memetakan situasi penahanan

(1)

Pot r e t Pe n a h a n a n Pr a - Pe r sida n ga n di I n don e sia :

St u di t e n t a n g Ke bij a k a n Pe n a h a n a n


(2)

Koordinator Tim Peneliti Supriyadi Widodo Eddyono, S.H. Tim Peneliti:

Sriyana, S. H. L.LM., DFM. Syahrial Martanto Wiryawan, S.H. Wahyu Wagiman, S.H.

Wahyudi Djafar, S.H. Tim Peneliti Jakarta Diyan, S.H. Marto, S.HI. Jodi Santoso, S.H. Tim Peneliti Medan T. Arif Raja Faisal, S.H. Alan Darmawan, S.H. Tim Peneliti Makassar Upi Asmaradhana Abdul Chalid Bibbi Pawira Tim Peneliti Kupang Yohanes Seo, S.H. Palce Amalo, S.Sos Konsultan Peneliti

Abdul Haris Semendawai S.H.,L.LM. Editor

Muhammad Yasin, S.H., M.H. Lisensi Hak Cipta

Lis L Liiisisisis Li

Lis

Liisisi Liss

Li Liss Lisisss Lis Liis Liisssss Liss Liii Li Li

Liiisisiiiiensensensenseneeeeenenseeeensenenensenenensensenseensensnnsnnnsnsnnnsnnnsnnnnsnssssii Hiiiii Hiiiiiiiii Hiiii Hi Hii Hi Hii Hi Hi Hi Hi Hi Hii Hii HHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHaaakakakaakakakakakaakakaaakakakaakakaakaaaaaak akakakakakakakakakakakakakakakakaakakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkCipCipCiCiCipCipCiCipCiCipCipCipCCipCCipCipCipCCipCipCipCipCipCipCipipipiiipipiiiipiipiipiipiipipippptppppppppppppppptatattatttatttttttttttttattatatatatatatatatatatatattataaaa

Kecuali disebutkan sebaliknya, seluruh isi laporan ini berada di bawah lisensi CC BY-NC-SA 3.0

ISBN: 978-602-18223-3-3

Diterbitkan oleh


(3)

Dat ar Isi

KATA PENGANTAR ...IX

BAB I PENDAHULUAN ...1

1. Latar belakang penelitian ... 1

2. Tujuan dan Lingkup Studi ... 6

3. Metode dan Kerangka Kerja Studi ... 7

4. Komposisi tim peneliti ... 16

5. Waktu penelitian ... 17

6. Keterbatasan penelitian ... 17

BAB II NORMA DAN STANDAR HAM INTERNASIONAL DAN ISU-ISU KRUSIAL DALAM KEBIJ AKAN PENAHANAN PRA-PERSIDANGAN...19

1. Norma dan standar hak asasi manusia internasional yang terkait dengan penahanan pra-persidangan. ... 19

2. Hak tahanan pra-persidangan atas informasi penahanan ... 29

3. Jangka waktu penahanan pra-persidangan ... 32

4. Pemisahan dan klasifi kasi tahanan pra-persidangan ... 33

5. Akses kepada advokat ... 35

6. Hak komunikasi tahanan pra-persidangan ... 38

7. Kondisi tempat penahanan pra-persidangan ... 40

8. Tata tertib dan penjatuhan sanksi dalam penahanan pra-persidangan ... 47

9. Hak tahanan pra-persidangan untuk bebas dari penyiksaan ... 51

10. Pengawasan tempat penahanan pra-persidangan ... 54


(4)

BAB III RUANG LINGKUP HUKUM PENAHANAN

DI INDONESIA ... 61

1. Norma penahanan dalam KUHAP ... 61

2. Dasar penahanan ... 62

3. Tata cara penahanan ... 65

4. Jenis–jenis penahanan ... 66

5. Jangka waktu penahanan ... 70

6. Pengalihan jenis penahanan dan mekanismenya ... 82

7. Mekanisme penghitungan pengurangan hukuman ... 84

8. Penangguhan penahanan ... 84

9. Peralihan penahanan ... 96

10. Akses kepada Advokat ... 98

11. Pengaturan mengenai tempat penahanan ... 102

12. Hak tahanan selama berada di dalam tempat penahanan ... 125

13. Pengujian keabsahan penahanan ... 135

14. Sejarah praperadilan di Indonesia ... 145

15. Hukum acara dan proses pemeriksaan praperadilan ... 148

16. Putusan pengadilan ... 150

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS SITUASI PENAHANAN DI INDONESIA ...153

1. Terus meningkatnya jumlah penahanan ... 157

2. Situasi tempat penahanan di beberapa wilayah ... 167

3. Komodifi kasi dalam tempat penahanan ... 201


(5)

BAB V TEMUAN DAN ANALISIS PRAKTIK PENAHANAN DAN PENGUJIANNYA DALAM

PRAPERADILAN ...211

1. Praktik penahanan ... 211

1.1. Penerapan syarat penahanan dalam praktik ... 213

1.2. Pejabat yang berwenang menentukan penahanan ... 220

1.3. Praktik pemberitahuan penahanan ... 223

1.4. Praktik perpanjangan penahanan ... 225

1.5. Praktik penangguhan penahanan dan jaminan penangguhan penahanan ... 227

1.5. Praktik suap dan jual beli dalam penahanan ... 229

1.6. Akses tahanan kepada advokat saat penyidikan ... 230

2. Pengujian penahanan dalam praperadilan ... 237

2.1. Praktik pengujian penahanan ... 239

2.2. Syarat Pasal 21 ayat (4) KUHAP ... 241

2.2. Penerapan unsur Pasal 21 ayat (1) KUHAP ... 243

2.3. Pengujian tata cara penahanan ... 246

BAB IV PENUTUP ... 251

1. Simpulan ... 251

2. Rekomendasi ... 258


(6)

(7)

KATA PENGANTAR

Setelah lebih dari 10 tahun memasuki era reformasi, Indonesia masih berjuang untuk membangun dan mencapai sistem hukum yang bersih, kompeten dan akuntabel. Masih maraknya penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum, suburnya praktik-praktik mafi a hukum, dan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum merupakan bukti bahwa reformasi hukum di Indonesia menghadapi tantangan yang sistematis dan cukup kompleks.

Salah satu agenda penting dalam reformasi hukum di Indonesia adalah kebutuhan untuk mengembangkan sistem peradilan pidana yang lebih demokratis dan akuntabel dimana akses atas keadilan dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia lainnya harus secara faktual menjadi public goods dan bukan untuk kepentingan pribadi aparat atau lembaga-lembaga penegak hukum. Yang memprihatinkan, selama masa reformasi telah terjadi fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses peradilan pidana, khususnya terhadap lembaga dan aparat penegak hukum sebagai akibat praktik korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia.

Tema penahanan pra-persidangan merupakan salah satu masalah yang belum mendapat perhatian serius dalam perjalanan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia. Oleh karena itu, pengalaman dan praktik penegakan hukum yang masih berlangsung hingga saat ini cukup menunjukkan bahwa penahanan pra-persidangan telah menjadi salah satu sumber penyalahgunaan wewenang, khususnya oleh aparat penegak hukum. Penahanan pra-persidangan di Indonesia mencapai jangka waktu 230 hari sebelum seseorang diajukan ke persidangan. Meski KUHAP tidak mengharuskan seseorang yang ditahan harus berada dalam tahanan di rumah tahanan negara, namun tak pernah ada mekanisme yang dikembangkan untuk melihat alternatif lain di luar penahanan di rumah–rumah tahananan negara. Akibatnya para


(8)

penegak hukum lebih memilih untuk menahan tersangka dalam jenis penahanan rumah tahanan negara.

Penahanan seorang tersangka pada dasarnya adalah perampasan kemerdekaan. Dalam konteks Indonesia, penahanan terhadap seseorang telah lama dianggap sebagai bagian diskresi pejabat yang memiliki wewenang penahanan, tanpa dapat diuji kesahihan penilaian sepihak pejabat tersebut. Oleh karena itu, dengan jangka waktu yang demikian lama di rumah–rumah tahanan negara dan tanpa ada proses pengujian penahanan yang memadai menjadi salah satu faktor memburuknya situasi dan kondisi di tempat–tempat penahanan di Indonesia.

Dualisme pengelolaan tempat penahanan juga menjadi isu penting, KUHAP menekankan bahwa pengelola tempat penahanan haruslah tunggal, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM. Jika penyidik telah menangkap orang yang diduga terlibat kejahatan dan saat memutuskan hendak menahan maka orang yang ditahan itu seharusnya dikirim ke tempat–tempat penahanan yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM bukan ditahan di kantor–kantor penyidik. Dualisme pengelola tempat penahanan ini sebenarnya adalah situasi transisi yang tanpa disadari secara perlahan telah menjadi situasi yang permanen, tanpa ada kesungguhan untuk mengubah kondisi ini agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Penilaian sepihak tentang kondisi apakah tersangka dapat ditahan dan anggapan bahwa unsur keadaan kekhawatiran adalah diskresi dari pejabat yang menahan, telah membuat pengadilan, melalui lembaga praperadilan, seperti ‘enggan’ untuk menguji secara substantif apakah penahanan yang dilakukan terhadap seorang tersangka benar–benar harus dilakukan dan telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam KUHAP. Lembaga praperadilan menjadi anak tiri dalam sistem peradilan pidana saat ini, tak banyak orang menggali sesungguhnya hukum acara apakah yang tepat digunakan dalam praperadilan. Ketiadaan hukum acara ini ikut mendorong pengadilan mengambil alih prinsip–prinsip


(9)

acara perdata yang malah secara substantif prosedural menjadi bagian penting yang melemahkan lembaga praperadilan itu sendiri.

Dari sisi jangka waktu, pembatasan waktu 7 hari sebagaimana diamanatkan dalam KUHAP seringkali terlanggar akibat digunakannya prinsip–prinsip acara perdata untuk pemanggilan para pihak. Selain itu, isu penting lainnya adalah dalam soal beban pembuktian, karena penilaian tentang kondisi yang menyebabkan tersangka ditahan ada pada sisi pejabat yang berwenang, namun yang harus membuktikan bahwa tersangka tidak pantas ditahan adalah tersangka.

Melihat situasi ini, tentu harus ada perbaikan, ICJR berupaya untuk turut serta mendorong perubahan kebij akan dalam sistem peradilan pidana. Namun tak hanya KUHAP yang harus diubah, tapi seluruh undang–undang yang yang terkait dengan hukum acara juga harus berubah.

Tujuan penerbitan laporan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran utuh tentang permasalahan penerapan penahanan pra-persidangan di Indonesia. Juga untuk memetakan kebij akan penahanan dalam topik-topik strategis yang berguna untuk menyusun rekomendasi bagi perbaikan penerapan kebij akan penahanan.

Kami memiliki gagasan dan komitmen, untuk tidak berhenti sampai di sini. Kami ingin turut serta melakukan advokasi melalui upaya-upaya khusus untuk meminimalisir penggunaan penahanan yang ada dan turut serta untuk terlibat dalam mempromosikan mekanisme kontrol yang efektif bagi upaya penahanan. Kerja ini juga dalam rangka implementasi kerja reformasi sistem kebij akan penahanan dan pra-persidangan yang berbasis pada nilai-nilai hak asasi manusia, transparansi dan akuntabilitas dari aparat penegak hukum.

