Syahrizal Akbar S841108032

(1)

commit to user

KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM

NOVEL

TUAN GURU

KARYA SALMAN FARIS

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Prasyaratan Mencapai Derajat Magister

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

Syahrizal Akbar

S841108032

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA


(2)

commit to user


(3)

commit to user


(4)

commit to user


(5)

commit to user

v

MOTO

Matahari dan bulan muncul pada waktunya masing-masing

Waktu yang tepat tak menunggu siapa pun.

Waktu yang tepat sulit diperoleh, namun mudah dilewatkan.

Itulah sebabnya orang bijak menghargai waktu yang sedikit daripada sepotong

permata.


(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

1.

Kedua orang tuaku; Abubakar, S.Pd. dan Rohana, S.Pd. yang selalu

mencurahkan kasih sayang , doa, dan bantuan materil serta nonmateril.

2.

Kakanda Heri Setiawan Putra, S.Pd. dan adikku Ikrimatul Ismi yang selalu

memanjatkan doa dan memberikan dukungan.

3.

Seluruh keluarga besar H. Karim Khalik dan H. Zakaria Maman, Paman,

Bibi, serta sepupu-sepupuku yang memberikan motivasi.


(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat-Nya. Atas ridha dan karunia-Nya tesis ini dapat saya

selesaikan. Dalam penyelesaian tesis ini, saya memperoleh bantuan dari berbagai

pihak. Karena itu, pada kesempatan ini dengan tulus saya menyampaikan ucapan

terima kasih kepada semua pihak berikut ini.

1.

Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret, yang

telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan

menyelesaikan Program Pascasarjana di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2.

Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. selaku Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan kesempatan kepada

peneliti untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Universitas

Sebelas Maret.

3.

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta

yang telah memberikan arahan dan petunjuk hingga selesainya tesis ini.

4.

Prof. Dr. Andayani, M.Pd. sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa

Indonesia sekaligus selaku pembimbing II yang berkenan meluangkan waktu

untuk membimbing dan memberikan arahan dengan penuh kesabaran,

ketekunan, dan ketelitiannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

5.

Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. selaku pembimbing I yang telah berkenan

meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan dengan


(8)

commit to user

viii

penuh kesabaran, ketekunan, dan ketelitiannya, sehingga tesis ini dapat

diselesaikan.

6.

Bapak dan Ibu Dosen Pragram Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia

yang dengan tulus dan ikhlas memberikan ilmunya kepada peneliti sehingga

dapat menjadi bekal untuk penyusunan tesis.

7.

Orang tua, kakak, dan adik yang selalu mendoakan dan memberikan

dukungan materil maupun non materil kepada peneliti.

8.

Khusus kepada Trisnawati Hutagalung, M. Pd. yang selalu memotivasi dan

membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

9.

Rekan terdahulu yang memberikan arahan dan motivasi kepada peneliti; Pak

Dokter Budi, Kurnia Taufik, Bli Made Sutaryawan, Gede Prapta Cahya, Bayu

‘Bondol’, dan Ade Asih Susiaritantri.

10.

Rekan serantau; Pak Dewa, Kamajaya ‘Kabhet’, Eka ‘Sukrok’, Yudi

‘Bracuk’, Yadi, Fili, Fahmi, Kak Rima, Agnes, Yuvita Eri, Luh Eka, Nia,

adinda Hespy ‘Pepy’, serta Khalid-Rafi yang memberikan doa serta motivasi

dalam penyelesaian tesis ini.

11.

Bunda Netty Yuniarti, Bunda Fitriani, Bunda Rini Agustina, Bunda Herlina,

Joko Purwanto, M. Jaelani Alpansori, Apri Kartika, Dian Ratna, Miranti

Sudarmaji, Nur Irfansyah, Anang Sudigdo merupakan teman seperjuangan

dalam menuntut ilmu dan saling memotivasi.

12.

Seluruh staf administrasi pada Program Pascasarjana Universitas Sebelas

Maret yang telah memberikan fasilitas untuk kelancaran studi penulis.


(9)

commit to user

ix

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan, dan kiranya Tesis ini

memberikan manfaat dan kontribusi yang berarti dalam perkembangan ilmu

pengetahuan.

Surakarta, Desember 2012


(10)

commit to user

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...

PENGESAHAN PEMBIMBING ………...

PENGESAHAN PENGUJI………...

SURAT PERNYATAAN ……….

MOTO...

PERSEMBAHAN...

KATA PENGANTAR ………..

DAFTAR ISI ……….

ABSTRAK ………

ABSTRACT

………

BAB 1 PENDAHULUAN ………

A.

Latar Belakang ………...

B.

Rumusan Masalah ………..

C.

Tujuan Penelitian ………...

D.

Manfaat Penelitian ……….

BAB II LANDASAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN

KERANGKA BERFIKIR ………...

A.

Landasan Teori ………...

1.

Hakikat Kajian Sosisologi Sastra ………..…………...

a.

Pengertian Sosiologi Sastra ………

b.

Perspektif Sosiologi Sastra ………

c.

Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra ………...

2.

Hakikat Novel ………..………

a.

Pengertian Sastra ………..

b.

Pengertian Novel ………

3.

Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel ………...

a.

Pengertian Nilai Pendidikan dalam Novel ……….

i

ii

iii

iv

v

vi

vii

x

xiii

xiv

1

1

4

5

5

7

7

7

7

11

12

16

16

19

22

22


(11)

commit to user

xi

b.

Jenis-jenis Nilai Pendidikan dalam Novel ……….

4.

Sastra dalam Konteks Sosiobudaya ……….

5.

Pandangan Masyarakat Lombok terhadap Eksistensi

Tuan Guru ………

B.

Penelitian yang Relevan ………...

C.

Kerangka Berpikir ………..

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….

A.

Setting

Penelitian ………...

B.

Rancangan Penelitian ………....

C.

Metode Penelitian ………..

D.

Bentuk dan Strategi Penelitian ………..

E.

Data dan Sumber Data ………...

F.

Teknik Pengumpulan Data ……….

G.

Validitas Data ……….

H.

Teknik Analisis Data ………..

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………...

4.1 Hasil Penelitian ………..

1. Pandangan Dunia Pengarang terhadap Eksistensi Tuan Guru dalam

Novel

Tuan Guru

………..

2. Latar Belakang Sosial-Budaya Masyarakat dalam Novel

Tuan Guru

……

a.

Adat dan Kepercayaan ………..

b.

Pekerjaan ………

c.

Pendidikan ………..

d.

Agama ………...

e.

Tempat Tinggal ……….

f.

Bahasa ………

g.

Suku ………...

3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel

Tuan Guru

………..

a.

Nilai Pendidikan Sosial ……….

b.

Nilai Pendidikan Moral ………..

c.

Nilai Pendidikan Budaya ………...

24

29

31

35

36

39

39

40

41

41

42

42

43

43

45

45

45

51

51

56

58

60

61

65

66

67

67

72

76


(12)

commit to user

xii

d.

Nilai Pendidikan Agama ………

e.

Nilai Pendidikan Ekonomi ……….

f.

Nilai Pendidikan Politik ……….

g.

Nilai Pendidikan Historis ………..

4.2 Pembahasan ………

1. Pandangan Dunia Pengarang terhadap Eksistensi Tuan Guru dalam

Novel

Tuan Guru

………..

2. Latar Belakang Sosial-Budaya Masyarakat dalam Novel

Tuan Guru

…...

3. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel

Tuan Guru

………..

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A.

Simpulan ………

B.

Implikasi ………

C.

Saran ………..

DAFTAR PUSTAKA ………

LAMPIRAN

79

82

84

86

90

90

93

102

119

126

128

130


(13)

commit to user

xiii

SYAHRIZAL AKBAR. NIM: S8

4

1108032. 2012.

Kajian Sosiologi Sastra dan

Nilai Pendidikan dalam Novel “Tuan Guru” Karya Salman F aris

. TESIS.

Pembimbing I: Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. II: Prof. Dr. Andayani, M.Pd.

Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan

dunia pengarang mengenai eksistensi Tuan Guru, latar belakang sosial budaya

masyarakat, dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel

Tuan Guru

karya Salman Faris.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan metode

content analysis

atau analisis isi. Metode ini digunakan untuk menelaah isi dari

suatu dokumen. Dokumen dalam penelitian ini adalah novel

Tuan Guru

karya

Salman Faris. Tahapan analisis dokumen dimulai dari tahap pembacaan,

pencatatan dokumen, hingga analisis dokumen. Validitas data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan

meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan simpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Lombok,

khususnya Lombok Timur berdasarkan kacamata Salman Faris menganggap

bahwa tuan guru merupakan sosok yang mampu memberikan garansi masuk

surga, doa yang dipanjatkan tuan guru lebih cepat diijabah oleh Allah

dibandingkan manusia lainnya dan masyarakat tidak memandang ada cela sedikit

pun dari sosok tuan guru. Latar belakang sosial budaya masyarakat mencakup

adat dan kepercayaan, pekerjaan, pendidikan, agama, tempat tinggal, bahasa, dan

suku. Adapun nilai-nilai pendidikan yang terkandung adalah pendidikan sosial,

moral, budaya, agama, ekonomi, politik, dan historis.


(14)

commit to user

xiv

SYAHRIZAL AKBAR. NIM: S8

4

1108032. 2012.

Sociological Literature and

Educational Value Investigation in Novel Entitled “Tuan Guru” by Salman F aris.

