Efektivitas Kalimat Pada Terjemahan Hadis-Hadis Deputar Feminim Gender Dalam Buku Terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari

(1)

SHAHIH AL-BUKHARI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh:

M. Gustar Umam NIM. 108024000001

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

SHAHIH AL-BUKHARI

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh:

M. Gustar Umam NIM. 108024000001

Pembimbing:

Karlina Helmanita, MA NIP. 197001211998032002

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

Seputar Feminim Gender dalam Buku Terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan berhak mengikuti Ujian Munaqasah di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) dalam bidang penerjemahan.

Jakarta, 04 Oktober 2014

Dosen Pembimbing,

Karlina Helmanita, MA NIP. 197001211998032002


(4)

Nama : M. Gustar Umam

NIM : 10802400001

Jurusan : Tarjamah

Judul Skripsi : Efektivitas Kalimat pada Terjemahan Hadis-hadis Seputar Feminim Gender dalam Buku Terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 04 Oktober 2014

M. Gustar Umam NIM. 108024000001


(5)

Efektivitas Kalimat pada Terjemahan Hadis-hadis Seputar Feminim Gender dalam Buku Terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari Terbitan Gema Insani Press

Dewasa ini wacana gender terutama feminim gender telah menjadi wacana global baik di Timur maupun Barat. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi penerjemah untuk dapat menghadirkan terjemahan yang akomodatif terhadap teks yang mengandung wacana tersebut. Terutama sekali bagi penerjemah yang

concern pada penerjemahan teks keagamaan bertema feminim gender. Benar-salah dan baik-buruknya penerjemahan akan mempengaruhi pemahaman pembaca. Oleh karena itu penerjemahan teks bermuatan isu gender harus diterjemahkan dengan benar dan baik. Standar kualitas penerjemahan mestilah disandarkan pada teori-teori kebahasaan karena penerjemahan merupakan salah satu bidang yang tergolong ke dalam lingustik terapan. Adapun aspek yang paling terlihat dari kualitas suatu penerjemahan adalah efektivitas kalimatnya. Oleh karena itu dalam rangka menilai keberterimaan suatu hasil terjemahan, teori kalimat efektif mesti menjadi acuan. Begitu pula ketika dihadapkan pada penerjemahan teks yang bermuatan isu gender.

Dari pemikiran di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk melihat kualitas terjemahan teks hadis bermuatan gender. Secara spesifik penelitian ini menganalisis hadis-hadis seputar feminim gender dalam buku terjemahan

Mukhtashar Shahih Al-Bukhari terbitan Gema Insani Press (GIP).

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif. Peneliti mengidentifikasi hadis-hadis seputar feminim gender dalam terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari yang diterbitkan oleh GIP. Setelah data terkumpul, peneliti mengklasifikasikan data tersebut berdasarkan kesamaan tema untuk dikaji dan dianalisa. Selanjutnya peneliti mencoba menyusun hasil kajian dan analisa tersebut berdasarkan kerangka teori kalimat efektif.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis seputar feminim gender pada kitab Mukhtashar Shahih Al-Bukhari terbitan Gema Insani Press (GIP), sebagiannya telah diterjemahkan dengan menggunakan kalimat yang efektif. Namun terdapat juga kalimat yang tidak efektif pada sebagian lainnya. Ketidakefektifan yang terjadi pada sebagian penerjemahan tersebut disebabkan oleh kesalahan gramatika dan diksi sebagai akibat dari penerjemahan yang terpaku pada struktur bahasa sumber atau dengan kata lain terkadang penerjemahan masih menggunakan metode harfiah. Meski terjadi kesalahan gramatika dan diksi yang menyebabkan ketidakefektifan kalimat, kasus kesalahan dari data yang telah dianalisis tidak sampai mengubah atau merusak makna atau pesan bahasa sumber.


(6)

potensi kepada tiap-tiap manusia untuk senantiasa berpikir dengan akalnya, sehingga memiliki nilai tersendiri sebagai manusia. Shalawat serta salam semoga senantiasa tersampaikan kepada Muhammad Saw. Suri tauladan sempurna bagi ummat manusia.

Sebagai pemenuhan tugas akhir dalam perkuliahan pada Fakultas Adab dan Humaniora, penulis telah menyelesaikan skripsi. Dalam skripsi ini, penulis mengadakan penelitian dengan tema Efektivitas Kalimat pada Terjemahan Hadis-hadis Seputar Feminim Gender dalam Buku Terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari’. Tema seperti ini tentunya sangat relevan dengan wacana gender yang hari ini tengah ramai dijadikan diskursus pemikiran maupun politik.

Tidak lupa penulis juga menghaturkan terima kasih yang tulus kepada berbagai pihak yang telah terlibat dan sangat berjasa dalam penggarapan penelitian ini. Atas bantuan dan dukungan merekalah, penelitian ini bisa diselesaikan. Pihak-pihak yang berjasa tersebut di antaranya adalah:

1. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum. beserta para pembantu dekan dan staf jajarannya.

2. Ketua Jurusan Tarjamah, Dr. TB. Ade Asnawi, MA. dan Sekretaris Jurusan Tarjamah Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum.

3. Dosen pembimbing skripsi penulis, Ibu Karlina Helmanita, MA., yang telah memberikan saran dan arahan serta memberi kelancaran dalam proses penulisan skripsi ini.

4. Kedua orang tua, Bapak Joki Jumaidi dan Ibu Nurhayati yang telah memberi dorongan baik material maupun spiritual yang begitu besar, doa dan semangat yang tiada henti sehingga skripsi ini bisa diselesaikan.

5. Istri terkasih, R. Denti Purwasih, S.Pd.I, atas spirit setiap hari sebagai teman diskusi, serta membantu proses terselesaikannya skripsi ini.


(7)

7. Teman-teman anggota Gerakan Mahasiswa Pembebasan Jakarta yang telah banyak membantu semangat dan berbagai bantuan, sehingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan cukup sempurna.

Serta semua pihak yang telah turut membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Mudah-mudahan Allah Swt. memberi balasan yang berlipat ganda, atas segala kebaikan mereka tersebut.

Amiin ya Rabbal ‘alamiin.

Jakarta, 04 Oktober 2014 Penulis,


(8)

KATA PENGANTAR ... ...i

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ...4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...5

D. Tinjauan Pustaka ...5

E. Metode Penelitian ...7

F. Sistematika Penulisan ...8

BAB II KERANGKA TEORI A. Konsep Penerjemahan ...9

1. Definisi Penerjemahan ...9

2. Metode Penerjemahan ...11

B. Kalimat Efektif ...14

1. Konsep Dasar Kalimat dalam Bahasa Arab dan Indonesia ...14

a. Konsep Dasar Kalimat dalam Bahasa Arab ...14

b. Konsep Dasar Kalimat dalam Bahasa Indonesia ...16

c. Perbedaan dan Persamaan Kalimat Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia ...17


(9)

C. Konsep Hadis Feminim Gender ...33

1. Konsep Gender ...33

a. Definisi Gender ...33

b. Gender dalam Studi Bahasa ...35

c. Gender dalam Studi Islam ...40

2. Hadis Feminim Gender ...45

BAB III GAMBARAN UMUM BUKU MUKHTASHAR SHAHIH AL-BUKHARI ...48

A. Kitab Shahih Al-Bukhari ...48

B. Kitab Mukhtashar Al-Bukhari ...50

C. Pengarang Shahih Al-Bukhari ...53

D. Penulis Mukhtashar Shahih Al-Bukhari ...55

BAB IV EFEKTIVITAS KALIMAT PADA TERJEMAHAN HADIS-HADIS SEPUTAR FEMINIM GENDER DALAM BUKU TERJEMAHAN MUKHTASHAR SHAHIH AL-BUKHARI ...60

A. Identifikasi Hadis-hadis Feminim Gender dalam Mukhtashar Shahih Al-Bukhari ...60

1. Hadis Kepemimpinan Perempuan ...60

2. Hadis Seputar Aurat ...62


(10)

1. Gramatika Penerjemahan Hadis-hadis Feminim Gender ...70

2. Diksi Terjemahan Hadis-hadis Feminim Gender ...102

3. Penalaran dalam Penerjemahan Hadis-hadis Feminim Gender ...104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...112

A. Kesimpulan ...112

B. Rekomendasi ...113


(11)

A. Latar Belakang

Sebagai salah satu linguistik terapan, penerjemahan berarti mengaplikasikan berbagai teori, metode, dan temuan linguistik untuk menerangjelaskan atau memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan bahasa.1

Dari pengertian di atas dipahami bahwa penerjemahan tidak lepas dari linguistik teoritis berupa bentuk, makna, fungsi, struktur dan variasi bahasa

itu sendiri. J.C. Catford juga menjelaskan hal senada, “translation is an operation performed on languages: A proses of substituting a text in one language for a text in another. Clearly, then any theory of translation must draw upon a theory of language - a general linguistic theory. 2

(penerjemahan adalah sebuah kegiatan bahasa: proses pemindahan teks dalam suatu bahasa ke teks dalam bahasa lain. Jelas bahwa teori penerjemahan harus mengacu pada teori bahasa (linguistik) – teori umum linguistik).

Menerjemahkan berarti mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari bahasa sumber. Kemudian menganalisis teks tersebut untuk menemukan makna yang sama dan mengungkapkannya dengan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran

1Allan F. Lauder dan Multamia RMT Lauder, “Berbagai Kajian Linguistik, “dalam Kushartanti dkk, ed., Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 220.

2J.C. Catford, A Linguistic Theory of Translation, (New York Toronto: Oxford University Press, 1965), h. 1.


(12)

dan konteks tersebut.3 Mengingat eratnya hubungan penerjemahan dengan teori linguistik, seyogyanya penerjemah mampu mengoperasikan berbagai lingkup teori linguistik agar mampu menghasilkan penerjemahan yang baik dan benar.

