Sistem Politik Indonesia dan. docx

1.

Institusi Politik dan Amandemen Konstitusi

Kata institusi berasal dari bahasa Latin, instituere yang memiliki makna sesuatu yang
diwujudkan atau dibangun.Ini berarti bahwa institusi adalah satu corak kegiatan atau aktivitas
manusia yang berwujud dan berkelanjutan. Istilah Institusi begitu populer di kalangan sarjana
sains politik, karana institusi menjadi pusat kepada segala tindak tanduk manusia. Pandangan
mengenai institusi dipelopori oleh ahli sosiologi yang kemudian istilah ini diadaptasi dan
digunakan oleh ahli sains politik untuk menjelaskan kegiatan politik.
Institusi politik wujud daripada proses-proses sosial terutama yang mengatur susunan
masyarakat. Sekaligus ini menggambarkan bahwa kepentingan kelompok –kelompok tertentu
yang sentiasa dijaga dan dipertahankan oleh mereka melalui proses penyertaan dan pelibatan
politik. Institusi politik bukan saja menjelaskan ciri-ciri tingkahlaku pemegang kuasa tetapi ia
juga mempengaruhi bagaimana organisasi sosial dapat berinteraksi serta dapat bertindak
mempertahankan kepentingan mereka.Negara sebagai salah satu unsur penting dari politik, maka
Negara menjadi “rumah” bagi institusi politik.Pengelompokan institusi utama politik terbagi
dalam lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Fungsi-fungsi legislatif
Di Negara Indonesia lembaga legislatif lebih dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil
pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut
DPRD provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.
Berdasarkan UU Pemilu N0. 10 Tahun 2008 ditetapkan sebagai berikut:
a.

jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang;

b. jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyak- banyak 100
orang;
c. jumlah anggota DPRD kabupaten/kota sedikitnya 20 orang dan sebanyak- banyaknya 50
orang.

Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPR berdomisili di ibu kota
negara. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang
baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang
paripurna DPR.
Lembaga negara DPR yang bertindak sebagai lembaga legislatif mempunyai fungsi berikut ini :
1.
2.


Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang.
Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3.

Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap

pemerintahan yang menjalankan undang-undang.
DPR sebagai lembaga negara mempunyai hak-hak, antara lain sebagai berikut.
1.

Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai

kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan
masyarakat.
2. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu
pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
3.


Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan

pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan
rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak
angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja
sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.
C.

Fungsi-Fungsi Eksekutif

Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of
State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepala suatu
negara, simbol suatu negara. Di Indonesia sendiri lembaga eksekutif dipegang penuh oleh
seorang presiden.

Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif yaitu presiden mempunyai
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala
pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Sebelum adanya amandemen UUD 1945,
presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, tetapi setelah amandemen UUD1945 presiden dan

wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Presiden dan wakil
presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya
untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya
bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR. Setelah
dilantik, presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang
telah ditetapkan sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan
sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagai seorang kepala negara, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Presiden mempunyai wewenang sebagai berikut:
1.
2.

membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
mengangkat duta dan konsul. Duta adalah perwakilan negara Indonesia di negara sahabat.

Duta bertugas di kedutaan besar yang ditempatkan di ibu kota negara sahabat itu.
Sedangkan konsul adalah lembaga yang mewakili negara Indonesia di kota tertentu di bawah
kedutaan besar kita.
3.


menerima duta dari negara lain

4.

memberi gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya kepada warga negara Indonesia atau

warga negara asing yang telah berjasa mengharumkan nama baik Indonesia.
Sebagai seorang kepala pemerintahan, presiden mempunyai kekuasaan tertinggi untuk
menyelenggarakan pemerintahan negara Indonesia. Wewenang, hak dan kewajiban Presiden
sebagai kepala pemerintahan, diantaranya:
1.

memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar

2.

berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR

3.

4.

menetapkan peraturan pemerintah
memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang- Undang dan

peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa
5.

memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

Grasi adalah pengampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang dijatuhi
hukuman. Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik atau kehormatan seseorang yang
telah dituduh secara tidak sah atau dilanggar kehormatannya.
6.

memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Amnesti adalah

pengampunan atau pengurangan hukuman yang diberikan oleh negara kepada tahanan-tahanan,
terutama tahanan politik. Sedangkan abolisi adalah pembatalan tuntutan pidana.
Selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, seorang presiden juga merupakan

panglima tertinggi angkatan perang.
Dalam kedudukannya seperti ini, presiden mempunyai wewenang sebagai berikut:
1.

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan

persetujuan DPR
2.

membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR

3.

menyatakan keadaan bahaya.

D. Fungsi-fungsi yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas
setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar
masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law
(perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran

kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law
(perjanjian internasional).
Fungsi-Fungsi Legislatif
Di Negara Indonesia lembaga legislatif lebih dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil
pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut
DPRD provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota.
Berdasarkan UU Pemilu N0. 10 Tahun 2008 ditetapkan sebagai berikut:
a.

jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang;

b. jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyak- banyak 100
orang;
c. jumlah anggota DPRD kabupaten/kota sedikitnya 20 orang dan sebanyak- banyaknya 50
orang.
Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPR berdomisili di ibu kota
negara. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang

baru mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang
paripurna DPR.
Lembaga negara DPR yang bertindak sebagai lembaga legislatif mempunyai fungsi berikut ini :
1.
2.