THESIS. Advisor I: Prof. Dr. Retno Winarni, M.Pd. II: Prof. Dr. Andayani,

M.Pd. Indonesian Education Study Program, Postgraduate Program, Sebelas

Maret University.

ABSTRACT

This research aims are describe and explain the writer’s point of view by the

existence of Tuan Guru, society’s socio-cultural background, and educational

values involved in the novel entitled

Tuan Guru

by Salman Faris.

This research method is descriptive qualitative research by using content

analysis

.

This method is used to research the content of a document. The

document of this research is novel entitled

Tuan Guru

written by Salman Faris.

The document analyzing phases are started from reading phase, document

recording, up to document analysis. Data validity that is used in this research is

theoretical triangulation. Analysing data technique which is used involves data

colection, data reduction, data presentation, and conclusion.

The result of this research points out that the majority of Lombok society,

especially Eastern Lombok in Salman Faris’ point of view, considers that Tuan

Guru is a figure that could give a guarantee to reach the Heaven, the prayer which

is uttered by Tuan Guru would be granted by God quicker than any other people,

and the society does not see any single flaw from the figure of Tuan Guru. The

socio-cultural background of the society includes custom and belief, occupation,

religious educational, place of living, language, and ethnicity. In addition, the

included educational values are social, moral, cultural, religious, economic,

politic, and historical education.

Keywords: novel, content analysis, sociological literature, and educational value


(15)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Karya sastra merupakan sebuah replika realitas kehidupan yang

ditampilkan pengarang dengan bantuan daya imajinasinya. Karya sastra dianggap

sebagai cermin kehidupan yang mengalir di tengah-tengah masyarakat. Hal ini

mengingat bahwa sebuah karya sastra tidak akan pernah lahir dari kekosongan

sosial budaya yang terjadi dalam siklus kehidupan suatu masyarakat.

Fenomena-fenomena yang diangkat oleh seorang sastrawan dalam karya

sastra meliputi hampir segala aspek kehidupan yang dialami oleh masyarakat. Hal

tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Waluyo (2002: 51) yang

menyatakan bahwa latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan,

adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, dalam cara berpikir, cara

memandang sesuatu, dan sebagainya.

Ramuan antara realitas kehidupan yang terjadi di tengah masyarakat

dengan daya imajinasi pengarang menghasilkan sebuah rentetan kisah kehidupan

yang terlihat nyata walaupun unsur fiktif yang dibubuhkan oleh pengarang

terkadang seimbang bahkan lebih dari kenyataan yang dilukiskan. Namun,

pemilihan unsur fiktif yang memang masuk akal membuat sebuah karya sastra

memiliki nilai tinggi baik sebagai teladan maupun refleksi kehidupan.

Dengan membaca sebuah karya sastra, pembaca akan mendapat gambaran

tentang keadaan sebuah tempat yang dilukiskan dalam karya sastra, baik tentang


(16)

commit to user

masyarakatnya maupun kondisi tempat yang dilukiskan dalam sebuah karya

sastra.

Novel sebagai salah satu jenis karya satra menampilkan sebuah dunia yang

mengemas model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun

melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh (dan

penokohan), latar, sudut pandang, dan sebagainya yang kesemuanya juga bersifat

imajinatif (Nurgiyantoro, 2007: 4). Novel belakangan ini banyak diminati karena

mengangkat tema-tema yang dekat dengan pembaca, juga tak luput dari unsur

ekstrinsik di samping unsur intrinsik yang memang saling bersinergi untuk

menciptakan kesatuan cerita yang padu.

Penentuan novel

Tuan Guru

karya Salman Faris sebagai objek yang dikaji

dalam penelitian ini karena novel tersebut menguak tentang kehidupan religius

dan sosial budaya masyarakat Lombok, khususnya Lombok Timur. Salman Faris

berani mengupas sisi kehidupan seorang Tuan Guru bukan hanya sisi positif tetapi

juga sisi negatifnya. Tuan Guru yang selama ini merupakan anutan semua

masyarakat Lombok dalam berperilaku dan merupakan hal yang tabu bagi seluruh

masyarakat membicarakan “kekurangannya”, berani dikupas oleh Salman Faris.

Dalam novel

Tuan Guru

, Salman Faris mengemukakan beberapa watak

tokoh Tuan Guru yang sebenarnya selama ini ada di tengah-tengah kehidupan

masyarakat. Sosok Tuan Guru tidak hanya memberikan contoh prilaku yang bijak

meski dalam ceramah-ceramah yang dilakoninya menyerukan tentang kebaikan.

Tetapi sosok pencerah yang selama ini dipanggil Tuan Guru oleh masyarakat

Lombok memang ada yang selaras antara apa yang diucapkan dengan yang


(17)

commit to user

dilakukan. Kehidupan sosial budaya masyarakat Lombok, khususnya di daerah

peneliti di Lombok Timur, masyarakat masih memegang teguh bahwa sosok yang

sudah memiliki gelar Tuan Guru merupakan sosok terbaik, pencerah yang

mewakili Nabi, hingga bisa diibaratkan bahwa tidak ada cela bagi mereka.

Novel

Tuan Guru

karya Salman Faris yang dominan mengangkat sisi

kehidupan sosial budaya masyarakat Lombok dianalisis dengan menggunakan

pendekatan sosiologi sastra yang memang selaras dan tepat untuk mengupas

tuntas isi novel tersebut. Ada tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra,

yaitu: (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang

di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2)

penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan

(3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan

keadaan sosial budaya (Laurenson dan Swingewood dalam Endraswara, 2008:

79).

Dalam analisisnya, ketiga hal tersebut bisa diulas secara terpisah tetapi

bisa juga secara bersamaan dalam suatu penelitian sosiologi sastra. Hal ini

tergantung kemampuan peneliti untuk menggunakan salah satu perspektif atau

ketiga-tiganya sekaligus (Endraswara, 2008: 79). Semakin lengkap pemakaian

perspektif yang digunakan, semakin lengkap pula pemahaman karya sastranya.

Semuanya itu tergantung pada sasaran atau tujuan penelitian yang ingin dicapai.

Segala sesuatu yang dilukiskan oleh sastrawan dalam sebuah novel

merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dikesampingkan dalam melakukan

sebuah analisis. Sosiologi sastra tidak bisa mengenyampingkan peran ilmu lain


(18)

commit to user

dalam analisisnya meskipun fokus kajian berbeda-beda, misalnya dalam

menganalisis sosial budaya masyarakat, pasti diperlukan ilmu-ilmu sosial ataupun

ilmu-ilmu budaya. Seperti yang dikemukakan oleh Goldman (1997: 493):

“ the sociologist of literature must—like any other sociologist—verify this fact and not admit straightaway that such and such a work or such and such a group of works which he is studying constitutes a unitary structure” .

Terkait dengan pandangan tersebut, dalam penelitian ini mengkaji tentang

pandangan dunia pengarang, sosial budaya yang dilukiskan pengarang dalam

novel, serta nilai pendidikan yang terkandung dalam novel

Tuan Guru

karya

Salman Faris. Pengambilain nilai pendidikan sebagai salah satu masalah yang

dikaji dalam penelitian ini karena setiap karya pasti mengandung nilai-nilai

kehidupan yang mendidik pembaca. Kajian terhadap nilai pendidikan tersebut

akan menjadi nilai tambah penting bagi pembaca.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang penelitian, dapat dirumuskan

masalah penelitian sebagai berikut.

1.

Bagaimanakah pandangan dunia pengarang mengenai eksistensi Tuan Guru

dalam novel

TuanGuru

karya Salman Faris?

2.

Bagaimanakan latar belakang sosial budaya masyarakat yang terkandung

dalam novel

TuanGuru

karya Salman Faris?

3.

Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam novel

Tuan Guru


(19)

commit to user

C.

Tujuan Penelitian

Tujuan penenlitian ini adalahsebagai berikut.

1.

Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan dunia pengarang mengenai

eksistensi Tuan Guru dalam novel

TuanGuru

karya Salman Faris.

2.

Mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial budaya masyarakat

yang terkandung dalam novel

TuanGuru

karya Salman Faris.

3.

Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung

dalam novel

TuanGuru

karya Salman Faris.

D.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang terdapat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua aspek

pokok, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.

Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini adalah memberikan sumbangan teori bagi

pengembangan khazanah keilmuan khususnya dalam ilmu bahasa dan sastra

Indonesia.

2.

Manfaat Praktis

a.

Bagi Guru

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber ajar dalam mengajar materi

sastra khususnya berkaitan dengan novel.

b.

Bagi Siswa

Hasil penelitian ini menjadi bahan belajar yang dapat digunakan siswa

dalam memahami nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam sebuah

karya sastra khususnya novel.


(20)

commit to user

c.

Bagi Pembaca

Hasil penelitian ini dapat dijadikan pelajaran dalam memahami

aspek-aspek kehidupan yang terdapat dalam sebuah karya sastra untuk

diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.


(21)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI, PENELITIAN RELEVAN,

DAN KERANGKA BERPIKIR

A.

Landasan Teori

1.

Hakikat Kajian Sosiologi Sastra

a.

Pengertian Sosiologi Sastra

Kata “kajian” dapat berarti (1) pelajaran, (2) penyelidikan. Mengacu dari

pengertian tersebut, kata kajian mempunyai makna meluas, yaitu proses: cara,

perbuatan mengkaji, penyelidikan (pelajaran yang mendalam) dan penelaahan.