Di antara linguistik teoritis adalah teori kalimat efektif. Teori ini merupakan salah satu teori linguistik yang tidak boleh lepas dari perhatian penerjemah karena alasan berikut: Pertama, dalam praktiknya penerjemah akan menghadapi struktur bahasa yang berbeda antara BSU (bahasa sumber) dan BSA (bahasa sasaran), inilah yang kemudian sering menjebak penerjemah. Meski secara makna penerjemah telah dapat memahami bahasa sumber namun ketika penerjemah belum memiliki kapasitas yang memadai dalam mengoperasikan struktur bahasa sasaran maka yang terjadi adalah ambiguitas, kerancuan.

Sebaliknya meski penerjemah kurang tepat atau salah ketika mereproduksi makna tapi apabila penerjemah mampu menyusunnya dalam struktur bahasa sasaran dengan baik maka terjemahan akan tampak tak bermasalah. Inilah urgensitas penguasaan kalimat efektif dalam penerjemahan.

Kedua, teori kalimat efektif bersifat praktis sehingga dapat secara langsung digunakan untuk menilai hasil penerjemahan. Ketiga, teori kalimat efektif melibatkan teori semantik, gramatika dan juga penalaran. Oleh karena itu analisis kalimat efektif mampu memberikan gambaran ketaatan penerjemah dalam mengoperasikan teori-teori linguistik.

3Milred L. Larson, Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman Untuk Pemadanan Antar


(13)

Melihat pentingnya peranan kalimat efektif dalam penerjemahan sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini kalimat efektif akan dijadikan sebagai teori dalam penilaian hasil terjemahan.

Adapun objek dalam penelitian ini, peneliti tertarik mengkaji teks-teks keagamaan (baca: Islam) melalui penerjemahan teks hadis yang berkaitan dengan konsep feminim gender. Hubungan wacana gender dengan penerjemahan setidaknya terdapat dalam dua hal berikut: Pertama, wacana kesetaraan gender sangat berkaitan dengan teks keagamaan termasuk teks hadis. Sebagaimana diketahui semua konstruk sosial dalam Islam selalu mengacu pada teks baik Al-Quran maupun Al-Hadis dan juga turunannya. Oleh karena itu penerjemahan terhadap terhadap teks tersebut haruslah baik dan benar. Dalam hal ini Farisi menuturkan, “Teks-teks keagamaan, semisal Al-Quran, hadis dan semacamnya, termasuk teks yang sangat sensitif. Sensitif, sebab berhubungan dengan aspek nilai yang dianut oleh umat Islam. Kekeliruan dalam penerjemahan bisa berakibat fatal, tidak hanya “sesat”, tapi juga “menyesatkan”.4

Kedua, wacana kesetaraan gender akhir-akhir ini telah berkembang menjadi program sosial yang didesain secara akademik dan disosialisasikan secara politis.5 Perhatian khusus terhadap isu gender terlihat dari lahirnya Pusat Studi Wanita di berbagai perguruan tinggi. Lembaga-lembaga tersebut menjadikan wacana gender sebagai objek sentral dalam kajian maupun

4

M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011), h. 52.

5 Hamid Fahmy Zarkasyi, ”Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam,” Islamia III, No.


(14)

penelitian. Di alam politik, wacana ini juga benar-benar mengemuka ketika berbagai negara ramai meratifikasi konvensi PBB yang tertuang dalam CEDAW (Convention of All Form of Discrimination Againts Woman). Di antaranya adalah Indonesia. Konvensi tersebut juga acuan DPR RI dalam membahas RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) pada kisaran April 2012.

Dengan kata lain, gender telah menjadi wacana global baik di Timur maupun Barat. Oleh karena itu penerjemah seyogyanya memperkaya diri akan wacana tersebut. Terutama sekali bagi penerjemah yang concern pada penerjemahan teks keagamaan bertema gender atau penerjemah yang berhadapan dengan teks bertema gender secara khusus. Setidaknya penguasaan terhadap wacana tersebut akan membantu penerjemah dalam dua hal: Pertama, penerjemah akan terhindar dari kesalahan interpretasi yang akan berakibat fatal dalam penerjemahan. Kedua, penerjemah akan mampu mereproduksi berbagai istilah khusus dalam kajian gender dengan baik sehingga mampu menghadirkan terjemahan yang dapat memberikan pemahaman yang utuh bagi pembaca.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memberikan batasan kajian pada terjemahan hadis-hadis Kitab Mukhtashar Shahih Al-Bukhari. Adapun rumusan masalahnya adalah:


(15)

1. Apa saja klasifikasi hadis-hadis feminim gender dalam kitab Mukhtashar Shahih Al-Bukhari?

2. Bagaimana efektivitas kalimat dalam penerjemahan hadis-hadis feminim gender dalam Terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari terbitan Gema Insani Press (GIP)?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi hadis-hadis feminim gender dalam kitab Mukhtashar Shahih Al-Bukhari.

2. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas kalimat dalam penerjemahan hadis-hadis gender Terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari terbitan Gema Insani Press (GIP).

D. Tinjauan Pustaka

Sebelum melakukan penelitian ini peneliti telah melakukan tinjauan pustaka. Tinjauan ini dimaksudkan agar tidak terjadi plagiasi dan mengulang penelitian yang terdahulu. Sejauh ini peneliti merujuk pada skripsi-skripsi yang terkait dengan penerjemahan dan bahasa. Peneliti membatasi diri pada skripsi-skripsi yang terdapat di perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(16)

Dalam pantauan peneliti, kajian gender dan penerjemahan telah dilakukan oleh Muhammad Heri Azhari dengan judul “Bias Gender dalam Penerjemahan: Kajian Hermeuneutik terhadap Tafsir Al-Azhar.” „Pisau‟ analisis yang digunakan adalah hermeunetik. Sedangkan objek kajiannya bukan hadis melainkan Al-Quran.

Kemudian peneliti juga menemukan sejumlah skripsi yang menggunakan

„tata bahasa‟ dan „kalimat efektif‟ sebagai alat analisisnya namun belum ada

yang menggunakan terjemahan buku Mukhtashar Shahih Al-Bukhari terbitan Gema Insani Press (GIP) sebagai korpus dalam penelitiannya. Di antaranya

adalah “Analisis Kalimat Efektif (Studi Kasus Terjemahan Riyadhus Shalihin Jilid I)” oleh Fuad Ma‟ruf Nur, dan “Kalimat Efektif dalam Buku Terjemahan

Fath Al-Muin (Studi Kasus Bab “Shalat” dan Adzan”) oleh M. Khoas Rudin Sodik.

Peneliti juga menemukan skripsi dengan korpus kitab “Mukhtashar Shahih Al-Bukhari”. Penelitian tersebut dilakukan oleh Tatam Wijaya dengan

pendekatan studi kritik hadis. Berdasarkan pantauan tersebut, maka peneliti berkesimpulan bahwa kajian analisis tata bahasa sub kajian kalimat efektif dengan korpus penelitian Mukhtashar Shahih Al-Bukhari belum pernah dilakukan.


(17)

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Yakni jenis penelitian yang kesimpulan atau hasil penelitiannya tidak didasarkan pada prosedur statistik. A process of examining and interpreting data in order to elicit meaning, gain understanding, and develop empirical knowledge. (Penerjemahan adalah proses pengujian dan interpretasi data serta untuk mengembangkan pengetahuan empiris). 6 Analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Dalam penelitian ini masalah barunya adalah analisis kalimat efektif terhadap penerjemahan hadis-hadis bernuansa gender dalam Mukhtashar Shahih Al-Bukhari yang diterbitkan oleh GIP.

Sumber data utama yang peneliti gunakan adalah terjemahan

Mukhtashar Shahih Al-Bukhari yang diterbitkan oleh GIP. Setelah data terkumpul, peneliti mengklasifikasikan data tersebut berdasarkan kesamaan tema untuk kemudian dikaji dan dianalisa. Kemudian peneliti mencoba menyusun hasil kajian dan analisa tersebut berdasarkan kerangka pembahasan.

Dalam penelitian ini akan disajikan konsep kalimat efektif dan konsep kajian gender. Kedua hal tersebut akan digunakan untuk membedah hadis-hadis bertema gender sehingga dapat terungkap bagaimana terjemahan hadis-hadis tersebut ditinjau dari teori kalimat efektif.

Adapun teknis penulisan skripsi ini adalah teknis penulisan yang mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi yang terdapat

6

Strauss & Corbin, Basic of Qualitative Research 3e (California: Sage Publishing, 2008), h. 1.


(18)

pada buku panduan akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011/2012.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri atas lima bab. Bab pertama tentang pendahuluan. Bagian ini terdiri atas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan massalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua seputar kajian teori. Bagian ini tersusun dari konsep penerjemahan, konsep kalimat efektif, dan konsep seputar kajian gender dan feminim gender. Bab ketiga tentang buku Mukhtashar Shahih Al-Bukhari dan pengarangnya.

Berikutnya, di bab keempat akan dibahas analisis kalimat efektif penerjemahan hadis-hadis seputar feminim gender dalam buku terjemahan

Mukhtashar Shahih Al-Bukhari. Bab ini didahului dengan identifikasi hadis-hadis seputar feminim gender dalam buku tersebut. Kemudian peneliti akan mengklasifikasikan data berdasar pada tema yang berkesesuaian. Selanjutnya peneliti mencoba mengurai data tersebut dengan kerangka yang berdasar pada tiga faktor keefektifan kalimat yaitu gramatika, diksi dan penalaran.

Terakhir pada bab kelima akan dituangkan kesimpulan hasil analisa berupa bagaimana sesungguhnya kalimat efektif pada terjemahan hadis-hadis feminim gender dalam buku terjemahan Mukhtashar Shahih Al-Bukhari


(19)

terbitan GIP. Kemudiandalam bab ini akan disampaikan rekomendasi kepada pihak yang berkaitan dengan hasil penelitian.


