PERBURUAN PENYIHIR ABAD 21 LGBT sebagai

PERBURUAN PENYIHIR ABAD 21
(LGBT sebagai Kepanikan Moral di Indonesia)

Sandy Allifiansyah 1
Universitas Gadjah Mada

Abstrak
Isu tentang moral adalah isu yang paling sering diperdebatkan dalam sejarah
peradaban manusia. Sesuatu yang dianggap benar pada masa lalu, belum tentu
benar pula pada masa yang akan datang. Begitu pula sebaliknya. Di Indonesia, isu
moral dirasa begitu sensitif karena selalu bersinggungan dengan aspek-aspek
seperti SARA, pilihan ideologi politik, dan yang paling terbaru adalah orientasi
seksual. Terbukanya arus informasi membuka pula suara-suara kelompok dengan
orientasi seksual yang dianggap kaum heteroseksual sebagai orientasi yang
menyimpang. Indonesia sebagai negara yang iklim masyarakatnya cenderung
konservatif, menganggap kelompok LGBT sebagai benalu dan harus direhabilitasi
secara seksual setelah sebelumnya dikutuk secara moral. Fenomena pengkutukan
itu muncul pula lewat tangan-tangan lembaga otoritas media yang
memberlakukan pembatasan ketat terhadap kelompok LGBT atau terduga LGBT
di media massa.
Kata kunci: media, moral panic, otoritas, konflik, LGBT


Latar Belakang
Generasi yang hidup pada abad 21 sering mengklaim diri mereka sebagai generasi
yang beruntung karena hidup dalam segala kecanggihan teknologi yang belum
bisa dinikmati oleh generasi-generasi sebelumnya. Namun perlu disadari bahwa
historiografi dan peradaban selalu bersifat sirkular. Apa yang pernah terjadi di
masa lalu, selalu berulang di masa yang akan datang, kendati hadir dalam bungkus
Sandy Allifiansyah adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah
Mada, penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud 2015. Ia menyelesaikan studi sarjananya di
bidang Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro.
1

1

yang berbeda. Aspek moral adalah satu di antara banyak contoh sirkulasi
peradaban itu. Pada abad pertengahan, terjadi kepanikan moral besar di daratan
Eropa dan Amerika soal fenomena penyihir (witch) yang identik dengan kaum
hawa dan praktik okultisme. Peristiwa tersebut menjadi sebuah kepanikan moral
(moral panic) terbesar dan terkonyol yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban
manusia. Periode tahun 1450-1750 terdapat setidaknya 35.000 orang yang

dieksekusi dengan tuduhan tukang sihir (Monter, 2002). Angka tersebut
menunjukkan adanya ketakutan yang besar akan praktik-praktik sihir yang
disematkan pada kelompok masyarakat tertentu.
Bila kita membuka kembali buku sejarah, cara-cara seperti ini dilakukan
oleh rezim otoritas agama abad pertengahan lewat legitimasi tangan-tangan
penegak hukum, untuk membasmi mereka-mereka yang dianggap dan dituduh
sebagai penyihir. Dugaan itu dicari rasionalisasinya melalui tanda lahir (birth
mark) yang tak lazim, tenggelam tidaknya mereka saat dimasukkan kedalam air ,
hingga sakit tidaknya mereka ketika ditusuk oleh jarum (Sharpe, 2002).
Lantas apa hubungannya dengan LGBT? Usaha kaum mayoritas atau
mereka yang merasa berhak (entitled) untuk menyingkirkan kaum yang dianggap
menyimpang, ternyata mengalami pengulangan. Kendati muncul dalam kemasan
yang berbeda, tetapi cara-cara yang dilakukan untuk menghukum kelompok ini
secara moral tetaplah sama. Kelompok mayoritas heteroseksual yang bertindak
layaknya polisi moral, memberlakukan stigma-stigma tidak masuk akal untuk
memberangus kelompok ini.
Kepanikan moral yang tak terkendali atas LGBT ini dipahami sebagai gejala
yang mendadak terjadi di tahun 2016. Seolah-olah ada agenda media untuk
membungkam dan menghakimi kelompok minoritas yang sesungguhnya sudah
ada sejak lama. Ketakutan tersebut bahkan dibungkus sedemikian rupa dengan

wacana adanya “sebuah gerakan” yang mencoba untuk mengajak awam untuk
menjadi bagian dari LGBT. Pertanyaan lantas muncul, bagaimana cara
membuktikan “gerakan” tersebut. Di era informasi seperti sekarang, informasi
yang muncul tidak bisa lagi bersifat tunggal layaknya yang terjadi di zaman Orde

2

Baru saat TVRI menjadi satu-satunya corong media massa televisi yang
mempunyai daya jangkau luas.
Intan Paramaditha memposisikan kekhawatiran berlebihan terhadap
“gerakan” LGBT ini sebagai perpanjangan dari cara berpikir Orde Baru tentang
OTB

(Organisasi

Tanpa

Bentuk)

yang


kental

akan

unsur

politik

(thejakartapost.com,2016). OTB adalah sebuah istilah bentukan Orde Baru untuk
menyebut organisasi yang tidak berpayung hukum, sehingga dengan mudah
dilabeli stigma subversif (Harsutejo, 2010). Budaya Indonesia yang gemar sekali
menciptakan hantu dan takut pada hantu itu sendiri adalah salah satu dari sekian
banyak bentuk kekerasan budaya yang dipelihara bahkan dikembangkan oleh
otoritas negara pasca reformasi (Herlambang, 2013).
Rasanya sulit bila cara berpikir anti-intelektual dan anti-diskusi ini masih
dipertahankan. Di Indonesia, persoalan seksual rentan diintervensi oleh negara.
Hal ini bisa terjadi karena masyarakat Indonesia cenderung konservatif.
Celakanya, lembaga otoritas mengajarkan pendidikan seksual kepada publik
dengan cara-cara yang menakutkan. Sampai saat ini bahkan belum ada kurikulum

pendidikan seks di sekolah dasar secara menyeluruh dan komprehensif. Kendati
kini internet telah membuka keran informasi yang sedemikian deras, pemahaman
soal dunia seks perlu diajarkan secara khusus oleh kurikulum.
Akibatnya dari kealpaan kita akan pendidikan seks, perburuan terhadap
kelompok-kelompok yang dituding LGBT dengan memberikan stigma soal ciriciri tingkah laku mereka secara serampangan, akhirnya terjadi. Peristiwa ini persis
dengan peristiwa perburuan penyihir di Eropa dan Amerika saat abad
pertengahan. Penjajaran (juxtaposition) dua peristiwa ini adalah representasi
simbolik dari sebuah pengulangan sejarah mengenai kecenderungan mayoritas
untuk menghukum kelompok-kelompok yang ingin mereka disingkirkan.
Tulisan ini menaruh fokus pada bagaimana media televisi dan lembaga
otoritas terkait, melakukan demonisasi (demonize) terhadap kelompok LGBT.
Sehingga bersinggungan pada aspek-aspek lain mengenai kepanikan moral yang
justru berbuah blunder dan memunculkan kekeliruan cara berpikir (logical

3

fallacy) dalam mengambil kebijakan tentang kelompok LGBT dan kelompok
minoritas lain.