Kemudian dalam arti pelajaran yang mendalam (penyelidikan) , kata kajian bisa

memiliki kaitan makana dengan kata penenlitian, dalam arti kegiatan

pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara

sistematis dan objektif untuk memcahkan suatu persoalan atau menguji suatu teori

untuk mengembangkan prinsip umum. Kata kajian bersinonim dengan kata telaah.

Kata telaah berarti penyelidikan, kajian, pemeriksaan, penelitian. Penelaahan

berarti proses, cara, perbuatan menelaah.

Dalam menganalisis sebuah karya sastra (novel) Kenny memberikan

perincian yang lengkap. Kenny (1966: 6-7) mengatakan bahwa:

“ To analyze a literary work is to identify the sparate parts that’s makes it up (this correspondsrougly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole.”


(22)

commit to user

Menganalisis sebuah karya sastra adalah mengidentifikasi bagian-bagian,

menentukan hubungan antara bagian, dan menemukan hubungan

bagian-bagian untuk keseluruhan. Terakhir, analisis selalu bermuara pada pemahaman

tentang karya sastra sebagai suatu kesatuan yang utuh dan kompleks.

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.

Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai

cermin kehidupan masyarakat. Arenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra

adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial (Endarswara, 2008: 77).

Sosiologi dan sastra memiliki objek kajian yang sama, yakni hubungan sosial

kemasyarakatan. Sastra berkembang di masyarakat sepanjang zaman dan sosiologi

merupakan ilmu yang menelaah kehidupan sosial dalam segala bentuknya.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Pospelov (1967: 534):

What is the relationship between literature and sociology? Literature is an art that develops in human society throughout the ages quite independently of sociology, whereas sociology is a science whose purpose is to discover the objective laws of social life in all its manifestations including creative art.

Menurut Jabrohim (2003: 158), pendekatan terhadap sastra yang

mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut

sosiologi sastra. Istilah ini pada dasarnya tidak berbeda pengertian dengan

sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra.

Kajian sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan,

masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoretis tertentu, tetapi

semua pendekatan itu menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai


(23)

commit to user

perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial, yang dciptakan oleh sastrawan

sebagai anggota masyarakat (Sapardi Djoko Damono dalam Jabrohim, 2003:

158-159).

Tujuan penelitian sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran

yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara

sastrawan, karya sastra, dan masyarakat (Jabrohim, 2003: 159).

Endraswara (2008: 78) menyatakan bahwa hal penting dalam sosiologi

sastra adalah konsep cermin (

mirror

). Dalam kaitan ini, sastra dianggap sebagai

mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah

ilusi atau khayalan dari kenyataan.

Pendapat yang lebih rinci disampaikan oleh Junus (dalam Sangidu, 2004:

27) mengungkapkan bahwa dalam penelitian sosiologi sastra terdapat dua corak,

yaitu (1) pendekatan

sociology of literature

(sosiologi sastra) yang bergerak dan

melihat faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada suatu masa tertentu.

Jadi, pendekatan ini melihat faktor sosial sebagai mayornya dan sastra sebagai

minornya; (2) pendekatan

literary sociology

(sosiologi sastra) yang bergerak dari

faktor-faktor sosial yang terdapat di dalam karya sastra dan selanjutnya digunakan

untuk memahami fenomena sosial yang ada di luar teks sastra. Jadi, pendekatan

ini melihat dunia sastra atau karya sastra sebagai mayornya dan fenomena sosial

sebagai minornya.

Kedua corak tersebut sama-sama menelaah permasalahan yang sama,

yakni hubungan antara karya sastra dan realitas sosial yang diangkat dalam karya

sastra tersebut. Perbedaannya terdapat pada awal penelitian, corak pertama


(24)

commit to user

dimulai dari menelaah realitas sosial yang dihubungkan dengan karya sastra,

sedangkan corak kedua memulai penenlitian dengan menelaah karya sastra yang

dihubungkan dengan realitas sosial.

Untuk melukiskan hubungan antara faktor-faktor sosial yang terkandung di

dalam teks sastra (realita literer) dengan faktor-faktor sosial yang ada di dalam

masyarakat (realita empiris), diperlukan metode dialektik (hubungan timbal balik)

antara karya sastra dengan realitas sosial (Sangidu, 2004: 28).

Lebih lanjut, Sangidu (2004: 28-29) menjelaskan bahwa teknik yang

diperlukan untuk menjalankan metode dialektik (hubungan timbal balik) antara

faktor-faktor sosial yang terkandung dalam karya sastra dengan faktor-faktor

sosial yang terkandung dalam karya sastra dengan faktor-faktor sosial yang ada

dalam masyarakat, yaitu (1) analisis faktor-faktor sosial yang terkandung dalam

karya sastra yang akan atau sedang diteliti, (2) analisis faktor-faktor sosial yang

ada dalam masyarakat atau literatur-literatur yang menjelaskan kondisi

masyarakat tempat karya yang akan atau sedang diteliti itu lahir, dan (3) kedua hal

tersebut dihubungkan untuk melihat ada kesesuaian antara faktor-faktor sosial

yang terdapat dalam karya sastra dengan faktor-faktor sosial yang ada dalam

masyarakat. Artinya, peneliti menguraikan latar belakang sosial budaya tempat

pengarang tinggal dan hidup dalam lingkungan sosialnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra

merupakan pendekatan yang menelaah tentang hubungan antara realitas sosial

yang ada dalam masyarakat dengan realitas literer yang ada dalam teks sastra

tanpa mengenyampingkan cermin situasi penulisnya.


(25)

commit to user

b.

Perspektif Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia.

Sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa

depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Dari pendapat ini, tampak

bahwa perjuangan panjang hidup manusia akan selalu mewarnai teks sastra.

Goldmann (dalam Endraswara, 2008: 79) mengemukakan tiga ciri dasar,

yaitu: (1) kecenderungan manusia untuk mengadaptasikan dirinya terhadap

lingkungan, dengan demikian ia dapat berwatak rasional dan signifikan di dalam

korelasinya dengan lingkungan, (2) kecenderungan pada koherensi dalam proses

penstrukturan yang global, dan (3) dengan sendirinya ia mempunyai sifat dinamik

serta kecenderungan untuk merubah struktur walaupun manusia menjadi bagian

struktur tersebut.

Menurut Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara, 2008: 79),

terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian

yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya

merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian

yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3)

penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan

keadaan sosial budaya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkam bahwa ada tiga perspektif

sosiologi sastra, yakni penelitian yang memandang karya sastra sebagai cermin

suatu masa tertentu, cermin kehidupan situasi sosial pengarang, dan sastra

mengandung peristiwa sejarah dan sosial budaya suatu masyarakat.


(26)

commit to user

c.

Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra

Untuk sasarannya sendiri, sosiologi sastra dapat diperinci ke dalam

beberapa bidang pokok, antara lain sebagai berikut.

1)

Konteks Sosial Sastrawan

Konteks sosial sastrawan ada hubungannya dengan posisi sosial

sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.

Dalam bidang ini termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat

mempengaruhi sastrawan sebagai individu di samping dapat mempengaruhi

karya sastranya.

Dalam hal ini kaitan antara sastrawan dan masyarakat sangat penting,

sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu

menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka.

Abrams (1971: 198) mengatakan bahwa sastrawan sebagai anggota

masyarakat tidak lepas dari tata masyarakat dan kebudayaannya. Semuanya

itu sangat berpengaruh dalam karya sastranya ataupun tercermin dalam karya

sastranya. Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak

terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan

kekuatan-kekuatan pada zamannya.

2)

Sastra sebagai cermin Masyarakat

Sastra mencerminkn keadaan masyarakatnya. Kata “cermin” dalam hal

ini menimbulkan gambaran yang kabur, dan oleh karenanya sering

disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini terutama harus

mendapat perhatian adalah: (1) sastra mungkin tidak dapat dikatakan


(27)

commit to user

mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, (2) sifat “lain dari yang

lain” seorang pengarang atau sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan

penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (3) genre sastra sering

merupakan sikap sosial seluruh kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial

seluruh masyarakat, (4) sastra yang berusaha menampilkan keadaan

masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau

diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya sastra

yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat

secara teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk

mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan harus

dipertimbangkan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin masyarakat

(Jabrohim, 2003: 159-160).

Hubungan sastra dengan masyrakat juga disampaikan oleh Wellek dan

Warren (1956: 94):

Literature is a social institution, using as its medium language, a social creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society. But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in large measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or subjective world of individual have also been objects of literary ‘imitation’. The poet himself is a member of society, possessed of a specific social status; he receives some degree of social recognition and reward; he addresses an audience, however hypothetical

Sastra adalah lembaga sosial, menggunakan sebagai bahasa pengantar

nya, ciptaan sosial. Mereka adalah konvensi dan norma yang bisa muncul

hanya dalam masyarakat. Tetapi, sastra representasi kehidupan; dan


(28)

commit to user

kehidupan dalam cakupan yang besar, sebuah realitas sosial, walaupun dunia

alam dan dunia batin atau subjektif individu juga telah benda sastra 'imitasi'.

Penyair sendiri adalah anggota masyarakat, memiliki suatu status sosial

tertentu, ia menerima beberapa derajat pengakuan sosial dan penghargaan, ia

membahas penonton, namun hipotetis.

