Studi Korelasi: Penggunaan Bahasa Daerah (Karo) Dengan Kategori Sosial Pada Keluarga Jemaat GBKP Klasis Medan-Kp. Lalang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil-hasil penelitian tentang Bahasa Daerah
Pentingnya bahasa daerah dan kebertahanannya sebagai warisan budaya,
membuat banyaknya penelitian tentang bahasa daerah. Penelitian-penelitian tersebut
diantaranya membahas tentang peluang dan tantangan bahasa daerah, faktor-faktor
penyebab kepunahan bahasa daerah, revitalisasi bahasa daerah, potensi kepunahan
bahasa daerah, sampai penelitian tentang pengajaran bahasa daerah yang dimasukkan
dalalm muatan lokal dan penelitian mengenai penggunan bahasa daerah pada murid
SD.
Melihat dari peluang dan tantangan bahasa daerah di era globalisasi sekarang
ini sungguh sangat memprihatinkan. Walaupun pemerintah memberikan peluang
kepada bahasa daerah untuk bertahan sebagai bahasa pertama dan bahasa pergaulan
intrasuku. Dalam Undang-undang Dasar tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan, Pasal 1 dikatakan, “Bahasa daerah adalah bahasa
yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian pada Pasal 42, ayat (1)
dinyatakan bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan
melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya
dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap

menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia (Darwis, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Seperti halnya di daerah Makasar, dari segi jumlah penutur baik Bahasa Bugis
maupun Bahasa Makasar, dua-duanya masih tergolong bahasa yang safe, yaitu bahasa
yang masih aman, artinya tidak berada dalam keadaan ancaman kepunahan karena
memiliki penutur yang sangat banyak dan secara resmi didukung oleh pemerintah
(Krauss, 1992). Walaupun demikian, Tantangan yang dihadapi adalah kedua bahasa
tersebut sudah tidak diperoleh dan dipelajari oleh semua anak dan usia dewasa dalam
kelompok etnik masing masing sebagaimana disyaratkan oleh Grimes (2000:8). Hal
tersebut mengisyaratkan bahwa Bahasa Bugis dan Bahasa Makasar sudah mulai
terdesak pertumbuhannya. Anak-anak dari kedua suku ini banyak yang bermukim di
perkotaan sehingga pertumbuhannya semakin lambat. Di perkotaan dijumpai tiga
alasan utama terjadinya pergeseran dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia dalam
penentuan bahasa pertama bagi anak-anak di rumah tangga. (1) lingkungan pergaulan
yang majemuk bahasa (suku). (2) medan tugas yang relatif tidak tetap. (3) orang tua
berlainan suku (Darwis 1985). Dalam hal ini yang masih setia berbahasa daerah
hanya usia lanjut sedangkan generasi muda dan anak-anak akan cenderung beralih ke
penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing yang berstatus bahasa internasional

dan hal ini bermula sejak penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam
kehidupan rumah tangga yang menyebabkan sebuah keluarga harus menggunakan
bahasa Indonesia ataupun bahasa asing jika mau taraf hidup mereka meningkat.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kepunahan bahasa daerah. Grimes
(2000) mengemukakan enam gejala yang menandai kepunahan bahasa pada masa
depan, yaitu (1) penurunan secara drastis jumlah penutur aktif, (2) semakin
berkurangnya ranah penggunaan bahasa, (3) pengabaian atau pengenyahan bahasa ibu

Universitas Sumatera Utara

oleh penutur usia muda, (4) usaha merawat identitas etnik tanpa menggunakan bahasa
ibu, (5) penutur generasi terakhir sudah tidak cakap lagi menggunakan bahasa ibu,
artinya tersisa penguasaan pasif , dan (6) punahnya dialek-dialek suatu bahasa.
Menurut Tondo (2009) dalam jurnalnya, terdapat 9 faktor penyebab punahnya
bahasa daerah, yaitu (1) Pengaruh bahasa mayoritas dimana bahasa daerah itu
digunakan, (2) Kondisi masyarakat yang penuturnya yang bilingual atau bahkan
multilingual, (3) Faktor Globalisasi, (4) Faktor migrasi, (5) Perkawinan antar etnik,
(6) Bencana alam dan musibah, (7) Kurangnya penghargaan terhadap bahasa etnik
sendiri, (8) Kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam keluarga, (9)
Faktor ekonomi, (10) Faktor bahasa Indonesia.

