Ambivalensi Pemerintah Tiongkok terhadap hukum

AMBIVALENSI PEMERINTAH TIONGKOK
TERHADAP KEBIJAKAN KONTROL INFORMASI:
PENINGKATAN OPINI PUBLIK SECARA DARING DAN DAMPAK POLITIKNYA
Helmi Akbar Danaparamitha
071311233071
Globalisasi dan Masyarakat Informasi
Desember 2016
Abstrak
Selama lebih dari 30 tahun, para pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah
memonopoli berbagai informasi yang merambah ke ranah publik. Sejak diperkenalkannya
Internet di Tiongkok, PKT dan pemerintah Tiongkok telah menunjukkan ambivalensi
terhadap efek dari kekuatan baru dalam masyarakat Tiongkok: di satu sisi, Internet akan
membantu melontarkan Tiongkok menuju jajaran negara-negara berteknologi maju; namun di
sisi lain, Internet memfasilitasi perluasan ruang bagi diskusi urusan publik sehingga
menciptakan sebuah ruang bagi masyarakat sipil untuk mendorong batas kebebasan asosiatif
dan komunikatif. Peningkatan opini publik secara daring menunjukkan bahwa PKT dan
pemerintah Tiongkok tidak lagi mampu mempertahankan kontrol mutlak terhadap media
massa dan informasi. Masyarakat Tiongkok menjadi semakin transparan dengan nilai-nilai
yang lebih pluralistik. Internet telah menjadi tempat bagi partisipasi warga dalam urusan
publik: menciptakan lebih banyak informasi dan keterlibatan publik dan meningkatkan
tuntutan publik terhadap pemerintah. Rezim otoriter PKT terus belajar untuk menjadi lebih

responsif dan adaptif di lingkungan yang baru ini. Kompromi, negosiasi, dan perilaku
perubahan aturan baru sebagai respon rezim dalam menghadapi tantangan ini mulai terlihat,
menunjukkan kemungkinan pemerintahan yang lebih terbuka dan akuntabel dengan
partisipasi lebih dari warga negara. Dilihat dari perspektif ini, Internet mampu menjadi katalis
dalam transisi sosial dan politik.
Kata kunci: Partai Komunis Tiongkok, ambivalensi, kontrol informasi, Internet, opini publik
Abstract
Over the past 30 years, the leaders of the Chinese Communist Party (CCP) have relinquished
their monopoly over the information reaching the public. Since the introduction of the
Internet in China, the CCP and Chinese government have shown ambivalence toward its

effects as a new force in Chinese society: on the one hand, the Internet would help catapult
the country into the ranks of technologically advanced nations; but in the other hand, the
Internet facilitates the expanded space for discussion of public affairs thus created a space
for civil society to push the boundaries of associative and communicative freedoms. The rise
of online public opinion shows that the CCP and government can no longer maintain
absolute control of the mass media and information. China is becoming an increasingly
transparent society with more pluralistic values. The Internet has become a training ground
for citizen participation in public affairs: it creates a more informed and engaged public and
increases the public’s demands on government. The CCP’s authoritarian regime is learning

to be more responsive and adaptive in this new environment. We are starting to see new
compromise, negotiation, and rule-changing behaviors in the regime’s response to this
challenge, indicating the possibility of more open and accountable governance with greater
citizen participation. From this perspective, the Internet is in fact catalyzing social and
political transition.
Keywords: Chinese Communist Party, ambivalence, information control, Internet, public
opinion
Pembahasan artikel ini diawali dengan ledakan pertumbuhan akses dan penggunaan
Internet di kalangan masyarakat Tiongkok, kemudian bergeser ke pengenalan metode
pemerintah Tiongkok yang berupaya mengontrol konten online dan arus informasi, hingga
membahas mengenai ambivalensi pemerintah Tiongkok terhadap kebijakan kontrol
informasi. Pada akhirnya, penulis mengklaim bahwa Internet hanya digunakan sebagai “katup
pengaman” bagi ketidakpuasan publik dan penulis juga berpendapat bahwa ekspansi Internet
dan media berbasis online telah mengubah aturan permainan antara pemerintah Tiongkok
dengan masyarakatnya. Pemerintah semakin memperhatikan dan merespon opini publik yang
diunggah secara online. Penulis menyimpulkan dengan berargumen bahwa tren ini
kemungkinan akan terus berlanjut, dengan pembentukan opini publik secara online
memainkan peran penting dalam pengembangan masa depan masyarakat Tiongkok
The Rise of the Internet
Manuel Castells (1996: 383) dalam artikel yang berjudul The Culture of Real

Virtuality berasumsi bahwa terhitung semenjak tahun 1990-an, terdapat jutaan jaringan
komputer di seluruh dunia hingga menyentuh seluruh spektrum komunikasi antar manusia.
Hal yang menghubungkan jutaan jaringan komputer tersebut tidak lain adalah Internet.

