Keberadaan Putusan Basyarnas Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah

(1)

KEBERADAAN PUTUSAN BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S. E. Sy)

Oleh:

AHMAD SOFYAN TSAURI NIM: 108046100040

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

i

KEBERADAAN PUTUSAN BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S. E. Sy)

Oleh:

AHMAD SOFYAN TSAURI NIM: 108046100040

Dibawah Bimbingan Pembimbing

Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si NIP: 197412132003121002

KONSENTRASI MUAMALAT

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi Berjudul KEBERADAAN PUTUSAN BASYARNAS DALAM

MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE.Sy) pada Program Studi Muamalat.

Jakarta, 8 Mei 2014

Mengesahkan Fakultas Syariah dan Hukum Dekan

Dr. H. JM. Muslimin, MA. NIP:196808121999031014

PANITIA UJIAN:

1. Ketua : Dr. H. JM. Muslimin, MA. (……….….)

NIP: 196808121999031014

2. Sekretaris : Mu’min Roup, MA (……….…….)

NIP: 197004161997031004

3. Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si. (……….….) NIP: 197412132003121002

4. Penguji I : Dr. Euis Amalia, M.Ag (………….……….)

NIP: 197107011998032002

5. Penguji II : Dr. Alimin, M.Ag (……….…….) NIP: 196908252000031001


(4)

iii

LEMBAR PERNYATAAN









Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar starata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta,22 April 2014

Penulis,

Ahmad Sofyan Tsauri NIM. 108046100040


(5)

iv ABSTRAK

Ahmad Sofyan Tsauri. NIM 1080846100040. KEBERADAAN PUTUSAN

BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH.

Konsentrasi Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas Syariah & Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. 73 halaman + 29 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kualitas BASYARNAS dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah dengan menganalisis perkara putusan No.18/Tahun 2012/BASYARNAS/Ka.Jak yang tidak ada upaya hukum apa pun untuk membatalkannya dan perkara putusan No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang dibatalkan oleh Termohon arbitrase melalui upaya hukum banding dijalur litigasi.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian melalui pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan yang berdasarkan kata-kata atau berdasarkan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu dengan cara analisis perkara putusan tersebut. Metode pengumpulan data terkait putusan tersebut untuk keperluan penelitian penulis peroleh dari Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa disatu sisi Basyarnas telah mumpuni dalam menangani perkara sengketa ekonomi syariah terbukti dari putusan No.18/Tahun 2012/BASYARNAS/Ka.Jak yang selesai tanpa adanya upaya hukum di jalur litigasi yang menunjukkan kualitas Basyarnas telah optimal dan sesuai dengan asas final and binding.. Namun di lain sisi,dengan hasil analisis perkara putusan No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang adanya upaya hukum untuk membatalkan hasil putusan tersebut dijalur litigasi membuat kualitas Basyarnas dalam menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syariah dipertanyakan. Dimana faktornya adalah masih adanya kekurangan yang ada ditubuh Basyarnas yaitu terletak pada arbiter Basyarnas yang masih belum teliti dalam memeriksa perkara sengketa ekonomi syariah sehingga masih kurangnya kualitas Basyarnas dalam menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syariah, tidak adanya kerjasama dari Basyarnas kepada lembaga atau kantor akuntan publik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas Basyarnas itu sendiri dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah. Pada akhirnya, dengan adanya peningkatan kualitas yang dilakukan oleh Basyarnas diharapkan untuk lebih menambah kepercayaan kepada pelaku bisnis di dunia perbankan syariah untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah apabila dikemudian hari terjadi masalah di Basyarnas yang merupakan salah satu lembaga penyelesai sengketa ekonomi syariah yang independen.

Kata kunci: arbitrase, putusan basyarnas, pembatalan putusan, kualitas basyarnas

Pembimbing : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. Daftar pustaka : Tahun 1986 s.d. Tahun 2012


(6)

v

KATA PENGANTAR









ا ﺃ شﺃ لعي س ﻹا ع ي

ا لق ع ة يكس ا ل ﺃ ا ل ح ا

صلا عب ب ا لا ل س ه بع ا ح ﺃ شﺃ ل كي ش ا ه ح ه اإ إ

عبت

بحص لﺃ لع كيب ك بع ح يس لع سلا

ي لا ي لإ

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tinngginya kepada semua pihak yang telah

memberikan bimbingan, serta dukungan demi terselasaikannya skripsi ini. Karena

penulis menyadari ini semua tidak terlepas dari peran banyak pihak.

Ucapan terima kasih ditujukan kepada:

1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Dr. Euis Amalia, M. Ag selaku Ketua Program Studi Muamalat dan Bapak Mu’min Roup, MA selaku Sekretaris Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku dosen pembimbing yang


(7)

vi

referensi serta motivasi penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga

Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak dan Ibu.

4. Kepada Ketua Basyarnas Bapak Ir.H.Yudo Paripurno, S.H dan para Arbiter

Tetap Basyarnas serta para staf yang telah membantu penulis dalam mencari

data.

5. Kepada Bapak Ruslan, S.H Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Jakarta

pusat yang telah memberikan kemudahan dalam mengambil data yaitu putusan

pembatalan Putusan Basyarnas dan kepada Panitera Muda Hukum Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.

6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang banyak memberikan keilmuan dan pembekalan dalam perkuliahan.

7. Para pegawai perpustakaan umum maupun fakultas dalam pencarian sumber

kepustakaan.

8. Penghormatan serta salam cinta penulis haturkan kepada kedua Orang Tua

Penulis, Ayahanda H.Ahmad Jaelani S.Pd.I dan Ibunda Siti Rohimah yang telah

mendidik penulis dan membesarkan penulis sehingga dapat melanjutkan

pendidikan ke jenjang Starata satu ini, yang tak pernah berhenti untuk

menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan telah menjadi

inspirasi untuk selalu memperbaiki diri dengan akhlak yang baik dan belajar

dari pengalaman yang didapatkan.

9. Kakak dan adik tercinta, Siti Nur Badriyah,S.Pd.I, Siti Nur Laila,S.Pd.I,


(8)

vii

Irsyadillah yang selalu mengingatkan penulis agar cepat menyelesaikan

skripsi.

10. Teman seperjuangan angkatan 2008 khususnya kelas PSB, Usman,Fikri,

Najmuddin, Ghazali, Fikri, Arza, Ayi, Bahruddin, Aria, Bani, Syarif, Iqbal,

Musaddad, Ihsan, Aldi, Rizki, Pramana, Meganita, Asri, Nadha, Anita, Hurum,

Maryam, Rohmah, Titi, Nurhasanah, Ika, Renni, Balli, Erna, Cut Nyak Dien,

Aminah Binti Ahmad Alonto yang telah memberikan dukungan dalam

menyelesaikan skripsi ini dan bersama-sama berjuang menyelesaikan studi di

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

11. Serta semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan

terima kasih yang tiada terhingga.

Akhir kata, tak ada kata yang dapat diungkapkan selain Lafaz Hamdalah.

Penulis hanya dapat memberikan doa dan berharap semoga semua pihak yang telah

membantu dalam penyusunan skripsi ini akan dibalas dengan balasan yang setimpal

di sisi-Nya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Amin.

Jakarta, 22 April 2014

Penulis,

Ahmad Sofyan Tsauri NIM. 108046100040


(9)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ...

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI ... iii

ABSTRAKSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Riview Studi Terdahulu ... 11

E. Metodelogi Penelitian ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG SENGKETA EKONOMI SYARIAH DAN ARBITRASE A. Sengketa 1. Pengertian Sengketa Ekonomi Syariah ... 19

2. Cara Penyelesaian Sengketa a. Mediasi ... 22

b. Negosiasi ... 28

B. Pandangan Umum Arbitrase 1. Pengertian Arbitrase ... 30


(10)

ix

2. Sejarah Arbitrase ... 32

3. Dasar Hukum Arbitrase ... 34

4. Mekanisme Arbitrase ... 36

BAB III PROFIL BASYARNAS (BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL)

A. Sejarah BASYARNAS dan Dasar Hukum ... 39

B. Prosedur Arbitrase di BASYARNAS ... 46

C. Biaya Arbitrase di BASYARNAS ... 48

BAB IV KEBERADAAN PUTUSAN BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

A. Analisis Putusan BASYARNAS No.16/Tahun 2008 ...… 52 B. Analisis Pembatalan Putusan BASYARNAS No.18/Tahun 2012 … 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran-saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA Lampiran-Lampiran

1. Surat Resmi Permohonan Data

2. Surat Permohonan Kesediaan Pembimbing Skripsi

3. Putusan BASYARNAS

4. Pembatalan Putusan BASYARNAS oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Salah satu pilar pembangunan ekonomi Indonesia terletak pada industri

perbankan. di dalam sistem hukum Indonesia, segala bentuk praktek perbankan

haruslah berdasar kepada prinsip-prinsip yang terkandung dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Pengakuan yuridis terkait sengketa ekonomi antar

lembaga keuangan juga tak ketinggalan, begitu pula peraturan mengenai sengketa

ekonomi dalam perbankan syariah yang turut serta diperbaharui. hal demikan

merupakan tuntutan masyarakat agar hukum menjadi pemecah masalah sekaligus

rekayasa sosial masyarakat demi mewujudkan keadilan.