(20)

KALIMAT EFEKTIF DALAM PENERJEMAHAN:

ANALISIS HADIS-HADIS GENDER DALAM BUKU MUKHTASHAR SHAHIH

Bab I Pendahuluan A. Latar belakang

B. Pembatasan dan Perumusan masalah

C. Tujuan penelitian D. Tinjauan pustaka E. Metodologi penelitian F. Sistematika penulisan Bab II Kerangka Teori

A. Konsep Penerjemahan

1. Definisi Penerjemahan

2. Metode Penerjemahan

B. Kalimat Efektif

1. Konsep Dasar Kalimat dalam Bahasa Arab dan Indonesia a. Konsep Dasar Kalimat dalam Bahasa Arab

b. Konsep Dasar Kalimat dalam Bahasa Indonesia

c. Perbedaan dan Persamaan Kalimat Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia


(21)

a. Kalimat Efektif Bahasa Indonesia b. Kalimat Efektif Bahasa Arab

C. Konsep Hadis Gender

1. Konsep Gender a. Definisi Gender

b. Gender dalam Studi Bahasa c. Gender dalam Studi Islam 2. Hadis Gender

Bab III Gambaran Umum Buku Mukhtashar Shahih Al-Bukhari A. Kitab Shahih Al-Bukhari

B. Kitab Mukhtashar Al-Bukhari

C. Pengarang Shahih Al-Bukhari

D. Penyusun Mukhtashar Shahih Al-Bukhari

Bab IV Analisis Kalimat Efektif dalam Penerjemahan Hadis-Hadis Gender pada Buku Mukhtashar Shahih Al-Bukhari

A. Identifikasi Hadis-hadis Gender dalam Mukhtashar Shahih Al-Bukhari

1. Hadis Kepemimpinan Perempuan

2. Hadis Seputar Aurat

3. Hadis Seputar Rumah Tangga

4. Hadis Seputar Peranan Perempuan dalam Ruang Sosial

B. Analisis Kalimat Efektif dalam Penerjemahan Hadis-Hadis Gender pada Buku Mukhtashar Shahih Al-Bukhari


(22)

1. Analisis Kalimat Efektif Hadis Kepemimpinan Perempuan 2. Analisis Kalimat Efektif Hadis Seputar Aurat

3. Analisis Kalimat Efektif Hadis Seputar Rumah Tangga

4. Analisis Kalimat Efektif Hadis Seputar Peranan Perempuan dalam Ruang Sosial

Bab V Penutup A. Kesimpulan

B. Rekomendasi


(23)

A. Konsep Penerjemahana 1. Definisi Penerjemahan

Terjemah merupakan istilah serapan dari bahasa Arab.1 Dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata „menerjemah‟ berarti menyalin

(memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain; mengalihbahasakan2. Dalam

bahasa asalnya (bahasa Arab) kata tarjamah mengandung makna

menjelaskan dengan bahasa lain atau memindahkan makna dari satu bahasa ke dalam bahasa lain.3 Adapun dalam bahasa Inggris kata

penerjemahan atau „translation‟ adalah the process of changing something that is written or spoken into another language.4(Penerjemahan adalah proses merubah tulisan atau ucapan ke dalam bahasa lain).

Secara terminologi J.C. Catford memberikan definisi penerjemahan

sebagai „the replacement of textual material in one language (SL) by

equivalent textual material in another language (TL)‟. 5 (Pengalihan teks dari satu bahasa [bahasa sumber] ke dalam teks yang sepadan dalam bahasa lain [bahasa sasaran]).

1 M. Faisol Fatawi, Seni Menerjemah, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), h. 2.

2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999) h. 213.

3Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughah. (Beirut: Darul Masyriq, 1986), h. 60.

4AS Hornby, Oxford Advance Learner‟s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 2000), h. 1438.

5 J.C. Catford, A Linguistic Theory of Translation, (New York Toronto: Oxford University Press, 1965), h. 20.


(24)

Bagi Fatawi, dalam pengertian di atas Catford menekankan penerjemahan pada pencarian padanan tekstual yang bisa meliputi banyak hal, mulai makna, struktur dan gaya bahasa sampai dengan jumlah kata6. Pendek kata, dalam penerjemahan yang dicarikan padanan tidak sekedar aspek pesan, gagasan atau makna melainkan juga aspek lainnya sebagaimana dijelaskan di atas.

Moeliono sebagaimana dikutip Syihabuddin memandang bahwa

penerjemahan merupakan kegiatan mereproduksi amanat a tau pesan

bahasa sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam bahasa penerima, baik dilihat dari segi arti maupun gaya. 7 Pandangan ini sejalan dengan Nida sebagaimana dikutip Zaka Al-Farisi, menurut Nida penerjemahan adalah reproducing in the receptor language in the closest natural equivalent of the source language massage, firts in terms of meaning and secondly in terms of styles. 8 (Penerjemahan adalah proses reproduksi bahasa sasaran dengan padanan terdekat dari bahasa sumber, baik makna maupun gaya bahasa).

Dari pengertian yang dikemukakan para ahli di atas dipahami bahwa

yang menjadi ‟jembatan‟ dalam penerjemahan bahasa sumber ke bahasa

sasaran adalah padanan atau ekuivalensi.

Adapun Larson menjelaskan definisi yang lebih operasional bahwa menerjemahkan berarti mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi

6 M. Faisol Fatawi, Seni Menerjemah... h. 4.

7 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia, (Teori dan Praktek), (Bandung: Humaniora, 2005) h. 10.

8 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 29.


(25)

komunikasi dan konteks budaya dari bahasa sumber. Kemudian menganalisis teks tersebut untuk menemukan makna yang sama dan mengungkapkannya dengan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks tersebut.9

Sedikit berbeda dengan pengertian di atas, dalam pandangan Peter Newmark sebagaimana dikutip oleh Fatawi, menerjemah adalah mengalihkan makna teks ke dalam bahasa yang lain sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh pengarang atau penulis teks.10

Bagi Fatawi beragamnya pengertian yang diajukan para ahli menandakan bahwa penerjemahan secara teoritis maupun praktis merupakan hal yang tidak sederhana. Pengertian di atas kita bisa menarik benang merah bahwa menerjemah adalah pengalihan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran; pengalihan ini hanya bisa dilakukan dengan mencari padanan (ekuivalensi) antara bahasa sumber dengan bahasa sasaran; padanan itu meliputi seluruh karakteristik yang melekat pada bahasa sumber, mulai dari makna atau pesan, gramatikal, gaya bahasa dan hal-hal lain yang terkait dengan bahasa sumber.11

2. Metode Penerjemahan

Metode penerjemahan adalah pandangan umum tentang strategi menerjemah. Metode yang diambil oleh seorang penerjemah akan mempengaruhi cara atau tekniknya dalam menerjemah.

9 Milred L. Larson, Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman Untuk Pemadanan Antar

Bahasa, (Jakarta: Arca, 1991) cet. ke 2 h. 262. 10 M. Faisol Fatawi, Seni Menerjemah... h. 4. 11 M. Faisol Fatawi, Seni Menerjemah... h. 8.


(26)

Secara garis besar dikenal dua metode penerjemahan, yakni metode harfiah dan metode tafsiriah. Bahkan, topik mengenai baik-buruknya terjemahan harfiah dan terjemahan tafsiriah sejak lama sudah menjadi perdebatan hangat.12

Metode harfiah ialah cara menerjemah yang memperhatikan peniruan terhadap susunan dan urutas nash (teks) sumber. Metode ini disebut dengan metode laf-zhiyyah atau musâwiyah. Model penerjemahan ini diikuti oleh Yohana bin al-Batriqh, Ibnu Na‟imah, al-Hamshi. Sasaran dalam penerjemahan harfiah ialah kata. 13 Fatawi mendefinisikan penerjemahan harfiah sebagai cara menerjemahkan teks dengan memperhatikan peniruan terhadap susunan dan urutan teks sumber. Masih menurut Fatawi, biasanya langkah yang ditempuh seorang penerjemah dalam metode ini adalah memahami teks sumber, kemudian menggantinya dengan bahasa lain sesuai dengan posisi dan tempat kata dalam bahasa sumber atau transliterasi.14

Metode yang kedua adalah metode tafsiriah. Metode ini secara umum merupakan kebalikan dari metode harfiah. Jika metode harfiah berfokus pada kata maka metode tafsiriah kebalikannya. Bahkan metode tafsiriah tidak lagi memperhatikan susunan, struktur dan urutan teks sumber. Yang menjadi fokus dalam metode ini adalah penggambaran makna dan gagasan bahasa sumber dengan baik dan utuh.15 Masih

12 M. Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia... h.52. 13 Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek)... h. 68. 14 M. Faisol Fatawi, Seni Menerjemah... h. 58.


(27)

menurut Fatawi, dalam mengikuti metode ini, seorang penerjemah tidak usah bersusah-susah memaksakan diri untuk memahami setiap kata.16 Sejatinya pemilihan metode tertentu dalam menerjemah hanyalah kecenderungan saja. Karena dalam praktiknya bisa jadi seorang penerjemah menggunakan beberapa metode penerjemahan sekaligus. Penerjemah juga akan dihadapkan dengan keragaman struktur bahasa sumber yang tidak melulu sesuai dengan struktur dalam bahasa sasaran. Tentu hal ini menjadi faktor yang mempengaruhi pemilihan metode tertentu bagi penerjemah.

Antara penerjemahan harfiah dan tafsiriah keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Penerjemahan harfiah memiliki kekurangan ketika menerjemahkan teks sumber yang secara struktur dan susunan jauh berbeda dengan bahasa target. Jika dipaksakan maka output terjemahannya akan cenderung rancu, sulit dipahami dalam bahasa target. Adapun kelebihan dari metode ini, penerjemah akan cenderung setia terhadap teks sumber.

Penerjemahan tafsiriah berkecenderungan menghasilkan terjemahan yang lebih cair dan mudah dipahami dalam bahasa target. Karena yang menjadi fokus dalam metode ini adalah ide atau pesan dalam teks sumber bukan pada strukturnya. Sedangkan kelemahan metode ini memberi jalan bagi penerjemah untuk intervensi dalam penerjemahan.