Internet memperkenankan kelompok-kelompok kepentingan dengan proyek-proyek tertentu
untuk eksis sehingga memunculkan sistem komunikasi yang kian interaktif dan dikenal
dengan istilah CMC (Computer Mediated Communication). CMC pada awalnya merupakan
sistem jaringan antar kampus dalam skala internasional, yang kemudian sistem tersebut
diadopsi pada berbagai perusahaan juga institusi yang pada akhirnya menjadi suatu
mainstream dalam lingkup masyarakat (Castells, 1996: 383-4). Proses formasi dan
pembauran CMC atas masyarakat tersebut lah yang kemudian mampu membentuk pola baru
dalam komunikasi.
Sejak diperkenalkannya penggunaan akses Internet di Tiongkok, Partai Komunis
Tiongkok (PKT) telah menunjukkan ambivalensi terhadap efek dari kekuatan baru dalam
masyarakat Tiongkok (Shirk, 2011: 204). Di satu sisi, PKT memandang adopsi dan ekspansi,
baik Internet atau pun teknologi informasi dan komunikasi, sebagai bagian penting dari
proses pembangunan ekonomi negara, serta telah secara aktif mendukung berbagai proyek ecommerce dan e-government. Terhitung akhir 2009, jumlah pengguna Internet di Tiongkok
sebanyak 384 juta penduduk dan terus meningkat ke angka 688 juta di akhir 2015 (Central
Intelligence Agency, n.d.). Dengan tidak kurang dari 53 juta pengguna Internet baru dalam
kurun waktu enam bulan, berdasarkan data dari China Internet Network Information Center

(CNNIC), tidak mengherankan apabila Tiongkok menjadi negara dengan pengguna Internet
terbesar di dunia. Merujuk pada statistik tahun 2010 CNNIC (dalam Tai, 2006: 172), sekitar
70,6 persen pengguna Internet di Tiongkok berusia di bawah 30 tahun dan 60 persen di
antaranya berusia di bawah 25 tahun. Populasi Internet Tiongkok juga relatif berpendidikan,
dengan lebih dari 40 persen berstatus mahasiswa. Tingkat edukasi pengguna Internet
kemudian menjadi tingkat acuan partisipasi public affairs secara online.
Online Censorship
Peran Internet sebagai alat komunikasi sangat lah berarti di Tiongkok, yang mana
sebelumnya

warga

negara

Tiongkok

hampir

tidak


memiliki

kesempatan

untuk

mengekspresikan diri dan mengakses informasi yang tidak bersensor. Kebebasan akses
melalui Internet ini terus berkembang terlepas dari kontrol ketat PKT terhadap media. Tiga
karakter dasar Tiongkok kuno disebut Shirk (2011: 206) mampu menjelaskan dinamika antara
PKT dengan Netizen dalam urusan cyberspace atau ruang maya Tiongkok: feng (“block” atau
censorship); shai (“place under the sun” atau reveal); dan huo (“fire” atau information
cascade). Kontrol informasi telah menjadi bagian penting dari strategi pemerintahan PKT
sejak Republik Rakyat Tiongkok (RRT) didirikan pada 1949. PKT telah memonopoli

kekuatan politik dan mengontrol seluruh elemen media massa, dari surat kabar dan majalah
hingga saluran televisi dan stasiun radio, untuk menjadikan mereka sebagai “corong Partai”
(Scotton & Hachten, 2010: 28).
Pemerintah Tiongkok telah menggunakan strategi berlapis untuk mampu mengontrol
konten online dan memonitor aktivitas online pada seluruh tingkat layanan Internet.
Pemerintah menerapkan jaringan kompleks dalam hal regulasi, pengawasan, hukuman

penjara, propaganda dan pemblokiran ratusan ribu website internasional pada level gateway
nasional, yang dikenal dengan sebutan “Great Firewall” (Scotton & Hachten, 2010: 28).
Beberapa badan politik ditugaskan untuk bertanggung jawab terhadap konten Internet,
termasuk Propaganda Department yang menjamin bahwa media dan konten budaya
mengikuti aturan resmi yang diamanatkan PKT, serta State Council Information Office
(SCIO) yang terus mengawasi seluruh website yang mempublikasikan segala macam berita
(Scotton & Hachten, 2010: 29). Propaganda Department dan SCIO bertanggung jawab dalam
membuat instruksi censorship dan memberikan denda, mengancam atau bahkan menutup
outlet media yang merilis informasi yang tidak seharusnya dipublikasikan. Sebagai contoh
nyata telah ditetapkan aturan pemberian denda sebesar 50.000 hingga 100.000 Yuan bagi
laporan pemberitaan tidak resmi termasuk dalam hal wabah penyakit, bencana alam,
permasalahan sosial dan public emergencies lainnya.
Pada 2006, komunitas internasional mulai memperhatikan peningkatan kontrol media,
terutama online, pemerintah Tiongkok yang menjadi lebih ketat. Sejak akhir 2005 terdapat
beberapa laporan (dalam Qinglian, 2008: xiii) mengenai “pembersihan” beberapa outlet
media online Tiongkok, seperti Xinjingbao (Beijing News) yang dipaksa untuk menghentikan
siaran, Zhongguo Qingnianbao (China Youth Daily) ditutup, kepala editor Gongyi Shibau
(Public Interest Times) diganti, Shenzhen Fazhi Bao (Shenzhen Legal Daily) ditutup, dan
website dari majalah Baixing (People) juga ditutup sementara. Meskipun latar belakang dari
setiap penutupan berbeda, secara bersamaan penutupan tersebut merepresentasikan gambaran

suram dari “penyerangan” pemerintah Tiongkok terhadap pihak media. Lingkungan media
Tiongkok dianggap He Qinglian (2008: xiii) masih tetap terbatas untuk berita asing maupun
domestik meskipun Tiongkok berhasil menyelenggarakan Olimpiade 2008 dan mendapatkan
perhatian dunia internasional.
Penyaringan kata kunci melalui topik politik sensitif yang otomatis tersensor saat
diunggah, menjadi salah satu taktik kunci pemerintah untuk mampu mengontrol konten
online. Sebuah daftar yang diperoleh dari China Internet Project di Berkeley (dalam Shirk,
2011: 207) menemukan bahwa lebih dari 1.000 kata, termasuk dictatorship, truth, dan riot