Fungsi legislasi, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang.
Fungsi anggaran, artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3.

Fungsi pengawasan, artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap

pemerintahan yang menjalankan undang-undang.
DPR sebagai lembaga negara mempunyai hak-hak, antara lain sebagai berikut.
1.

Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai


kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan
masyarakat.
2. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu
pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3.

Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan

pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan
rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak
angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja
sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.
C.

Fungsi-fungsi eksekutif

Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of
State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepala suatu
negara, simbol suatu negara. Di Indonesia sendiri lembaga eksekutif dipegang penuh oleh

seorang presiden.
Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif yaitu presiden mempunyai
kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala
pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Sebelum adanya amandemen UUD 1945,
presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, tetapi setelah amandemen UUD1945 presiden dan
wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Presiden dan wakil
presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya
untuk satu kali masa jabatan. Presiden dan wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya
bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR. Setelah
dilantik, presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang
telah ditetapkan sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan
sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagai seorang kepala negara, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Presiden mempunyai wewenang sebagai berikut:
1.
2.

membuat perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
mengangkat duta dan konsul. Duta adalah perwakilan negara Indonesia di negara sahabat.

Duta bertugas di kedutaan besar yang ditempatkan di ibu kota negara sahabat itu.

Sedangkan konsul adalah lembaga yang mewakili negara Indonesia di kota tertentu di bawah
kedutaan besar kita.
3.

menerima duta dari negara lain

4.

memberi gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya kepada warga negara Indonesia atau

warga negara asing yang telah berjasa mengharumkan nama baik Indonesia.
Sebagai seorang kepala pemerintahan, presiden mempunyai kekuasaan tertinggi untuk
menyelenggarakan pemerintahan negara Indonesia. Wewenang, hak dan kewajiban Presiden
sebagai kepala pemerintahan, diantaranya:
1. memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar
2. berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR
3. menetapkan peraturan pemerintah
4. memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang- Undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa
5. memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi
adalah pengampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang dijatuhi hukuman.
Sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik atau kehormatan seseorang yang telah
dituduh secara tidak sah atau dilanggar kehormatannya.
6. memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Amnesti adalah
pengampunan atau pengurangan hukuman yang diberikan oleh negara kepada tahanan-tahanan,
terutama tahanan politik. Sedangkan abolisi adalah pembatalan tuntutan pidana.
Selain sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, seorang presiden juga merupakan
panglima tertinggi angkatan perang.
Dalam kedudukannya seperti ini, presiden mempunyai wewenang sebagai berikut:
1.

menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan

persetujuan DPR
2.

membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR

3.

menyatakan keadaan bahaya.

D. Fungsi-fungsi yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas
setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar
masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law
(perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran
kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law
(perjanjian internasional).
Amandemen konstitusi
Perubahan pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis Perusyawaratan Rakyat pada tahun
1999, disusul dengan Perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan 2000 dan Perubahan Ketiga
dalam Sidang Tahunan 2001. Pada Sidang Tahunan 2002 dilakukan pula naskah Perubahan
Keempat yang melengkapi perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu
dapat disusun sekali secara lebih utuh dalam satu naskah Undang-undang dasar yang mencakup
keseluruhan hukum dasar yang sistematis dan terpadu.
Perubahan pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan
antara tanggal 12 sampa dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan
Pertama tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai tonggak
sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian
kalangan masyarakat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan
sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh ole hide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama
ini mencakup perubahan atas 9 Pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9
(ayat 1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21.
Kesembilan Pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16
ayat atau dapat disebut sebagai ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Setelah tembok romantisme dan sakralisme berhasil dirobohkan, gelombang perubahan atas
naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun 2000, MPR-RI
sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi

yang diubah pada perubahan ini memual lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 Pasal yang
tersebar dalam 7 bab, yaitu dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang dewan
Perwakilan Rakyt, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan
Penduduk, Bab XA tentang Asasi Manusia, Bab XII tentag Pertahanan dan Keamanan Negara,
dan Bab XV tentang bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27
Pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59
butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru
sama sekali.
Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang
berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001. Babbab di dalam UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah
Bab I tentang bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III
tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementrian Negara, Bab VIIA tentang
Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, Bab VIIIA tentang badan
Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 Pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat.
Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan
materinya. Di samping itu, substansi yang diatur sebagian besar sangat mendasar. Materi yang
tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang
terdahulu. Oleh karena itu, selain secara kuantitaf materi Perubahan ketiga ini lebih banyak
muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan
sangat mendasar pula.
Perubahan yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998
sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun
2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam
naskah perubahan keempat ini, ditetapkan bahwa:
Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah
dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang
dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 agustus 1945 da
diberlakukan kembali dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada
tanggal 22 Juli 1959 oleh DPR.

a)

Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat
Paripurna Majelis Permusyawaratan rakyat Republik Indonesia ke-9 pada tanggal 18 Agustus
2000 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku
pada tanggal ditetapkan.
b)

Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) perubahan ketiga UUD NRI 1945

menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3), pasal 25E Perubahan Kedua UUD NRI 1945 menjadi Pasal
25A.
Penghapusan judul Bab IV DPR dan pengubaham substansi Pasal 16 serta penempatannya ke
dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara. Pengubahan dan/atau penabahan Pasal 2
ayat (1), Pasal 6A ayat (4), pasal 8 ayat 3, pasal 11 ayat 1, pasal 16, pasal 23B, pasal 23D, pasal
24 ayat (3), bab XIII, pasal 31 ayat1-5, pasal 32 ayat 1-2 : Bab XIV, pasal 33 ayat 4-5, pasal 34
ayat1-4, pasal 37 ayat 1-5, aturan Peralihan Pasal I,II dan III aturan Tambahan Pasal I dan II
UUD 1945. Dengan demikian secara keseluruhan naskah Perubahan keempat UUD 1945
mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut
terdiri atas 31 btir ketentuan yang mengalami perubahan ditambah 1 butir yang dihapuskan dari
naskah UUD.
2.