Kepanikan Moral yang Direncanakan

Sebuah kepanikan moral yang melanda massa dalam jumlah besar tidak semertamerta terjadi secara alamiah. Kondisi ini pasti dirangsang oleh sebab-sebab yang
terjadi sebelumnya. Kepanikan akan komunisme misalnya, merupakan gerakan
politis yang dirancang secara terorganisir oleh rezim. Massa dikondisikan
sedemikian rupa agar merasa ketakutan akan sebuah isu yang disebut-sebut
mengancam kelangsungan dan keharmonisan hidup sehari-hari mereka.
Dalam fenomena kepanikan moral (moral panic) akan selalu ada kambing
hitam atau pihak yang menanggung dosa sosial. Stanley Cohen (1972) menyebut
entitas yang mendapat stigma layaknya iblis ini sebagai folk devils. Masyarakat
yang telah dikondisikan akan sebuah stigmatisasi moral ini mudah untuk
dimobilisasi untuk tujuan tertentu, misalnya politik. Ketika Orde Baru saat segala
yang berbau komunisme dirancang sebagai kepanikan moral, orang-orang yang
bersinggungan dengan komunisme, entah itu pemilik buku Das Kapital,
perkumpulan studi ilmiah berparadigma tertentu, dianggap sebagai gerakan
subversif.
Kepanikan moral yang bersumber dari sebuah institusi atau otoritas ini
berorientasi pada penciptaan hantu moral yang didasari cara berpikir oposisi biner
(Levi-Strauss, 1968) tentang benar atau salah, hitam atau putih, kita atau mereka.
Cara berpikir semacam ini lazim digunakan dalam narasi-narasi dongeng untuk
mempermudah pemahaman pembaca tentang siapa pahlawan dan pengkhianat.
Paradigma berpikir ini sebenarnya sudah lama ditinggalkan dalam tradisi

masyarakat pascamodern. Sebab faktanya, tidak mungkin sebuah karakter tetap
berada dalam satu kutub ekstrim. Tidak selamanya seseorang selalu berbuat jahat,
dan tidak selamanya pula seseorang selalu bertingkah laku baik.
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah masyarakat juga tetap merasa
takut andai sebuah penanaman moral tentang folk devils ini tidak diciptakan?
Penelitian membuktikan tentang pentingnya faktor aktor sosial atau opinion

4

leaders dalam pembungkusan isu yang menimbulkan kecemasan ini (Garland,
2008). Para aktor-aktor sosial ini diwakili oleh sebuah lembaga resmi dan
memiliki otoritas yang dilindungi oleh undang-undang.
Kepanikan moral masyarakat terhadap LGBT ini muncul secara mendadak
karena pemberitaan media tentang isu adanya sebuah gerakan dari kaum LGBT
yang meminta legalitas status mereka. Pertanyaannya, apakah kaum LGBT
memang meminta hal tersebut secara terbuka atau ini hanya klaim pihak-pihak
pemangku otoritas. Uniknya, sejak isu ini menjadi viral pada awal 2016, KPI
(Komisi Penyiaran Indonesia) mengeluarkan edaran yang berisi pelarangan
terhadap segala atribut dan tingkah laku “kebanci-bancian” di televisi.
KPI bahkan sampai membuat daftar tingkah laku yang mengindikasikan

seseorang adalah bagian dari LGBT (Tashandra,2016). Indikasi-indikasi itu
menyangkut aspek-aspek yang lazim terdapat dalam sebuah acara televisi, seperti
host, talent, atau pengisi acara lainnya.

Daftar 7 kriteria konten tayangan yang menampilkan sosok “kebanci-bancian” yang dilarang
oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Dikutip dari situs kompas.com

5

Ketakutan-ketakutan yang diciptakan KPI yang terwujud melalui 7 kriteria
di atas terlampau tendensius. Sulit untuk dibuktikan keabsahannya dan justu akan
memicu perdebatan baru. Misalnya, pada poin 4. Apa yang dimaksud dengan gaya
berbicara kewanitaan? Apakah hal itu termanifestasi lewat suara atau gestur?
Apakah ada ukuran mutlak atas sebuah gaya seseorang berbicara? Masih banyak
lagi dari 7 poin di atas yang bisa dipertanyakan keabsahan ukurannya.
Justru dengan stigma-stigma yang dilekatkan oleh KPI tentang perilaku
LGBT, membuat masyarakat menjadi kian tidak simpatik terhadap orang-orang di
sekitar kita. Kecenderungan untuk menjadi sinister figure atau figur-figur yang
sinis terhadap sesama, menjadi kian rentan terjadi. Perilaku ini disebut Foucault
(1975) sebagai praktik medical gaze yang lazim dilakukan oleh dokter-dokter di

masa lalu. Praktik-praktik diagnosis medis seperti ini sarat akan muatan
dehumanisasi. Diagnosis hanya memposisikan pasien sebagai entitas pesakitan
yang mengalami kerusakan, tanpa menghiraukan aspek kemanusiaan (humanity).
Dengan memberikan daftar ciri-ciri kelompok yang dianggap menyimpang
secara seksual tersebut, KPI justru melatih kita untuk tidak simpatik terhadap
orang-orang disekitar. Maka jangan heran bila kita kerap melihat praktik-praktik
tatapan sinis masyarakat terhadap orang-orang dengan ciri-ciri di atas. Padahal
belum tentu orang tersebut memang beorientasi seksual seperti yang
dimaksudkan. Lucunya, bila masyarakat melihat kemunculan dan tingkah polah
karakter “kebanci-bancian” di televisi, masyarakat justru menikmatinya. Segala
tingkah polah “kebanci-bancian” selalu menjadi sasaran tembak untuk dihina dan
dicibir karakter lain di luar mereka. Sementara itu di sisi yang lain, masyarakat
tetap menikmati kemunculan karakter “kebanci-bancian” di layar kaca.
Dari kecenderungan perilaku tendensius KPI tadi, kita bisa menangkap caracara serupa layaknya yang dipraktikkan oleh otoritas gereja abad pertengahan
kepada para tertuduh penyihir. Saat itu hadir pula sebuah “buku putih” yang berisi
panduan mengenai ciri-ciri empiris seorang penyihir. Buku tersebut di antaranya
berjudul The Discoveries of The Witches yang dijadikan teks legal untuk
membasmi

pihak-pihak


yang

dianggap

sebagai

penyihir

(Fraden

&

Fraden,2008:15).