police, secara otomatis dilarang dalam forum online Tiongkok. Konten terlarang, termasuk
berbagai daftar kata kunci yang telah tersaring, tidak dibuat eksplisit oleh sensor. Strategi
utama pemerintah dalam memebentuk konten adalah dengan menuntut penyedia akses dan
layanan Internet untuk bertanggung jawab terhadap tingkah laku pelanggannya, sehingga
para operator bisnis tidak memiliki banyak pilihan selain secara aktif melakukan sensor
terhadap konten dalam situsnya. Regulasi yang ditetapkan oleh Guangdong Provincial
Communications Administration State, yang menyatakan “The system operator will be
responsible for the contents of his/her area, using technical means as well as human
evaluation to filter, select, and monitor”, menjadi contoh nyata strategi pemerintah dalam
membentuk konten online (Shirk, 2011: 207).
Pemilik bisnis biasa menggunakan kombinasi dari pertimbangan mereka sendiri dan

instruksi langsung dari dinas propaganda untuk menentukan konten apa yang harus dilarang.
Instruksi baik dari SCIO atau pun dinas propaganda tingkat provinsi lain selalu diberikan
kepada penyedia akses dan layanan Internet setidaknya tiga kali sehari (Scotton & Hachten,
2010: 29). Tidak berhenti di situ, human monitor dipekerjakan, baik oleh pihak website
maupun pemerintah Tiongkok, untuk secara manual membaca dan menyensor seluruh konten
yang akan diunggah. Website dalam negeri Tiongkok akan mendapatkan peringatan atau
bahkan ditutup paksa apabila mereka melanggar peraturan-peraturan konten yang dapat
diterima, dan pengguna Internet individu yang mengunggah atau menyebarluaskan informasi
yang dianggap berbahaya oleh pihak berwenang akan diancam, diintimidasi, atau bahkan
dipenjara (Scotton & Hachten, 2010: 30). Puluhan ribu website luar negeri yang mampu
menghubungkan Internet Tiongkok dengan jaringan global pun tidak luput dari usaha
pemblokiran.
Ketika Hu Jintao selaku Presiden Republik Rakyat Tiongkok berbicara kepada
Politburo Komite Sentral PKT pada 23 Januari 2007, menyerukan pihak berwenang dalam
pemerintahan untuk meningkatkan teknologi, kontrol konten, dan keamanan jaringan yang
digunakan untuk memonitor Internet. Hu Jintao menyatakan “Whether we can cope with the
Internet is a matter that affects the development of socialist culture, the security of
information, and the stability of the state” (Shirk, 2011: 207-8). Hingga Kongres Nasional
PKT September 2007, pemerintah Tiongkok telah menutup beberapa pusat data Internet,
yang mana setiap penyedia layanan memiliki ratusan atau ribuan website. Tahun 2007 juga

menunjukkan peresmian dari dua figur animasi kartun, Jingjing dan Chacha – berasal dari
kata jingcha, kata Mandarin yang berarti polisi – yang selalu muncul pada layar pengguna
Internet pada beberapa website, termasuk Sina.com sebagai portal berita terbesar di

Tiongkok, dan Tianya.cn sebagai salah satu komunitas online terbesar di Tiongkok (Shirk,
2011: 208). Hal ini menyediakan tautan bagi polisi Internet, yang mana para pembaca dapat
melaporkan segala informasi ilegal yang mereka temukan. Seorang petugas polisi asal
Shenzhen menjelaskan penggunaan Jingjing dan Chacha kepada China Youth Daily (dalam
Shirk, 2011: 208) sebagai berikut;
“The Internet police have existed for a long time. This time we publish the image of Internet
Police in the form of a cartoon, to let all Internet users know that the Internet is not a place
beyond the law. The Internet Police will maintain order in all online behavior. The main
function of Jingjing and Chacha is to intimidate, not to answer questions”.

Di tahun 2008, kontrol Internet terus diperketat sebagai usaha pemerintah Tiongkok
untuk menghadirkan imej harmonis kepada dunia selama Olimpiade Beijing. Sejak awal
2009, pemerintah Tiongkok telah meningkatkan sistematika kontrol terhadap Internet. Shirk
(2011: 208-9) memaparkan empat kasus sebagai contoh nyata, yakni: (1) Pada 5 Januari
2009, SCIO, Kementerian Teknologi Industri dan Informasi, Kementerian Keamanan Publik,
Kementerian Kebudayaan, dan tiga kementerian lain bekerjasama menetapkan kampanye

antivulgarity yang ditujukan kepada seluruh mesin pencarian, penyedia layanan website, dan
komunitas online. Antivulgarity diartikan secara luas tidak hanya pornografi, namun juga
kata-kata kotor, ekspresi slang, dan imej yang secara sosial politik tidak dapat diterima.
Merujuk pada laporan resmi media Tiongkok, ribuan website telah ditutup sebagai bagian
dari kampanye ini; (2) Dalam persiapan peringatan 20 tahun pembunuhan massal 4 Juni di
Tiananmen Square, banyak website yang ditutup sementara dengan alasan “technical
maintenance”. Layanan website luar negeri yang cukup terkemuka seperti Twitter, Flickr,
Wikipedia, Bing, Hotmail, dan Facebook diblokir selama periode ini; (3) Pada bulan Juni,
Kementerian Teknologi Informasi memperkenalkan rencana untuk melakukan instalasi
perangkat lunak penyaringan kepada seluruh komputer yang diproduksi dan dijual di
Tiongkok terhitung 1 Juli. Setelah mendapat protes publik, rencana ini kemudian dibatalkan;
(4) Sebagai akibat kekerasan di Urumqi, Xinjiang, pada 5 Juli, Twitter diblokir di seluruh
penjuru Tiongkok. Kecuali beberapa situs resmi pemerintah, Internet di Provinsi Xinjiang
tetap tidak difungsikan hingga Mei 2010. Secara bersamaan, agenda tersebut di atas secara
jelas mendemonstrasikan determinasi pemerintah Tiongkok untuk mempertahankan dominasi
di ruang maya.