Sama halnya pula ketika berdirinya bank syariah di Indonesia pada tahun

1992, Pemerintah telah membuat peraturan perundang-udangan yang berkaitan

dengan perbankan syariah sebagai pemecah masalah sekaligus rekayasa sosial

masyarakat bagi para pelaku bisnis syariah. Kini, perbankan syariah diatur di dalam

UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan dan UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.1

Dalam suatu hubungan dunia bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan

atau dengan kata lain transaksi bisnis berpotensi timbulnya masalah yaitu silang

sengketa. Silang sengketa yang perlu diantisipasi dalam hubungan dunia bisnis atau

1

Mardani, Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah, dalam Mimbar Hukum Vol. XXII, Juni 2010, hal. 298


(12)

2

perjanjian, mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa

isi perjanjian atau pun disebabkan hal-hal lainnya di luar dugaan karena keadaan

memaksa. Untuk itu sangat diperlukan mencari jalan keluarnya untuk menyelesaikan

sengketa, biasanya ada beberapa alternatif atau opsi dalam rangka penyelesaian

sengketa yang bisa ditempuh, seperti melalui litigasi maupun non-litigasi, seperti

arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.2 Sengketa adalah suatu situasi dimana

para pihak yang merasa dirugikan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.

Pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasaan ini kepada pihak kedua

dan apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak pertama, serta

menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang dinamakan dengan

sengketa.3

Sangketa diantara dua belah pihak dalam bekerjasama tidak dapat dihindari

karena dalam bekerjasama diantara dua pihak, sering kali ada salah satu pihak yang

tidak mematuhi akad-akad yang telah dibuat dan disepakati. Seiring perkembangan

perekonomian islam baik dalam bidang perbankan, asuransi, dan pasar modal dan

bidang usaha lainnya maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) berusaha mendirikan

badan arbitrase untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang ada pada usaha

ekonomi islam di Indonesia.4 Proyeksi perbankan syariah menjadi sangat penting

dalam membangun bisnis yang berasaskan sendi-sendi Islam, begitupun pola

2

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

3

Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, Cetakan ke-1).h 12-13

4

Al Fitri, Badan Arbitrase Syariah Nasional Dan Eksistensinya, makalah yang disampaikan di Pengadilan Agama Tanjungpandan, tanpa tahun, hal. 11


(13)

3

hubungan yang didasarkan pada keinginan untuk penegakan sistem syariah tersebut

diyakini sebagai pola hubungan yang kokoh antara bank dan nasabah. Kalaupun

terjadi perselisihan pendapat, baik dalam penafsiran maupun dalam pelaksanaan isi

perjanjian, kedua pihak akan berusaha meyelesaikannya secara musyawarah menurut

Islam.5 Musyawarah merupakan cara yang dianjurkan oleh al-Quran dan as-sunnah,

karena jalur melalui perdamaian menunjukkan ummat islam sebagai makhluk yang

bijaksana yang diberikan kelebihan akal untuk berfikir oleh Allah. Di Indonesia

cukup banyak lembaga untuk menyelesaikan perselisihan melalui jalur perdamaian,

baik di dalam jalur litigasi ataupun diluar itu, salah satunya adalah dengan cara

arbitrase dimana arbiter bertindak sebagai pihak penengah yang netral demi

tercapainya perdamaian diantara pihak yang berselisih.

Arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik, khususnya bagi kalangan

pengusaha. Bahkan arbitrase dinilai sebagai suatu pengadilan pengusaha yang

independen guna penyelesaian sengketa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan

mereka.6 Salah satu lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa ekonomi

syariah adalah Basyarnas. Basyarnas merupakan salah satu lembaga untuk

menyelesaikan sengketa ekonomi syariah yang mempunyai cara penyelesaian yang

memiliki keunggulan dibandingkan dengan lembaga lain, salah satu keunggulannya

adalah putusan eksekusi yang telah dikeluarkan oleh Basyarnas bersifat final tanpa

5 Syafi’i Antonio, Di Mana Sengketa Perbankan Syari’ah Diselesaikan,

dalam bukunya Abdurahman Dkk, Prospek Bank Syari’ah di Indonesia, (Bandung: PPHIM, 2005), hal. 55

6

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006).h 4


(14)

4

adanya banding, selain itu juga Basyarnas menyelesaikan sengketa ekonomi dengan

biaya yang murah dan cepat. Selama berdiri sejak tahun 1993 yang semula bernama

BAMUI dan pada tahun 2003 diubah menjadi Basyarnas, lembaga tersebut yang

merupakan bagian dari perangkat MUI telah menjalankan perannya sebagai lembaga

alternatif penyelesain sengketa ekonomi syariah. Ketua Basyarnas, Yudho Paripurno,

mengatakan sosialisasi Basyarnas kerap dilakukan melalui forum diskusi dengan

mengundang pakar dan praktisi di berbagai bidang. ''Dalam program percepatan

sosialisasi sistem perbankan syariah Bank Indonesia bekerja sama dengan kalangan

perbankan dan lembaga Islam untuk menyelenggarakan training of trainers. Salah

satu materinya adalah aspek legal dalam penyelesaian sengketa melalui sistem

arbitrase syariah yang disampaikan oleh Basyarnas''.7

Terbukti dengan salah satu perkara sengketa ekonomi syariah yang

diselesaikan oleh Basyarnas yaitu putusan No. 18/Tahun

2012/BASYARNAS/Ka.Jak. putusan tersebut berisi tentang perkara antara Yayasan

Bhakti Pos Indonesia yang berstatus sebagai Pemohon dengan PT.Asuransi Syariah

Mubarakah sebagai Termohon, dimana pihak Termohon tersebut telah melakukan

ingkar janji (wanprestasi). Salah satu isi pokok perkara tersebut adalah Bahwa pada

tanggal 17 April 2008 Termohon telah mengadakan Perjanjian Kerjasama dengan

Pemohon, dengan Nomor :442/YPBPI/048 dan 025/ASM/PKS/04.08 tentang

penutupan Tabungan Wadi’ah Annama Mubarakah, dengan No Polis

7

Republika, Berita Bisnis Syariah, diakses pada tanggl 4 April 2014 jam 19:45 dari

http://www.republika.co.id/berita/bisnis-syariah/berita/10/09/28/136724-basyarnas-sosialisasi-penyelesaian sengketa-muamalah


(15)

5

1000000.0000000065 sebesar Rp.500.000.000 (BUKTI P-1).8 Dengan adanya

perjanjian kerjasama itu, Pemohon telah dijanjikan oleh pihak Termohon akan

diberikan bonus wadi’ah sebesar 12% pertahun. Namun pada kenyataannya ternyata

pihak Termohon tidak menepati perjanjian kerjasamanya yang membuat Termohon

cidera janji. Termohon dengan surat tanggal 29 Oktober 2012 Nomor

:457/Keu/ASM/10/10 telah menjawab surat Pemohon tanggal 25 Oktober 2010

Nomor 815/YPBPI/1010 yang berjanji pembayaran akan dilakukan secara bertahap

sampai dengan bulan Januari 2011, namun pencairan hanya terealisasi pada 24

November 2010 saja sebesar Rp.200.000.000 (BUKTI P-5).

Bahwa Termohon disamping telah melakukan pembayaran pada tanggal 24

November 2010 sebesar Rp.200.000.000 juga telah melakukan pembayaran kepada

Pemohon pada tanggal 21 Aprill 2011 sebesar Rp.66.838.814 dan tanggal 5 Juli 2011

sebesar Rp.50.000.000 sehingga saldo menjadi Rp.350.000.000. setiap tanggal 24

bulan berjalan, Pemohon mendapatkan bonus Wadi’ah sebesar 12% per tahun,

sebagaimana tercantum dalam Perjanjian Kerjasama pasal 4 (BUKTI P-2) sehingga

saldo tabungan Annama pada tanggal 24 Februari 2012 sebesar Rp.372.005.227

(BUKTI P-9). dengan demikian Termohon masih mempunyai kewajiban kepada

Pemohon untuk membayar tabungan Annama sebesar Rp.327.005.227 ditambah

dengan bonus Wadi’ah sebesar 12% per tahun.