6

Secara impulsif, televisi gencar memberitakan tentang adanya ancaman dari
kelompok LGBT. ILC (Indonesia Lawyers Club) sebagai salah satu acara terkenal
bahkan sampai menggelar dialog tentang LGBT hingga memperdebatkan apakah

LGBT merupakan penyimpangan seksual atau tidak. Para pakar dalam acara
tersebut berpatokan pada buku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ) III yang merupakan hasil kesepakatan bersama para doketer dan psikiatri
seluruh dunia. Akan tetapi, salah satu pakar secara tendesius membantah bahwa
berbeda pandang dengan apa yang tertera dalam literatur (PPDGJ) III.
Pertentangan muncul beberapa hari setelah acara. Presiden Asosiasi
Psikiater Amerika - American Psychiatric Association (APA) Dr. Renee Binder
M.D. dan Direktur Medis dan CEO APA Saul M. Levin M.D., M.P.A.
melayangkan protes pada Asosiasi Psikiater Indonesia dan Perhimpunan Dokter
Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia untuk mengklarifikasi pernyataan salah satu
dokter di acara ILC (Indonesia Lawyers Club) yang berkata bahwa
homoseksualitas adalah masalah kejiwaan mereka anggap telah menyalahi
kesepakatan bersama Ikatan Psikiater Dunia.

Fakta yang Diingkari
Banyak perdebatan yang tak kunjung usai mengenai penyebab perbedaan orientasi
seksual seseorang. Apakah orientasi tersebut disebabkan oleh faktor genetika,
lingkungan, atau bahkan keduanya. Salah satu teori yang paling sering disebut dan
diperdebatkan adalah teori skala Kinsey (1948-1953).2 Dari segala perdebatan
teoritis akademis tadi, terdapat satu hal yang pasti. Orang-orang dengan orientasi
seksual yang berbeda dari mayoritas memang ada di sekitar kita. Fakta ini tidak

2

Skala ini disusun berdasarkan pengalaman perilaku orang-orang yang diteliti oleh Kinsey dkk.
Pada skala itu, titik 0 mewakili heteroseksual eksklusif, sedangkan titik 6 mewakili homoseksual
eksklusif. Titik 1 mewakili heteroseksualitas predominan (homoseksualitas kadang-kadang),
sedangkan titik 5 mewakili homoseksualitas predominan (heteroseksual kadang-kadang). Titik 2
mewakili heteroseksualitas predominan, homoseksualitas lebih sering. Titik 4 mewakili
homoseksualitas predominan, heteroseksualitas lebih sering. Sedangkan titik tiga mewakili
heteroseksualitas dan homoseksual sama kuatnya. Penjelasan tentang skala Kinsey ini bisa dipelajari
lebih lanjut, silakan lihat Alfred C. Kinsey dkk, Sexual Behavior in The Human Male dan Sexual
Behavior in The Human Female (Philadelphia, W.B. Saunders Company 1948, 1953).

7

bisa diingkari. Kita tidak bisa menganalisis sebuah permasalahan sosial terkait
kebijakan dengan paradigma berpikir kontra fakta.
Sebagai orang masuk dalam kategori orientasi seksual hetero, kita lazim
menggunakan istilah “penyimpangan seksual” kepada mereka yang orientasi
seksualnya berada di luar lingkaran himpunan heteroseks. Istilah “penyimpangan
seksual” ini sebenarnya adalah istilah yang diskriminatif karena acap kali tidak
berdasar pada analisis objektif yang komprehensif. Istilah “penyimpangan”
seringkali diukur hanya berdasarkan pada minoritas jumlahnya.
Sudah banyak studi tentang kelompok LGBT di Indonesia di masa lampau.
Bahkan ketika istilah LGBT belum dikenal, praktik-praktik orientasi seksual
sesama jenis ini sudah ada. Dede Oetomo (1991) mencatat bahkan kebudayaan
kuno Nusantara telah menjalankan praktik-praktik ini sebagai bagian dari ritual
yang sifatnya vertikal dan sakral kepada Tuhan (tradisi Makassar mengenal sosok
bissu). Ada pula praktik mairilan yang terjadi di pesantren-pesantren dan
melibatkan aktifitas hubungan erotis antar santri laki-laki. Bahkan kitab kuno
Serat Tjentini juga menggambarkan hubungan homoseksual semacam ini tanpa
tendensi untuk menghakimi.3
Ada pula tradisi di Aceh ketika para uleebalang menyukai budak-budak
muda di Nias. Ada pula tradisi gemblak di Ponorogo yang dikenal memelihara
hubungan sesama jenis, baik antar laki-laki maupun perempuan.4 Konon
hubungan ini juga bertujuan untuk memperoleh kesaktian. Entah karena
rendahnya minat baca masyarakat Indonesia atau justru fakta-fakta ini sengaja
disembunyikan dalam penulisan buku-buku sejarah arus utama yang akhirnya
berdampak pada abainya kita akan eksistensi praktik LGBT.
Tradisi-tradisi kuno yang melibatkan praktik-praktik LGBT ini sifatnya
cenderung tertutup dan laten. Eksistensi dan praktik mereka dipahami secara
bersama dalam lingkup terbatas dan tidak digembar-gemborkan demi mencari
3

Lihat Serat Tjentini, dilatinkan oleh R. Ng. Soeradipoera dan lain-lain. (Batavia, 1912-1915), hal
141-154. Dede Oetomo merujuk ini atas jasa dari Benedict Anderson.
4
Dede Oetomo mengutip tradisi ini dari peneliti-peneliti asing yang melakukan riset di Indonesia
seperti C. Snouck Hurgronje yang meneliti tentang masyarakat Aceh dan J.M.B. Lyon yang meneliti
tentang fenomena gemblak di Ponorogo. Khusus untuk fenomena gemblak, referensi didapatkan
dari skripsi Soedagoeng Hendro Soerijo, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada.

