anak usia dini pengenalan ajaran islam

BAB V
“IMPLEMENTASI PENGENALAN PENDIDIKAN ISLAM PADA AUD”
Oleh: Fikri Masruri
Pembahasan
Pendidikan merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa. Oleh karena itu, setiap
warga negara wajib mengikuti jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, maupun pendidikan tinggi. Dalam mengawali proses masuk ke lembaga pendidikan
sering kali warga Indonesia mengabaikan pendidikan usia dini, padahal untuk membiasakan diri
dan mengembangkan pola pikir anak, pendidikan sejak usia dini mutlak diperlukan.
Seiring berjalannya waktu, saat ini para orang tua semakin sadar bahwa pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat
memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini dengan tujuan dan harapan agar cepat menjadi
pandai.
Sementara itu, pentingnya pendidikan anak usia dini telah menjadi perhatian dunia
Internasional. Dalam Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di Dakar Senegal telah menghasilkan
6 kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan dan salah satu butirnya adalah memperluas dan
memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak
yang sangat rawan dan kurang beruntung, Indonesia sebagai salah satu anggota forum tersebut
terikat untuk melaksanakan komitmen ini.
Anak usia dini adalah saat yang paling baik bagi guru Pendidikan Anak Usia Dini untuk

meletakkan dasar. Dasar pendidikan nilai, moral agama kepada anak usia dini walaupun peran
orang tua sangatlah besar dalam membangun dasar keagamaan anak, peran guru Pendidikan
Anak Usia Dini juga tidaklah kecil dalam meletakkan dasar agama bagi seorang anak.
Pengenalan dasar-dasar Pendidikan Agama Islam pada anak usia dini tentunya
diharapkan dapat membentuk dan membangun kepribadian anak yang bermoral dan mengetahui
nilai-nilai keagamaan. Dengan adanya dasar-dasar keagamaan tersebut seorang anak nantinya
akan mempunyai konsep dasar dalam kehidupan beragamanya yang ia peroleh dari pendidikan
agama tersebut.

Namun pada kenyataannya implementasi dari Pengenalan dasar Pendidikan Agama Islam
itu sendiri tidak semudah dengan apa yang diharapkan karena juga diketahuinya aspek-aspek
tertentu yang dapat menunjang kelancaran proses Pengenalan tersebut.
1. Implementasi Pendidikan Agama Islam dalam Perkembangan Anak Usia Dini
Menurut Ernest Harms, penerapan Pendidikan Agama Islam dalam perkembangan Anak
Usia Dini dapat dilaksanakan melalui beberapa fase atau tingkatan, yaitu:
a.

The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini, konsep agama
mengenai Tuhan misalnya, lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga ia dapat

menggapai agama tetapi masih menggunakan konsep fantastik yang diliputi oleh dongengdongeng.

b. The Realistic Stage (Tingkat Kenyataan)
Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia adolensen. Pada masa
ini, ide Ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan realitas atau
kenyataan. Konsep ini timbul dari lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari
orang dewasa lainnya. Pada masa ini, ide keagamaan anak dapat didasarkan atas dorongan
emosional hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu,
maka pada masa ini mereka tertarik dan senang pada lembaga yang mereka lihat dikelola oleh
orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindakan keagamaan mereka ikuti dan
pelajari dengan minat.
c.

The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini, anak mempunyai kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka, konsep keagamaan yang individualis ini terbagi menjadi tiga
golongan, yaitu:

1) Konsep Ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
Hal tersebut dipengaruhi oleh pengaruh luar.

2) Konsep Ketuhanan yang lebih murni dan dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal.
3) Konsep Ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri
mereka dalam menghayati ajaran agama
Jadi, perubahan setiap tingkatan ini dipengaruhi oleh faktor intern, yaitu perkembangan
usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya. Dapat disimpulkan pula, bahwa

penerapan Pendidikan Agama Islam dalam usia 3-6 tahun dapat dilakukan dengan cara
memberikan dongeng-dongeng keagamaan, pada usia adolensen dengan cara mendirikan
lembaga-lembaga bimbingan belajar agama dan di usia menuju dewasa, anak dapat menghayati
agama dengan sendirinya berdasarkan ajaran-ajaran agama yang telah diterimanya.
2. Perilaku Pencerminan Pendidikan Agama Islam dalam Perkembangan
Anak Usia Dini
Religiositas anak adalah hasil dari suatu proses perkembangan yang berkesinambungan dari
lahir sampai menjelang remaja. Dalam proses tersebut, berbagai faktor intern dan ekstern ikut
berperan, diantaranya:
a. Peran Kognisi dalam Perkembangan Religiositas Anak
Konsep tentang nilai-nilai keagamaan yang digunakan sebagai dasar pembentukan
religiositas masuk ke dalam diri anak melalui kemampuan kognisi. Pengetahuan dan pengalaman
yang masuk pada diri individu anak akan terserap sesuai dengan tingkat kemampuan kognisinya,
demikian


juga

dengan

kemampuan

keagamaannya.

Menurut Piaget, perkembangan kognisi pada usia anak mengalami empat dari lima fase
perkembangan berikut ini, yaitu:
1) Period of Sensorimotor Adaption pada usia kurang dari 2 tahun,
2) Development of Simbiolic and Preconceptual Thought 2-4 tahun,
3) Period of Intuitive Thought 4-7 tahun,
4) Period of Formal Operation 7-12 tahun, dan
5) Period of Concreate Operation 12- thought adulescence.
b. Peran Hubungan Orang Tua dengan Anak dalam Perkembangan Religiositas Anak
Hubungan orang tua dan anak memiliki peran yang sangat besar dalam proses peralihan
nilai agama yang akan menjadi dasar-dasar nilai dari religiositas anak.
c. Peran Conscience,


Guilt, dan Shame

dalam Perkembangan

Religiositas

Anak

Conscience, Guilt, dan Shame adalah tiga keadaan kejiwaan yang berkembang secara
berurutan. Conscience adalah kemampuan yang muncul dari jiwa yang terdalam untuk mengerti
tentang benar dan salah. Guilt adalah perasaan bersalah yang muncul bila ia berperilaku yang
tidak sesuai dengan kata hatinya. Shame adalah reaksi emosi yang tidak menyenangkan terhadap
perkiraan penilaian dari orang lain pada dirinya.
d. Peran Interaksi Sosial dalam Perkembangan Religiositas Anak