8

Badan Arbitrase Syariah Nasional, Putusan Basyarnas No. 18/Tahun


(16)

6

Sebelum perkara tersebut masuk ke Basyarnas pihak Pemohon telah

melakukan upaya perdamaian seperti disebutkan dalam Minutes of Meeting tanggal 1

November 2010 Point 2, Minutes of Meeting tanggal 28 Desember 2010 Point 7 dan

Minutes of Meeting pada tanggal 14 Februari 2012 (BUKTI P-6, P-7, P-8). Upaya

perdamaian yang dilakukan oleh Pemohon ternyata tidak berhasil, maka tidak ada

jalan lain dari perselisihan dalam perkara ini untuk mendapatkan penyelesaian yang

optimal pemohon menyerahkannya ke Basyarnas dengan mendaftarkan perkara

tersebut. Selain itu juga dalam perjanjian kerjasama ini, para pihak telah

mencantumkan klausul penyelesaian sengketa melalui Basyarnas.

Dengan demikian Majelis Arbiter melakukan upaya-upaya pemeriksaan,

dengan mendengarkan para saksi, dan juga melakukan persidangan untuk

menyelesaikan perkara antara Yayasan Bhakti Pos Indonesia dengan PT Asuransi

Syariah Mubarakah. Majelis Arbiter (Basyarnas) memutuskan dalam perkara ini yaitu

pada poin 1, 2 dan 6 yang menyatakan bahwa Majelis Arbiter mengabulkan

permohonan Pemohon, menghukum Termohon untuk membayar hutangnya sebesar

Rp.322.005.227 secara tunai dan seketika selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan

ini dibacakan, dan menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat dan oleh

karena itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan. Dalam perkara

No.18/Tahun2012/BASYARNAS/Ka.Jak ini para pihak baik Pemohon atau


(17)

7

Basyarnas dalam perjalanannya sebagai lembaga independen dan otonom

dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah diluar jalur litigasi, bukan berarti

tidak mendapatkan hambatan dalam menangani perkara-perkara ekonomi syariah

yang masuk. Salah satu perkara sengketa ekonomi syariah yang dilakukan upaya

hukum dijalur litigasi oleh salah satu pihak adalah perkara No.16/Tahun

2008/BASYARNAS/Ka.Jak yang dibatalkan melalui Pengadilan Agama Jakarta

Pusat yaitu putusan No: 792/Pdt.G/2009/PA.JP. perkara yang ditangani oleh

Basyarnas adalah perkara PT Atriumasta Sakti sebagai Pemohon dengan PT Bank

Syariah Mandiri sebagai pihak Termohon dimana didalam putusan No. 16/Tahun

2008/BASYARNAS/Ka.Jak Majelis Arbiter menghukum Termohon sebagai pihak

yang melakukan cidera janji dengan tidak merealisasikan pencairan pembiayaan

terhadap Pemohon.

Akan tetapi dengan dasar yang Termohon dapatkan selama persidangan

arbitrase, Termohon mengajukan pembatalan putusan Basyarnas itu ke Pengadilan

Agama Jakarta Pusat guna mencari keadilan. Bahwa selama persidangan arbitrase

terungkap fakta-fakta hukum yang sangat material akan tetapi sama sekali tidak

dipertimbangkan oleh Majelis Arbiter (Termohon I) sehingga memberikan keyakinan

kepada Pemohon bahwa Temohon I dan Termohon II telah memenuhi unsur-unsur

yang dimaksud dalam Pasal 70 serta tidak mengurangi ketentuan dalam penjelasan

Umum Bab VII UU Arbitrase.9 Selain itu juga dalam pembatalan putusan Bahwa

9

Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Putusan No. 792/Pdt.G/2009/PA.JP, (Jakarta: Pengadilan Agama Jakarta Pusat, 2009).h 3


(18)

8

Pemohon menemukan fakta hukum material yang tidak disampaikan secara terbuka

dan transparan kepada Termohon terkait dengan adanya perubahan isi draft final

putusan (BUKTI P-1) dengan isi putusan Basyarnas yang didaftarkan ke Pengadilan

Agama Jakarta Pusat (BUKTI P-2).

Hal yang terpenting adalah tentang asas Basyarnas dalam menyelesaikan

perkara ekonomi syariah yaitu bersifat final and binding. Namun dalam perkara ini

Basyarnas telah membuat kabur pengertian tersebut. Majelis Arbiter telah membuat

kabur pengertian ”putusan Arbitrase bersifat final and binding” dengan adanya putusan yang masih digantungkan pada keadaan tertentu dalam waktu tertentu yang

bersifat final. Bunyi amar putusan yang menyangkut pembayaran biaya dan

penunjukkan Kantor Akuntan Publik yang berkaitan dengan penetapan jumlah biaya

yang harus dikembalikan oleh Termohon jelas menunjukkan bahwa putusan aquo

belum final, masih menggantung dan belum tuntas. Seharusnya Majelis Arbiter

dengan keyakinannya membuat putusan yang tidak menggantung dan masih

berpotensi bersengketa yang tidak berkesudahan antara PT Bank Syariah Mandiri

dengan PT. Atriumasta Sakti.

Adanya pembatalan putusan Basyarnas membuat kualitas lembaga tersebut

menurun dan dipertanyakan. Sedangkan asas lembaga arbitrase ini bersifat final dan

binding yang diperkuat oleh UU No.30 Tahun 1999 yang berbunyi “Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para


(19)

9

pihak”.10 Walaupun dilain sisi para pihak yang menyelesaikan sengketa atau

perkaranya melalui alternatif penyelesain sengketa (APS) tetap mempunyai hak untuk

mengajukan pembatalan putusan arbitrase.

Dari penjelasan di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat yaitu kualitas

Basyarnas dilihat dari putusan No.18/Tahun 2012/BASYARNAS/Ka.Jak yang tidak

adanya upaya hukum apapun dan putusan No.16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak

yang adanya upaya hukum melalui jalur litigasi yang menyebabkan putusan tersebut

dibatalkan. Untuk itu penulis akan tuangkan dalam skripsi yang berjudul

Keberadaan Putusan BASYARNAS dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh penulis, dapat

disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah oleh Basyarnas yakni

No.18/Tahun 2012/BASYARNAS/Ka.Jak telah diputuskan oleh Basyarnas tanpa

adanya upaya hukum melalui litigasi. Sedangkan pada perkara No. 16/Tahun

2008/BASYARNAS/Ka.Jak walaupun telah dijatuhkan putusan oleh Basyarnas

namun pada perkara tersebut pihak Termohon arbitrase melakukan upaya hukum di

jalur litigasi yang menyebabkan menurun dan dipertanyakannya kualitas Basyarnas

10


(20)

10

dalam menyelesaikan perkara tersebut. maka skripsi ini memokuskan pada

pembatasan masalah hanya pada pembahasan mengenai kualitas Basyarnas dengan

menganalisis kedua putusan tersebut, yakni kualitas basyarnas dilihat dari putusan

No.18 yang tidak ada upaya hukum dijalur litigasi dan putusan No.16 yang adanya

upaya hukum dijalur litigasi.

2. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah yang telah penulis paparkan, maka penulis

merumuskan masalah dalam beberapa pertanyaan berikut:

a. Bagaimanakah kualitas Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi

syariah dilihat dari putusan No.18/Tahun 2012/BASYARNAS/Ka.Jak?

b. Bagaimanakah kualitas Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi

syariah dilihat dari putusan No. 16/Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengetahui kompetensi arbiter Basyarnas dalam menyelsaikan sengketa

ekonomi sengketa ekonomi syariah.

b. Mengetahui kualitas Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa ekonomi


(21)

11

2012/BASYARNAS/Ka.Jak dan putusan Basyarnas No. 16/Tahun

2008/BASYARNAS/Ka.Jak.

c. Dapat meningkatkan kepercayaan kepada para pelaku bisnis yang

berprinsipkan pada syariah Islam untuk menyelesaikan permasalahan

ekonomi syariah melalui Basyarnas.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi para akademisi, dapat memberikan sumbangan pemikiran, ide atau

gagasan untuk menambah literatur atau bahan, referensi kepada Prodi

Muamalat, Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Bagi para praktisi, khususnya praktisi atau arbiter, sebagai masukan atau

saran untuk semakin giat berupaya mengembangkan kompetensi SDM

arbiter yang berlandaskan prinsip keadilan dan kemaslahatan.

c. Bagi penulis, menambah wawasan keilmuan dan memperkaya pengalaman

mengenai hal-hal teknis yang berkaitan dengan arbitrase sengketa ekonomi

syariah.

D. Riview Studi Terdahulu

Penelitian tentang pembahasan ini memang bukan penelitian yang

pertama, penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya


(22)

12

No. Aspek Perbandingan Studi Terdahulu Rencana Skripsi

1. a. Judul Maryudi, Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006. Peran Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. Keberadaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah.

b. Fokus Pada skripsi ini penulis

lebih menekankan pada peranan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalal Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah. Penelitian terfokus pada analisis putusan BASYARNAS no 18 dan putusan BASYARNAS no 16 yang

dibatalkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat. c. Metode Penelitian Menggunakan penelitian

dengan menggunakan data primer yaitu wawancara langsung ke objek yang diteliti.

Karya tulis ini menggunakan metode analisis data kualitatif dalam mengolah data yang didapatkan.