Isi buku ini merupakan hasil olahan atau ramuan tim penulis, dengan bahan hasil “buruan” tim peneliti kami di empat kota yaitu Medan, Makassar, Kupang, dan Jakarta. Data diperoleh melalui interview


(10)

mendalam dengan para narasumber terpilih, perolehan data/dokumen di intitusi pemerintahan terkait, baik di wilayah maupun data nasional, konsultasi publik melalui focus group discussion, dan thematic discussion, serta studi pustaka.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Open Society Foundation yang telah memberikan dukungan kepada kami untuk mengimplementasikan penelitian dan penerbitan buku ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah terlibat dalam penelitian ini, khususnya Anggota Dewan Penasehat Program (Advisory Board Program), Dr. Salman Luthan, SH, MH (Mahkamah Agung RI), Dr. R. Widyo Pramono, S.H.,M.M.,M.Hum. (Kejaksaan Agung RI), Komjen.Pol. Drs. Oegroseno, SH. (Lemdikpol RI), Drs. Dindin Sudirman, Bc.IP.,Msi. (Praktisi Pemasyarakatan), Ifdhal Kasim, SH. (Komnas HAM RI), Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH.,L.LM. (Praktisi Hukum), dan Hasril Hartanto, SH.,MH (akademisi), atas peran, masukan-masukan, dan arahan yang diberikan kepada kami selama proses penelitian dan penyusunan buku ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada para narasumber dari perwakilan polisi, jaksa, hakim, petugas pemasyarakatan, tahanan, dan para mantan tahanan (di lingkungan wilayah hukum Polda Sulselbar, Polda Sumut, Polda NTT, Polda DKI Jakarta, PT Sulselbar, PT Sumut, PT NTT, PT DKI Jakarta, Kejati Sulselbar, Kejati Sumut, Kejati NTT, Kejati DKI Jakarta, Kanwil Kemenhumham Sulseslbar, Kanwil Kemenhumham Sumut, Kanwil Kemenhumham NTT, Kanwil Kemenhumham DKI Jakarta) serta para advokat yang telah bersedia menjadi informan kami dalam proses interview. Tak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan jaringan kerja kami di Medan, Makassar, Kupang, dan Jakarta atas waktu dan kontribusi yang telah diberikan, Tim Peneliti di Medan, Makassar, Kupang, dan Jakarta, serta Tim ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) yang telah menyusun buku ini.


(11)

Kami sangat menyadari, bahwa buku ini masih banyak terdapat kekurangan di sana-sini. Oleh karena itu, kami sangat terbuka kepada masukan dan kritik yang membangun, untuk perbaikan buku ini. Dengan harapan, buku ini nantinya dapat bermanfaat.

Jakarta, Juni 2012


(12)

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang penelitian

Hukum acara pidana memiliki karakteristik otoritas yang unik dan sah secara hukum untuk menjalankan upaya-upaya koersif, yakni pengekangan kebebasan individu seseorang yang patut diduga merupakan pelaku tindak pidana. Salah satu upaya koersif yang dikenal dalam hukum acara pidana adalah penahanan orang yang diduga pelaku tindak pidana di tempat-tempat penahanan negara. Isu mengenai penahanan memiliki banyak dimensi cara pandang, baik dari sisi aspek yang murni hukum maupun dimensi lain seperti sosial dan ekonomi. Dalam konteks penerapan kebij akan penahanan, terdapat satu tahap krusial yakni penerapan kebij akan penahanan pra-persidangan. Istilah penahanan pra-persidangan dalam kerangka rumusan defi nisi norma hukum di Indonesia secara tersurat memang tidak dikenal dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun dalam konteks bekerjanya mekanisme administrasi peradilan dan hukum acara pidana, kebij akan untuk menahan seseorang ditempat penahanan negara sebelum tersangka diajukan di tahap persidangan lazim dipraktikkan sebagai salah satu tahap berjalannya peradilan pidana. Dari aspek terminologis, istilah penahanan pra-persidangan merupakan padanan dari pre trial detention atau dalam beberapa istilah lainnya dikenal dengan preventive detention. Penahanan pra-persidangan biasanya dilakukan oleh penyidik yang memiliki kewenangan sah secara hukum untuk menerapkan pengekangan kebebasan kepada orang yang diduga adalah pelaku tindak pidana agar hal-hal yang dapat menghambat proses pemeriksaan dan pengumpulan barang bukti tidak terjadi. Secara sederhana penahanan pra-persidangan adalah bentuk penahanan di mana seseorang disimpan atau ditahan di fasilitas pemerintah sementara orang tersebut menunggu proses hukum di persidangan.


(14)

Cakupan pengertian yang sederhana tersebut cukup relevan untuk memahami batas lingkup penahanan pra-persidangan. Dalam laporan studi mengenai penahanan pra-persidangan di Uni Eropa juga mengemuka kesulitan perumusan untuk mendapatkan pemahamam dan cakupan yang sama persis mengingat perbedaan sistem hukum dan hukum acara pidana di berbagai negara.1 Dalam laporan tersebut negara-negara Uni Eropa mengakui keberadaan lembaga penahanan pra-persidangan sebagai tindakan pencegahan yang menggunakan sarana pengekangan kebebasan pribadi terhadap tersangka atau orang yang diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana.2 Pada prinsipnya tahanan ini tidak boleh dianggap bersalah atas perbuatan kejahatan apapun dan mereka tidak boleh diperlakukan sebagai pelanggar hukum seperti layaknya seorang narapidana, walaupun mereka kehilangan kebebasan mereka. Biasanya walaupun mereka memiliki kegiatan secara terbatas ketika sedang dalam tahanan, hal ini disebabkan alasan keamanan semata.

1 Lihat A.M van Kalmthout dkk, Pre-trial Detention in European Union an Analysis of Minimum Standards in Pre-trial Detention and the Grounds fo Regular Review in the Member States of the EU, European Commission, 2009, hal 55.

2 Menurut Webster Dictionary, Pretrial Detention adalah, “The detaining of an accused person in a criminal case before the trial has taken place, either because of a failure to post bail or due to denial of release under a pre-trial detention statute (menahan seorang tersangka dalam kasus pidana sebelum persidangan dilakukan, baik karena ketidakmampuan membayar jaminan atau karena permohanan pelepasannya ditolak berdasarkan undang-undang penahanan pra-sidang)”. Lihat Webster’s New World Law Dictionary, 2010, Wiley Publishing, Inc., Hoboken, New Jersey. Sementara Black’s Law Dictionary memberikan pengertian pre-trial detention sebagai: (1) The holding of a defendant before trial on criminal charges either because the established bail could not be posted or because release was denied; (2) In a juvenile-delinquency case, the court’s authority to hold in custody, from the initial hearing until the probable-cause hearing, any juvenile charged with an act that, if committed by an adult, would be a crime If the court fi nds that releasing the juvenile would create a serious risk that before the return date the juvenile might commit a criminal act, it may order the juvenile detained pending a probable-cause hearing. Juveniles do not have a constitutional right to bail. The Supreme Court upheld the constitutionality of such statutes in Schall v. Martin, 467 U.S. 253, 104 S.Ct. 2403 (1984). Also termed temporary detention. (Bryan A. Garner (Ed.), Black’s Law Dictionary Ninth Edition, West: Thomson Publising, 2009).


(15)

Dalam tatanan hukum Indonesia perlakuan terhadap narapidana dan tahanan telah dibedakan dalam regulasi yang masing-masing telah mengatur sesuai dengan porsi status hukumnya sebagai narapidana atau tahanan.3 Kebij akan penahanan pra-persidangan patut dicermati karena beberapa alasan yakni: Pertama, penegak hukum (penyidik khususnya) memiliki otoritas yang luas dalam menafsirkan aspek pentingnya kebij akan penahanan tersebut untuk diterapkan. Kedua, diskresi penyidik dalam situasi/kondisi tertentu cukup rawan untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang yang berujung pada perilaku koruptif atau ketidakadilan lainnya. Ketiga, seringkali aspek kerugian orang yang diduga pelaku baik secara sosial maupun ekonomi tidak dipertimbangkan dalam penerapan kebij akan penahanan pra-persidangan.

Perhatian masyarakat internasional atas penggunaan mekanisme penahanan pra-persidangan semakin mengemuka seiring berkembangnya norma-norma hukum hak asasi manusia baik dalam kerangka aksi internasional maupun dalam lingkup regional. Sebagai contoh, dalam laporan mengenai masalah hak asasi manusia dan penahanan pra-persidangan, Open Society Justice Initiative memaparkan beberapa permasalahan yang mengemuka secara global yakni:4

a. Dalam jangka waktu satu tahun, lebih dari sembilan juta orang dimasukkan ke dalam tahanan pra-persidangan.

b. Satu dari tiap tiga orang yang mengalami penahanan berada dalam status sedang menunggu persidangan dan tidak terbukti bersalah melakukan suatu tindak kejahatan.

c. Di beberapa negara, lebih dari tiga perempat dari seluruh 3 Lihat Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.

4 Lihat Justice Fact Sheet, Open Society Justice Initiative diunduh dari ht p://www. coe.int/t/dghl/cooperai on/cepej/events/OnEnParle/Why_need_global_camp_pretrial_ jusi ce_sept_09.pdf, diakses pada 5 Januari 2012.


(16)

narapidana adalah tahanan pra-persidangan. Angka-angka ini mencakup Liberia (97%), Mali (89%), Haiti (84%), Andora (77%), Nigeria (76%), dan Bolivia (75%).

d. Jangka waktu rata-rata yang dihabiskan dalam tahanan pra-persidangan di Uni Eropa kira-kira selama 167 hari. Sedangkan di Nigeria, jangka waktu rata-rata diperkirakan selama 3,7 tahun. e. Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang mempunyai

angka penahanan pra-persidangan tertinggi dengan menduduki peringkat ke-4 di dunia (158 per 100.000 penduduk).

f. Kebanyakan negara berkembang memiliki jumlah pengacara terlatih yang sangat sedikit dengan hanya satu pengacara untuk setiap 50.000 orang di beberapa tempat. Di Sierra Leone, hanya tujuh pengacara yang bekerja di daerah pedesaan dimana 80 persen dari penduduk bertempat tinggal.

Norma internasional pada umumnya melarang penerapan penahanan pra-persidangan yang tidak semestinya dan sewenang-wenang.5 Pada prinsipnya seseorang yang telah berstatus tersangka dan sedang menunggu persidangan sebenarnya diperbolehkan untuk kembali kepada masyarakat dengan syarat wajib menghormati hukum serta menghadiri persidangan pada waktu yang ditentukan. Idealnya penahanan pra-persidangan lebih karena ada alasan kuat untuk meyakini bahwa orang tersebut benar-benar diduga kuat sebagai pelaku tindak pidana serta benar-benar terdapat resiko yang cukup kuat akan melarikan diri sehingga menjadikan ancaman bagi masyarakat, atau mengganggu jalannya proses peradilan. Implikasi yang menonjol dari penggunaan penahanan pra-persidangan yang berlebihan dan semena-mena tidak hanya melemahkan asas praduga tidak bersalah sebagai manifestasi konsepsi peradilan yang adil serta berkontribusi juga terhadap sesaknya sarana penahanan. Penggunaan penahanan pra-persidangan yang lebih rasional memungkinkan pemerintah untuk mengurangi kepadatan penghuni dan menyalurkan berbagai biaya terkait untuk kepentingan kesejahteraan rakyat lainnya.


