IMPLEMENTASI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERA. pdf

IMPLEMENTASI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM
PENYELENGGARAAN PERPUSTAKAAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG
NOMOR 43 TAHUN 2007
(Suatu Studi di Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat)
I KOMANG RUPADHA

ABSTRAKS

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan
menganalisis implementasi atau pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan perpustakaan, baik secara institusional maupun
secara fungsional. Selanjutnya penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan
menganalisis apakah penyelenggaraan perpustakaan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang No. 43 Tahun 2007, dan kendala-kendala apakah yang
dihadapi dalam penyelenggaraan perpustakaan, dan kebijakan apa yang
dilaksanakan dalam upaya untuk mengatasi kendala tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum empirik, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan mengkaji hukum dalam prakteknya di
lapangan. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosiologis yuridis, pendekatan perundang-undangan, dan

pendekatan konsep. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini dalah
analisis secara kualitatif, kemudian penarikan kesimpulan dilakukan secara
deskriptif dengan menggunakan logika berfikir secara induktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kewenangan
pemerintah daerah dalam penyelengaraan perpustakaan, secara institusional
telah direalisasikan dengan penetapan Perda Provinsi NTB No. 8 Tahun 2008,
dan Pergub NTB No.22 Tahun 2008. Sedangkan secara fungsional
implementasi kewenangan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, dalam
penyelenggaraan perpustakaan belum semua dapat terlaksana sesuai dengan
amanat Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Kata Kunci: Kewenangan pemerintah, pemerintah daerah, penyelenggaraan
perpustakaan.

2

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan merumuskan bahwa perpustakaan adalah suatu institusi
atau lembaga yang mengelola koleksi yang berupa karya tulis, karya

cetak, dan/atau karya rekam, yang dilaksanakan secara profesional
dengan sistem yang baku dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
informasi, pendidikan, penelitian, pelestarian, dan rekreasi para
pemustaka/pengguna perpustakaan. Perpustakaan mempunyai fungsi
yang sangat penting sebagai wahana dan pusat sumber informasi.
Dalam keberadaannya sebagai pusat sumber informasi,
perpustakaan menjalankan fungsi mengelola dan melestarikan gagasan,
pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia, sebagai
kekayaan budaya dan hasil karya intelektual umat manusia. Tujuan dari
pelaksanaan fungsi itu tidak lain adalah terbentuknya masyarakat yang
mempunyai budaya membaca dan belajar sepanjang hayat. Dengan
demikian perpustakaan mempunyai kedudukan yang sangat strategis,
karena esensi atau hakikat penyelenggaraan perpustakaan tidak lain
adalah sebagai salah satu wujud dari upaya pemerintah Indonesia untuk
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kecerdasan bangsa tidak lain
merupakan cita-cita luhur kemerdekaan dan salah satu tujuan nasional
bangsa Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam Alinea IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Sehingga oleh karenanya, maka penyelenggaraan perpustakaan
merupakan suatu kewajiban dan menjadi tanggung jawab pemerintah.

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum diberlakukan kebijakan
otonomi daerah, penyelenggaraan perpustakaan merupakan kewenangan
pemerintah pusat, yang secara teknis operasional dilaksanakan oleh
Perpustakaan Nasional (Perpusnas), yang berkedudukan sebagai Unit
Pelaksana Teknis dan berada di bawah tanggungjawab
Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kemudian
dengan diterapkannya kebijakan otonomi daerah berdasarkan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dengan asas desentralisasi, maka
penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah diserahkan sepenuhnya
kepada kewenangan pemerintah daerah. Penerapan kebijakan otonomi
daerah ini, mengakibatkan kewenangan penyelenggaraan perpustakaan
dilimpahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan
adanya pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam

3

penyelenggaraan perpustakaan, maka implementasinya dimungkinkan
akan menjadi tidak sama diantara daerah yang satu dengan daerah
lainnya, sebagai akibat dari bervariasinya kemampuan manajemen dan

finansial yang dimiliki oleh setiap daerah, serta adanya perbedaan
pemahaman dan persepsi mengenai peran dan fungsi perpustakaan.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 43 Tahun 2007, yang
diundangkan pada tanggal 1 Nopember 2007 dalam Lembaran Negara RI
Tahun 2007 No. 129, Tambahan L.N. RI No. 4774, maka diharapkan
semua kebijakan Kepala Daerah yang menyangkut mengenai
penyelenggaraan perpustakaan harus mengacu pada ketentuan UndangUndang No. 43 Tahun 2007 tersebut.
Masalah kewenangan pemerintah daerah, khususnya yang terkait
dengan penyelenggaraan perpustakan dapat dilihat dalam dua sisi, yaitu
kewenangan secara institusional dan kewenangan secara fungsional.
Kewenangan institusional menunjuk kepada kewenangan yang dilihat dari
sisi fungsi pengaturan yaitu kewenangan pemerintah daerah untuk
menetapkan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan secara normatif
mengenai penyelenggaraan perpustakaan. Sedangkan kewenangan
fungsional menunjuk pada kewenangan pemerintah daerah dilihat dari sisi
pelaksanaan tugas dan fungsi layanan perpustakaan. Kewenangan
pemerintah daerah secara institusional terkait dengan pelaksanaan
ketentuan Pasal 10, sedangkan kewenangan fungsional terkait dengan
penyelenggaraan layanan perpustakaan yang secara normatif diatur
dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 14 UU No. 43 Tahun 2007 tentang

Perpustakaan.
Mengingat bahwa pelaksanaan fungsi pelayanan perpustakaan
merupakan ujung tombak yang menentukan dan yang dijadikan sebagai
barometer dari keberhasilan penyelenggaraan perpustakaan, maka
pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah secara fungsional ini
diharapkan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka
pokok permasalahan yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
a) Bagaimanakah pengaturan dan implementasi kewenangan
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam
penyelenggaraan perpustakaan ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan ?
b) Apakah penyelenggaraan perpustakaan oleh Pemerintah Daerah