Melihat dari faktor-faktor diatas, maka perlu adanya revitalisasi untuk
melestarikan dan menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahan. Salah satu bahasa
daerah yang memerlukan revitalisasi dan juga mulai mangalami kepunahan adalah
Bahasa daerah (Bali). Alasan mengapa perlu pencermatan dan revitalisasi terhadap
bahasa daerah muncul dari semakin meningkatnya wacana kekhawatiran akan
punahnya bahasa daerah yang telah ditandai secara awal oleh mulai merosotnya
jumlah penutur, adanya persaingan bahasa (desakan bahasa Indonesia dan bahasa
asing), dan semakin berkurangnya loyalitas penutur terhadap pemakaian bahasa
daerah sebagai bahasa ibu dan sekaligus sebagai simbol budaya. Dalam kondisi
sebagai masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan sosial di alam
reformasi, kita sekarang menyaksikan persaingan tiga bahasa, yaitu bahasa daerah,
bahasa Indonesia, dan bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Di dalam peta
persaingan ini cukup banyak penelitian, pakar dan pengamat bahasa melihat

Universitas Sumatera Utara

kecenderungan menyusutnya fungsi bahasa daerah dan terbatas pada ajang keluarga,
informal, dan hiburan sehingga daya tahan dan daya saingnya menjadi semakin rapuh
dan tidak mungkin mengimbangi bahasa nasional atau asing apalagi mengalahkannya
(Yadana, 2009). Mengikuti pandangan Fishman (1985) hubungan bahasa dengan

budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2)
sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbol budaya. Sebagai bagian dari budaya,
Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan bahasa merupakan tindak
tutur atau peristiwa wicara. Dari pandangan ini munculah wacana atau rasionalisasi
bahwa pergeseran budaya atau hilangnya bahasa yang sangat dekat dengan
kebudayaan merupakan pertanda terjadinya perubahan yang luar biasa.
Moerdiono (1988) sudah mensinyalir bahwa hampir di seluruh daerah di
Indonesia terdapat keluhan mengenai gejala kemunduran pemakaian bahasa daerah.
Bahasa Bali misalnya diprediksikan oleh Bagus (2001), bahwa bahasa daerah Bali
akan punah sebelum akhir abad ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fishman
(1985) yang mempostulatkan kontinum delapan taraf situasi, apakah suatu bahasa
akan mengalami suatu kepunahan atau berkembang ke arah yang dinamis. Taraf 8
merupakan situasi bahasa daerah yang berada pada ambang kepunahan dan taraf 1
merupakan situasi bahasa menuju pada perkembangan yang dinamis. Taraf 8 ditandai
dengan siatuasi kebahasanan di mana hanya sedikit sekali orang tua yang mampu
berbahasa daerah sebagai bahasa ibu. Taraf 7 adalah situasi kebahasaan di mana suatu
bahasa memiliki masih cukup banyak penutur tetapi dari generasi tua (berusia lanjut)
yang tidak lagi memiliki anak kecil. Taraf 6 adalah situasi di mana masih terdapat
penggunaan bahasa ibu antar generasi di rumah; taraf 5, bahasa masih hidup dan