(17)

Meskipun telah muncul upaya-upaya penggalangan di tingkat internasional oleh PBB terkait dengan penerapan penahanan pra-persidangan, tahanan di banyak negara mengalami kondisi penahanan yang buruk seperti yang terjadi di banyak tempat penahanan yang penghuninya terlalu padat, kondisi sanitasi yang tidak sehat dan kondisi lainnya yang tidak layak bagi manusia. Laporan yang dimuat dalam lembar fakta Justice Initiatives: Pretrial Detention, yang dikeluarkan oleh Open Society Justice Initiative pada 2008, situasi dan kondisi secara global menunjukkan setiap harinya diperkirakan tiga juta jiwa di seluruh dunia berada di belakang jeruji menunggu persidangan. Laporan tersebut juga menunjukkan banyak tahanan menghabiskan waktu berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun dalam penahanan tanpa disidangkan atau dinyatakan bersalah sehingga mengalami penderitaan yang lebih buruk dibandingkan dengan orang yang terbukti bersalah melakukan kejahatan dan dihukum penjara. Sejumlah besar tahanan pra-persidangan rentan terhadap penyiksaan, kekerasan dan serangan penyakit. Pejabat yang korup cenderung bertindak sewenang-wenang terhadap mereka dan pada umumnya mereka hampir tidak pernah bertemu dengan penasihat hukum.6

Kondisi umum lainnya terkait dengan penahanan adalah kepadatan yang di luar batas, situasi ini banyak terjadi di tempat-tempat penahanan di seluruh dunia, yang berdasarkan laporan PBB kepadatan yang paling buruk terjadi di negara-negara sedang berkembang.7 Menurut pelapor khusus PBB, kerap ditemukan fakta bahwa hampir di semua negara jumlah tahanan dua kali lipat kapasitas penjara, dan bukan merupakan suatu hal yang luar biasa apabila sel-sel tahanan menampung tiga atau empat kali kapasitas mereka, sel-sel penuh sesak sehingga tahanan hanya mempunyai ruang untuk berdiri. Bahkan di beberapa negara Eropa, sel-sel yang dirancang untuk satu

6 Ibid. 7 Ibid.


(18)

orang kemungkinan digunakan untuk menampung dua-tiga orang.8 Kepadatan dan kondisi yang kotor mengakibatkan penyebaran penyakit menular lebih mudah. Penyebarluasan penyakit menular bisa diakibatkan kepadatan penghuni dan lingkungan yang tidak sehat. Dimensi lain yang kurang mendapatkan perhatian publik adalah implikasinya terhadap orang yang ditahan dapat kehilangan pekerjaan atau penghasilan dan kesulitan ekonomi lainnya.

Dalam konteks kebij akan penahanan pra-persidangan di Indonesia saat ini belum terdapat kajian yang menyediakan data dan informasi terhadap praktik penahanan pra-persidangan termasuk dampak penerapannya. Studi ini merupakan upaya awal untuk mengetahui dan mendalami secara lebih jauh mengenai praktik penahanan pra-persidangan dan implikasi-implikasi penerapannya. Melalui studi ini diharapkan akan banyak menarik para pemangku kepentingan penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia agar lebih memberikan perhatian terhadap praktik-praktik penahanan pra-persidangan dan eksesnya terhadap aspek perlindungan hak asasi manusia, hukum, sosial, dan ekonomi.

2. Tujuan dan lingkup studi

Pada dasarnya studi ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan dan memetakan situasi dan kondisi penerapan kebij akan penahanan pra-persidangan serta bagaimana penggunaan mekanisme keberatannya dalam prosedur hukum acara. Tahapan lanjutannya, hasil studi ini akan menjadi bahan perumusan perubahan kebij akan dalam menerapkan penahanan pra-persidangan. Secara khusus studi ini bertujuan untuk: a. Memberikan penggambaran baik dari segi kebij akan maupan

praktik penerapan penahanan pra-persidangan di Indonesia.

b. Memetakan permasalahan-permasalahan dalam penerapan kebijakan penahanan pra-persidangan ke dalam topik-topik 8 Ibid.


(19)

strategis yang berguna untuk menyusun rekomendasi bagi perbaikan kebij akan penahanan.

Lingkup pokok permasalahan yang akan diuji dalam studi ini adalah: a. Bagaimana keselarasan norma-norma hukum Indonesia dalam

hal pengaturan penahanan pra-persidangan dengan standar dan norma hak asasi internasional yang berlaku?

b. Bagaimana praktik penerapan kebijakan penahanan pra-persidangan di Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung mencerminkan gambaran situasi dan kondisi penahanan di Indonesia?

c. Bagaiamana mekanisme pengujian terhadap penahanan pra-persidangan melalui pra peradilan berjalan sebagai prosedur yang benar-benar secara esensial menjawab rasa keadilan substantif? 3. Metode dan kerangka kerja studi

Metode kerja dalam studi dirancang untuk menjadi panduan kegiatan penelitian sehingga menghasilkan analisis dan konklusi yang sahih atas rumusan-rumusan permasalahan yang diidentifi kasi dan akan dij awab melalui penelitian ini. Pada dasarnya studi ini merupakan upaya untuk memetakan permasalahan penerapan penahanan pra-persidangan dan pra-peradilan sebagai mekanisme pengajuan keberatan terhadap penahanan dalam praktik hukum di Indonesia. Hasil dari studi ini akan dij adikan sebagai bahan untuk perbaikan kebij akan penahanan pra-persidangan baik sebagai masukan bagi perubahan hukum acara pidana serta dalam bentuk pedoman pelaksanaan penahanan bagi penegak hukum. Pola riset ini secara garis besar mengadopsi pola yang biasanya diterapkan dalam suatu baseline study.

Studi ini menyediakan informasi awal terhadap suatu permasalahan yang akan ditinjau. Pada prinsipnya cara kerja penelitian ini adalah melakukan pengumpulan data dan informasi secara sistematis mengenai praktik penahanan pra-persidangan dalam kurun waktu tertentu, sebagai informasi studi awal untuk memotret situasi praktik


(20)

penahanan pra-persidangan dengan berbagai sumber data baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, termasuk melalui teknik pengumpulan data dengan berbagai metode seperti wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, observasi, data terkini atau kecenderungan dalam kurun waktu tertentu yang dirilis oleh institusi-institusi terkait.

Dalam kerangka analisis, data dan informasi yang didapatkan dikaji dengan sudut pandang yuridis-empiris,9 yaitu pendekatan yang digunakan untuk melihat gejala-gejala sosial yang berkaitan dengan hukum di tengah masyarakat. Pendekatan yuridis empiris ini mengkaji bagaimana ketentuan normatif diwujudkan senyatanya di masyarakat. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis normatif10 karena menggunakan data sekunder sebagai sumber tambahan, berupa berbagai peraturan perundang-undangan dan referensi dokumen lain yang terkait dengan penahanan pra-persidangan. Selain pendekatan analisis dalam disiplin hukum tersebut, pendekatan lain yang melengkapi analisis penelitian ini adalah mengenai analisis dampak dari kebij akan penahanan pra-persidangan.

Istilah ‘kebij akan’ banyak digunakan dalam berbagai konteks. Dalam kaitannya dengan tema penelitian ini terminologi ‘kebij akan’ dipakai untuk menunjuk sesuatu yang khusus, yakni yang terkait dengan hal ikhwal penahanan pra-persidangan di Indonesai baik dari aspek pengaturan norma hukum maupun praktik yang berlaku. Istilah ‘kebij akan’ sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program, 9 Penelitian empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data-data

primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Pemikiran empiris ini disebut juga pemikiran sosiologis. Lebih jauh tentang ini lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: CV. Rajawali, 1990, hal. 15.

10 Penelitian normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Pemikiran normatif didasarkan pada penelitian yang mencakup (1) asas-asas hukum, (2) sistematik hukum, (3) taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal, (4)perbandingan hukum, (5) sejarah hukum. Lihat ibid, hal. 13-14.


(21)

keputusan (decisions), standar, dan grand design.11 Dalam penelitian ini cakupan kebij akan penahanan pra-persidangan meliputi beberapa hal. Pertama, lingkup pengaturan penahanan penahanan pra-persidangan dalam hukum Indonesia. Kedua, menunjuk perilaku aktor (baik seorang, kelompok, serta institusi penegak hukum) yang diberikan kewenangan untuk melakukan penahanan pra-persidangan. Ketiga, dampak dari rangkaian keputusan untuk menerapkan penahanan pra-persidangan.

Perkembangan mutakhir kebij akan dalam lingkup peradilan pidana (criminal justice policy) adalah bagaimana menggeser cara pandang yang merepresentasikan criminal justice hanya berkutat pada hal ikhwal aspek crime management ke arah pengakuan atas peran-peran individu sebagai situs intervensi dan objek penilaian untuk perubahan dan pengambilan kebij akan dalam lingkup peradilan pidana.12 Untuk itu melihat dampak kebij akan penahanan pra-persidangan menjadi hal penting untuk dapat memotretnya secara menyeluruh.

Kerangka kerja dari penelitian yang meliputi cakupan, isu-isu yang dikaji dalam penelitian, dan metode digambarkan dalam tabel berikut ini:

11 Lihat Budi Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo, 2002, hal. 14-15.

12 Lihat Hazel Kemshall, Understanding Risk in Criminal Justice, England: Open University Press, 2003, hal. 26-27.


(22)

Tabel 1: Kerangka kerja penelitian

Cakupan topik Isu-isu yang dikaji Metode

Tinjauan teoritis dan normatif, penahanan pra-persidangan

Penahanan pra-persidangan di Indonesia

Masalah penahanan secara global

Penormaan HAM dalam penahanan pra-persidangan

Review peraturan perundang-undangan dan norma-norma HAM

Kajian pustaka Wawancara ahli

Tinjauan empiris, situasi dan kondisi praktik penahanan pra-persidangan di Indonesia

Tempat penahanan Overcrowding Overstaying

Akses bantuan hukum dan penasihat hukum

Penyiksaan dalam masa penahanan

Komodifi kasi penahanan

pra-persidangan Dampak penahanan

pra-persidangan

Review terhadap dokumen-dokumen Wawancara

mendalam Observasi Wawancara Diskusi informal Diskusi kelompok

terfokus Praktik dan permasalahan pra peradilan sebagai mekanisme pengujian penahanan pra-persidangan

Proses pemeriksaan pra peradilan

Pasal 21 dan 24 KUHAP Penghitungan awal masa

tenggang 7 hari Sikap pejabat/ penegak

hukum

Review putusan pra- peradilan Review terhadap dokumen-dokumen Wawancara mendalam Observasi Wawancara Diskusi informal Diskusi kelompok terfokus


(23)

3.1. Desain dan pemilihan wilayah penelitian

Informan utama dalam penelitian ini adalah penegak hukum yang meliputi 5 (lima) institusi, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan (Lapas atau Rutan), dan Advokat. Responden lain di luar penegak hukum adalah orang yang pernah ditempatkan di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan.