4

Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah sesuai dengan amanat UU No.
43 Tahun 2007 ?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan penelitian
Sesuai dengan perumusan permasalahan pokok yang
diajukan dalam penelitian ini sebagaimana dikemukakan di atas,
maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimanakah pengaturan
dan implementasi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat di dalam penyelenggaraan perpustakaan
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan.
2) Untuk mengetahui, menganalisis, dan memahami
apakah
penyelenggaraan perpustakaan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat tersebut sudah sesuai dengan
amanat Undang-Undang No. 43 Tahun 2007.
b. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
baik secara teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis, hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
pemikiran dalam rangka pengembangan teori-teori atau konsepkonsep hukum khususnya yang berkaitan dengan kewenangan

pemerintah daerah, sebagai antisipasi dalam menghadapi
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
masa yang akan datang. Secara praktis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi
Pemerintah
Daerah
khususnya
dalam
penyelenggaraan
perpustakaan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
B. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Masalah
a. Jenis Penelitian
Sebagaimana diketahui bahwa sesuai dengan permasalahan
yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka jenis penelitian yang
akan dilakukan adalah penelitian hukum empirik, yaitu penelitian
yang dilakukan dengan mengkaji hukum dalam prakteknya di
lapangan. Sehingga penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis

5


data empirik yang berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan
secara
nyata
kewenangan
pemerintah
daerah
dalam
penyelenggaraan perpustakaan, yang dilakukan melalui studi
lapangan.
b. Pendekatan Masalah
Sesuai dengan jenis penelitian, maka metode pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
pendekatan sosiologis yuridis dan pendekatan perundangundangan. Pendekatan sosiologis yuridis yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan melihat implementasi dari penyelenggaraan
perpustakaan tersebut dikaitkan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan berhubungan dengan penyelenggaraan perpustakaan. Pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach), adalah pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari
peraturan perundang-undangan yang terkait serta ketentuanketentuan yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.1 Dalam
penelitian ini pendekatan dilakukan dengan menelusuri dan
mempelajari peraturan perundang-undangan yang dipakai

landasan yuridis terkait dengan pelaksanaan kewenangan
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan.
2. Jenis dan Sumber Data
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa jenis penelitian yang
dilakukan adalah penelitian empirik. Untuk keperluan penelitian
empirik, sebagai bahan kajian digunakan data lapangan yang terdiri
dari :
a) Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari para
responden penelitian. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai
responden antara lain pejabat dari Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai yang berkompeten
mewakili Pemerintah Daerah dan sebagai yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaan atau dalam penyelenggaraan pemerintahan
khususnya bidang perpustakaan.
b) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari para informan,
pendapat para akhli/pakar yang dianggap berkompeten dalam
bidang yang diteliti, dan yang terkait dengan penyelenggaraan
perpustakaan, dan bahan-bahan hukum, serta data-data
pendukung lainnya yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
1


Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet. IV, Penerbit Prenada Media Group,
Jakarta, 2008, hal. 93.

6

3. Teknik pengumpulan Data
Dalam penelitian empirik yang dilakukan melalui penelitian
lapangan, pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan
pengamatan (observasi) dan dengan mengadakan wawancara
langsung dengan para responden.
Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi
kepustakaan (library study), yaitu dengan mengumpulkan dan
mempelajari buku-buku literatur dan referensi yang terkait dengan
permasalahan yang dikaji, untuk menemukan konsep-konsep atau
teori-teori yang ada hubungannya dengan pokok permasalahan yang
diteliti. Selain dengan mempelajari literatur yang terkait dengan
masalah yang dikaji, pengumpulan data sekunder juga dilakukan dari
sumber lainnya seperti data statistik, dan hasil-hasil penelitian yang
terkait.

4. Analisis Data
Data dan yang diperoleh dari studi kepustakaan maupun studi
lapangan kemudian dianalisis untuk keperluan pengambilan
kesimpulan. Kemudian terhadap data baik primer, maupun sekunder
dilakukan analisis secara kualitatif, dengan melakukan penilaian
terhadap fakta-fakta yang secara empirik diperoleh di lapangan, yang
kemudian dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan dan
teori-teori atau konsep-konsep hukum yang terkait. Dari hasil analisis
tersebut kemudian dilakukan penarikan kesimpulan secara deskriptif
dengan menggunakan logika berfikir secara induktif.
C. LANDASAN TEORI DAN KONSEP
Sebagaimana diketahui bahwa penelitian ini akan melakukan
kajian terhadap masalah pokok yaitu mengenai implementasi kewenangan
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan. Dalam
hubungan ini maka beberapa teori dalam hukum administarasi negara
maupun hukum tata Negara, yang terkait dengan masalah kewenangan
pejabat pemerintahan daerah yang dapat dijadikan sebagai landasan
dalam mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, antara lain teori
Negara hukum, teori kewenangan, teori efektifitas hukum, serta beberapa
konsep yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah,
seperti konsep otonomi daerah, dan beberapa pengertian yang terkait
dengan penyelenggaraan perpustakaan, antara lain pengertian
perpustakaan, koleksi perpustakaan, serta pengertian layanan
perpustakaan. Adapun teori dan konsep yang dimaksudkan tersebut yang

