Makalah Pendidikan Agama Islam Ijtihad

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai
macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa
keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak,
sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh
manfaat.
Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Guru serta teman-teman
sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun materil, sehingga makalah
ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta
banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal
pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang kadangkala hanya
menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang
membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makah kami dilain waktu.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang
kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin
mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini (Ijtihad) sebagai
tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Bojonegoro, Januari 2015
Penyusun


DAFTAR ISI
Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2015

i

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Batasan Masalah.............................................................................................................1
1.4 Tujuan Penulisan............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................2
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad.............................................................................................2
2.2 Dasar Hukum Ijtihad......................................................................................................3
2.3 Kedudukan Ijtihad..........................................................................................................5
2.4Metodologi pelaksanaan ijtihad.....................................................................................6
2.5Syarat Ber-ijtihad...........................................................................................................8
BAB IIIPenutup................................................................................................................13

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................13
3.2 Saran.............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................14

Makalah Pendidikan Agama Islam – Ijtihad / 2015

ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seiring dengan waktu dan berkembangnya zaman, banyak bermunculan masalah,
terutama masalah-masalah dalam agama. Sedangkan sebagian besar dari masalah tersebut
belum mendapatkan kejelasan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Maka manusia
berusaha untuk mencari cara untuk memutuskan masalah tersebut tentang baik buruknya
Dan dalam bentuknya yang telah mengalami kemajuan, teori hukum Islam (Islamic
Legal Theory) mengenal berbagai sumber dan metode yang darinya dan melaluinya
hukum (Islam) diambil. Sumber-sumber yang darinya hukum diambil adalah Al-Quran
dan As-Sunnah Nabi, yang keduanya memberikan materi hukum. Sedangkan, sumbersumber yang melaluinya hukum berasal adalah metode-metode ijtihad dan interpretasi,
atau pencapaian sebuah konsensus ( Ijma’, kesepakatan).Oleh karena itu, penulis

membuat makalah bertemakan ijtihad sebagai solusi dari pengambilan keputusan hukumhukum yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis membahas tentang:
1. Apa pengertian dari ijtihad?
2. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
3. Apa saja hasil dari ijtihad?
1.3 Batasan Masalah
Makalah ini hanya membahas masalah ijtihad serta kedudukannya sebagai sumber
hukum Islam dan hasil-hasil ijtihad serta pengertian dari hasil-hasil ijtihad tersebut.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulis membahas kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah:
1. Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Membuka wawasan tentang ijtihad sebagai sumber hukum Islam yang ketiga.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan Fungsi Ijtihad
Ijtihad seakar kata dengan juhd, jihad, dan mujahadah, yang artinya kesungguhan dan
usaha keras. Ijtihad dalam pengertian yang luas berarti penggunaan pikiran dalam

mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau
hadits.Sedangkan dalam konteks istimbat (penetapan) hukum, ijtihad adalah penggunaan
pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit dalam
Al-Quran dan Hadits Nabawi.
Memperhatikan definisi ini, dapat dipahami batasan lapangan ijtihad, sebagai berikut:
a. Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti (qath’i) dalam nash, tidak ada
peranan nalar,
b. Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi, dan
c. Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan yang
tidak pasti, nalar dapat menjalankan fungsi reformulasi.
Secara bahasa, ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan
sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan
hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud
Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro’yu mencakup dua
pengertian:
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara
eksplisit oleh Al-Quran dan As-Sunnah.
b. Penggunaan pikiran dalam mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari

sesuatu ayat atau hadits.
Tujuan adanya ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan
hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di tempat dan waktu tertentu.Fungsi ijtihad
adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yang belum
terumuskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah. Meski Al-Quran diturunkan secara
sempurna dan lengkap, bukan berarti kehidupan manusia diatur secara detil oleh AlQuran dan Hadits. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Quran dengan
kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan seharihari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
disuatu masa waktu tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits. Sekiranya
sudah ada, maka persoalannya harus mengikuti ketentuan yang ada berdasarkan Al-Quran
dan Hadits. Namun jika persoalannya merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al-Quran dan Hadits maka umat Islam memerlukan ijtihad, tapi
yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang paham Al-Quran dan Hadits yang
disebut dengan mujtahid.
2.2

Dasar Hukum Ijtihad

Ada 2 dasar hukum diharuskannya ijtihad, yaitu :
1. Al-Qur’an

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.AlHasyr : 2)
Menurut Firman Allah SWT pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan
kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan
Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada
peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua,
orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil
ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu,
maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad. (Jalaluddin
Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).
firman-Nya yang lain :