Dalam pemilihan wilayah penelitian, penelitian ini menggunakan pendekatan purposive, yakni memilih wilayah penelitian berdasar pada karakteristik yang relevan dengan tujuan penelitian. Secara purposive, penelitian ini memilih empat kota sebagai wilayah penelitian, yakni Jakarta, Medan, Makassar, dan Kupang. Penentuan lokasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan sebaran wilayah Indonesia di bagian barat, tengah, dan timur, dengan Jakarta sebagai pusat. Karakteristik lainnya adalah bahwa kota-kota tersebut merupakan acuan bagi perkembangan kewilayahan Indonesia. Jakarta memiliki masalah yang khas sebagai ibukota negara, sementara Medan dan Makassar termasuk kota yang tinggi tingkat kriminalitasnya, serta masalah penghuni Lapas atau Rutan yang melebihi kapasitas. Sedangkan Kupang dianggap mewakili wilayah dengan tingkat kriminalitas rendah, serta kemajuan ekonomi yang lamban, dibandingkan dengan Jakarta, Medan dan Makassar. Ketersediaan advokat di wilayah ini juga paling minimalis, dibandingkan dengan tiga kota lainnya. Kondisi tersebut diharapkan dapat merepresentasikan situasi penegakan hukum dengan latar belakang situasi yang beragam.

Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 155 orang, yang terdiri dari 40 informan polisi, 31 informan advokat, 17 informan petugas rutan/lapas, 23 informan jaksa, 25 informan hakim, dan 19 informan tahanan. Informan tersebut tersebar di empat kota yakni Jakarta (47), Makassar (30), Kupang (40 informan), dan Medan (38).


(24)

Tabel 2: Pemilihan wilayah penelitian

No Kota Alasan pemilihan

1 Jakarta a. Ibukota negara dan kota terbesar di Indonesia b. Barometer perkembangan/pertumbuhan ekonomi

Indonesia.

c. Tingkat kejahatan termasuk tinggi di Indonesia d. Permasalahan kapasitas Rutan dan Lapas e. Permasalahan sosial yang kompleks

2 Medan a. Ibukota provinsi dan kota terbesar di Pulau Su-matera

b. Barometer perkembangan/pertumbuhan ekonomi Sumatera/ Indonesia bagian barat.

c. Tingkat kejahatan termasuk tinggi di Indonesia d. Permasalahan kapasitas Rutan dan Lapas e. Permasalahan sosial yang kompleks

3 Makassar a. Ibukota provinsi dan Kota terbesar di Pulau Sulawesi

b. Barometer perkembangan/pertumbuhan ekonomi Sulawesi dan Indonesia Bagian Tengah dan Timur.

c. Tingkat kejahatan termasuk tinggi di Indonesia d. Permasalahan kapasitas Rutan dan Lapas e. Permasalahan sosial yang kompleks 4 Kupang a. Ibukota provinsi.

b. Termasuk daerah yang tertinggal jika dibanding-kan dengan provinsi lain di Indonesia/permasala-han kemiskinan.

c. Permasalahan kapasitas Rutan dan Lapas tidak serumit tiga kota lainnya (Jakarta, Medan, dan Makassar).


(25)

3.2. Sumber dan teknis pengambilan data

Laporan ini menggunakan data primer yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan di empat wilayah penelitian sebagai sumber utamanya. Data primer diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa:

1. Wawancara mendalam (indepth interview) dengan penegak hukum yang memiliki tugas dan kewenangan untuk melakukan tindakan penyidikan dan penahanan, penegak hukum yang memiliki kewenangan memeriksa praperadilan, penegak hukum yang memiliki tugas dan kewenangan mendampingi tersangka/ terdakwa, dan penegak hukum yang memiliki kewenangan dalam melakukan perawatan tahanan. Wawancara mendalam juga dilakukan dengan orang yang pernah mengalami penahanan di rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan. Dalam melakukan wawancara tersebut, peneliti dibantu panduan pertanyaan yang telah disusun untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kunci terkait dengan permasalahan penahanan pra-persidangan. 2. Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD), yaitu suatu teknik pengumpulan data dimana sekelompok orang terpilih (jumlah antara 10–15 orang) berdasarkan representasi kelompok informan untuk mendiskusikan topik tertentu dan temuan lapangan yang telah disusun dalam laporan awal oleh tim peneliti. Diskusi dilakukan melalui sebuah pengaturan yang interaktif dimana peserta bebas untuk berbicara dengan anggota kelompok lainnya. Dalam penelitian ini, FGD dilakukan untuk mengukur bagaimana respon informan terhadap temuan awal penelitian dan melakukan pengecekan silang terhadap data yang didapat melalui proses wawancara. Selain itu diskusi ini digunakan pula untuk memperdalam beberapa pertanyaan kunci yang perlu dielaborasi lebih lanjut dan tidak dapat ditemukan selama tahap wawancara.

3. Diskusi panel ahli adalah metode untuk memperoleh masukan dari pada pakar dan praktisi yang memiliki keahlian dalam


(26)

bidang-bidang tertentu. Diskusi panel ahli difokuskan untuk memperdalam topik-topik tertentu dimana tim peneliti memerlukan pendapat baik untuk melakukan verifi kasi data dan permasalahan yang menjadi topik penting. Diskusi ahli juga dilakukan dalam kerangka memperoleh pij akan referensi praktis dan teoritis.

3.3. Kajian dokumen

Selain data primer yang didapatkan melalui berbagai metode, penelitian ini mengandalkan kajian terhadap rerensi-referensi tertulis sebagai data sekunder. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil studi dokumentasi dengan menelaah–bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah penelitian, yang mencakup:13

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, mulai dari Undang-undang Dasar dan peraturan terkait lainnya. Selain hukum positif yang diatur dalam lingkup hukum nasional, studi terhadap instrumen-instrumen hukum hak asasi manusia internasional dan norma-norma yang diatur dalam lingkup regional yang terkait dengan standar dan pengaturan hak asasi manusia dalam isu penahanan pra-persidangan.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu referensi-referensi melalui penelusuran studi pustaka yang terkait dengan topik penahanan pra-persidangan yang berfungsi untuk memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tertier, yakni sumber pustaka yang memberikan petunjuk bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, buku saku, dan agenda resmi.

Dalam konteks hukum acara pidana di Indonesia, tidak dikenal istilah teknis penahanan pra-persidangan. Di Indonesia lingkup penahanan pra-persidangan adalah pada saat seorang tersangka

13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1982, hal. 52.


(27)

dikenakan penahanan di rumah tahanan dalam proses penyidikan dan pemberkasan sebelum diajukan ke persidangan.

Kajian terhadap dokumen-dokumen yang relevan dengan kebij akan penahanan pra-persidangan tersebut penting dilakukan, khususnya terhadap instrumen-instrumen hak asasi manusia yang menjadi referensi dan acuan norma dalam penerapan penahanan pra-persidangan.

Telaah terhadap praktik internasional berserta standar norma yang diberlakukan tersebut akan diperbandingkan dengan hukum positif di Indonesia. Selain itu, telaah ini akan menjadi kerangka/perspektif dalam melihat serta menganalisis praktik penahanan pra-persidangan di Indonesia dan dampaknya terhadap seorang tersangka.

3.4. Analisis data

Dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif digunakan sebagai metode dalam melakukan analisis data.14 Penerapan metodologi ini bersifat luwes, tidak terlalu rinci, tidak harus mendefi nisikan konsep, memberi kemungkinan bagi perubahan-perubahan manakala ditemukan fakta yang lebih mendasar, menarik, unik dan bermakna di lapangan. Metode kualitatif dimaksudkan untuk memberikan gambaran, sekaligus menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi, terkait dengan pengaturan dan kebij akan serta praktik penahanan prapersidangan di Indonesia. Realitas-realitas tersebut kemudian akan diungkap dalam sebuah bentuk deskriptif.15

14 Secara umum metode kualitatif dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Qualitative research we mean any kind of research that procedure fi ndings not arrived at by mean of statistic procedures or other mean of quantifi cations. It can refer to research about persons’ lives, stories, behaviors, but also about organizations. Functioning, social covenants or intellectual relationship”, Lihat Anselmus Strauss and Juliat Corbin, Basic of Qualititive Research, Grounded Theory Procedure and Technique, London: Sage Publication, 1979, hal. 17. Lihat juga Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989.


(28)

Tahapan analisis data dalam penelitian ini meliputi: Pertama, pengorganisasian data dengan melakukan penyusunan dan pengecekan data secara rapi, sistematis, dan lengkap. Kedua, analisis tematik berdasarkan topik-topik cakupan isu yang akan dikaji dengan memberi/membuat makna terhadap materi-materi yang ada. Ketiga, penginterpretasian data, untuk memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam, memasukkan data pada lingkup konseptual khusus dalam kerangka teoritis agar bisa dipakai memahami pernyataan–pernyataan yang ada. Keempat, pengambilan kesimpulan sebagai akhir dari analisis. Kesimpulan diambil dengan menggunakan metode deduksi, yaitu dari pengaturan-pengaturan dan peristiwa-peristiwa hukum yang sifatnya umum akan menghasilkan beberapa kesimpulan yang bersifat khusus.

4. Komposisi tim peneliti

Tim Peneliti dibentuk untuk memastikan penelitian dapat terlaksana, baik pada saat melakukan penelitian di lapangan, maupun pada saat pengolahan data. Untuk itu, tim peneliti dibagi menjadi dua, yaitu Tim Peneliti inti, dan tim peneliti wilayah. Pada level tim peneliti inti dibutuhkan tim yang dapat berkoordinasi secara intens dan telah berpengalaman dalam melakukan penelitian advokasi. Komposisi Tim Peneliti inti berjumlah lima orang. Sedangkan Tim Peneliti yang kedua yaitu tim peneliti wilayah. Pada masing-masing wilayah yang menjadi objek penelitian, terdiri dari dua orang peneliti. Keseluruhan tim peneliti wilayah berjumlah delapan orang. Mereka adalah individu-individu jaringan kerja ICJR di Medan, Kupang, Makassar, dan Jakarta, yang terdiri dari Pekerja HAM, Pengacara Publik, dan Wartawan Desk Hukum. Keragaman latar belakang peneliti wilayah sangat mendukung proses kerja penelitian, terutama saat perolehan data di lapangan, baik saat interview dengan narasumber terpilih, maupun pengumpulan dokumen.


(29)

5. Waktu penelitian

Penelitian ini berjalan selama satu tahun, dimulai dari Juni 2011 hingga Juni 2012. Waktu dimaksud mulai dari pemetaan data awal, observasi lapangan, hingga tahap analisis data atau pengolahan hasil observasi. 6. Keterbatasan penelitian

Pada setiap penelitian dapat dipastikan terdapat keterbatasan. Penelitian mengenai Pemetaan Kebij akan Penahanan Pra-persidangan di Indonesia juga memiliki keterbatasan-keterbatasan dan kelemahan selama periode pelaksanaan penelitian berjalan.

Keterbatasan pertama, cakupan keterwakilan wilayah yang hanya empat kota di Indonesia. Dari aspek representasi kewilayahan disadari ada keterbatasan untuk mendapatkan gambaran utuh praktik penahanan pra-persidangan di Indonesia mengingat luasnya wilyah Indonesia yang terdiri dari 33 provinsi dengan karakteristik permasalahan masing-masing. Untuk memperoleh gambaran yang utuh di 33 provinsi tersebut tentunya membutuhkan biaya yang besar. Pemilihan empat kota dalam batas-batas tertentu telah mewakili sisi ektrem dan sisi moderat dari aspek penegakan hukum dan permasalahan penahanan di Indonesia.

Keterbatasan kedua, adanya hambatan psikologis dari informan. Keterbatasan yang telah dikalkulasi sejak awal adalah mengenai keutuhan informasi yang berasal dari informan penegak hukum khususnya polisi dan jaksa. Meskipun hakim memiliki keterbatasan untuk memberikan informasi, namun tidak seperti polisi dan jaksa yang memiliki karakteristik struktur hierarkis yang cukup ketat. Untuk itu dalam proses wawancara disusunlah panduan yang dapat memberikan arah agar konsisten dengan alur penelitian yang telah ditetapkan.