8

popularitas atau bahkan untuk kepentingan politik tertentu. Sehingga ketika tibatiba LGBT menjadi kepanikan moral di tahun 2016 ini, kita seolah abai terhadap
fakta bahwa erotisme dan orientasi seksual tidak bisa dipahami secara hitamputih.
Hingga kini pertentangan antar para pakar tentang asal muasal orientasi
seksual seseorang masih berlangsung. Hal ini menjadi indikasi bahwa ilmu
pengetahuan adalah kekuasaan akan selalu bersinggungan (Foucault,1980). Ilmu
pengetahuan membutuhkan otoritas kekuasaan untuk validitas. Sedangkan otoritas
kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan sebagai alasan dan dalih. Ilmu
pengetahuan tak jarang pula digunakan untuk menghukum seseorang secara
moral. Kita tidak berbicara dalam konteks pembuktian hukum positif materiil,
akan tetapi moral selalu mengalami evolusi. Dahulu perbudakan dianggap wajar,
bahkan diatur dalam undang-undang. Tetapi saat ini perbudakan dilarang karena
sudah terbukti salah secara moral.
Kontroversi terhangat masalah moral di Indonesia menyangkut orientasi
seksual seseorang. Banyak negara-negara yang dahulunya melarang hubungan
LGBT, kini telah memperbolehkannya dan mengaturnya dalam kitab undangundang hukum mereka. Tidak bisa dipungkiri bahwa isu LGBT adalah bom waktu
yang pada masa yang akan datang pasti akan muncul kembali dan dikaji secara
lebih serius di Indonesia.
Celakanya, jika kita masih terus menganggap seks sebagai hal yang tabu
dan sebatas dibicarakan dalam ruang-ruang tertutup, kita justru akan menjadi
bangsa yang makin tertinggal dan jauh dari prinsip demokrasi yang selama ini kita
anut. Kita tidak bisa memastikan secara pasti apa alasan bangsa-bangsa yang
dahulunya melarang hubungan LGBT kini memperbolehkannya. Tapi satu hal
yang pasti, negara-negara tersebut tentu telah memikirkan matang-matang untung
ruginya setiap kebijakan yang mereka ambil. Dengan memutuskan untuk
melakukan legalisasi hubungan LGBT bagi warga negaranya, negara tersebut
pasti ingin warga negaranya transparan akan urusan hubungan pernikahan yang
tentunya ada hubungannya dengan urusan administrasi dan pajak.

9

Ini hanya salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan soal
untung rugi legalitas LGBT. Saya berikan contoh di Indonesia terkait dengan hal
ini. Sudah banyak fakta dan testimoni soal adanya orang-orang dengan orientasi
seksual tertentu yang harus menjalankan dua kehidupan sekaligus. Maksudnya, di
satu sisi mereka harus menikah dengan lawan jenis karena tekanan sosial
masyarakat, tetapi di sisi yang lain mereka tetap berhubungan aktif dengan
pasangan sejenis mereka. Kita tahu bahwa untuk menjalankan hubungan dengan
seseorang pasti membutuhkan biaya yang tak sedikit, apalagi bila berdomisili di
kota-kota besar dengan tingkat konsumsi dan gaya hidup yang tidak murah.
Dengan menjalani dua kehidupan sekaligus, tentunya mereka harus
mengeluarkan biaya mahal demi kelangsungan hubungan masing-masing.
Sedangkan penghasilan warga perkotaan kelas menengah per-bulannya sangat
terbatas, dan hanya cukup untuk menghidupi anak istri mereka saja. Maka jangan
heran bila praktik-praktik korupsi dan kecurangan finansial juga berawal dari
kebutuhan semacam ini.
Kemungkinan-kemungkinan seperti ini pasti telah dikaji oleh para pemikir
kebijakan di negara-negara yang telah melegalkan LGBT. Karena negara-negara
ini mengerti bahwa ada orang-orang dengan orientasi non-hetero di sekitar mereka
dan perlu pula diberikan hak hidup yang sama dan diatur dalam undang-undang.
Satu lagi hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun kebijakan terkait undangundang adalah masalah konsistensi logika. Jangan sampai kebijakan tersebut
berbuah standar ganda (double-standard).
Salah satu logika yang digembar-gemborkan para pembuat kebijakan dalam
mengatur orientasi seseorang adalah masalah ketidakmampuan pasangan LGBT
dalam menghasilkan keturunan. Jika ingin membuat aturan, kita harus konsisten
dengan alur logika yang dibangun. Memang benar, faktanya tanpa bantuan
surrogate parents, pasangan LGBT tidak bisa memiliki keturunan. Namun, logika
ini mempunyai celah. Bagaimana dengan seseorang dengan orientasi heteroseks
tetapi mandul? Bisakah kita melarangnya untuk menikah dengan alasan tidak
mungkin memiliki keturunan? Seharusnya bila kita konsisten, mereka para hetero

10

yang mandul harus dilarang pula untuk menikah, karena tidak bisa memiliki
keturunan.
Argumen yang cacat logika dan kerap disuarakan aktor sosial di media
massa ini masuk dalam kategori kesalahan logika appeal to nature (Groarke,
2008). Kekeliruan logika seperti ini sering juga dipakai oleh para pendukung
poligami yang berkata bahwa produksi sperma terus berlangsung hingga akhir
hayat, tetapi perempuan pada usia di atas 50 mengalami menopause, sehingga
seharusnya laki-laki secara alamiah diperbolehkan menikah kembali dengan
perempuan yang lebih muda.
Intinya, kita harus benar-benar merumuskan aturan yang tepat untuk
mengatur eksistensi kaum LGBT. Sampai kapan kita sebagai bangsa terus
menerus berpura-pura akan adanya eksistensi mereka di sekitar tempat kita tinggal
dan bekerja? Tentunya aturan tersebut tidak boleh ingkar pada fakta sosial dan
harus dipertimbangan berbagai dimensi untung ruginya bagi bangsa. Media massa
juga harus menjadi sarana pendidikan yang tepat dan bukannya menjadi media
yang mengajarkan hasutan dan kebencian kepada kelompok-kelompok minoritas
tertentu.