7

berhubungan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini antara lain
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Teori Negara Hukum
Dalam Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (UUD
1945) setelah amandemen ketiga yang diitetapkan tanggal 10
Nopember 2001, pada Pasal 1 Ayat (3) secara tegas disebutkan
bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum". Dalam berbagai
kepustakaan hukum, secara umum istilah negara hukum juga
disebutkan dengan istilah rechtstaat, dan juga sering diidentikkan
dengan istilah "the rule of law". 2
Mengenai konsep “negara hukum” ini, menurut Burkens
sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi, menyatakan bahwa
konsep negara hukum (rechtstaat) mengandung pengertian bahwa
Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan, dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya
dilakukan di bawah kekuasaan hukum.3
Berdasarkan
konsep
negara
hukum
sebagaimana
dikemukakan di atas, maka di dalam setiap kebijakan yang diambil
oleh penguasa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan harus
dilandasi oleh adanya aturan hukum yang jelas. Dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan perpustakaan, maka setiap kebijakan dalam
upaya pelaksanaan dan penyelenggaraannya harus didasari oleh
landasan hukum yang jelas. Hal ini dimaksudkan agar setiap tindakan
penyelenggaraan pemerintahan, dalam hal ini yang terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan di bidang perpustakaan, harus
mempunyai dasar ataupun landasan hukum yang jelas, sehingga
dapat dipertanggungjawabkan, baik secara sosisologis maupun secara
yuridis. Sehingga dengan demikian setiap kebijakan yang diambil tidak
akan menyimpang ataupun bertentangan dengan konsep negara
hukum.
2. Teori Kewenangan
Kewenangan sangat erat hubungannya dengan perbuatan
pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Perbuatan
pemerintah harus memiliki dasar kewenagan yang sah dari peraturan
perundang-undangan. Tanpa adanya suatu kewenangan yang sah,
seorang pejabat atau badan tata usaha Negara tidak dapat melakukan
2
Sunaryati Hartono, dalam Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan
Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 2l.
3
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan, Makalah di-sampaikan dalam Pidato Pengukhan

Jabatan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum UI, Jakarta, 25 April 1992, hal. 5.

8

perbuatan pemerintahan. Dengan kata lain, bahwa setiap perbuatan
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki
legitimasi hukum, yaitu kewenangan yang diberikan oleh UndangUndang. Dengan demikian substansi dari asas legalitas adalah
wewenang.4 Pemerintah di dalam rangka melaksanakan tugas dan
fungsinya tidak bisa terlepas dari asas legalitas. Asas tersebut
mengandung pengertian bahwa setiap penyelenggaraan pemerintahan
harus berdasarkan undang-undang. Asas legalitas ini merupakan
salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai landasan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara
hukum.5 Selaras dengan asas tersebut maka segala kewenangan
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan harus berdasarkan
pada undang-undang. Undang-undang dapat memberikan wewenang
pemerintahan tidak hanya kepada badan/lembaga pemerintahan saja,
tetapi juga kepada seorang pejabat fungsional tertentu (misalnya
inspektur pajak, hakim, jaksa, pustakawan, dan sebagainya), atau
kepada suatu badan/lembaga khusus (seperti Lembaga Pemilihan
Umum, dan sebagainya). Namun demikian organ pemerintahan tidak
dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang
pemerintahan, kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang.6
Selanjutnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dapat
diperoleh melalui beberapa cara, antara lain yang diperoleh secara
atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan yang diperoleh secara
atribusi lazimnya bersumber atau berasal dari adanya pembagian
kekuasaan Negara oleh Undang-Undang Dasar. Istilah lain untuk
kewenangan atribusi adalah kewenangan asli atau kewenangan yang
tidak bisa dibagi-bagikan kepada siapapun7, atau wewenang yang
melekat pada suatu jabatan.8
Sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang dari
wewenang yang telah ada. Sehingga delegasi secara logis selalu
didahului oleh atribusi, sedangkan pada atribusi terjadi pemberian
wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan, sehingga dilahirkan atau diciptakan
suatu wewenang baru.9 Dengan demikian melalui atribusi, pemerintah
4
5
6
7

Ibid. hal. 72.
Ibid. hal. 94.

RJ.H.M. Huisman, dalam Ridwan H.R., Ibid., hal 103.
Lutfi Efendi, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Cet. III., Penerbit Bayu Media Publishing, Malang, 2004., hal.

77.
8
Philipus M. Hadjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet X, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 2008, hal. 130.
9
Indroharto, Usaha memehami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1993, hal.83.

9

diberikan wewenang berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut.
Kemudian mengenai mandat, F.A.M. Stroink dan J.G.
Steenbeek, dalam Ridwan H.R.,10 menjelaskan bahwa pada mandat
tidak terjadi penyerahan wewenang ataupun pelimpahan wewenang,
sehingga tidak terjadi perubahan wewenang apapun (dalam arti
yuridis formal). Dalam hubungannya dengan hal tersebut
Indroharto,11 berpendapat bahwa pada “mandat” tidak terjadi
perubahan wewenang yang sudah ada, tetapi yang terjadi adalah
hubungan internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan untuk
melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggungjawab
pemberi mandat.
Terlepas dari mana wewenang itu diperoleh, yang pasti
bahwa wewenang merupakan faktor yang penting dalam
hubungannya dengan urusan penyelenggaraan pemerintahan, dan
berdasarkan wewenang itulah pemerintah dapat melakukan berbagai
tindakan hukum.
Dengan mengacu kepada teori kewenangan khususnya yang
terkait dengan pemahaman tentang sumber atau cara peolehan
kewenangan sebagaimana yang telah diuraikan tersebut, maka dalam
hubungannya dengan kewenangan penyelenggaraan perpustakaan
sebagaimana yang menjadi pokok kajian dalam penelitian ini, dapat
ditarik pemahaman bahwa kewenangan pemerintah daerah dalam hal
penyelenggaraan perpustakaan di daerah, merupakan kewenangan
yang diperoleh secara atribusi. Karena kewenangan tersebut secara
jelas diberikan atas dasar ketentuan yang ada dalam peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar kewenagan pemerintah daerah yang terkait dengan
penyelenggaraan perpustakaan adalah Undang-Undang No.43 Tahun
2007 tentang Perpustakaan.
3. Teori Efektifitas Hukum
Sebagai konsekuensi logis dari kedudukan Negara Republik
Indonesia sebagai negara hukum, maka setiap tindakan
penyelenggaraan kekuasaan negara dan pemerintahan tentu harus
didasarkan atas hukum. Hukum yang telah dibuat haruslah
dilaksanakan secara konsekuen, karena aturan hukum tersebut tidak
akan ada artinya apabila tidak dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum sering disebut sebagai penegakan
10
11

Ridwan H.R., Ibid., hal. 76.
Indrohato, Op.Cit., hal. 93.