Interaksi sosial adalah kesempatan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan di luar
rumah, peran ini merupakan aspek penting dalam perkembangan religiositas anak.
A. Peranan Orang Tua Dalam Pengenalan Islam Pada Anak
Orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan banyak hal kepada anaknya tentang

berbagai masalah kehidupan (terutama dalam konsep keislaman bagi muslim). Keluarga adalah
agen primer yang menentukan kemajuan suatu masyarakat karena mulai dari keluarga
pendidikan dasar itu diajarkan. Sehinga peradaban masyarakat ditentukan oleh peradaban sebuah
keluarga. Ini berarti keluarga merupakan agen sosial primer yang memberikan sumbangan besar
bagi kemajuan masyarakat.
Hal ini juga telah dijelaskan dalam ayat Alquran yang mempunyai makna “Allah tidak akan
mengubah nasib satu kaum sebelum mereka mengubah diri mereka sendiri” (Q.S. Ibrahim:11).
Dari ayat ini kita dapat menyimpulkan peranan keluarga (bapak-ibu) terhadap kemajuan
masyarakat karena mereka berperan sebagai agen perubahan sosial. Proses sosialisasi berlaku
semenjak anak-anak. Di masa itu agen sosialisasi yang pertama adalah ibu dan bapak. Apa yang
dibuat, dikatakan, atau dilarang orang tua akan dipatuhi oleh anak dengan senang hati. Tetapi
apabila anak memperhatikan ada pertentangan antara tingkah laku orang tuanya, maka dia akan
menjadi bingung sehingga dapat menjadikan anak membantah dan medurhakai orang tua.
Misalnya, bapak mengajari anaknya untuk shalat tetapi bapaknya sendiri tidak mengerjakan.
Contoh yang lain misalnya ibu mengajari anaknya supaya tidak berbohong dan berperilaku jujur
tetapi ibunnya sendiri tidak menjalankan apa yang diperintahkan kepada anaknya. Perkataan
yang bertentangan dengan perbuatan inilah yang menjadikan seoarng anak menjadi nakal karena
orang tua merupakan tauladan bagi anak-anaknya. Apabila orang tua tidak dapat mencontohkan
berbuatan baik maka anak akan meniru berbuatan yang dilakukan oleh orang tuanya. Oleh
karena itu, pendidikan agama dan moral penting diterapkan bagi anak agar dalam menjalani

kehidupannya kelak dia tidak tersesat dan terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan.
Al-Ghazali (1296 H) mengatakan bahwa Cara mendidik anak ini termasuk hal yang paling
penting. kanak-kanak merupakan amanah di tangan ibu bapaknya dan hatinya yang suci bersih
merupakan permata yang tak ternilai dan sederhana. Luput dari segala ukiran dan gambaran.

Tetapi ia dapat menerima segala macam ukiran, dan condong kepada setiap yang diajarkan
kepadanya. Jika ia dibiasakan dengan kebaikan maka ia akan menjadi dewasa dan berbahagia di
dunia dan akhirat, sedang ibu bapaknya dan guru-gurunya turut merasakan pahala dan
ganjarannya. Jika dibiasakan berbuat jahat, maka ia akan sengsara dan binasa. Sekarang, hampir
sebagian besar orang telah mengenyampingkan pentingnya pendidikan agama dan moral bagi
anak-anaknnya. Kita melihat kenyataan yang terjadi di sekitar kita, masih banyak kita jumpai
anak sampai pada usia dewasa belum lancar melafalkan ayat Alquran, tidak mengerti syarat dan
rukun shalat yang benar, bahkan untuk bertingkah laku yang baik. Kejadian ini bisa terjadi
karena cara mendidik yang salah oleh orang tua pada saat anak masih kecil. Padahal pendidikan
agama dan moral hukumnya wajib diajarkan kepada anak usia dini. Ini merupakan bekal
pedoman hidup bagi anak di masa depan. Dengan bekal ini nantinya mereka bisa memilih dan
memilah sendiri tindakan dan sikap apa yang seharusnya dilakukan dan apa saja yang tidak
sepatutnya dikerjakan. Ini akan membantu anak belajar bagaimana berinteraksi sosial dengan
sesamanya maupun berinteraksi dengan Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan agama sangat
penting diterapkan sejak dini karena pada masa ini mereka berada pada perkembangan psikologi

yang cepat dan rasa keingintahuan yang besar tentang sesuatu. Dengan mengerti hukum-hukum
agama mereka mendapat suatu dasar falsafah hidup yang dapat diamalkan dalam kehidupannya.
Apa guna seseorang yang berilmu pengetahuan tinggi namun tidak berakhlak. Inilah guna
pendidikan agama dan moral yang penting diterapkan pada anak sejak kecil. Sehingga ketika
beranjak dewasa di waktu mereka telah lebih banyak bergaul dengan dunia luar dan tidak lagi
tergantung kepada orang tua. Mereka dapat menilai dan berinstrospeksi diri karena telah
memiliki bekal pendidikan moral dasar. Orang tua yang menyepelehkan masalah pendidikan
agama dan moral bagi anaknya di zaman modern sekarang ini. Bahkan kita juga telah jarang
melihat anak-anak pergi ke madrasah atau TPQ untuk menuntut ilmu agama. Hal ini juga
diakibatkan perkembangan sosial budaya dalam masyarakat. Fenomena ini terjadi karena
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mengubah pola pikir masyarakat yakni
lebih mementingkan urusan dunia daripada akhirat. Inilah yang mendorong orang tua mendidik
anaknya untuk pintar ilmu pengetahuan sampai-sampai melupakan fondasi akhlak dan moral
bagi anak. Para orang tua modern melihat perkembangan zaman yang penuh persaingan sehingga
mereka takut anaknya kalah bersaing. Ini sebenarnya pemahaman yang perlu diluruskan sebab
pendidikan moral dengan dasar agama juga perlu agar anak mampu bersaing global. Namun

tetap berakhlak sehingga hidupnya akan seimbang antara kebutuhan ilmu pengetahuan dan
kebutuhan spiritual.
Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Anak