(23)

13

No. Aspek Perbandingan Studi Terdahulu Rencana Skripsi

2. a. Judul Fitriyah, Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008. Penyelesaian Sengketa Asuransi Syariah menurut Perspektif Badan Arbitrase Syariah

Nasional (Basyarnas) dan Badan Mediasi Asuransi Inodonesia (BMAI). Keberadaan Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syariah.

b. Fokus Pada skripsi ini penulis

lebih memfokuskan pada pembahasan tentang peninjauan atau sudut pandang Basyarnas dan BMAI terhadap penyelesaian sengketa asuransi syariah. Penelitian terfokus pada analisis putusan BASYARNAS no 18 dan putusan BASYARNAS no 16 yang

dibatalkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Pusat. c. Metode Penelitian Menggunakan penelitian

dengan menggunakan data primer yaitu wawancara langsung ke objek yang diteliti.

Karya tulis ini menggunakan metode analisis data kualitatif dalam mengolah data yang didapatkan.


(24)

14

E. Metodelogi Penelitian 1. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan

kualitatif, yaitu jenis pendekatan yang berdasarkan kata-kata atau berdasarkan tata

cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan oleh

nara sumber secara lisan.

2. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Jenis penelitian ini

dirancang untuk mengumpulkan informasi, tentang keadaan-keadaan nyata sekarang.

Tujuan dari menggunakan jenis penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan

sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan. Dari

penjelasan di atas maka penelitian yang dilakukan oleh penulis termasuk jenis

penelitian deskriptif karena penulis menentukan dan melaporkan keadaan sekarang

yang sedang terjadi dengan mengumpulkan, menyusun, dan mendeskripsikan

berbagai dokumen, data, dan informasi yang aktual, yang bertujuan untuk

menjelaskan permasalahan sampai menemukan jawaban yang diharapkan.

3. Jenis Data dan Sumber Data

a. Jenis Data

Data ini bersifat kualitatif. Data kualitatif ini didasarkan pada isi atau mutu


(25)

15

artikel yang dikumpulkan penulis yang berhubungan dengan masalah yang terkait

pada pembahasan skripsi ini yang kemudian di analisa agar dapat menjawab

permasalahan yang ada.

b. Sumber Data

1. Data Primer, yaitu data mengenai putusan perkara ekonomi syariah di

Basyarnas, prosedur penyelesaian yang didapat melalui wawancara

langsung dan data yang ada di Basyarnas terkait penelitian ini.

2. Data Sekunder, yaitu data bersumber dari buku-buku, jurnal, makalah,

koran, majalah, website, penelitian terdahulu, dan sumber-sumber tertulis

lainnya yang mengandung informasi yang berhubungan dengan masalah

yang dibahas serta data terkait dengan arbitrase serta penyelesaian

sengketa ekonomi syariah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian lapangan (Field research) yakni penulis mengumpulkan data secara

langsung ke tempat objek penelitian. Teknik pengumpulan data dengan

melalui dua cara, yaitu: Observasi, yaitu dengan observasi ke Badan Arbitrase

Syariah Nasional (Basyarnas) untuk mendapatkan data yang valid bagi


(26)

16

b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penulis mengadakan

penelitian terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian skripsi

ini, berupa skripsi terdahulu, buku-buku, majalah, surat kabar, artikel, buletin,

brosur, internet dan sebagainya.

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah melalui beberapa proses pengumpulan data yang dilakukan dengan

macam-macam metode yang dipilih, maka data yang sudah ada akan diolah dan

dianalisa agar mendapatkan hasil yang bermanfaat dari penelitian ini. Pengolahan

data dilakukan dengan cara analisis isi (content analysis). Content analysis adalah

teknik analisis yang diawali dengan mengompilasi berbagai dokumen termasuk

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian serta

mengkategorisasikan data hasil wawancara. Dari hasil tersebut, selanjutnya dikaji isi

(content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan

berbagai pesan lainnya yang disampaikan terutama oleh peraturan

perundang-undangan dimaksud.11 Content analiysis dimulai dengan peneliti menyusun satu set

kategori (juga disebut kode) untuk mengelompokkan kata dan frase. Kode tersebut

kemudian diaplikasikan ke teks. Setelah keseluruhan teks diklasifikasikan ke kode

atau kriteria tadi, berbagai alat statistik dapat dipergunakan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa content analysis adalah metode kuantitatif untuk menganalisis

data kualitatif. Keunggulan content analysis adalah memungkinkan peneliti

11

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2008, Cetakan ke-1) h.23


(27)

17

mengkuantifikasi isi teks kualitatif dan interpretatif secara sistematis. Proses

kuantifikasi tersebut dijalankan secara jelas, sederhana, dan mudah diulangi.12

6. Pedoman Penulisan Skripsi

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta 2013.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Penulis membagi penulisan skripsi ini menjadi ke dalam 5 (lima) bab dan

terdiri atas beberapa sub bab. Susunan Bab tersebut secara sistematis adalah sebagai

berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG SENGKETA EKONOMI SYARIAH DAN ARBITRASE

Dalam bab ini menguraikan tentang teoritis, meliputi pengertian

sengketa ekonomi syariah, sejarah penyelesaian sengketa ekonomi

syariah, cara-cara penyelesaian sengketa.

12


(28)

18

BAB III PROFIL BASYARNAS (BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL)

Dalam bab ini menguraikan tentang profil Basyarnas yang terdiri dari

Sejarah dan Dasar Hukum Basyarnas, Prosedur Arbitrase di

Basyarnas, Biaya Arbitrase di Basyarnas, Struktur Kepengurusan

Basyarnas dan Susunan Arbiter Tetap Basyarnas.

BAB IV KEBERADAAN PUTUSAN BASYARNAS DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

Dalam bab ini menjelaskan tentang Analisis Putusan Basyarnas No.16

Tahun 2008 dan Analisis Pembatalan Putusan Basyarnas No.18 Tahun

2012.

BAB V PENUTUP

Di dalam bab ini penulis akan mengetengahkan kesimpulan dan

saran-saran yang berisikan hasil dari penelitian pada putusan-putusan yang


(29)

19

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG SENGKETA EKONOMI SYARIAH DAN ARBITRASE

A.Sengketa

1. Pengertian Sengketa Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah atau disebut juga sebagai ekonomi Islam, ekonomi syariah

adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah

yang meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah,

reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka

menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dana

pensiun lembaga keuangan syari’ah dan bisnis syariah.1 Dengan adanya kegiatan atau perbuatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah baik dilakukan oleh

indvidu, lembaga keuangan syariah atau individu dengan lembaga keuangan syariah

tidak menutup kemungkinan terjadinya perselisihan atau konflik ekonomi diantara

pihak yang menjalankan kegiatan tersebut.

Konflik yaitu sebuah situasi dimana dua belah pihak atau lebih dihadapkan

pada perbedaan kepentingan atau dalam pengertian lain. Konflik atau percekcokan

adalah adanya pertentangan atau ketidaksesuaian antara pihak yang akan dan sedang

mengadakan hubungan atau kerja sama. Konflik tidak akan berkembang menjadi

1

Alia Ifada, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”, artikel diakses pada tanggal 4 April


(30)

20

sebuah sengketa manakala pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan

tidak puas. Sebuah konflik berubah dan berkembang menjadi sebuah sengketa,

bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puasnya, baik

secara langsung kepada pihak yang dianggap merugikan atau kepada pihak lain. Jadi,

sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Apabila pihak-pihak yang berkonflik

tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka

sengketalah yang timbul.2

Penyelesaian sengketa terkait perbankan syariah setidak-tidaknya sudah diatur

dalam tiga peraturan perundang-undangan , yaitu UU No.21 tahun 2008 tentang

perbankan syariah , UU No.3 tahun 2006 tentang peradilan agama, serta PBI

No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan

dana dan penyaluran serta pelayanan jasa bank syariah.3 Kata “sengketa” menurut

bahasa inggris adalah disebut dengan “conflict” dan ”dispute”, keduanya mengandung pengertian tentang adanya perselisihan atau percekcokan, atau

perbedaan antara dua pihak atau lebih. Kata conflict sudah diserap kedalam bahasa

Indonesia menjadi konflik, sedangkan dispute dapat juga diterjemahkan kedalam

bahasa Indonesia menjadi “sengketa”.4 Jadi pengertian sengketa ekonomi syariah adalah konflik atau perselisihan antara dua pihak atau lebih yang menjalankan

2

Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, Cetakan ke-1). H.47

3

Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum

Nasional, (Jakarta: Raja Grafindo, 2008). H.225

4


(31)

21

kegiatan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip syariah dimana para pihak tersebut

tidak menemui kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya.

Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni melalui

badan Peradilan (Litigasi) dan di luar badan Peradilan (Non Litigasi). Proses litigasi

menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul

kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam

penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan

permusuhan di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya, melalui proses di luar

pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution” ,dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal

prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam

kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara-negara

tertentu proses peradilan dapat lebih cepat. Satu-satunya kelebihan proses nonlitigasi

ini sifat kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil keputusannya

pun tidak dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya

dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).5

Menurut Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS, Alternatif Penyelesaian

Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur

yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara

5

Ringgo Hutapea, artikel diakses pada tanggal 4 April 2014 jam 18:42 dari http://hepeng50.blogspot.com/2011/03/sengketa-ekonomi-syariah.html.


(32)

22

konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.6 Cara penyelesaian

sengketa ekonomi melalui jalur non litigasi sejauh ini telah terbukti lebih diminati

oleh para pelaku bisnis dengan alasan biaya yang dikeluarkan lebih hemat, prosesnya

cepat, dan kerahasiaan para pihak yang berperkara dijamin oleh lembaga penyelesai

sengketa tersebut.

2. Cara Penyelesaian Sengketa a. Mediasi

Banyak para pihak mengakui bahwa mediasi adalah proses untuk

menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak ketiga. Peranan pihak ketiga tersebut

adalah dengan melibatkan diri untuk membantu para pihak mengidentifikasi

masalah-masalah yang disengketakan dan mengembangkan sebuah proposal. Proposal tersebut

diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

Dalam PERMA No. 02/2003, pengertian mediasi disebutkan pada pasal 1 butir 6,

yaitu “Mediasi adalah penyelsaian sengketa melalui proses perundingan para pihak

dengan dibantu oleh Mediator”. Disini disebutkan kata mediator, yang harus mencari

berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa yang diterima para pihak.7

6

Hukum Online, “Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan” artikel

diakses pada tanggal 19 April 2014 jam 16:38 dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52897351a003f/litigasi-dan-alternatif-penyelesaian-sengketa-di-luar-pengadilan.

7

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2006). h.119


(33)

23

Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang

dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.8 Dalam

mediasi, penyelesaian perselisihan atau sengketa lebih banyak muncul dari keinginan

dan inisiatif para pihak, sehingga mediator berperan membantu mereka mencapai

kesepakatan-kesepakatan. Dalam membantu, pihak yang bersengketa, mediator

bersifta imparsial atau tidak memihak. Kedudukan mediator seperti ini amat penting,

karena akan membunuhkan kepercayaan yang memudahkan mediator melakukan

kegiatan mediasi. Kedudukan mediator yang tidak netral, tidak hanya menyulitkan

kegiatan mediasi tetapi dapat membawa kegagalan.9

Seperti dimaklumi, mediasi merupakan salah satu proses peneyelesaian

sengketa yang lebih cepat dan murah serta dapat memberikan akses yang lebih besar

kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi

rasa keadilan. Pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di pengadilan dapat

menjadi salah satu instrument efektif dalam mengatasi masalah penumpikan perkara

di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan

yang bersifat memutus (ajudikatif). Betapa pentingnya prosedur mediasi, pasal 2 ayat

3 peraturan mahkamah agung No.01 tahun 2008 denga tegas menyatakan bahwa tidak

menempuh mediasi, merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan

atau pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Kemudian dalam

8

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian

Sengketa Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). h.16-17

9

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum


(34)

24

pertimbangan putusan perkara, hakim wajib menyebutkan telah diupayakan

perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediatornya.10 Walaupun

sudah diatur dalam UU, mediasi yang dilakukan tanpa adanya kesepakatan para pihak

harus diperketat dalam konteks sumber daya manusianya. Lembaga mediasi adalah

tingkat awal dalam alternative dispute resolution untuk menyelsaikan suatu sengketa

dimana kedua pihak dihadirkan. Yang menjadi catatan penting, di dalam lembaga

mediasi, mediator tidak proaktif. Mediator hanya membantu merumuskan upaya

penyelesaian masalah. Tugas mediator hanya merumuskan, memberikan masukan

bukti, memberi kesimpulan awal dan diberikan kepada kedua pihak. Finalnya mediasi

dilakukan oleh kedua pihak.11

Mediasi yang dilakukan di pengadilan pada kenyataan praktik yang dihadapi,

jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk yang dihasilkan peradilan dalam

penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya, hampir 100 % berupa putusan

konvensional yang bercorak menang atau kalah. Jarang ditemukan penyelesaian

berdasarkan konsep sama-sama menang. Berdasarkan fakta ini, kesungguhan,

kemampuan dan dedikasi hakim untuk mendamaikan boleh dikatakan sangat mandul.

Akibatnya, keberadaan pasal 130 HIR, pasal 154 RBG dalam hukum acara, tidak

lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati. Tidak berperan sama sekali berbagai

landasan hukum menyelesaikan perkara melalui perdamaian. Ada yang berpendapat,

10

Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Mimbar Hukum dan

Peradilan,(Jakarta: PPHIMM, 2009)h.62-63

11

Jayadi Manik, Modul Pelatihan Mediasi Berperspektif HAM, (Jakarta: Komnas Nasional Hak Asasi Manusia, 2005).h 17


(35)

25

kemandulan itu bukan semata-mata disebabkan faktor kurangnya kemampuan,

kecakapan dan dedikasi hakim, tetapi lebih didominasi motivasi dan peran advokat

atau kuasa hukum. Mereka lebih cenderung mengarahkan proses litigasi berjalan

terus mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali, demi

mengejar professional fee yang besar dan berlanjut.

Namun terlepas dari pendapat itu, Mahkamah Agung sendiri mensinyalir

adanya gejala perilaku hakim yang tidak sunguh-sungguh memberdayakan pasal 130

HIR untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa.Pada umumnya sikap dan

perilaku hakim menerapkan pasal 130 HIR, hanya bersifat formalitas. Kalau begitu,

kemandulan peradilan menghasilkan penyelesaian melalui perdamaian bukan karena

distorsi pihak advokat atau kuasa hukum, tetapi melekat pada diri para hakim yang

lebih mengedepankan sikap formalitas daripada panggilan dedikasi dan seruan moral

sesuai dengan ungkapan yang mengatakan :keadilan yang hakiki diperoleh pihak

yang bersengketa melalui perdamaian.12

Musyawarah dalam upaya perdamaian terhadap sengketa antara orang-orang

muslim disyariatkan dalam ajaran Islam, sebagaimana tercantum dalam al-quran

surah al-Hujarat ayat 9 yang berbunyi sebagai berikut :

12

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan Penyitaan dan


(36)

26                                                    

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.

Mediasi pada umumnya dilakukan melalui suatu proses secara sukarela, atau

mungkin didasarkan pada perjanjian atau pelaksanaan kewajiban atau perintah

pengadilan. Untuk proses mediasi di pengadilan, ketentuan dalam pasal 7 Perma

No.02/2003 mengatakan bahwa “Mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur

penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam peraturan Mahkamah Agung ini”. Namun demikian, dengan cara apa pun pembentukan mediasi dilakukan, apabila

mediasi telah diterima, maka seluruh proses mediasi harus dilakukan secara sukarela

sampai berakhirnya mediasi. Demikian pula, proses mediasi melalui pengadilan

dilakukakn secara rahasia (tertutup). Masalah kerahasiaan proses mediasi di

pengadilan secara tegas ditetapkan dalam Perma No.01/2003, pasal 14 ayat 1, yaitu”

proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak

menghendaki lain”.13

Proses mediasi dapat di lihat pada lampiran dibawah ini:

13

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006) h.141


(37)

27

AKTA PERDAMAIAN

Para pihak melengkapi fotokopi dokumen dan surat-surat Proses Mediasi Berlangsung (negosiasi, pemanggilan saksi,dll)

Kesepakatan Tercapai Penunjukan Mediator Siding hari pertama, Majelis Hakim

mengupayakan perdamaian Ketua pengadilan negeri menunjuk Majelis Hakim Penggugat mengajukan dan


(38)

28

b. Negosiasi

Negosiasi menurut Ficher dan Ury merupakan komunikasi dua arah yang

dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki

berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Negosiasi merupakan sarana

bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya

tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil

keputusan (mediasi), maupun pihak ketiga pengambilan keputusan (arbitrase dan

litigasi). Dalam konteks bisnis, negosiasi adalah hal yang selalu dilakukan. Negosiasi

biasanya dilakukan sebelum pihak-pihak yang ingin berbisnis mengikatkan diri dalam

suatu kontrak, maupun jika terjadi sengketa mengenai pelaksanaan kontrak tersebut

dikemudian hari. Penyelesaian sengketa melali negosiasi sudah lazim dan merupakan

langkah awal yang dilakukan oleh para pelaku bisnis. Hal ini biasanya dicantumkan

dalam klausula kontrak, yang menyatakan bahwa jika terjadi sengketa mengenai

pelaksanaan kontrak tersebut dikemudian hari langkah penyelesaian pertama yang

dilakukan adalah melalui negosiasi atau musyawarah.14

Negosiasi adalah salah satu strategi penyelesaian sengketa, dimana para pihak

setuju untuk menyelesaikan persoalan mereka melalui proses musyawarah,

perundingan atau urung rembuk. Proses ini tidak melibatkan pihak ketiga, karena para

pihak atau wakilnya berinisiatif sendiri menyelesaiakan sengketa mereka. para pihak

terlibat secara langsung dalam dialog dan prosesnya. Meskipun demikian, ketika

14

Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,


(39)

29

konfrontasi meningkat antara para pihak, sehingga sulit melakukan negosiasi, maka

penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui alternative lain, seperti fasilitasi dan

mediasi. Fasilitator dan mediator dapat berperan untuk memperlancar proses

negosiasi yang sudah tertunda diantara para pihak yang bersengketa.