Menurut Edraswara (2008: 87-88), sosiologi sastra adalah penelitian

tentang: (a) studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif, (b) studi

lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya, (c) studi proses sosial, yaitu

bagaimana masyarakat bekerja, bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana

mereka melangsungkan hidupnya. Sosiologi sastra juga berhubungan dengan

dunia sosial manusia, adaptasi dengan lingkungan, dan keinginan manusia untuk

mengubahnya. Dalam novel sebagai

genre

utama dalam masyarakat industrial,

dapat dilihat sebagai usaha untuk menciptakan kembali kehidupan sosial manusia

dalam hubungannya dengan keluarga, politik, dan negara (Swingewood, 1071:

11).

Sasaran kajian sosiologi sastra juga dikemukakan oleh Leenhardt (1967:

517):

“ The expression 'sociology of literature' covers two very different types of research, bearing respectively on literature as a consumer product and

literature as an integral part of

karya

social reality, or, considered from

another angle, bearing on society as the place of literary consumption and society as the subject of literary creation.”

Jadi, sosiologi sastra menelaah kapasitas masyarakat sebagai pencipta

karya sastra dan karya sastra sebagai konsumsi masyarakat.


(29)

commit to user

Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam sastra tersebut, selanjutnya

dihubungkan dengan beberapa hal, yakni: (a) konsep stabilitas sosial, (b) konsep

kesinambungan masyarakat yang berbeda, (c) bagaimana seorang individu

menerima individu lain dalam kolektifnya, (d) bagaimana proses masyarakat

dapat berubah secara bertingkat, (e) bagaimana perubahan besar masyarakat.

Berbagai aspek tersebut, sesungguhnya masih dapat diperluas lagi menjadi

berbagai refleksi sosial sastra, antara lain: (a) dunia sosial manusia dan seluk

beluknya, (b) penyesuaian diri individu pada dunia lain, (c) bagaimana cita-cita

untuk mengubah dunia sosialnya, (d) hubungan sastra dan politik, (e)

konflik-konflik dan ketegangan dalam masyarakat.

Dalam telaah sosiologi sastra, Goldman (1977: 99) percaya bahwa

pudarnya homologi antara struktur masyarakat dengan struktur karya sastra sebab

keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Akan tetapi,

hubungan antara struktur masyarakat dengan struktur karya sastra tidak dipahami

sebagai hubungan determinasi yang langsung melainkan dimediasi oleh apa yang

disebutnya sebagai pandangan dunia atau ideologi.

Menurut Endraswara (2008: 93), sebuah penelitian sosiologi sastra yang

lengkap seharusnya terkait dengan latar belakang sosiokultural masyarakat.

Seyogyanya, penelitian kritis sosiologi sastra mampu menggali masa lalu yang

masih relevan dengan masa kini dan mendatang.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sasaran

penelitian sosiologi sastra adalah aspek sosiologis yang terpantul dalam sastra dan

proses sosial yang terjadi dalam masyarakat yang tergambar dalam karya sastra.


(30)

commit to user

2.

Hakikat Novel

a.

Pengertian Sastra

Secara etimologis, kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata

sas-

,

dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, member petunjuk atau

instruksi’. Akhiran –

tra

biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu

sastra

dapat berarti ‘alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau

pengajaran’ (Teeuw, 1984: 23). Definisi tentang sastra yang dikemukakan oleh

Teeuw masih bersifat umum karena menganggap sastra sebagai sebuah buku

petunjuk atau alat yang digunakan dalam sebuah pengajaran.

Pengertian yang lebih khusus disampaikan oleh Atar Semi. Menurutnya,

sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang obyeknya adalah

manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya

(Semi, 1993; 8). Terkait dengan bahasa sebagai sebuah medium sastra diperkuat

kembali oleh Nyoman Kutha Ratna. Medium utama karya sastra adalah bahasa.

Bahasalah yang mengikat keseluruhan aspek kehidupan, disajikan melalui

cara-cara yang khas dan unik, berbeda dengan bentuk-bentuk penyajian yang dilakukan

dalam narasi nonsastra (Ratna, 2005: 16). Lebih lanjut dikemukakan bahwa

bentuk penyajian tersebut dilakukan agar peristiwa yang sesungguhnya dapat

dipahami secara lebih bermakna, lebih intens, dan dengan sendirinya lebih luas

dan mendalam.

Rene Wallek memberikan definisi sastra yang lebih rinci dengan

mengemukakan tiga definisi. Pertama, seni sastra ialah segala sesuatu yang

dicetak; kedua, seni sastra terbatas pada buku-buku yang terkenal dari sudut isi


(31)

commit to user

dan bentuk; dan ketiga seni sastra bersifat imajinatif (dalam Pradopo, 2003: 35).

Berbeda dengan pendapat Rene Wallek, Badudu (1984: 5) mengemukakan bahwa

sastra adalah ciptaan manusia dalam bentuk bahasa lisan ataupun tulis yang dapat

menimbulkan rasa bagus.

Budi Darma (dalam Winarni, 2009: 7) menyatakan sastra adalah hasil

kreatifitas pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung

atau melalui rekaannya dengan bahasa sebagai medianya. Gazali lebih menyoroti

sastra pada penggunaan bahasa yang indah. Menurut beliau, sastra adalah tulisan

atau bahasa yang indah, yakni hasil ciptaan bahasa yang indah dan perwujudan

getaran jiwa dalam bentuk tulisan (dalam Pradopo, 2002: 32). Terkait penggunaan

bahasa yang indah, Slamet Muljana (dalam Wiyatmi, 2009: 19) menyatakan sastra

sebagai “seni kata”, yaitu penjelmaan ilham dengan kata yang tepat. Tetapi sastra

bukanlah hanya berupa rangkaian kata dan kalimat, melainkan sudah berubah

menjadi wacana, menjadi teks (Ratna, 2005: 15).

Pandangan lain disampaikan oleh Sumardjo yang menitikberatkan pada isi

sastra tersebut. Sumardjo (1992: 3) memberikan batasan sastra adalah ungkapan

pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat,

keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona

dengan alat bahasa. Selain itu, sastra dianggap sebagai karya yang berpusat pada

moral manusia, yang di satu sisi terkait dengan sejarah dan pada sisi lain pada

filsafat (Tutoli, 2000: 3).

Definisi lain tentang sastra bisa dicermati pada ciri-ciri sastra yang

disampaikan oleh Luxemburg (1984: 4-5) yang menyebutkan ciri sastra yaitu: (1)


(32)

commit to user

sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi bukan semata-mata sebuah

imitasi. (2) Sastra bersifat otonom, tidak mengacu pada sesuatu yang lain; sastra

tidak bersifat komunikatif. (3) Karya sastra yang otonom itu mempunyai

koherensi antara bentuk dan isi, saling berhubungan antara bagian dengan

keseluruhan secara erat sehingga saling menerangkan. (4) Sastra menghidangkan

sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. (5) Sastra mengungkapkan

hal-hal yang tak terungkapkan.

Wujud nyata sebuah sastra adalah berupa karya sastra yang dihasilkan oleh

para sastrawan. Karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya

(Sumardjo, 1991: 5). Lebih rinci, Pradopo (2003: 59) mengemukakan bahwa

karya sastra adalah karya seni, yaitu suatu karya yang menghendaki kreativitas

dan bersifat imajinatif. Dikatakan imajinatif bahwa karya sastra itu terjadi akibat

pengananan dan hasil penganan itu adalah penenmuan-penenmuan baru,

kemudian penemuan baru itu disusun kedalam suatu sistem dengan kekuatan

imajinasi hingga terciptalah dunia baru yang sebelumnya belum ada.

Michael Zerafta dalam Elizabeth (1973: 212) menyatakan bahwa bentuk

dan isi karya sastra sebenarnya memang lebih banyak diambil dari fenomena

sosial dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karenanya, karya sastra

sering kali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.

Karya sastra yang baik, mampu memberikan efikasi bagi penikmatnya,

memberikan obat yang mujarab bagi pembaca, mengubah tindakan masyarakat,

dan memengaruhi sikap hidup pembacanya (Endraswara, 2011: 22). Dalam buku

yang sama, Endraswara mengutip pendapat Watt yang mengemukakan fungsi


(33)

commit to user

karya sastra adalah sebagai: (1)

pleasing,

yaitu kenikmatan hiburan. Karya sastra

dipandang sebagai pengatur irama hidup, hingga menyeimbangkan rasa. (2)

intructing

, artinya memberikan ajaran tertentu, yang menggugah semangat hidup.

Karya sastra diharapkan mencerminkan aspek didaktik.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra

merupakan hasil cipta manusia yang berupa ungkapan pengalaman, pemikiran,

perasaan, yang dituangkan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan dengan

menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

b.

Pengertian Novel

Novel memiliki banyak pengertian yang saling mengisi satu sama lain

menuju satu poros dengan tujuan pemahaman yang sama. Banyak sastrawan yang

memberikan batasan atau definisi novel meski definisi yang mereka berikan

berbeda-beda karena sudut pandang yang mereka pergunakan juga berbeda-beda.

1)

Novel adalah bentuk sastra yang paling populer di dunia. Bentuk sastra ini

paling banyak dicetak dan paling banyak beredar, lantaran daya

komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo dalam Arianto

Sam Di, 2008: 1).

2)

Novel adalah bentuk karya sastra yang di dalamnya terdapat nilai-nilai

budaya sosial, moral, dan pendidikan (Nurhadi, Dawud, Yuni Pratiwi, dan

Abdul Rani dalam Arianto Sam Di, 2008: 1).