Media Massa antara Kepanikan Moral dan Ketakutan
Sebagai sebuah medium yang terinstitusi, media mempunyai kekuatan untuk
membingkai persepsi masyarakat melalui informasi yang mereka buat dan
sebarkan. Dalam hal jurnalisme damai, konflik dimaknai sebagai sebagai sebuah
masalah yang harus diselesaikan, maka tak heran jika jurnalisme damai selalu
berorientasi pada advokasi dan resolusi, bukan menyulut konflik menjadi semakin
parah (Sterling, 2009:1046). Namun, pada kenyataannya, tidak semua jurnalis dan
media memegang prinsip tersebut. Tak jarang media-media yang berorientasi
pada profit dan sensasi, menjadikan konflik sebagai komoditas yang justru sebisa
mungkin mempertahankan ketegangan di antara pihak-pihak yang bertikai dengan
menciptakan berita-berita provokatif. Artinya media justru mengingkari fungsinya
sebagai institusi kontrol sosial.

11

Salah satu hal paling mengkhawatirkan dari perilaku media massa adalah
terciptanya sebuah moral panic atau kepanikan moral yang diprakarsai oleh media
massa atas dasar kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Moral panic adalah
sebuah fenomena saat sebuah objek dirasa mengancam secara moral. Moral
panics mempunyai 5 elemen dasar, yaitu:
1. Sesuatu atau seseorang dirasa mengancam tatanan moral yang berlaku.
2. Ancaman ini dipublikasikan secara luas oleh media massa.
3. Menyita perhatian publik.
4. Ada respon atau campur tangan dari pihak otoritas atau opinion-makers.
5. Kepanikan ini menyebabkan perubahan sosial masyarakat.
(Thompson,2005:8)
Terdapat dua jenis kepanikan berdasarkan pada waktu kejadiannya. Pertama
kepanikan moral yang sifatnya mendadak. Sebelumnya entitas yang dijadikan
sasaran tembak tidak pernah diungkit keburukan dan dicap menyimpang secara
moral oleh media secara berlebihan. Namun tiba-tiba mereka diposisikan pada
posisi pada kutub yang berseberangan dengan norma kenormalan, sehingga harus
dihukum dan disiplinkan secara moral. Kepanikan moral terhadap LGBT
tergolong pada kepanikan moral jenis ini, mengingat kemunculannya sebagai folk
devils yang mendadak walaupun eksistensinya telah ada sejak lama. Bahkan
sejarah mencatat ada seorang LGBT yang berhasil menjadi menteri di zaman Orde
Baru. Orientasinya tidak pernah dipersoalkan oleh media massa dan kekuasaan,
kendati orang-orang terdekatnya sudah tahu sama tahu.
Jenis kepanikan moral yang kedua adalah kepanikan yang berdasar pada
memori kolektif masyarakat yang buruk di masa lalu, kemudian dibangkitkan
kembali oleh media massa (Cohen,1972). Di Indonesia, contoh paling baik untuk
fenomena ini adalah komunisme. Memori kolektif yang buruk akan komunisme
demikian mengendap dalam benak masyarakat Indonesia, terutama merekamereka yang lahir dan besar di zaman ketika Orde Baru masih kuat mencengkram.
Kepanikan moral yang muncul dari benak kolektif masyarakat ini sangat sensitif
dan sulit untuk dicarikan jalan keluar karena sangat berkaitan dengan luka lama

12

dan kepentingan politik luar negeri sebuah bangsa. Celakanya, media massa
gemar sekali bermain api saat bersinggungan dengan isu ini.
Studi-studi yang menyangkut moral panic sering sampai pada kesimpulan
bahwa apa yang disajikan oleh media massa arus utama, harus diimbangi oleh
wacana tandingan yang munculnya dari media alternatif (McRobbie & Thornton,
1995). Di era informasi seperti saat ini, media alternatif bisa muncul dari internet,
entah itu media sosial atau situs-situs ilmiah tertentu yang concern terhadap salah
satu isu kepanikan moral. Sekarang pertanyaannya adalah seberapa efektif
kekuatan media alternatif tersebut mampu melawan kekuatan media arus utama
semisal televisi.
Dalam

sejarahnya,

wacana

media

alternatif

selalu

muncul

dan

bersinggungan dengan wacana media arus utama (Allifiansyah,2015). Dialektika
inilah yang menentukan majunya peradaban dan ilmu pengetahuan. Pertarungan
adu wacana antara media alternatif dan media arus utama sering kali tidak
berimbang karena media arus utama selalu dibungkus oleh kepentingan komersil
bahkan dilindungi oleh otoritas.
Jock Young (1971) mengemukakan bahwa media yang terinstitusi sangat
ingin menyulut kepanikan moral demi kepentingan komersial. Logika yang coba
dibangun Young adalah bila sebuah media secara terus menerus mengabarkan
tentang ancaman LGBT, publik akan merasa resah. Secara otomatis publik akan
merasa bahwa lingkungannya sudah tidak lagi aman. Maka secara tidak langsung
publik akan ikut dalam orkestrasi yang dipimpin oleh media. Publik menjadi
tergantung padanya.
Kepanikan terhadap LGBT ini datang bak gelombang. Mulai dari
kemunculan pemberitaan tentang layanan konseling yang diadakan oleh SGRC UI
(Support Group and Research center on Sexuality) yang dituduh menjadi sebuah
pengesahan perilaku seksual menyimpang. Belum lagi tuduhan bahwa kelompok
LGBT mendapatkan dana asing untuk mengkampanyekan perilaku LGBT di
Indonesia (Tjiadarma, 2016).

13

Sebuah media cetak bahkan berani mengklaim 10 ciri seorang gay, beberapa
poin indikasinya bahkan sulit dicerna nalar. Apakah seorang yang wangi
(poin 6) secara otomatis berarti seorang gay?