Tanggung jawab dalam mendidik anak itu besar, namun banyak orang tua yang menyepelehkan
tanggung jawab itu. Sehingga mereka menelantarkan mereka dan membiarkan masalah
pendidikan mereka. Aoabila mereka melihat anak mereka ada yang membangkang atau
menyeleweng, mreka baru mulai menggerutu dan mengeluh, tidak sadar bahwa mereka jugalah
penyebab utama anak bisa menyeleweng dan membangkang. Kesalahan dalam mendidik anak itu
bentuknnya bervariasi, yang menumbuhkan anak bertindak menyeleweng diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Mendidik anak berbicara dengan tanpa dipikir masak-masak terlebih dahulu, kelancangan
lidah yang menyebabkan mereka merasa lebih tinggi dari orang lain.
2. Mendidik anak dengan dimanja atau berfoya-foya.
3. Memberikan kepada mereka segala apa yang diinginkan, tanpa dapat ditolak sedikitpun.
4. Terlalu bersikap keras dan kasar dari sewajarnya.
5.Terlalu bersikap kikir kepada anaknya
6. Hanya memperhatikan aspek penampilan saja. Banyak di antara orang tua beranggapan
bahwa pendidikan yang baik ialah yang hanya membatasi pada makanan bergizi, minuman
yang segar, pakaian yang mewah, pelajaran yang berprestasi, dan penampilan yang baik di
hadapan manusia. Tidak ada sedikitpun untuk menumbuhkan jiwa keagamaan yang benar
dan akhlak yang mulia pada diri anak.
7. Terlalu berprasangka baik atau berprasangka buruk kepada anak.
8. Anak-anak kurang mendapatkan kasih sayang dan belas kasihan dari orang tua.


Faktor Penghambat Berkembangnya Kreativitas Anak
Ada beberapa faktor yang bisa menghambat perkembangan kreativitas anak, antara lain:
1. Perasaan Takut Gagal.
Ketakutan ini menghambat perkembangan kreativitas karena biasanya hukuman yang diperoleh
atas kegagalan dirasakan jauh lebih berat dibandingkan dengan hadiah untuk keberhasilan.
2. Anak terlalu terpaku pada tata tertib dan tradisi sehingga sering kali menghambat adanya
inovasi baru.
3. Anak-anak enggan untuk bermain-main dan terlalu mengharapkan hadiah bila dihadapkan
pada sebuah tugas tertentu.
Anak-anak dengan ide cemerlang sering kali tidak mau tampak menonjol dan ragu-ragu untuk
berdiri berdasarkan keyakinan mereka. Kegagalan untuk melihat kekuatan yang ada pada diri
sendiri maupun orang-orang di sekitarnya sering kali menghambat kreativitas. Mereka tidak lagi
dapat menghargai sumber daya yang ada pada orang, barang maupun dari lingkungannya sendiri.
4. Orang-tua yang terlalu melindungi anak dan ini biasanya terjadi banyak pada anak pertama,
sehingga kesempatan bagi dirinya untuk belajar justru berkurang.
Mungkin orang tua tanpa sadar, seringkali memaksa anak menyesuaikan diri dengan imajinasi
dan fantasi sebagai orang tua. Misalnya, pada saat mengajar anak untuk menggambar gunung
dan sawah selalu dengan pola dua gunung, petak- petak sawah dan matahari. Pada saat anak
mempunyai imajinasi yang berbeda, keinginan orang tua untuk menegur dan mengkoreksi sangat

besar. Padahal imajinasi dan fantasi dari dirinya sendirilah yang mendorong si anak untuk
bertindak kreatif. Pada anak kedua orang tua sudah lebih rileks dan fleksible, sehingga
kreativitasnya tumbuh dengan lebih baik. Anak pertama biasanya segan mencoba sesuatu yang
asing karena ia merasa kurang mampu dan keberhasilannya tidak dapat ia pastikan. Mungkin
juga dulu ia pernah beberapa kali mencoba tetapi kurang berhasil dan mendapatkan celaan,
sehingga ia kurang berani beresiko lagi.

5. Setiap anak unik, jangan dibanding-bandingkan.
Apabila orang tua membandingkan anak dengan adiknya justru menghasilkan perasaan inferior
sehingga ia merasa diri bodoh. Seringkali bagi anak-anak semacam ini orang tua perlu untuk
dapat menciptakan suasana yang kondusif agar anak berani mencoba sesuatu yang baru.
Peran orang tua dalam Mengembangkan Kreativitas Anak
Memiliki anak yang kreatif adalah dambaan setiap orang tua. Masalahnya, kreativitas bukan
anugerah yang diberikan Tuhan dalam bentuk jadi, melainkan butuh proses untuk
mendapatkannya. Proses ini tentu butuh campur tangan orang tua sebagai konseptor, yang
berperan penting dalam menentukan hitam-putihnya masa depan anak.
Sebagai konseptor yang ingin membangun suatu kepribadian, orangtua perlu menyadari bahwa,
pribadi yang kreatif adalah pribadi yang mendekati kesempurnaan. Dengan kata lain, pribadi
yang kompleks, yang memahami keberadaan diri sendiri serta lingkungannya.
Karena itu, menciptakan anak yang kreatif tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh upaya
keras, berkesinambungan, serta kesabaran esktra untuk melalui tahap demi tahap, sesuai
perkembangan kemampuan berfikir anak. Beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk
membangun kreativitas anak, di antaranya adalah:
1. Membangun Kepribadian Islam.
Dengan cinta, orangtua dapat membangun kepribadian Islam pada anak yang tercermin dari pola
pikir dan pola sikap anak yang islami. Orangtua yang paham akan senantiasa menstimulasi /
merangsang aktivitas berpikir dan bersikap anak sesuai dengan standar Islam. Menstimulasi
aktivitas berpikir dilakukan dengan cara menstimulasi unsur-unsur/komponen berfikir (indera,
fakta, informasi dan otak). Aktivitas bersikap adalah aktivitas dalam rangka pemenuhan
kebutuhan jasmani dan naluri (beragama, mempertahankan diri dan melestarikan jenis).
Orangtua dapat menstimulasi alat indera anak dengan cara melatih semua alat indera sedini
mungkin. Ajak anak mengamati, mendengarkan berbagai suara, meraba berbagai tekstur benda,
mencium berbagai bau dan mengecap berbagai rasa. Menstimulasi otak dilakukan dengan cara