Digital Resistance
Sifat fana, anonimus, dan jaringan komunikasi Internet membatasi dampak yang
ditimbulkan dari kehadiran sensor konstan. Selain itu, sejumlah faktor sebagaimana disebut

Shirk (2011: 210) menjadikan pekerjaan sensor sangat menakutkan. Pertama, bahwa Internet
merupakan sebuah bentuk komunikasi many-to-many yang hampir tidak memiliki batas dan
resiko penggunaan bagi siapa pun yang memiliki koneksi untuk mengakses dan memproduksi
informasi. Kedua adalah topologi jaringan itu sendiri. Ketika melihat Weblog sebagai bentuk
publikasi yang terisolasi, akan sangat mudah untuk menerapkan metode tradisional
pengendalian konten: menempatkan penerbit di bawah berbagai jenis kontrol editorial atau
self-censorship tidak lah susah. Namun ketika berkaitan dengan blogosphere dan seluruh
jaringan Internet dengan koneksinya, jutaan cluster yang tumpang tindih, komunitas selforganized, dan node-node baru yang terus tumbuh, kontrol total kemudian menjadi suatu hal
yang mustahil dilakukan.
Yochai Benkler, seorang peneliti Internet, menyatakan “In authoritarian countries, it
is also the absence of single or manageable small set of points of control that is placing the
greatest pressure on the capacity of the regimes to control their public sphere, and thereby to
simplify the problem of controlling the action of the population” (Shirk, 2011: 210). Dalam
kasus Tiongkok, sistem kontrol Internet pemerintah terutama ditujukan untuk menyensor
konten yang secara terbuka menentang atau menyerang peraturan PKT, atau bertentangan
dengan subjek tabu pemerintah seperti kekerasan 1989 di Tiananmen Square atau hubungan
Tiongkok dengan Tibet (Yong, 2013: 81). Tujuan terpenting dari dilakukannya sensor adalah
untuk mencegah distribusi informasi skala besar yang mampu mengantarkan pada tindakan
kolektif, terutama tindakan offline, seperti demonstrasi massa atau kampanye tanda tangan.
Di sisi lain upaya sensor dari pemerintah berimplikasi pada beragam hasil. Sistem
sensor yang bersifat intrusif telah menimbulkan kebencian di antara Netizen Tiongkok, yang
menginspirasi kemunculan bentuk baru resistensi sosial dan tuntutan kebebasan informasi
dan ekspresi yang lebih besar. Akibatnya Internet telah menjadi ruang kuasi publik yang
mana dominasi PKT terus dikritik dalam bentuk sindiran politik, lelucon, ejekan, dan lainlain (Shirk, 2011: 210). Terdapat sebuah persamaan jelas di antara perilaku seperti ini dan
“hidden transcript” sebagaimana dijelaskan ilmuwan politik, James Scott, dalam
mempelajari bagaimana kekuasaan mendistorsi komunikasi dalam masyarakat, yang mana
hukuman menjadi tidak pasti, sewenang-wenang, dan bergantung pada pengawasan secara
konstan (Shirk, 2011: 210).

Masyarakat Tiongkok telah lama dipenuhi dengan komunikasi kode yang biasa
menjadi perbincangan di kalangan swasta. Kini informasi tersebut tidak lagi hanya
disebarkan secara diam-diam, namun telah dikomunikasikan dan disebarluaskan secara
publik, dan seringkali dikumpulkan dalam suatu ruang jaringan. Sebagai contoh, semenjak
upaya sensor dilakukan di bawah slogan resmi “constructing a harmonious society”, para
Netizen telah mulai merujuk pada sensor konten Internet sebagai “being harmonized”. Lebih
lanjut, kata “to harmonize” dalam bahasa Mandarin, hexie, merupakan homonim dari kata
“kepiting sungai”. Dalam bahasa rakyat, kepiting mengacu pada pengganggu yang
menjalankan kekuasaan dengan kekerasan. Sehingga citra kepiting telah menjadi ikon
sindiran politik baru bagi Netizen yang telah muak dengan sensor pemerintah dan kini mereka
menyebut diri mereka sebagai “Masyarakat Kepiting Sungai” (Shirk, 2011: 210). Bahkan
pada mesin pencari yang paling ketat mendapatkan sensor pemerintah, Baidu.com, pencarian
frase “Masyarakat Kepiting Sungai” akan menghasilkan lebih dari 5.830.000 artikel.
“Information Wants to be Free”
Secara umum, Internet memungkinkan sejumlah besar informasi yang tidak mudah
diakses di Tiongkok untuk dapat terungkap. Mereka yang mampu mengakses Internet
mendapat kesempatan untuk mengakses berbagai sumber informasi dan memiliki kesempatan
untuk berkomunikasi dan mekspresikan diri pada isu-isu sosial dan politik. Steward Brand
(dalam Shirk, 2011: 211) menandai hal ini sebagai “information wants to be free”. Secara
bersamaan, interaksi antara teknologi informasi dan komunikasi dan media tradisional
membentuk sebuah dinamika yang menentang batas-batas sistem sensor yang ada dan juga
aparat media resmi. Ketika informasi disensor secara ketat pun, masih sering dapat ditemukan
jalan melalui celah-celah dalam sistem online untuk disebarkan di antara Netizen. Media dan
website luar negeri juga memainkan peranan penting dengan mempublikasikan informasi
yang disensor, yang kemudian seringkali didistribusikan ulang di Tiongkok oleh sekelompok
kecil “information brokers” yang paham bagaimana untuk menghindari Great Firewall.
Bahkan apabila berita tersebut tidak berhasil menembus media resmi, masih berdampak
kepada banyak orang yang semakin menyadari akan hal tersebut hingga membentuk ulang
persepsi mereka terhadap realitas sosial. Sementara sebagian besar surat kabar dan website
luar negeri yang menyediakan layanan berbahasa Mandarin – termasuk BBC, Radio Free
Asia (RFA), dan surat kabar berbasis Hong Kong atau Taiwan – yang diblokir oleh Great
Firewall, konten dari publikasi tersebut masih sering mampu menembus Tiongkok dan
kemudian disebarkan melalui papan buletin, masuk ke banyak surat elektronik pribadi, dan