Perdebatan Kekuasaan

Perdebatan tentang arti kekuasaan mempertanyakan tentang apa itu kekuasaan/power dan
bagaimana mereka menjalankan atau menggunakannya. Tema ini menjadi konsep yang cukup
penting di kalangan ahli ilmu sosial dan politik. Maka untuk mengetahuinya dapat dilihat dari
empat kelompok utama dalam perdebatan konsep kekuasaan. Kelompok pertama dikenal dengan
Pluralis (One Dimensional View of Power), kedua kelompok pengkritik kaum Pluralis (Two
Faces of Power Approach), ketiga dikenal dengan Radikal (Three Dimensional View of Power),
yang terakhir kelompok Realis (Beyond The Three Dimensional of Power). Meskipun terdapat
kelebihan dalam setiap kubu pastilah memiliki kekurangan bahwa konsep-konsep kekuasaan
tersebut masih tidak relevan bagi realitas kehidupan politik di daerah-daerah tertentu seperti
Indonesia.
A.

Pluralis

Kubu Pluralis yang dipelopori oleh The Concept of Power karya Robert Dahl (1957) dan
pendukungnya Polsby berpandangan terhadap kekuasaan memusatkan perhatiannya pada tingkah
laku / behavior para aktor politik dalam pembuatan keputusan atas masalah-masalah penting
yang melibatkan munculnya konflik yang dapat diamati atas kepentingan subjektif. Idenya
tentang kekuasaan dipaparkan sebagai berikut, sebut saja A yang berkuasa atas B, dapat
mengendalikan B melakukan sesuatu yang tidak ingin B lakukan. Bagi Dahl, kekuasaan hanya
dapat dianalisis melalui “concrete decision”.
B.

Pengkritik Pluralis

Peter Bachrach dan Morton Baratz dalam Power and Poverty : Theory and Practice (1970)
mengatakan bahwa power tidak semata-mata memiliki satu sisi seperti tercermin dalam
“concrete decision” Dahl dan Polsby, namun memiliki dua ‘wajah’ termasuk “non-decision”.
Mengemukakan alternatif tindakan lain selain decision-making yaitu melalui pengamatan non
decision-making. Misal, si A berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi B.
Namun dalam konsep kepentingan / interest, Bachrach dan Baratz masih dalam asumsi yang
sama yaitu dapat diamati dan subjektif hanya saja pengembangannya tentang konsep interest
lebih luas.
C.

Radikalis

Dalam Power : A Radical View, Steven Lukes (1974) mengemukakan analisis kritis terhadap
konsep kelompok Pluralis (Dahl dan pendukungnya) dan konsep non-decision (Barach dan
Baratz) yang terlalu fokus pada penekanan pendekatan behavior. Dalam konsepnya tentang
kekuasaan merujuk pada tingkah-laku beraturan, dimana tingkah-laku aktor mempengaruhi
tingkah laku orang lain. Lukes mendefinisikan bahwa kekuasaan seperti A berkuasa atas B jika A
dapat mempengaruhi B melawan kepentingan B sendiri. Pada dasarnya, pandangan Lukes
terhadap kekuasaan tidaklah melulu dari konflik aktual dan dapat diamati, bisa juga dari konflik
yang bersifat laten. Lukes juga mengatakan bahwa kekuasaan tidak hanya digunakan pada aktor
individu melainkan juga dalam bentuk kelompok. Dalam konsep interest, Lukes menawarkan
interpretasi yang berbeda dari Dahl atau Bachrach dan Baratz, interest yang dimaksud bukanlah
subjective interest melainkan objective interest / real interest. Objective interest mengarah pada
apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang aktor dalam situasi demokratis ideal/relatif otonomi.

D.

Realis

Jefrey Isaac dan Ted Benton merupakan yang mengkritik Lukes secara tajam, bagi Isaac (1992)
dalam Beyond the Three Faces of Power : A Realist Critique, konsep Lukes yang merujuk pada
hubungan beruntun tingkah-laku dari dua pihak dianggap sangat tidak memadai, karena tidak
dapat membedakan antara memiliki dan menggunakan kekuasaan. Analisis teori kekuasaan
seharusnya menggunakan pendekatan hubungan sosial, bukan melalui pendekatan tingkah-laku.
Fokus perhatian ini bukan lagi individu yang terpisah dari lingkungan namun individu sebagai
salah satu dari produk lingkungan atau sosialnya.
Analisis power dan analisis interest tidak lepas dari analisis dari struktur sosial dimana aktoraktor ikut berpartisipasi didalamnya. Sehingga kekuasaan / power disebut sebagai kapasitas aktor
yang memiliki posisi dan peranan tertentu dalam masyarakatnya dan bukan digunakan secara
individu. Power seharusnya ditentukan oleh struktur sosial, demikian juga interest yang
memainkan fungsi sentral dalam masyarakat. Bagi Benton, untuk mencegah value dependence
dari kekuasaan, Benton menolak konsep power dalam artian interest, dan Benton percaya tidak
harus ada hubungan antara konsep interest dengan konsep power, dan ini juga yang
mengklarifikasi antara memiliki dan menggunakan kekuasaan.
3.

