuntutannya melalui gugatan perdata biasa, bukan
melalui permohonan pailit.37
b. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapat di tagih di muka pengadilan.38
c. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau UndangUndang yang dapat di tagih di muka pengadilan.39
d. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan dalam atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang baik dalam mata uang rupiah atau asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontiniu, yang timbul karena
37

Sunarmi, Op. Cit, hal. 29
Pasal 1 Ayat (2) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
39
Pasal 1 Ayat (3) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
38

Universitas Sumatera Utara

31

perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila
tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan debitur.40
e. Kurator adalah balai harta peninggalan atau perseorangan yang diangkat oleh
pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah
pengawas sesuai dengan Undang-Undang.41
f. Hakim Pengawas adalah hakim yang di tunjuk oleh pengadilan dalam putusan
pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.42
g. Pemberesan harta pailit adalah jika dalam rapat pencocokan piutang tidak
ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian tidak diterima, atau
pengesahan perdamaian telah ditolak berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam
keadaan insolven.43
h. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam

40

Pasal 1 Ayat (7) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
41
Pasal 1 Ayat (5) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
42
Pasal 1 Ayat (8) UU No. 37. Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
43
Pasal 178 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan.

Universitas Sumatera Utara

32

saham dan memenui persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta
peraturan pelaksanaannya.44
i. Organ perseroan adalah rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan
komisaris.45
j. Rapat umum pemegang saham, yang disebut (RUPS), adalah organ
perusahaan perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
undang-undang ini dan atau anggaran dasar.46
k. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh
akan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun
diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.47
l. Dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta
memberi nasehat kepada direksi.48

G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji/menganalisis data sekunder yang berupa

44

Pasal 1 ayat (1) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 1 ayat (2) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
46
Pasal 1 ayat (4) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
47
Pasal 1 ayat (5) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
48
Pasal 1 ayat (6) UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
45

Universitas Sumatera Utara

33

bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami hukum
sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem PerundangUndangan yang mengatur mengenai kehidupan manusia.49
Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan ini mencakup:
1. Penelitian terhadap asas-asas hukum .
2. Penelitian terhadap sistematika hukum.
3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal.
4. Perbandingan hukum.
5. Sejarah hukum.50
Penelitian hukum normatif dapat disebut juga sebagai penelitian hukum yang
meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Penelitian normatif selalu
mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan
justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum. Penelitian dilakukan dengan
maksud memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah suatu
peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut
hukum.
Adapun data yang digunakan dalam menyusun penulisan ini diperoleh dari
penelitian kepustakaan (libr

Dokumen yang terkait

Analisis Permohonan Pailit Terhadap Perseroan Terbatas oleh Tenaga Kerja ( Studi Putusan Pengadilan Niaga Nomor. 01/Pailit/2012/PN.Niaga.Mdn Jo Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor.401 K/Pdt.Sus/2012 Jo Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor.195 P

16 158 185

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Eksekusi Putusan Pengadilan Agama...

1 40 5

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 05 PAILIT 2012 PN NIAGA.SMG)

0 2 15

Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 05 PAILIT 2012 PN NIAGA.SMG)

0 0 2

Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 05 PAILIT 2012 PN NIAGA.SMG)

0 1 35

Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kepailitan Perseroan Terbatas (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 05 PAILIT 2012 PN NIAGA.SMG)

0 0 5