10

hukum, yaitu bagaimana mewujudkan aturan hukum tersebut di dalam
kehidupan bermasyarakat. Penegakan hukum adalah suatu proses
untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.12
Keinginan-keinginan hukum di sini dimaksudkan adalah keinginan atau
pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan
dalam peraturan-peraturan hukum itu. Oleh karenanya penegakan
hukum perlu dilaksanakan, sebagai upaya untuk memenuhi tujuan
hukum itu sediri. Tujuan hukum tersebut akan dapat tercapai apabila
hukum atau peraturan itu benar-benar berfungsi sebagaimana yang
diharapkan.
Terkait dengan berfungsi dan berlakunya hukum menurut
Soerjono Soekanto,13 bahwa untuk berlakunya suatu aturan hukum
haruslah memenuhi ketiga unsur kelakuan sebagai berikut:
a. Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuan didasarkan pada
kaedah-kaedah yang lebih tinggi tingkatnya atau bila terbentuknya
menurut cara yang telah ditetapkan, atau apabila menunjukkan
hubungan kausal antara satu kondisi dan akibatnya.
b. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif.
Artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh
penguasa walaupaun tidak diterima oleh warganya (teori
kekuasaan) atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
c. Hukum tersebut berlaku secara filosofis artinya sesuai dengan citacita hukum sebagai cita-cita hukum yang tertinggi.
Dari uraian tentang teori efentivitas hukum tersebut di atas,
dapat ditarik pemahaman bahwa tujuan hukum sebagaimana yang
diharapkan oleh para pembentuk undang-undang bisa tercapai, akan
sangat tergantung dari tiga komponen sebagaimana disebutkan di
atas, yaitu struktur, substansi, dan kultur masyarakat. Terkait dengan
penyelenggaraan perpustakaan, maka teori hukum sebagaimana
diuraikan di atas, dapat digunakan sebagai landasan untuk
menganalisis apakah nantinya penyelenggaraan perpustakaan tersebut
akan dapat dikatakan akan dapat dijalankan secara efektif dan berhasil
dengan baik atau tidak.
4. Konsep Otonomi Daerah
Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yaitu
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pada Pasal 1 butir angka (5)
12

Ibid, hal. 74.
Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Penerbit RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 1987, halaman 13.
13

11

dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah, adalah:
“hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Kemudian
dalam Pasal 1 butir angka (6) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004,
tersebut dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan daerah
otonom, adalah “kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Kemudian dalam pelaksanaan otonomi
daerah tersebut, ada tiga asas yang digunakan, yaitu asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
dimaksud dengan Desentralisasi adalah “penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia” (Pasal 1 butir angka 7). Kemudian
Dekonsentrasi adalah “pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu” (Pasal 1 butir angka 8).
Sedangkan tugas pembantuan adalah “penugasan dari Pemerintah
kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu” (Pasal 1 butir angka
9). Substansi dari otonomi daerah tersebut adalah terletak pada asas
desentralisasi atau pemencaran kekuasaan, sehingga setiap daerah
dapat atau boleh menyelenggarakan kewenangan sebanyakbanyaknya, tergantung kebutuhan dan kemampuan daerah yang
bersangkutan.
Terkait dengan penyelenggaraan perpustakaan, maka pada
dasarnya bahwa pemerintah daerah berhak dan mempunyai
kewenangan untuk menyelenggarakannya atas dasar kebutuhan dan
disesuaikan dengan kemampuan daerah.
5. Konsep Perpustakaan
Pemahaman terhadap konsep perpustakaan dalam khasanah
ilmu perpustakaan terdapat beragam definisi, tergantung pada

12
pendekatan yang digunakan. Sulistyo Basuki14, memberikan
pemahaman terhadap perpustakaan melalui pendekatan dari sisi lokasi
atau tempat. Beliau mendefinisikan perpustakaan sebagai suatu
ruangan, atau bagian dari sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri
yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan buku dan terbitan
lainnya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk
digunakan oleh pembaca. Pemahaman terhadap konsep perpustakaan
berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada susbstansi antara lain
sebagaimana digunakan oleh Blasius Sudarsono15, yang memberi
pemahaman terhadap perpustakaan sebagai “koleksi pustaka terpilih
yang dikelola dengan cara tertentu untuk memenuhi kebutuhan
intelektual pemakainya. Kemudian pendekatan yang berorientasi pada
system atau organisasi, digunakan di dalam Undang-Undang UndangUndang Nomor 43 Tahun 2007, tentang Perpustakaan, dimana pada
Pasal 1 butir angka (1) mendefinisikan perpustakaan sebagai “institusi

pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam
secara professional dengan sistem yang baku guna memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi
para pemustaka”. Lebih lanjut pada butir angka (6) dalam Pasal 1 UU
No. 43 Tahun 2007 tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
perpustakaan umum, adalah perpustakaan yang diperuntukkan bagi
masyarakat luas sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat tanpa
membedakan umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status social
ekonomi.
Dari beberapa pendekatan dan pemahaman di atas, dalam
tulisan ini penulis memilih untuk menggunakan pendekatan yang
dipakai dalam Undang-Undang No. 43 Tahun 2007, karena penelitian
ini menggunakan pendekatan perundang-undangan. Sehingga secara
yuridis mempunyai kepastian landasan hukum yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan.
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 telah diatur secara
jelas mengenai batas-batas atau ruang lingkup kewajiban dan
kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan.
Mengenai kewajiban Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
14

Sulistyo Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Penerbit gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991,

halaman 3.
15
Blasius Sudarsono, Pustakawan, Cinta, dan Teknologi, Penerbit Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan
dan Informasi Indonesia (ISIPII), Jakarta, 2009, halaman 175.