3)

Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu unsur

intrinsik dan unsur ekstrinsik yang keduanya saling berhubungan karena


(34)

commit to user

sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (Rustamaji dan

Agus Priantoro dalam Arianto Sam Di, 2008: 1).

4)

Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang mempunyai

unsur-unsur intrinsik (Paulus Tukam dalam Arianto Sam Di, 2008: 1).

Dari sudut pandang seni, Waluyo (2002: 36) menyatakan bahwa novel

adalah lambang kesenian yang baru yang berdasarkan fakta dan pengalaman

pengarangnya. Susunan yang digambarkan novel adalah suatu yang realistis dan

masuk akal. Kehidupan yang dilukiskan bukan hanya kehebatan dan kelebihan

tokoh (untuk tokoh yang dikagumi), tetapi juga cacat dan kekurangannya. Lebih

lanjut, beliau menyatakan bahwa novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga

sebagai bentuk seni yang mempelajari dan melihat segi-segi kehidupan dan nilai

baik-buruk (moral) dalam kehidupan dan mengarahkan kepada pembaca tentang

pekerti yang baik dan budi yang luhur (Waluyo, 2002: 37).

Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1994: 9-10) menyatakan bahwa novel

berasal dari bahasa Itali

novella

(dalam bahasa Jerman:

novelle

). Secara harfiah

novella

berarti sebuah barang baru yang kecil dan kemudian diartikan sebagai

“cerita pendek dalam bentuk prosa”. Dewasa ini pengertian

novella

atau

novelle

mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris:

novellette

) yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak

terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Karya sastra yang disebut

novellette

adalah karya yang lebih pendek daripada novel tetapi lebih panjang


(35)

commit to user

Pengertian yang lebih rinci disampaikan oleh Jacob Sumardjo (1999: 2)

yang menyatakan bahwa novel dalam kesusastraan merupakan sebuah sistem

bentuk. Dalam sistem ini terdapat unsur-unsur pembentuknya dan fungsi dari

masing-masing unsur. Unsur-unsur ini membentuk sebuah struktur cerita besar

yang diungkapkan lewat materi bahasa tadi.

Sebuah karya sastra (novel) merupakan sebuah struktur organisme yang

kompleks, unik, dan mengungkapkan sesuatu (lebih bersifat) secara tidak

langsung. Sesuatu yang tidak langsung itulah yang menyebabkan sulitnya

pembaca untuk menafsirkan. Untuk itu, diperlukan penjelasan, yaitu dengan

mengadakan penelaahan atau penelitian terhadap karya sastra tersebut

(Nurgiyantoro, 1994: 31-32) .

Stanton (2007: 91) mengemukakan bahwa fisik novel yang panjang akan

mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian dari alur cerita.

Keteledoran ini akan menjadi penghalang ketika pembaca berusaha memahami

struktur perluasan tersebut, perlu melangkah mundur waktu demi waktu. Harus

sadar bahwa setiap bab dalam novel mengandung berbagai episode.

Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa pada dasarnya kebanyakan orang

mengira bahwa cara termudah untuk memahami dunia novel adalah dengan

bertanya kepada pengarangnya (Stanton, 2007: 100). Kenyataannya, pandangan

ini malah gagal ketika dipraktikkan. Sebagian besar pengarang akan menolak

ketika diminta menjelaskan karya mereka secara mendalam, atau mungkin novel

tersebut justru menjelaskan banyak hal, lebih dari perkiraan pengarang sendiri.


(36)

commit to user

Berpijak pada pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel

adalah cerita fiksi yang mengangkat permasalahan yang kompleks tentang

kehidupan dan tersusun atas unsur intrinsik dan ekstinsik yang padu dan saling

terikat dalam mengungkapkan setiap jalinan peristiwa yang diceritakan.

3.

Hakikat Nilai Pendidikan dalam Novel

a.

Pengertian Nilai Pendidikan dalam Novel

Dalam sebuah karya sastra seperti novel terdapat nilai pendidikan yang

dapat dipetik oleh pembaca. Baribin (1985: 79) berpendapat bahwa dari karya

sastra dapat ditemukan buah pikiran atau renungan dari penulis dan sanggup

menyadari nilai-nilai yang lebih halus berarti telah dapat mengapresiasi atau

menangkap nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut.

Lorens (2002: 19) mengemukakan pengertian nilai yang ditinjau dari

beberapa segi. (1) Nilai dalam bahasa Inggris

value

, bahasa latin

valere

(berguna,

mampu akan, berdaya, berlaku, kuat); (2) ditinjau dari segi harkat, nilai adalah

kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau

dapat menjadi objek kepentingan; (3) ditinjau dari segi keistimewaan, nilai adalah

apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai suatu kebaikan; (4) ditinjau

dari sudut ilmu ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar

benda-benda material, pertama kali secara umum menggunakan kata “nilai”.

Sama halnya dengan Lorens, Kattsoff (dalam Soejono, 1996: 32)

memberikan perincian mengenai pengertian nilai. (1) Mengandung nilai artinya

berguna; (2) merupakan nilai, artinya baik atau indah atau benar; (3) mempunyai

nilai artinya merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang menyebabkan


(37)

commit to user

orang mengambil sikap menyetujui atau mempunyai sifat nilai tertentu; dan (4)

memberi nilai artinya menanggapi sesuatu hal yang diinginkan atau sebagai hal

yang menggambarkan nilai tertentu.

Berbeda dengan pengertian sebelumnya, pengertian lebih umum

disampaikan oleh Semi (1993: 54) yang menyatakan bahwa nilai adalah aturan

yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari

yang lain. Hal tersebut senada dengan pengertian yang dikemukakan oleh Daroeso

(1989: 20), nilai adalah suatu penghargaan atau kualitas terhadap sesuatu atau hal

yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang, karena sesuatu hal itu

menyenangkan, memuaskan, menguntungkan atau merupakan sesuatu sistem

keyakinan.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai

merupakan sesuatu yang memiliki daya guna bagi manusia dan dapat berupa

penghargaan atau apresiatif terhadap hal yang dicermati.

Selanjutnya, pengertian pendidikan menurut Soedomo (2003: 18) adalah

bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada

anak didik dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan

yang dilakukan. Sementara itu, Dewantoro (dalam Munib, 2006: 32) lebih

menyoroti pada aspek yang harus diubah setelah proses pendidikan. Beliau

mengemukakan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk memajukan

bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh

anak.


(38)

commit to user

Pengertian yang lebih umum disampaikan oleh Uhbiyati dan Abu Ahmadi

(2001: 70) yang mengemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan

yang secara sadar dan sengaja serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh

orang dewasa kepada anak-anak sehinggal timbul interaksi dari keduanya agar

anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung

terus-menerus.

Frietz R. Tambunan (dalam Joko Susilo, 2007: 224) menjelaskan bahwa

kata pendidikan berasal dari kata latin

educare

yang secara harfiah berart

‘menarik keluar dari’ sehingga pendidikan adalah sebuah aksi membawa seorang

anak/peserta didik keluar dari kondisi tidak merdeka, tidak dewasa, dan

bergantung, situasi merdeka, dewasa, dapat menentukan diri sendiri, dan

bertanggung jawab.

Berdasarkan beberapa pengertaian tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa pendidikan merupakan usaha secara sadar dan penuh tanggung jawab yang

dilakukan untuk memebrikan perubahan terhadap seseorang atau peserta didik.

Mengacu pada uraian tentang pengertian nilai dan pengertian pendidikan

di atas, maka dapat dinyatakan bahwa nilai pendidikan merupakan segala hal yang

berguna yang diberikan oleh seseorang secara sadar dan tanggung jawab dalam

usaha memberikan perubahan terhadap sikap dan tingkah laku yang lebih baik.

b.

Jenis-jenis Nilai Pendidikan dalam Novel

Adapun nilai-nilai pendidikan yang secara umum terdapat dalam novel

adalah sebagai berikut.


(39)

commit to user

1)

Nilai Pendidikan Agama

Nilai pendidikan agama atau keagamaan dalam karya sastra sebagaian

menyangkut moral, etika, dan kewajiban. Hal ini menunjukkan adanya sifat

edukatif (Nurgiyantoro, 2002: 317). Dasar dari pendidikan agama adalah hakikat

makhluk yang beragama. Tujuan pendidikan keagamaan adalah membentuk

manusia yang beragama atau pribadi yang religius.

Di samping itu, sesuai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2

dan Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia, pendidikan

agama merupakan sehi utama yang mendasari semua segi pendidikan lainnya.

Norma-norma pendidikan kesusilaan maupun pendidikan kemasyarakatan atau

sosial sebagain besar bersumber dari agama.

Betapa pentingnya pendidikan agama itu bagi setiap warga negara terbukti

dari adanya peraturan pemerintah yang mengharuskan pendidikan agama itu

diberikan kepada anak-anak sejak pendidikan di taman kanak-kanak sampai

pendidikan tinggi.

2)

Nilai Pendidikan Moral

Moral merupakan laku perbuatan manusia dipandang dari nilai-nilai baik

dan buruk, benar dan salah, dan berdasarkan adat kebiasaan dimana individu

berada (Nurgiyantoro, 2002: 319). Nilai-nilai pendidikan moral tersebut dapat

mengubah perbuatan, prilaku, sikap serta kewajiban moral dalam masyarakat yang

baik, seperti budi pekerti, akhlak, dan etika (Widagdo, 2001: 30).

Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra juga bertujuan untuk

mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika dan budi pekerti. Nilai


(40)

commit to user

pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat

seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang

menjunjung budi pekerti dan nilai susila.