Universitas Sumatera Utara

digunakan dalam lingkup minoritas dan bahkan di sekolah; taraf 4, situasi di mana
bahasa minoritas diharuskan pada pendidikan sekolah dasar, taraf 3 bahasa daerah
digunakan di tempat kerja oleh para pekerja dalam lingkungan kerja khusus; taraf 2
bahasa daerah digunakan dalam pemerintah setempat (lokal) dan media massa dari
komunitas minoritas, dan taraf 1, bahasa daerah tersebut digunakan dalam tataran
pemerintahan yang lebih tinggi dan pendidikan tinggi. Persaingan bahasa asing,
nasional dan daerah memang sedang berlangsung dan berdampak pada sikap/prilaku
berbahasa masyarakat kita. Dalam era persaingan bebas, penguasaan informasi, ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan prasarat bagi kelangsungan hidup bangsa.
Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia masih harus meningkatkan
sumber daya manusia secara kuantitas dan kualitas sehingga ketergantungan akan
sumber informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar sangat terasa. Untuk
menjembatani interaksi dan komunikasi lintas bahasa dan budaya, penguasaan bahasa
asing (khususnya bahasa Inggris) menjadi suatu kebutuhan utama (Yadnya, 2009).
Di samping menyusutnya popularitas bahasa Indonesia akibat nilai ekonomis
dan prestise yang dijanjikan oleh bahasa internasional, bahasa Indonesia juga
dihadapkan pada tuduhan sebagai penyebab keterasingan masyarakat terhadap bahasa
daerahnya. Perencanaan status bagi bahasa Indonesia telah membatasi ruang gerak

bahasa daerah untuk merambah atau keluar dari sekedar ranah budaya. Arus
reformasi, otonomi daerah dan wacana demokratisasi juga menyadarkan masyarakat
penutur bahasa daerah akan keberadaan, potensi dan posisi bahasanya. Kebijakan
bahasa nasional mulai dikritisi dan wacana bhineka tunggal ika tidak lagi hanya

Universitas Sumatera Utara

wacana politik tetapi juga wacana linguistik. Sebagai ilustrasi kita bisa mengadakan
introspeksi terhadap kebertahanan bahasa Bali (Darwis 2009).
Pada kenyataannya eksistensi bahasa Bali terutama di daerah perkotaan
semakin mengkhawatirkan kalaupun belum bisa dikatakan telah terpinggirkan
(marginal). Gejala linguistik seperti ini juga dirasakan oleh Jendra (2002:48) yang
mensinyalir pemakaian bahasa Bali di dalam sejumlah kehidupan rumah tangga telah
menyusut dan telah tersaingi oleh pemakaian bahasa Indonesia. Di dalam situasi
kontekstual yang masih berbau tradisional juga bahasa Bali telah banyak didesak oleh
pemakaian bahasa Indonesia. Kecenderungan ke arah keterpinggiran bahasa Bali
tersebut diakibatkan paling sedikit oleh 3 hal yakni (1) status bahasa Bali, (2)
loyalitas masyarakat penutur, dan (3) strategi pembinaan dan pengembangan bahasa
Bali.
Penelitian berikutnya juga berada didaerah Bali oleh Maharani (2010), dalam

jurnalnya menjelaskan bahwa bahasa daerah Bali pada kalangan remaja di lingkungan
Puri di kabupaten Gianyar masih berlangsung baik. Penggunaan bahasa Bali masih
berlangsung baik dalam ranah keluarga dan ranah ketetanggaan namun pada ranah
kekariban tidak berlangsung dengan baik dikarenakan kebiasaan di sekolah yang
menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bali juga mendapatkan dukungan dari
institusi dimana bahasa Bali dimasukkan menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa
SD, SMP, dan SMA. Jurnalistik juga membantu pemertahanan bahasa daerah Bali,
terlihat adanya ruang khusus di salah satu koran yaitu Bali Post yang menampilkan
rubrik khusus yang berbahasa Bali.

Universitas Sumatera Utara

Bahasa Melayu Langkat di Stabat Sumatera Utara juga mengalami hal yang
serupa. Fakta dan data yang ditemukan oleh adisaputera (2009) mengarah kepada
munculnya pergeseran bahasa dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia. Hal ini
ditandai oleh beberapa hal berikut ini:
1. Tingginya penggunaan Bahasa Indonesia dalam interaksi komunikasi
sehari-hari (20%) walaupun pada wilayah yang dominan Melayu,
2. Hampir 50% responden (47,4%) menyatakan bahwa Bahasa Indonesia
mereka bukanlah Bahasa Melayu,

3. Persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar menggunaan
Bahasa Melayu (64,8%) hampir dua kali persentase responden yang
paham dan lancar menggunakan Bahasa Melayu (35,2%),
4. Tingginya persentase responden yang tidak paham dan tidak lancar
menggunakan Bahasa Melayu pada kawasan yang etnisnya dominan
Melayu dengan Bahasa Melayu(24,3%),
5. Dari 52,6% yang menguasai Bahasa Melayu sejak pandai berbahasa,
hanya 33,9% yang memahami dan lancar menggunakannya.
Pergeseran bahasa yang terjadi pada komunitas remaja di Stabat mengarah
kepada arah kepunahan bahasa. Pada kriteria bahasa yang terancam punah, maka
Bahasa Melayu dalam kondisi yang potensial terancam punah. Ada 2 indikator
sebagaimana fakta dan data pergeseran bahasa yang terungkap untuk ini, yakni
tekanan berat dari bahasa yang lebih besar yaitu Bahasa Indonesia, dan awal
hilangnya penutur anak anak dan remaja.

Universitas Sumatera Utara

Budhiono (2009) dalam jurnal Bahasa Daerah (Bahasa Ibu) di Palangkaraya:
Pergeseran dan Pemertahanan bahasa daerah merupakan dua gejala kebahasaan yang
saling terkait. Kedua gejala kebahasaan ini juga bisa dilihat dari gejala persaingan

bahasa. Bahasa dikatakan mulai mengalami pergeseran ketika masyarakat mulai
meninggalkan bahasa tradisionalnya. Akibat lanjut dari pergeseran bahasa adalah
terpinggirkannya suatu bahasa dan termuliakannya bahasa yang lain. Palangkaraya
sebagai ibukota Kalimantan Tengah dengan penduduk lebih dari 170.000 ribu orang,
adalah salahsatu contoh kota multietnis, multibahsa dan multibudaya. Hal tersebut
mengakibatkan semakin bergersernya eksistensi bahasa Ngaju yang merupakan
bahasa daerah suku Dayak Palangkaraya. Bahasa Banjar juga sering dipakai karena
sektor perekonomian lebih banyak dipegang oleh suku Banjar. Semakin sedikitnya
penutur aktif bahasa Ngaju dikarenakan pemakaian bahasa daerah lain yang dianggap
lebih tinggi derajatnya. Namun jika kita melihat bahasa Jawa yang merupakan salah
satu bahasa yang mempunyai penutur aktif terbesar ke-13 di dunia pantas untuk
merasa cemas. Pasalnya banyak orang tua yang memakai bahasa Indonesia di dalam
lingkungan keluarga. Bahasa Indonesia juga merasa cemas dikarenakan banyak
masyarakat yang mulai “menginggriskan” bahasa dan logat agar terlihat cendikia.
Dalam hal ini orang tua juga sadar akan pentingnya pelestarian bahasa daerah, namun
orang tua juga harus membekali anak mereka dengan bahasa asing untuk
mempermudah persaingan di era globalisasi sekarang ini. Pengajaran-pengajaran
tentang pentingnya bahasa asing membuat tidak adanya celah bagi bahasa daerah
untuk dapat bersaing kejajaran yang lebih tinggi.


Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang
menyebabkan tidak adanya pewaris dan regenerasi bahasa daerah. Faktor pertama,
adalah faktor sosial, di Palangkaraya Bahasa Banjar cenderung diterima oleh semua
kalangan sehingga prioritas pemakaian dan pewarisannya tinggi. Lain halnya dengan
bahasa dayak yang lebih banyak digunakan dalam lingkungan tertentu dan terbatas
sehingga orang tua enggan mewariskan bahasa daerah tersebut. Faktor kedua, adalah
faktor ekonomi diamana bahasa banjar merupakan pelaku ekonomi terbesar di
Palangkaraya khususnya, dan Kalimantan Tengah umumnya. Faktor ketiga, adalah
faktor politik. Kebijakan bahasa nasional yang dulu dikenal dengan politik bahasa
nasional sedikt banyak juga berpengaruh terhadap keterpinggiran bahasa daerah.
Keputusan pemerintah memasukkan bahasa daerah dalam kurikulum pendidikan
adalah langkah awal yang perlu ditindaklanjuti oleh berbagai pihak agar
terlestarikannya bahasa daerah.
Penelitian berikutnya membahas bahasa daerah Gorontalo yang dimasukkan
dalam kurikulum pendidikan, Bahasa Gorontalo telah masuk dalam muatan lokal.
Bahasa Gorontalo sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia sedang mengalami
hal yang sama yaitu terancam dari kepunahan. Kenyataan menunjukan, Bahasa
Gorontalo terdesak pemakaiannya karena hal-hal berikut ini: (1) Desakan pemakaian

