Kendala Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
URGENSI PENGATURAN PERTANAHAN YANG ADIL UNTUK
PEMBANGUNAN (EKONOMI) YANG BERKEPASTIAN HUKUM
oleh: Ida Nurlinda1
A. Pendahuluan
Kegiatan pembangunan yang telah dilakukan bangsa Indonesia sejak
kemerdekaan tahun 1945 yang lalu, telah membawa berbagai kemajuan dan
keberhasilan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian hal tersebut
belum berhasil membawa rakyat Indonesia berada pada taraf kehidupan yang
adil, makmur dan sejahtera sesuai tujuan akhir negara Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kegiatan pembangunan ekonomi
khususnya, belum mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi, inklusif dan
berkelanjutan, sehingga akibatnya hasil-hasil pembangunan belum dapat
dinikmati rakyat secara menyeluruh. Dengan kata lain keberhasilan
pembangunan ekonomi belum diikuti dengan keberhasilan pembangunan sosial.
Saat ini, arah pembangunan Indonesia (terutama di bidang ekonomi),
telah disusun pemerintah dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP Nasional) tahun 2005-2025.
Dalam RPJP Nasional tersebut, pembangunan ekonomi Indonesia dalam 20
tahun mendatang diarahkan pada sasaran2:
1. Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh di mana pertanian
(dalam arti luas) dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi
yang menghasilkan produk-produk secara efisien dan modern, industri
manufaktur yang berdaya saing global, menjadi motor penggerak
perekonomian dan jasa, menjadi perekat ketahanan ekonomi;
2. Pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$6000
dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk
miskin tidak lebih dari 5%;
1 Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Unpad
2 Lihat Lampiran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
1
3. Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan dalam
kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan
untuk tingkat rumah tangga.
Arah sasaran ini sangat ideal untuk mendukung terwujudnya visi pembangunan
nasional tahun 2005-2025 yaitu “Indonesia yang maju dan mandiri, adil dan
demokratis serta aman dan bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Dalam konteks tanah sebagai sarana untuk mewujudkan pembangunan,
maka pengaturan pertanahan yang menjamin kepastian hukum sekaligus
memberikan keadilan terhadap masyarakat, menjadi kunci penting untuk
tercapainya sasaran-sasaran pokok pembangunan ekonomi di atas. Misalnya,
struktur perekonomian yang berbasis pada aktivitas pertanian harus didukung
dengan luasan lahan yang produktif dan memadai, pembiayaan yang murah dan
mudah, teknologi yang efisien dan ramah lingkungan, serta kebijakan
pertanahan yang mempertahankan ketahanan pangan (food security) secara
berkelanjutan untuk mencapai kedaulatan pangan (food soverignity).
B. Masalah Pertanahan dalam Pembangunan Ekonomi
Pentingnya kejelasan kedudukan aspek pertanahan dalam kegiatan
pembangunan di Indonesia, merupakan fakta yang tidak terbantahkan.
Timbulnya beragam kasus konflik dan/atau sengketa pertanahan dan sumber
daya alam menunjukkan masalah pertanahan mempunyai tingkat urgensitas yang
sangat tinggi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Maria S.W.
Sumardjono membagi kasus-kasus pertanahan ke dalam 5 kelompok, yaitu3:
1. Kasus yang berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah
perkebunan, kehutanan, dsb;
2. Kasus yang berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform;
3. Kasus yang berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk
pembangunan;
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; dan
5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
Dari tipologi kasus pertanahan di atas, ada 3 masalah pokok pertanahan
yang menjadi tantangan dinamika pembangunan (ekonomi) Indonesia, yang jika
3 Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah: Potensi Penerapan
ADR di bidang Pertanahan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008: hlm. 2
2
tidak diselesaikan dengan baik dan komprehensif, maka dapat menjadi hambatan
dalam pencapaian visi, misi dan sasaran pembangunan Indonesia. Adapun ketiga
masalah tersebut adalah:
1. Alih Fungsi Lahan Pertanian ke non Pertanian
Arahan pembangunan ekonomi sebagaimana dirumuskan dalam
RPJP Nasional di atas dalam implementasinya menghadapi tantangan yang
cukup besar. Kegiatan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur,
kawasan industri dan kawasan perumahan permukiman telah mendorong
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian secara
besar-besaran dan tidak terkendali. Setiap tahunnya, sekitar 187.720 ha
sawah telah beralih fungsi ke penggunaan non pertanian, terutama di pulau
Jawa4.
Melengkapi data tersebut, Direktorat Penatagunaan Tanah BPN pada
Tahun 2005 juga menyatakan bahwa sehubungan dengan hal alih fungsi
lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu ditinjau kembali, karena
jika tidak maka dari total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 Ha, hanya sekitar
4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya, sedangkan sisanya
sekitar 3,01 juta Ha (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain5.
Data BPS bahkan menunjukkan bahwa 60.000 Ha lahan pertanian telah
dikonversi setiap tahunnya6 untuk penggunaan non pertanian. Data di atas
tentu menghawatirkan dan mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal
suatu negara sebesar Indonesia, harus mempunyai sistem ketahanan pangan
(food security system) yang baik, di mana rakyatnya dapat memperoleh akses
kecukupan pangan yang memadai untuk hidup sehat dan layak7.
Berbagai peraturan/kebijakan telah dirumuskan guna mencegah alih
fungsi lahan pertanian tersebut. Misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri
(PMDN) No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai
Penyediaan dan Pemberian tanah untuk Keperluan Perusahaan, PMDN No.
4 Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan Kebijakan Pengelolaan
Lahan, Jakarta, 2005: hlm. 5
5Joyo Winoto, 2005, Kebijakan Pengendalian alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya, Makalah
pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta 13 Desember
2005: hlm 8.
6 Koran KOMPAS, Politik dan Strategi Pangan Nasional Lemah, Jakarta 30 November 2011: hlm 1
7 Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2009: hlm. 240
3
3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak atas Tanah untuk
Keperluan Pembangunan Perumahan, Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang
Kawasan Industri, Keppres No. 54 Tahun 1980 tentang Kebijaksanaan
mengenai Pencetakan Sawah, merupakan contoh-contoh aturan yang
melarang digunakannya lahan pertanian subur untuk penggunaan non
pertanian. Dalam perkembangannya, sejalan dengan tujuan membangun
ketahanan dan kedaulatan pangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat,
dibentuk Undang-undang No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan jo PP No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan
dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang secara tegas
melarang alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Namun demikian,
dalam kenyataannya alih fungsi lahan tetap saja terjadi.
Jika dikaji lebih dalam, tidak efektifnya peraturan yang melarang alih
fungsi lahan pertanian terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
kontradiktif, dalam arti di satu pihak melarang adanya alih fungsi lahan
pertanian, tetapi di lain pihak kebijakan pembangunan sektor industri,
infastruktur, kawasan industri ataupun kawasan perumahan permukiman,
justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan8. Kebijakan yang kontradiktif,
tidak saling mendukung, pada tataran implementasi justru menimbulkan
masalah, bukan sebaliknya. Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan,
mengingat luas tanah itu sendiri terbatas, terutama di pulau Jawa, padahal
intensitas kegiatan pembangunan di pulau Jawa sangat tinggi.
Kebijakan pemerintah melakukan percepatan pembangunan ekonomi
melalui Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian semakin tidak terkendali.
Aspek pertanahan dalam MP3EI tidak mendapat perhatian yang serius,
termasuk juga aspek penataan ruang, khususnya penatagunaan tanahnya.
Padahal MP3EI ini dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan
berkelanjutan. Hal ini seharusnya diselaraskan dengan arah kebijakan dan
8 Ida Nurlinda, Penataan Ruang yang Mendukung Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian, Makalah
pada Simposium Nasional Pertanahan di Indonesia pada Abad 21, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok 13 Desember 2011: hlm. 3
4
strategi pembangunan pertanahan itu sendiri, dalam bingkai kerangka
reforma agraria yang prinsip dan kebijakannya tertera dalam Ketetapan MPR
No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam.
Kebijakan pengelolaan pertanahan dan sumber daya alam di era Orde
Baru yang terlalu diarahkan pada kegiatan pembangunan ekonomi semata
(economic developmentalism) telah mendorong rusaknya lingkungan dan
tertinggalnya faktor pembangunan sosial. Hal ini seharusnya menjadi
pelajaran dan perhatian pemerintah ketika kebijakan MP3EI diluncurkan.