Hak Asasi Manusia Di Indonesia

A.

Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Wacana hak asasi manusia di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wacana ini telah ada sebelum kemerdekaan. Para perintis
bangsa telah memercikan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan harkat dan martabat manusia
yang lebih baik. Percikan dari pikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang
berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis oleh H.O.S.
Cokroamintoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeyaningrat, petisi yang dibuat oleh
Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul “Indonesia Menggugat” dan Hatta
dengan judul “Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda.
Percikan-percikan pemikiran itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi
sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonsia ( BPUPKI). Perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode

sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi
manusia, diikuti dengan Periode Konstituante (1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde
Baru (1966-1968). Di sinilah terlihat bahwa para pendiri bangsa ini sudah menyadari pentingnya
hak asasi manusia sebagai fondasi negara.
(1)

Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia

Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, terjadi perdebatan
mengenai apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang
Dasar? Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu
dicantumkan. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya
mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran
dengan lisan maupun tulisan di dalam UUD. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI
merupakan tonggak penting.
Banyak kalangan berpendapat bahwa Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen (1789)
berdasarkan individualisme dan liberalisme, dan karena itu bertentangan dengan asas
kekeluargaan dan gotong royong. Mengenai hal ini, Ir. Soekarno menyatakan sebagai berikut :
“Jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham
tolong-menolong, paham gotong-royong, dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap
paham individualisme dan liberalisme daripadanya.”
Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka megenai dasar
negara, yang dalam istilah Soekarno disebut “Philosofische grondslag” dan dalam istilah
Supomo disebut “Staatsidee” yang tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme.
Sebaliknya, Hatta dan Yamin bersikeras menginginkan hak warga negara dicantumkan dalam
pasal-pasal Konstitusi. Hatta menolak liberalisme dan individualisme, tetapi khawatir dengan
kekuasaan negara yang demikian besar akan terjadi otoriterianisme. Yamin menolak dengan
keras argumen-argumen yang membela agar tidak dicantumkannya hak warga negara dalam
UUD, menurutnya ini tidak berhubungan dengan liberalisme, namun semata-mata untuk
kemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam UUD. Perdebatan ini berakhir
dengan kompromi, hak warga negara dicantumkan dalam UUD, tetapi dengan terbatas. Konsep
yang digunakan adalah “Hak Warga Negara” (rights of the citizens) bukan “Hak Asasi Manusia”
(human rights).

(2)

Periode Konstituante dan Orde Baru

Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul
kembali sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada
sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terekam dalam Risalah Konstituante, khususnya
dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan ini jauh lebih sengit disbanding dengan perdebatan
di BPUPKI. Berbeda dengan perdebatan awal BPUPKI, diskusi di Konstituante relative lebih
menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan menganggapnya sebagai
substansi UUD. Meskipun ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di
Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia. Namun sayang,
Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai
dikesampingkan, dan diikuti dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Akhirnya setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa
1966, yang melahirkan Orde Baru. Perdebatan mengenai hak asasi manusia muncul kembali.
Perdebatan itu muncul pada siding umum MPRS tahun 1968. Ketika itu telah membentuk Panitia
Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah “Rancangan Keputusan
MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-HAk serta Kewajiban Warga Negara”,
namun gagal diajukan ke sidang umum MPRS.
(3)

Era Reformasi

Runtuhnya rezim orde baru, berarti memasuki era reformasi di Indonesia. Pada periode reformasi
ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia.
Perdebatan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori HAM, basis hukum hak asasi
manusia yang menjadi persoalan di masa ini, apakah hak asasi manusia ditetapkan melalui TAP
MPR atau dimasukkan dalam UUD? Perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000,
perjuangan untuk memasukkan hak asasi manusia dalam UUD berhasil dicapai. MPR berhasil
memasukan hak asasi manusia ke dalam BAB XA, yang berisi 10 pasal Hak Asasi MAnusia
(dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan
pada 18 Agustus 2000.
4.

Kesejahteraan

Pengertian Kesejahteraan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kesejahteraan merupakan kata benda yang memounyai
arti hal atau keadaan sejahtera; keamanan, keselamatan, dan ketentraman.
Menurut Myers, Sweeney dan Wittmer, kesejahteraan merupakan cara hidup ke arah mencapai
tahap kesehatan dan kesejahteraan diri yang optimum mencakup fisik, mental dan spiritual yang
diintegrasikan oleh individu untuk kehidupan yang berkualitas di dalam masyarakat.
Dimensi Kesejahteraan
Ada tujuh dimensi kesejahteraan seperti yang digariskan oleh Anspaugh danrakan (2004) and
Hales (2005) mencakup emosi, kesuksesan, sosial, fisik, intelektual, spiritual, dan lingkungan.
a.

Kesejahteraan emosi

Kesejahteraan emosi yakni sikap dan kepercayaan individu terhadap diri dan kehidupan.
Kesejahteraan ini mencakup konsep yang positif dan realistik, identitas diri, tahap pengghargaan
diri dan kesadaran dalam mengawal perasaan.
b.