dialek Manado, (2) Desakan pemakaian bahasa Indonesia melalui jalur pendidikan,
(3) Campur-baur kelompok etnik Gorontalo dengan kelompok etnik pendatang,
misalnya Bali, Bolaang Mongondow, Bugis, Jawa, Makassar, Minahasa, Luwuk,
Kendari, dan Sangir, (4) Kepedulian penurut Bahasa Gorontalo terhadap bahasannya
sendiri, (5) Pernikahan, yakni jejaka atau gadis Gorontalo menikah atau dinikahi suku

Universitas Sumatera Utara

lain, (6) Terbukanya infrastruktur perhubungan, baik darat, laut maupun udara yang
menyebabkan mobilitas penduduk yang berpindah dari tempat yang satu ke tempat
yang lain yang sudah barang tentu akan menggunakan bahasa yang bukan Bahasa
Gorontalo, (7) Sikap orang Gorontalo sendiri yang lebih suka menggunakan yang
bukan Bahasa Gorontalo, (8) Bahasa Gorontalo belum mantap diajarkan, (9)
Pemerintah daerah yang tidak peduli terhadap Bahasa Gorontalo, (10) Generasi muda
yang tidak mau lagi menggunakan Bahasa Gorontalo (Pateda 1999:1).
Berdasarkan penjelasan Pateda pada Seminar Proposal Tesis Program Studi
Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Negri Gorontalo yang berlangsung
tanggal 9 Februari 2005 di Pascasarjana Universitas Negeri Gorontalo bahwa
persoalan yang tertinggal dalam upaya pembinaan dan pengembangan Bahasa
Gorontalo, yakni pengajarannya. Pengajaran Bahasa Gorontalo sebagai mata
pelajaran muatan lokal sesungguhnya telah dimulai tahun 1995, meskipun pedoma
Pelaksanaan Mulok sendiri telah dikeluarkan oleh Depdikbud (kini Diknas) pada
tahun 1987. Persoalannya, yakni sampai sekarang belum diketahui bagaimanakah
wujud pengajaran bahasa Gorontalo sebagai muatan lokal. Bahasa pengantar
pengajarannya adalah bahasa Indonesia dengan pertimbangan peserta didik
memahaminya, kalau diberikan dalam bahasa Gorontalo, peserta didik sulit
memahaminya, dan guru juga mengalami kesulitan jika menggunakan bahasa
Gorontalo.
Sejalan dengan penelitian diatas yang berada pada lokasi yang sama, hasil
penelitian ini baik melalui fokus penelitian maupun subfokus penelitian diperoleh
kenyataan bahwa peserta tidak menggunakan bahasa Gorontalo. Kenyataan ini pula

Universitas Sumatera Utara

memberikan gambaran bahwa suatu ketika bahasa Gorontalo tidak akan digunakan
lagi sebagai bahasa pengantar bagi masyarakat Gorontalo. Seperti telah diketahui,
jika hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peserta “tidak” menggunakan bahasa
Gorontalo, maka dua hal yang dilaksanakan yaitu: mencari penyebab; dan
menemukan upaya yang dapat dilaksanakan untuk membina dan mengembangkan
bahasa Gorontalo. Setelah diadakan pembahasan, maka ditemukan 28 butir penyebab
tidak digunakannya bahasa Gorontalo, serta ditemukan pula 29 butir yang
berhubungan dengan upaya pembinaan dan pengembangan bahasa Gorontalo.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa peserta didik tidak menggunakan
bahasa Gorontalo. Menurut