Cara-cara media untuk melakukan orkestrasi ketakutan itu dilakukan dengan
cara membuat sensasi dan melebih lebihkan sesuatu (exaggerated) dan tidak
sesuai dengan porsinya (Goode & Yehuda, 1994). Hal ini dilakukan semata-mata
demi mendapatkan atensi publik yang berdampak pada tingginya pemasukan
iklan. Dalam kasus LGBT, media selalu menunjukkan beragam jenis kejahatan
yang dilakukan oleh para LGBT misalnya prostitusi gay anak dan pelecehan
seksual terhadap anak di tempat umum. Fakta seperti ini memang tidak bisa
dibantah, tetapi di sisi lain, peristiwa sexual abuse serupa juga kerap dilakukan
oleh kelompok hetero.
Kejadian saling tuduh menuduh penuh kebencian ini mengarah pada guilty
by association atau menyamaratakan perilaku seseorang dari ras atau golongan
tertentu berdasarkan kesalahan salah seorang anggota kelompok tersebut. Cara
berpikir semacam ini juga terjadi pada umat Muslim di Amerika Serikat yang
selalu diidentikkan dengan terorisme. Kita tidak bisa secara semerta-merta

14

langsung menghakimi perilaku seseorang berdasarkan ras, etnis, atau orientasi
seksualnya. Lembaga yang menjadi otoritas moral (contohnya KPI) harus
mengambil langkah solutif, bukan langkah yang justru akan menyebabkan
kebencian.
Bila kita berbicara presentase, berdasarkan data dari The Williams Institute,
angka populasi LGBT tahun 2012 hanya berkisar 3,8% dari total populasi di
Amerika Serikat. Angka yang didapatkan dari penelitian berbasis demografi ini
bahkan lebih kecil dari dugaan para pengamat (Gates, 2012). Pertanyaan yang
muncul terkait data adalah apakah KPI atau lembaga penyiaran lainnya pernah
melakukan riset mendalam tentang jumlah populasi LGBT di Indonesia secara
komprehensif berikut jumlah kejahatan yang pernah mereka lakukan? Lalu
bagaimana jika hasilnya kelak dibandingkan dengan jumlah kejahatan yang
dilakukan oleh hetero?

Konstruksi Sosial Kepanikan Moral
Mengutip Goode & Yehuda (1994), penyebab kepanikan moral dikelompokkan
menjadi tiga model. Pertama adalah grassroot model yang bersumber dari
kecemasan masyarakat akar rumput akan tekanan sosial yang akan menyebabkan
adanya kepanikan moral secara spontan. Dalam model ini, otoritas moral hanya
berperan sebagai pantulan dari keresahan-keresahan masyarakat tadi, tetapi tidak
menciptakannya.
Contoh paling baik grassroot model kepanikan moral adalah fenomena geng
motor dan begal yang memang sudah menahun terjadi di sebuah daerah tertentu.
Media massa sebagai otoritas hanya memainkan dan menunggangi isu ini. Tak
jarang pula media melakukan dramatisasi dan bias terhadapnya. Model kedua
adalah elite domination model. Dalam model ini, otoritas kekuasaan (misalnya
pemerintah, industri, otoritas keagamaan, bahkan media massa) bertindak sebagai
promotor atas kepanikan moral. Mereka menciptakan ketakutan-ketakutan untuk
mengalihkan masalah yang bila terselesaikan, justru akan mengancam posisi
orang-orang dalam otoritas tersebut. Model ketiga adalah interest conflict group
model yang menekankan bahwa kepanikan moral berasal dari pertentangan dua

15

atau lebih kelompok kepentingan yang berusaha meraih dukungan moral dari
masyarakat (Henry,2009:302).
Bagaimana aplikasinya terhadap isu-isu yang ada di Indonesia? Pertama
menarik untuk melihat bagaimana munculnya kepanikan moral terhadap
komunisme di Indonesia. Secara sistematis bisa kita simpulkan bahwa ketakutan
akan komunisme ini adalah gabungan dari model kepanikan moral elite
domination dan interest group conflict. Orde Baru bahkan hingga melanggengkan
ketakutan ini lewat beragam medium, mulai dari monumen, film, penataranpenataran kenegaraan, hingga buku-buku pelajaran sejarah sekolah dasar.
Berbagai pihak misalnya Gerwani dan seniman yang berafiliasi dengan Lekra,
diberikan stigma layaknya iblis dan harus mengalami penyiksaan hingga
pengasingan.
Pendapat menarik muncul dari sejarawan Hermawan Sulistyo (2000) yang
mengemukakan bahwa peristiwa 1965 adalah akumulasi dari konflik sosial
horizontal yang sebenarnya sudah ada dalam masyarakat akar rumput di
Indonesia, khususnya pulau Jawa. Temuan menariknya soal konflik antara kaum
non-PKI dan simpatisan PKI di Jawa Timur, menunjukkan bahwa kepanikan
moral akan komunisme tidak hanya dikonstruksi oleh elit, melainkan juga sebuah
akumulasi menahun dari grassroot model. Artinya telah ada situasi yang memang
mendahului kebencian-kebencian terhadap orang-orang yang berafilisasi dengan
Partai Komunis Indonesia. Otoritas negara (pada saat itu diwakili oleh tentara)
sangat jeli memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan dukungan politik sembari
di sisi yang lain melakukan praktik pemberangusan pihak-pihak yang berada di
luar kepentingan politik mereka.
Bagaimana dengan kepanikan terhadap LGBT? Sangat jelas terlihat bahwa
kebencian-kebencian terhadap kaum dengan orientasi seksual LGBT adalah
adalah sebuah bentuk opini yang dipublikasikan oleh elit. Pasalnya, pada
masyarakat akar rumput kita sudah banyak melihat orang-orang dengan orientasi
seksual tertentu atau berperilaku “kebanci-bancian”, tetapi tetap masih bisa
membaur dalam satu kesatuan masyarakat sosial tanpa adanya kebencian dan
penghakiman satu sama lain yang dilegitimasi oleh lembaga kenegaraan. Dalam

16

paradigma tulisan ini, ide yang hendak disampaikan adalah perilaku kebablasan
KPI sebagai otoritas penyiaran akan kemunculan orang-orang dengan perilaku
seksual tertentu.
Reaksi KPI yang reaktif dan tendensius ini justru menimbulkan pertanyaan
mengenai kepentingan apa yang sebenarnya ada dibelakang riuhnya isu LGBT.
Reaksi ini bahkan diperparah dengan klaim adanya “gerakan” yang terinspirasi
oleh legalitas LGBT di Amerika Serikat. Sebagai negara yang berdasar pada
hukum, sudah saatnya bangsa Indonesia berbenah untuk tidak menghukum
seseorang berdasarkan perbedaan orientasi seksualnya. Hak yang sama harus kita
berikan kepada siapa saja yang hidup di Republik ini tanpa terkecuali. Media juga
harusnya belajar untuk tidak menghakimi siapa pun atas identitas mereka.
Peristiwa penghakiman kelompok LGBT yang telah divonis KPI secara semenamena ini justru akan mengulang-ulang kesalahan di masa lampau saat para
tertuduh penyihir dibasmi karena dianggap sebagai sumber wabah penyakit dan
bencana.