Nilai moral dalam karya sastra biasanya bertujuan untuk mendidik manusia

agar mengenal nilai-nilai estetika dan budi pekerti. Nilai pendidikan moral

menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu

atau dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang menjunjung

tinggi budi pekerti dan nilai susila.

3)

Nilai Pendidikan Budaya

Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra dapat memberikan gambaran

yang jelas tentang sistem nilai atau sistem budaya masyarakat pada suatu tempat

dalam suatu masa. Nilai-nilai itu mengungkapkan perbuatan yang dipuji atau

dicela, pandangan hidup manusia yang dianut atau dijauhi, dan hal-hal yang

disanjung tinggi.

Koentjaraningrat (1985: 18) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya

terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar

warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap sangat bernilai

dalam kehidupan. Merujuk pada pengertian tersebut, nilai budaya bersifat abstrak

yang masih tertanam dalam pemikiran masyarakat yang masih dijunjung tinggi

dari dulu hingga sekarang ini. Nilai budaya terwujud dalam pola pikir dan tingkah

masyarakat yang terimplikasi dalam kehidupan bermasyarakat.


(41)

commit to user

4)

Nilai Pendidikan Sosial

Nurgiyantoro (2002: 233-234) mengemukakan bahwa tata cara kehidupan

sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup

kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan,

pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar

spiritual. Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang

bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas.

Nilai sosial menjadi pedoman langsung bagi setiap tingkah laku manusia

sebagai anggota masyarakat yang di dalamnya memuat sanksi-sanksi bagi yang

melanggar. Dengan semikian nilai sosial merupakan nilai yang berhubungan

dengan kehidupan bermasyarakat dan usaha menjaga keselarasan hidup

bermasyarakat.

Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa nilai sosial merupakan

gagasan-gagasan dan pola ideal masyarakat yang dipandang baik dan berguna, yang telah

dituangkan dalam bentuk norma-norma, aturan-aturan dan hukum.

5)

Nilai Pendidikan Ekonomi

Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih

dan menciptakan kemakmuran. Definisi lain menjabarkan ekonomi sebagai

sebuah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana manusia mencukupi kebutuhan

hidupnya. Ekonomi juga merujuk pada usaha manusia untuk bisa mengolah

sumber daya yang ada di lingkungan sekitarnya, sebagai alat pemenuhan

kebutuhan hidupnya. Jika ditarik garis lurus, maka ekonomi akan berkaitan

dengan kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang yakni bagaimana


(42)

commit to user

orang memanfaatkan dengan baik dan tepat sumber-sumber produktif seperti

tanah, tenaga kerja, barang-barang modal yang langka dan terbatas jumlahnya

untuk menghasilkan berbagai barang serta mendistribusikannya kepada anggota

masyarakat untuk dipakai dan dikonsumsi.

Ilmu ekonomi juga berkaitan dengan studi tentang manusia dalam kegiatan

hidup mereka sehari-hari untuk dapat dan menikmati kehidupan. Dalam sebuah

karya sastra, nilai pendidikan ekonomi terwujud dalam kegiatan atau pola hidup

masyarakat yang diceritakan atau para tokoh dalam memenuhi kebutuhan

hidupnya.

6)

Nilai Pendidikan Politik

Menurut Kartini Kartono (1996 : 64), pendidikan politik adalah bentuk

pendidikan orang dewasa dengan menyiapkan kader-kader untuk pertarungan

politik dan mendapatkan penyelesaian agar menang dalam perjuangan politik.

Selain itu, ditambahkan juga bahwa pendidikan politik adalah upaya edukatif yang

internasional, disengaja dan sistematis untuk membentuk inividu sadar politik,

dan mampu menjadi pelaku politik yang bertanggung jawab secara etis atau moril

dalam mencapai tujuan-tujuan politik.

Unsur pendidikan dalam pendidikan politik pada hakekatnya merupakan

aktivitas pendidikan diri (mendidik diri sendiri dengan sengaja) yang terus

menerus, hingga orang yang bersangkutan lebih mampu dan memahami dirinya

sendiri serta situasi kondisi lingkungan sekitar, kemudian mampu menilai segala

sesuatu secara kritis serta mampu menentukan sikap dan cara penanganan

masalah-masalah yang terjadi di tengah-tengah lingkungan hidupnya dalam


(43)

commit to user

kehidupan bermasyarakat. Nilai politik dalam kehidupan bermasyarakat tidak

hanya berlaku dalam “panggung politik” secara langsung, tetapi dalam kehidupan

bermasyarakat sehari-hari nilai politik tertanam dan tumbuh secara alami dan

dilakukan oleh masyarakat.

7)

Nilai Pendidikan Historis

Menurut “Bapak Sejarah” Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk

menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan

peradaban (dalam LPSA, 2007). Sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau

dalam kehidupan umat manusia. Sejarah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan

manusia dan bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan

manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern.

Sejarah dalam artian lain digunakan untuk mengetahui masa lampau

berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang sahih yang berguna bagi manusia

dalam memperkaya pengetahuan agar kehidupan sekarang dan yang akan datang

menjadi lebih cerah. Nilai sejarah dapat membentuk sikap terhadap permasalahan

yang dihadapi agar peristiwa-peristiwa yang berlaku pada masa lampau dapat

dijadikan pengajaran yang berguna.

4.

Sastra dalam Konteks Sosiobudaya

Dari enam asumsi dasar kajian konteks sosiobudaya berasal dari

Grebstein (Sapardi Djoko Damono dalam Endraswara 2008: 92), terdapat empat

kajian konteks sosiobudaya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, yaitu:

a) Karya sastra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan

dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya


(44)

commit to user

karena setiap karya sastra pada dasarnya adalah hasil pengaruh timbal balik

yang rumit antara faktor-faktor sosial dan kultural.

b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan

teknik penulisannya, tak ada karya besar yang diciptakan berdasarkan

gagasan sepele dan dangkal.

c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral, baik

dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam

hubungannya dengan orang-seorang.

d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah:

pertama

, sebagai suatu

kekuatan atau faktor material istimewa, dan

kedua

, sebagai tradisi – yakni

kecenderungan-kecenderungan spiritual maupun kultural yang bersifat

kolektif. Bentuk dan isi dengan sendirinya dapat mencerminkan

perkembangan sosiologis, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang

halus dalam watak kultural.

Pendekatan sosiobudaya tersebut, dapat digunakan dalam penelitian ke

dalam dua segi.

Pertama

, berhubungan dengan aspek sastra sebagai refleksi

sosiobudaya.

Kedua

, mempelajari pengaruh sosiobudaya terhadap karya sastra

(Endraswara, 2008: 93).

Endraswara (2008: 93) juga menyatakan sebagai berikut.

Pendekatan yang mengungkap aspek sastra dengan refleksi dokumen

sosiobudaya, mengimplikasikan bahwa karya sastra menyimpan hal-hal

penting bagi kehidupan sosiobudaya. Memang, pendekatan ini hanya parsial,

artinya sekadar mengungkap persoalan kemampuan karya sastra mencatat

keadaan sosiobudaya masyarakat tertentu. Jadi, pendekatan ini tidak


(45)

commit to user

memperhatikan struktur teks, melainkan hanya penggalan-penggalan cerita

yang terkait dengan sosiobudaya.

Sebagai disiplin ilmu yang berbeda, sastra dan kebudayaan memiliki objek

yang sama, yaitu manusia dalam masyarakat, manusia sebagai fakta sosial,

manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2007: 13).

Kaitan antara karya sastra dan konteks sosial budaya disampaikan oleh

Rushing dalam artikelnya.

“ Sociology of literature, a branch of literary study that examines the relationship between literary work and their social context, including pattern of literacy, kinds of audience, modes of pub lication and dramatic presentation, and the social class position of authors and readers

(Rushing, 2004).”

Rushing mengemukakan kaitan antara sebuah karya sastra dengan konteks

sosial budaya yang bisa dijadikan teladan bagi pembaca atau penikmat sebuah

karya sastra.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra

dalam konteks sosial budaya berarti sastra terlahir dari keadaan sosial budaya

sebuah masyarakat sehingga dalam memahami sebuah karya sastra tidak bisa

dilepaskan dari konteks sosial budaya masyarakat yang menjadi sumber lahirnya

karya tersebut.

5.

Pandangan Masyarakat Lombok terhadap Eksistensi Tuan Guru

Buehler (2009: 53) menjelaskan, keberhasilan demokrasi di Indonesia

dipengaruhi oleh pemahaman bahwa nilai-nilai demokrcasi bersumber dari ajaran

Islam. Dari penjelsan tersebut dapat digambarkan bahwa masyarakat Indonesia


(46)

commit to user

yang mayoritas muslim,mengaktualisasikan nilai-nilaci ajaran agama dalam

konteks politik, disinalah dapat dilihat peran penting para tokoh agama dalam

mengrahkan pandangan masyrakat. Hal ini banyak terjadi pada masyrakat

tradisional, terutama yang terjadi pada masyrakat Lombok.

Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat tradisional religius, pemimpin

spiritual memiliki peranan yang lebih penting daripada yang lain. Pergeseran nilai

sosial budaya yang terjadi pada masyarakat, selain perubahan internal atau dari

dalam diri pribadi. Peran tokoh agama mendominasi pergseran nilai-nilai budaya

tresebut.