Proyek MP3EI tak akan dilaksanakan di ruang hampa. Ada masyarakat lokal
dan masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan sekitar wilayahwilayah proyek tersebut. Mereka berdiam di atas tanah ulayat mereka. Hal
ini mengakibatkan pemerintah harus berhadapan dengan masyarakat hukum
adat ketika ingin mendapatkan tanah tersebut9. Dalam kasus pembangunan
Kawasan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke
misalnya, proses perolehan tanahnya (yang merupakan tanah adat)
menimbulkan sengketa pertanahan yang sangat masif, baik antara
masyarakat adat dengan pemerintah maupun masyarakat adat dengan
investor.
2. Tanah Terlantar
Selain masalah alih fungsi lahan pertanian, masalah tanah terlantar
cukup menjadi hambatan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Masalah
ini seolah-olah kontradiktif. Di satu sisi muncul masalah alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian, menunjukan seolah-olah luasan tanah sudah
berkurang, namun di sisi lain muncul masalah tanah terlantar, seolah-olah
luasan tanah cukup berlebih. Masalah tanah terlantar juga menimbulkan
kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan rakyat, selain menurunkan
kualitas lingkungan.
Hasil identifikasi Badan Nasional (BPN) atas tanah terlantar di
Indonesia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa tanah terlantar di Indonesia
mencapai seluas 7.386.289 ha, yang terdiri atas tanah terlantar dengan status
9 Siti Rachma Mary, MP3EI Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat Kehancuran, artikel pada
https://docs.google.com/document/d/...PLDjzY/edit, diunduh tgl 20 Juli 2013, pkl 11.30 WIB
5
Hak Guna Usaha (HGU) seluas 1.925.326 ha, Hak Guna Bangunan (HGB)
seluas 49.030 ha, Hak Pakai seluas 401.079 ha, Hak Pengelolaan seluas
535.682 ha dan sisanya tanah-tanah dengan status izin lokasi dan izin-izin
lainnya seluas 4.475.172 ha10. Mengingat luasan tanah terlantar cukup besar,
maka perlu upaya serius untuk mengatasinya. Pengaturan penyelesaian
masalah tanah terlantar sebenarnya telah dilakukan melalui PP no. 36 tahun
1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan ini
kemudian diganti dengan PP No. 11 tahun 2010 dengan meletakan masalah
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam kerangka reforma
agraria sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Namun kenyataannya di lapangan, permasalahan tanah terlantar
sangat kompleks. Selain karena PP No. 11 tahun 2011 tidak memberikan
definisi tanah terlantar, pembuktian bahwa suatu areal dapat dikatakan
terlantar juga tidak mudah. Pasal 2 PP No. 11 tahun 2010 menegaskan bahwa
“obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberi hak oleh
Negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan,
atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan,
atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya”. Untuk menyatakan “tidak
diusahakan”, “tidak dipergunakan” atau “tidak dimanfaatkan” tentulah harus
dilakukan penelitian dan identifikasi.
Identifikasi dan penelitian tanah terlantar dilakukan untuk nama dan
pemegang hak. Demikian juga atas letak, luas, status hak atau dasar
penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak.
Namun yang tidak kalah penting untuk diteliti adalah keadaan atau sebab
yang mengakibatkan suatu tanah menjadi terlantar atau ditelantarkan.
Misalnya hasil penelitian mengenai tanah terlantar di Kabupaten
Tasikmalaya menunjukkan bahwa tanah diterlantarkan karena karakteristik
tanah tersebut yang tidak memungkinkan untuk ditanami secara produktif,
sehingga tanaman tidak dapat berproduksi secara maksimal. Selain itu,
10 Noer Fauzi Rachman, Landreform dari Masa ke Masa, Penerbit Tanah Air Beta, Yogyakarta, 2012: hlm.
110
6
karakteristik tanah yang mengandung lapisan solum yang dangkal,
sedangkan tanaman yang ditanam adalah pohon karet, yang seharusnya
membutuhkan kedalaman solum yang lebih tebal11. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terjadinya tanah terlantar dapat juga disebabkan
pemberian hak guna usaha (HGU) yang tidak didahului dengan studi
evaluasi lahan apakah sesuai atau tidak dengan karakteristik tanaman yang
akan ditanam. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria
itu sendiri. Tidak ada koordinasi yang baik antara kebijakan pemberian hak
atas tanah dengan peruntukan lahan tersebut.
Selain itu, obyek tanah yang dapat dikategorikan sebagai tanah
terlantar pun seringkali menimbulkan masalah. Pasal 3 huruf (b) PP No. 11
tahun 2010 menegaskan bahwa “tanah yang dikuasai pemerintah baik secara
langsung maupun tidak langsung, dan sudah berstatus maupun belum
berstatus Barang Milik Negara/Daerah, yang tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya”, dikecualikan dari obyek penertiban tanah terlantar. Dengan
demikian aturan PP No. 11 tahun 2010 lebih menitikberatkan penertiban
tanah terlantar yang berasal dari tanah-tanah HGU, HGB atau hak pakai
yang dimiliki oleh badan usaha saja.
Padahal faktanya di lapangan, tanah terlantar banyak terjadi
(terutama di pulau Jawa) pada tanah-tanah yang dikuasai pemerintah/pemda
atau BUMN/BUMD, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya
tanah-tanah perhutani yang tidak lagi menjadi kawasan hutan karena telah
berubah fungsi menjadi perumahan/permukiman atau peruntukan lain non
kehutanan. Demikian juga tanah-tanah perkebunan milik PTPN yang sudah
tidak lagi digarap, baik karena masa berlaku hak guna usaha (HGU) nya
telah berakhir atau karena kondisi dan kualitas lahan yang tidak sesuai
dengan tanaman yang akan ditanam (seperti kasus di Kabupaten Tasikmalaya
11 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak., Evaluasi Dampak Berlakunya PP No. 11 Tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terhadap Kebijakan Pengelolaan Tanah
Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya, Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Program Desentralisasi,
Kemendikbud-Unpad, 2012: hlm. 40
7
seperti dikemukakan di atas). Pada tanah-tanah demikian seringkali
kemudian diterlantarkan12.
Jika terhadap tanah-tanah demikian, ketentuan PP No. 11 tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dikecualikan, maka
hal itu sangat tidak adil. Kondisi demikian justru seringkali menjadi pemicu
terjadinya konflik, karena masyarakat setempat beranggapan tanah tersebut
dapat dipergunakan untuk lahan mata pencahariannya, sementara
pemerintah/pemda, BUMN/BUMD na tidak mau melepaskannya karena
beranggapan secara de jure tanah-tanah tersebut masih merupakan tanah
mereka dan merupakan aset bagi instansi tersebut. Selain tidak adil,
demikian juga menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam
penatagunaan tanah dan penataan ruang.
3. Pengadaan Tanah
Masalah pengadaan tanah untuk kegiatan merupakan masalah
pertanahan yang juga kerap muncul menyertai kegiatan-kegiatan
pembangunan, selain masalah alih fungsi lahan dan penelantaran tanah.
Pengaturan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan,
baik bentuk hukum maupun substansinya. Paling tidak sejak era Orde Baru
yang diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 tahun
1975 tentang Tata Cara Pembebasan Tanah, hingga saat ini dalam bentuk
Undang-undang No. 2 tahun 2012.
Di era Orde Baru, masalah pengadaan tanah banyak menimbulkan
kasus konflik dan/atau sengketa pertanahan bahkan tidak sedikit berujung
pada pelanggaran HAM, seperti kasus Waduk Kedung Ombo di Provinsi
Jawa Tengah, kasus tanah Jenggawah di Kabupaten Jember dsb. Hal ini
disebabkan di era Orde Baru dikenal adanya kebijakan “Tanah untuk
Pembangunan”, yang berintikan pada kegiatan pembebasan tanah yang
didukung pemerintah untuk memenuhi kebutuhan proyek-proyek (baik
pemerintah maupun swasta) akan tanah untuk pembangunan sektor
pertanian, infrastruktur, perumahan, industri dsbnya. Hal ini dilakukan oleh
12 Ida Nurlinda, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, Penerbit LoGoz
Publishing bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fak. Hukum Unpad,
2013: hlm. 69
8
pemerintah Orde Baru dengan menafsirkan asas “fungsi sosial atas tanah”
sebagai legitimasi untuk mendukung kebijakan “tanah untuk pembangunan”
tersebut13. Tidak adanya penafsiran yang baku atas asas hukum “fungsi sosial
atas tanah”, sebagaimana ditegaskan Pasal 6 UUPA menyebabkan mudahnya
asas hukum tersebut dikaitkan dengan makna “kepentingan umum” yang
menjadi syarat utama dalam pengadaan tanah untuk pembangunan. Makna
“kepentingan umum” dianggap akan selalu terkandung dalam pemaknaan
“fungsi sosial atas tanah”. Meskipun pemahaman demikian dapat
dibenarkan, akan tetapi tentu pelaksanaannya harus bertanggung jawab dan
mengedepankan aspek keadilan.