memberi nutrisi yang halal dan bergizi yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel otak sejak
dalam kandungan serta banyak menghadirkan fakta dan informasi yang dapat di cerap oleh anak.
Menstimulasi informasi diarahkan untuk meyakini adanya Pencipta melalui fakta-fakta
penciptaan alam. Orangtua juga bisa membacakan cerita, mengajari anak untuk selalu
mengaitkan fakta baru dengan informasi yang sudah diberikan, serta menghindarkan anak dari
fakta dan informasi yang merusak dengan cara menseleksi tayangan TV, buku dan majalah.
Perlu dipahami oleh orangtua, bahwa anak memahami standar secara bertahap seiring dengan
kesempurnaan akalnya. Anak usia dini belum sempurna akalnya. Namun, orangtua tetap perlu
mengenalkan standar-standar kepada anak secara berulang-ulang tanpa memaksa anak untuk
melakukannya. Biasakan pula mengenalkan dalil kepada anak. Orangtua juga hendaknya
senantiasa menghadirkan keteladanan yang baik pada anak di mana saja mereka berada.
Orangtua yang paham tidak akan menuntut anaknya untuk sama dengan anak lainnya. Kita dapat
membentuk kepribadian anak kita, tetapi bukan untuk menyamakan karakter mereka. Kita
melihat, Sahabat Umar ra., Abu Bakar ra. dan sebagainya tidak memiliki karakter yang sama
meskipun masing-masing mereka merupakan pribadi-pribadi yang islami. Keunikan mereka
justru menjadikan mereka ibarat bintang-bintang yang gemerlapan di langit, terangnya bintang
yang satu tidak memudarkan terangnya bintang yang lain. Begitu pula halnya dalam hal
kreativitas mereka. Setiap Sahabat adalah insan kreatif. Masing-masing memiliki dimensi
kreativitas sendiri-sendiri. Salman al-Farisi adalah penggagas Perang Parit; Umar bin alKhaththab adalah penggagas ketertiban lalu-lintas; Abu Bakar ash-Shiddiq adalah penggagas
tegaknya sistim ekonomi Islam; Khalid bin Walid adalah penggagas strategi perang moderen;
dan banyak lagi.
Yang menjadi masalah sekarang, para orangtua sering kurang bersungguh-sungguh untuk
mengembangkan kreativitas anak. Seolah-olah para orangtua lebih suka jika anak menjadi
fotokopi orang lain ketimbang dia tumbuh sebagai suatu pribadi yang utuh.
Karena kepribadian menentukan kreativitas, seorang Muslim pada hakikatnya memiliki potensi
kreatif lebih besar dibandingkan dengan umat-umat lainnya.
2. Memilihkan Sarana Bermain yang Sesuai

Pada dasarnya, anak memiliki energi yang berlebih. Bermain merupakan penyaluran terbaik
untuk membuang surplus energi mereka itu. Dengan bermain, selain memperoleh kegembiraan,
kenikmatan, dan kepuasan, anak juga akan mendapatkan manfaatnya, seperti bertumbuhnya segi
fisik-motorik, mental-intelektual/kognitif, sosial, moral, emosional, dan tentunya kreativitas.
Dengan bermain, anak sekaligus belajar tentang konsep bentuk, ukuran, warna, jumlah, dan
kegunaan objek.
Begitu pentingnya arti bermain bagi anak, sehingga dalam buku-buku psikologi perkembangan,
bermain dipandang sebagai unsur penting dalam perkembangan seluruh unsur kepribadian anak.
Karena itu, orangtua sedapat mungkin menyediakan sarana dan alat bermain (toys) yang dapat
merangsang kreativitas anak. Tentu saja, sarana dan alat bermain ini harus sesuai dengan
kemampuan berpikir dan daya interaksi anak.
3. Kenalkan dengan Lingkungan Sosial
Pengenalan terhadap lingkungan sosial akan memberikan bekal empiris kepada anak yang kelak
bermasyarakat dalam alam pergaulan dewasa. Anak dilatih mengerti fungsi berbagi diri, pada
saat yang sama seorang anak, selain menjadi dirinya sendiri, juga merupakan bagian yang
organis dari sebuah kelompok, komunitas. Dalam hal ini, anak berkembang menjadi dirinya
sendiri, sekaligus berkenalan dengan aturan main, dengan norma, sehingga dia dapat bergaul
dengan wajar.
4. Ajak Berhubungan dengan Alam
Mengajak anak berhubungan dengan alam tidak sebatas mengenalkan mereka dengan namanama benda yang ada di sekitarnya, melainkan juga merangsang imajinasi anak untuk dapat
memanfaatkan benda-benda tersebut, walaupun pemanfaatannya untuk hal-hal yang sederhana.
Misalnya, memanfaatkan benda yang ada di sekitarnya untuk dibuat mainan. Pemanfaatan bahan
mentah sehingga menjadi bentuk jadi ini akan membuka kesadaran anak akan perlunya berkreasi
dengan alam.
Selain itu, beri kesempatan pada anak untuk berinteraksi dengan alam. Sekali waktu, biarkan
anak berjalan telanjang kaki di atas tanah, dan jangan terlalu memaksa mereka untuk selalu

mengenakan sandal atau sepatu. Agar mereka dapat merasakan sakitnya menginjak kerikil, atau
merasakan lembutnya rerumputan yang menggesek kulit kaki. Ini akan membuat anak dapat
merasakan berbagai hal, serta menjadikan mereka tidak manja dan mudah mengeluh.
5. Jangan Asal Melarang
Seringkali, cara pandang terhadap suatu masalah antara orang dewasa dengan anak-anak
berbeda. Sesuatu yang menurut anak-anak baik untuk dikerjakan, bisa jadi sebaliknya di mata
orang dewasa. Untuk itu, selami pikiran anak-anak, pahami maksud dari apa yang dia kerjakan,
dan jangan asal melarang.
Bila kita terpaksa melarang apa yang sedang dikerjakan anak-anak, seperti mencoret-coret
dinding, atau merusakkan barang-barang, usahakan tidak melarang secara tegas. Beri dia
pengertian dengan kalimat yang mendidik dan dapat dipahami oleh anak. Usahakan untuk
memberi pengertian kepada anak bahwa Anda sebenarnya cukup menghargai proses kreatif yang
dia kerjakan. Selama ini yang sering terjadi, anak dilarang mengerjakan segala sesuatu tanpa
penjelasan yang memadai, padahal penjelasan sangat perlu untuk tidak memastikan kreativitas
anak.
6. Memfasilitasi Anak untuk Menilai Dunia Sebagai Hal yang Penting
Orang yang kreatif adalah orang yang menilai dunia sebagai hal yang berharga. Kreativitasnya
digugah oleh daya tarik lingkungannya, punya kepedulian terhadap orang lain, dan menilai hidup
sebagai sesuatu yang penting. Pendeknya, orang kreatif menilai hidupnya sangat berharga.
Oleh karena itu, untuk membangkitkan kreativitas anak pertama-pertama orang tua perlu
menunjukkan kepadanya betapa hidup ini berharga dan penting. Anak perlu memiliki
kepecayaan bahwa dunia adalah tempat yang baik dan hidupnya berharga. Penumbuhan
kepercayaan itu dimulai dari pembinaan hubungan antara anak dan orang tua sedini mungkin.
Kehidupan mulai dikenal anak pertama kali dari orang tua. Anak membangun pemahamannya
tentang orang lain melalui interaksi dengan orang tuanya. Pemahaman tentang hal-hal apa yang
penting pun diperoleh dari orang tua, dari apa yang dianggap penting oleh orang tua. Orang tua