Agar negosiasi dapat berjalan lancar, maka keterampilan komunikasi dan

wawancara para pihak sangat menentukan, terutama dalam menyampaikan

kepentingan dan keinginan diri atau pihaknya, serta mendengarkan tuntutan dan

kepentingan pihak lain. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang tidak agresif,

dan tidak pula pasif, tetapi lebih bersifat asertif. Orang asertif berkomunikasi

seperlunya, secara bijaksana, dan tepat sasaran, sehingga menguntungkan dirinya dan

orang lain. Sebaliknya, orang agresif cenderung berbicara berlebihan sehingga

merugikan pihak lain, sementara orang pasif cenderung tidak bicara sehingga

merugikan diri sendiri.15 Teknik negosiasi kompetitif dikenal sebagai teknik negosiasi

yang bersifat alot. Unsur-unsur yang menjadi ciri negosiasi kompetitif adalah antara

lain :

1. Mengajukan permintaan awal yang tinggi diawal negosiasi.

2. Menjaga tuntutan agar tetap tinggi sepanjang poses negosiasi dilangsungkan.

3. Konsesi yang diberikan sangat langka atau terbatas.

15

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum


(40)

30

4. Secara psikologis, perunding yang menggunakan teknik ini menganggap

perinding lain sebagai musuh atau lawan.

5. Menggunakan cara-cara yang berlebihan dan melemparkan tuduhan-tuduhan

dengan tujuan menciptakan ketegangan dan tekanan terhadap pihak lawan.16

B. Pandangan Umum Arbitrase 1. Pengertian Arbitrase

Arbitrase, merupakan cara penyelesaian sengketa diluar peradilan, berdasarkan

pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak dan dilakukan oleh arbiter yang

dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.17 Menurut Black’s Law Dictionary , arbitration adalah “a method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are agreed to by disputing parties and whose decision is

binding”. Menurut kamus istilah hukum Fockema Andreae: Belanda-Indonesia,

bahwa “arbitrage” adalah “penyelesaian suatu perselisihan oleh seorang atau lebih juru pisah yang harus memutus menurut hukum yang berlaku atau berdasar keadilan ”. Sedangkan menurut pasal 1 ayat 1 undang-undang No.30 tahun 1999, arbitrase atau wasit adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak

yang bersengketa. Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang

mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat

16

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian

Sengketa Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). H 12

17

Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,


(41)

31

diselesaikan secara negosiasi/konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk

menghindari penyelesaian sengketa melalui badan peradilan yang selama ini

dirasakan memerlukan waktu yang lama. arbitrase sangat berbeda dengan mediasi

(konsiliasi). Perbedaan pokoknya terletak pada fungsi dan kewenangannya, yakni :

a. Arbiter diberi kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan

sengketa.

b. Untuk itu arbiter (arbitral tribunal) berwenang mengambil putusan yang

lazim disebut award.

c. Sifat putusan langsung final and binding (final dan mengikat) kepada para

pihak.18

Hakikat dari arbitrase adalah masalah yuridiksi. Manakala para pihak telah

memilih tatacara arbitarase untuk menyelesaikan perselisihan mereka maka

pengadilan negeri tidak lagi memiliki yuridiksi untuk menangani perkara itu. Melalui

arbitrase, para pihak mempercayakan penyelesaian perselisihan mereka kepada suatu

badan yang bersifat independen yang memiliki wewenang untuk menjatuhkan suatu

putusan yang harus ditaati oleh pihak-pihak yang bersengketa. Keputusan yang

bersifat pasti dan tetap. Dengan demikian, terhadap keputusan arbitrase tidak

mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan

kembali. Alasan utama para pihak memilih cara arbitrase untuk menyelesaikan

perselisihan bukanlah sekedar karena cepatnya proses atau murahnya biaya yang

18


(42)

32

harus dikeluarkan, yang banyak tergantung dari rumit tidaknya perkara, tetapi dari

kecakapan dan keahlian para arbiternya, terutama dalam menangani perkara-perkara

yang memerlukan pengetahuan teknis yang bersifat khusus. Arbiter yang

bersangkutan sepenuhnya menguasai permasalahan yang menjadi sengketa.19

2. Sejarah Arbitrase

Pada masa pra Islam hakam atau juru damai itu harus memenuhi beberapa

kualifikasi. Diantara syarat yang terpenting bagi mereka adalah harus cakap dan

memiliki kekuatan supranatural dan adrikodrati. Berdasarkan persyaratan ini, pada

umumnya para hakam itu adalah ahli nujum. Karena itu, dalam pemeriksaan dan

penyeleseaian persengketaan dikalangan mereka, hakam lebih banyak menggunakan

kekuatan firasatdari pada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi atau pengakuan,

para arbiter saat itu berpraktek ditempat yang sangat sederhana. Mereka

menyelenggarakan sidang dibawah pohon atau kemah-kemah yang didirikan. Baru

setelah dibangun sebuah gedung yang terkenal di Mekkah, daru al-„adawah, mereka

berpraktek di tempat itu. Dalam sejarah, gedung itu didirikan oleh Qusay ibn Ka’ab. Pintu gedung ini sengaja diarahkan ke Ka’bah. Kelihatannya fungsi gedung itu

berubah setelah masa awal Islam, diman tempat ini dijadikan sebagai tempat para

khalifah dan amir-amirnya di musim haji. Namun akhirnya gedung itu terpaksa

19

Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata Mediasi Class Action Arbitrase dan Alternatif,


(43)

33

dihancurkan pada masa khalifah Mu’tadlid, salah seorang khalifah Bani Abbas,

karena perluasan Masjidil Haram.20

Pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab mulailah dirasakan perlunya

pelimpahan wewenang di bidang peradilan kepada pihak lain yang punya otoritas

untuk itu. Secara tidak langsung Umar telah mengarah pada usaha untuk

“memisahkan kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan yudikatif. Ia tidak berhenti

sampai disitu, melainkan berusaha untuk menata lembaga peradilan sehingga dapat

memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Untuk maksud tersebut ia

membuat semacam “pokok pedoman beracara” di pengadilan. Dalam sejarah aturan itu dikenal dengan istilah “risalat al-qadla”. Surat ini ditujukan kepada Abu Musa

al-Asy’ari, salah seorang qadli pada masa pemerintahan umar. Salah satu prinsip yang

dimuat dalam risalat al-qadla, yang ada hubungannya dengan tahkim (arbitrase)

adalah pernyataan.

لا ا ح ﺃ اآح ح ح ص اإ ي س لا يب زئ ج ح صلا ﺃ اآح ح ط ش اإ ط ش ع س

ا ح لحﺃ ف ع ب ع ع تلا ها .

Artinya: Perdamaian dapat dilakukan diantara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin terkait dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal. (HR. Tirmidzi

dari „Amr bin „Auf).21

20

Faturrahman Djamil, Arbitrase dalam Perspektif Sejarah Islam, (Jakarta: BAMUI Bekerja Sama dengan Bank Muamalat Indonesia, 1994).h 30

21 Abu „Isa Muhammad At

-Tirmidzi, Al-Jami’Al-Shahih, (Beirut: Darul Kutub , t.t ) Jilid III, h 257


(44)

34

Proses atau tata cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini, dalam

praktiknya sudah lama dikenal di Indonesia . Bahkan, sebelum kemerdekaan pun

penyelesaian sengketa lewat arbitrase ini sudah lama dikenal, misalnya dalam bidang

perburuhan dikenal penyelesaian perselisishan perburuhan lewat arbitrase. Dalam

bidang perdagangan, setelah kemerdekaan ada beberapa badan arbitrase tetap yang

didirikan oleh berbagai perkumpulan organisasi perdagangan Indonesia yang

sekarang tentu saja tidak aktif lagi. Badan-badan arbitrase yang dimaksudkan itu

adalah badan arbitrase yang didirikan oleh :

a. Organisasi Eksportir Hasil Bumi Indonesia, di Jakarta.

b. Organisasi Asuransi Kebakaran Indonesia, di Jakarta.

c. Organisassi Kecelakaan Indonesia, di Jakarta.22

3. Dasar Hukum Arbitrase

Janggal rasanya membicarakan permasalahan arbitrase tanpa mengetahui

sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase itu sendiri dalam system tata

hukum Indonesia. Oleh karena itu, secara ringkas perlu dijelaskan sumbernya lebih

dulu, agar tahu persis landasan titik tolak jika seseorang berbicara tentang arbitrase.