Keterbatasan ketiga, waktu penelitian yang dirasakan terlalu singkat jika diperbandingakan dengan kesukaran untuk mengakses data


(30)

dan informasi kepada responden yang berasal dari instansi-instansi penegak hukum.

Keterbatasan keempat, ketidaksamaan tingkat kedalaman data dan informasi dari informan, yang juga terkait dengan kualitas anggota tim peneliti lapangan yang beragam, untuk melakukan wawancara dan memperoleh data pendukung lainnya.


(31)

BAB II

NORMA DAN STANDAR HAM INTERNASIONAL

DAN ISU-ISU KRUSIAL DALAM KEBIJ

AKAN

PENAHANAN PRA-PERSIDANGAN

1. Norma dan standar hak asasi manusia internasional yang terkait dengan penahanan pra-persidangan.

Sistem hukum hak asasi manusia internasional merupakan norma-norma hukum yang dibangun melalui berbagai aspek hukum yang keberadaannya bisa berdiri sendiri, saling beririsan, yang terintegrasi dalam hukum internasional dan hukum nasional. Konteks keberadaan sistem hukum hak asasi manusia ini berkembang melalui keberadaan standar norma-norma hak asasi manusia dalam hukum hard law maupun sot law.16 Sistem nilai yang dikonstruksikan dalam hukum hak asasi manusia merupakan sistem nilai yang tidak kaku atau tuntas dan tertutup terhadap diskursus. Sistem ini menyuguhkan perangkat-perangkat standar minimum dan berbagai prosedural yang diaplikasikan bukan hanya bagi pemerintahan dan institusi penegak hukum, tetapi juga pada prinsipnya bagi sejumlah badan usaha/bisnis, organisasi internasional dan perorangan.17

16 Isitilah hard law umumnya menunjuk pada mekanisme perjanjian/konvensi-konvensi atau dokumen lainnya yang berbasis perjanjian internasional sehingga secara langsung mengikat negara pihak dalam rangka pelaksanaan di tingkat nasional dan internasional. Biasanya melalui prosedur/mekanisme tertentu (based treaty), atau melalui adopsi/domestifi kasi hukum atau pengaturan dalam pemberlakuan di tingkat undang-undang nasional pada negara yang bersangkutan. Sedangkan istilah soft law umumnya menunjuk pada pedoman, prinsip-prinsip umum/asas-asas, kode tingkah laku, yang telah menjadi kesepakatan secara umum untuk dijadikan acuan dalam menentukan standar pelaksanaan pemenuhan hak asasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Meskipun instrumen soft law tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara ketat, namun karena substansinya sangat relevan dengan praktik-praktik penegakan hukum, maka pematuhan atas instrumen soft law sangat dianjurkan. Lihat C. De Rover, To Serve and To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta: Raja Grafi ndo Persada, 2000, hal. 152-153.

17 Lihat Manfred Nowak, Pengantar pada Rezim Hak Asasi Manusia Internasional, Helsinki: RWI, 2006, hal. 51-74.


(32)

Dalam rangka perlindungan hukum, sistem hukum hak asasi manusia telah menjamin mekanismenya melalui berbagai prosedur yang tersedia, baik mekanisme yang didasarkan melalui piagam PBB maupun mekanisme dengan basis perjanjian. Sumber hukum yang memberikan perlindungan hak asasi manusia secara universal dimuat dalam (i) Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), (ii) Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, dan (iii) Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Ketiga dokumen tersebut menjadi general framework bagi pelaksanaan perlindungan hak asasi manusia. Sistem hukum hak asasi manusia internasional menghendaki perlindungan hak asasi manusia dari segi legal substansi hukum domestik dan praktik prosedur hukum sesuai dengan tatanan (standar norma) yang berlaku secara universal.18 Sistem hukum hak asasi manusia internasional juga telah menjangkau ranah administrasi peradilan (administration of justice). Artinya, sistem hukum hak asasi manusia juga telah menyediakan prinsip-prinsip umum dan prosedur bagaimana norma-norma hak asasi manusia dapat diterapkan. Secara terbatas tataran administrasi peradilan dapat dimaknai sebagai satu bidang dalam hukum yang secara spesifi k menjamin proses pencarian keadilan melalui sarana institusi-institusi yudisial dengan aspek legal substansi dan struktur yang telah ditentukan.

Sistem hukum hak asasi manusia internasional telah mengatur prinsip-prinsip umum dan norma-norma yang bertujuan untuk melindungi dan mengatur hak setiap orang yang mengalami perampasan kemerdekaan. PBB telah memberlakukan berbagai standar dan instrumen yang memuat ketentuan-ketentuan yang menyangkut penahanan pra-persidangan. Beberapa dari ketentuan tersebut bersifat umum dan berlaku bagi penahanan pra-persidangan, penahanan administratif dan pemenjaraan pasca-persidangan. Sebagian lagi secara khusus mengatur penahanan pra-persidangan. Standar-18 Lihat Christoper Gane and Mark Mackarel (ed.), Human Rights and Administration


(33)

standar tersebut tersebar melalui berbagai instrumen yang menyentuh masalah penahanan persidangan. Dalam konteks penahanan pra-persidangan instrumen hak asasi manusia internasional yang relevan dapat dikategorikan dalam beberapa kategori instrumen, yakni:

(i) Instrumen-instrumen pokok internasional yang menjadi rujukan bagi norma-norma dasar hak asasi manusia, adalah: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), ICCPR (Kovenan Hak Sipil dan Politik), ICESCR (Kovenan Hak Enomoni Sosial dan Budaya), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, dan Konvensi Hak Anak (KHA);

(ii) Instrumen yang terkait dengan fungsi dan peran aparatur penegak hukum serta pembatasan penggunaan kekerasan yakni terdiri dari: Kode Etik bagi Aparatur Penegak Hukum, Prinsip-prinsip Dasar tentang Kemerdekaan Peradilan, Prinsip-Prinsip-prinsip Dasar Peranan Jaksa, Prinsip-prinsip Dasar Peranan Pengacara; (iii) Instrumen yang mengatur mengenai perlindungan terhadap

para tahanan dan narapidana, yakni: Kumpulan Prinsip bagi Perlindungan Semua Orang dalam Segala Bentuk Penahanan dan Pemenjaraan, Prinsip-Prinsip Dasar bagi Perlakuan Tahanan, Aturan Minimum Standar bagi Perlakuan terhadap Tahanan; dan Pengaturan Standar Minimum untuk Tindakan Non Penahanan/ Protokol Tokyo;

(iv) Instrumen-instrumen yang mengatur mengenai anak/orang yang belum dewasa, seperti: The Beij ing Rules/Standar Minimum pengaturan untuk Administrasi Sistem Peradilan bagi Anak/ Juvenile Justice dan Resolusi Majelis Umum PBB mengenai Aturan PBB untuk Perlindungan Anak Anak/Orang yang Belum Dewasa yang di Batasi Kemerdekaannya.


(34)

Pada tataran hukum domestik, instrumen-instrumen hak asasi manusia materil dan prosedural secara bertahap perlu dimasukkan atau diadopsi ke dalam hukum nasional. Instrumen-instrumen hukum hak asasi manusia internasional tersebut, dalam konteks mekanisme penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang berbasis Piagam PBB dan berbasis perjanjian, secara teknis prosedural telah memiliki sarana yang mapan dan relatif akan mengikat negara pihak. Selain itu, instrumen-instrumen yang berwujud sot law perlu menjadi perhatian dalam penerapannya pada tataran hukum domestik.

Norma yang menjadi rujukan utama penahanan pra-persidangan terdapat pada Pasal 9 Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pasal ini dikelompokkan sebagai pengaturan bagi perlindungan kebebasan dan keamanan pribadi. Secara lengkap rumusan Pasal 9 adalah sebagai berikut:

1. Setiap orang berhak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum.

2. Siapapun yang ditangkap harus diberitahu pada saat penangkapan, alasan-alasan penangkapannya, dan harus segera diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan padanya.

3. Siapapun yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana harus segera dibawa ke hadapan hakim atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk melaksanakan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Seharusnya bukan merupakan ketentuan umum bahwa orang yang menunggu pemeriksaan pengadilan harus ditahan, tetapi pembebasan dapat dilakukan dengan syarat jaminan untuk hadir pada waktu pemeriksaan pengadilan, pada tahap lain dari proses peradilan, dan apabila dibutuhkan pada pelaksanaan putusan pengadilan.


(35)

4. Siapapun yang dirampas kemerdekaannya dengan cara penangkapan atau penahanan mempunyai hak untuk disidangkan di depan pengadilan, agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tersebut tidak sah menurut hukum.

5. Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak mendapat ganti rugi yang harus dilaksanakan.

Konteks terminologi kebebasan pribadi (liberty of person) dalam Pasal 9 Kovenan Hak Sipil dan Politik tidaklah sama dengan pengertian kebebasan (liberty) dalam makna umum. Hak asasi manusia pada dasarnya memberikan perlindungan untuk merealisasikan kebebasan manusia (human freedom) yang disesuaikan dengan objek dan tujuannya sehingga secara teknis dapat dibedakan dengan konteks kebebasan (liberty) dalam Pasal 9. Kebebasan pribadi (liberty of person), dalam Pasal 9 hanya terkait dengan aspek yang sangat khusus, yakni pengekangan kebebasan badan untuk bergerak (freedom of bodily movement).19 Untuk itu Pasal 9 mengaitkan dengan keterhubungan hal ikhwal kebebasan pribadi hanya dari aspek penahanan paksa terhadap seseorang di lokasi tertentu, seperti penjara atau fasilitas penahanan lainnya, fasilitas rumah sakit jiwa, dan tempat-tempat lainnya dengan tujuan yang khusus dan sah secara hukum.20 Topik-topik spesi k yang

19 Lihat Manfred Nowak, UN Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary, 2nd revised edition, NP Engel Publisher, 2005, hal. 212.

20 Sedang konteks keamanan (security) dalam Kovenan ini mengandung kontroversi, sebagaimana penjelasan dari Manfred Nowak yang merujuk pada kasus Delgado Paez vs Colombia. Komite menafsirkan adanya pelanggaran terhadap Pasal 9 ayat (1) (security of person), bahwa hak atas keamanan tidak terbatas pada hak-hak keamanan seseorang, yang ditujukan hanya pada orang yang sedang dalam situasi mengalami pengekangan kebebasannya secara formal namun menyangkut pula orang-orang yang tidak sedang dilakukan penahanan. Komite dalam hal ini tidak hanya membangun makna independen dari hak atas keamanan pribadi tetapi juga memberikan defi nisi yang jelas sebagai suatu hak dengan efek yang horizontal. Lihat ibid., hal. 214 -215.


(36)

disinggung dalam Pasal 9 Kovenan adalah mengenai hak terbebas dari penyiksaan atau tindak sewenang-wenang, hak atas informasi, hak-hak khusus bagi orang dalam status penangkapan dan penahanan, hak-hak atas Habeas Corpus (prinsip hukum bahwa orang yang ditahan berhak untuk melakukan pengujian penahanan melalui proses yudisial tanpa ditunda),21 dan hak atas kompensasi.

Selain norma yang dimuat Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik tersebut, komunitas internasional telah menciptakan berbagai instrumen standar untuk mengatasi masalah-masalah terkait dengan orang-orang yang menjalani penahanan pra-persidangan ataupun orang-orang yang ditahan tanpa proses peradilan yang terjadi di banyak negara. Standar yang dibuat komunitas internasional dibagi ke dalam enam kategori 22 yang akan dipaparkan di bawah ini.