merupakan model pertama bagi anak. Lewat interaksi dengan orang tuanya, seorang anak
memasuki lingkungan yang lebih luas.
Jika orang tua dapat membina hubungan yang hangat dan nyaman, maka anak punya bekal untuk
menampilkan sikat hangat terhadap lingkungannya dan merasa nyaman untuk menampilkan
dirinya di sana. Dengan bekal itu, anak akan merasa leluasa untuk mengenali dunia dan
beraktivitas di dalamnya. Lalu, dengan dukungan dari orang tua, anak belajar mengekplorasi
lingkungan dan memberi makna kepada obyek-obyek yang ditemuinya. Kepedulian anak
terhadap lingkungannya terbina dari aktivitas eksplorasi itu. Dari waktu ke waktu,
lingkungannya semakin mengenali lingkungannya dan mengharga apa yang ada di sana.
7. Memfasilitasi Anak untuk Tetap Memiliki Penilaian dan Pemahaman yang Unik
Kepedulian dan penghargaan terhadap lingkungan serta dunia pada umumnya menjadi motif
anak untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan bersama orang lain. Anak jadi memiliki
kehendak untuk ikut memberikan sumbangan dan pengaruh kepada lingkungannya. Cara
pandang terhadap dunia yang unik pada anak merupakan dasar dari kontribusi kreatifnya. Untuk
menjaga keunikan guna memperoleh sumbangan kreatif anak, orang tua perlu meleluasakan anak
untuk memiliki penilaian yang berbeda dari orang lain, mempertanyakan obyek-obyek yang
ditemui anak, dan menampilkan tindakan-tindakan yang tidak biasa. Protes, bantahan, inisiatif,
kemauan, dan tindakan yang tak umum anak perlu difasilitasi. Orang tua perlu menanggapi
secara bijak apa yang ditampilkan anak. Mereka harus menghindari tanggapan yang sekedar
melarang atau membolehkan. Caranya, bisa dengan mengajak anak berdialog, bertanya mengapa
anak mengapa anak melakukan apa yang dia lakukan, memberikan contoh-contoh yang
menggugah rasa ingin tahu anak, mengarahkan dengan cara yang dimengerti oleh anak.
Pendeknya, orang tua perlu menjaga agar kepedulian dan rasa ingin tahu anak tidak hilang.
Orang tua perlu terus memupuk kedua hal itu pada diri anak.
Kepedulian dan rasa ingin tahu merupakan modal untuk kreatif. Modal berikutnya adalah
meleluasakan anak untuk menguji coba dugaan dan keyakinannya tentang lingkungannya.
Fasilitasi perlu diberikan di sini. Orang perlu menunjukan empati dalam arti memahami anak
dari sudut pandang anak, mencoba masuk ke dalam pikiran anak untuk dapat membantunya

mengembangkan penilaian dan pemahaman yang lebih memadai. Di sisi lain, orang tua perlu
menjaga agar anak tetap mempertahankan penilaian dan pemahaman yang unik pada anak sambil
memfasilitasinya untuk tidak mengabaikan realitas yang terpapar di lingkungan.
8. Menggugah Anak Dengan Rangsangan yang Beragam
Untuk memperkaya penilaian dan pemahaman anak terhadap lingkungannya, orang tua perlu
menggugah

anak

dengan

rangsangan-rangsangan

yang

beragam.

Orang

tua

perlu

memperkenalkan anak dengan berbagai ranah kehidupan, seperti kehidupan sosial dan ekonomi,
seni, olah raga, ilmu pengetahuan, dan kehidupan religius. Rangsangan yang beragam ini
memberikan perspektif yang beragam pada anak dan memperkaya wawasan anak. Ketertarikan
anak kepada beragam ranah kehidupan meningkatkan ketertarikannya terhadap kehidupan dan
dunia yang lebih luas. Orang yang kreatif punya imajinasi yang sangat kaya karena ia juga punya
pengalaman berhubungan dengan beragam hal dalam beragam ranah kehidupan.
Anak perlu dilibatkan secara aktif anak dalam ranah-ranah kehidupan. Selain imajinasinya
diperkaya, ia juga perlu menjalani secara kongkret aktivitas-aktivitas dalam ranah kehidupan itu.
9. Melakukan Aktivitas-aktivitas Kreatif
Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk melibatkan anak dalam beragam ranah kehidupan
sejak dini. Berikut ini contoh-contohnya.
1. Membayangkan apa yang akan dilakukan ketika dewasa.
Anak di sini diajak untuk bermain dengan cara menggambarkan apa yang akan dilakukannya
pada saat ia sudah dewasa. Apa pekerjaan mereka? Apa saja aktivitas yang dilakukan? Kalau
mereka punya rumah, seperti apa rumah mereka? Ini adalah contoh pertanyaan yang dapat
diajukan dalam permainan ini.
2. Membuat cerita sebelum tidur yang bersambung dan menggugah rasa penasaran anak.

