POLITIK HUKUM PERADILAN AGAMA (1)

POLITIK HUKUM PERADILAN AGAMA
Oleh : Zakiyah Salsabila
Mahasiswa Magister Hukum Keluarga
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

A. Pendahuluan
Masuknya agama Islam ke Indonesia untuk pertama kalinya yakni pada abad
pertama hijriah bertepatan pada abad ke 7 Masehi atau abad ke 8 Masehi oleh saudagarsaudagar dari Mekkah dan Madinah. Proses penyebaran Islam dari para saudagar adalah
dengan cara perdagangan dan perkawinan dengan penduduk pribumi. Dan mulai dari
itulah titik awal masyarakat Indonesia mulai melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di jaman kerajaan Hindu sudah terdapat
lembaga peradilan. Ada dua macam peradilan yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan
Padu. Peradilan Pradata mengurusi perkara-perkara yang menjadi urusan raja dan
Peradilan Padu mengurusi perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja.1
Lembaga peradilan mempunyai arti tempat dimana seseorang dapat mengajukan
permohonan atas suatu upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian sengketa
hukum menurut peraturan yang berlaku. Salah satu lembaga peradilan di Indonesia
adalah Peradilan Agama.2
Lembaga Peradilan Agama telah diakui keberadaannya sejak Islam masuk ke
Indonesia. Akan tetapi, lembaga Peradilan Agama baru diakui setelah adanya Undangundang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan
bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu dari lingkungan Peradilan dibawah

naungan Kekuasaan Kehakiman. Setelah beberapa tahun kemudian, barulah Peradilan
Agama memiliki undang-undang tersendiri pada tahun 1989.
Lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kini
telah diperbaharui menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa
perubahan besar terhadap lembaga Peradilan Agama di Indonesia.
Berikut sedikit tentang latar belakang penyusunan Rancangan Undang-undang
Peradilan Agama disahkan menjadi undang-undang dengan perdebatan yang ada di DPR
serta keberadaan Peradilan Agama sebagai kekuasaan peradilan di Indonesia.

B. Kondisi Sosial Politik Penyusunan Undang-Undang Peradilan Agama
Peradilan Agama telah lahir dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak
masuknya agama Islam di Indonesia. Lembaga Peradilan Agama sendiri telah menyatu
1

Departemen Agama RI. Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Perkembangan Lembaga dan
Proses Pembentukan Undang-undangnya. 2001, hal 1.
2
Erfaniah Zuhriah. Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut.
Malang : UIN-Malang Press, 2008, hal 6.


1

2

dengan masyarakat Indonesia dan menjadikannya bagian dari budaya hukum di
Indonesia. Lembaga ini selalu dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia terutama yang
berhubungan erat dengan ajaran agama Islam.
Setelah Indonesia merdeka, perubahan yang terjadi pada Peradilan Agama terus
meningkat dengan dibentuknya Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946.
Departemen agama ini melakukan persatuan bagi seluruh lembaga-lembaga administrasi
Islam melalui sebuah badan yang bersifat nasional, seperti berlakunya UU No 22 Tahun
1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. (Abdul Halim, 2008 : 230) 3
Setelah lembaga Peradilan Agama diserahkan pada Departemen Agama, masih
ada usaha-usaha pihak tertentu untuk berusaha menghapuskan keberadaan Peradilan
Agama. Usaha yang pertama dilakukan melalui UU No 19 Tahun 1948 tentang Susunan
dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman, yaitu penyempurnaan atas isi UU No 7 Tahun
1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Isi UU
No 19 Tahun 1948 yang berusaha menghapuskan Peradilan Agama antara lain:
Pasal 6

Dalam Negara Republik Indonesia ada tiga lingkungan peradilan, yaitu;
1) Peradian Umum,
2) Peradilan Tata Usaha Negara dan
3) Peradilan Ketentaraan.
Pasal 35 ayat (2)
Perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukm yang hidup harus
diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya dan diperiksa oleh Pengadilan
Negeri, yang terdiri seorang Hakim yang beragama Islam, sebagai Ketua dan dua
orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas
usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman.4