Dalam konteks pengadaan tanah untuk mendukung proyek-proyek
Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI), kendala yang muncul tidak sedikit. Hal ini disebabkan aspek
pertanahan tidak diintegrasikan dengan baik untuk mendukung implementasi
MP3EI tersebut. Padahal, dalam lampiran dokumen MP3EI ditegaskan
bahwa Indonesia memposisikan diri sebagai basis ketahanan pangan dunia,
pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan dan sumber daya
mineral, serta pusat mobilitas logistik global14. Hal di atas sulit dilaksanakan
jika tidak ditopang dengan ketersediaan lahan yang memadai dan status
tanah yang berkepastian hukum yang jelas.
Sebagai instrumen investasi, dukungan aspek pertanahan pada
kegiatan pembangunan ekonomi dalam MP3EI tidak cukup hanya didukung
dengan luas tanah yang cukup, status tanah yang jelas,akan tetapi juga perlu
memperhatikan aspek sosial dan budaya, karena bagi sebagian besar rakyat
Indonesia (terutama masyarakat adat) tanah mempunyai sifat magis religius.
Jangan sampai implementasi MP3EI justru meningkatkan potensi konflik
dan/atau sengketa pertanahan di Indonesia, karena UU No. 2 tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
memberi fasilitas dan kemudahaan yang cukup banyak bagi investor yang
akan berinvestasi di Indonesia.
13 Noer Fauzi Rachman, op. cit.: hlm. 5
14 Lampiran Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025, hlm. 4
9
Kemudahan perolehan tanah itu terutama dengan diaturnya tengat
waktu perolehan tanah. Selama ini investor enggan berinvestasi di Indonesia
karena tengat waktu perolehan tanah untuk kegiatan proyek, tidak jelas
berapa lama. Dalam UU No. 2 tahun 2012, pengadaan tanah dapat dilakukan
dalam waktu 319 hari (kurang dari 2 tahun), atau 583 hari jika ada keberatan
dari pihak pemilik tanah. Jangka waktu yang ketat ditetapkan dengan
memberi tengat waktu yang ketat kepada lembaga-lembaga peradilan yang
menangani keberatan pengadaan tanah tersebut. Namun, hal ini juga dapat
menimbulkan konflik antar lembaga karena tengat waktu penyelesaian
perkara yang diajukan ke lembaga peradilan dapat ditafsirkan sebagai upaya
intervensi kewenangan lembaga peradilan.
C. Alternatif Solusi
Masalah pertanahan baik yang bersifat hak-hak keperdataan maupun
yang menyangkut aspek hukum publik, tentu tidak mudah menyelesaikannya.
Apalagi jika hal itu menyangkut kegiatan pembangunan ekonomi yang tentunya
harus ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan negara.
Disamping 3 masalah pertanahan yang telah diuraikan di atas, banyak hal juga
yang terkait dengan aspek pertanahan yang pada akhirnya menimbulkan
permasalahan hukum dan/atau sosial. Hanya saja, terkait kegiatan pembangunan
ekonomi, ketiga masalah di atas cukup berpotensi menghambat pembangunan
Indonesia secara keseluruhan.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, arti hukum dan fungsinya dalam
masyarakat harus dikembalikan kepada hakekat tujuan hukum, yang apabila
direduksi pada 1 hal saja, adalah ketertiban (order)15. Ketertiban tersebut harus
difahami dalam 2 makna sekaligus, baik tertib hukumnya, maupun tertib
masyarakatnya; agar tujuan hukum yang lain dapat tercapai pula, yaitu kepastian
hukum dan keadilan. Dalam aspek pengaturan pertanahan, kepastian hukum dan
keadilan menjadi kata kunci, walaupun dalam kenyataannya kedua tujuan
hukum tersebut bagai 2 mata pisau yang bertentangan, namun bukan berarti
15 Otje Salman dan Eddy Damian (ed.), Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya
Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Penerbit Alumni, Bandung, 2002: hlm. 3.
10
tidak dapat diselaraskan. Peran pemerintah untuk mencari solusi masalah
pertanahan dalam kegiatan pembangunan ekonomi, merupakan aspek penting
dalam menyelaraskan kepastian hukum dan keadilan agraria.
Dalam masalah alih fungsi lahan pertanian, pemerintah harus
berpedoman kuat pada kaidah-kaidah penataan ruang dan peraturan mengenai
lahan pertanian pangan berkelanjutan. PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional menegaskan bahwa RTRW harus dapat
mewujudkan ruang wilayah yang produktif dan berkelanjutan. Dalam peraturan
pemerintah tersebut, kawasan peruntukan pertanian masuk ke dalam kawasan
budi daya yang penetapannya harus memperhatikan kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan
pertanian;
2. Ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi (berkelanjutan);
3. Mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
4. Dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
Kriteria-kriteria tersebut di atas jelas harus dirujuk ketika
mengembangkan wilayah peruntukan pertanian. Dengan demikian, jika suatu
ruang/lahan produktif sudah ditetapkan untuk lahan pertanian, maka konversi
lahan tersebut untuk penggunaan lain di luar peruntukan pertanian, jelas harus
dilarang. Dalam konteks ini peran instrumen pengendalian penataan ruang
wilayah menjadi penting. Misalnya pemberian perizinan yang selektif,
pengenaan pajak yang progresif, pemberian insentif dan disinsentif penaatan
RTRW serta sistem zonasi wilayah yang konsisten.
Namun demikian pada asasnya manakala kepentingan umum
menghendaki, Pasal 44 ayat (3) UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, memperkenankan alih fungsi lahan.
Namun tetntunya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dilakukan melalui kajian kelayakan strategis;
2. Disusun rencana dengan baik alih fungsi lahannya;
3. Dibebaskan dan diselesaikan kepemilikan hak atas tanahnya dari
pemilik semula;
11
4. Disediakan lahan pengganti atas tanah yang dialih fungsikan dengan
kualitas lahan minimal setara.
Penegakan peraturan di atas perlu diefektifkan, mengingat terminologi
“kepentingan umum” itu sendiri sangat debateable. Implementasi pemenuhan
persyaratan alih fungsi lahan perlu dilakukan melalui sistem advokasi publik
yang konsisten dan efektif serta kompensasi bagi pemilik tanah yang
memperhatikan sifat multi fungsinya lahan pertanian. Misalnya insentif pajak
atas tanah pengganti alih fungsi, atau bantuan berupa kredit pembiayaan
produksi pertanian.
Keberpihakan kepada petani dan pertanian tetap diperlukan meski di era
pasa bebas sekalipun. Liberalisasi di sektor pertanian perlu dilakukan secara
hati-hati. Negara-negara maju sekalipun masih tetap melakukan proteksi di
sektor pertanian untuk melindungi sebagian terbesar rakyatnya dari aspek
negatif liberalisasi16. Apalagi bagi negara seperti Indonesia. Oleh sebab itu
disahkannya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) pada tanggal 9
Juli 2013 lalu patut diapresiasi dengan baik, sebagai bentuk kepedulian
pemerintah pada kehidupan petani. Pembangunan ekonomi bukan berarti harus
fokus pada sektor-sektor industri manufaktur, namun bagi Indonesia justru
sebaliknya harus berbasis pada sektor pertanian.
Dalam mencari solusi atas masalah tanah terlantar, PP No. 11 tahun 2010
tentang Penertiban dan Pengendalian Tanah Terlantar, masih sangat sulit
diimplementasikan karena prosedur penetapan tanah terlantar yang tidak mudah,
berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama. Pemberdayaan
(empowerment) adalah suatu upaya untuk membuat sesuatu (subyek atau obyek)
yang tidak berdaya menjadi berdaya dalam menghadapi atau melaksanakan
sesuatu hal17. Dengan demikian penertiban tanah terlantar dilakukan sematamata untuk mendayagunakan dan mengoptimalkan tanah agar tanah dapat
menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
16 Ahmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2013: hlm. 149
17 Arba, Sahnan, Wiwiek Wahyuningsih, Pemberdayaan Hukum dan Kebijakan Pertanahan sebagai
Upaya Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Artikel dalam Jurnal “Mimbar Hukum”, volume
22, No. 1 Februari 2010, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta: hlm. 18
12
Memaknai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar pada
hakekatnya harus dalam kerangka reforma agraria, khususnya melalui Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) berupa redistribusi tanah. Aturan mengenai
redistribusi tanah sebenarnya telah ada sejak mulai berlakunya UUPA, namun
seperti halnya dengan PPAN, pelaksanaannya tidak efektif karena18:
1. Sulit menentukan subyek penerima redistribusi tanah, mengingat
tidak adanya kriteria penerima tanah yang standar;
2. Sulit menentukan tanah-tanah yang menjadi obyek redistribusi
mengingat kompleksnya permasalahan penguasaan, pemilikan,
pengguanaan dan pemanfaatan tanah di lapangan;
3. Khusus untuk tanah yang diredistribusikan berasal dari kawasan
hutan, meskipun peruntukannya bukan lagi untuk kehutanan (untuk
tujuan non kehutanan) namun dalam kenyataannya karena masih
dalam kewenangan kementerian Kehutanan, tidak mudah
meredistribusikan tanah-tanah ex kawasan hutan.