Di sini orang tua membuat cerita yang menarik untuk anak. Cerita itu dibuat bersambung dari
malam ke malam. Setiap malam, cerita dihentikan pada adegan yang menggugah rasa ingin tahu
dan diteruskan pada malam berikutnya.
3. Mengajak anak untuk bermain peran yang ia ciptakan sendiri.
Ajak anak untuk memilih peran tertentu yang ia tentukan sendiri. Minta ia tampilkan peran itu
selengkap mungkin. Ornag tua juga ikut terlibat sebagai peserta permainan dan ikut memilih
peran yang juga mereka mainkan. Buat seolah-olah ada panggung tempat mementaskan peran
itu. Bisa juga peran-peran itu dimainkan bersama oleh orang tua dan anak sehingga ada dialoh di
situ.
4. Biarkan anak menjadi penunjuk jalan.
Ketika sedang berjalan-jalan, seringkali anak berjalan terlalu cepat, berlari, dan tak sabar. Ini
dapat dimanfaatkan untuk memberi kesempatan dan memfasilitasi anak menjadi pelopor. Minta
anak menjadi penunjuk jalan. Gugah ia untuk membayangkan bahwa ia adalah pemimpin atau
pemandu perjalanan yang bertugas membawa rombongannya sampai ke tujuan.
5. Menari bersama.
Menari mengikuti musik tertentu adalah kegiatan yang menggugah ungkapan kreatif anak. Ajak
anak untuk menari, menampilkan gerakan yang sesuai dengan irama musik. Orang tua ikut
menari dengan anak.
6. Berkebun bersama.
Ajak anak berkebun bersama orang tua. Gugah mereka untuk menentukan tanaman apa yang
hendak ditanam atau dirawat. Ceritakan kepada anak karakteristik tanaman-tanaman yang ada
dan ajak ia untuk memikirkan nasib dari tanaman-tanaman itu. Biarkan anak bermain dengan
tanah, menggali, dan menanami tanah dengan tanaman. Minta ia memberi nama khusus untuk
tanaman dan tanya alasannya mengapa ia menamai tanaman dengan nama itu.
7 . Membuat layang-layang bersama.

Daripada membelikan anak layangan, lebih baik ajak anak untuk membuat layangan. Beri contoh
bagaimana cara membuatnya dan libatkan ia dalam pembuatan. Beri keleluasaan untuk memilih
warna dan motif layangan.
8. Memasak bersama.
Ajak anak terlibat dalam kegiatan dapur. Rencanakan bersama apa yang akan dimasak dan
diskusikan dengan anak bagaimana kira-kira memasaknya. Biarkan anak mencoba-coba dan
tanggapi dengan pertanyaan-pertanyaan, serta ajukan kemungkinan-kemungkinan rasa makanan
yang akan diperoleh jika bahan atau bumbu tertentu diikut sertakan dalam masakan.
9. Membuat kelompok band musik.
Ajak anak membuat kelompok band untuk memainkan musik dengan peralatan yang ada di
rumah. Biarkan anak mengeksplor kemungkinan bunyi yang dapat dihasilkan alat-alat itu. Lalu,
beri peran pada anak dalam band dan mainkan musik bersama sesuai selera dan ketertarikan
anak.
Ada banyak lagi aktivitas yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kreativitas anak.
Aktivitas-aktivitas itu tidak perlu memakan biaya besar dan dapat dilakukan kapan saja. Orang
tua perlu mencari aktivitas-aktivitas apa saja yang menarik untuk anak. Usahakan aktivitasnya
seberagam mungkin agar anak memiliki wawasan luas sehingga imajinasinya pun jadi sangat
kaya.
10. Menumbuhkembangkan Motivasi.
Kreativitas dimulai dari suatu gagasan yang interaktif. Bagi anak-anak, dorongan dari luar
diperlukan untuk memunculkan suatu gagasan. Dalam hal ini, para orangtua banyak berperan.
Dengan penghargaan diri, komunikasi dialogis dan kemampuan mendengar aktif maka anak akan
merasa dipercaya, dihargai, diperhatikan, dikasihi, didengarkan, dimengerti, didukung, dilibatkan
dan diterima segala kelemahan dan keterbatasannya. Dengan demikian, anak akan memiliki
dorongan yang kuat untuk secara berani dan lancar mengemukakan gagasan-gagasannya. Selain
itu, untuk memotivasi anak agar lebih kreatif, sudah seharusnya kita memberikan perhatian

serius pada aktivitas yang tengah dilakukan oleh anak kita, misalnya dengan melakukan aktivitas
bersama-sama mereka. Kalau kita biasa melakukan puasa dan shalat bersama anak-anak kita,
mengapa untuk aktivitas yang lain kita tidak dapat melakukannya? Bukankah lebih mudah untuk
mentransfer suatu kebiasaan yang sama ketimbang harus memulai suatu kebiasaan yang sama
sekali baru? Dengan demikian, sesungguhnya seorang Muslim memiliki peluang yang lebih
besar untuk menjadikan anak-anak mereka kreatif. Tinggallah sekarang bagaimana kita sebagai
orangtua Muslim senantiasa berusaha untuk memperkenalkan anak-anak kita dengan berbagai
hal dan sesuatu yang baru untuk memenuhi aspek kognitif mereka. Tujuannya adalah agar
mereka lebih terdorong lagi untuk berpikir dan berbuat secara kreatif. Perlu dicatat, dalam
memotivasi anak agar kreatif, lakukanlah dengan cara menyenangkan dan tidak di bawah
tekanan/paksaan.
11. Mengendalikan Proses Pembentukan Anak Kreatif.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orangtua dalam pembentukan anak kreatif adalah:
 Persiapan waktu, tempat, fasilitas dan bahan yang memadai. Waktu dapat berkisar antara
10-30 menit setiap hari; bergantung pada bentuk kreativitas apa yang hendak
dikembangkan. Begitu pula dengan tempat; ada yang memerlukan tempat yang khusus
dan ada pula yang dapat dilakukan di mana saja. Fasilitas tidak harus selalu canggih;
bergantung pada sasaran apa yang hendak dicapai. Bahan pun tidak harus selalu baru;
lebih sering justru menggunakan bahan-bahan sisa atau bekas.
 Mengatur kegiatan. Kegiatan diatur sedemikian rupa agar anak-anak dapat melakukan
aktivitasnya secara individual maupun berkelompok. Kadang-kadang anak-anak
melakukan aktivitas secara kompetitif; kadang-kadang juga secara kooperatif.
 Menyediakan satu sudut khusus untuk anak dalam melakukan aktivitas.
 Memelihara iklim kreatif agar tetap terpelihara. Caranya dengan mengoptimal-kan poinpoin tersebut di atas.
12. Mengevaluasi Hasil Kreativitas.
Selama ini kita sering menilai kreativitas melalui hasil atau produk kreativitas. Padahal
sesungguhnya proses itu pada masa kanak-kanak lebih penting ketimbang hasilnya. Pentingnya