Usaha yang kedua melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan
dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil. Dalam undang-undang tersebut dikeluarkannya
pasal untuk menghapuskan lingkungan adat dan lingkungan swapraja. Keberadaan
Peradilan Agama menurut undang-undang tersebut merupakan bagian dari peradilan
swapraja, terutama pada daerah-daerah selain Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan.5
Pasal tersebut tercantum pada pasal 1 ayat (2), yang berbunyi:
Pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman
dihapuskan :

a. Segala Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) dalam Negara
Sumatera Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara
3

Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia : Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2008, hal 230.
4
Undang-undang Nomor 19 tahun 1948
5
Abdul Gani Abdullah. Peradilan Agama dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan Bima (19471957). NTB : Yayasan Lengge, 2004, hal 20.

3

Indonesia Timur dahulu, kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut
hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Swapraja;
b. Segala Pengadilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd
gebied), kecuali Peradilan Agama jika peradilan itu menurut hukum yang
hidup merupakan satu bagian tersendiri dari peradilan Adat.6
Dalam undang-undang yang telah disebutkan di atas mengaku bahwa Peradilan

Agama juga berada dalam lingkungan peradilan adat
Pada tahun 1970, pemerintah mempertegas keberadaan Peradilan Agama dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal yang menegaskan keberadaan Peradilan Agama
yakni pada Pasal 10 ayat (1), yang berbunyi :
Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan;
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.7
Seluruh pengadilan tersebut di atas disejajarkan posisinya secara hukum dan
berinduk pada Mahkamah Agung serta kekuatan Peradilan Agama sama dengan
peradilan-peradilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Sementara itu, pada tanggal 28 Januari 1980 Menteri Agama melahirkan
keputusan Nomor 6 Tahun 1989 tentang penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan
Pengadilan Agama untuk peradilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama
untuk peradilan tingkat banding.

C. Substansi Perdebatan Peradilan Agama di DPR
Usaha untuk menyiapkan RUU PA sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1971

oleh Menteri Agama KH. Moh. Dahlan dengan surat tertanggal 31 Agustus 1971 No
MA/242.1971 yang mengemukakan urgensi UU Peradilan Agama.8 jawaban Menteri
Kehakiman atas surat Menteri Agama bahwa proses penyampaian RUU tentang acara
Peradilan Agama sebaiknya menunggu selesainya RUU tentang Peradilan Umum dan
RUU tentang Mahkamah Agung.
Pemerintah mengajukan RUUPA melalui Departemen Kekuasaan Kehakiman
yang di back-up secara penuh oleh Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara
dengan moril dan materiil. Pada saat masa jabatan Menteri Agama Alamsjah berakhir,
kebijakan tersebut dilanjutkan oleh Menteri Agama Munawir Sjadzali.
Langkah konkrit yang dilakukan adalah sebagai berikut :
6

Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1951
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
8
Zuffran Sabrie (Editor). Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Diolog tentang
RUUPA). Tangerang : PT Logos Wacana Ilmu, 2001, hal
7