Hal itu didasarkan pada suatu asumsi, bahwa dikalangan praktisi hukum, apalagi

dikalangan masyarakat awam, masih banyak yang belum tahu tempat rujukan

ketentuan yang menyangkut arbitrase dalam kehidupan tata hukum Indonesia. Itu

22

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian


(45)

35

sebabnya sering ditemukan sikap dan perilaku yang memperlihatkan keraguan dan

ketidakpastian dalam menerapkan ketentuan yang berkenaan dengan kasus arbitrase.

Pasal 337 HIR menjadi landasan titik tolak keberadaan arbitrase dalam kehidupan dan

praktek hukum. Pasal ini menegaskan kebolehan para pihak yang bersengketa :

a. Menyelesaikan sengketa melalui “juru pisah” atau “arbitrase”.

b. Dalam arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya

dalam bentuk “keputusan”.

c. Untuk itu, baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter, “wajib” tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan

eropa.23

Dengan mengkaji dasar-dasar hukum arbitarse, dasar hukum yang digunakan

untuk berarbitrase baik dalam kerangka arbitrase nasional maupun internasional,

adalah :

a. UU No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa

umum.

b. UU No.5 tahun 1968 tentang persetujuan atas konvensi tentang penyelesaian

perselisihan antara negara dan warga negara asing mengenai pananaman

modal.

c. Keptusan presiden nomor 34 tahun 1981 tentang pengesahan konvensi new

york 1958.

23


(46)

36

d. Peraturan mahkamah agung No.1 tahun 1990 mengenai peraturan lebih lanjut

pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.24

Perkara-perkara ekonomi syariah yang terjadi diantara para pihak, posisi

fatwa DSN tidak menjadi prioritas karena anggapan sifatnya yang tidak megikat.

Baik hakim, arbiter, maupun pengacara tetap memposisikan peraturan

perundang-undangan yang bersifat mengikat berada pada posisi diatas dibandingkan fatwa DSN.

Pandangan perlunya DSN untuk menjadi lembaga Negara menjadi sesuatu hal yang

penting. Bilamana menjadi lembaga Negara, fatwa yang dihasilkan akan menjadi

suatu peraturan yang bersifat mengikat.25

4. Mekanisme Arbitrase

Mekanisme arbitrase yang seharusnya ditetapkan di Indonesia tidak mungkin

dilepaskan dari tiga kriteria dibawah ini :

1. Para arbiter yang ditugaskan untuk menangani suatu sengketa seyogyanya

mempertemukan kepentingan para pihak secara proporsional, berimbang dan

tidak merugikan (menguntungkan) salah satu pihak saja. Dengan kata lain

para arbiter mengupayakan untuk menegakkan keadilan yang hakiki sesuai

dengan ajaran al-qur’an dan sunnah rasulullah.

24

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian

Sengketa Bisnis, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004). h 58-59

25

Yeni salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum

Nasional di Indonesia , (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010, Cetakan


(47)

37

2. Nilai-nilai keadilan yang tercermin dalam pancasila harus dijadikan sebagai

salah satu acuan pokok didalam menyelesaikan sengketa melalui arbitrase

islam.

3. Baik arbitrase nasional (BANI) maupun arbitrase islam (BAMUI) yang

dikenal di Indonesia ditinjau dari sudut tata hukum Indonesia, mempunyai

kedudukan yang sama dalam arti kedua lembaga itu harus diakui oleh

pemerintahan republic Indonesia.26

Penyelesaian melalui arbitrase umumnya dipilih untuk sengketa kontraktual

(baik yang bersifat sederhana maupun kompleks) yang dapat digolongkan menjadi :

a. Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan kontraktula (quistion of

fact) yang dengan sendirinya memerlukan para arbitrator dengan kualifikasi

teknis yang tinggi.

b. Technical Arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual

sebagaimana halnya dengan masalah yang timbul dalam penyusunan

dokumen (contruction of document) atau aplikasi ketentuan-ketentuan

kontrak.

c. Mixed Arbitration, sengketa baiak mengenal permasalahan faktual maupun

hukum (quistion of fact and law).

26

M. Thahir Azhary, Islam Hukum Islam dan Eksistensi Arbitrase Islam di Indonesia,


(48)

38

Selanjutnya, perbedaan antara konsiliasi, negosiasi, mediasi, dan arbitrase

dapat dibedakan dalam bentuk tabel sebagai berikut :27

KONSILIASI NEGOSIASI MEDIASI ARBITRASE

Para pihak secara sukarela

berkehendak menyelesaikan sengketa.

Para pihak secara sukarela

berkehendak menyelesaikan sengketa.

Para pihak secara sukarela

berkehendak menyelesaikan sengketa.

Para pihak secara sukarela berkehendak menyelesaikan sengketa. Yang memutus sengketa para pihak. Yang memutus sengketa para pihak. Yang memutus sengketa para pihak.

Yang memutus sengketa para pihak.

Keterlibatan pihak ketiga dikehendaki oleh para pihak.

Tidak ada pihak ketiga. Keterlibatan pihak ketiga dikehendaki sebagai penengah karena keahliannya dibidang yang disengketakan. Keterlibatan pihak ketiga dikehendaki sebagai pemutus masalah yang disengketakan karena arbiter yang dipilih memang ahli dalam bidang yang bersangkutan. Aturan pembuktian tidak ada. Aturan pembuktian tidak ada. Aturan pembuktian tidak ada. Aturan pembuktian sifatnya informal. 27

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian


(49)

39

BAB III

PROFIL BASYARNAS

A. Sejarah BASYARNAS dan Dasar Hukum BASYARNAS

Badan Arbitrase Syariah Nasional adalah perubahan dari Badan Arbitrase

Muamalah Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud arbitarse Islam

yang pertama kali didirikan di Indonesia. Pendiriannya diprakarsai oleh Majelis

Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 05 Jumadil awal 1414 H atau bertepatan

dengan tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI)

didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai dengan akta notaries Yudho

Paripurna, S.H nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993.

Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sangat diharapkan

oleh umat Islam, bukan saja dilatarbelakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat

untuk melaksanakan Syari’at Islam, melainkan lebih dari itu adalah menjadi

kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan

dikalangan masyarakat akhir-akhir ini. Oleh karena itu, tujuan didirikan Badan

Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai badan permanen independen yang

berfungsi menyelesaikan sengketa yang timbul dari hubungan perdagangan, industri

keuangan, jasa, dan lain-lain dikalangan umat Islam. Sejarah lahirnya Badan

Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) tidak terlepas dari perkembangan kehidupan


(50)

40

(Basyarnas) jelas memiliki hubungan dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia

dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berdasarkan syariah, serta Asuransi

Takaful yang telah lebih dahulu lahir.1

Dalam rapat kerja MUI seindonesia pada tanggal 24-27 november 1992,

rencana pembentukan arbitarase Islam menjadi agenda utama. Pada tanggal 29

Desember 1992 kelompok kerja pembentukan arbitrase hukum islam memberikan

laporan hasil kerja timnya, dihadapan para praktisi jajaran peradilan/hukum yang

terkenal yaitu H. Bismar Siregar dan H.M Yahya Harahap. Pada prinsipnya majelis

berpendapat bahwa kelompok kerja telah dapat melaksankan tugasnya sesuai dengan

harapan. Namun masih diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan khususnya

dalam segi struktur organisasi dan proedur beracara. Setelah diadakan

penyempurnaan-penyempurnaan terhdap rancangan yang ada, sebagai tindak lanjut

dari pertemuan sebelumnya, dewan pimpinan MUI mengeluarkan SK baru tentang

panitia persiapan dan peresmian badan arbitrase muamalat Indonesia yang bertugas

untuk mempersiapkan peresmian berdirinya BAMUI.2 Badan Arbitrase Syariah

Nasional (Basyarnas) berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu

instrument hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang dating dari

lingkungan bank syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan dari

kalangan non muslim pun dapat memanfaatkan Badan Arbitrase Syariah Nasional

1

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum

Nasional (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, Cetakan ke-1).h 357-359

2

Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait BAMUI,

TAKAFUL dan Pasar Modal Syariah di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, cetakan


(51)

41

(Basyarnas) sangat tepat, karena melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional

(Basyarnas), sengketa bisnis yang operasionalnya menggunakan hukum Islam dapat

diselesaikan dengan menggunakan hukum Islam pula.3

Sebenarnya sampai dengan tahun 2013 Basyarnas telah menangani kasus

sengketa ekonomi sebanyak 19 kasus. Dari 19 kasus tersebut terdapat lima putusan

yang ditetapkan sebelum adanya fatwa DSN, sebelum 1 April 2000, yaitu :

1. Putusan No. 01/Tahun 1997/BAMUI/Put/Ka.Jak

2. Putusan No. 02/Tahun 1998/BAMUI/Put/Ka.Jak

3. Putusan No. 03/Tahun 1998/BAMUI/Put/Ka.Jak

4. Putusan No. 04/Tahun 1999/BAMUI/Put/Ka.Jak

5. Putusan No. 05/Tahun 1999/BAMUI/Put/Ka.Jak

Putusan yang diuraikan hanya delapan putusan yaitu putusan yang ditetapkan

setelah adanya fatwa DSN yang pertama kali diterapkan pada tahun 2000 karena

dalam uraiannya akan dikaitkan dengan fatwa DSN.