“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar

akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)
2. Al-Hadits
- Sabda Nabi SAW. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah mencapai
apa yang diperuntukkan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm
163)
)‫ (بخارى و مسلم‬.ٌ‫اب فَلَهُ اَ ْج َرا ِن َواِ ِن ْجتَ َه َد فَا َ ْخطَأ َ فَلَهُ اَ ْج ٌر َوا ِحد‬
ْ ‫اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا‬
َ ‫ص‬
َ َ ‫اجتَ َه َد فَا‬
“Hakim apabila berijtihad kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia
mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya).
Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu
pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin Jabal, ketika
Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
:‫س ْو ُل اِ لَ ّما أَ َرا َد أَنْ َي ْب َع َث ُم َعا ًذا الِ َي ا ْليَ َم ِن قَا َل‬

ْ َ‫س ّمنْ اَ ْه ِل َح َمص ِمنْ أ‬
ُ ‫ب ُم َعاذ ْب ِن َجبَ ِل إِنّ َر‬
ِ ‫ص َحا‬
ٍ َ ‫عَنْ أُنا‬
‫س ْو ِل‬
ُ ‫سنّ ِة َر‬
ُ ِ‫ فَب‬:‫ب ال قَا َل‬
َ َ‫ض لَ َك ق‬
َ ‫ض إِ َذا َع َر‬
ِ ‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي ِكتَا‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ب ا‬
ِ ‫ضى بِ ِكتَا‬
ِ ‫ أَ ْق‬:‫ضا ٌءل قَا َل‬
ِ ‫َكيْفَ تَ ْق‬
ُ ‫ض َر َب َر‬
ُ ‫سنّ ِة َر‬
ُ ‫ فَإِنْ لَ ْم تَ ِج ْد فِي‬:‫ قَا َل‬.ِ‫ا‬
َ َ‫ ف‬.‫ اَ ْجتَ ِه ُد َرا ْي ِئ َو َلآلُ ْو‬:‫ب اِل قَا َل‬
ِ‫س ْو ُل ا‬
ِ ‫س ْو ِل اِ َو َل فِي ِكتَا‬
.)‫س ْو ُل اِ (رواه ابوداود‬

َ ّ‫ي َوف‬
ْ ‫ اَ ْل َح ْمد ِ ُّلِ الّ ِذ‬:‫ص ْد َرهُ َوقَا َل‬
ُ ‫ضي َر‬
ُ ‫س ْو َل َر‬
ُ ‫ق َر‬
َ ‫س ْو ِل اِ لَ ّما يَ ْر‬
َ
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah
saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila
dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?,
Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya
lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz
menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih
lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan AlQur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian
Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:,
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)
2.3 Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan
berikut:


a.

Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif.
Sebagai produk pikiran manusia yang relatif, maka keputusan daripada suatu ijtihad
pun adalah relatif,

b.

Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang
tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa/tempat tapi tidak berlaku
pada masa/tempat yang lain,

c.

Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah (murni). Sebab
urusan ibadah mahdhah hanya oleh Allah SWT dan Rasulullah,

d.


Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, dan

e.

Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,
akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama, dan nilai-nilai yang menjadi ciri
dan jiwa daripada ajaran Islam.
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga

setelah Al-Quran dan Al-Hadits.
2.4 Metodologi pelaksanaan ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat metode-metode, antara lain
sebagai berikut:
1.

Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum
diterangkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum
sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh Al-Quran atau As-Sunnah, karena
ada sebab yang sama.Beberapa definisi qiyas (analogi):
a.

Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persmaan diantara keduanya.

b.

Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu
persamaan diantaranya.

c.

Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-Quran
atau Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (illat).

2.

Ijma’, atau yang disebut ijtihad kolektif, yaitu kesepakatan ulama-ulama Islam
dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Yang menjadi persoalan untuk saat
sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut,
karena umat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk
para ulamanya.

3.

Istihsan, yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah
atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan lain-

lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi (analogi samar-samar)
atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum
lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan
keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama kurang baik,
maka kita harus mengambil yang lebih ringan keburukannya. Beberapa definisi
istisan:
a.

Fatwa yang dikeliarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia merasa
hal itu adalah benar,

b.

Argumentasi dalam pikiran seorang faqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan
olehnya,

c.

Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk maslahat orang
banyak,

d.

Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan, dan

e.

Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang
ada sebelumnya.

4.

MashalihulMursalah,

yaitu

menetapkan

hukum

terhadap

sesuatu

persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai
dengan tujuan syari’at. Perbedaan antara istihsan dan mashalitul mursalah ialah,
istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahatan (kebaikan) itu dengan disertai dalil
Al-Quran

atau

Al-Hadits

yang

umum,

sedang

mashalihul

mursalah

mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang
secara tertulis dalam Al-Quran atau Al-Hadits.
5.