4


Pertama, membentuk tim kerja penyusunan naskah akademis. Kedua, tim inti
pembahasan dan penyusunan RUU tentang Peradilan Agama yang diketuai oleh ketua
muda Urusan Lingkungan Peradlan Agama Mahkamah Agung RI, Bustanuh Arifin.
Ketiga, panitia antar Departemen dan Pengurus Tinggi tim penyusunan RUU tentang
Acara Peradilan Agama. Keempat, tim pembahasan dan penyusunan RUU tentang
Susunan dan Kekuasaan badan-badan Peradilan Agama. Dari tim-tim yang dibentuk ini
terlihat keterkaitan dan sinergi antara Departemen Kekuasaan Kehakiman, Departemen
Agama, BPHN, Perguruan Tinggi IAIN dan UI dalam menyusun dan membahas
RUUPA.
1. Konflik di Parlemen
Dalam proses pembuatan RUU PA negara merupakan pemeran yang Departeman
Kehakiman dan Departemen Agama. Dua departemen ini saling bahu membahu untuk
mengajukan RUU PA karena secara substansial RUU PA tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Kelompok pendukung utama RUU PA adalah pemerintah, FPP, ormas
Islam dan dukungan ulama.
Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) menjadikan Peradilan Agama sebagai salah
satu pilar dalam sistem pelaksana kekuasaan kehakiman. Wujud Peradilan Agama telah
dijumpai pada zaman raja-raja yang memeluk agama Islam di Indonesia. FPP mengutip
ucapan Soeharto yang menyatakan bahwa diajukannya RUU PA adalah sebagai

pelaksana atas Pancasila dan UUD 1945 dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Piagam Jakarta.9
Fraksi Karya Pembangunan (FKP) berpendapat bahwa pembentukan hukum
nasional harus dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945
yang merupakan hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat. FPP juga
sependapat dengan pemerintah untuk menyamakan dasar hukum keberadaan Peradilan
Agama di Indonesia, menyamakan susunan, kekuasaan serta penyebutan Peradilan
Agama yang sudah ada.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDI) memandang RUU PA ditinjau dari segi
disiplin hukum merupakan hukum yang sah dan berlaku dalam penegakan lembaga
hukum. Dan dari segi akademik merupakan tonggak lama yang menjembatani bagi yang
masih melanjutkan praktek-praktek diskriminasi yang membagi-bagi hukum sesuai
dengan agama, suku dan golongan orang, sehingga yang demikian tersebut belum
merupakan hukum nasional yang dicita-citakan.
Substansi perdebatan dalam penyusunan RUUPA lebih memfokuskan pada
masalah yang menyangkut eksistensi Peradilan Agama yang berkaitan dengan Negara
Agama (Islam) dan Piagam Jakarta, dan menyangkut masalah mengenai substansi
Peradilan Agama yakni masalah kekuasaan dan kewenganan. Berikut tabelnya :
Substansi Konflik dan Kontroversial mengenai RUUPA


9

Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia : Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2008, hal 239.

5

No
Versi Penentang RUUPA
Versi Fraksi-Fraksi Pemerintah
1. RUUPA
berkaitan
dengan Tidak ada kaitan antara RUUPA dengan
piagam Jakarta dan Negara Piagam Jakarta dan pembentukan Negara
Islam
Islam. Penyusunan RUUPA ini tidak hanya
dilakukan oleh Depag, tetapi kerjasama dengan
Depkeh dan MA dan kehendak sejarah yang
tidak akan mengganggu penganut agama lain.

Penegakan hukum perdata Islam hanya tertentu
pada perkara tententu bukan seluruh syariat
Islam.
Soeharto menjamin bahwa tidak akan ada yang
berkaitan RUUPA dengan Piagam Jakarta dan
Negara Islam
2. Negara
dengan
agama Dalam negara Indonesia yang berdasarkan
mempunyai otoritas otonom, Pancasila dan UUD 1945, posisi agama
salah satunya tidak boleh mendapatkan tempat yang baik, naum bukan
campur tangan terhadap orang menjadi negara agama.
lain.
3. Pengakuan oleh negara terhadap RUUPA disusun dan diajukan sebagai
eksistensi Peradilan Agama
pelaksanaan Pasal 10 ayat (1) UU No.14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
4. RUUPA berlawanan dengan “Satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya
prinsip kesatuan hukum yang ada satu hukum nasional yang mengabdi