saluran online lainnya (Shirk, 2011: 211). Publikasi ini, termasuk pemberitaan
pemberontakan, berita terkini Voice of America, dan peringatan berita luar negeri yang
berbahasa Mandarin, mampu menjangkau pembaca Tiongkok meskipun pemerintah telah
menggunakan teknologi penyaringan canggih.
The People’s Right to Know
Pertumbuhan penggunaan Internet secara drastis meningkatkan informasi yang
tersedia bagi masyarakat Tiongkok dan mempersempit kesenjangan informasi antara
pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah Tiongkok berjuang untuk mengeksploitasi
manfaat dari lingkungan informasi baru ini sekaligus mengurangi resikonya dalam
menumbangkan kekuasaan PKT. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kehadiran Internet
di dalam internal pemerintah sendiri, yang mana para pejabat ekonomi mendukung
keterbukaan sedangkan pejabat propaganda PKT memiliki preferensi terhadap kontrol
informasi. Akibatnya, kebijakan media Tiongkok merupakan sebuah campuran inkonsisten
dari peningkatan transparansi dan responsif di satu sisi, dan investasi besar besaran dalam
upaya sensor yang lebih efektif di sisi lain (Shirk, 2011: 32). Pertanyaan besar yang
kemudian muncul adalah apakah kebijakan seperti ini berimplikasi pada PKT yang
mendapatkan dukungan lebih atau justru menghasilkan upaya resistensi yang memiliki
konsekuensi revolusioner di masa depan. Terjadinya ledakan informasi telah meningkatkan
harapan masyarakat tentang seberapa banyak informasi yang berhak mereka dapatkan. Akses
terhadap berita tentang budaya populer, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan olahraga di
seluruh dunia telah terbuka lebar. PKT sendiri, dalam pidato dan regulasinya, telah mengakui
hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Sebut saja Chapter 2 Konstitusi RRT “The
Fundamental Rights and Duties of Citizens” yang menjabarkan dalam Artikel 35 mengenai
“kebebasan” bagi rakyatnya dengan menyebutkan “Citizens of the People’s Republic of
China enjoy freedom of speech, of the press, of assembly, of association, of procession and of
demonstration” (Shirk, 2011: 32). Hal ini tentu tidak sejalan dengan kontrol informasi yang
selama ini diterapkan di Tiongkok.
Sensor terhadap surat kabar, majalah, dan televisi sebagian besar tidak terlihat, namun
sensor terhadap Internet merupakan suatu hal yang jelas. Adanya “very visible hand” dari
sensor Internet dimaksudkan untuk mengintimidasi para pengguna dengan otoritas
“omnipresent” milik PKT; dua tokoh kartun, Jingjing dan Chacha, selalu muncul untuk
mengingatkan pengguna bahwa “mata” PKT terus mengawasi apa yang mereka baca dan apa
yang mereka tulis (Shirk, 2011: 33). Namun ketika pengguna melihat sepotong berita atau

sudut pandang kritis yang tiba-tiba menghilang, diikuti oleh beberapa postingan propemerintah, seperti yang terjadi selama penurunan kinerja Google, bukan mengungkapkan
kekuatan rezim melainkan kelemahannya; pengguna telah memahami jenis informasi
berbahaya seperti apa yang ditakuti PKT untuk menjadi pengetahuan umum. Berbagai bentuk
perlawanan, sebagai bentuk kebencian Netizen Tiongkok terhadap sensor pemerintah,
menimbulkan kemungkinan oposisi yang akan terjadi di masa depan. Sebuah cover-up yang
mengarah ke pengetatan kontrol media dan Internet selama krisis mampu memicu terhadap
upaya oposisi tersebut (Shirk, 2011: 33). Seruan revolusi Tiongkok di masa depan tidak
menutup kemungkinan mengenai “the people’s right to know”.
Citizen Mobilization
Mobilisasi kolektif dan organisasi atas berbagai isu yang menjadi perhatian bersama
menjadi area yang mana opini publik berbasis Internet memiliki potensi untuk membuat
dampak signifikan pada masyarakat dan ranah politik Tiongkok (Tai, 2006: 191). Sementara
pemerintah berusaha melumpuhkan masyarakat sipil dan organisasi sosial, berbagai
kelompok grassroot yang berkaitan dengan isu-isu sosial seperti melindungi lingkungan, hakhak perempuan, dan homoseksualitas bergantung pada Internet untuk mengatur dan
menyebarluaskan informasi (Tai, 2006: 200). Ruang diskusi urusan publik yang terus
diperluas oleh Internet telah menciptakan tempat tersendiri bagi masyarakat sipil untuk
mendorong batas-batas asosiatif dan kebebasan komunikatif. Namun lagi-lagi di sisi lain PKT
sebagai partai penguasa belum menunjukkan tanda-tanda menyerahkan monopolinya
terhadap kekuatan politik.
Mobilisasi dan protes secara online juga telah memberikan dampak di luar batas
negara Tiongkok, yang menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi citra internasional
dan diplomasi Tiongkok. Pada November 2009, dalam peringatan 20 tahun runtuhnya
Tembok Berlin, Beijing menciptakan Berlin Twitter Wall secara virtual yang mana setiap
individu mampu memposting pemikiran mereka melalui penggunaan tagar Twitter “#FOTW”
(Shirk, 2011: 219). Situs tersebut mengundang para partisipan untuk “let us know which
walls still have to come down to make our world a better place!”. Sebagai respon, komentar
masyarakat Tiongkok mengenai Great Firewall dan sensor Internet mendominasi Berlin
Twitter Wall selama berminggu-minggu. Para blogger Tiongkok juga melancarkan kampanye
“Tear Down This Firewall” sebelum kunjungan pertama Presiden Amerika Serikat, Barack
Obama, ke Tiongkok pada November 2009. Terutama karena upaya-upaya tersebut, Presiden