(28)

Perbedaan kedua metode ini kemudian menimbulkan jalan tengah yang digagas para ahli. Jalan tengah yang dimaksud di sini adalah cara penerjemahan yang memadukan antara yang harfiah dan tafsiriah. Mula-mula seorang penerjemah bisa mengalihkan teks sumber secara harfiah dengan mengikuti struktur dan urutan teks sumber dengan kata per kata. Kemudian mengalihkan terjemahan harfiah ke dalam struktur bahasa penerima yang pokok; di sini terjadi proses transposisi tanpa menambah dan mengurangi. Selanjutnya, seorang penerjemah mengulangi proses penerjemahan dengan menyelami perasaan, emosi atau spirit penulis melalui penggunaan metafora yang relevan dan gaya bahasa dan penulisan yang dipakai. Sehingga pada akhirnya, seorang penerjemah mengambil keputusan untuk membuang apa yang harus dan perlu dibuang, menambah apa yang selayaknya ditambahkan, memilih dan menciptakan suatu istilah yang dipandang cocok untuk menggantikan istilah dalam bahasa sumber dan seterusnya.17

B. Konsep Dasar Kalimat

1. Konsep Dasar Kalimat dalam Bahasa Arab dan Indonesia a. Konsep Dasar Kalimat Bahasa Arab

Sebagaimana dijelaskan di atas, kalimat dalam bahasa Arab masuk dalam kajian nahwu. Di dalam buku nahwu-termasuk dalam buku-buku induk- terdapat dua tiga istilah kunci, yaitu kalimah, jumlah, dan


(29)

kalam. Jumlah dan kalam merupakan dua istilah bahasa Arab yang lazim disepadankan dengan istilah bahasa Indonesia kalimat. 18 Di lain penjelasan, Asrori memberikan batasan secara meyakinkan antara

jumlah sebagai klausa dan kalam sebagai kalimat.19 Berdasarkan batasan tersebut didapatkan beberapa pengertian kalimat dalam bahasa Arab (kalam) sebagai berikut:

Kalam adalah konstruksi yang tersusun dari dua kata atau lebih yang mengandung arti, disengaja serta berbahasa Arab.20 Kalam juga diartikan sebagai jumlah (konstruksi yang terdiri dari subjek dan predikat), mengandung makna yang utuh dan dapat berdiri sendiri.21

Berbeda dengan batasan yang diberikan Asrori, Syarif memadankan klausa dengan istilah jumailah, sedangkan kalimat dipadankan dengan istilah jumlah.22 Peneliti cenderung memilih batasan sebagaimana dijelaskan oleh Asrori, namun untuk mempermudah penyusunan teori struktur kalimat dalam bahasa Arab, maka yang akan dijelaskan adalah konsep jumlah mengingat konsep tersebutlah yang banyak dijelaskan secara struktural dalam buku-buku nahwu ketimbang konsep kalam. Selanjutnya struktur kalimat akan dijelaskan pada bahasan struktur kalimat efektif dalam bahasa Arab.

18 Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab, (Malang: Misykat, 2004), h. 67. 19 Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab ... h. 72.

20 Shonhaji, Matnal-Ajrumiyyah, (T.tp.: Penerbit Dar Ihya al-Kutub Al-Arabiyyah,t.t.), h. 1. 21 Musthafa Al-Ghalayany, Jami al-Durus al-Arabiyyah, (Kairo: Maktabah Syuruq al-Dauliyyah), Juz I h. 9.

22 Syarif Hidayatullah dan Abdullah, Pengantar Linguistik Bahasa Arab, (Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 104-106.


(30)

b. Konsep Dasar Kalimat Bahasa Indonesia

Kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.23 Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir yang diikuti oleh kesenyapan yang mencegah terjadinya perpaduan ataupun asimilasi bunyi ataupun proses fonologis lainnya. Dalam wujud tulisan berhuruf Latin, kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!); sementara itu, di dalamnya disertakan pula berbagai tanda baca seperti koma (,), titik dua (:), tanda pisah (-), dan spasi.24

Pengertian ini juga semakna dengan batasan yang disampaikan Henry Guntur Tarigan dengan mengutip pandangan Walter Cook S.J., Bejamin Elson dan Velma Pickett bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, yang mempunyai pola intonasi akhir dan yang terdiri dari klausa.25 Dari pengertian terlihat bahwa, kalimat adalah satuan terkecil yang telah utuh dalam mengungkapkan gagasan dengan ditandai intonasi akhir, baik lisan maupun maupun tulisan. Intonasi akhir inilah yang membedakan klausa dengan kalimat.

23 Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 44.

24 Hasan Alwi, dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 311.

25 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-Prinsip Dasar Sintaksis,(Bandung: Angkasa Bandung, 1983), h. 5.


(31)

Dalam penerjemahan, ketika proses restrukturisasi -menyusun dan merakit kembali, makna, arti, ide dan gagasan yang ada dalam bahasa sumber, yang telah dipahami ke dalam bahasa sasaran-26, penerjemah tidak bisa meninggalkan keberterimaan kalimat dalam bahasa sumber. Begitu juga pandangan Widyamartaya. Ia menjelaskan sebagai berikut:

Seorang penerjemah adalah seorang penulis. Tentu saja ia bukan pengarang (author) bukunya sendiri. Gagasan-gagasan pengarang yang ada didalam terjemahan tetap merupakan gagasan-gagasan pengarang itu, dan ia ingin menyamakan gagasan-gagasan pengarang secara efektif. Oleh karena itu, penerjemah harus mampu menyusun kalimat-kalimat yang efektif dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) yang dipakainya. Ciri-ciri kalimat efektif dicantumkan dan dilaksanakan di dalamnya27.

Oleh karena itu penggunaan kalimat efektif menjadi keharusan dalam penerjemahan. Berikut paparan konsep kalimat efektif dalam sintaksis bahasa Indonesia.

c.Perbedaaan dan Persamaan Kalimat Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia

Dari penjelasan sub tema 1.a. dipahami bahwa, bahasa Arab memiliki dua konstruksi khas yang disebut jumlah ismiyyah (kalimat nominal) dan jumlah fi‟liyyah (kalimat verbal). Dua konstruksi tersebut memiliki persamaan dan perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Berikut tabel persamaan dan perbedaan kalimat dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia.28

26 M. Faisol Fatawi, Seni Menerjemah... h. 21.

27 Widyamartaya, Seni Menerjemah (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 199.


(32)

Kalimat Verbal (Arab) Kalimat Verbal (Indonesia) Kalimat Nominal (Arab) Kalimat Nominal (Indonesia) Perbedaaan Diawali fi‟il

َأَك ْل ُت َأَن ُكأ ا ُل Predikatnya Verba Saya makan Diawali isim َأَن ُم ا َد ِرّ ٌس ُأَن َج ا ِلا ٌس Predikatnya nomina Saya guru Saya duduk

Persamaan Predikatnya verba

Predikatnya verba

Predikatnya nomina

(dan bisa

juga verba)

Predikatnya nomina

Dari tabel di atas terlihat bahwa kalimat verbal dalam bahasa Arab maupun bahasa Indonesia, keduanya memiliki kesamaan, yaitu berpredikat verba. Begitu juga dengan kalimat nominal dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia, keduanya berpredikat nominal. Adapun perbedaannya, kalimat verba dalam bahasa Arab (jumlah fi‟liyyah) mesti diawali verba begitu juga dengan kalimat nominal bahasa Arab (jumlah ismiyyah), haruslah diawali dengan nomina. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, hal yang menjadi patokan bahwa suatu kalimat dikategorikan verba atau nominal hanya dilihat dari bentuk predikatnya, apakah verba atau nomina.


(33)

2. Konsep Kalimat Efektif

a.Kalimat Efektif dalam Bahasa Indonesia

Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan dengan tepat ditinjau dari segi diksi, struktur, dan logikanya.29 Pengertian di atas mirip dengan teori keberterimaan kalimat sebagaimana dijelaskan Chaer, penentu keberterimaan sebuah kalimat adalah faktor gramatikal, faktor semantik, dan faktor nalar. 30 Dengan kata lain kalimat efektif dapat disebut kalimat berterima begitu juga sebaliknya.

Konsep yang perlu diurai dalam teori kalimat ini adalah konsep diksi, struktur, dan logika kalimat. Berikut uraiannya:

1) Diksi

Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary

(bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam Websters, diction diuraikan sebagai choice of word esp with regard to corecness, clearness, or effectiveness.31 Jadi, diksi membahas penggunaan kata, terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan.

Mengenai diksi atau pilihan kata Gorys Keraf menyimpulkan uraiannya sebagai berikut. Pertama, pilihan kata atau diksi

mencangkup pengertian kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan

29 Ida Bagus Purtayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 2.

30 Abdul Chaer, Sintaksis Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses)... h. 233. 31 Ida Bagus Purtayasa2, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika)... h. 7.


(34)

suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalahkemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh

penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan bahasa itu.32

a)Ketepatan Diksi dan Persyaratannya.

Untuk menyusun kalimat efektif, hendaknya dipilih kata yang tepat, ialah yang memenuhi isoformisme, yaitu kesamaan makna karena kesamaan struktur kognitif.33 Menurut Gorys, syarat ketepatan diksi adalah sebagai berikut;34

- Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Kalau hanya pengertian dasar yang diinginkannya, ia harus memilih kata yang denotatif; kalau ia menghendaki reaksi emosional tertentu ia harus

32 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa... h. 24.

33 Ida Bagus Purtayasa, Aplikasi Bahasa Indonesia,(Singaraja: IKIP Singaraja, 2005) h. 87. 34 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa... h. 88.


(35)

memilih kata konotatif sesuai dengan sasaran yang akan dicapainya.

- Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir

bersinonim. kata-kata yang bersinonim tidak selalu memiliki distribusi yang saling melengkapi. Sebab itu, penulis atau pembicara harus berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang diinginkannya, sehingga tidak timbul intepretasi yang berlainan.

- Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis sendiri tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya, maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan, yaitu salah paham. Kata-kata yang mirip dalam tulisannya itu misalnya: bahwa-bawah-bawa, interfensi-inferensi, karton-kartun, preposisi-proposisi, korporasi-koperasi, dan sebagainya.

- Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. Bahasa selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat. Perkembangan bahasa pertama-tama tampak dari pertambahan jumlah kata baru. Namun hal itu tidak berarti bahwa setiap orang boleh menciptakan kata baru seenaknya. Kata baru biasanya muncul untuk pertama kali karena dipakai oleh orang-orang terkenal atau pengarang


(36)

terkenal. Bila anggota masyarakat lainnya menerima kata itu, maka kata itu lama-kelamaan akan menjadi milik masyarakat. Neologisme atau kata baru atau penggunaan sebuah kata lama dengan makna dan fungsi yang baru termasuk dalam kelompok ini.

- Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut. - Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan

secara idiomatis.

- Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum.

- Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukan

persepsi yang khusus.

- Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal.

- Memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

b)Kesesuaian Diksi dan Persyaratannya

Perbedaan yang sangat jelas antara ketepatan dan kesesuaian adalah bahwa dalam kesesuaian dipersoalkan: apakah kita dapat


(37)

mengungkapkan pikiran kita dengan cara yang sama dalam semua kesempatan dan lingkungan yang kita masuki.35

Pada kenyataanya, setelah diksi dipilih secara tepat maka seorang penutur bahasa meski menyesuaikan diksi tersebut dengan kondisi dan situasi yang ada. Secara garis besar kondisi atau situasi terbagi menjadi formal dan nonformal. Oleh karena itu penutur mesti menyesuaikan diksi dengan kondisi tersebut. Diksi formal untuk suasana formal dan diksi nonformal untuk suasana nonformal.

Berikut syarat-syarat kesesuaian diksi:

- Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar (tidak baku) dalam situasi yang formal.

- Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata polpuler.

- Hindari jargon (dialek yang hanya dimengerti oleh sebagian masyarakat saja atau tidak umum) dalam tulisan untuk pembaca umum.

- Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian bahasa slang (bahasa gaul).

- Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. - Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati).


(38)

- Jauhkan kata-kata yang artifisial (bahasa yang disusun secara seni). Bahasa artifisial digunakan dalam puisi dan prosa lirik atau seni sastra.

2) Struktur Kalimat Efektif

Putrayasa merumuskan unsur-unsur kalimat sebagai berikut: 36

(Aux) (W)

K = FSb + (Asp) + FPr + (T)

(Pnd) (C)

Keterangan: K : Kalimat

FSb : Frase Subjek = FB (Frase Benda)

FPr : Frase Predikat = FB (Frase Benda)

FK (Frase Kerja)

FS (Frase Sifat)

FD (Frase Depan)

Fbil (Frase Bilangan)

Aux : Auxilary : harus;

Asp : Aspek : sudah, akan, senang;

Pnd : Pendesak : memang, tidak, hanya;

W : Waktu : sebelum, sesudah, ketika;

T : Tempat : di..., ke..., dari ...;

C : sebab, akibat, syarat, perlawanan, keadaan dan lain-lainya


(39)

Unsur-unsur yang diapit tanda kurung disebut unsur manasuka, sedangkan yang lainnya disebut unsur wajib harus ada, sedangkan unsur manasuka boleh digunakan atau tidak.

Misalnya: Dia memang sudah harus pergi sore ini ke Kampus untuk tentamen

FSb Pnd Asp Aux FPr W T C Unsur wajib di atas adalah Dia dan pergi. Kedua unsur wajib tersebut membuat kalimat inti: Dia pergi.

Tidak selamanya, unsur-unsur yang membangun kalimat dalam bentuk yang sederhana seperti kalimat contoh. Hal ini berarti pada hakikatnya akan sering kita jumpai bentuk kalimat yang unsur-unsurnya sudah dikembangkan lebih jauh.

a) Kesejajaran Kalimat

Penggabungan dua kata, atau lebih, dalam satu kalimat menuntut adanya keserasian di antara unsur-unsur tersebut baik dari segi makna maupun dari segi bentuk.37

b)Kesejajaran bentuk

Banyak hal yang dilakukan budi selama liburan di desa, antara lain, menanam jagung, pencabutan rumput, dan membersihkan lahan dari semak belukar.

Dari kalimat tersebut terdapat ketidaksejajaran bentuk pada frase menanam jagung, pencabutan rumput, dan membersihkan


(40)

lahan. Sehingga akan menjadi kalimat yang sejajar apabila frase

pencabutan rumput dirubah bentuknya menjadi mencabut rumput.

c) Kesejajaran makna

Konsep kesejajaran makna dapat dilihat dari contoh kalimat dibawah ini.

Adikku mencabuti sebuah paku di papan. Kata mencabuti

tidak sejajar secara makna jika disandingkan dengan frase sebuah paku. Yang tepat adalah mencabuti paku-paku.

3) Logika atau Penalaran Kalimat

Penalaran adalah adanya hubungan logis antara klausa pertama dengan klausa kedua, atau antara klausa utama dan klausa bawahan dalam sebuah kalimat majemuk subordinatif. Kalau hubungan antara kedua klausa tidak logis maka kalimat tersebut secara nalar tidak berterima, meskipun secara gramatikal tidak bermasalah.38

Putrayasa -dengan mengutip Chaer- menjelaskan bahwa, kesalahan logika di dalam kalimat antara lain karena kesalahan dalam:

a) menarik kesimpulan umum (induksi)

b) menarik kesimpulan khusus (deduksi)

c) menarik persamaan (analog); dan


(41)

d) memberi alasan (argumentasi).39

Masih mengutip Chaer, Putrayasa juga menjelaskan bahwa, argumentasi yang dibangun dalam kalimat dikatakan salah ketika alasan yang digunakan terkategori jenis alasan sebagai berikut: a) Alasan yang diberikan ini tidak mengenai pokok masalah,

atau pokok masalah itu ditukar dengan pokok lain.

b) Alasan yang diberikan bukan mengenai masalahnya,

melainkan mengenai pribadi orangnya.

c) Alasan yang diberikan tidak berdasarkan pendapat ahli di bidangnya.

d) Alasan yang diberikan berdasarkan pikiran atau pandangan apriori.

e) Alasan yang diberikan tidak ada hubungannya dengan

masalah pokok.

f) Alasan yang diberikan sama dengan masalahnya.

Demikianlah teori tentang diksi, struktur kalimat dan logika. ketiga aspek ini secara langsung membangun efektifitas kalimat.

b. Kalimat Efektif dalam Bahasa Arab 1) Diksi dalam Bahasa Arab

Kata dalam bahasa Arab disebut sebagai kalimah. Konsep

kalimah dalam bahasa Arab terbagi tiga yaitu: kalimah ism

(nomina), fi‟l (verba) dan harf (partikel). Nomina dalam bahasa


(42)

Arab mengenal kasus (haalah i‟raabiyyah). Kasus adalah kategori gramatikal yang memperlihatkan hubungannya dengan kata lain dalam konstruksi sintaksis. Kasus tersebut antara lain nominatif (marfu‟), akusatif (mansub) dan genetif (majrur). Verba mengenal kala yaitu; kala selesai (madhi) dan kala sedang dan atau akan datang (mudhari).

Ulama gramatika bahasa Arab ada yang menjadikan verba sebagai akar kata. Oleh karena itu verba mengalami infleksi (tashrif lughawiy) dan derivasi (tashrif ishthilahiy). Adapun harf

atau partikel dalam bahasa Arab adalah kelas kata yang baru bermakna apabila bersanding dengan kelas kata lainnya. Namun meski begitu harf memiliki peran sintaksis.

Sama halnya dengan bahasa Indonesia, bahasa Arab juga mengenal pilihan kata (diksi) yang mesti secara cermat dioperasikan oleh seorang penulis. Bahasa Arab mengenal konsep;

a) Al-Taraaduf (sinonimi);

b) Al-Musytarak (polysemi)

c) Al-Adhdaad (antonimi)

d) Al-Takhshis wa Al-Taimim (umum dan khusus)

e) Al-Hakikiy wa Al-Majaziy (Denotasi dan Konotasi)

Untuk dapat mengoperasikan konsep makna dan mengatasi permasalahan diksi, alat yang dapat digunakan adalah kamus. Dalam bahasa Arab, kamus dikenal dengan sebutan mu‟jam atau


(43)

qaamus. Selain menyajikan kumpulan kosa kata, kamus juga berfungsi;

a) Menjelaskan makna kata-kata yang berbeda. b) Mengeja kata secara benar.

c) Melafalkan secara benar. d) Menelusuuri asal-usul kata.

e) Membedakan kata yang masih digunakan dan yang telah ditinggalkan.

f) Mengetahui kesalahn yang muncul dari kata dan antonimnya. g) Memberikan contoh penggunaan kata-kata secara tepat dan

benar.

h) Memberikan informasi ensiklopedis.40

2) Struktur Kalimat Efektif Bahasa Arab

Al-Jumlah al-Mufidah adalah konstruksi yang terdiri dari dua kalimat atau lebih dan memiliki makna yang utuh. Jumlah terbagi dua jenis:

a) Jumlah Ismiyyah (kalimat nominal), adalah jumlah

(sebagaimana terdefinisikan di atas) yang permulaannya adalah nomina atau pronomina. Contohnya,

رّون ملعلا (ilmu adalah cahaya). Pn S

(ket: Pn = Predikat nomina, S=Subjek)


(44)

b) Jumlah Fi‟liyah (kalimat verbal), adalah jumlah yang permulaannya adalah verba. Contoh,

لجرلا رضح (seseorang telah hadir).41

Pv S (ket: Pv = predikat verba, S=subjek)

Selain konsep jumlah mufidah, sintaksis bahasa Arab juga mengenal jumlah al-syarth dan syibh al-jumlah. Jumlah al-syarth adalah konstruksi jumlah yang belum memiliki makna utuh dan agar memiliki makna utuh konstruksi tersebut memerlukan tambahan konstruksi yang disebut jawab al-syarth. berikut contohnya,

ىفشل ضيرملا جلوع ول (kalau orang sakit di obati pasti sembuh)

Jb-sy Jm-sy

(ket: Jb-sy= jawab al-syarth, jm-sy=jumlah al-syarth)

Adapun yang dimaksud dengan syibh al-jumlah

(menyerupai jumlah) adalah setiap konstruksi yang terdiri dari

dzarfh dan mudhaf ilaihi atau jar dan majrur.42 Contoh,

ةرجشلا قوف

Md-I Dz

(ket: Md-I= mudhaf ilaihi, Dz= dzarf)

بتكملا ىلع (di atas meja) Mj J

(ket: Mj = majrur, J= harf al-jar)

41 Fuad Ni‟mah, Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah, (Beirut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, tt), h. 19.


