SEPUTAR PENAHANAN AKBAR TANJUNG

SEPUTAR PENAHANAN AKBAR TANJUNG
Penahanan Akbar Tanjung oleh Kejaksaan Agung telah menimbulkan heboh
politik nasional. Publik pada umumnya menyambut positif. Harapan dan nilai positif dari
penahanan itu ialah, hukum sedang mulai ingin ditegakkan terutama dalam upaya
pemberantasan koruspsi di negeri ini. Bagaimana seorang Ketua DPR-RI dan juga Ketua
Umum Partai Golkar, pada akhirnya harus berhadapan dengan proses hukum.
Namun masih banyak catatan di balik harapan positif tersebut. Publik juga diliputi
rasa cemas dan khawatir, bahwa kasus Akbar Tanjung tidak akan bermuara ke
pengadilan. Dengan kata lain, proses hukum tidak akan tuntas sebagaimana harapan
masyarakat.
Keraguan itu bukan tanpa alasan. Bagi sementara pihak, penahanan itu bernuansa
politik, sehingga sangat mungkin berhenti dengan deal-deal politik juga. Jika kabar yang
beredar benar, bahwa PDI-P melakukan intervensi kepada Kejaksaan Agung agar Akbar
segera ditahan agar proses politik soal Buloggate II di DPR berhenti dengan koversi
proses hukum, maka pertukaran politik yang lain sangat mungkin terjadi. Bahwa pada
akhirnya, penahanan terhadap Akbar Tanjung itu diasumsikan tidak akan bermuara pada
pengadilan atau proses hukum yang tuntas.
Ancaman partai Golkar terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri boleh
jadi akan ikut mempengaruhi proses politik di balik proses hukum Akbar. Memang PDI-P
memangdang sikap Golkar sebagai gertak sambel, tetapi politik sangat berpeluang pada
segala kemungkinan. Di tubuh PDI-P sendiri banyak celah untuk dimasuki kepentingankepentingan politik, sehingga terbuka kemungkinan-kemungkinan deal politik seputar

penahanan Akbar Tanjung.
Kekhawatiran publik juga cukup realistis. Perkembangan berikutnya
menunjukkan, bahwa dua tersangka Buloggate II, yaitu Dadang Ruskandar (Ketua
Yayasan Raudatul Jannah) dan Winfried Simatupang (kontraktor penyalur Sembako)
secara diam-diam telah mengembalikan dana yang jadi heboh itu kepada Kejaksaan
Agung. Pengembalian dana tersebut menunjukkan, bahwa pembagian Sembako yang
menjadi kepentingan mengucurnya dana 40 milyar rupiah itu, ternyata tidak terjadi.
Lebih dari itu, pemgembalian dana tersebut akan menembus satu hal penting
dalam proses hukum, bahwa negara tidak dirugikan oleh para tersangka kasus Buloggate
II itu. Hal itu berarti, mereka akan memperlemah proses hukum di Kejaksaan Agung,
juga untuk proses hukum berikutnya.
Maka, di balik harapan positif, juga masih menggelantung kecemasan-kecemasan
dan pesimisme di balik penahanan terhadap Akbar Tanjung. Kita juga dapat menunggu
lebih lanjut, benarkah pemerintah sungguh-sungguh untuk menegakkan supremasi
hukum, khususnya dalam pemberantasan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) di negeri ini.
Telah menjadi rahasiah umum bahwa KKN di Indonesia telah menjadi gurita
nasional. Jika pemerintahan Megawati melalui Kejaksaan Agung benar-benar serius
untuk memberantas KKN dan menuntaskan kasus-kasus penyelewengan uang dan
kekayaan negara, maka muncul tantangan berikutnya. Maukah pemerintah sendiri
memberantas KKN yang dilakukan oleh oknum-oknum yang terkait dengan lingkaran

kekuasaan pemerintahan baru Megawati Soekarnoptri, secara tanpa pandang bulu.
Beranikan Kejaksaan Agung menyeret para pengusaha dan pejabat yang terlibat dalam
kasus BLBI, para obligor yang merugikan negara, dan siapapun yang menggeorogoti

kekayaan negara secara objektif. Masih banyak para koruptor yang belum tersentuh oleh
hukum, yang sangat dinantikan oleh rakyat untuk diseret ke pengadilan.
Tantangan lain, maukah dan mampukah pemerintahan Megawati hingga ke bawah
untuk menjadi pelaku pemerintahan yang bersih, sebagaimana sapu bersih untuk
menyapu lantai kotor. Masalah ini tidaklah mudah, karena menyangkut keteladanan dan
keberanian untuk menegakkan hukum di lingkungan sendiri. Karena itu, di balik kasus
penahanan Akbar Tanjung, terbentang rimba belantara bagi upaya pemberantasan KKN
dan penegakkan hukum di Indonesia. Semoga, semua pihak berani berbuat adil untuk
dirinya, bukan sekadar untuk pihak lain. (HNs).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002