1.1. Standar kondisi penjara atau tempat penahanan

Berkenaan dengan standar mengenai kondisi tempat penahanan atau penjara yang menyangkut peradilan pidana, dibentuk pada 1955 melalui penetapan Peraturan Standar Minimum tentang Perlakuan terhadap Narapidana (Standard Minimum Rules for the Treatment for Prisoners) yang diadopsi oleh First United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Off enders, yang diadakan di Jenewa pada 1955, dan disetujui oleh Economic and Social Council melalui Resolusi 663 C (XXIV) pada 31 Juli 1957 dan 2076 (LXII) pada 13 Mei 1977.

Peraturan standar minimum ini memuat perlindungan-perlindungan yang terperinci atas kondisi semua orang dalam penahanan pra-persidangan atau pemenjaraan. Beberapa dari peraturan tersebut secara khusus diterapkan bagi penahanan pra-persidangan yang bertitik 21 Lihat ibid., hal. 235.

22 Uraian pada bagian ini sebagian besar merujuk pada naskah Professional Training Series No.3 Human Rights and Pre-trial Detention A Handbook of International Standards Relating to Pre-trial Detention, United Nations, 1994.


(37)

tolak dari asas praduga tidak bersalah. Pada 1977, ditambahkan aturan 95 dalam Standar Minimum Tahanan yang memperluas perlindungan kepada orang-orang dalam penahanan adminsitratif atau yang ditahan tanpa tuduhan. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB menawarkan rekomendasi lebih lanjut kepada negara-negara mengenai penerapan Peraturan Standar minimum tersebut dalam resolusi 1984/47 tertanggal 5 Mei 1984.

Pada tahun 1988 Majelis Umum PBB mengumumkan Kumpulan Prinsip-Prinsip tentang Perlindungan Semua Orang dalam Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan (Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention and Imprisonment)—selanjutnya disebut Body Principles—atau prinsip-prinsip pokok, yang merupakan sumber penting bagi pedoman penerapan prinsip-prinsip umum DUHAM dan Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dalam hal penahanan pra-persidangan. Prinsip-prinsip pokok tersebut merinci upaya yang diperlukan untuk melindungi hak asasi manusia para tahanan. Dalam momentum yang tidak terlalu lama, pada tahun 1990 melalui Resolusi Majelis Umum No. 45/111, tertanggal 14 Desember 1990, telah diadopsi dan diumumkan Prinsip-Prinsip Dasar bagi Perlakuan Tahanan (Basic Principles for the Treatment of Prisoners) sebagai seruan kepada semua negara agar menyantumkan prinsip-prinsip elementer dalam memperlakukan tahanan.

1.2. Standar larangan penyiksaan atau perlakuan buruk

Sebelum atau tanpa persidangan, tahanan seringkali disiksa atau diperlakukan secara buruk. Perlakuan tersebut umumnya ditujukan untuk memaksa para tersangka tersebut untuk mengakui kejahatan mereka atau memberikan informasi atau membuat mereka dalam kondisi terintimidasi dan terancam sehingga untuk selanjutnya para tersangka tersebut diharapkan mau mengikuti permintaan dan arahan penyiksa.


(38)

Pada 1975, Majelis Umum PBB menetapkan deklarasi tentang perlindungan bagi semua orang terhadap penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Ketentuan tersebut kemudian diperkuat dengan Konvensi Menentang Penyiksaan yang lahir pada 1984.

1.3. Standar larangan hukuman sewenang-wenang

Tahanan seringkali tidak diperbolehkan untuk melakukan komunikasi dengan orang-orang terdekat dan penasihat hukumnya. Pada umumnya larangan ini dilakukan tanpa pengawasan bahkan izin dari pengadilan. Tindakan ini sering digunakan aparat untuk melakukan penghukuman, penghilangan dan penyiksaan. Melihat situasi tersebut Komisi HAM PBB lalu membentuk kelompok kerja tentang penghilangan paksa pada 1980. Namun standar-standar sehubungan dengan penghukuman yang sewenang-wenang masih relatif baru, dimana prinsip-prinisp tentang pencegahan dan penyelidikan terhadap penghukuman yang sumir, sewenang-wenang, dan tidak sah, baru ditetapkan pada 1989 dan deklarasi mengenai penghilangan paksa ditetapkan oleh Majelis Umum PB pada 1992.

Beberapa standar dalam Deklarasi tersebut kemudian dikembangkan dalam Peraturan Standar Minimum tentang pembinaan narapidana terutama mengenai persyaratan dimana aparat pemerintah harus mempunyai catatan mengenai orang-orang yang mereka tahan. Tujuannya adalah mencegah penghilangan para tahanan dan untuk membantu pengawasan tempat-tempat penahanan.

1.4. Standar jaminan akses kepada advokat dan proses hukum yang adil

Bantuan hukum dari advokat sangatlah penting dan mendasar untuk mempertahankan hak asasi orang-orang yang menjalani penahanan pra-persidangan, sehingga hal ini dicantumkan secara tegas dalam Pasal 14 Kovenan Hak Sipil dan Politik.


(39)

Peraturan Standar Minimum juga menjamin para tahanan berupa hak mendapatkan akses kepada advokat pada awal proses peradilan pidana. Tiga perangkat standar yakni Pedoman tentang Peran Penuntut Umum (The UN Guidelines on the Role of Prosecutors), Prinsip-prinsip Dasar tentang Peran Advokat (United Nations Basic Principles on the Role of Lawyers) dan Prinsip-prinsip Dasar tentang Kebebasan Pengadilan (UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary) telah turut membantu mempertahankan perlindungan hak-hak individu dalam tahanan.

Peran advokat sangat penting karena advokat adalah penasihat hukum bagi setiap orang yang menjadi tersangka. Menjamin kebebasan pengadilan dari tekanan yang tidak layak juga penting agar kasus-kasus penahanan yang tidak sah dapat diputuskan dengan baik berdasarkan hukum yang berlaku. Di sinilah pentingnya advokat mendampingi seorang tersangka/terdakwa.

1.5. Standar mengenai alternatif lain di luar perampasan kemerdekaan

Pasal 9 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan, “bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian”. Peraturan Standar Minimum PBB tentang upaya non penahanan, atau yang lebih dikenal dengan Protokol Tokyo (United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures—Tokyo Rules) telah menginterprestasikan ketentuan Pasal 9 tersebut. Peraturan ini berupaya untuk meningkatkan kondisi semua tahanan pra-persidangan dengan merekomendasikan agar penahanan dilakukan hanya apabila langkah-langkah non penahanan seperti pemberian uang jaminan tidak dapat dilakukan.


(40)

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa terjadinya kepadatan yang berlebihan pada fasilitas penahanan disebabkan karena banyak penahanan pra-persidangan yang dilakukan dan seringkali berkepanjangan karena tidak efi siennya penyelidikan yang dij alankan. Kondisi ini merupakan pendorong utama penyalahgunaan penahanan pra- persidangan. Oleh karena itu pembebasan tahanan dalam jumlah yang sebesar-besarnya sangat dianjurkan apabila hal itu konsisten dengan penyelidikan pelanggaran dan bagi perlindungan masyarakat serta korban.

Tokyo Rules memberikan landasan bagi munculnya kebij akan untuk memajukan penggunaan tindakan-tindakan non penahanan sebagai alternatif dari penahanan sehingga negara didorong untuk mengembangkan tindakan-tindakan non penahanan dalam sistem hukumnya untuk memberikan opsi-opsi lain dalam rangka mengurangi penggunaan mekanisme pemenjaraan dalam hukum pidananya. Tokyo Rules juga menekankan perlunya menghindari tindakan penahanan persidangan. Sebab, tindakan penahanan pra-persidangan pada dasarnya merupakan suatu sarana terakhir dalam sistem peradilan pidana. Alternatif penggunaan tindakan non penahanan patut dipertimbangkan untuk dilakukan pada tahap yang paling awal.

1.6. Standar penanganan anak yang terlibat kejahatan

Pada 1985, Majelis Umum PBB menetapkan Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Penyelenggaraan Peradilan Anak—Beij ing Rules (United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice). Dua Instrumen terperinci yang menerjemahkan Beij ing Rules ditetapkan oleh Majelis Umum PBB lima tahun kemudian, yaitu Pedoman PBB tentang pencegahan kejahatan anak-anak Pedoman Riyadh (United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency—The Riyadh Guidelines) dan Peraturan PBB tentang Aturan Dasar Perlindungan bagi Anak yang Dirampas


(41)

Kemerdekaannya (UN Rules for the Protection of Juveniles Deprived Of Their Liberty).

Tujuan umum dari standar-standar ini adalah untuk memberikan perlakuan yang lebih berorientasi pada pemeliharaan bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum, untuk dapat memperbaiki anak-anak tersebut serta mencegah pengulangan kejahatan. Pada saat bersamaan, anak-anak berhak atas jaminan yang sama dalam proses hukum yang adil untuk melindungi mereka yang dituduh terlibat dalam tindak pidana.

Aturan Dasar Perlindungan bagi Anak yang Dirampas Kemerdekaannya (UN Rules for Protection of Juveniles Deprived of Their Liberty) menjelaskan bahwa prinsip-prinsip penanganan terhadap anak-anak meliputi (i) perampasan kebebasan harus menjadi pilihan terakhir, untuk jangka waktu minimum dan harus dibatasi pada kasus-kasus luar biasa; (ii) perampasan kebebasannya sesuai dengan prinsip-prinsip dan prosedur hukum internasional khususnya The Beij ing Rules (Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Juctice); dan (iii) meminimalkan efek negatif perampasan kebebasan dan efek tambahan lainnya. 2. Hak tahanan pra-persidangan atas informasi penahanan Seseorang yang ditahan wajib diberitahu alasan-alasan penahanannya. Pejabat yang menahan juga harus memberitahu orang yang ditahan tersebut tentang haknya mendapatkan bantuan hukum. Mereka juga berhak diberikan informasi mengenai hukuman yang akan dikenakan padanya dalam waktu yang secepatnya. Informasi ini penting bagi seseorang untuk menguji keabsahan penahanan mereka. Apabila mereka dikenai hukuman, maka informasi ini penting bagi mereka untuk mempersiapkan pembelaan.

Dalam Pasal 9 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Politik telah dinyatakan bahwa “Siapapun yang ditangkap, pada saat ditangkap harus diinformasikan alasan-alasan penangkapannya dan juga harus diinformasikan secepatnya


(42)

hukuman yang akan dikenakan padanya”. Sedangkan dalam Prinsip 10 Body of Principles dinyatakan “Siapapun yang ditangkap harus diberitahukan pada saat penangkapannya alasan-alasan penangkapan dan harus diinformasikan secepatnya hukuman yang akan dikenakan padanya.” Selain itu berdasarkan Prinsip 11 (2) Body of Principles dinyatakan bahwa seorang tahanan dan penasihat hukumnya juga harus diberitahukan secara cepat perihal perintah penahan dan alasan-alasannya.