(45)

3) Penalaran dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia

Penalaran dalam bahasa Arab masuk dalam bahasan Ilmu Mantiq. Penalaran adalah proses mengambil kesimpulan atau membentuk pendapat berdasarkan fakta-fakta tertentu yang telah tersedia, atau berdasar konklusi-konklusi tertentu yang telah terbukti kebenarannya.43 Para ahli berbeda pendapat dalam mensepadankan konsep penalaran. Khalimi menyebut penalaran atau reasoning

dengan istilah Al-Istintaj.44

Sedangkan Syukri menyebut penalaran dengan istilah istidlal.45 Khalimi mensepadankan kategorisasi penalaran dengan konsep yang digunakan dalam ilmu mantiq. penalaran induktif (istiqraiyyah), penalaran deduktif (istidlaliyyah), penalaran kausal (sababiyah), penalaran analogi (qiyas) dan penalaran komparatif (al-istintaj bil muqarranah).46

Syukriadi menjelaskan bahwa secara lughawi, istidlal berarti mencari informasi (to see information), meminta petunjuk, memberi petunjuk, memberi keterangan, meminta alasan dan memberi alasan. Menurut istilah istidlal adalah menentukan alasan (dalil) untuk menetapkan sesuatu yang ditunjukkan (madlul) dari „atsar kepada

mu‟atsar yang disebut istidlal aniya; atau, dari mu‟atsar kepada

43 Syarqawi Dhofir, Pengantar Logika; Dengan Spektrum Islam, (Madura: Al-Amin, 1997), h. 71.

44 Khalimi, Logika; Teori dan Aplikasi, (Ciputat: GP Press, 2011), h. 179.

45 Syukriadi Sambas, Mantik; Kaidah Berfikir Islami, (Bandung: Remaja Rosda Karya,)h. 112. 46 Khalimi, Logika; Teori dan Aplikasi … h. 181.


(46)

atsar yang disebut istidlallammiya atau dari dua „atsar kepada yang lain.

Definisi istidlal menurut Al-Jurzani itu memuat tiga macam istidlal:

a. Istidlal „Aniya; proses memikirkan objek pikir secara deduktif/ istidlal-Qiyasi (min al-„atsar ila al-mu‟atsar). b. Istidlal Lammiya; proses memikirkan objek pikir secara

induktif/ Istidlal Istigra‟I (min al-mu‟atsar ila al-„atsar). c. Istidlal Jami‟ Bainahuma; Proses memikirkan objek pikir

secara komprehenshif (min al-mu‟atsirin ila al-akhar). Dari ketiga definisi tersebut dapatlah disimpulkan bahwa istidlal

adalah untuk menyatakan proses pembentukan penalaran atau pemikian yang dirakit dari konsepsi (tashawur) dan keputusan (tashdiq) dalam menemukan kebenaran ilmiah yang sebenarnya.47

C. Konsep Tentang Hadis Gender

1. Konsep Gender

a. Pengertian Gender

Menurut bahasa, kata „gender‟ sama dengan kata „sex‟ yang berarti

„jenis kelamin‟ kedua kata tersebut berasal dari bahasa Inggris.48 Meski kedua kata tersebut merupakan sinonim namun dalam terminologi memiliki

47 Syukriadi Sambas, Mantik; Kaidah Berfikir Islam ... h. 113.

48 John M. Echol dan Hasan Shadily, Kamus Inggrris Indonesia, Jakarta: Gramedia, XII, h. 265.


(47)

perbedaan yang mendasar. sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.49

Laki-laki dan perempuan secara kodrati adalah seks yang berbeda dan telah melekat di masing-masingnya sehingga tidak bisa dipertukarkan. Sebagai contoh melahirkan, menstruasi adalah kekhususan bagi perempuan yang tidak bisa terjadi pada laki-laki sebagaimana janggut dan kumis yang hanya tumbuh pada laki-laki. Namun bagi feminis perbedaan seks tersebut tidak serta merta menjadikan dua jenis manusia ini berbeda dalam berbagai hal. Melihat kondisi tersebut maka pada tahun 1970-an kaum feminis mengembangkan istilah „gender‟.50

Gender digambarkan sebagai konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.51 Gender dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya, agama dan hukum yang berlaku di masyarakat serta faktor-faktor lainnya.52 Dari pengertian di atas dipahami bahwa konsep gender berbeda dengan seks. Gender bukanlah kodrat manusia yang tidak bisa dirubah-rubah, sebaliknya gender bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Bagi feminis,

49 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 35.

50 Dinar Dewi Kania, ”Isu Gender: Sejarah dan PerkembangannyaIslamia, Vol. III No. 5, 2010, h. 31.

51 Helen Tierney (ed.), Women‟s Studies Encyclopedia, Vol.. I, (New York: Green Wood Press,) h. 153.


(48)

diskriminasi gender adalah masalah terutama diskriminasi yang dianggap merugikan salah satu pihak. Misalnya, diskriminasi hak pendidikan antara laki-laki dan perempuan atau stereotipe negatif yang disematkan oleh masyarakat terhadap salah satu jenis kelamin.

Konsep gender tidak bisa dilepaskan dari gerakan feminisme yang telah melahirkan istilah tersebut. Para feminis berbeda pendapat mengenai pengertian feminisme. Hal ini disebabkan feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teoritis dari rumusan teori tunggal, karena itu definisi feminisme selalu berubah-ubah sesuai dengan realitas sosio-kultural yang melatarbelakanginya, tingkat kesadaran, persepsi, serta tindakan yang dilakukan oleh feminisme itu sendiri.53

Meski begitu, melalui berbagai gerakan yang dilakukan kalangan feminis kita bisa menyimpulkan bahwa feminisme adalah pemikiran yang melahirkan gerakan dalam memperjuangkan kaum hawa dengan tujuan dan cara-cara sebagaimana yang para feminis persepsikan. Gerakan feminisme pada mulanya adalah gerakan sekelompok aktivis perempuan Barat, yang kemudian lambat-laun menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, termasuk Negara-negara muslim, melalui program „women

studies‟.54 Dalam perkembangannya gender menjadi pisau analisis tersendiri yang lahir di tengah-tengah kerangka analisis sosial lainnya dan kini kita

53 Euis Amalia, “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya” Pengantar Kajian

Gender, (Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), h. 86.


(49)

bisa saksikan wacana kesetaraan gender telah menjadi program sosial yang didesain secara akademik dan disosialisasikan secara politis.55

b. Gender dalam Studi Bahasa

Dalam linguistik dan juga berbagai kajian lainnya, para akademisi feminis terus-menerus mencari jawaban atas gaps (kesenjangan) yang terjadi. Para feminis tidak sekedar mengadakan diskusi tentang wanita serta hal yang dialaminya ke dalam disiplin ilmu yang sedang kita bahas ini, namun juga meliputi kerja yang lebih luas, yaitu meneliti dan mentransformasi kajian mereka ke dalam skema yang konseptual.56

Studi gender berkembang dan bersinggungan dengan berbagai kajian sosial dan budaya termasuk juga dengan linguistik (kajian bahasa). Kita bisa saksikan bahwa para feminis juga melakukan kritik-kritik kebahasaan terhadap teks yang berperan membentuk konstruk sosial-kemasyarakatan, seperti teks keagamaan. Bahkan bagi beberapa tokoh feminis, konsep gender berasal dari konstruksi linguistik dari berbagai bahasa yang memberi kata sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki.57 Oleh sebab itu, banyak pula feminis yang menggeluti kajian linguistik.58

55 Hamid Fahmy Zarkasyi,” Problem Kesetaraan Gender dalam Islam” Islamia, Vol. III No. 5, 2010, h. 3.

56 Bonnie Mcelhinny, “Theorizing Gender in Sociolinguistics and Linguistic Anthropology” dalam Janet Holmes and Miriam Meyerhoff, ed., The Handbook of Language and Gender … h. 21. 57 Khofifah Indar Parawansa, Mengukur Paradigma, Menembus Tradisi, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. xxvii.

58 Anne Pauwels, “Linguistic Sexism and Feminist Linguistic Activism” dalam Janet Holmes and Miriam Meyerhoff, ed., The Handbook of Language and Gender (Australia: Blackwell Publishing, 2005) h. 550.


(50)

Dalam The Handbook of Language and Gender dijelaskan beberapa landasan teori yang menyertai kajian bahasa dan gender. Di antaranya adalah sosiolinguistik, analisis wacana dan juga penerjemahan.

Diasumsikan bahwa gender mengarah pada beberapa fokus tertentu

dalam studi Sosiolinguistik (khususnya kajian interaksi dalam

heteroseksual), asumsi teoritis tersebut mungkin terlalu umum untuk sebuah penggambaran. Namun, asumsi tersebut memungkinkan dalam menjelaskan perkiraan hubungan ideologis untuk beberapa cara konseptualisasi gender yang dominan dalam konteks Barat kapitalis.59

Studi bahasa dan gender pada perkembangannya juga berubah menjadi studi wacana dan gender. Terminologi „wacana‟ masih diperdebatkan, setiap kajian memberikan definisinya sendiri menurut tradisi dalam kajian tersebut. Dalam kajian linguistik, definisi wacana yang paling dominan adalah definisi bentuk dalam unit kebahasaan seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Berdasarkan pengertian bentuknya, morfologi adalah level kajian linguistik yang berbentuk kombinasi bunyi dalam sebuah kata; sintaksis adalah level kajian linguistik yang berbentuk kombinasi kata dalam sebuah kalimat sedangkan wacana adalah level di atas sintaksis yaitu level kajian linguistik berbentuk kombinasi kalimat dalam unit yang lebih besar.