Kesejahteraan Kesuksesan

Kesejahteraan kesuksesan adalah tahap di mana individu dapat mempersembahkan nilai dalam
diri dan memperoleh kepuasan sendiri melanjutkan kesuksesan dan aktivitas yang ditekuni.
Cakupannya adalah sikap kerja serta kebolehan untuk menyeimbangkan berbagai peranan dalam
pekerjaan/aktivitas yang ditekuni serta bagaimana individu menggunakan kemahiran dan upaya
untuk menyumbangkannya kepada masyarakat
c.

Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial mencakup kadar dan kualitas interaksi dengan orang lain, komunitas, dan
lingkungan sekitar.
d.

Kesejahteraan Fisik

Kesejahteraan fisik merupakan proses aktif yang berkelanjutan untuk mengekalkan tahap
aktivitas fisik secara optimal yang fokus pada nutrisi, menjaga diri, dan gaya hidup sehat.
e.

Kesejahteraan Intelektual

Kesejahteraan intelektual merupakan situasi di mana individu melibatkan diri dalam aktivitas
kreatif serta menggunakan sumber-sumber yang ada untuk meluaskan ilmu pengetahuan,
perkembangan, aplikasi, dan artikulasi pemikiran yang kritis.
f.

Kesejahteraan Lingkungan

Kesejahteraan lingkungan merupakan keseimbangan antara kehidupan individu dan kelompok
dengan lingkungan dan anggota-anggota kelompok.
g.

Kesejahteraan Spiritual

Kesejahteraan ini didefinisikan sebagai dimensi yang holistic yang mencakup pencarian makna
dalam kehidupan, nilai-nilai intrinsic, hubungan dengan Tuhan, dan komunitas spiritual.
Kesejahteraan di Indonesia mengacu pada dasar negara Indonesia di sila ke-5 yang menekankan
prinsip keadilan sosial, serta di konstitusi pada pasal 27 ayat (2), pasal 28H ayat (3) dan 34 ayat
(1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Dasar NKRI tahun 1945 yang mengamanatkan tanggung
jawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Walaupun ada sila dan
konstitusinya, pembangunan kesejahteraan sosial baru sebatas jargon dan belum terintegrasi
dengan strategi pembangunan ekonomi.
Kemudian 28 Oktober 2011 diluluskanUndang-Undang badan penyelenggara kesejahteraan
sosial. Selain itu ada 2 ketetapan UU BPJS yang menjadi awal dari adanya jaminan sosial bagi
rakyat Indonesia. Ketetapan itu antara lain:
1.

BPJS Kesehatan, yang akan beroperasi per 1 Januari 2014.

2.

BPJS Ketenagakerjaan yang akan hadir pada 1 Januari 2014 dan beroperasi paling lambat

1 Juli 2015.
Namun demikan, kesejahteraan sosial pasti didahului dengan pembangunan ekonomi nasional.
Tetapi, dapat dilihat bahwa indicator utamanya adalah tingginya ketimpangan dan kemiskinan
yang menjadi penyebab pembangunan ekonomi sulit digalakkan. Walaupun, Indonesia pernah
menjadi macan ekonomi Asia sebelum krisis moneter melanda pada 1997-1998. Rendahnya
kesejahteraan rakyat ini terlihat pula masih meluasnya masalah kemiskinan. Kemiskinan inilah
yang harus diperkecil, yaitu dengan mekanisme pasar yang merata dan menyentuh masyarakat
miskin dan PMKS (pengangguran, penyandang cacat, pengemis). Ketika mekanisme pasar

menyentuh seluruh lapisan masyarakat, kemiskinan dapat diperkecil dan kesejahteraan akan
lebih merata.
MATERI PARPOL
A.

Pengertian Partai Politik

Partai politik adalah bentuk khusus dari organisasisosial. Definisi terkenal partai politik berasal
dari ilmuwan politik Amerika Antony downs, yang menyatakan”Partai politik adalah kelompok
orang yang mencari orang atau kader untuk mengontrol aparat pemerintahan dengan
memperoleh kedudukan atau jabatan dalam pemilihan.”
Adapunpendapat lain dariberbagaiparaahlitentangpartaipolitik, yaitumenurutCarl J. Friedrich
yang

menyatakanbahwa,

partaipolitikadalahsekelompokmanusia

yang

terorganisirsecarastabildengantujuanmerebutataumempertahankanpenguasaanpemerintahbagipim
pinanpartainyadanberdasarkanpenguasaanini, memberikankepadaanggotapartainyakemanfaatan
yang bersifatidiil and materiil.
Sedangkanmenurut

Sigmund

Neuman,

dalambukunya”Modern

Parties”menyatakanbahwapartaipolitikadalahorganisasidariaktivis



aktivispolitik

Political
yang

berusahauntukmenguasaikekuasaanpemerintahansertamerebutdukunganrakyatmelaluipersaingan
dengansuatugolonganataugolongan-golongan lain yang memilikipandanganberbeda.

Definisi

atau pengertian partai politik juga dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Republik Indonesia No.2 Tahun 2008 tentang partai politik, yaitu:
“Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk
memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara,
serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
B.

FungsiPartaiPolitik

Dalamnegarademokrasi,

khususnya

Indonesia,

jugamemilikibeberapafungsipentinguntukmendukung
fungsilainnyayaitu,

proses

selainsebagaiwadahpartisipasi,
perpolitikan.

sebagaipendidikanpolitikwargaanggotadanmasyarakatluas

Fungsiagar

menjadiwarganegara yang sadarakanhakdankewajibannyadalamkehidupanberbangsa, bernegara,
danberagama.