6. Putusan No. 06/Tahun 2000/BAMUI/Put/Ka.Jak

7. Putusan No. 07/Tahun 2001/BAMUI/Put/Ka.Jak

8. Putusan No. 08/Tahun 2001/BAMUI/Put/Ka.Jak

9. Putusan No. 09/Tahun 2002/BAMUI/Put/Ka.Jak

10.Putusan No. 10/Tahun 2002/BAMUI/Put/Ka.Jak

3

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum


(52)

42

11.Putusan No. 11/Tahun 2002/BAMUI/Put/Ka.Jak

12.Putusan No. 12/Tahun 2002/BAMUI/Put/Ka.Jak

13.Putusan No. 13/Tahun 2007/BASYARNAS/Put/Ka.Jak4

DASAR HUKUM BASYARNAS 1. Al-Qur’an

a. Surat An-Nisa ayat 35

                              

Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

b. Surat Al-Hujurat ayat 9

                                           

Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil, Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

4

Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum

Nasional di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010, Cetakan


(53)

43

2. As-Sunnah

ص ها س قف ة يب يب سيل تس ق يب ث ا ف صت آج ء ج تل ق ﺃ ة س ﺃ ع ضقﺃ إ ضعب تجحب حلﺃ ضعب لعل شب ﺃ إ ها س لإ صت ت إ : س ي ع ها يخﺃ قح ل تيضق ف ع سﺃ ح ع يب آج لا بف . لا ةعطق ل عطقﺃ إف ه خ آف يش

ث تسا ث قحلا يخ ت ث سقت ف ب ف قف ا إ ﺃ : س ها س قف خ قح حا لك ق . س بلا ها . بح ص حا لك ل حيل 5

Artinya: Dari ummu salamah, ia berkata: telah datang dua orang laki-laki yang bersengketa tentang harta warisan kepada Rasulullah keduanya tidak dapat mengajukan bukti. Rasulullah berkata kepada mereka: sesungguhnya kalian telah mengadu kepada Rasulullah, padahal saya ini manusia biasa, barangkali sebahagian dari kamu adda yang lebih baik berargumentasi dari yang lainnya. Aku akan memutuskan perkara sesuai dengan apa yang aku dengar, siapa yang telah ditetapkan baginya hak orang lain maka janganlah diambil, karena aku telah memberikan padanya potongan api neraka. Maka menangislah kedua orang tersebut dan masing-masing berkata kepada yang lainnya, bagianku untuk saudaraku. Kemudian Rasulullah bersabda: kalau begitu, sekarang bangunlah kalian dan pergilah, bagilah harta warisan itu dan perhatikanlah hak kemudian tentukanlah porsinya dan saling menghalalkan satu sama lainnya.

3. Ijma’

لإ ق ل ﺃ ئ يبا ع ئ ب ح ش ع ح ش ب ا ق لا با ز ث ح ق ةبيتق بخﺃ ع س ي ع ها ص ها س ها إ ل قف س ي ع ها ص ها س ه ع ف حلا بﺃ

آك ض ف يب ت حف تﺃ ء ش ف ا ف تخا ا إ ق إ قف حلا بﺃ ت ف حلا يلإ حلا بكﺃ ف ق س ها بع ح ش ل ق ل لا كل ف ا سحﺃ ق يق فلا ت ف ح ش ق

ئ س لا ها .ه ل ل ع ف ح ش بﺃ 6

Artinya: Sesungguhnya hakam itu adalah allah dan hanya kepadanyalah dimintakan putusan hukum. Mengapa kamu dipanggil abu hakam, abu syuraih menjawab: bahwa sesungguhnya kaumku bila bertengkarakan datang kepadaku minta penyelesaian, dan kedua belah pihak akan rela dengan keputusanku. Mendengar jawaban abu syuraih itu, Rasulullah shollollhu

„alaihi wasallam lalu berkomentar: alangkah baiknya perbuatanmu itu,

apakah kamu mempunyai anak? Abu syuraih menjawab: ya, saya punya anak, yaitu syuraih, Abdullah, dan massalam. Lalu Rasulullah bertanya,

5

Al-Shan’ani, Subulu Al-Salam, (Kairo: Al-Masyhad Al-Husaini, t.t) h.121

6

Ahmad bin Syuaib Abu Abdurrahman al-Nasai, Sunan al-Nasai, (Kairo:Maktab


(54)

44

siapa yang tua? Abu syuraih menjawab: yang paling tua adalah syuraih. Kemudian Rasulullah berkata: kalau begitu, engkaulah adalah abu hakam, lalu Rasulullah memanggil anaknya tersebut yang bernama syuraih (HR. An-nasai).

4. Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Arbitrase menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 adalah cara

penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum, sedangkan lembaga arbitrase

adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan

putusan mengenai sengketa tertentu. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)

adalah lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud UU No. 30 Tahun 1999. Sebelum

UU 30 Tahun 1999 diundangkan, maka dasar hukum berlakunya arbitrase adalah :

a. Reglemen Acara Perdata (Rv. S. 1847 : 52) Pasal 615 sampai dengan 651,

Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR. S.1941 : 44) Pasal 377 dan

Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg S.1927 : 227)

Pasal 705.

b. UU 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman : Penjelasan Pasal 3 ayat 1.

c. Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI.


(55)

45

5. SK MUI

SK Dewan Pimpinan MUI No.Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal

1424 (24 Desember 2003) tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional. Badan

Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah lembaga hakam (arbitrase syariah)

satu-satunya di Indonesia yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa

muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, perdagangan, industri,

jasa dan lain-lain.7

6. Fatwa DSN-MUI

Semua fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

perihal hubungan muamalah (perdata) senantiasa diakhiri dengan ketentuan : “Jika

salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan

diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan

Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. (Lihat Fatwa No.05 tentang Jual Beli Saham, Fatwa No.06 tentang Jual Beli Istishna’, Fatwa No.07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No.08 tentang Pembiayaan

Musyarakah, dan seterusnya).8

7

Badan Arbitrase Syariah Nasional, Profil dan Prosedur Badan Arbitrase Syariah

Nasional, (Jakarta: BASYARNAS, 2003). h 6

7


(56)

46

B. Prosedur Arbitrase di BASYARNAS

Menurut Basyarnas langkah-langkah yang harus ditempuh dalam berperkara

adalah :

1. Persetujuan arbitrase harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani kedua

belah pihak.

2. Jumlah wasit harus ganjil. Arbiter yang menerima penunjukan tidak boleh

mengundurkan diri.

3. Pengajuan permohonan arbitrase harus secara tertulis sekurang-kurangnya

harus memuat; nama lengkap dan tempat atau kedudukan para pihak; uraian

singkat tentang duduk sengketa; apa yang dituntut pada surat permohonan

harus dilampirkan salinan dari naskah perjanjian yang memuat perjanjian

arbitrase, Apabila permohonan diajukan oleh seorang kuasa, maka surat

permohonan selain harus dilampirkan salinan surat diatas juga harus

melampirkan surat kuasa khusus.

4. Apabila pemohon pada sidang pertama tidak hadir sedangkan ia telah

dipanggil sepatutnya, maka permohonan pemohon digugurkan. Bila pada

sidang pertama termohon tidak hadir sedangkan ia telah dipanggil sepatutnya,

maka arbiter/majelis arbiter akan memerintahkan agar termohon dipanggil

sekali lagi untuk terakhir kali menghadap dimuka siding selambat-lambatnya

dalam waktu 14 hari. Apabila termohon masih tetap tidak hadir, maka


(57)

47

5. Keputusan harus memuat alasan-alasan kecuali bila disepakati.

6. Keputusan harus diambil berdasarkan kepatutan dan keadilan yang sesuai

dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi perjanjian yang menimbulkan

sengketa yang disepakati para pihak.

7. Putusan bersifat final and binding.

8. Dalam hal putusan tidak ditaati secara sukarela, maka putusan diajukan

menurut ketentuan dalam RV.

Prosedur beracara maupun pelaksanaan putusannya yang dimulai dari

pendaftaran, pemeriksaan, sampai putusan sebagaimana diuraikan diatas adalah

mengacu pada UU. No.30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian

sengketa. Untuk biaya perkara, pihak yang bersengketa dikenakan biaya pendaftaran,

biaya pemeriksaan, dan honor arbiter. Apabila ada pihak yang tidak mau

melaksanakan putusan secara sukarela, Basyarnas akan mendaftarkan eksekusi ke

ketua pengadilan.9

9

Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia,


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)