Selain definisi formal di atas ada juga alternatif lainnya. Definisi ke dua ini tidak memfokuskan pada bentuk linguistik semata akan tetapi dari sisi

59 Bonnie Mcelhinny, “Theorizing Gender in Sociolinguistics and Linguistic Anthropology,”h. 36.


(51)

fungsi. Menurut pandangan ini wacana dipahami sebagai bahasa dalam konteks, definisi ini menempatkan bahasa dalam situasi sosial tidak semata bentuk bahasa seperti yang menjadi concern dalam teori linguistik. Pengertian ini memberi perhatian yang lebih luas terhadap konteks dalam penggunaan bahasa. Studi bahasa dan gender bersandar penuh dalam definisi yang kedua ini. Bagaimanapun, dalam prakteknya kedua definisi (wacana) di atas seringkali tetap dapat digunakan. Pada banyak situasi bahasa, para analis wacana mengkaji lebih dari sekedar kalimat tunggal. Bahkan analisis sebuah wacana sebagai salah satu unit bahasa sebagaimana dijelaskan dalam definisi pertama, mungkin tetap memerlukan sebuah pertimbangan dari konteks yang mengiringi wacana tersebut.60

Isu yang paling mencuat dalam analisis wacana bagi kajian gender dan bahasa adalah konteks natural (nature context), peran lembaga (agency) melawan dominasi kekuasaan serta sudut pandang peneliti dalam analisis.61

Isu gender dalam teks sastra juga diteliti melalui pendekatan-pendekatan linguistik. Para linguis melakukan dua pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk mendalami teks sastra yang berisi gender. Pertama, menyertakan perbandingan antara cerita yang diciptakan oleh pengarang pria dan wanita yang kemudian disebut sebagai penelitian „kalimat perempuan‟ (the female sentence) atau gaya tulisan perempuan (female style of writing). Kedua,

60 Mary Bucholtz, “Theories fo Discourse as Theories of Gender: Discourse Analysis in Language and Gender Studies ” dalam Janet Holmes and Miriam Meyerhoff, ed., The Handbook of

Language and Gender … h. 44.

61 Mary Bucholtz, “Theorizing Gender in Sociolinguistics and Linguistic Anthropology” dalam Janet Holmes and Miriam Meyerhoff, ed., The Handbook of Language and Gender … h. 63.


(52)

menyertakan sebuah kajian penggunaan (a study of uses) terhadap sistem gender linguistik dalam bahasa berbeda yang telah diambil dalam kerja-kerja sastra.

Dulu, gender dianggap sebagai sebuah sifat budaya dari pengarang. Kini gender menjadi sifat morfologis sebuah teks. Perspektif ketiga mengenai bahasa dan gender dalam teks sastra diberikan oleh para penerjemah dan ahli teori penerjemahan. Ahli teori penerjemahan secara khas melihat sebuah teks sebagai ekspresi dari sebuah waktu dan tempat tertentu sebagaimana yang diekspresikan dalam sebuah bahasa tertentu. Perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran mungkin disertai perbedaan kultur dan periode. Jadi, penerjemah seringkali bekerja dengan kosakata gender (morphological gender) dan budaya gender (cultural gender).62

Isu gender dalam penerjemahan juga tak luput dari pendekatan linguistik, sebagaimana dijelaskan Anna Livia bahwa ketika dua tipe analisis datang bersamaan (gaya penulisan dan penggunaan gender linguistik) dalam penelitian gender dan penerjemahan, bidang gender morfologis (morphological gender) dan budaya gender (cultural gender) sangatlah relevan.

62 Anna Livia, “One Man in Two is a Woman: Linguistic Approaches to Gender in Literary Text” dalam Janet Holmes and Miriam Meyerhoff, ed., The Handbook of Language and Gender …


(53)

Para penerjemah bekerja antara menerjemahkan teks dan juga seringkali sebagai guide budaya yang diproduksi oleh teks. apabila harapan sosial gender dalam budaya bahasa target sangat berbeda dari budaya bahasa sumber, maka para penerjemah perlu menguraikan anomali tersebut. Sama halnya jika bahasa-bahasa mensandikan gender dengan cara yang sangat berbeda maka para penerjemah butuh memikirkan sebuah rumusan untuk meliputi perbedaan tersebut. Dua peran sebagai penerjemah bahasa dan juga

guide budaya, para penerjemah harus dapat memutuskan, mana yang harus dinaturalkan (what to naturalize), diberi penjelasan (what to explain) dan mana yang harus tetap diasingkan (what to exoticize).63

c. Gender dalam Studi Islam

Sebagaimana dijelaskan dalam definisi gender di atas bahwa isu gender tidak terlepas dari gerakan feminisme, maka pembahasan gender dalam studi Islam pun akan sangat berhubungan dengan gerakan tersebut. Sejarah feminisme bermula di dunia Barat. Kaum feminis di Barat umumnya mengangap Mary Wollstonecraft (1759-1797) sebagai nenek moyang mereka. Lewat tulisannya yang sangat terkenal, A Vindication of The Rights of Women, Ia mengecam berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan, menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam hal pendidikan maupun politik .64

63Anna Livia, “One Man in Two is a Woman: Linguistic Approaches to Gender in Literary Text” dalam Janet Holmes and Miriam Meyerhoff, ed., The Handbook of Language and Gender … h. 154.


(54)

Gerakan ini terus berkembang, bahkan pada abad 19, isu feminisme juga disuarakan kaum laki-laki.65 Di awal abad 21, gerakan feminisme di

Barat kelihatan mengalami stigmatisasi dan tampak seperti „kena batunya‟.

Munculnya feminis-feminis radikal yang bersikap anti laki-laki, mengutuk sistem patriarki, mencemooh perkawinan, menghalalkan aborsi, merayakan lebianisme dan revolusi seks justru menodai reputasi gerakan itu.66 Tidak sedikit yang memberi reaksi tajam terhadap kiprah para feminis tersebut. Akibatnya muncul pula gerakkan anti-tesis yang menyeru kaum wanita agar kembali ke pangkal jalan.

Di antara mereka yang melawan feminisme adalah Erin Patria Pizzey, (penulis buku Prone to Violence), Caitlin Planagan (kolumnis tetap The Atlantic Monthly), Iris Krasnow (penulis buku Surrenderring to Motherhood) dan mantan pengacara F. Carolyn Graglia (penulis buku

Domestic Tranquility). Bahkan Lydia Sherman dan Jenney Chancey secara khusus mendirikan lembaga Ladies Against Feminism (LAF).67 Dengan segala dinamikanya feminisme telah melahirkan berbagai aliran yaitu, feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal, feminisme sosialis, ekofeminisme, feminisme Psikoanalisa, feminisme eksistensialisme, feminisme postmodern, dan feminisme multi kultural. Masing-masing aliran memiliki coraknya tersendiri. Menurut Amalia, feminisme di dunia Islam masuk dalam kategori teologi feminisme.

65 Euis Amalia, “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya” Pengantar Kajian

Gender ... h. 91.

66 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran ... h. 107. 67 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran ... h. 109.


(55)

Teologi feminisme berasal dari teologi pembebasan yang bercorak marxis namun sasaran kritik adalah ajaran agama yang melegitimasi konstruk sosial terhadap perempuan. Gerakan teologi feminis merupakan sebuah praksis yaitu bergerak dalam taraf konseptual dengan mengubah penafsiran dan perubahan hukum agama sampai pada tataran praktis dengan pendekatan penyadarannya. Misalnya, seperti yang sering dilakukan teolog feminis dari kalangan Islam, mereka sering membangkitkan emosi kalangan

perempuan dengan menonjolkan isu-isu fiqh yang menyudutkan

perempuan.68

Dilihat dari sisi sejarah, masuknya pengaruh feminisme ke Dunia Islam memang tidak terlepas dari proses infiltrasi ide-ide sekular pada masa kemunduran Islam yang kian parah awal abad ke-19.69 Gerakan feminis muslim serta perjuangan mereka sebenarnya bukan hal yang baru.

Walaupun istilah „feminis muslim‟ pertama kali diperkenalkan dan

digunakan sekitar tahun 1990an, namun asas perjuangan dan pemikiran mereka adalah kesinambungan dari gerakan feminisme Barat yang telah dianut dan diterima sebagai satu wadah untuk memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

Definisi yang lebih jelas diberikan oleh kalangan feminis sendiri, Azza M. Karam: “a one who adopt a worldview in which Islam can be

contextualized and reinterpreted in order to promote concept of equity and

68 Euis Amalia, “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya” Pengantar Kajian

Gender ... h. 113.

69 Najmah Sa‟idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan, (Bogor: IDeA PUSTAKA, 2003), h. 64.


(56)

reinterpreted between men and women, and for whom freedom of choice

plays an important part in expression of faith”70

Melalui pendekatan yang berbeda Arif menjelaskan isu gender dalam Islam sebagai berikut, wacana emansipasi pertama kali bergulir oleh Syekh Muhammad Abduh (1849-1905). Tokoh reformis dari Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita muslimah mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung jawabnya sebagai seorang muslimah dalam pembangunan umat. Pandangan yang sama dinyatakan juga Hasan at-Turabi dari Sudan.

Menurut Hasan, Islam mengakui hak-hak perempuan diranah publik, termasuk hak dan kebebasan mengemukakan pendapat, ikut pemilu, berdagang, menghadiri shalat berjamaah, ikut ke medan perang dan lain-lain. Tokoh yang sejalan dengan a-Turabi dan Abduh antara lain, Syekh Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Quthb, Fatimah Nasifi, Lois Lamya al-Faruqi, dan lain-lain. tokoh-tokoh ini menyeru untuk kembali kepada ajaran al-Quran dan al-Sunnah. Sejalan pula dengan tokoh-tokoh di atas dalam menyikapi isu gender dalam Islam, Khalif Muamar, Najmah Saidah, Husnul Khatimah, Hendri Shalahudin, Anita Masduki, Syamsudin Arif, dan lain-lain., mereka tetap memegang prinsip

tajdid, ijtihad,71 istidlal dan prinsip epistemologi Islam. 72

70 Khalif Muammar, ”Wacana Kesetaraan Gender: Islamis Versus Feminis Muslim” Islamia, Vol. III No. 5, 2010, h. 38-39.

71 Najmah Sa‟idah dan Husnul Khatimah, Revisi Politik Perempuan ... h. 100.


(57)

Ada juga yang menggunakan pendekatan sekular-liberal, yaitu Qasim Amin. Intelektual yang disebut-sebut sebagai „bapak feminisme Arab‟ ini menulis dua buku kontroversial, Tahrir al-Mar‟ah (Kairo, 1899) dan al-Marah al-Jadidah (Kairo, 1900), Ia menyeru emansipasi wanita ala Barat. Menurut Qasim, kalau ingin maju buanglah jauh-jauh doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah berjilbab, poligami dan lain sebagainya. 73 Selain Qasim Amin tokoh feminis muslim lainnya yang banyak mendekonstruksi dan reinterpretasi ajaran Islam di antaranya, Fatima Mernissi dari Maroko, Nawal al-Saadawi dari Mesir, Riffat Hasan dari Pakistan, Taslima Nasreen dari Bangladesh, Amina Wadud dari Amerika Serikat, Fatimah Mernisin Ashgar Ali Engineer dan lain-lain.