Obama membahas isu kebebasan berbicara secara online di Internet pada pertemuan terbuka
dengan mahasiswa di Shanghai.
Tidak semua mobilisasi online merupakan tindakan spontan dan anonim seperti
halnya kampanye menentang Great Firewall. Blogger berpengaruh juga dapat memobilisasi
sebuah gerakan dengan bertindak sebagai juru bicara pada isu-isu tertentu atau memberikan
otentikasi pribadi untuk memberikan pesan yang beresonansi dalam masyarakat yang lebih
luas, atau bahkan mengartikulasikan apa yang orang lain tidak dapat katakan dalam
menghadapi sensor politik. Han Han, seorang penulis dan blogger, merupakan salah satu
tokoh dalam ruang maya Tiongkok. Han merupakan salah satu kritikus paling vokal dari
sensor pemerintah, dan konten blog-nya sering dihapus akibat sensor. Namun demikian, pada
April 2010, majalah Times merilis Han Han di website-nya sebagai salah satu kandidat dalam
“most globally influential people”. Han kemudian menulis dalam blog-nya meminta
pemerintah Tiongkok “to treat art, literature and the news media better, to not impose too
many restictions and censorship, and to not use the power of the government or the name of
the State to block or slander any artist or journalist” (Shirk, 2011: 220). Tulisan Han tersebut
menghasilkan lebih dari 25.000 komentar dari pembacanya dan dilihat oleh lebih dari 1,2 juta
orang. Tulisan ini juga banyak diposting ulang secara online; pada Mei 2010, pencarian
Google menemukan lebih dari 45.000 tautan mengenai tulisan Han. Meskipun pemerintah
Tiongkok berupaya menggunakan Great Firewall untuk memblokir Netizen Tiongkok
melakukan voting terhadap Han di situs majalah Times, Han menjadi peringkat kedua dalam
penghitungan akhir, menunjukkan keberhasilan kekuatan mobilisasi melalui tulisannya
(Shirk, 2011: 220).
Kehadiran mobilisasi kolektif di Tiongkok seakan membenarkan asumsi Castells
(1997: 348-9) mengenai rekonstruksi demokrasi dan pembentukan politik informasi yang
mengarah pada pertumbuhan fragmentasi sistem politik. Fragmentasi ini merupakan
konsekuensi dari pengaburan sistem partai berdasarkan dikotomi di satu sisi, serta munculnya
lokalisme, politik referendum dan dukungan kepemimpinan pribadi di lain sisi. Menurut
Castells (1997: 349), terdapat tiga tren yang relevan bagi perkembangan politik informasi.
Pertama yakni pembentukan kembali negara lokal dengan meningkatnya partisipasi warga
pada pemerintah daerah yang dimungkinkan dengan keberadaan teknologi informasi. Kedua,
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan partisipasi politik dan
komunikasi horizontal antar masyarakat, serta pemberdayaan antar kelompok masyarakat
dengan menghapus manipulasi dan ketidaksetaraan. Akses informasi online dan komunikasi
melalui komputer memberikan fasilitas difusi dan pengambilan informasi, serta menawarkan

kemungkinan debat dan interaksi dalam forum elektronik melalui kontrol media. Lebih
penting, masyarakat mampu membentuk konstelasi politik dan ideologi mereka sendiri,
menghindari struktur politik yang telah ada sehingga menciptakan lapangan politik yang
lebih fleksibel (Castells, 1997: 349). Dan ketiga, pengembangan mobilisasi politik di sekitar
isu non-politik seperti isu kemanusiaan, feminisme atau isu-isu lingkungan. Bentuk
mobilisasi politik ini merupakan usaha untuk meningkatkan legitimasi dalam seluruh lapisan
masyarakat. Hal ini dilakukan dengan memperkenalkan proses politik dan isu-isu politik
baru, sehingga memajukan krisis demokrasi liberal klasik sementara mendorong munculnya
demokrasi informasi.
Official Ambivalence
Para pemimpin tertinggi Tiongkok mengalami kondisi “deep ambivalence” terhadap
penggunaan Internet, yang mana mereka merasakan potensi manfaat serta resiko
penggunaannya. Istilah ambivalensi digunakan Shirk (2011: 5) untuk menggambarkan sikap
pemerintah Tiongkok terhadap Internet. Dengan menyerahkan sebagian kontrol atas media,
para penguasa di negara otoriter seperti Tiongkok telah membuat suatu trade-off. Paling jelas,
mereka memperoleh keuntungan dari perkembangan ekonomi; pasar beroperasi lebih efisien
ketika masyarakat memiliki kualitas informasi lebih baik. Namun mereka juga melakukan
perjudian bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan politik; bahwa pelepasan kontrol
media mampu memicu suatu dinamika yang akan menghasilkan peningkatan kinerja
pemerintah, dan mereka juga berharap mampu memperkuat dukungan populer terhadap
pemerintah. Media mampu meningkatkan kinerja pemerintah dengan cara menyediakan
informasi yang lebih akurat mengenai preferensi masyarakat terhadap pembuat kebijakan.
Pemimpin Tiongkok juga menggunakan media sebagai “anjing pengawas” untuk memantau
tindakan pejabat subordinat, khususnya di tingkat lokal, sehingga mereka mampu
mengidentifikasi