peneliti penyebab peserta didik tidak menggunakan

bahasa Gorontalo disebabkan oleh beberapa hal berikut: (1) Bahasa Gorontalo tidak
dipakai dirumah, (2) Bahasa Gorontalo tidak digunakan karena lingkungan tidak
mendukung, (3) Tidak digunakan sebab tetangga tidak menggunakan, (4) Tidak
digunakan sebab orang lain suka mengunakan dialek Manado, (5) Tidak digunakan
sebab Bahasa Gorontalo sulit, (6) Tidak digunakan, sebab orang tidak tahu
menggunakan Bahasa Gorontalo, (7) Tidak digunakan , sebab ibu dan bapak
menggunakan Bahasa Indonesia, (8) Tidak digunakan, sebab teman berbicara dalam
bahasa lain, (9) Tidak digunakan, sebab di tempat umum digunakan bahasa lain, (10)
Guru tidak menggunakan Bahasa Gorontalo sebagai bahasa pengantar, (11) Sesama
guru tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, (12) Untuk memberi pemahaman guru
tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, (13) Tidak ada sanksi bagi masyarakat yang
tidak menggunakan Bahasa Gorontalo, (14) Ketika terjadi interaksi di tempat umum
tidak digunakan Bahasa Gorontalo. (15) Ketika interaksi jual beli di pasar tidak

Universitas Sumatera Utara

digunakan Bahasa Gorontalo, (16) Buku ilmu pengetahuan seperti fisika tidak
menggunakan Bahasa Gorontalo, (17) Peserta didik menganggap tidak ada gunanya
Bahasa Gorontalo, (18) Peserta didik tidak menggunakan Bahasa Gorontalo ketika
bergaul, (19) Bahasa Gorontalo tidak digunakan di tempat ibadah, (20) Bahasa
Gorontalo tidak digunakan ketika orang berada di atas kendaraan umum, (21) Bahasa
Gorontalo tidak digunakan oleh peserta didik ketika berkonsultasi dengan dokter,
(22) Peserta didik tidak menggunakan Bahasa Gorontalo ketika bermain, (23)Bahasa
Gorontalo tidak digunakan oleh aparat pemerintah, (24) Bahasa Gorontalo tidak
digunakan oleh mas media, (25) Bahasa Gorontalo tidak digunakan ketika antaretnik
berkomunikasi, (26) Bahasa Gorontalo tidak digunakan di lembaga pendidikan, (27)
Bahasa Gorontalo tidak digunakan oleh petinggi di daerah, (28) Bahasa Gorontalo
sulit dipelajari.
Hal tersebut membuktikan semakin terpuruknya penggunaan bahasa daerah,
tidak adanya perhatian dan kesadaran untuk menggunakan ataupun mempelajari
bahasa daerah. Dihubungkan dengan pendapat Rachman (2007: 12) “bahwa bahasa
daerah mengalami proses penurunan yang signifikan pemakaiannya”. Hal ini pun jika
dikaitkan dengan pendapat Chambers (1996: 54) yang menyatakan bahwa
menurunnya pemakaian bahasa itu antaranya disebabkan oleh variasi pemakaian
bahasa. Dari hasil penelitian diatas, maka tersirat pengertian bahwa dalam pemakaian
bahasa tidak dapat dipisahkan dengan variasi berbahasa. Variasi pemakaian bahasa
didasarkan pada konteks/situasi sewaktu terjadinya proses berkomunikasi. Kurangnya
pengetahuan dan penggunaan bahasa Gorontalo pada peserta didik pada saat