penilaian kita terhadap proses kreativitas bukan berarti kita tidak boleh menilai hasil kreativitas
itu sendiri. Penilaian tetap dilakukan. Hanya saja, ada satu hal yang harus kita perhatikan dalam
menilai. Hendaknya kita menilai hasil kreativitas tersebut dengan menggunakan perspektif anak,
bukan perspektif kita sebagai orangtua. Kalau kita mendapati seorang anak berusia 3 tahun dan
kemudian dia dapat menyebutkan huruf hijaiyah dari alif sampai ya, apakah kita akan
mengatakan, “Ah, kalau cuma bisanya baru menyebutkan begitu, saya juga bisa.” Tentu saja,
dalam mengevaluasi proses dan hasil kreativitas harus “open mind” atau dengan “pikiran
terbuka”. Setiap kali kita mengevaluasi hasil tersebut, kita harus selalu memberikan dukungan,
penguatan sekaligus pengarahan. Begitu juga sebaliknya; jauhi celaan dan hukuman agar anak
kita tetap kreatif.
B. Peranan Guru Dalam Pengenalan Islam Pada AUD (Tahap Sekolah)
Secara khusus proses pembelajaran pada anak usia dini haruslah
didasarkan prinsip-prinsip perkembangan anak usia dini. Proses kegiatan
belajar pada anak usia dini harus dilaksanakan berdasarkan prinsip belajar
melalui bermain.
Bagi anak-anak usia dini, bermain masih merupakan kebutuhan.
Kegiatan ini akan membuat setiap anak menjadi aktif dan merasa senang.
Itu sebabnya sangat disarankan untuk menggunakan berbagai macam
metode permainan seperti games, bermain peran (role play) atau simulasi
untuk bisa menarik minat dan memudahkan anak-anak memahami tujuan
pengajaran.
Montessori

mengatakan,

bahwa

ketika

anak

bermain,

ia

akan

mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan
sekitarnya. Untuk itu, perencanaan dan persiapan lingkungan belajar anak
harus dirancang dengan seksama sehingga segala sesuatu dapat merupakan
kesempatan belajar yang sangat menyenangkan bagi anak itu sendiri.
Docket

dan

Fleer

(2000:41-43)

berpendapat

bahwa

bermain

merupakan kebutuhan bagi anak, karena melalui bermain anak akan
memperoleh

pengetahuan

yang

dapat

mengembangkan

kemampuan

dirinya. Bermain merupakan aktivitas yang khas dan sangat berbeda dengan

aktivitas lain seperti belajar dan bekerja yang selalu dilakukan dalam rangka
mencapai suatu hasil akhir.
Berdasarkan

teori

konstruktivisme

yang

menekankan

bahwa

pengetahuan itu merupakan bentukan siswa, peran guru lebih ditekankan
sebagai fasilitator yang membantu atau memfasilitasi anak didik agar belajar
sendiri membangun pengetahuan mereka. Sebagai fasilitator diharapkan
bersikap dialogis, mendengarkan, memberi kebebasan, dan kesempatan
kepada siswa untuk aktif belajar dan mengungkapkan gagasan dan ide
mereka (Drs. H. Isjoni. M.Si: 2005: 127)
Penerapan pengajaran sebaya (peer teaching) dalam proses belajar
mengajar di sekolah merupakan salah satu contoh dimana guru lebih
berperan sebagai fasilitator atau pemberi sumber-sumber, ketimbang
sebagai pemberi layanan secara langsung. Dalam pengajaran sebaya, siswa
bekerja sama di antara mereka untuk saling membantu dalam belajar di
bawah bimbingan guru.
Guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator. Dalam hal ini guru
memegang peran penting sebagai penyambung antara siswa dengan segala
kebutuhannya dengan berbagai pihak dan sumber-sumber lain yang terkait,
konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dalam hal ini perlu di kembangkan
secara lebih profesional untuk menunjang gagasan ini (Prof. Dr. H. Mohamad
Surya: 2004: 46-47)
Contohnya ketika bermain jual-jualan, si anak bertindak sebagai
penjual, kita sebagai pembeli. Kita dapat melontarkan beberapa pertanyaan
seperti berpakah harga per satuannya?, apakah disini jua susu Bendera?,
atau apakah bisa harganya dikurangi?, dan contoh lainnya. Dalam suasana
santai,

pertanyaan-pertanyaan

tersebut

dapat

memacu

anak

untuk

membeerikan jawaban secara spontan (Hughes dalan Anggani Sudono:2000:
6)
Peranan guru sebagai fasilitator tidaklah mudah untuk diterapkan.
Sebagai contoh, seorang guru membutuhkan kepekaan rasa dan ketajaman
pengamatan bagi setiap anak didiknya. Dalam bermain pun guru diminta

tetap mendampingi mereka karena justru pada saat bermain itulah akan
terlihat perkembangan dan polah laku setiap anak. Misalnya ada anak yang
segera menguasai dan menyenangi alat bermainnya tetapi ada juga yang
tidak tertarik sama sekali atau yang pada waktu tertentu mulai jenuh. Selain
mengamati perkembangan anak, guru pun dapat mengamati perubahan
kebutuhan akan sesuatu alat permainan misalnya sudut rumah tangga yang
menjadi favorit oleh sebagian besar anak.
Guru pun dapat berperan sebagai instruktur dalam memperkenalkan
cara kerja dan fungsi suatu alat permainan, misal papan pasak. Tindakan
dan sikap guru yang tepat adalah mencontohkan bagaimana caranya
mengeluarkan pasak dari papannya, sambil mengatakan bahwa alat ini
namanya papan pasak. Guru menanyakan apakah anak mengetahui nama
warna yang ada pada papan pasak itu. Guru memberikan pujian pada waktu
anak menjawab dengan benar. Selanjutnya ia mengundang anak untuk
memasukkan kembali pasak-pasak itu ke papannya (Anggani Sudono: 2000:
65)
Sejalan dengan perkembangan usianya, anak usia dini dapat menilai situasi di lingkungan
sekeliling terutama lingkungan keluarganya. Perubahan yang terjadi di bulan Ramadhan yang
dirasakan anak, terutama perubahan pada waktu makan dan aturan tidak boleh makan dan minum
di siang hari sampai menunggu adzan maghrib, tentu akan membingungkan mereka. Apalagi bila
tidak ada penjelasan dan bimbingan dari orang tua sebelumnya mengenai situasi tersebut.
Disinilah pentingnya kesadaran para orang tua dan anggota keluarga lainnya untuk
mengoptimalkan keberkahan di bulan suci Ramadhan. Yaitu selain untuk melipat gandakan amal
ibadahnya, namun juga memanfaatkannya sebagai momen berharga untuk menanamkan
keimanan, mengenalkan dan mengajari nilai-nilai agama pada anak, salah satunya melalui
aktivitas berpuasa.
Anak usia dini umumnya berperilaku dengan mencontoh atau meniru model orang dewasa yang
dilihatnya. Dengan melihat keteladanan yang dicontohkan oleh orang tuanya, misalnya
keteladanan dalam hal bersahur, berpuasa dan berbuka puasa, anak akan meniru melakukan apa
yang dilakukan oleh orang tuanya. Orang tua, hendaknya memberi contoh teladan beribadah
disertai dengan ajakan untuk bersama-sama melakukannya.