and

mencoba

menyelesaikan

permasalahan

sebelum

kerusuhan

terprovokasi. Persaingan media komersial secara lebih lanjut mendorong media resmi dan
pemerintah sendiri untuk menjadi lebih transparan; untuk menjaga kredibilitasnya,
pemerintah harus memberikan informasi lebih baik daripada sebelumnya (Shirk, 2011: 5).
Dalam semua hal ini, perubahan lingkungan media meningkatkan respon dan transparansi
pemerintah. Selain itu, pers yang lebih bebas dapat membantu pemerintah lokal untuk
memperolah persetujuan internasional.
Di sisi lain, menyerahkan kontrol atas informasi mampu menciptakan resiko politik.
Hal ini menempatkan tuntutan baru terhadap pemerintah yang mungkin tidak memuaskan,

dan mengungkapkan kepada publik sebuah realita dibalik topeng kesatuan partai.
Pengurangan kontrol juga menyediakan peluang bagi oposisi politik untuk berkembang.
Suatu hal yang paling mengkhawatirkan pemimpin PKT dan apa yang memotivasi mereka
untuk terus melakukan investasi besar-besaran dalam mekanisme kontrol media adalah
adanya potensi bahwa lingkungan informasi yang bebas mampu mengorganisir suatu
tantangan bagi kekuasaan mereka (Shirk, 2011: 6). Ketakutan para pemimpin Tiongkok
terhadap informasi yang mengalir bebas tidak hanya sekadar paranoia; beberapa penelitian
ilmu sosial komparatif menunjukkan bahwa mengizinkan “coordination goods” seperti
kebebasan pers dan kebebasan sipil secara signifikan mengurangi peluang rezim otoriter
untuk mempertahankan kekuasaannya.
Lantas apa hubungan antara informasi dengan tindakan kolektif anti-pemerintah?
Semakin represif sebuah rezim, semakin berbahaya keterlibatan dan koordinasi pada tindakan
kolektif untuk mengubah rezim tersebut (Shirk, 2011: 6). Setiap individu berani untuk
berpartisipasi dengan melihat resiko yang sebanding dengan potensi keuntungannya. Salah
satu cara untuk meminimalisir resiko adalah dengan pemberian anonimitas dalam skala besar.
Bahkan sebelum Internet diciptakan, berita mampu menciptakan titik fokus untuk
memobilisasi protes massa. Ponsel dan Internet bahkan lebih berguna untuk mengkoordinasi
tindakan kelompok mengingat ponsel dan Internet menyediakan anonimitas bagi
penyelenggara dan memfasilitasi “two way communication of many to many”. Pada April
1999, sekitar sepuluh ribu pengikut sekte spiritual Falun Gong menggunakan ponsel dan
Internet untuk secara diam-diam berusaha mengatur PKT dan kepemimpinan pemerintah di
Beijing (Yong, 2013: 155). Satu dekade sebelumnya, mesin faks merupakan teknologi
komunikasi yang memungkinkan mahasiswa mengatur protes pro-demokrasi di Tiananmen
Square Beijing dan lebih dari 130 kota lain. Dalam beberapa tahun terakhir, kombinasi
laporan surat kabar, alat komunikasi Internet, dan ponsel telah memungkinkan protes
mahasiswa terhadap Jepang, demonstrasi menentang perampasan tanah pedesaan, dan protes
terhadap berbagai proyek industri yang merusak lingkungan (Yong, 2013: 131).
Kemungkinan politik dari teknologi jaringan sosial terbaru seperti Twitter atau FanFou dalam
versi Tiongkok, Facebook atau Xiaonei dalam versi Tiongkok, dan YouTube atau Youku
dalam versi Tiongkok, belum sepenuhnya teruji di Tiongkok.
Sebagaimana Michael Suk-Young Chwe menunjukkan dalam bukunya yang berjudul
Rational Ritual (dalam Shirk, 2011: 7), media komunikasi dan unsur-unsur lain dari budaya
membuat koordinasi memungkinkan dengan menciptakan “common knowledge” yang
memberikan setiap orang pengetahuan bahwa orang lain telah menerima pesan yang sama.