Untuk mengatasi timbulnya tanah terlantar, maka pemerintah perlu
memperketat pemberian hak atas tanah dan korelasi permohonan hak atas tanah
tersebut dengan peruntukan dan penggunaan tanah. Permohonan hak atas tanah
yang sangat luas tanpa disertai dengan proposal peruntukan tanah yang memadai
seharusnya menjadi early warning system dalam pemberian hak atas tanah. BPN
harus jeli dalam membedakan mana pengusaha yang sesungguhnya dengan
pengusaha yang berprofesi sebagai spekulan tanah. Selain itu sistem perpajakan,
perizinan serta pemberian insentif dan disinsentif merupakan alat pengendali
yang cukup signifikan. Hal ini jauh lebih baik dari pada kemudian pemerintah
menetapkan tanah terlantar. Keputusan pemerintah yang menetapkan tanah
terlantar rawan digugat oleh masyarakat atau pemilik tanah terlantar. Salah satu
diantaranya adalah gugat PT Perkebunan Tratak di Kecamatan Bandar,
Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah terhadap BPN karena mencabut HGU
perkebunan tersebut melalui SK No.: 7/PTT-HGU/BPNRI/2013 tentang
Penetapan Tanah Terlantar yang Berasal dari HGU No. 1/Batang atas nama PT
Perusahaan Perkebunan Tratak.
18 Ida Nurlinda, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, Op. Cit.: hlm. 66
13
Dalam hal pengadaan tanah bagi kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum, solusi harus diupayakan dengan mengedepankan hakekat
kepentingan umum itu sendiri. Dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum , kepentingan
umum diartikan sebagai kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat (Pasal 1
angka 3). Sementara ruang lingkupnya dibatasi hanya untuk kegiatan yang
dilakukan pemerintah, dimiliki pemerintah dan tidak digunakan untuk mencari
keuntungan (Pasal 5 ayat 1 Keppres No. 55 Tahun 1993). Kriteria “tidak
digunakan untuk mencari keuntungan” merupakan kriteria yang sulit ditetapkan
mengingat hal tersebut sangat debateable. Misalnya, apakah pembangunan jalan
tol oleh pemerintah tidak dimaksudkan juga untuk mendatangkan keuntungan,
selain juga untuk kepentingan umum?
Oleh karena itu, makna kepentingan umum itu harus jelas terlebih dahulu
agar pemerintah mempunyai alas hak yang kuat ketika melakukan pengambilalihan hak atas tanah orang lain untuk selanjutnya digunakan untuk proyekproyek pemerintah. Hal ini harus mengacu pada asas hukum dalam hukum tanah
yaitu bahwa penguasaan dan/atau penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk
keperluan apapun harus dilandasi oleh alas hak yang sah menurut hukum. Ketiga
persyaratan kriteria kepentingan umum di atas (dilakukan pemerintah, dimiliki
pemerintah dan non profit), harus terpenuhi ketiganya, bukan hanya salah satu
kriteria saja. Ketiga kriteria kepentingan umum itu merupakan satu kesatuan
makna yang tidak terpisahkan. Dengan demikian ketika pemerintah akan
menetapkan (dalam UU Pengadaan Tanah) kegiatan-kegiatan pembangunan apa
saja yang termasuk kriteria kepentingan umum, seyogianya ditetapkan melalui
suatu pendapat umum/deklarasi publik19. Hal ini dimaksudkan agar penetapan
kriteria kepentingan umum dapat lebih dipertanggung-jawabkan.
Selain itu, pemahaman suatu proyek pemerintah termasuk kepentingan
umum harus selalu dikaitkan dengan hakekat fungsi sosial atas tanah, yaitu
adanya keseimbangan antara kepentingan umum itu sendiri dengan kepentingan
perorangan. Asas fungsi sosial harus dimaknai dalam kerangka berfikir bahwa
19 Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Pembangunan bagi Umum, Artikel pada Jurnal Konstitusi, Volume 1, No. 1, Agustus 2008, Jakarta: hlm. 5
14
hak-hak perseorangan atas tanah tidak bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh
kepentingan orang lain, masyarakat atau negara. Dengan demikian dituntut
penguasaan dan penggunaan tanah secara wajar dan bertanggung-jawab20.
Dengan kata lain, hak-hak individu atas tanah dibatasi oleh kepentingan umum
dalam bingkai asas fungsi sosial. Hak individu, kepentingan umum dan fungsi
sosial merupakan tiga makna yang selalu dirujuk untuk memecahkan masalah
pengadaan tanah.
D. Penutup
Masalah pertanahan tidak selayaknya ditempatkan secara dikhotomis
dengan kegiatan pembangunan. Apapun permasalahannya, sudah seharusnya
pengaturan pertanahan mendukung kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah, karena pada hakekatnya semua kegiatan pembangunan yang
dilakukan pemerintah tentunya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi. Namun demikian, mengingat esensi
makna tanah bagi rakyat Indonesia bersifat magis religius, bahkan tanah menjadi
“ibu” bagi kehidupan sebagian masyarakat tradisional (masyarakat adat)
Indonesia, maka unsur keadilan juga harus dikedepankan (tidak hanya unsur
kepastian hukum) manakala masalah pertanahan muncul. Keadilan dalam
konteks hukum pertanahan (agraria) harus dimaknai sebagai keadilan yang
menjamin akses yang layak dari masyarakat (termasuk masyarakat adat)
terhadap tanah dan/atau sumber daya alam yang menjadi sumber hidup dan
kehidupannya.
-inm-
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2013
Arba, Sahnan, Wiwiek Wahyuningsih, Pemberdayaan Hukum dan Kebijakan
Pertanahan sebagai Upaya Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,
20 Maria S.W. Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh
Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, FH-UGM, Yogyakarta, 1998: hlm. 8
15
Artikel dalam Jurnal “Mimbar Hukum”, volume 22, No. 1 Februari 2010,
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan
Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005
Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, Penerbit
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009
-----------------, Penataan Ruang yang Mendukung Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian, Makalah pada Simposium Nasional Pertanahan di Indonesia pada
Abad 21, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Desember 2011
-----------------, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria,
Penerbit LoGoz Publishing bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum
Lingkungan dan Penataan Ruang Fak. Hukum Unpad, 2013
Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, Evaluasi Dampak Berlakunya PP No.
11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
terhadap Kebijakan Pengelolaan Tanah Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya,
Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Program Desentralisasi,
Kemendikbud-Unpad, 2012
Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Pembangunan bagi Umum, Artikel pada Jurnal Konstitusi, Volume
1, No. 1, Agustus 2008, Jakarta
Joyo Winoto, 2005, Kebijakan Pengendalian alih Fungsi Tanah Pertanian dan
Implementasinya, Makalah pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan
Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta 13 Desember 2005
Koran KOMPAS, Politik dan Strategi Pangan Nasional Lemah, Jakarta 30 November
2011
Maria S.W. Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep
Penguasaan Tanah oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, FHUGM, Yogyakarta, 1998
Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah:
Potensi Penerapan ADR di bidang Pertanahan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008
Noer Fauzi Rachman, Landreform dari Masa ke Masa, Penerbit Tanah Air Beta,
Yogyakarta, 2012
Otje Salman dan Eddy Damian (ed.), Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan:
Kumpulan Karya Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Penerbit Alumni, Bandung,
2002
16
Siti Rachma Mary, MP3EI Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat
Kehancuran, artikel pada https://docs.google.com/document/d/...PLDjzY/edit,
diunduh tgl 20 Juli 2013, pkl 11.30 WIB
17
PEMBANGUNAN (EKONOMI) YANG BERKEPASTIAN HUKUM
oleh: Ida Nurlinda1
A. Pendahuluan
Kegiatan pembangunan yang telah dilakukan bangsa Indonesia sejak
kemerdekaan tahun 1945 yang lalu, telah membawa berbagai kemajuan dan
keberhasilan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian hal tersebut
belum berhasil membawa rakyat Indonesia berada pada taraf kehidupan yang
adil, makmur dan sejahtera sesuai tujuan akhir negara Indonesia sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Kegiatan pembangunan ekonomi
khususnya, belum mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi, inklusif dan
berkelanjutan, sehingga akibatnya hasil-hasil pembangunan belum dapat
dinikmati rakyat secara menyeluruh. Dengan kata lain keberhasilan
pembangunan ekonomi belum diikuti dengan keberhasilan pembangunan sosial.