sudah ada di Indonesia, yang kepada
kepentingan
nasional”
yang
meliputi
prinsip
kesatuan, diamanatkan GBHN. Satu kesatuan hukum
wawasan nusantara, berlawanan nasional diartikan saru sistem hukum nasional.
dengan negara Pancasila, bahkan Dalam sistem hukum nasional tersebut terdapat
dinyatakan bersifat diskriminatif berbagai sub sistem hukum nasional.
karena RUUPA itu dikhususkan
bagi orang-orang Islam di
Indonesia.
5. Judul
RUUPA
dapat Judul RUUPA itu secara yuridis formal sudah
menimbulkan diskriminasi di tercantum dalam UU No.14 Tahun 1970
bidang hukum dan bertentangan tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
dengan amanat GBHN yang Kehakiman yang menjadi sumber Peradilan
menghendaki unifikasi hukum.
Agama. Unifikasi hukum yang berpijak pada
wawasan nusantara dan asas Bhineka Tunggal
Ika mengakui adanya kemungkinan perbedaan
dalam
kesatuan.
Sedangkan
mengenai
muatannya yang berlaku khusus bagi golongan
rakyat tertentu diatur dalam batang tubuh.
Pemaknaan terhadap unifikasi tidak hanya
melihat butir 1E (GBHN), tetapi dalam butir

6

5.

Masalah
pilihan
Hukum
(Rechtskeuzer). Apakah PA akan
diserahi
wewenang
mutlak
menyelesaikan
perkara
perkawinan, kewarisan, hibah,
wasiat, wakaf dan sedekah bagi
mereka yang beragama Islam.
Apakah mereka akan diberi
keleluasaan untuk melakukan
pilihan hukum dan apakah
Rechtskeuzer hanya berlaku
untuk bidang kewarisan, hibah
dan wasiat saja ?

2B (GBHN) tentang budaya indonesia yang
beragam menjadi kekayaan kita. Tidak tepat
jika satu hukum nasional diartikan hanya
menjadi
satu
hukum,
karena
akan
menyebabkan terjadinya pemaksaan hukum
yang bertentangan dengan kesadaran hukum
masyarakat.
PA bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di biidang:
a. Perkawinan
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang
dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan sedekah.

Substansi Konflik dan Kontroversial mengenai RUUPA ini adalah sebagian dari
persoalan yang dipermasalahkan dalam pembahasan di DPR dan dipertanyakan di
tengah-tengah masyarakat. Sedangkan dalam pembahasan ini tidak diurai secara rinci.10
2. Konflik di Luar Parlemen
Penyampaian RUUPA pada tanggal 28 Januari 1989, banyak pihak yang
menyampaikan tanggapan pro dan kontra mengenai eksistensi dan substansi Peradilan
Agama. Dalam pengajuan RUUPA secara politis tidak mendapat tantangan berat,
terutama dari pemerintah, Golkar dan ABRI, sedangkan kelompok penentang berasal
dari kelompok non Muslim, seperti KWI dan aktifis intelektual Katolik dan Protestan. 11
Kelompok penentang ini dikatagorikan menjadi 3, yaitu; pertama, kelompok yang
menganggap bahwa Peradilan Agama tidak diperlukan lagi karena akan ada dualisme
dalam sistem peradian di Indonesia. Dan juga Peradilan Agama juga tidak mempunyai
kebebasan untuk mengimplementasikan kompetensinya karena mereka ingin Peradilan
Agama berada sebagai sub dari peradilan umum. Kelompok kedua, mereka
menginginkan dibubarkannya Peradilan Agama. Menurut mereka bahwa seharusnya
umat Islam mengurus sendiri hukum Islam yang mereka anut dan tidak ada campur
10

Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia : Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2008, hal 244.
11
Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia : Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2008, hal 245.