Ketentuan Pasal 5 ayat (2) European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom—selanjutnya disebut Konvensi Eropa— menyatakan setiap orang yang ditangkap harus “diberitahu, secara gamblang, dan dengan bahasa yang sederhana yang dimengertinya, alasan esensial dan faktual penangkapannya, sehingga ia dapat menguji keabsahan penangkapannya di kemudian hari”. Oleh karena itu apabila petugas melakukan penangkapan maka dalam waktu yang singkat ia harus sudah diinterogasi oleh polisi dan petugas tersebut harus memberikan informasi mengenai ketentuan-ketentuan hukum berikut alasannya mengapa seseorang tersebut ditangkap dan ditahan. Konvensi Eropa menyaratkan bahwa penahanan terhadap seseorang harus diberitahu “sesegera mungkin” alasan penahannya. Istilah “sesegera mungkin” (promptly) dalam konteks ini harus ditafsirkan langsung, kecuali jika ada hal-hal yang tak dapat dihindarkan, penundaan pemberitahuan alasan penahanan dapat ditoleransi, misalnya untuk mencari penerjemah. Hak terpenting lain yang diperlukan oleh semua orang yang ditangkap dan ditahan adalah bantuan dari advokat. Prinsip 5 (lima) pada Prinsip-Prinsip Dasar tentang Peran Advokat (1990) menyatakan bahwa pemerintah harus menjamin tindakan aparat berwenang yang akan memberitahukan hak terdakwa untuk didampingi oleh advokat pada saat ditangkap atau ditahan atau apabila dituduh melakukan tindak pidana.

Informasi tersebut harus disampaikan secepatnya pada saat penangkapan atau penahanan atau pada saat dikenakan hukuman tindak kriminal. Prinsip 17 ayat (1) Body Principles juga menyatakan


(43)

bahwa informasi ini harus diberikan secepatnya setelah penahanan. Setiap orang yang ditangkap atau ditahan memiliki hak untuk diberitahu kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Pasal 5 ayat (2) Konvensi Eropa mensyaratkan bahwa setiap orang yang ditahan “harus diinformasikan selengkapnya fakta dan kejadian yang menjadi dasar keputusan penahanan dirinya”.

Kewajiban memberikan informasi secepatnya tentang tuduhan tindak pidana memiliki dua tujuan, yaitu (1) untuk memberikan informasi kepada semua orang yang ditangkap atau ditahan untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan mereka, dan (2) membuka peluang bagi siapapun yang menghadapi proses persidangan atas tuduhan tindak kriminal untuk mempersiapkan pembelaan. Body Principles menyatakan bahwa “Setiap orang, pada saat penangkapan dan awal penahanan atau pemenjaraan harus diinformasikan dan dij elaskan hak-haknya serta bagaimana menggunakan hak-hak tersebut oleh petugas yang bertanggung jawab atas penangkapan, penahanan atau pemenjaraannya”.23

Hal lain yang penting adalah bahasa yang dipakai memberikan informasi. Prinsip 14 Body Principles menyebutkan informasi yang diberikan harus dalam bahasa yang dimengerti oleh tersangka atau terdakwa. Siapapun yang ditangkap, didakwa atau ditahan, dan tidak memahami bahasa yang digunakan oleh pejabat yang berwenang, berhak untuk mendapatkan informasi dalam bahasa yang dimengertinya. Informasi bisa mengenai apa saja haknya dan bagaimana menggunakan hak-hak tersebut, mengapa mereka ditangkap atau ditahan, serta tuduhan apa yang dituduhkan kepadanya. Jika tersangka tak memahami bahasa yang dipakai petugas, maka otoritas hukum wajib menyediakan penerjemah.

23 Lihat Prinsip 13 Body Principles, lihat juga Prinsip 5 dalam Prinsip Dasar Peran Advokat juga menyatakan “Pemerintah harus memastikan bahwa semua orang harus diinformasikan segera hak mereka untuk didampingi pengacara atas pilihan mereka sendiri oleh petugas yang berwenang saat penangkapan, penahanan atau saat didakwa dengan tuduhan kejahatan kriminal”.


(44)

Setiap orang berhak atas catatan tertulis, alasan, dan waktu penangkapan mereka serta pemindahan tempat tahanan, tanggal dan waktu pemeriksaan hakim atau petugas berwenang, siapa yang menangkap atau menahan mereka dan dimana mereka ditahan.

Selain itu jika orang yang ditangkap dan ditahan tersebut adalah warganegara asing, dalam Prinsip 16 (2) Body Principles orang tersebut harus diberitahukan dengan segera haknya untuk menghubungi kedutaan besar atau kantor konsuler mereka. Jika orang tersebut adalah pengungsi atau tidak memiliki kewarganegaraan, atau memiliki perlindungan dari organisasi pemerintah, mereka harus diberitahu dengan segera agar secepatnya berhubungan dengan organisasi internasional yang menangani mereka.

3. Jangka waktu penahanan pra-persidangan

Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Body Principles menjamin hak tersangka/terdakwa untuk diadili dalam waktu yang wajar atau dibebaskan.24 Berdasarkan ketentuan tersebut negara seharusnya bertanggung jawab untuk memperhatikan bahwa seluruh proses persidangan agar diselesaikan tanpa penundaan. Komite HAM menegaskan bahwa negara tidak dapat menghindar dari tanggung jawab atas penundaan proses dengan mengatakan bahwa sebelum mengadili seharusnya tersangka menuntut haknya untuk segera disidangkan. Untuk meninjau peraturan sebuah negara, Komite HAM menyebutkan bahwa batas waktu enam bulan untuk penahanan pra-persidangan adalah terlalu panjang untuk dapat sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik.25

24 Pasal 19 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politikl dan Prinsip 38 Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention and Imprisonment. 25 Forty-fi fth Session, Suplement No. 40 (A/44/40) vol 1 par 47 (Democratic Yemen).

dalam Human Rights and Pre Trial Detention, A Handbook of International Standards Relating to Pre-trial Detention, UN, 1994, hal. 17.


(45)

Pengaturan dalam Konvensi Amerika tentang HAM juga telah melarang penahanan pra-persidangan tanpa jangka waktu yang ditentukan. Komisi HAM Amerika menyatakan bahwa tidak ditetapkannya batas waktu untuk pembebasan tahanan tanpa tuduhan atau memberitahukan isi tuduhan merupakan pelanggaran atas hak-hak tahanan.26 Jika waktu penahanan pra-persidangan melebihi vonis pengadilan yang dij atuhkan maka penahanan tersebut merupakan pelanggaran serius atas hak-hak tahanan yang bersangkutan.27

Oleh karena itu setiap negara harus menetapkan jangka waktu maksimum penahanan atas seseorang tanpa persidangan. Dalam menetapkan jangka waktu maksimum tersebut negara harus memperhitungkan jangka waktu maksimum perampasan kemerdekaan yang dapat dij atuhkan atas satu kejahatan yang menyebabkan orang tersebut ditahan. Jangka waktu maksimum penahanan pra-persidangan harus sesuai dengan jangka waktu hukuman yang mungkin dij atuhkan. 4. Pemisahan dan klasifi kasi tahanan pra-persidangan

Pasal 10 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Politik menegaskan bahwa tersangka diperlakukan sesuai dengan status mereka sebagai orang yang belum dihukum. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini orang-orang yang dalam status menjalani penahanan pra-persidangan harus dipisahkan dari orang-orang yang telah divonis oleh pengadilan. Selain itu apabila anak–anak harus menjalani penahanan pra-persidangan maka mereka harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia mereka serta harus secepat mungkin diadili dan diputus perkaranya.

Pasal 8 Aturan Standar Minimum (SMR) menyatakan bahwa narapidana dengan kategori yang berbeda harus ditempatkan dalam lembaga atau 26 Lihat OAS Komisi HAM Inter Amerika, Report on the Situation of Human Rights in

Paraguay (OEA/Ser.L/V/II. 4, doc 13) (1978), hal. 53, UN, 1994, hal. 17.

27 OAS, Komisi HAM Inter Amerika, Report on the Situation of Human Rights in Panama (OA/Ser.L/V/II.44, doc 38 rev.I (1978), hal. 58, dalam Ibid


(46)

bagian lembaga yang berbeda dengan memperhatikan jenis kelamin, umur, catatan kriminal, alasan dasar hukum penahanan mereka dan perlakuan terhadap mereka. Dengan demikian maka:

a. pria dan perempuan harus sedapat mungkin ditahan dalam lembaga yang berbeda, dalam lembaga yang menerima pria dan wanita, keseluruhan tempat yang disediakan untuk perempuan harus sama sekali terpisah;

b. tahanan yang belum diadili harus dipisahkan dari narapidana; c. orang-orang yang ditahan karena dasar hutang dan tahanan

sipil lainnya harus dipisahkan dengan orang-orang yang dipenjarakan karena kejahatan;

d. narapidana anak harus dipisahkan dari yang dewasa.

Pasal 10 ayat (2) huruf b Kovenan Hak Sipil dan Politik menyebutkan agar tersangka anak-anak dipisahkan dari orang dewasa. Namun dalam praktiknya beberapa negara kurang memperhatikan dan tidak mematuhi ketentuan ini. Komite HAM kemudian berpendapat bahwa penyimpangan dari kewajiban negara pihak tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) huruf b tidak dapat dibenarkan apapun pertimbangannya. Komite HAM menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (2) huruf (a) Kovenan mengharuskan agar orang yang belum dihukum harus ditahan pada bagian yang berbeda dengan narapidana, tetapi tidak harus di dalam bangunan yang berbeda. Pengaturan di mana narapidana secara rutin bertemu dengan orang-orang yang belum dihukum seperti ketika narapidana mengerjakan tugas di mana tempat orang yang belum dihukum ditahan tidaklah melanggar pasal 10 ayat (2) huruf (a) Kovenan asalkan kontak antara kedua kelas narapidana dan tahanan diusahakan seminimum mungkin sepanjang diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas tersebut.

Pemisahan tahanan laki-laki dengan perempuan haruslah diikuti oleh pembagian tanggung jawab antara staf laki-laki dan perempuan dari tempat penahanan. Tahanan perempuan harus sedapat mungkin


(47)

dij aga oleh anggota staf perempuan juga. Pada malam hari staf laki-laki dengan didampingi oleh staf perempuan hanya diperbolehkan berada dalam daerah tahanan perempuan dalam keadaan darurat. Setiap tahanan yang menyatakan bahwa ia telah mengalami serangan seksual dari staf atau orang lain harus diberi akses atas keadilan dan bila perlu segera diberikan perawatan kesehatan.28

Tahanan yang menderita penyakit menular harus dipisahkan dari tahanan-tahanan lain untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut. Tahanan yang menderita penyakit menular harus diberikan perawatan kesehatan yang layak. Selain itu, perhatian secara khusus harus diberikan kepada tahanan yang mengidap virus HIV karena mereka harus diberikan perawatan yang layak, penyuluhan, pengawasan dan pendidikan, walau tidak selalu harus dipisahkan dari tahanan yang lain.29 Semua fasilitas penahanan harus memiliki peralatan medis yang layak dan selalu tersedia serta staf jaga yang terlatih untuk menggunakan peralatan tersebut guna menangani kasus-kasus mendesak.

5. Akses kepada advokat

Hak atas akses kepada advokat dij amin sejalan dengan hak seseorang atas persidangan yang adil. Akan tetapi akses kepada advokat harus diberikan segera pada saat seseorang telah disangka melakukan kejahatan dan akan dilakukan penahanan. Jaminan akses ini penting untuk memenuhi hak atas bantuan hukum, sehingga akses kepada penasihat hukum merupakan sarana penting untuk memastikan penghormatan atas hak-hak tahanan.