Saat ini, arah pembangunan Indonesia (terutama di bidang ekonomi),
telah disusun pemerintah dalam UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP Nasional) tahun 2005-2025.
Dalam RPJP Nasional tersebut, pembangunan ekonomi Indonesia dalam 20
tahun mendatang diarahkan pada sasaran2:
1. Terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh di mana pertanian
(dalam arti luas) dan pertambangan menjadi basis aktivitas ekonomi
yang menghasilkan produk-produk secara efisien dan modern, industri
manufaktur yang berdaya saing global, menjadi motor penggerak
perekonomian dan jasa, menjadi perekat ketahanan ekonomi;
2. Pendapatan perkapita pada tahun 2025 mencapai sekitar US$6000
dengan tingkat pemerataan yang relatif baik dan jumlah penduduk
miskin tidak lebih dari 5%;
1 Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Unpad
2 Lihat Lampiran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025
1
3. Kemandirian pangan dapat dipertahankan pada tingkat aman dan dalam
kualitas gizi yang memadai serta tersedianya instrumen jaminan pangan
untuk tingkat rumah tangga.
Arah sasaran ini sangat ideal untuk mendukung terwujudnya visi pembangunan
nasional tahun 2005-2025 yaitu “Indonesia yang maju dan mandiri, adil dan
demokratis serta aman dan bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Dalam konteks tanah sebagai sarana untuk mewujudkan pembangunan,
maka pengaturan pertanahan yang menjamin kepastian hukum sekaligus
memberikan keadilan terhadap masyarakat, menjadi kunci penting untuk
tercapainya sasaran-sasaran pokok pembangunan ekonomi di atas. Misalnya,
struktur perekonomian yang berbasis pada aktivitas pertanian harus didukung
dengan luasan lahan yang produktif dan memadai, pembiayaan yang murah dan
mudah, teknologi yang efisien dan ramah lingkungan, serta kebijakan
pertanahan yang mempertahankan ketahanan pangan (food security) secara
berkelanjutan untuk mencapai kedaulatan pangan (food soverignity).
B. Masalah Pertanahan dalam Pembangunan Ekonomi
Pentingnya kejelasan kedudukan aspek pertanahan dalam kegiatan
pembangunan di Indonesia, merupakan fakta yang tidak terbantahkan.
Timbulnya beragam kasus konflik dan/atau sengketa pertanahan dan sumber
daya alam menunjukkan masalah pertanahan mempunyai tingkat urgensitas yang
sangat tinggi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. Maria S.W.
Sumardjono membagi kasus-kasus pertanahan ke dalam 5 kelompok, yaitu3:
1. Kasus yang berkenaan dengan penggarapan rakyat atas tanah-tanah
perkebunan, kehutanan, dsb;
2. Kasus yang berkenaan dengan pelanggaran peraturan landreform;
3. Kasus yang berkenaan dengan ekses-ekses penyediaan tanah untuk
pembangunan;
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; dan
5. Sengketa berkenaan dengan tanah ulayat.
Dari tipologi kasus pertanahan di atas, ada 3 masalah pokok pertanahan
yang menjadi tantangan dinamika pembangunan (ekonomi) Indonesia, yang jika
3 Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah: Potensi Penerapan
ADR di bidang Pertanahan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008: hlm. 2
2
tidak diselesaikan dengan baik dan komprehensif, maka dapat menjadi hambatan
dalam pencapaian visi, misi dan sasaran pembangunan Indonesia. Adapun ketiga
masalah tersebut adalah:
1. Alih Fungsi Lahan Pertanian ke non Pertanian
Arahan pembangunan ekonomi sebagaimana dirumuskan dalam
RPJP Nasional di atas dalam implementasinya menghadapi tantangan yang
cukup besar. Kegiatan pembangunan terutama pembangunan infrastruktur,
kawasan industri dan kawasan perumahan permukiman telah mendorong
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian secara
besar-besaran dan tidak terkendali. Setiap tahunnya, sekitar 187.720 ha
sawah telah beralih fungsi ke penggunaan non pertanian, terutama di pulau
Jawa4.
Melengkapi data tersebut, Direktorat Penatagunaan Tanah BPN pada
Tahun 2005 juga menyatakan bahwa sehubungan dengan hal alih fungsi
lahan, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu ditinjau kembali, karena
jika tidak maka dari total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 Ha, hanya sekitar
4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya, sedangkan sisanya
sekitar 3,01 juta Ha (42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain5.
Data BPS bahkan menunjukkan bahwa 60.000 Ha lahan pertanian telah
dikonversi setiap tahunnya6 untuk penggunaan non pertanian. Data di atas
tentu menghawatirkan dan mengancam ketahanan pangan nasional. Padahal
suatu negara sebesar Indonesia, harus mempunyai sistem ketahanan pangan
(food security system) yang baik, di mana rakyatnya dapat memperoleh akses
kecukupan pangan yang memadai untuk hidup sehat dan layak7.
Berbagai peraturan/kebijakan telah dirumuskan guna mencegah alih
fungsi lahan pertanian tersebut. Misalnya Peraturan Menteri Dalam Negeri
(PMDN) No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai
Penyediaan dan Pemberian tanah untuk Keperluan Perusahaan, PMDN No.
4 Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan Kebijakan Pengelolaan
Lahan, Jakarta, 2005: hlm. 5
5Joyo Winoto, 2005, Kebijakan Pengendalian alih Fungsi Tanah Pertanian dan Implementasinya, Makalah
pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta 13 Desember
2005: hlm 8.
6 Koran KOMPAS, Politik dan Strategi Pangan Nasional Lemah, Jakarta 30 November 2011: hlm 1
7 Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, Penerbit RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2009: hlm. 240
3
3 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan Pemberian Hak atas Tanah untuk
Keperluan Pembangunan Perumahan, Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang
Kawasan Industri, Keppres No. 54 Tahun 1980 tentang Kebijaksanaan
mengenai Pencetakan Sawah, merupakan contoh-contoh aturan yang
melarang digunakannya lahan pertanian subur untuk penggunaan non
pertanian. Dalam perkembangannya, sejalan dengan tujuan membangun
ketahanan dan kedaulatan pangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat,
dibentuk Undang-undang No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan jo PP No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan
dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang secara tegas
melarang alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Namun demikian,
dalam kenyataannya alih fungsi lahan tetap saja terjadi.
Jika dikaji lebih dalam, tidak efektifnya peraturan yang melarang alih
fungsi lahan pertanian terutama disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
kontradiktif, dalam arti di satu pihak melarang adanya alih fungsi lahan
pertanian, tetapi di lain pihak kebijakan pembangunan sektor industri,
infastruktur, kawasan industri ataupun kawasan perumahan permukiman,
justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan8. Kebijakan yang kontradiktif,
tidak saling mendukung, pada tataran implementasi justru menimbulkan
masalah, bukan sebaliknya. Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan,
mengingat luas tanah itu sendiri terbatas, terutama di pulau Jawa, padahal
intensitas kegiatan pembangunan di pulau Jawa sangat tinggi.
Kebijakan pemerintah melakukan percepatan pembangunan ekonomi
melalui Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025
mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian semakin tidak terkendali.
Aspek pertanahan dalam MP3EI tidak mendapat perhatian yang serius,
termasuk juga aspek penataan ruang, khususnya penatagunaan tanahnya.
Padahal MP3EI ini dimaksudkan untuk mendorong terwujudnya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berimbang, berkeadilan dan
berkelanjutan. Hal ini seharusnya diselaraskan dengan arah kebijakan dan
8 Ida Nurlinda, Penataan Ruang yang Mendukung Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian, Makalah
pada Simposium Nasional Pertanahan di Indonesia pada Abad 21, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Depok 13 Desember 2011: hlm. 3
4
strategi pembangunan pertanahan itu sendiri, dalam bingkai kerangka
reforma agraria yang prinsip dan kebijakannya tertera dalam Ketetapan MPR
No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam.
Kebijakan pengelolaan pertanahan dan sumber daya alam di era Orde
Baru yang terlalu diarahkan pada kegiatan pembangunan ekonomi semata
(economic developmentalism) telah mendorong rusaknya lingkungan dan
tertinggalnya faktor pembangunan sosial. Hal ini seharusnya menjadi
pelajaran dan perhatian pemerintah ketika kebijakan MP3EI diluncurkan.
Proyek MP3EI tak akan dilaksanakan di ruang hampa. Ada masyarakat lokal
dan masyarakat hukum adat yang tinggal di dalam dan sekitar wilayahwilayah proyek tersebut. Mereka berdiam di atas tanah ulayat mereka. Hal
ini mengakibatkan pemerintah harus berhadapan dengan masyarakat hukum
adat ketika ingin mendapatkan tanah tersebut9. Dalam kasus pembangunan
Kawasan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke
misalnya, proses perolehan tanahnya (yang merupakan tanah adat)
menimbulkan sengketa pertanahan yang sangat masif, baik antara
masyarakat adat dengan pemerintah maupun masyarakat adat dengan
investor.