Hal yang menjadi sasaran tembak feminis muslim sekuler-liberal di atas adalah ajaran-ajaran agama yang dianggap merugikan perempuan. prioritas misi kebanyakan feminis muslim adalah rekonstruksi hukum-hukum agama berkaitan wanita khususnya hukum keluarga, dengan menilai dan dan menganalisa ulang teks agama al-Quran dan al-Sunnah serta mentafsirnya dari perspektif yang berbeda dengan penafsiran klasik.74 Feminis muslim dalam kerjanya menggunakan beberapa jenis pendekatan dan metodologi dalam membahas hukum-hukum berkaitan wanita yang terdapat dalam

73 Syamsuddin Arif, Orientalis & Diabolisme Pemikiran ... h. 110.


(58)

teks agama. Termasuk metodologi ijtihad, tafsir dan melibatkan bidang ilmu lain seperti antropologi, sosiologi, linguistik, dan sejarah.75

Adapun tema-tema yang sering dimunculkan di antaranya; reinterpretasi penciptaan manusia, kepeminpinan perempuan dan Islam, hak kepemilikian perempuan, hukum waris perempuan, hukum jilbab, aurat dan lain-lain.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa isu gender dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari sumber hukum Islam terutama al-Quran dan al-Sunnah beserta turunannya.

Ketika menggali isu gender dalam Islam, semua kalangan tentu menjadikan sumber hukum Islam sebagai rujukan. Namun terdapat perbedaan metodologis dalam mengoperasikan sumber hukum Islam tersebut. Setidaknya terdapat dua sikap yang berbeda, pertama golongan yang -dalam penjelasan di atas- di sebut feminis muslim, mereka

menggunakan berbagai pendekatan atau bisa juga disebut

mengkombinasikan antara pendekatan tradisi keislaman dengan pendekatan keilmuan lainnya seperti antropologi, sosiologi, linguistik, dan sejarah dan bahkan juga menggantikan metode tafsir tradisional dengan metode heurmeneutik. sedangkan golongan kedua hanya berpegang pada metodologi yang berdasar pada prinsip epistemologi Islam dan menekankan pada pendekatan ijtihad dan istidlal.


(59)

2. Hadis Feminim Gender

Peneliti menggunakan istilah „hadis feminim gender‟ untuk menyebut korpus dalam penelitian ini. Sejauh pengamatan peneliti, penggunaan istilah

„hadis feminim gender‟ terhitung baru. Tidak banyak kalangan akademisi yang secara populer mengetengahkan istilah tersebut. Adapun yang peneliti maksud dengan hadis feminim gender adalah setiap hadis yang di dalamnya mengandung konsep-konsep dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional untuk perempuan. Pengertian ini penulis landaskan pada paduan definisi hadis dan feminim gender menurut bahasa.

Di antara istilah terkait yang peneliti temukan adalah penggunaan

istilah „hadis misoginy‟. Istilah ini digunakan oleh Fatima Mernisi dalam menyebut beberapa hadis yang dianggapnya sebagai hadis yang mendeskreditkan perempuan.76

Kaitannya dengan Al-Quran dan isu feminisme, peneliti mendapati

istilah „ayat-ayat gender‟ yang dikemukakan oleh Nasaruddin Umar. Umar mendefinisikan ayat-ayat gender sebagai ayat-ayat yang berbicara tentang status dan peran laki-laki dan perempuan. Kata kunci yang dapat dipegang untuk mengetahui ayat-ayat gender ialah semua istilah yang sering digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan, seperti kata ar-rijal

dan an-nisa, al-zakar dan al-untsa, al-mar‟u/imruun, al-marah, suami ( al-zauj), dan istri (al-zaujah) ayah (al-ab), ibu (al-umm) anak laki-laki (al-ibn) dan anak perempuan (al-ibnah), kata sifat yang disandarkan kepada bentuk

76 Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam, (Jakarta: El-Kahfi, 2002), h. 64.


(1)

113

.

ْذٌَبَمَف ،بََ٘ذَ٠ ]بَِِٕ[ ٌحَأَشِْا

ِذَضَجَمَف ،ِخَحبَ١ٌِٕا َْٓع بَٔبَََٙٔٚ

Sehingga jika diterjemahkan tanpa tambahan penjelasan, hasilnya menjadi, „dan melarang kami meratapi orang meninggal. Tiba-tiba salah seorang perempuan dari kami menarik tangannya seraya berkata, “Si Fulanah telah menolongku dan aku ingin membalasnya”. Klausa yang bergaris bawah di atas tidak berhubungan dengan kalimat sebelumnya sehingga secara logika kurang berterima. Oleh karena itu, secara tekstual cerita dalam hadis pada bahasa sumbernya kurang logis. Namun secara kontekstual cerita tersebut bisa dipahami. Kata „menolong‟ dalam klausa di atas bermakna „meratapi kematian‟. Pemahaman kontekstual bisa didapat dengan bantuan beberapa literatur syarah hadis (penjelasan hadis).


(2)

114


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al Farisi, M. Zaka. Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Al-Albani, Nashiruddin. Mukhtashar Shahih Al-Bukhari. Penerjemah Abdul Hayyie El-Kattani dan A. Ikhwani. Jakarta: GIP, 2005..

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih Al-Bukhari. Mesir: Lajnah Ihya Kutub As-Sunnah Majlis Al-A’la Li As-Syuuni Al-Islamiyyah, 1990.

Alwi, Hasan. dkk. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2003.

Amalia, Euis. “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya”

Pengantar Kajian Gender. Jakarta: PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.

Arif, Syamsuddin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran. Jakarta: GIP, 2005. Ash-Shidieqy, Hashbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan

Bintang, 1954.

Bucholtz, Mary. “Theories fo Discourse as Theories of Gender: Discourse

Analysis in Language and Gender Studies ” The Handbook of

Language and Gender Australia: Blackwell Publishing, 2005.

Catford , J.C. A Linguistic Theory of Translation. New York Toronto: Oxford University Press, 1965.


(4)

Dhofir, Syarqawi. Pengantar Logika; Dengan Spektrum Islam. Madura: Al-Amin, 1997.

Dzuhayatin, Siti Ruhaini. dkk. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga-Mc-Gill-ICIHEP-Pustaka Pelajar, 2002.

Echol, John M dan Shadily, Hasan. Kamus Inggrris Indonesia. Jakarta: Gramedia,

Fatawi, Faisol. Seni Menerjemah.Malang: UIN-Malang, 2009.

Freyer Stowasser, Barbara. Reinterpretasi Gender. Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.

Hornby, AS. Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English. Oxford: Oxford University Press, 2000.

Herry Muhammad. dkk. Tokoh-Tokoh Muslim berpengaruh di Abad 20. Jakarta: GIP, 2000.

Kania, Dinar Dewi, ”Isu Gender: Sejarah dan Perkembangannya” Islamia, III No. 5 (2010): h. 31.

Khalimi. Logika; Teori dan Aplikasi.Ciputat: GP Press, 2011. Khon, Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2009.

Kushartanti, ed. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia, 2009.

Larson, Milred L. Penerjemahan Berdasarkan Makna: Pedoman Untuk Pemadanan Antar Bahasa.Jakarta: Arca, 1991.


(5)

Livia, Anna. “One Man in Two is a Woman: Linguistic Approaches to

Gender in Literary Text” The Handbook of Language and Gender

Australia: Blackwell Publishing, 2005.

Ma’luf, Louis. Al-Munjid fi Al-Lughah. Beirut: Darul Masyriq, 1986.

Mcelhinny, Bonnie, “Theorizing Gender in Sociolinguistics and Linguistic

Anthropology” The Handbook of Language and Gender. Malden:

Blackwell Publishing, 2003.

Muammar, Khalif. ”Wacana Kesetaraan Gender: Islamis Versus Feminis

Muslim” Islamia, III No. 5, (2010): h. 38-39.

Ni’mah, Fuad. Qawaid al-Lughah al-Arabiyyah.Beirut: Dar Tsaqafah

al-Islamiyyah, tt.

Parawansa, Khofifah Indar. Mengukur Paradigma, Menembus Tradisi. Jakarta: LP3ES, 2006.

Pauwels, Anne. “Linguistic Sexism and Feminist Linguistic Activism” The Handbook of Language and Gender Australia: Blackwell Publishing, 2005.

Purtayasa , Ida Bagus. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika). Bandung: Refika Aditama, 2007.

Sa’idah, Najmah dan Khatimah, Husnul. Revisi Politik Perempuan. Bogor:

IDeA PUSTAKA, 2003.

Sambas, Syukriadi. Mantik; Kaidah Berfikir Islami. Bandung: Remaja Rosda Karya.


(6)

Strauss dan Corbin. Basic of Qualitative Research 3e. California: Sage Publishing, 2008.

Subhan, Arief dkk. Posisi dan Peran Perempuan dalam Islam. Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2008.

Subhan, Zaitunah. Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam. Jakarta:el-Kahfi, 2002.

Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia, (Teori dan Praktek). Bandung: Humaniora, 2005.

Tierney, Helen ed. Women’s Studies Encyclopedia. New York: Green Wood Press.

Tim Penerjemah Jabal. Shahih Bukhari Muslim. Bandung: Jabal, 2011. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina, 2001.

Warson Munawir, Ahmad Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta, Ponpes Al-Munawir: 1984.

Widyawartama, A. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989. Zarkasyi, Hamid Fahmy,” Problem Kesetaraan Gender dalam Islam”