Penutup dan Kesimpulan
Media sebagai corong informasi dan pemberitaan, selalu memiliki dua sisi.
Mereka bisa saja menumbuhkan harapan atau justru menimbulkan ketakutan. Cara
media membingkai pemberitaan terutama terkait konflik, sangat bergantung pada
tiga kondisi. Pertama, kondisi media itu sendiri. Kondisi media ini meliputi
ideologi, kepentingan pemilik, hingga dampak yang kira-kira akan terjadi kepada
media terkait konflik tersebut. Kedua, kondisi dari jurnalis. Tak bisa dipungkiri
bahwa jurnalis adalah garda terdepan dalam memberitakan sebuah konflik, maka
frame of reference dan field of experience sang jurnalis sangat berperan besar
terhadap berita yang ia tulis. Dan yang ketiga adalah kondisi otoritas tempat
media tersebut hidup dan harus mengikuti setiap norma-norma yang diterapakan.
Bila kita berbicara secara normatif, media sejatinya mempunyai fungsifungsi di antaranya, memberikan informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan
hiburan. Bahkan fungsi-fungsi inti media ini sudah diatur oleh undang-undang
yang harus dipatuhi oleh insan pers. Akan tetapi, media juga bisa mengalami

17

sebuah disfungsi, yang menjadikan media justru keluar dari fungsi-fungsi yang
seharusnya wajib mereka jalankan. Disfungsi juga bisa dimaknai sebagai
menyimpangnya media dari fungsi-fungsi yang seharusnya ia jalankan.
Contohnya adalah media justru menjadi agen propaganda, penghasutan,
disiarkannya berita-berita pesanan, hingga media menjadi corong kepanikan moral
masyarakat.
Fenomena kepanikan moral yang bersumber dari media terhadap kelompok
LGBT ini adalah salah satu disfungsi terbesar media. Kemampuannya untuk
menyebarluaskan informasi kepada publik, disalahgunakan untuk menyebarkan
stigma-stigma terhadap individu-individu atau isu-isu tertentu. Aksi moral panic
terhadap sebuah kelompok tertentu yang dianggap meresahkan warga tanpa
melalui proses penelitian lebih lanjut ini, mengingatkan kita pada praktik-praktik
kekuasaan Orde Baru yang represif. Uniknya stigmatisasi-stigmatisasi itu justru
terjadi di era informasi dan demokrasi.
Salah satu sifat dari kepanikan moral adalah kemampuannya untuk
dihadirkan kembali oleh elit atau lembaga otoritas lainnya. Kepanikan moral
adalah hasil dari interplay antara kelompok yang dianggap menyimpang, otoritas
kontrol sosial, media massa, dan publik (David, Rohloff, Petley, & Hughes,
2011). Relasi dari beragam entitas ini tidak bersfat setara, melainkan saling
menindas di satu sisi, tetapi saling menguntungkan di sisi yang lainnya.
Bila media telah mengajarkan kebencian seperti ini, maka sudah saatnya
kaum cendikiawan memberikan koreksi. Sangatlah tidak bijaksana bila kita
mengutuk dan secara tendensius menyimpulkan keberadaan sebuah kelompok
dengan jumlah yang tergolong minoritas. Apalagi bila kelompok tersebut memang
nyata ada dalam kehidupan kita dan telah menjadi bagian dari sejarah masa lalu.
Tidak bisa kita bayangkan bagaimana jadinya bila KPI sudah ada sejak zaman
Majapahit dan menyaksikan Baginda Hayam Wuruk melakukan kegemarannya
menari menggunakan pakaian perempuan di hadapan menteri-menterinya.5
Artinya, sejak zaman Majapahit dulu, tingkah laku yang dianggap kewanitawanitaan bahkan dilembagakan dan menjadi bagian dari kesenian. Jauh dari
5

Lihat kitab Negarakretagama dan kitab Pararaton.

18

usaha-usaha penghakiman apalagi mendiagnosis yang mengarah pada kesimpulan
adanya “gerakan” yang membahayakan umat.
Sepanjang sejarahnya, kepanikan moral tidak selalu berbuah negatif. Ada
kalanya pemerintah turun tangan untuk memberlakukan regulasi moral.
Contohnya adalah ketika alkohol sempat menjadi kepanikan moral di tanah
Britania Raya (Critcher, 2011). Namun, mengatur sebuah kepanikan yang
bersumber pada sebuah benda (misalnya alkohol) sangat berbeda dengan
mengatur kepanikan moral yang bersumber pada penyakit (HIV/AIDS) atau
orientasi seksual seseorang. Terlebih lagi saat unsur media massa seperti televisi
sudah menjadi bagian di setiap dinamikanya.
Masalah dalam struktur media itu sendiri juga dapat mengakibatkan media
mengalami sebuah disfungsi kerja. Disfungsi ini ditandai dengan melemahnya
kerja dari media itu sendiri atau bahkan menyimpang dari nilai-nilai yang
seharusnya diperjuangkan, misalnya menyangkut imparsialitas berita. Salah satu
fenomena penyimpangan dan disfungsi yang paling parah adalah berubahnya
kecenderungan media menjadi lapdog journalism yang berakar pada argumentasi
bahwa media memiliki kecenderungan untuk beorientasi pada kepentingan elit
untuk mempertahankan status quo. Kedua, hanya percaya pada penyataan
korporasi dan pemerintah, dan yang ketiga, media tersebut selalu menimbulkan
bias politik yang menguntungan pihak otoritas dan korporasi di setiap
pemberitaan yang mereka (Franklin, Hamer, Hanna, Kinsey, & Richardson,
2005:130). Kegiatan jurnalistik bergaya lapdog ini bertentangan dengan prinsip
watchdog yang berorientasi pada investigasi dan pengungkapan fakta-fakta.
Moral panic atau kepanikan moral tentang siapa yang salah dan siapa yang
benar, tentang mana yang benar dan mana yang salah, hanya bisa dihadapi oleh
pertarungan wacana dalam media itu sendiri. Pergerakan tersebut harus dimulai
dari aktivis, kaum muda, kaum terpelajar, dan kaum yang dijadikan kambing
hitam itu sendiri. Mereka harus bisa membuat wacana tandingan demi
membentung situasi chaos yang berpotensi terjadi jika moral panic hasil
pembingkaian media ini tidak diatasi. Karena jika tidak, maka akan muncul
phobia-phobia terhadap objek-objek sosial seperti yang disebut Stanley Cohen