Urf, adalah sesuatu yang telah biasa berlaku, diterima, dan dianggap baik oleh
masyarakat. Juga didefinisikan sebagai tindakan menentukan masih bolehnya suatu
adat istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Quran dan Al-Hadits.

6.

Istishab, adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat
dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah
ditetapkanpada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga teradapat dalil
yang menunjukan atas perubahannya. Jadi, istihab merupakan suatu tindakan
menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.

7.

Sududz Dzariah, yaitu tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi
makruh atau haram demi kepentingan umat.

8.

Madzhab Shahabi, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu
persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan pendapat para sahabat tentang suatu kasus,

yang tidak dijelaskan nash dan belum ada ijma’ para sahabat yang menetapkan
hukum tersebut.
9.

Syar’un man qoblana, berarti syariat sebelum Islam.

10.

Ta’arud Ad-Dilalah, artinya pertentangan (secara lahir dalam pandangan
mujtahid) antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama (ayat dengan
ayat; atau antara sunah dengan sunah).

2.5 Syarat ber-ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan mudah,
tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratantersendiri. Jadi,
tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah
para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang
berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk
kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan
dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia
kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi
tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali
dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat
resep, akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad,
jika semua orang melakukan ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun
akan membahayakan kehidupan ummat.
Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu
bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut

al-Syaukani, untuk dapat

melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan
itu akan dilihat di bawah ini:
Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur’an) dan sunnah.Persyaratan pertamaini
disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih
Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur’an dana sunnah merupakan syarat
mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi
seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat
hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat
itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.
Sebenarnya, apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakan syarat bagi
seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah hukum.
Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah

tertentu, ia hanya dituntut memiliki pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang
menyangkut tersebut secara mendalam.
Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini,
seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip beberapa
pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat
menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus hadits. Pendapat
lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa
seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.
Namun, hadits–hadits tersebut tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia
mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.Di
samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib mengetahui
sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal (periwayatperiwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai kepada
Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah
antara hadits yang sahih, hasan, dan dha’if (lemah). Sekalipun demikian, hal itu tidak
harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui yang demikian dengan baik
melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan ta’dil
(keadilan periwayat hadits).
Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan
ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka
mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.Di sini,
al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan pengetahuan tentang ijmak sebagai
syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan
bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena
melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati
demikian, tidak mungkin dipaksakan persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat
bahwa ijmak bukan dalil hukum.
Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali hukum dari alQur’an dan sunnah secara baik dan benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang
mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia
mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dan
sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang
jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki
keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk kebahasan itu
diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma’ani dan bayan. Akan tetapi,

menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala,
cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku yang
ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan,
maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.
Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah
menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur’an dan hadits
adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua
sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian, sementara
ulama- antara lain’Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang bahasa
Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.
Keempat,mengetahui ilmu usul fikih.Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting
diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasardasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah
secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur’an dan sunnahndengan
menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas
di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi menyangkut
penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad :
1. Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu bagian
dari pengetahuan tentang al-Qur’an dan sunnah.
2. Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat ijtihad, tetapi
menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.
3. Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam ijtihad.
Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul fikih
sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi
merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena
hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan hukum dari
sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-kan hukum, tidak mungkin
hukum akan ditemukan.
Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan).
Menurut al-Syaukani, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh penting agar mujtahid
tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat
atau hadits-hadits.
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik.
Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan

itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka hanya berbeda
hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan bahwa alSyaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di
sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas,
dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan-dorongan dan
petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting
untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad
hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi alSyaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad

telah

mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di
tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—wewenang itu hanya
diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur’an dan sunnah, bukan
dilakukan atas kehendak hawa nafsu.
Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih yang
lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki
syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang belum
memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga melakukakan melakukan
ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara
luas dan mendalam.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara bahasa, ijtihad berarti
pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal
sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak
ditetapkan secara eksplisit dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Kedudukan ijtihad sebagai
sumber hukum Islam adalah sebagai sumber hukum ketiga setelah Al-Quran dan AlHadits. Hasil ijtihad antara lain adalah: qiyas, ijma’, istihsan, mashalihul mursalah, urf,
istishab, dan sududz dzariah.
3.2 Saran
Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih
mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA
http://ustadzmuis.blogspot.com/2008/07/pola-pola-ijtihad-dalam-hukum-islam.html
www. Academia. Edu/2310373/islam-law-istinbath-ijtihad-tsawabit-and-muthaqayyiratconcept
http://moegrafis.blogspot.com/2011/05/ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-islam.html
http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/ijtihad.html