7

tangan dari negara. Kelompok ketiga, bukan hanya menolak diajukannya RUUPA oleh
pemerintah, tapi juga menolak keberadaan Peradilan Agama, seperti Franz Magnis
Suseno. 12
Franz Magnis Suseno adalah seorang anggota dari suatu ordo keagamaan
(Katolik). Ordo keagamaan tersebut didirikan oleh Ignace de Loyala pada tahun 1534.
Ordo didirikan untuk meng-Katolik-kan kembali orang-orang yang murtad dan untuk
berkhidmat kepada Katolik secara umum. 13
Menurut Franz Magnis dalam buku Peradilan Agama dalam Wadah Negara
Pancasila Dialog tentang RUUPA, menganggap bahwa apabila RUUPA diundangkan,
berarti sebagian materi peradilan dalam masyarakat Indonesia diserahkan kepada pihak
non-negara. Dan beranggapan pula bahwa RUUPA secara formal didasarkan atas satu
negara saja, sehingga dapat ditafsirkan bahwa adanya pembatasan keberlakuan yakni
untuk agama Islam saja. Negara Indonesia tidak hanya memiliki satu agama saja,
melainkan beberapa agama. Apabila negara mengambil salah satu agama untuk
diundang-undangkan, maka kedudukan negara dalam pandangan agama justru semakin
melemah dan menjadikan agama di atas negara. Maka perundangan yang memuat
pandangan satu agama saja dengan sendirinya memperlemah kedaulatan, wibawa dan
kekuasaan negara terhadap seluruh rakyat, baik yang beragama lain, maupun yang
seagama dengan yang menjadi undang-undang tersebut.14

Pengajuan RUUPA ke DPR tidaklah lepas dari pro dan kontra seperti yang telah
disebutkan di atas. Akan tetapi, Menteri Agama dalam keterangannya menerangkan
bahwa kehadiran RUUPA bukanlah karena penduduk Indonesia mayoritas menganut
agama Islam sebab dalam UUD dan Pancasila tidak mengenal mayoritas dan minoritas.
Kehadiran Peradilan Agama benar-benar diperlukan umat Islam di Indonesia
semata-mata karena kehendak sejarah dan tidak akan mengganggu kepentingan agama
lain.
(Zuffran Sabrie, 2001 : 253)

12

Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia : Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2008, hal 128.
13
Zuffran Sabrie (Editor). Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Diolog tentang
RUUPA). Tangerang : PT Logos Wacana Ilmu, 2001, hal 51.
14
Zuffran Sabrie (Editor). Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Diolog tentang
RUUPA). Tangerang : PT Logos Wacana Ilmu, 2001, hal 31.