Studi sosial di Pulau Lombok tentang Tuan Guru menunjukkan bahwa

Tuan Guru sebagi pemimpin islam memegang peranan penting dalam menentukan

dn mencegah pudarnya jati diri dan kultural agama yang dianut dan dipegang oleh

masyrakat. Atmosfir budaya maupun pengetahuan dianggap tidak sejalan dengan

nila-nilai islam yang dapat menerbitkan rasa tidak aman serta mengancam jati diri

masyrakat sebagai muslim yang taat, menjadi alasan masyarakat memelihara

hubungan dengan Tuan Guru (Budiwanti, 2000: 1).

Tuan memiliki makna dasar, orang yang dianggap mulia, lebih tinggi dan

patut dihormati. Sebutan “tuan” dalam masyrakat sasak juga merujuk pada orang

yang telah melaksanakan ibadah haji. Sedangkan “guru” adalah sebutan bagi

orang yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan. Dua kata ini menyiratkan

hubungan hierarkial dan dikotomis antara tuan guru dan umat (masyarakat)

(Budiwanti, 2000: 2).


(47)

commit to user

Tuan Guru adalah

assigned status,

di mana predikat ini oleh masyarakat

Lombok diberikan kepada mereka yang menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata

nilai agama. Merujuk pada kata “Tuan” dan “Guru” adalah sebutan kelas sosial

yang berdas pada lapis tertinggi dalam struktur masyrakatnya. Hal ini

menunjukkan terjadinya pelapisan sosial yang bertumpuk dalam matra stigmatik

yang diciptakan oleh sistem sosial (Bartholomew, 1999: 5).

Status tuan guru dalam masyarakat pada dasarnya terbentuk melalui suatu

hierarki status, karena status tuan guru akan berarti dalam masyarakat apabila

ditinjau dari status yang lebih tinggi atau lebih rendah. Status tuan guru pada

masyarakat terbentuk karena masyarakat terdiri dari banyak kelompok di

dalamnya, dan setiap kelompok mempunyai status dan peran yang dibawanya.

Peranan penting tuan guru juga trekait dengan kedudukan mereka sebagai

elit terdidik yang mentransfer pengetahuan agama ke tengah masyarakat. Mereka

akan memberikan penjelasan dan mengklarifikasi berbagai permaslahan yang ada

di tengah masyarakat, karena umumnya masyarakat sasak menyadari keterbatasan

penegetahuan mereka dalam mengakses doktrin agama secara luas (Bartholomew,

1999: 6).

Posisi ini merupakan nilai tawar tuan guru terhadap masyarakatnya

sehingga segala bentuk pendapatnya menjadi pegangan masyarakat dalam

memahami perubahan, terutama perubahan dalam cara “memperlakukan” doktrin

agam secara literal (rigid) maupun liberal (Budiwanti, 2000: 5). Walau tidak

tertutup kemungkinan adanya beberapa kelompok kecil di tengah masyarakat

Lombok yang mampu mengakses informasi yang lebih luas dan mampu


(1)

commit to user

Setelah beberapa hari pelatihan militer ala orang tuaku, datanglah mobil jemputan dari pondok pesantren yang membawa kedua adikku. Sedangkan aku dibiarkan berangkat sekolah sendirian. Setelah menamatkan madrasah aliyah, aku dimasukkan juga ke dalam jeruji, yang disebut asrama pesantren miliki tuan guru.

Perlahan-lahan karena kemampuan yang kumiliki, tuan guru

mengangkatku menjadi orang kepercayaannya. Mewakilinya mengisi beberapa pengajian di beberapa daerah. Sebenarnya, predikat ini tidak aku inginkan. Orang mulai berebut mencium tangan ku. Orang tua ku terlebih ibu menjadi sangat bangga mendengar berita ini. Para istri-istri muda menangis mencium tangan ku bahkan mereka rela menyerahkan diri mereka kepadaku. Dan anehnya, para suami akan menganggap bahwa ketaatan istri mereka telah naik satu tahap.

Hal-hal aneh seperti inilah yang ingin ku dobrak. Meskipun ujungnya, tak selamanya niat yang baik dapat diterima baik. tetapi bakan pendobrak memang telah melekat dalam diriku sejak kelahiran. Menurut papuk Odah, dukun beranak yang memabntu proses kelahiranku, ibu ku tidak perlu terlalu berjuang keras melahirkanku karena menurut papuk Odah, aku sendiri seolah berjuang sendiri untuk lahir.

Papuk Odah, merupakan orang yang memiliki pengaruh yang besar terhadap pola pikir ku. Ia orang yang bijaksana, pemikirannya lebih layak dan lebih berterima daripada pemikiran tuan guru yang selama ini menjadi anutan masyarakat. Tetapi karena papuk Odah jarang shalat dan praktik pengobatannya dianggap seperti dukun yang kata tuan guru mendekati syirik, orang-orang mengucilkannya.

Tetapi dalam perlawanan terhadap tuan guru, aku tidak melakukannya secara terang-terangan. Apa yang diajarkan dipesantren aku ikuti dengan baik. Di pesantren kami dijejali dengan kitab-kitab gundul yang harus selalu kami pelajari. Buku-buku pengetahuan lainnya dianggap barang haram. Tetapi aku mendapat supali buku dari teman-temanku yang sekolah di Jawa. Melalui buku-buku itu aku lebih bisa membuka mata, tidak terpaku oleh jeruji yang dibangun tuan guru. Buku-buku itu aku pinjamkan juga ke beberapa teman terdekatku di pesantren. Jalal dan Jumahur. Mereka merupakan ‘pengikut’ kecilku di pesantren. Sahabat yang selalu setia mendampingiku disaat-saat tersulit. Terlebih Jalal. Ketika berkunjung ke kamarku, ia tidak pernah mau duduk bersama di atas tempat tidur. Tanpa dikomando, ia langsung mengambil sajadah dan duduk di lantai kamar.

Aku tidak bermaksud membentuk jemaah baru menandingi tuan guru dengan cara yang tuan guru terapkan. Aku akan menerapkan sistem yang lebih terbuka. Membuka dialog di tengah ceramaah. Tidak seperti tuan guru yang mengurung jamaahnya dengan ucapan-ucapan dia yang serta merta langsung dianggap sebagai fatwa dan melarang adanya jamaah yang bertanya atau berkomentar atas apa yang ia sampaikan, baik itu sesuatu yang benar ataupun salah.

Di asrama, selain menjalin hubungan persaudaraan, aku juga menjalin kasih sesama santri. Najma, seorang yang cantik dan memiliki kecerdasan di atas santriwati lainnya merupakan gadis pertama yang hadir dalam kisah cintaku. Kami menjalin pertemuan secara diam-diam saat semua santri terlelap. Terkadang


(2)

commit to user

kami ketahuan oleh santri yang rutin menjalankan shalat sunat tahajud, namun alasan yang sama kami lontarkan yakni melaksanakan shalat sunat tahajud.

Semua menjadi sirna ketika tuan guru meminang Najma untuk menjadi istri ketiganya. Orang tua Najma yang mengetahui hal tersebut tentu menyambut gembira tanpa menanyakan apakah Najma senang dan menyetujui hal tersebut. Tetapi, aroma surga yang ditiupkan surga menurut kebanyakan orang telah menutup mata orang tua Najma.

Najma pun menyetujui hal tersebut meski dalam hati menentang. Jadilah Najma, umi di pesantren. Dan aku harus memanggilnya umi juga. Jumahur dan Jalal selalu berada di belakangku. Kisahku diikuti oleh kisah santri lainnya, yakni Kabir. Kabir merupakan santri yang selalu diolok karena mulutnya yang hitam tebal akibat lilitan rokok yang selalu dihisapnya.

Ia sangat menghormati tuan guru, tetapi ia akan rela tidak menjadi tuan guru jika dilarang merokok. Cinta Kabir terenggut oleh tuan guru. Tetapi bukan karena tuan guru menikahi gadis yang dicintai Kabir, melainkan tuan guru menjodohkan Salimah dengan Zainal.

Seiring berjalannya waktu, di pesantren muncul seorang gadis yang tak kalah pesonanya dengan Nailal. Ia merupakan salah satu santriwati kebanggaan. Ia menurunkan kemampuan abahnya yang memang lulusan Arab. Akupun mulai menjalin kasih dengannya. Perlahan,aku bisa melupakan Najma dan mengganti dengan Nailal.

Suatu hari, di saat pengkajian kitab gundul oleh tuan guru, aku memecah kesunyian pembelajaran kolot di pesantren yang tanpa dialog untuk meminta ijin ke belakang. Tuan guru melarang. Ia tidak memperbolehkan seorangpun keluar dari majlis selama kegiatan masih berlangsung. Tetapi aku tetap bersikeras, hingga akhirnya tuan guru melemparkan kitab gundul yang sedang dikajinya tepat mengenaiku.

Santri-santri yang lain melongo menatapku sinis. Aku dianggap abu jahal modern. Tidak akan ada yang mau memihak kepadaku. Lalu aku memutuskan untuk tetap berada di majlis dengan syarat tuan guru meberikan kesempatan kepadaku untuk bertanya dan berdialog dengannya. Tuan guru semakin marah. Santri-santri memelototiku. Jalal sebagai senior berdiri dan menyuruh para santri menundukkan pandangan dan melihat kitab. Tuan guru marah, ia menyuruh Jalal untuk duduk. Jumahur lebih bijak. Ia meminta para santri untuk tenang sehingga tidak tampak keberpihakannya kepadaku di depan tuan guru.