Universitas Sumatera Utara

berkomunikasi dengan masyarakat sekitar baik satu etnis atau beda etnis dan lebih
banyak menggunakan bahasa Indonesia (Palubuhu, 2007).
Hasil penelitian siregar dalam silalahi (2008), penggunaan bahasa daerah di
kota-kota besar mengalami pergeseran dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia.
Penelitian dilakukan pada masyarakat bilingual di medan dan dikhususkan pada
interaksi komunikasi intra kelompok dari 13 etnis dan penelitian tersebut dikhususkan
pada keluarga. Dari penelitian tersebut disimpulkan pergeseran cenderung terjadi
pada kelompok masyarakat yang belum berkeluarga dan pada anak-anak. Kajian
terhadap pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa biasanya mengarah kepada
hubungan antara perubahan atau kemantapan yang terjadi pada kebiasaan berbahasa
dengan proses sosial, budaya, dan psikologi pada saat masyarakat bahasa yang
berbeda berhubungan satu sama lain.
Untuk mengklasifikasikan tempat penggunaan bahasa daerah maka dapat
dilihat dari ranah. Ranah disebut juga dengan domain. Romaine (1994:49)
menyebutkan bahwa ranah adalah suatu abstraksi yang merujuk kepada suatu suasana
aktivitas yang menghadirkan suatu kombinasi khas dari waktu, tempat, dan hubungan
peran. Schmidt dan Rohr dalam Pride dan Holmes (1972:18) mengemukakan
Sembilan ranah utama antara lain: (1) rumah (2) arena bermain dan jalan (3) sekolah
(4)gereja (5) sastra (6) media masa (7)kemiliteran (8)pengadilan (9) administrasi
pemerintahan. Dalam buku yang sama Frey mengurangi menjadi 3 yaitu rumah,
sekolah dan gereja. Fishman dan Greenfield (1970) memilih 5 ranah yaitu: Rumah,
teman, pendidikan, pekerjaan, dan agama.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dalam penelitiannya Siahaan (2002) memilih 2 ranah yaitu
keluarga dan persahabatan dengan alsan bahwa ranah tersebut member peluang
terhadap kegiatan intrakelompok etnis batak toba. Dalam hal ini hubungan peran
yang digunakan juga mengikuti ranah-ranah yang telah ditentukan. Ranah keluarga
mencakup komunikasi antara suami-istri, orang tua-anak, anak-saudara, orang tua –
saudara. Sedangkan persahabatan meliputi orang tua-teman, anak-teman. Dari hasil
penelitian tersebut jelas terlihat bahwa bahasa yang paling sering digunakan anak
pada setiap ranah adalah bahasa Indonesia (32,98%), sedangkan orang tua adalah
campuran bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba (25%). Namun jika dilihat dari
masing-masing ranah, pada ranah keluarga (rumah), anak lebih banyak menggunakan
bahasa Indonesia (47%), sedangkan orang tua menggunakan campuran bahasa
Indonesia dan bahasa Batak Toba (28,80%), dan bahasa Batak Toba persentase
penggunaan tertinggi ada pada arisan keluarga dan didominasi oleh orang tua. Pada
ranah berikutnya yaitu ranah persahabatan (upacara adat) penggunaan bahasa
Indonesia tertinggi adalah pada anak (47%), sedangkan orang tua menggunakan
campuran bahasa Indonesia dan bahasa Batak Toba (25,60%) dan bahasa Batak Toba
(21,40%). Dari data diatas kesimpulan daripenelitian tersebut adalah bahwa
penggunaan bahasa daerah hanya didominasi oleh orang tua, sedangkan anak lebih
banyak menggunakan bahasa Indonesia.
Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh Damanik (2009) melihat hubungan
antara 2 variabel, yakni variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas antara
lain: Usia, pekerjaan, pendidikan, jenis kelamin, perkawinan, agama, loyalitas bahasa,
tempat lahir. Sedangkan variabel terikat antara lain: kekeluargaan, pergaulan,

Universitas Sumatera Utara

pekerjaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi, tetangga. Pada hasil penelitiannya
dijelaskan bahwa pemertahanan bahasa simalungun di semua ranah cenderung baik
dikarenakan karena tingginya penggunaan bahasa daerah pada tiga kelompok
(remaja, dewasa, orang tua). Hal tersebut membuktikan pentingnya remaja sebagai
generasi penerus bahasa daerah, dan orang tua sebagai berperan sebagai pengajar dan
mengenalkan bahasa daerah kepada generasi penerus.

Universitas Sumatera Utara