Pasal 14 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa dalam penentuan tuduhan atas kejahatan terhadap dirinya setiap 28 Lihat Asia Watch and the Women’s Right Project, Double Jeoprady: Police Abuse of

Women in Pakistan (1992), hal. 148-150, dalam ibid., hal. 19.

29 Lihat K Tomasevki, Prison Health: International Standars and national Parctise in Europe (Helsinki, Helsinki European United nation Institutute, 1992, dalam ibid., hal. 99-100.


(48)

orang berhak atas jaminan-jaminan minimal dengan persamaan secara penuh, yaitu:

….(b) diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk menyiapkan pembelaannya dan untuk menghubungi pengacara yang dipilihnya sendiri;… (d) diadili dengan kehadirannya dan untuk membela dirinya secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri; untuk diberitahu akan hak ini jika ia tidak mempunyai pembela; untuk diberikan pembela demi kepentingan keadilan dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membayarnya; (e) untuk memeriksa atau meminta agar diperiksa saksi saksi yang memberatkan dirinya dan meminta untuk dihadirkan saksi-saksi yang meringankan dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi yang memberatkan.

Aturan 93 dalam Aturan Standar Minimum, menyatakan bahwa untuk tujuan pembelaan, tahanan yang belum diadili harus diizinkan untuk meminta bantuan hukum cuma-cuma bila bantuan tersebut tersedia dan untuk menerima kunjungan dari penasihat hukumnya dengan maksud untuk pembelaannya dan untuk mempersiapkan serta memberikan instruksi-instruksi kepada penasihat hukumnya. Oleh karena itu tahanan berhak untuk mendapatkan alat tulis bila ia memintanya. Wawancara antara tahanan dan penasihat hukum dapat dilakukan di bawah pengawasan akan tetapi tidak dapat didengar oleh polisi dan petugas penahanan.

Body Principles dalam Prinsip 17 (1) menyatakan orang yang ditahan harus diberi hak untuk mendapatkan bantuan hukum. Ia harus diberitahu mengenai haknya oleh aparat yang berwenang segera setelah penangkapan dilakukan dan harus disediakan fasilitas yang memadai untuk menjalankannya. Lebih lanjut Prinsip 17 (2) menyatakan apabila orang yang ditahan tidak memiliki penasihat hukum yang dipilihnya sendiri, ia harus diberi tahu akan haknya untuk mendapatkan penasihat hukum yang ditunjuk oleh pengadilan atau aparat lain dalam semua kasus yang memerlukan demi kepentingan keadilan. Jika perlu dan


(49)

tersangka tak mampu membayar, bantuan hukum itu diberikan secara cuma-cuma.

Prinsip-prinsip mengenai akses kepada advokat menyatakan pemerintah harus menjamin bahwa semua orang yang ditangkap atau ditahan baik dengan atau tanpa tuduhan harus mendapatkan akses yang cepat kepada advokat dan dalam keadaan apapun tidak lebih dari 48 jam dari waktu penangkapan atau penahanan. Prinsip-prinsip Dasar Peran Advokat pada Prinsip 8 menyatakan bahwa semua orang yang ditangkap ditahan atau dipenjara harus diberikan kesempatan waktu dan fasilitas yang memadai untuk dikunjungi, untuk menerima kunjungan dan berhubungan serta berkonsultasi dengan advokat tanpa penundaan, intersepsi, atau sensor serta dalam kerahasiaan yang penuh. Konsultasi tersebut dapat dilakukan di bawah pengawasan tetapi tanpa didengar oleh aparat penegak hukum.

Hak atas bantuan hukum berarti bahwa tersangka harus dizinkan untuk mendapatkan bantuan hukum pada saat ia ditahan pertama kali. Hal ini diperlukan karena bukti yang menentukan biasanya didapatkan pada fase awal ini, tanpa kehadiran seorang advokat dalam tahap awal dapat dianggap sebagai pelanggaran serius atas hak pembelaan. Menjamin akses kepada advokat juga mencegah kemungkinan pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya, advokat harus di izinkan untuk hadir ketika tersangka memberikan pernyataan, diinterogasi atau menandatangani pernyataan. Oleh karena itu jelaslah bahwa akses kepada advokat harus diberikan pada kesempatan yang paling awal setelah seseorang disangka melakukan kejahatan. Untuk itu Pemerintah harus mempertimbangkan untuk mengizinkan tahanan menerima kunjungan advokat setelah hari sidang atau pada hari ketika tidak ada sidang untuk memudahkan hubungan para tahanan dengan penasihat hukum mereka.

Tempat-tempat penahanan harus membuat ruangan khusus bagi kunjungan-kunjungan advokat yang terpisah dengan ruang kunjungan umum. Ruangan-ruangan ini harus menjamin kebebasan pribadi dan


(50)

kontak muka serta sarana yang memadai untuk bekerja (meja dengan bangku-bangku).

6. Hak komunikasi tahanan pra-persidangan

Para tahanan tidak hanya mempunyai hak untuk berkomunikasi dengan penasihat hukum tetapi mereka juga berhak untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Komunikasi dengan dunia luar penting bagi perlindungan hak-hak tahanan dan juga merupakan salah satu aspek dari perlakukan yang manusiawi. Hak untuk bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang dalam korespondensi, berlaku bagi para tahanan serta warga negara umum walaupun kewenangan mengawasi korespondensi para tahanan dievaluasi dengan memperhatikan persyaratan pengelolaan tempat penahanan serta penanganan alat bukti tanpa gangguan. Orang-orang yang bukan berasal dari negara yang menahan mempunyai hak tambahan untuk berkomunikasi dengan staf konsuler negara asal mereka.

Pasal 10 ayat (1) Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat umat manusia. Dalam Pasal 17 Kovenan Hak Sipil dan Politik dinyatakan bahwa:

(i) tidak seorang pun dapat dij adikan sasaran campur tangan yang sewenang-wenang atau tidak sah atas kebebasan pribadi, keluarga, rumah atau hubungan korespondensi atau serangan yang tidak sah atas kehormatan dan reputasinya; dan (ii) setiap orang mempunyai hak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau intervensi seperti itu.

Prinsip 15 Body Principles menyatakan bahwa meskipun terdapat pengecualian yang termuat dalam Prinsip 16 alinea 4 (dari prinsip-prinisip mengenai penahanan yang berkaitan dengan penundaan pemberitahuan kepada anggota keluarga apabila kepentingan yang wajar dari penyelidikian mengharuskan penundaan tersebut) dan Prinsip 18 alinea 3 (yang menetapkan bahwa akses dari orang tahanan kepada bantuan hukum hanya dapat ditunda dalam keadaan keadaan


(1)

Mengadakan seminar, konferensi, briefi ng, dan memberikan presentasi berkaitan dengan isu reformasi sistem peradilan pidana ;

Memberikan dukungan litigasi melalui penulisan amicus curiae (sahabat pengadilan), dan pengajuan Judicial Review perundang-undangan ke Mahkamah Konstitusi

KERJASAMA DAN MITRA

ICJR bekerja berbasiskan kerjasama dengan stakeholders yang luas, meliputi masyarakat, organisasi non pemerintah, asosiasi-asosiasi professional, media, departemen-departemen pemerintah, dan komisi-komisi negara. Dengan kerjasama ini diharapkan terbangun kemitraan untuk mereformasi sistem peradilan pidana. Dalam membangun kerjasama yang dimaksud ICJR mengenamangkan startegi bekerja membantu institusi-institusi peradilan pidana dari dalam (working from the within), sekaligus menjaga otonominya sebgai lembaga kajian independen.

STRUKTUR ORGANISASI ANGGOTA PERKUMPULAN

Abdul Haris Semendawai, SH.,L.LM., Ifdhal Kasim, SH., Sriyana, SH.,L. LM.,DFM., Supriadi Widodo Eddyono, SH., Syahrial Martanto Wiryawan, SH., Wahyu Wagiman, SH., Anggara, SH., Adiani Viviana, S.H.


(2)

BADAN PENGAWAS

Ketua : Abdul Haris Semendawai, SH.,L.LM., Sekretaris : Sriyana, SH.L.LM.,DFM., Anggota : Ifdhal Kasim, SH.

BADAN PENGURUS Ketua : Anggara, SH.,

Sekretaris : Syahrial Martanto Wiryawan, SH., Bendahara : Wahyu Wagiman, SH.,

Anggota : Supriadi Widodo Eddyono, SH. BADAN PELAKSANA

Sekretaris Eksekutif : Adiani Viviana, SH.,

Manajer Keuangan dan Kesekretariatan : Katarina Wea Toja, SE., Staff : Sufriadi, SHI., SH. Luthfy Andrian Putra, Tobias Bata Pela SEKRETARIAT

Jalan Cempaka No. 4 Poltangan Pasar Minggu Jakarta Selatan INDONESIA 12530

Telepon/ Fax : 62-21 7810265, email : [email protected], Website : www.icjr.or.id


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

A.M van Kalmthout dkk, 2009, Pre-trial Detention in European Union: an Analysis of Minimum Standards in Pre-trial Detention and the Grounds of Regular Review in the Member States of the EU, European Commission.

Andi Hamzah, 2002, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Jakarta: Sinar Grafi ka.

Anselmus Strauss and Juliat Corbin, 1979, Basic of Qualitative Research, Grounded Theory Procedure and Thechnique, London: Sage Publication.

Asia Watch and the Women’s Right Project, 1992, Double Jeoprady: Police Abuse of Women in Pakistan.

Bryan A. Garner (Ed.), 2009, Black’s Law Dictionary. 9th Edition, West: Thomson Publising.

Budi Winarno, 2002, Teori dan Proses Kebij akan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo.

C. De Rover, 2000, To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, Jakarta: Raja Grafi ndo Persada.

Christoper Gane and Mark Mackarel (ed.), 1997, Human Rights and Administration of Justice, Kluwer Law International.


(4)

James A. Inciardi, 2001, Criminal Justice, Oxford: Oxford University Press.

John W Creswell, 1994, Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, London: Sage Publication.

Lintong Oloan Siahaan, 1981, Jalanya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Loebby Loqman, 1987 Praperadilan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Luhut M.P Pangaribuan, 2009, Lay Judges dalam Pengadilan Pidana: Satu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Manfred Nowak, 2006, Pengantar pada Rezim Hak Asasi Manusia Internasional, Helsinki: RWI.

Manfred Nowak, 2005, UN Covenant on Civil and Political Rights CCPR Commentary, 2nd revised edition, NP Engel Publisher.

Michael Quinn Pat on, 1980, Qualitative Evaluation And Research Methods, Second Edition, London: Sage Publication.

Oemar Seno Adji, 1980, Hukum, Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga.

Robert Bog dan Steven J. Taylor, 1975, Introduction to qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach To The Social Science, London:A Willey-Interscience Publication.

Roland del Carmen, 2007, Criminal Procedure: Law and Practice, Belmont: Chengage Learning.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990, Penelitian Hukum Normati: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: CV. Rajawali.

Soerjono Soekanto, 1982, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press.


(5)

Wiley Publishing, Inc., 2010, Webster’s New World Law Dictionary, New Jersey: Hoboken.

Yahya Harahap, 2007, Pembahasan dan Permasalahan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafi ka.

LAPORAN-LAPORAN

Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM tahun 2010.

Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM tahun 2009.

Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM tahun 2008.

Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM tahun 2007.

Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM tahun 2006.

Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM tahun 2005.

Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen Pas) Kementerian Hukum dan HAM tahun 2004.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Kementerian Hukum dan HAM tahun 2009.


(6)