13

dalam kaitannya dengan penyelenggaraan perpustakaan, dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, yang
menentukan sebagai berikut:
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban:
a. menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di
daerah;
b. menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di
wilayah masing-masing;
c. menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan
perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat;
d. menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan
perpustakaan;
e. memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah;
f. menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan umum
daerah berdasar kekhasan daerah sebagai pusat penelitian
rujukan tentang kekayaan budaya daerah di wilayahnya.
Kemudian dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2007, ditegaskan lebih lanjut mengenai kewenangan Pemerintah Daerah
dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
perpustakaan, yaitu antara lain disebutkan bahwa:
Pemerintah Daerah berwenang:
a) Menetapkan kebijakan daerah dalam pembinaan dan pengembangan perpustakaan di wilayah masing-masing;
b) mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan dan
pengelolaan perpustakaan di wilayah masing-masing;
c) mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat di
wilayah masing-masing untuk dilestarikan dan didayagunakan.
Masalah kewenangan pemerintah daerah, khususnya yang terkait
dengan penyelenggaraan perpustakan akan dilihat dalam dua sisi, yaitu
kewenangan institusional dan kewenangan fungsional. Kewenangan
institusional dalam hal ini menunjuk kepada kewenangan yang dilihat dari
sisi fungsi pengaturan yaitu kewenangan pemerintah daerah untuk
menetapkan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan secara normatif
mengenai penyelenggaraan perpustakaan.
Kewenangan pemerintah daerah secara institusional diatur di
dalam ketentuan Pasal 10, sedangkan mengenai kewenangan Pemerintah
Daerah secara fungsional, merupakan kewenangan dalam penyelenggaraan layanan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU No. 43 Tahun 2007,
yang menentukan bahwa :

14

(1) Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi
bagi kepentingan pemustaka;
(2) Setiap perpustakaan menerapkan tata cara layanan perpustakaan berdasarkan standar nasional perpustakaan;
(3) Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan
sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi;
(4) Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan
untuk memenuhi pemustaka;
(5) Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar
nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan
kepadda pemustaka;
(6) Layanan perpustakaan diselenggarakan terpadu diwujudkan
melalui kerjasama antar perpustakaan;
(7) Layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana dimaksud
ayat (6) dilaksanakan melalui jejaring telematika.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kewenangan
pemerintah daerah terkait dengan penyelenggaraan perpustakaan dilihat
dalam dua bentuk, yaitu kewenangan isntitusional dan kewenangan
fungsional. Kewenangan secara institusional merupakan kewenangan
yang dilihat dari pelaksanaan fungsi pengaturan, sedangkan kewenangan
fungsional dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi layanan perpustakaan.
Kewenangan secara institusional merupakan kewenangan yang diberikan
oleh undang-undang kepada pemerintah daerah, berdasarkan ketentuan
Pasal 10 UU No. 43/ Tahun 2007. Untuk lebih jelasnya bahwa pada huruf
a) dan b) Pasal 10, tersebut menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah
berwenang:

a) Menetapkan kebijakan daerah dalam pembinaan dan pe-ngembangan
perpustakaan di wilayah masing-masing;
b) Mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi penyelenggaraan dan
pengelolaan perpustakaan di wilayah masing-masing;
Dari rumusan ketentuan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa
kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, adalah
kewenangan untuk menetapkan kebijakan dalam pembinaan dan pengembangan perpustakaan, dan kewenangan untuk melaksanakan
pengaturan, pengawasan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan dan
pengelolaan perpustakaan di daerah. Oleh karenanya fokus kajian atau
analisis dalam penelitian ini adalah analisis terhadap imlementasi dari
kedua kewenangan pemerintah daerah tersebut.

15

1. Analisis Terhadap Implementasi Kewenangan Institusional
Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Perpustakaan
Selanjutnya implementasi dari kewenangan institusional tersebut
secra empirik, dapat dilihat dari wujud atau bentuk dari kebijakan yang
telah dikeluarkan dan dilakukan oleh pemerintah daerah terkait dengan
penyelenggaraan perpustakaan. Bentuk atau wujud dari kebijakan
pemerintah daerah dapat saja berupa penetapan Peraturan Daerah atau
Peraturan Gubernur, atau dalam bentuk keputusan-keputusan, dan
peraturan lainnya.
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan dapat diketahui
bahwa kewenangan pemerintah daerah secara institusional atau
kewenangan dari sisi pengaturan secara normatif terkait dengan
kebijakan mengenai penyelenggaraan perpustakaan, baru hanya sebatas
menetapkan Peraturan Daerah NTB Nomor 8 Tahun 2008, yang mengatur
tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda, dan Lembaga
Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang di dalamnya termasuk
pembentukan Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB sebagai
institusi yang ditugasi untuk menyelenggarakan perpustakaan. Kemudian
penetapan perda tersebut ditidaklanjuti dengan penetapan Peraturan
Gubernur Provinsi NTB No. 22 Tahun 2008, yang mengatur tentang
Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda dan Lembaga
Teknis Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang di dalamnya termasuk
rincian tugas dan fungsi Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB.
Sedangkan penetapan dan pengaturan mengenai penyelenggaraan
perpustakaan secara teknis fungsional pelaksanaan oleh pemerintah
daerah justru sampai saat ini belum ada ditetapkan.
Selanjutnya apabila dicermati secara seksama mengenai
implementasi kewenangan pemerintah daerah yang dilihat dari sisi fungsi
institusional, maka dapat penulis kemukakan bahwa dengan adanya
penetapan Perda NTB No. 8 tahun 2008 dan Pergub NTB No. 22 Tahun
2008, berarti bahwa sebagian kewenangan pemerintah daerah secara
institusional berdasarkan Pasal 10 telah dilakukan, namun dengan
beberapa catatan sebagai berikut:
1. Peraturan Daerah NTB No. 8 Tahun 2008 yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat tersebut, hanya
mengatur tentang pembentukan institusi/lembaga teknis daerah
sebagai penyelenggara pemerintahan di bidang perpustakaan, yaitu
Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi NTB.