2. Tanah Terlantar
Selain masalah alih fungsi lahan pertanian, masalah tanah terlantar
cukup menjadi hambatan dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Masalah
ini seolah-olah kontradiktif. Di satu sisi muncul masalah alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian, menunjukan seolah-olah luasan tanah sudah
berkurang, namun di sisi lain muncul masalah tanah terlantar, seolah-olah
luasan tanah cukup berlebih. Masalah tanah terlantar juga menimbulkan
kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan rakyat, selain menurunkan
kualitas lingkungan.
Hasil identifikasi Badan Nasional (BPN) atas tanah terlantar di
Indonesia pada tahun 2009 menunjukkan bahwa tanah terlantar di Indonesia
mencapai seluas 7.386.289 ha, yang terdiri atas tanah terlantar dengan status
9 Siti Rachma Mary, MP3EI Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat Kehancuran, artikel pada
https://docs.google.com/document/d/...PLDjzY/edit, diunduh tgl 20 Juli 2013, pkl 11.30 WIB
5
Hak Guna Usaha (HGU) seluas 1.925.326 ha, Hak Guna Bangunan (HGB)
seluas 49.030 ha, Hak Pakai seluas 401.079 ha, Hak Pengelolaan seluas
535.682 ha dan sisanya tanah-tanah dengan status izin lokasi dan izin-izin
lainnya seluas 4.475.172 ha10. Mengingat luasan tanah terlantar cukup besar,
maka perlu upaya serius untuk mengatasinya. Pengaturan penyelesaian
masalah tanah terlantar sebenarnya telah dilakukan melalui PP no. 36 tahun
1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Peraturan ini
kemudian diganti dengan PP No. 11 tahun 2010 dengan meletakan masalah
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam kerangka reforma
agraria sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Namun kenyataannya di lapangan, permasalahan tanah terlantar
sangat kompleks. Selain karena PP No. 11 tahun 2011 tidak memberikan
definisi tanah terlantar, pembuktian bahwa suatu areal dapat dikatakan
terlantar juga tidak mudah. Pasal 2 PP No. 11 tahun 2010 menegaskan bahwa
“obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberi hak oleh
Negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan,
atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan,
atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
pemberian hak atau dasar penguasaannya”. Untuk menyatakan “tidak
diusahakan”, “tidak dipergunakan” atau “tidak dimanfaatkan” tentulah harus
dilakukan penelitian dan identifikasi.
Identifikasi dan penelitian tanah terlantar dilakukan untuk nama dan
pemegang hak. Demikian juga atas letak, luas, status hak atau dasar
penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah yang dikuasai pemegang hak.
Namun yang tidak kalah penting untuk diteliti adalah keadaan atau sebab
yang mengakibatkan suatu tanah menjadi terlantar atau ditelantarkan.
Misalnya hasil penelitian mengenai tanah terlantar di Kabupaten
Tasikmalaya menunjukkan bahwa tanah diterlantarkan karena karakteristik
tanah tersebut yang tidak memungkinkan untuk ditanami secara produktif,
sehingga tanaman tidak dapat berproduksi secara maksimal. Selain itu,
10 Noer Fauzi Rachman, Landreform dari Masa ke Masa, Penerbit Tanah Air Beta, Yogyakarta, 2012: hlm.
110
6
karakteristik tanah yang mengandung lapisan solum yang dangkal,
sedangkan tanaman yang ditanam adalah pohon karet, yang seharusnya
membutuhkan kedalaman solum yang lebih tebal11. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa terjadinya tanah terlantar dapat juga disebabkan
pemberian hak guna usaha (HGU) yang tidak didahului dengan studi
evaluasi lahan apakah sesuai atau tidak dengan karakteristik tanaman yang
akan ditanam. Hal ini jelas bertentangan dengan semangat reforma agraria
itu sendiri. Tidak ada koordinasi yang baik antara kebijakan pemberian hak
atas tanah dengan peruntukan lahan tersebut.
Selain itu, obyek tanah yang dapat dikategorikan sebagai tanah
terlantar pun seringkali menimbulkan masalah. Pasal 3 huruf (b) PP No. 11
tahun 2010 menegaskan bahwa “tanah yang dikuasai pemerintah baik secara
langsung maupun tidak langsung, dan sudah berstatus maupun belum
berstatus Barang Milik Negara/Daerah, yang tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya”, dikecualikan dari obyek penertiban tanah terlantar. Dengan
demikian aturan PP No. 11 tahun 2010 lebih menitikberatkan penertiban
tanah terlantar yang berasal dari tanah-tanah HGU, HGB atau hak pakai
yang dimiliki oleh badan usaha saja.
Padahal faktanya di lapangan, tanah terlantar banyak terjadi
(terutama di pulau Jawa) pada tanah-tanah yang dikuasai pemerintah/pemda
atau BUMN/BUMD, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya
tanah-tanah perhutani yang tidak lagi menjadi kawasan hutan karena telah
berubah fungsi menjadi perumahan/permukiman atau peruntukan lain non
kehutanan. Demikian juga tanah-tanah perkebunan milik PTPN yang sudah
tidak lagi digarap, baik karena masa berlaku hak guna usaha (HGU) nya
telah berakhir atau karena kondisi dan kualitas lahan yang tidak sesuai
dengan tanaman yang akan ditanam (seperti kasus di Kabupaten Tasikmalaya
11 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak., Evaluasi Dampak Berlakunya PP No. 11 Tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terhadap Kebijakan Pengelolaan Tanah
Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya, Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Program Desentralisasi,
Kemendikbud-Unpad, 2012: hlm. 40
7
seperti dikemukakan di atas). Pada tanah-tanah demikian seringkali
kemudian diterlantarkan12.
Jika terhadap tanah-tanah demikian, ketentuan PP No. 11 tahun 2010
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dikecualikan, maka
hal itu sangat tidak adil. Kondisi demikian justru seringkali menjadi pemicu
terjadinya konflik, karena masyarakat setempat beranggapan tanah tersebut
dapat dipergunakan untuk lahan mata pencahariannya, sementara
pemerintah/pemda, BUMN/BUMD na tidak mau melepaskannya karena
beranggapan secara de jure tanah-tanah tersebut masih merupakan tanah
mereka dan merupakan aset bagi instansi tersebut. Selain tidak adil,
demikian juga menyebabkan tidak adanya kepastian hukum dalam
penatagunaan tanah dan penataan ruang.
3. Pengadaan Tanah
Masalah pengadaan tanah untuk kegiatan merupakan masalah
pertanahan yang juga kerap muncul menyertai kegiatan-kegiatan
pembangunan, selain masalah alih fungsi lahan dan penelantaran tanah.
Pengaturan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan,
baik bentuk hukum maupun substansinya. Paling tidak sejak era Orde Baru
yang diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 5 tahun
1975 tentang Tata Cara Pembebasan Tanah, hingga saat ini dalam bentuk
Undang-undang No. 2 tahun 2012.
Di era Orde Baru, masalah pengadaan tanah banyak menimbulkan
kasus konflik dan/atau sengketa pertanahan bahkan tidak sedikit berujung
pada pelanggaran HAM, seperti kasus Waduk Kedung Ombo di Provinsi
Jawa Tengah, kasus tanah Jenggawah di Kabupaten Jember dsb. Hal ini
disebabkan di era Orde Baru dikenal adanya kebijakan “Tanah untuk
Pembangunan”, yang berintikan pada kegiatan pembebasan tanah yang
didukung pemerintah untuk memenuhi kebutuhan proyek-proyek (baik
pemerintah maupun swasta) akan tanah untuk pembangunan sektor
pertanian, infrastruktur, perumahan, industri dsbnya. Hal ini dilakukan oleh
12 Ida Nurlinda, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, Penerbit LoGoz
Publishing bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fak. Hukum Unpad,
2013: hlm. 69
8
pemerintah Orde Baru dengan menafsirkan asas “fungsi sosial atas tanah”
sebagai legitimasi untuk mendukung kebijakan “tanah untuk pembangunan”
tersebut13. Tidak adanya penafsiran yang baku atas asas hukum “fungsi sosial
atas tanah”, sebagaimana ditegaskan Pasal 6 UUPA menyebabkan mudahnya
asas hukum tersebut dikaitkan dengan makna “kepentingan umum” yang
menjadi syarat utama dalam pengadaan tanah untuk pembangunan. Makna
“kepentingan umum” dianggap akan selalu terkandung dalam pemaknaan
“fungsi sosial atas tanah”. Meskipun pemahaman demikian dapat
dibenarkan, akan tetapi tentu pelaksanaannya harus bertanggung jawab dan
mengedepankan aspek keadilan.