Fungsiutamapartaipolitikdalamsistemdemokrasimemenuhi

area

antarawarganegaradanpemerintahdansebagaitugasdasardalampemebentukanaspirasidanpendapat
dalammasyarakat

(Dewey,

1927:120).MenurutDuvergerdanKircheimermengidentifikasibahwafungsipartaipolitikberkaitande
nganhubunganantaramasyarakatsipildengannegara yang didalamnyaterdapatkepentingan yang
mendominasiuntukmencapaikepentingannasional.Merekajugamenekankan,
jikapartaipolitikadalahbagianbagiankonstituendarisistempolitikmelaluiaspirasipendapatdanmenghubungkannilainilaidankepentinganmasyarakatdenganberpolitikdalamnegara.
Ada

beberapafungsi

yang

melekatdalamtubuhpartaipolitikdiantaranya,

sosialisasipolitikyaitufungsisebagai

proses

seseorangmemperolehsikapdanorientasiterhadapfenomenapolitik

yang

umumnyaberlakudalammasyarakat. Selainitupartaipolitikjugaberfungsisebagaikomunikasipolitik,
partisipasipolitik, rekrutmenpolitik, dansaranapengaturkonflik (Mirriam Budiardjo,2008:405409).
C. SistemKepartaiandalamSejarahSingkatPartaiPolitik
Berdasarkanpengertiantersebut,
dapatdiidentifikasibahwapartaiberbedadengangerakansosial.Suatugerakanmerupakansuatukelom
pokataugolongan

yang

inginmengadakanperubahan-perubahanpadalembaga-

lembagapolitikataukadang-kadanginginmenciptakansuatutatananmasyarakat

yang

barusamasekali. Cara yang mereka gunakan, bisa jadi merupakan sebuah cara-cara politik.
Namun bila ditelaah secara seksama, ada perbedaan nyata antara gerakan sosial dengan partai
politik.
Partai politik pun dapat dibedakan dari kelompok penekan atau istilah yang lebih bayak dipakai
dewasa ini yaitu kelompok kepentingan. Kelompok ini bertujuan untuk memperjuangkan suatu
”kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang

menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Kelompok kepentingan tidak
berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup
mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah atau menteri yang
berwenang. Dengan itu, dapat kita pahami bahwa kelompok kepentingan memiliki orientasi yang
jauh lebih sempit daripada partai politik, yang karena mewakili berbagai golongan lebih banyak
memperjuangkan kepentingan umum.
Maurice Duverger (1967:207) memberikan arahan mengenai sistem kepartaian yang muncul dan
berkembang saat itu. Sistem kepartaian yang dimaksudkannya itu adalah one party system
(sistem satu partai), two party system (sistem dua partai) serta multy party system (sistem banyak
partai). Kategorisasi sistem kepartaian berdasarkan jumlah parta dikemukakan pula oleh Rokkan
(1968) yang kemudian berkembang pada variabel distribusi kekuatan minoritas dalam partai
(distribution of minority party strength).
Dalam menjelaskan sistem partai, tidak cukup hanya memperhitungkan jumlah partai yang eksis
dalam dinamika politik sebuah bangsa. Masalah jumlah partai politik merupakan hal penting,
namun ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan. Dalam konteks ini, Giovanni Sartori (1976)
mengutarakan bahwa jarak idiologis antar partai dalam sistem itu menjadi sangat penting artinya
untuk memahami perilaku partai politik. Dengan adanya jarak ideologi antar partai ini
menyebebkan munculnya polirasisasi khusus mengenai partai politik (Surbakti, 1992:127).
Berdasarkan pertimbangan ini dia mengelompokkan sistem kepartaian ke dalam tiga kelompok
yaitu (1) predominant-party system; (2) moderate pluralism sistem; serta (3) polarized pluralism
sistem.
Predominant party systemadalah sistem kepartaian yang menggambarkan kurang adanya
perbedaan ideologi yang tajam antara partai-partai yang berinteraksi, atau bahkan dapat
dikatakan tidak ada perbedaan pandangan ideologis. sehingga yang terbangun adalah partai
politik yang memilki perspektif fungsi (dominan). Sistem predominant partai menyediakan
kesempatan bagi banyak partai yang hendak berkompetisi dalam pemilihan umum, namun
karena tidak ada perbedaan ideologis yang berarti, maka partai pemenang dalam pemilihan
umum akan tetap mengakomodir partai yang lainnya. Sehingga pada akhirnya dalam sistem ini
lebih mengutamakan konsensus politik dibandingkan dengan kepentingan ideologis. Oleh karena

itu dalam sistem seperti ini, sistem politik yang ada cenderung bersifat mempertahankan statusquo.
Berbeda dengan sistem yang pertama, dalam moderate pluralism sistem tersedia ruang untuk
lebih dari dua partai bisa berkompetisi dalam pemilihan umum. Kelebihan sistem ini
dibandingkan predominant party system yaitu adanya polaritas ideologi walaupun relatif masih
sedikit. Terkahir, yaitu sistem kepartaian dengan polariasasi yang tegas dan jelas (polarized
pluralism sistem). Sistem kepartaian seperti ini pada umumnya berkembang di negara majemuk
(pluralis) secara kultural, sehingga muncul banyak partai. Dalam konteks sistem kepartaian
seperti ini, potensial terjadi pertentangan antara partai politik yang satu dengan partai politik
yang lainnya. Oleh karena itu, sistem kepartaian polarized pluralism