16

2. Peraturan Gubernur (Pergub) NTB No. 22 yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat juga hanya
menetapkan dan mengatur tentang rincian tugas dan fungsi Badan
Perpustakaan dan Arsip saja.
Sehingga dari kedua catatan tersebut, penulis menyimpulkan
bahwa bahwa implementasi kewenangan pemerintah daerah,
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU No. 43/Tahun 2007, belum
sepenuhnya tuntas dilaksnakan, karena baru hanya sebatas menetapkan
kebijakan secara normatif saja.
2. Analisis Terhadap Implementasi Kewenangan Fungsional
Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Perpustakaan
Mengenai kewenangan fungsional, di dalam ketentuan UndangUndang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, dilihat dari
kewenangan pemerintah daerah yang terkait dengan pelaksanaan
kewajiban sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 8 UU No. 43
Tahun 2007, dan pelaksanaan fungsi layanan perpustakaan sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 14 UU No. 43 Tahun 2007.
Implementasi kewenangan pemerintah daerah secara fungsional
tersebut dalam penelitian ini dilihat dari bentuk atau wujud pelaksanaan
dari program-program layanan perpustakaan yang secara nyata telah
dijalankan di lapangan selama ini. Program-program kegiatan layanan
perpustakaan yang dilaksanakan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip
Provinsi NTB secara konkrit telah diwujudkan dalam Program Kerja Badan
Perpustakaan dan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Selanjutnya implementasi kewenangan fungsional pemerintah
daerah dalam pelaksanaan perpustakaan, dapat dilihat dari pelaksanaan
fungsi pelayanan perpustakaan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8,
dan Pasal 14 Undang-Undang No. 43 Tahun 2007. Pasal 8 UndangUndang No. 43 Tahun 2007 mengatur mengenai kewajiban Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; yaitu bahwa:

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban:
a) menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di
daerah;
b) menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di
wilayah masing-masing;
c) menjamin
kelangsungan
penyelenggaraan
dan
pengelolaan
perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat;
d) menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan

17

perpustakaan;
e) memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah;
f) menyelenggarakan dan mengembangkan perpustakaan umum daerah
berdasar kekhasan daerah sebagai pusat penelitian rujukan tentang
kekayaan budaya daerah di wilayahnya.
Kemudaian Pasal 14 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007,
menentukan sebagai berikut:

(1) Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi
bagi kepentingan pemustaka;
(2) Setiap perpustakaan menerapkan tatacara layanan perpustakaan
berdasarkan standar nasional perpustakaan;
(3) Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan
sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi;
(4) Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan
untuk memenuhi pemustaka;
(5) Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar
nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepadda
pemustaka;
(6) Layanan perpustakaan diselenggarakan terpadu diwujudkan
melalui kerjasama antar perpustakaan;
(7) Layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana dimaksud ayat
(6) dilaksanakan melalui jejaring telematika.
Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah penyelenggaraan layanan perpustakaan sebagai salah satu kewenangan fungsional
pemerintah daerah yang diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan
Arsip Provinsi NTB secara empirik sudah sesuai atau tidak dengan amanat
ketentuan Pasal 8 dan pasal 14 UU No. 43 Tahun 2007 tersebut di atas.
Pasal 8 huruf a) yang menentukan bahwa Pemerintah Provinsi

“menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan
di daerah”.
Bahwa berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa
pelaksanaan kewajiban untuk “menjamin penyelenggaraan dan
pengembangan perpustakaan” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8
huruf a), telah diwujudkan dengan melaksanakan beberapa program
kegiatan antara lain :
a. Penyelengaraan Program Pendidikan dan pelatihan (Diklat) Teknis
Pengelola Perpustakaan dan Magang.
b. Pelaksanaan program pemilihan perpustakaan terbaik.

18

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh data untuk tahun
anggaran 2011/2012 telah diselenggarakan pendidikan dan pelatihan
terhadap tenaga pengelola perpustakaan yaitu sejumlah 130 orang
pengelola Perpustakaan Desa/Kelurahan; dan 60 orang pengelola
Perpustakaan Rumah Ibadah. Serta telah melaksanakan kegiatan
pemilihan perpustakaan terbaik yang dilakukan secara fungsional sebagai
wujud pelaksanaan salah satu tugas Badan Perpustakaan dan Arsip
Provinsi NTB sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 160 Ayat (1)
Peraturan Gubernur NTB No. 22 Tahun 2008, yaitu melaksanakan
kebijakan pembinaan dan pengembangan semua jenis perpustakaan.
Selanjutnya Pasal 8 huruf b) menentukan bahwa Pemerintah
Provinsi “menjamin ketersediaan layanan perpustakaan se-cara merata di
wilayah masing-masing”. Bahwa kewajiban sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 8 huruf b), mengandung pengertian bahwa Pemerintah
Daerah Nusa Tenggara Barat mempunyai kewajiban menyediakan layanan
perpustakaan secara merata di wilayah Nusa Tenggara Barat.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kewajiban penyediaan
layanan perpustakaan tersebut telah dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah Provinsi NTB bersama-sama dengan pemerintah Kabupaten/Kota
di seluruh wilayah Nusa Tenggara Barat.
Penyediaan layanan
perpustakaan tersebut telah diselenggarakan diseluruh wilayah Provinsi
baik di tingkat kabupaten/kota, bahkan sampai dengan di tingkat desa
dengan penyelenggaraan perpustakaan-perpustakaan desa. Sehinga
dengan melihat kenyataan demikian tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa kewajiban tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Pasal 8 huruf b.
Kemudian Pasal 8 huruf c), menentukan bahwa Pemerintah
Provinsi “menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan pengelolaan
perpustakaan sebagai pusat sumber belajar masyarakat”. Pasal ini
mengandung pemahaman bahwa penyelenggaraan dan pengelolaan
perpustakaan harus ditunjang dengan penyediaan sarana dan prasarana
yang dapat menjamin keberlajutan atau kelangsungan pelaksanaan fungsi
perpustakaan sebagai pusat sumber belajar bagi masyarakat.
Berdasarkan hasil observasi dalam penelitian ini dapat
dikemukakan bahwa terhadap kewajiban penyediaan sarana dan fasilitas
layanan perpustakaan sudah terpenuhi. Di perpustakaan telah disediakan
ruang baca anak-anak, ruang belajar dengan fasilitas meja belajar
mandiri, ruang penelusuran informasi dengan fasilitas internet, ruang
referensi serta ruang diskusi kelompok. Dengan demikian ketersediaan