Dalam konteks pengadaan tanah untuk mendukung proyek-proyek
Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI), kendala yang muncul tidak sedikit. Hal ini disebabkan aspek
pertanahan tidak diintegrasikan dengan baik untuk mendukung implementasi
MP3EI tersebut. Padahal, dalam lampiran dokumen MP3EI ditegaskan
bahwa Indonesia memposisikan diri sebagai basis ketahanan pangan dunia,
pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan dan sumber daya
mineral, serta pusat mobilitas logistik global14. Hal di atas sulit dilaksanakan
jika tidak ditopang dengan ketersediaan lahan yang memadai dan status
tanah yang berkepastian hukum yang jelas.
Sebagai instrumen investasi, dukungan aspek pertanahan pada
kegiatan pembangunan ekonomi dalam MP3EI tidak cukup hanya didukung
dengan luas tanah yang cukup, status tanah yang jelas,akan tetapi juga perlu
memperhatikan aspek sosial dan budaya, karena bagi sebagian besar rakyat
Indonesia (terutama masyarakat adat) tanah mempunyai sifat magis religius.
Jangan sampai implementasi MP3EI justru meningkatkan potensi konflik
dan/atau sengketa pertanahan di Indonesia, karena UU No. 2 tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
memberi fasilitas dan kemudahaan yang cukup banyak bagi investor yang
akan berinvestasi di Indonesia.
13 Noer Fauzi Rachman, op. cit.: hlm. 5
14 Lampiran Perpres No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025, hlm. 4
9
Kemudahan perolehan tanah itu terutama dengan diaturnya tengat
waktu perolehan tanah. Selama ini investor enggan berinvestasi di Indonesia
karena tengat waktu perolehan tanah untuk kegiatan proyek, tidak jelas
berapa lama. Dalam UU No. 2 tahun 2012, pengadaan tanah dapat dilakukan
dalam waktu 319 hari (kurang dari 2 tahun), atau 583 hari jika ada keberatan
dari pihak pemilik tanah. Jangka waktu yang ketat ditetapkan dengan
memberi tengat waktu yang ketat kepada lembaga-lembaga peradilan yang
menangani keberatan pengadaan tanah tersebut. Namun, hal ini juga dapat
menimbulkan konflik antar lembaga karena tengat waktu penyelesaian
perkara yang diajukan ke lembaga peradilan dapat ditafsirkan sebagai upaya
intervensi kewenangan lembaga peradilan.
C. Alternatif Solusi
Masalah pertanahan baik yang bersifat hak-hak keperdataan maupun
yang menyangkut aspek hukum publik, tentu tidak mudah menyelesaikannya.
Apalagi jika hal itu menyangkut kegiatan pembangunan ekonomi yang tentunya
harus ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan negara.
Disamping 3 masalah pertanahan yang telah diuraikan di atas, banyak hal juga
yang terkait dengan aspek pertanahan yang pada akhirnya menimbulkan
permasalahan hukum dan/atau sosial. Hanya saja, terkait kegiatan pembangunan
ekonomi, ketiga masalah di atas cukup berpotensi menghambat pembangunan
Indonesia secara keseluruhan.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, arti hukum dan fungsinya dalam
masyarakat harus dikembalikan kepada hakekat tujuan hukum, yang apabila
direduksi pada 1 hal saja, adalah ketertiban (order)15. Ketertiban tersebut harus
difahami dalam 2 makna sekaligus, baik tertib hukumnya, maupun tertib
masyarakatnya; agar tujuan hukum yang lain dapat tercapai pula, yaitu kepastian
hukum dan keadilan. Dalam aspek pengaturan pertanahan, kepastian hukum dan
keadilan menjadi kata kunci, walaupun dalam kenyataannya kedua tujuan
hukum tersebut bagai 2 mata pisau yang bertentangan, namun bukan berarti
15 Otje Salman dan Eddy Damian (ed.), Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya
Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Penerbit Alumni, Bandung, 2002: hlm. 3.
10
tidak dapat diselaraskan. Peran pemerintah untuk mencari solusi masalah
pertanahan dalam kegiatan pembangunan ekonomi, merupakan aspek penting
dalam menyelaraskan kepastian hukum dan keadilan agraria.
Dalam masalah alih fungsi lahan pertanian, pemerintah harus
berpedoman kuat pada kaidah-kaidah penataan ruang dan peraturan mengenai
lahan pertanian pangan berkelanjutan. PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional menegaskan bahwa RTRW harus dapat
mewujudkan ruang wilayah yang produktif dan berkelanjutan. Dalam peraturan
pemerintah tersebut, kawasan peruntukan pertanian masuk ke dalam kawasan
budi daya yang penetapannya harus memperhatikan kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan
pertanian;
2. Ditetapkan sebagai lahan pertanian abadi (berkelanjutan);
3. Mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
4. Dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
Kriteria-kriteria tersebut di atas jelas harus dirujuk ketika
mengembangkan wilayah peruntukan pertanian. Dengan demikian, jika suatu
ruang/lahan produktif sudah ditetapkan untuk lahan pertanian, maka konversi
lahan tersebut untuk penggunaan lain di luar peruntukan pertanian, jelas harus
dilarang. Dalam konteks ini peran instrumen pengendalian penataan ruang
wilayah menjadi penting. Misalnya pemberian perizinan yang selektif,
pengenaan pajak yang progresif, pemberian insentif dan disinsentif penaatan
RTRW serta sistem zonasi wilayah yang konsisten.
Namun demikian pada asasnya manakala kepentingan umum
menghendaki, Pasal 44 ayat (3) UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, memperkenankan alih fungsi lahan.
Namun tetntunya harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dilakukan melalui kajian kelayakan strategis;
2. Disusun rencana dengan baik alih fungsi lahannya;
3. Dibebaskan dan diselesaikan kepemilikan hak atas tanahnya dari
pemilik semula;
11
4. Disediakan lahan pengganti atas tanah yang dialih fungsikan dengan
kualitas lahan minimal setara.
Penegakan peraturan di atas perlu diefektifkan, mengingat terminologi
“kepentingan umum” itu sendiri sangat debateable. Implementasi pemenuhan
persyaratan alih fungsi lahan perlu dilakukan melalui sistem advokasi publik
yang konsisten dan efektif serta kompensasi bagi pemilik tanah yang
memperhatikan sifat multi fungsinya lahan pertanian. Misalnya insentif pajak
atas tanah pengganti alih fungsi, atau bantuan berupa kredit pembiayaan
produksi pertanian.
Keberpihakan kepada petani dan pertanian tetap diperlukan meski di era
pasa bebas sekalipun. Liberalisasi di sektor pertanian perlu dilakukan secara
hati-hati. Negara-negara maju sekalipun masih tetap melakukan proteksi di
sektor pertanian untuk melindungi sebagian terbesar rakyatnya dari aspek
negatif liberalisasi16. Apalagi bagi negara seperti Indonesia. Oleh sebab itu
disahkannya RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (P3) pada tanggal 9
Juli 2013 lalu patut diapresiasi dengan baik, sebagai bentuk kepedulian
pemerintah pada kehidupan petani. Pembangunan ekonomi bukan berarti harus
fokus pada sektor-sektor industri manufaktur, namun bagi Indonesia justru
sebaliknya harus berbasis pada sektor pertanian.
Dalam mencari solusi atas masalah tanah terlantar, PP No. 11 tahun 2010
tentang Penertiban dan Pengendalian Tanah Terlantar, masih sangat sulit
diimplementasikan karena prosedur penetapan tanah terlantar yang tidak mudah,
berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama. Pemberdayaan
(empowerment) adalah suatu upaya untuk membuat sesuatu (subyek atau obyek)
yang tidak berdaya menjadi berdaya dalam menghadapi atau melaksanakan
sesuatu hal17. Dengan demikian penertiban tanah terlantar dilakukan sematamata untuk mendayagunakan dan mengoptimalkan tanah agar tanah dapat
menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
16 Ahmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2013: hlm. 149
17 Arba, Sahnan, Wiwiek Wahyuningsih, Pemberdayaan Hukum dan Kebijakan Pertanahan sebagai
Upaya Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Artikel dalam Jurnal “Mimbar Hukum”, volume
22, No. 1 Februari 2010, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta: hlm. 18
12
Memaknai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar pada
hakekatnya harus dalam kerangka reforma agraria, khususnya melalui Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) berupa redistribusi tanah. Aturan mengenai
redistribusi tanah sebenarnya telah ada sejak mulai berlakunya UUPA, namun
seperti halnya dengan PPAN, pelaksanaannya tidak efektif karena18:
1. Sulit menentukan subyek penerima redistribusi tanah, mengingat
tidak adanya kriteria penerima tanah yang standar;
2. Sulit menentukan tanah-tanah yang menjadi obyek redistribusi
mengingat kompleksnya permasalahan penguasaan, pemilikan,
pengguanaan dan pemanfaatan tanah di lapangan;
3. Khusus untuk tanah yang diredistribusikan berasal dari kawasan
hutan, meskipun peruntukannya bukan lagi untuk kehutanan (untuk
tujuan non kehutanan) namun dalam kenyataannya karena masih
dalam kewenangan kementerian Kehutanan, tidak mudah
meredistribusikan tanah-tanah ex kawasan hutan.