mempunyai tendensi

konsensus yang rendah, bahkan pada titik ekstrimnya potensial memicu perpecahan politik
(sentrifugal).
BerbedadenganteoriDuverger, padabukunyaPolitical Parties: Theirs Organization and Activities
in Modern State; Robert Dahl (1966) mengidentifikasi sistem kepartaian atas dasar tingkat
kompetisi dan oposisi partai dalam sistem politik, bukan dari aspek jumlah partai politik. Dengan
sudut pandang ini, sistem kepartaian dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) persaingan penuh;
(2) kerjasama dalam sistem kompetitif, (3) bergabung dalam sistem kompetitif,

dan (4)

bergabung sepenuhnya.
Pertama, sistem satupartai. Istilah sistem partai tunggal merupakan satu konsep yang contradictio
in terminis (MirriamBudiarjo, 1992:167).Maka sistem tunggal merupakan kata paradok,
sebabkonsep ’sistem’ mempersyaratkan ada beberapa bagian yang memadu dalam sebuah
kerangka sistem. Oleh karena itu, sistem satu partai atau sistem partai tunggal tidaklah layak
disebut sebagai sistem, dan lebih tepat disebu tbentuk kepartaian tunggal.
Bentuk partai tunggal mirip dengan sistem politik komunis atau totaliter. Dalam sistem politik
seperti ini, kehadiran dan peran partai dikooptasi oleh elit penguasa. Para penguasa tidak
berharap ada dan muncul pemikiran atau pandangan yang berbeda dengan pemerintah. Oleh
karena itu, bentuk partai tunggal merupakan model yang efektif untuk pemerintah melakukan
kontrol atau pengawasan terhadap aktivitas politik masyarakatnya.

Kedua, sistem partai hegemonik. Ada sedikit perbedaan dengan sistem partai tunggal. Dalam
sistem partai hegemonik dibuka ruang untuk hadirnya partai-partai lain. Namun, hal yang
menonjol –dan ini mirip dengan partai tunggal—partai yang diakui itu adalah partai yang
cenderung mendukung pemerintah atau dikuasai oleh pemerintah. Dengan kata lain, pada
dasarnya dalam partai hegemonik ini pun hanya ada satu partai. Hanya secara formal dan
material, jumlah partai politik lebih dari satu, walaupun secara esensial yang muncul dan
berkembang hanya satu partai.
Sebagai bentuk perkembangan sekaligus kritik terhadap sistem partai tunggal maupun partai
hegemonik, ada sistem dua partai. Dalam sistem ini menyediakan ruang bagi dua partai untuk
bersaing guna mendapatkan dan/atau mempertahankan otoritasnya dalam suatu sistem politik.
Implikasi dari kondisi ini, maka akan terbentuk satu partai sebagai partai penguasa dan kelompok
lain sebagai partai oposisi.
Pada sistem dua partai ini tampak jelas perbedaan tugas pokok dan fungsi dari sebuah partai.
Partai penguasa akan berbeda fungsi dengan partai oposisi. Kehadiran dua kelompok partai
seperti ini, secara teoritik diarahkan untuk membangun keseimbangan kekuasaan dan kekuatan
dalam masyarakat, sehingga proses pemerintahan akan berjalan dengan baik.
Sistem dua partai akan berjalan dan berkembang dengan baik bila ada prakondisi yang
mendukungnya, seperti (1) tersedianya homogenitas sosio-kultural warga masyarakat; (2)
tegaknya konsensus pada pembangunan politik yang beradab dan berkualitas dalam diri setiap
warga masyarakat; (3) adanya kontinuitas sejarah, sehingga mempermudah pelembagaan
pembangunan politik yang berkelanjutan, serta (4) terdapat mekanisme pengaturan dan
penyelesaian konflik yang mapan.
Selain ketiga jenis sistem kepartaian tersebut, ada model keempat yang disebut sistem
multipartai. Dalam bentuk ini ada dua atau lebih partai politik yang dominan. Sistem multipartai
merupakan produk dari struktur masyarakat yang pluralis atau majemuk, baik dari sisi
religiositas, etnisitas, maupuan sosio-ekonomi. Ada dua hipotesis yang terbentuk dalam sistem
multipartai. Pertama, sistem banyak partai agak sukar untuk menghasilkan pemenang pemilihan
umum yang mutlak atau absolut. Kondisi ini potensial memperumit pembangunan politik
pemerintahan yang stabil dan kuat. Karena setiap partai politik dapat mengklaim memiliki massa
yang kuat dan sama pentingnya dalam proses pembangunan politik. Dari kondisi seperti ini