Berita itu ternyata menyebar hingga ke telinga ibuku. Ia merasa terpukul. Ia menganggapku sebagai pembangkang. Ia mengusirku dari rumah. Ia

menganggapku nyembali.

Sejak saat itu, aku lebih memilih pergi berkunjung ke desa-desa daripada harus mengikuti kegiatan di pesantren. Lama tidak di pesantren, terdengar kabar bahwa Nailal dipersunting tuan guru. LAgi-lagi ia menggunakan statusnya untuk dengan mudah menikahi siapapun. Untuk yang satu ini, Najma melarang keras tuan guru. Tetapi tuan guru tetap bersikeras. Ia akan menikah dengan atau tanpa persetujuan Najma.


(3)

commit to user

Dalam kegalauannya, Najma berlari menghampiriku di kamar asrama. Ia lalu merasukiku untuk berbuat yang tidak senonoh. Kami melakukan sesuatu yang tidak semestinya dilakukan.

Kini aku harus kembali kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua kalinya gara-gara orang yang sama, yakni tuan guru. Aku mulai tidak betah di pesantren. Aku berkelana ke Sumbawa untuk melakukan pengajian atau lebih tepatnya penyuluhan. Sepulang dari Sumbawa, aku mengasingkan diri di tempat pamanku. Aku banyak bertanya seputar kisah ibu ke paman.

Hingga akhirnya berita perih menghampiriku. Papuk Odah meninggal. Tanpa pikir panjang, aku bersama Nuh pergi ke rumah papuk Odah. Betapa terkejutnya aku melihat mayat papuk Odah yang terbujur kaku dan telah mengeluarkan bau menyengat.

Menurut perkiraanku, papuk Odah telah meninggal tiga hari yang lalu. Tetapi kenapa tidak ada seorangpun yang mau mengurusnya. Aku lalu menyempatkan diri untuk sengaja shalat berjamaah di lingkungan papuk Odah. Seolah jamaah tahu maksudku. Mereka semua terdiam. Selesai shalat, beberapa sesepuh desa tetap diam di masjid beserta imam masjid. Beberapa orang telah meninggalkan masjid.

Aku mulai membuka pembicaraan prihal jenazah papuk Odah. Mereka tidak mau mengurus jenazah papuk Odah karena menganggap papuk Odah berbeda dari mereka. Alasan itu semakin kuat tertuju pada satu orang yakni tuan guru, karena berdasarkan info yang ku dengar beberapa hari yang lalu tuan guru menggelar pegajian di desa ini.

Aku menegur mereka semua hingga imam masjid naik pitam. Imam yang sebenarnya dari segi bacaan masih belum layak, tetapi karena ia ditunjuk langsung oleh tuan guru. Aku lalu pergi ke rumah tuan guru. Betapa terkejutnya aku, ternyata di sana sudah ada beberapa orang yang tadi shalat berjamaah bersamaku. Ia telah lebih dahulu menyampaikan maksud kedatanganku. Tuan guru memberi tanggapan yang sama seperti jamaahnya. Lalu aku memutuskan untuk menguburkan jenazah papuk Odah berdua dengan Nuh.

Sejak saat itu, kebencian tuan guru memuncak. Subuh yang kelam, saat aku tidur di rumah, seperti di sengaja suara kaset ngaji yang diperdengarkan di masjid dibunyikan sekeras-kerasnya. Dan orang tuaku pergi ke masjid lebih awal dari biasanya. Di luar rumah aku mendengar langkah kaki segerombolan orang dan mulai mendekat.

Mereka bermaksud membunuhku. Aku mengenal salah seorang dari mereka, yakni Anwar. Orang sangat benci kepadaku, karena ingin menggantikan posisiku sebagai imam masjid. Ia ditemani oleh beberapa orang dari kampung

sebelah. Aku mempersilakan mereka masuk dan menantang untuk mesiat,

berkelahi secara jantan.

Menurut kepercayaan di kampungku, jika tuan rumah mengetahui kedatangan orang yang berbuat jahat terutama pencuri maka pantang bagi pencuri itu untuk masuk. Bagaimanapun ia melawan, ia akan kalah juga. Tetapi ambisi Anwar untuk membunuhku sangat berapi-api meski beberapa orang yang lain telah memperingatinya. Ia akhirnya menjebol sisi rumahku yang terbuat dari pagar. Lalu akupun keluar rumah, tanpa disadari golok sudah berada di tanganku.


(4)

commit to user

Aku menantang mereka untuk berperang. Tak seorangpun dari mereka yang berani. Kecuali Anwar yang tetap diam. Tetapi ia tidak berani memandangku. Lalu tanpa berkata apapun lagi, aku mengajaknya untuk mengantarkan ia pulang. Seusai shalat subuh di rumahnya, aku pamit pulang.

Sepulang dari rumah Anwar, aku melihat Ibu membereskan rumah yang tadi berantakan. Selama perjalanan pulang, orang-orang melihatku. Mungkin mereka heran kenapa aku masih hidup. Hatiku sedih ketika melihat Ibu menangis karena foto-foto tuan guru ada yang pecah bahkan ada yang tertutup celana dalam. Ibu tidak menanyakan keadaanku.

Aku mengasingkan diri ke sebuah desa tempat salah seorang kerabat papuk Odah, yakni Gemuh. Ia tinggal bersama anaknya, Iduk. Selama di pengasingan aku menghabiskan waktu bermain ke pinggir pantai yang tidak jauh dari rumah Iduk. Iduk merupakan gadis yang baik, ia juga lumayan cantik karena banyak pemuda yang menaruh hati padanya. Ia pun perlahan mencintaiku.

Beberapa hari di rumah gemuh, Kabir datang bersama istrinya. Ia mencari kabar tentangku selama ini. Di tengah perjalanan menuju rumah Gemuh, ia bertemu Jalal dan Jumahur yang mendapat mandat dari tuan guru untuk mendamaikan beberapa kelompok jamaah yang bertikai membela tuan guru mereka masing-masing. Tuan guru yang satu dan lainnya bersitegang dan menghasut jamaahnya bahwa ajaran dialah yang benar sementara yang lainnya salah. Akibat perpecahan tersebut banyak keluarga yang bercerai berai karena antara istri dan suami berbeda aliran.

Selama di tempat Gemuh, Iduk merawatku dengan baik. Di sela-sela waktu aku menulis surat kepada ibu untuk meluapkan rasa sayang dan kangen yang selalu mendera. Selang beberapa hari sesuai pesan yang dititipkan kepada Kabir bahwa mereka akan datang, Jalal dan Jumahur pun datang ke rumah Gemuh. Ia bercerita tentang kejadian pertikaian antarjamaah.

Aku pun memutuskan untuk kembali ke pesantren tetapi untuk membereskan semua barang. Lalu aku pamit kepada tuan guru untuk pergi. Walau bagaimanapun juga, dia adalah guruku dan harus ku hormati. Lalu, aku pulang untuk menemui ibu. Ibu tetap diam membisu. Tanpa banyak kata, aku pamit pada ibu. Ibu tidak mau memandangku. Ia memalingkan wajah. Aku mengambil tangannya lalu menciumnya. Aku pergi, beberapa langkah aku membalikkan wajah. Aku melihat tetesan air mata ibu untuk yang pertama kalinya buatku. Aku pergi tanpa tujuan. Menaiki bis, lalu aku istirahat di masjid kecamatan hanya sekedar untuk mencuci muka bukan untuk shalat. Aku tertidur di pinggiran masjid. Papuk Odah selalu menemaniku. Kemanakah aku akan pergi, apakah ke rumah Iduk, gadis yang mengharapkanku. Atau ke rumah paman di kota yang memang dari dulu menginginkan aku tinggal bersamanya. Entahlah, biarlah hari ini aku menghabiskan waktu di Lombok, negeri yang elok. Besok baru menentukan arah pergi.


(5)

commit to user

PROFIL PENGARANG

Nama : Salman Faris

Tempat Lahir : Rensing

Alamat Asal : Rensing Bat, Sakra Barat, Lombok Timur, NTB (83671)

Alamat Sekarang : Jalan Sunan Bonang I, F11 Perumahan Bumi Kodya Asri,

Mataram, NTB

Pekerjaan : Dosen Tetap STKIP Hamzanwadi Selong dan Penulis.

PENDIDIKAN Perguruan Tinggi :

S-1 Institut Seni Indonesia Jogjakarta (2004) S-2 Institut Seni Indonesia Jogjakarta (2010)

S-3 Universitas Udayana Denpasar (sedang berlangsung)

PENGALAMAN

1.Spanish Indonesia Educational Project for Theatre (2000). 2. Butoh Japan Theatre (2001).

3. Lombok Art Festival (2006). 4. Art and Culture Open (2006). 5. Kongres Nasional Cerpen (2005)

6. Peserta MASTERA: Majelis Sastra Asia Tenggara-Novel (2011) 7. Peserta pelatihan bahasa internasional (2010)

8. Juara 1 tingkat nasional lomba penulisan naskah lakon (2002). 9. Juara 1 lomba penulisan naskah lakon se-DIY (2001).

10.Sutradara dan penulis naskah lakon terbaik Festival Teater Modern se-NTB (1996).

11.Ketua Jaringan Intelektual Nahdlatul Wathan (JINWA). 12.Art Director Lombok Teater.

13.Penulis novel “Tuan Guru” (2007), novel ‘’Perempuan Rusuk Dua-as the former sasak woman” (2009), dan Guru Dane (2010).


(6)