19

fasilitas atau sarana tersebut menunjukkan bahwa secara umum terhadap
ketentuan Pasal 8 huruf c) tersebut dapat dikatakan telah terpenuhi.
Selanjutnya mengenai kewajiban Pemerintah Provinsi NTB untuk

“menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan
perpustakaan”. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan

kegiatan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan
telah dilaksanakan secara rutin yang telah dilaksanakan oleh Sub Bidang
Kelembagaan dan Pembinaan Minat Baca. Sehingga dengan demikian
maka dapat dipahami bahwa kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 8
huruf d) UU No. 43 Tahun 2007, secara umum dapat dikatakan telah
dipenuhi.
Kemudian mengenai kewajiban Pemerintah Provinsi NTB dalam
“memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah”. (Pasal 8 huruf e
UU No. 43 Tahun 2007) Makna yang terkandung dalam pasal tersebut
bahwa Pemerintah Provinsi diwajibkan untuk memberikan dukungan dan
kemudahan bagi lembaga atau organisasi masyarakat yang mau
menyelenggarakan perpustakaan. Terhadap kewajiban ini berdasarkan
hasil penelitian bahwa kewajiban ini telah dilakukan antara lain dengan
program pemberian bantuan berupa fasilitas berupa rak buku untuk
Perpustakaan Desa/Kelurahan dan koleksi bahan pustaka. Berdasarkan
data yang diperoleh dalam penelitian, pada tahun anggaran 2011/2012,
telah direalisasi bantuan 260 rak buku, dan 130.000 eksemplar buku
untuk 130 Perpustakaan Desa/Kelurahan se Nusa Tenggara Barat.
Sehingga dengan demikian berdasarkan uraian di atas tersebut,
penulis berpendapat bahwa amanat ketentuan Pasal 8 UU No. 43 Tahun
2007 tersebut, secara umum dapat dikatakan telah terpenuhi.
Selanjutnya untuk mengetahui apakah layanan perpustakaan yang
telah diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Nusa
Tenggara Barat , sudah sesuai atau tidak dengan layanan sebagaimana
yang ditentukan oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007.
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 14 Ayat (1), mengisyaratkan bahwa
pelayanan perpustakaan harus dilakukan secara prima dan berorientasi
bagi kepentingan pemustaka. Artinya bahwa layanan perpustakaan harus
beorientasi pada kebutuhan pengguna. Oleh karenanya apa yang menjadi
kebutuhan dan keinginan pengguna itulah yang menjadi basis layanan
perpustakaan. Dengan demikian maka inti dari layanan prima secara
kongkrit adalah bahwa setiap layanan yang diberikan kepada pengguna

20

perpustakaan sebagai penerima layanan harus berpedoman pada prinsip:
cepat, tepat, ramah dan nyaman.16
Berdasarkan hasil wawancara17 peneliti dengan 12 (dua belas)
pengguna perpustakaan yang berhasil diwawancarai sebagai responden,
yang pada intinya mereka menyatakan bahwa dari empat unsur layanan
prima (cepat, tepat, ramah, dan nyaman), maka unsur ketepatan yang
masih belum sepenuhnya diperoleh. Artinya kesesuaian antara sumber
informasi yang tersedia dengan apa yang diinginkan oleh pengguna masih
belum sepenuhnya dapat diperoleh. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan
layanan secara prima masih belum terwujud sepenuhnya sesuai dengan
kehendak yang diamanatkan oleh Pasal 14 Ayat (1).
Selanjutnya Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang No. 43 Tahun 2007
mengatur mengenai penerapan tata cara layanan perpustakaan harus
berdasarkan standar nasional perpustakaan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan melalui studi literature dan dokumentasi serta dari hasil
wawancara, bahwa layanan sebagaimana diisyaratkan oleh ketentuan
Pasal 14 ayat (2) tersebut di atas, ternyata Standar Nasional
Perpustakaan yang dimaksudkan oleh Pasal 14 ayat (2) tersebut sampai
saat belum diterbitkan. Sehingga ketentuan tersebut belum dapat dapat
dilaksanakan secara baik karena terkendala oleh belum adanya standar
nasional yang akan dijadikan acuan dalam penyelenggaraan layanan
perpustakaan seperti yang dimaksudkan oleh UU No. 43 Tahun 2007.
Namun kendati belum ada standar nasional tersebut, tidak berarti bahwa
pelaksanaan pelayanan tidak dapat bisa dijalankan. Untuk mengatasi dan
sekaligus sebagai solusi agar layanan perpustakaan dapat dilaksanakan,
maka sebagai pedoman dalam pelaksanaan pelayanan perpustakaan saat
ini adalah berpedoman atau berdasarkan SOP (Standard Operating
Procedure) yang dikeluarkan sendiri oleh Badan Perpustakaan dan Arsip
Provinsi NTB.
Selanjutnya ketentuan Pasal 14 Ayat (3), mensyaratkan bahwa
“setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai
dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi”; dan Pasal 14 Ayat
(4), mensyaratkan bahwa layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikembangkan melalui “pemanfaatan sumber daya
perpustakaan” untuk memenuhi kebutuhan pemustaka. Dari data empirik
16

Rupadha, I Komang, Konsep Pengembangan Layanan Perpustakaan Unram
(Sekelumit pemikiran dalam merespons perkembangan Iptekinfokom), Dalam BULETIN
PUSTAKA No. 30 TAHUN 2011, Penerbit BAPUSDA Provinsi NTB, Halaman 88.
17

Wawancara penulis tanggal 18 Juni 2012.