menuntun terbentuknya kekuasaan berdasar koalisi. Dengan adanya koalisi antar partai dengan
partai penguasa, pemerintah harus mampu menjaga koalisi agar tercipta pembangunan.
Sistem multipartai, apalagi bila disandingkan dengan pemerintahan parlementer akan cenderung
pada kekuasaan badan legislatif (Budiarjo, 1992:169), karena eksekutif tidak bersatu kuat dalam
menjalankan administratur pemerintahan maka yang perlu menjaga stabilitas politik dalam
negeri adalah institusi legislatif.
Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan adalah sekelompok manusia yang mengadakan persekutuan yang
didorong oleh kepentingan-kepentingan tertentu.Kepentingan ini dapat berupa kepentingan
umum atau masyarakat luas ataupun kepentingan untuk kelompok tertentu.
Kelompok kepentingan bertujuan untuk memperjuangkan sesuatu “kepentingan” dengan
mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau
menghindarkan keputusan yang merugikan.Kelompok kepentingan tidak berusaha untuk
menempatkan wakil-wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat, melainkan cukup mempengaruhi
satu atau beberapa partai didalamnya atau instansi yang berwenang maupun menteri yang
berwenang.
Gabriel A. Almond mengidentifikasi kelompok kepentingan ke dalam jenis-jenis kelompok :
(1) Kelompok Kepentingan Asosiasi
Kelompok Kepentingan Assosiasional atau merupakan kelompok kepentingan yang memiliki
struktur organisasi yang formal. Kelompok kepentingan ini di dalam memperoleh pendukungpendukungnya juga melalui prosedur-prosedur yang formal. Demikian pula halnya untuk
memilih atau menyeleksi siapakah yang akan dijadikan pimpinan, dan untuk merumuskan
kebijaksanaan-kebiajaksanan kelompok harus melalui prosedur-prosedur yang teratur yang
kadang-kadang cukup berbelit-belit.
Kelompok Kepentingan Assosiasional antara lain meliputi serikat-serikat buruh, serikat-serikat
dagang, perkumpulan-perkumpulan para pengusaha. Kelompok kepentingan tipe ini secara khas
menyatakan atau mengartikulasikan kepentingan-kepentingan dari kelompok yang tertentu;

demikian pula kelompok kepentingan tipe ini telah memiliki tenaga-tenaga yang sudah
profesional di bidangnya.
(2) Kelompok Kepentingan Institusional
Kelompok Kepentingan Institusional adalah merupakan kelompok kepentingan yang bersifat
formal. Kelompok kepentingan institusional ini sudah terorganisir secara rapi dan teratur.
Demikian pula kelompok kepentingan tipe ini memiliki fungsi-fungsi sosial dan politik yang
lainnya disamping berfungsi mengartikulasikan kepentingan.
Keanggotaan Kelompok Kepentingan Institusional terdiri dari orang-orang yang profesional di
bidangnya. Untuk dapat masuk menjadi anggota kelompok kepentingan tipe ini diperlukan
persyaratan-persyaratan formal yang memang telah ditentukan terlebih dahulu. Demikian pula
kelompok kepentingan tipe ini telah memiliki rencana kerja yang tersusun dengan baik.
(3) Kelompok Kepentingan Non Assosiasional
Kelompok kepentingan non assosiasional adalah kelompok kepentingan yang dapat dikatakan
kurang terorganisir secara rapi, dan kegiatannya masih bersifat kadangkala saja. Keanggotaan
kelompok kepentingan non assosiasional dapat diperoleh berdasarkan atas kepentingankepentingan yang serupa karena persamaan-persamaan dalam hal-hal yang tertentu; seperti
keluarga, status, kelas, kedaerahan, keagamaan, keturunan atau ethnis. Pendukung-pendukung
kelompok

kepentingan

non

assosiasional

ini

dalam

mengartikulasikan

kepentingan-

kepentingannya melalui individu-individu, pemuka-pemuka agama, dan lain-lain yang semacam
dengan itu.Kelompok kepentingan non assosiasional tidak mempunyai sturktur organisasi yang
formal. Untuk dapat masuk menjadi anggota kelompok kepentingan tipe ini tanpa harus melalui
prosedur yang berbelit-belit seperti yang biasa ditemui pada organisasi-organisasi yang sifatnya
formal. Demikian pula kegiatan untuk memilih pimipinan kelompok, atau kegiatan untuk
merumuskan kebijaksanaan-kebijaksanan kelompok tanpa harus melalui prosedur-prosedur yang
formal.
(4) Kelompok Kepentingan Anomik
Kelompok kepentingan anomik sering dipergunakan untuk menyebutkan ataupun menunjuk
kepada kelompok kepentingan yang melakukan kegiatan-kegiatannya secara spontan dan hanya

berlangsung seketika saja. Kelompok kepentingan anomik dalam melakukan kegiatan-kegiatan
secara spontan dan hanya seketika itu saja dikarenakan kelompok kepentingan tipe ini tidak
memiliki norma-norma dan nilai-nilai yang secara jelas mengaturnya. Kelompok kepentingan
anomik ini pada umumnya dalam melakukan kegiatan-kegiatannya dengan cara-cara yang nonkonvensional; seperti pemogokan, demontrasi, huru-hara, kerusuhan ,konfrontasi, dan lainlainnya yang sejenis dengan itu.Demikian pula kelompok kepentingan anomik merupakan suatu
kelompok yang tidak terorganisir secara rapi. Oleh karena sifat kelompok kepentingan tipe ini
spontan, maka ikatan yang menjalin diantara pendukung-pendukungnya sedemikian longgar; dan
mengikat pula tidak terdapatnya peraturan-peraturan yang mengikat pendukung-pendukungnya
secara ketat. Pendukung-pendukung kelompok kepntingan tipe ini dapat secara bebas keluar
meninggalkan kelompoknya. Pada umumnya kelompok kepentingan anomik ini setelah berhasil
atau tercapai dalam mengajukan tuntutan-tuntutan atau kepentingan-kepentingannya akan segera
bubar dengan sendirinya.
Terdapat beberapa strategi yang

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88