19

sebagai folk devils, atau iblis yang sengaja diciptakan dan disebarluaskan oleh
otoritas. Maka dari itu, sebaik-baiknya khalayak adalah khalayak yang terliterasi
terhadap media atau dalam kata lain melek terhadap media itu sendiri. Karena
dengan demikian, segala penetrasi kebencian dan ketakutan yang coba dilakukan
oleh media tidak akan berhasil sepenuhnya, sebab telah tersaring di dalam benak
dan kognisi khalayak terlebih dahulu. Dengan cara yang demikian itulah nilainilai demokrasi bisa ditopang.

20

Daftar Pustaka
Allifiansyah, Sandy. (2015). Media Alternatif di Indonesia (Napak Tilas dan
Pencarian Arah di Masa Depan). www.academia.edu .
Brandes, J.L.A. (1879). Pararaton (Ken Arok) of het boek der Koningen van
Tumapěl en van Majapahit. Ze druk, Verhandelingen van de Bataviasche
Genootschap No. 62 (Batavia, 1920).
Cohen, Stanley. (1972). Folk Devils and Moral Panics: The Creation of The Mods
and Rockers. Oxford: Martin Robertson.
Critcher, Chas. (2011). For a Political Economy of Moral Panic. Crime Media
Culture 7 (3) , 259-275.
David, Rohloff, Petley, & Hughes. (2011). The Idea of Moral Panic - Ten
Dimensions of Dispute. Crime Media Culture 7(3) , 215-228.
Foucault, Michel. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other
Writings 1972-1977. New York: Pantheon Books.
Foucault, Michel. (1975). The Birth of The Clinic: An Archeology of Medical
Perception. New York: Vintage Books.
Fraden, J. B., & Fraden, D. B. (2008). The Salem Witch Trials. United States:
Marshall Cavendrish.
Franklin, B., Hamer, M., Hanna, M., Kinsey, M., & Richardson, J. E. (2005). Key
Concept in Journalism Studies. London: SAGE Publications Ltd.
Garland, David. (2008). On The Concept of Moral Panic. Crime, Media, Culture,
Vol 4 (1) , 9-30.
Gates, Gary J. (2012, Juni). LGBT Identity: A Demographer’s Perspective.
Retrieved

Oktober

1,

2016,

from

The

Williams

Institute:

http://williamsinstitute.law.ucla.edu/
Goode, & Yehuda, Ben. (1994). Moral Panics: The Social Construction of
Deviance. Oxford: Blackwell.
Groarke, Leo. (2008). Fallacy Theory. In E. N. Zalta, Informal Logic.
http://plato.stanford.edu/.
Harsutejo. (2010). Kamus Kejahatan Orba. Depok: Komunitas Bambu.

21

Henry, Stuart. (2009). Social Construction of Crime. In J. M. Miller, 21st Century
Criminology: A Reference Handbook (pp. 296-304). California: Sage
Publications.
Herlambang, Wijaya. (2013). Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde
Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Tangerang
Selatan: Marjin Kiri.
de Lyon J.M.B. (1941). Over de waroks and Gemblaks van Ponorogo. Koloniaal
Tijdschrift, Vol 30, 740-60
Kinsey, Pomeroy, & Martin. (1948). Sexual Behavior in The Human Male.
Philadelphia & London: W.B. Saunders Company.
Kinsey, Pomeroy, Martin, & Gebhard. (1953). Sexual Behavior of The Human
Female. Philadelphia & London: W. B. Saunders Company.
Levi-Strauss, Claude. (1968). Structural Anthropology. London: Allen Lane.
McRobbie, & Thornton. (1995). Re-thinking Moral Panics for Multi-mediated
Social Worlds. British Journal of Sociology 46 (4) , 559-74.
Monter, William. (2002). Witch Trials in Continental Europe. In B. A. Clark,
Witchcraft and Magic in Europe (p. 22). Philadelphia: University of
Pennsylvania Press.
Oetomo, Dede. (1991, Juli 7). Homoseksualitas di Indonesia. Prisma.
Paramaditha, Intan. (2016, February 27). The LGBT Debate and the Fear of
'gerakan'™. Retrieved September 29, 2016, from The Jakarta Post:
www.thejakartapost.com
Pigeaud, Theodore Th. (1962). Java in The 14th Century: A Study in Cultural
History . The Nagara-Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365
A.D. Koninklijk Instituut voor Tall-, Land-en Volkenkunde, Vol IV, 29-41
Serat Tjentini. [1814] 1912-1915. Edited by Ng. Soeradipoera et.al. Batavia:
Martinus Nijhhoff.
Sharpe, James. (2002). The Lancaster witches in Historical Context. In Poole, &
Robert, The Lancashire Witches: Histories and Stories (pp. 1-18).
Manchester: Manchester University Press.

22

Soerijo, Soedagoeng Hendro. (1961). Gemblakan di Ponorogo. Skripsi Sarjana
pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sterling, Christopher W. (2009). Encyclopedia of Journalism. California: SAGE
Publications Ltd.
Sulistyo, Hermawan. (2000). Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian
Massal yang Terlupakan (1965-1966). Jakarta: Gramedia.
Tashandra, Nabilla. (2016, Februari 25). Ini Alasan KPI Larang Stasiun TV
Tayangkan Sosok "Pria yang Kewanitaan". Retrieved Oktober 1, 2016,
from Kompas.com: nasional.kompas.com
Thompson, Kenneth. (2005). Moral Panics. London: Taylor & Francis e-Library.
Tjiadarma, Eduard. Lazarus. (2016, Maret 24). Kepanikan Moral Di Balik
Perbincangan tentang LGBT. Retrieved Oktober 12, 2016, from
www.remotivi.or.id:

http://www.remotivi.or.id/amatan/271/Kepanikan-

Moral-di-Balik-Perbincangan-tentang-LGBT
Young, Jock. (1971). The Role of The Police as Amplifiers of Deviancy. In S.
Cohen, Images of Deviance (pp. 27-61). Harmondsworth: Penguin.

23