Ketika seluruh pemberitaan dikomunikasikan melalui media resmi pejabat, hal ini digunakan
untuk memobilisasi dukungan untuk kebijakan PKT: karenanya, PKT memiliki kekhawatiran
tersendiri tentang pihak oposisi. Thomas Schelling (dalam Shirk, 2011: 7) menekankan
bahwa kebebasan akses informasi, yang dianalogikan sebagai kepemilikan mikrofon,
berimplikasi pada dimilikinya kekuatan opini publik yang kemudian beresiko pada tindakan
massa bottom-up. Pada Juni 2009, Schelling berkomentar pada halaman People’s Daily
dengan judul “The Microphone Era”, menyatakan bahwa “In this Internet era, everyone can
be an information channel and a principal of opinion expression. A figurative comparison is
that everybody now has a microphone in front of him” (Shirk, 2011: 7).
Protes anti-pemerintah 2009 di Iran dan revolusi warna yang dikenal di negara-negara
bekas Uni Soviet, serta pengalaman mereka sendiri, menjadikan para politisi Tiongkok takut
bahwa arus informasi yang bebas melalui media baru, terutama online, mampu mengancam
kekuasaan mereka. Namun perlu mempertimbangkan kemungkinan lain, yaitu bahwa Internet
mungkin mampu menghambat keberhasilan gerakan revolusioner karena celah online
merupakan opsi yang lebih “aman” daripada melakukan aksi turun ke jalan; dan sifat
desentralisasi dari komunikasi online lebih kepada memecahkan suatu gerakan daripada
mengintegrasikannya ke organisasi revolusioner yang efektif (Shirk, 2011: 7). Namun
demikian, para pemimpin Tiongkok masih ragu untuk mengambil resiko sepenuhnya dari
kontrol informasi.
“A Safety Valve”
Pejabat pemerintah Tiongkok mulai mengakui bahwa Internet telah menghasilkan tren
ireversibel menuju masyarakat yang lebih transparan, warga negara yang lebih partisipatif,
dan kekuatan opini publik online yang terus meningkat (Shirk, 2011: 220). Beberapa pejabat
menganjurkan perlunya reformasi politik untuk beradaptasi terhadap kekuatan-kekuatan ini.
Direktur Research Department of the Central Party School, Xin Di, yang melakukan
observasi terhadap dampak politik dari agenda berbasis Internet, merilis lima contoh konkret
yang menunjukkan kemajuan yang terjadi dalam sistem politik Tiongkok. Menariknya, empat
dari lima contoh yang disebutkan bukan merupakan upaya reformasi politik top-down,
melainkan berhubungan dengan reaksi PKT dan pemerintah terhadap berbagai agenda
berbasis Internet (Shirk, 2011: 221).
Meskipun reformasi politik bukan merupakan agenda utama pemimpin Tiongkok
pada Kongres Nasional PKT ke-17 pada 2007, beberapa pejabat mengakui peran penting
Internet sebagai katalis bagi perubahan politik dalam masyarakat Tiongkok (Shirk, 2011:

222). Melihat dari perspektif ini, pemerintah harus secara selektif mentolerir atau bahkan
menyambut ekspresi Internet sebagai barometer opini publik. Mengizinkan ekspresi seperti
ini memungkinkan PKT dan pemerintah secara mudah dan murah mengumpulkan informasi
tentang masyarakat, untuk menjadi lebih responsif terhadap permasalahan warga, dan untuk
menyediakan “katup pengaman” yang melepaskan kemarahan publik (Shirk, 2011: 220).
Peran Internet dalam mempromosikan perubahan politik juga dapat dirasakan ketika
kepentingan dan agenda dari berbagai agensi pemerintah tidak sejajar. Dalam kasus seperti
ini, opini publik dapat membantu menyeimbangkan kedua kepentingan.
Kesimpulan
Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa terjadi ambivalensi
pemerintah Tiongkok terhadap kebijakan kontrol informasi: di satu sisi, Internet akan
membantu melontarkan Tiongkok menuju jajaran negara-negara berteknologi maju; namun di
sisi lain, Internet memfasilitasi perluasan ruang bagi diskusi urusan publik sehingga
menciptakan sebuah ruang bagi masyarakat sipil untuk mendorong batas kebebasan asosiatif
dan komunikatif. Peningkatan opini publik secara online menunjukkan bahwa PKT dan
pemerintah Tiongkok tidak lagi mampu mempertahankan kontrol mutlak terhadap media
massa dan informasi. Internet telah menjadi salah satu ruang media paling berpengaruh di
kalangan masyarakat Tiongkok. Di bawah permukaan peningkatan dan pengintensifan
tindakan pengendalian adalah meningkatnya informasi dan kesadaran publik di Tiongkok.
Lebih lanjut, melalui jaringan sosial online dan komunitas virtual, Internet di Tiongkok telah
menjadi bentuk komunikasi penting yang digunakan untuk mengumpulkan informasi dan
mengkoordinasikan tindakan kolektif.

Daftar Pustaka
Castells, Manuel. 1996. “The Culture of Real Virtuality: The Integration of Electronic
Communication, the End of the Mass Audience, and the Rise of Interactive Networks”
dalam The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell Publisher, pp. 355-406.
______________. 1997. “Informational Politics and the Crisis of Democracy”, dalam The
Power of Identity. Oxford: Blackwell Publisher, pp. 309-353.
Central

Intelligence

Agency.

Tersedia

dalam:

https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ch.html.

[Diakses

pada 14 Desember 2016].

n.d.

China

[Online].

Qinglian, He. 2008. The Fog of Censorship: Media Control in China. New York: Human
Rights in China.
Scotton, James F. dan William A. Hachten. 2010. New Media for a New China. Oxford: John
Wiley & Sons Ltd.
Shirk, Susan L. 2011. Changing Media, Changing China. Oxford: Oxford University Press.
Tai, Zixue. 2006. The Internet in China: Cyberspace and Civil Society. New York & London:
Routledge.
Yong, Doug. 2013. The Party Line: How the Media Dictates Public Opinion in Modern
China. Singapore: John Wiley & Sons Singapore Pte. Ltd.