Untuk mengatasi timbulnya tanah terlantar, maka pemerintah perlu
memperketat pemberian hak atas tanah dan korelasi permohonan hak atas tanah
tersebut dengan peruntukan dan penggunaan tanah. Permohonan hak atas tanah
yang sangat luas tanpa disertai dengan proposal peruntukan tanah yang memadai
seharusnya menjadi early warning system dalam pemberian hak atas tanah. BPN
harus jeli dalam membedakan mana pengusaha yang sesungguhnya dengan
pengusaha yang berprofesi sebagai spekulan tanah. Selain itu sistem perpajakan,
perizinan serta pemberian insentif dan disinsentif merupakan alat pengendali
yang cukup signifikan. Hal ini jauh lebih baik dari pada kemudian pemerintah
menetapkan tanah terlantar. Keputusan pemerintah yang menetapkan tanah
terlantar rawan digugat oleh masyarakat atau pemilik tanah terlantar. Salah satu
diantaranya adalah gugat PT Perkebunan Tratak di Kecamatan Bandar,
Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah terhadap BPN karena mencabut HGU
perkebunan tersebut melalui SK No.: 7/PTT-HGU/BPNRI/2013 tentang
Penetapan Tanah Terlantar yang Berasal dari HGU No. 1/Batang atas nama PT
Perusahaan Perkebunan Tratak.
18 Ida Nurlinda, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, Op. Cit.: hlm. 66
13
Dalam hal pengadaan tanah bagi kegiatan pembangunan untuk
kepentingan umum, solusi harus diupayakan dengan mengedepankan hakekat
kepentingan umum itu sendiri. Dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum , kepentingan
umum diartikan sebagai kepentingan untuk seluruh lapisan masyarakat (Pasal 1
angka 3). Sementara ruang lingkupnya dibatasi hanya untuk kegiatan yang
dilakukan pemerintah, dimiliki pemerintah dan tidak digunakan untuk mencari
keuntungan (Pasal 5 ayat 1 Keppres No. 55 Tahun 1993). Kriteria “tidak
digunakan untuk mencari keuntungan” merupakan kriteria yang sulit ditetapkan
mengingat hal tersebut sangat debateable. Misalnya, apakah pembangunan jalan
tol oleh pemerintah tidak dimaksudkan juga untuk mendatangkan keuntungan,
selain juga untuk kepentingan umum?
Oleh karena itu, makna kepentingan umum itu harus jelas terlebih dahulu
agar pemerintah mempunyai alas hak yang kuat ketika melakukan pengambilalihan hak atas tanah orang lain untuk selanjutnya digunakan untuk proyekproyek pemerintah. Hal ini harus mengacu pada asas hukum dalam hukum tanah
yaitu bahwa penguasaan dan/atau penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk
keperluan apapun harus dilandasi oleh alas hak yang sah menurut hukum. Ketiga
persyaratan kriteria kepentingan umum di atas (dilakukan pemerintah, dimiliki
pemerintah dan non profit), harus terpenuhi ketiganya, bukan hanya salah satu
kriteria saja. Ketiga kriteria kepentingan umum itu merupakan satu kesatuan
makna yang tidak terpisahkan. Dengan demikian ketika pemerintah akan
menetapkan (dalam UU Pengadaan Tanah) kegiatan-kegiatan pembangunan apa
saja yang termasuk kriteria kepentingan umum, seyogianya ditetapkan melalui
suatu pendapat umum/deklarasi publik19. Hal ini dimaksudkan agar penetapan
kriteria kepentingan umum dapat lebih dipertanggung-jawabkan.
Selain itu, pemahaman suatu proyek pemerintah termasuk kepentingan
umum harus selalu dikaitkan dengan hakekat fungsi sosial atas tanah, yaitu
adanya keseimbangan antara kepentingan umum itu sendiri dengan kepentingan
perorangan. Asas fungsi sosial harus dimaknai dalam kerangka berfikir bahwa
19 Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Pembangunan bagi Umum, Artikel pada Jurnal Konstitusi, Volume 1, No. 1, Agustus 2008, Jakarta: hlm. 5
14
hak-hak perseorangan atas tanah tidak bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh
kepentingan orang lain, masyarakat atau negara. Dengan demikian dituntut
penguasaan dan penggunaan tanah secara wajar dan bertanggung-jawab20.
Dengan kata lain, hak-hak individu atas tanah dibatasi oleh kepentingan umum
dalam bingkai asas fungsi sosial. Hak individu, kepentingan umum dan fungsi
sosial merupakan tiga makna yang selalu dirujuk untuk memecahkan masalah
pengadaan tanah.
D. Penutup
Masalah pertanahan tidak selayaknya ditempatkan secara dikhotomis
dengan kegiatan pembangunan. Apapun permasalahannya, sudah seharusnya
pengaturan pertanahan mendukung kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah, karena pada hakekatnya semua kegiatan pembangunan yang
dilakukan pemerintah tentunya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat, sesuai dengan amanat konstitusi. Namun demikian, mengingat esensi
makna tanah bagi rakyat Indonesia bersifat magis religius, bahkan tanah menjadi
“ibu” bagi kehidupan sebagian masyarakat tradisional (masyarakat adat)
Indonesia, maka unsur keadilan juga harus dikedepankan (tidak hanya unsur
kepastian hukum) manakala masalah pertanahan muncul. Keadilan dalam
konteks hukum pertanahan (agraria) harus dimaknai sebagai keadilan yang
menjamin akses yang layak dari masyarakat (termasuk masyarakat adat)
terhadap tanah dan/atau sumber daya alam yang menjadi sumber hidup dan
kehidupannya.
-inm-
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2013
Arba, Sahnan, Wiwiek Wahyuningsih, Pemberdayaan Hukum dan Kebijakan
Pertanahan sebagai Upaya Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,
20 Maria S.W. Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh
Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, FH-UGM, Yogyakarta, 1998: hlm. 8
15
Artikel dalam Jurnal “Mimbar Hukum”, volume 22, No. 1 Februari 2010,
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian, Strategi dan
Kebijakan Pengelolaan Lahan, Jakarta, 2005
Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum, Penerbit
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009
-----------------, Penataan Ruang yang Mendukung Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian, Makalah pada Simposium Nasional Pertanahan di Indonesia pada
Abad 21, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 13 Desember 2011
-----------------, Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria,
Penerbit LoGoz Publishing bekerja sama dengan Pusat Studi Hukum
Lingkungan dan Penataan Ruang Fak. Hukum Unpad, 2013
Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, Evaluasi Dampak Berlakunya PP No.
11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar
terhadap Kebijakan Pengelolaan Tanah Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya,
Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Program Desentralisasi,
Kemendikbud-Unpad, 2012
Imam Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk
Kepentingan Pembangunan bagi Umum, Artikel pada Jurnal Konstitusi, Volume
1, No. 1, Agustus 2008, Jakarta
Joyo Winoto, 2005, Kebijakan Pengendalian alih Fungsi Tanah Pertanian dan
Implementasinya, Makalah pada Seminar Penanganan Konversi Lahan dan
Pencapaian Lahan Pertanian Abadi, Jakarta 13 Desember 2005
Koran KOMPAS, Politik dan Strategi Pangan Nasional Lemah, Jakarta 30 November
2011
Maria S.W. Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep
Penguasaan Tanah oleh Negara, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, FHUGM, Yogyakarta, 1998
Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa Tanah:
Potensi Penerapan ADR di bidang Pertanahan, Penerbit Kompas, Jakarta, 2008
Noer Fauzi Rachman, Landreform dari Masa ke Masa, Penerbit Tanah Air Beta,
Yogyakarta, 2012
Otje Salman dan Eddy Damian (ed.), Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan:
Kumpulan Karya Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Penerbit Alumni, Bandung,
2002
16
Siti Rachma Mary, MP3EI Mendorong Pertumbuhan dengan Mempercepat
Kehancuran, artikel pada https://docs.google.com/document/d/...PLDjzY/edit,
diunduh tgl 20 Juli 2013, pkl 11.30 WIB
17