21

yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara terhadap responden
sebagaimana diuraikan di atas, maka dapat ditarik suatu simpulan bahwa
secara umum penerapan dari syarat sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 14 Ayat (3) dan Ayat (4) UU No. 43 Tahun 2007 tersebut sudah
dilaksanakan.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 14 Ayat (5) disyaratkan bahwa
“layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar nasional
perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada pemustaka”.
Mengenai pelaksanaan ketentuan Pasal 14 Ayat (5) tersebut,
berdasarkan hasil penelitian bahwa layanan perpustakaan yang
dilaksanakan oleh Perpustakaan BPAP NTB, belum menggunakan standar
nasional perpustakaan, hal tersebut disebabkan karena sampai saat ini
standar nasional perpustakaan yang dimaksud belum terbit. Bahwa semua
jenis layanan masih tetap di dasarkan pada SOP (Standard Operating
Procedure) yang dikeluarkan sendiri oleh Badan Perpustakaan dan Arsip
Provinsi Nusa Tenggara Barat.18 Sedangkan
mengenai penerapan
ketentuan Pasal 14 Ayat (6) dan (7), yang menentukan bahwa “layanan
perpustakaan diselenggarakan terpadu diwujudkan melalui kerjasama
antar perpustakaan”(Ayat (6)), dan “layanan perpustakaan secara terpadu
sebagaimana dimaksud ayat (6) dilaksanakan melalui jejaring telematika”
(Ayat (7)). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa program
pelayanan terpadu melalui kerja-sama antar perpustakaan belum bisa
dilakukan seperti yang dikehendaki oleh ketentuan Ayat (7) yang
mensyaratkan kerjasama tersebut dilaksanakan melalui jejaring
telematika. Hal tersebut dikarenakan masih terkandala oleh keterbatasan
sumber daya manusia (SDM) yaitu Pustakawan yang memiliki kompetensi
di bidang telematika masih sangat terbatas. Sampai tahun anggaran 2012
tenaga pustakawan yang memiliki kompetensi di bidang telematika di
Perpustakaan BPAP hanya ada 1 (satu) orang pustakawan teknis dengan
kualifikasi pendidikan teknik komputer dan manajemen informatika. Yang
seharusnya yang dibutuhkan minimal ada 3 (tiga) orang pustakawan
teknis dengan kualifikasi sarjana teknik informatika/komputer, yang akan
menangani sistem layanan terpadu tersebut.
Sehingga terhadap
pelaksanaan layanan perpustakaan terpadu seperti yang ditentukankan
oleh Pasal 14 Ayat (6) dan (7) UU No. 43 Tahun 2007 secara umum dapat
dikatakan belum sepenuhnya dapat terlaksana dikarenakan faktor-faktor
keadaan internal lembaga penyelenggara perpustakaan, seperti yang
disebutkan di atas. Namun demikian secara umum pelaksanaan layanan
perpustakaan tetap dapat dilaksanakan kendatipun belum semua program
18

Hasil Wawancara penulis tanggal 22 Juni 2012.

22

layanan yang dilaksanakan sesuai dengan yang syaratkan oleh UU No. 43
Tahun 2007, dan akan terus diupayakan agar sejalan searah dengan
amanat UU No. 43 Tahun 2007.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari beberapa analisis terhadap permasalahan pokok dalam
penelitian ini, sebagaimana yang telah diuraikan dalam pembahasan di
atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa Pengaturan kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Barat dalam penyelenggaraan perpustakaan diatur
berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, tentang
Perpustakaan (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4774), dan Pasal 7 Ayat (2)
huruf z) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 82, Tambahan
Lembaran Negara R I No. 4737).
2. Dari hasil analisis terhadap implementasi kewenangan pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan di NTB, khususnya
terhadap kewenangan secara fungsional ditinjau dari UU No. 43 Tahun
2007, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan perpustakaan yang
dilaksanakan oleh pemerintah daerah NTB belum sepenuhnya sesuai
dengan amanat yang diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 14 UU No. 43
Tahun 2007.
2. Saran-saran
Terkait dengan kendala dalam pelaksanaan atau implementasi
dari kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perpustakaan di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebagaimana dikemukakan di
dalam kesimpulan, maka penulis menyarankan sebagai berikut:
1. Untuk Pemerintah (Pusat), agar segera menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang pelaksanaan UU No. 43 Tahun 2007, sesuai
dengan yang diinginkan oleh UU No. 43 tersebut, yang sampai saat ini
juga belum ditetapkan; termasuk pedoman dan Standar Nasional
Perpustakaan, untuk digunakan sebagai acuan penyelenggaraan
perpustakaan di daerah di seluruh wilayan Indonesia, sebagai mana
yang dikehendaki oleh UU No. 43 tahun 2007.

23

2. Untuk Pemerintah Daerah NTB, agar segera membuat regulasi dalam
bentuk peraturan daerah atau peraturan gubernur yang secara lebih
khusus mengatur tentang pedoman penyelenggaraan perpustakaan
umum di NTB, yang akan dijadikan sebagai acuan atau pedoman bagi
pelaku atau pemangku kebijakan penyelenggaraan pemerintahan di
bidang perpustakaan yang ada di seluruh wilayah Provinsi Nusa
Tenggara Barat, termasuk pemerintah Kabupaten/Kota, sampai
Pemerintah Desa/Kelurahan, yang me