8

D. Peradilan Agama dalam Sistem Kekuasaan Peradilan di Indonesia
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara
hukum. Salah satu prinsip negara hukum adalah menjamin penyelenggaraan kekuasaan
Kehakiman yang bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya guna menegakkan hukum dan
keadilan, maka dari itu dibuatlah undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang telah diperbaharui sebanyak dua
kali, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 diperbaharui menjadi Undang-undang
Nomor 35 Tahun 1999 dan yang terbaru Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini telah meletakkan
kebijakan bahwa segala urusan pengadilan baik menyangkut teknis yudisial maupun
urusan organisasi, administrasi dan finansial berada di bawah satu atap di bawah
Mahkamah Agung. ( Basiq Djalil, 2006 : 13)
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman merupakan titik awal pembaharuan
Peradilan Agama, yaitu mempertegas keberadaan lembaga Peradilan Agama. Peradilan
Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berada dalam
naungan Kekuasaan Kehakiman yang disejajarkan posisinya dengan yang lainnya. Akan
tetapi, Peradilan Agama memiliki kekhususan dalam cakupan wewenangnya meliputi
perkara-perkara tertentu atas golongan rakyat tertentu. Perkara-perkara tertentu tersebut
yaitu perkara perdata di bidang perkara perkawinan, kewarisan, hibah, wasiat, wakaf
dan sedekah berdasarkan hukum Islam. Adapun golongan rakyat tertentu adalah orangorang yang beragama Islam.
Berkenaan dengan kekhususan tersebut, maka asas-asas yang diterapkan peradilan
di lingkungan Peradilan Agama secara umum mengacu pada asas-asas yang berlaku di
semua peradilan. Namun sesuai spesifikasi yang sesuai dengan ruang lingkup badan
peradilan tersebut. Asas-asas peradilan tersebut merupakan fundamen dalam menegakan
hukum dan keadilan di Indonesia sebagai pelaksana dari Kekuasaan Kehakiman.15
Setelah berbagai macam perdebatan saat pengajuan RUUPA pada tanggal 28
Januari 1989, tapi protes dan reaksi ini berhenti setelah Soeharto menjamin bahwa
pengundangan RUU Peradilan Agama tidak ada kaitannya dengan upaya menghidupkan
kembali Piagam Jakarta. Sikap Soeharto ini melahirkan Undang-undang Nomor 1989
tentang Peradilan Agama. Dalam hal ini, diakui bahwa Soeharto mempunyai jasa yang
cukup besar terhadap lahirnya Undang-undang Peradilan Agama.
Alasan diterimanya UU ini di lapisan masyarakat karena secara historis, jauh
sebelum Indonesia merdeka telah ada pengadilan agama. Bahkan pada masa
pemerintahan Hindia Belanda sudah diakui keberadaannya. Alasan historis menjadi
bahan pertimbangan bahwa UU Peradilan Agama perlu dijadikan dasar hukum. Alasan
kedua yaitu secara sosiologis, rakyat Indonesia mayoritas menganut agama Islam
terbesar di dunia. Masyarakat yang beragama Islam harus mematuhi syari’at Islam dari
berbagai aspek kehidupan, maka dari itu perlunya undang-undang mengenai syari’at
Islam. Alasan ketiga yaitu secara yuridis, sebagaimana yang telah disebutkan dalam UU
No 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Peradilan Agama merupakan
15

162.

Cik Hasan Bisri. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2000, hal

9

salah satu dari empat lingkungan Kekuasaan Kehakiman. Setiap peradilan harus
memiliki UU sendiri. Dan alasan yang terakhir yaitu secara politis, pemerintah
berkewajiban menyalurkan aspirasi dan memenuhi kebutuhan hukum untuk rakyatnya
melalui jalur-jalur konstitusional.16
Pengesahan Undang-undang Peradilan Agama merupakan peristiwa yang bukan
hanya penting bagi pembangunan perangkat hukum nasional juga bagi masyarakat
Islam di Indonesia khususnya. Sebab setelah disahkannya undang-undang tersebut,
maka semakin mantplah kedudukan lembaga Peradilan Agama sebagai salah satu badan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang menegakan hukum berdasarkan hukum Islam.
Dengan undang-undang ini, pemeluk agama Islam di Indonesia diberi kesempatan untuk
menaati hukum Islam yang menjadi hukum mutlak agamanya seperti perkara perkara
perdata di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah.
Undang-undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan diundang-undangkan
terdiri dari VII bab, 108 pasal, dengan sistematik dan garis-garis besar sebagai berikut ;
Bab I tentang ketentuan umum, Bab II sampai Bab III mengenai susunan dan kekuasaan
Peradilan Agama, Bab IV tentang hukum acara, Bab V tentang ketentuan-ketentuan lain,
Bab VI ketentuan peralihan dan Bab VII tentang ketentuan penutup. 17
Seiring berjalannya waktu, adanya amandemen atas Undang-undang Peradilan
Agama. Inisiatif pengajuan perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama mendapat respon positif dari pemerintah. Dasar yang menjadi bahan
pertimbangan adalah
a. Untuk menyesuaikan dengan UUD 1945 dengan UU kekuasaan Kehakiman.
b. Untuk memantapkan dan menegaskan kedudukan peradilan agama termasuk
mengenai organisasi, administrasi dan finansial dari semua lingkungan
peradilan kepada Mahkamah Agung
c. Peradilan Agama sebagaimana di atur dalam UU No 7 Tahun 1989 sudah tidak
lagi sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat dan perkembangan sistem
peradilan di Indonesia,
Selain itu, perluasan kewenangan absolut juga ditambahkan dalam perubahan atas
UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni tidak hanya berkompetensi untuk
memeriksa dan mengadili perkara yang berkenaan dengan hukum perkawinan, waris,
wasiat, wakaf, zakat, infaq dan sedekah seperti selama ini berlaku, tetap juga
menyelesaikan sengketa dalam sistem ekonomi syari’ah.
Setelah melalui proses pembahasan RUU tentang Perubahan Atas UU No 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, DPR RI menyetujui diundangkannya UU No 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada
tanggal 20 Maret 2006.18
16

Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia : Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2008, hal 245.
17
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam :Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, 2009, hal 283.
18
Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia : Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik
Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2008, hal 395.

10

Dengan perluasannya kewenangan lembaga Peradilan Agama

Kesimpulan
Dalam penyusunan RUUPA tidak lepas dari pro dan kontra. Kelompok pendukung
utama RUU PA adalah pemerintah, FPP, ormas Islam dan dukungan ulama. Kelompok
penentang dikatagorikan menjadi 3, yaitu; kelompok yang menganggap bahwa
Peradilan Agama tidak diperlukan lagi karena akan ada dualisme dalam sistem peradian
di Indonesia. Kelompok yang menginginkan dibubarkannya Peradilan Agama. Menurut
mereka bahwa seharusnya umat Islam mengurus sendiri hukum Islam yang mereka anut
dan tidak ada campur tangan dari negara. Dan kelompok yang bukan hanya menolak
diajukannya RUUPA oleh pemerintah, tapi juga menolak keberadaan Peradilan Agama.
Disahkannya dan diundang-undangkan RUUPA menjadi UU No 7 Tahun 1989
dengan alasan secara historis, jauh sebelum Indonesia merdeka telah ada pengadilan
agama. Karena pada masa pemerintahan Hindia Belanda sudah diakui keberadaannya.
secara sosiologis, perlunya undang-undang mengenai syari’at Islam karena rakyat
Indonesia mayoritas menganut agama Islam terbesar di dunia. Secara yuridis,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam UU No 14 Tahun 1970 bahwa Peradilan
Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan Kekuasaan Kehakiman. Setiap
peradilan harus memiliki UU sendiri. Secara politis, pemerintah berkewajiban
menyalurkan aspirasi dan memenuhi kebutuhan hukum untuk rakyatnya melalui jalurjalur konstitusional.

11

Daftar Pustaka
Basiq Djalil. Peradilan Agama di Indonesia : Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum
Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) dalam rentang sejarah bersama Pasang Surut
Lembaga Peradilan Agama hingga Lahirnya Peradilan Syari’at Islam Aceh.
Jakarta : Kencana, 2006.
Departemen Agama RI. Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Perkembangan
Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-undangnya. 2001.
Erfaniah Zuhriah. Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang
Surut. Malang : UIN-Malang Press, 2008.
Zuffran Sabrie (Editor). Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Diolog
tentang RUUPA). Tangerang : PT Logos Wacana Ilmu, 2001.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta
: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia : Kajian Posisi Hukum Islam dalam
Politik Hukum Pemerintahan Orde Baru dan Era Reformasi. Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama RI, 2008.
Cik Hasan Bisri. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2000.
Abdul Gani Abdullah. Peradilan Agama dalam Pemerintahan Islam di Kesultanan
Bima (1947-1957). NTB : Yayasan Lengge, 2004.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam :Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers, 2009, hal 283.

Undang-undang Nomor 19 tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Kehakiman.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara
Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilanpengadilan Sipil.