Pendidikan agama sejak dini juga menciptakan anak memahami segala bentuk perbedaan dari
setiap agama yang ada. Juga menjadikan anak memahami bahwa setiap agama tidak
mengajarkan sesuatu yang negatif. Jangankan berlainan agama terkadang satu agamapun banyak
kita temui tentang pemahaman agama dan cara pandang yang berbeda. Mengapa pula kita tidak
melihat semua perbedaan itu menjadi keragaman yang indah, dan menjelaskan kepada para
penerus atau anak anak kita bahwa perbedaan itu adalah indah.
Memperkenalkan Agama pada Anak Melalui Sebuah Metode
Orangtua manapun pasti akan berusaha melindungi keluarga dan anak-anaknya dari pengaruh
negatif informasi atau budaya luar. Satu-satunya cara untuk melindungi memang hanya dengan
pemahaman agama dan iman yang kuat. Apalagi kalau benteng iman dibangun dengan pondasi
yang kuat sejak dini. Karena sekuat apapun usaha orangtua mengawasi anak tetap tidak bisa 24
jam penuh, Apalagi orang tua juga bekerja.
Metode khusus untuk mengenalkan agama pada anak sejak usia dini yang paling tepat adalah
dengan cara bermain bersama ketika hendak menperkenalkan hal-hal yang lain. Perlu disadari,
belajar untuk anak usia dini cara yang paling tepat adalah dengan bermain, karena dalam
bermain sebenarnya terkandung proses belajar. Untuk pengenalan agama sebaiknya lebih banyak
ditekankan pada masalah akhlak dan etika didahulukan. Mulai dari nilai-nilai dasar dalam
kehidupan sehari-hari, seperti kejujuran, sayang sesama, sabar, memaafkan, bersyukur, dan
sebagainya. Untuk syariah dan tauhid, kelak seiring dengan pertambahan usia dan perkembangan
pengetahuannya bisa secara bertahap dikenalkan.

Cara Mengenalkan Agama:
 Kenalkan Tuhan YME pada si kecil lewat ciptaan-Nya, seperti burung yang cantik, bunga
yang bewarn-warni, kupu-kupu, termasuk tubuh kita. Niscaya anak akan lebih mudah
memahaminya.
 Katakan pada anak, kalau ia harus bersyukur memiliki hidung, jadi kita bisa mencium
bau-bauan. Memiliki mata untuk melihat.
 Kenalkan pada anak tentang sifat-sifat Tuhan. Misalnya maha pemurah, penyayang,
pengasih, dllnya.

 Selain hal di atas, anak juga harus dilatih untuk memiliki budi pekerti yang baik, hormat
pada orang tua, sayang terhadap sesama dan bersyukur.
 Ajarkan pada anak bersikap baik terhadap dirinya sendiri, seperti menjaga kebersihan.
Kalau selesai buang air kecil, ajarkan untuk slalu disiram dan dibersihkan.. Katakan kalau
Tuhan mencintai kebersihan.
 Ajak anak ke rumah ibadah sesuai dengan agama yang dianut.
·

Itulah sebabnya pendidikan toleransi menjadi agenda mendesak saat ini. Para siswa atau anak
didik harus dijarkan tentang pentingnya keberagaman dan perbedaan. Ini karena menjaga dan
melestarikan keberagaman dalam (hidup) kebersamaan sangat efektif dimulai sejak dini, yakni
dari sekolah.
Sekolah menjadi lembaga publik yang (sangat) tepat untuk menjelaskan apa makna dan
pentingnya kemajemukan dan tenggang rasa antarsesama. Ini karena di sekolahlah pola pikir
sekaligus pola interaksi anak yang tidak seragam (heterogen) itu mulai hadir dan terbentuk.

·

Sekolah dengan demikian menjadi “ruang strategis” untuk membentuk mental atau bagi
tumbuhnya watak keberagaman yang kuat.

·

Dalam praktiknya, pendidikan toleransi ini tidak hanya dapat digerakkan oleh guru, tapi juga
pengelola sekolah dengan cara memanfaatkan segala fasilitas dan media yang ada—seperti
dinding sekolah—untuk ditempel gambar berbagai tempat ibadah semua agama di Indonesia,
pakaian adat, rumah adat, kesenian daerah, serta simbol-simbol keberagaman lain yang
merupakan kekayaan negeri.

·

Hal ini amat penting karena mengenalkan beragam perbedaan dengan mengembangkan sikap
toleransi “melalui gambar” bisa lebih cepat ditangkap (mengena) oleh seorang anak.

·

Ini karena nilai-nilai menghargai dan menghormati perbedaan itu pada gilirannya akan teresap
dalam jiwa dan batin anak ketika nanti mereka tumbuh dewasa. Mereka pun akan tumbuh
menjadi insan-insan yang memiliki pola pikir inklusif dan toleran.

·

Tentu saja selain di sekolah, tiga ranah yang berperan penting untuk mengajarkan pendidikan
toleransi adalah lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan negara. Pada
lingkungan keluarga, seorang ayah dan ibu tentu memiliki peranan penting.

·

Setiap orang tua harus sebisa mungkin mengenalkan anak kesayangannya pada perbedaanperbedaan sekitar dan mengajak mereka untuk terbiasa menghormati kepada sesama meskipun
berbeda agama, ras, suku, dan golongan.

·

Sementara dalam konteks lingkungan masyarakat, para tokoh masyarakat dan ulama sekitar
harus mengajak dan terus berupaya menciptakan sistem kehidupan yang rukun. Caranya adalah
mereka—tokoh masyarakat dan ulama setempat—harus memberikan teladan tentang perilaku
toleran.
Dengan cara bermain dilingkungan sekolah
Memperkenalkan Allah, memperkenalkan agama Islam pada anak usia dini untuk tahap pertama,
sebaiknya dilakukan dengan cara bermain, dengan cara yang menyenangkan. Game, film, buku
cerita, lagu atau media lain yang di era sekarang cukup banyak tersedia bisa digunakan sebagai
alat bantu. Memperkenalkan Allah pada balita harus disesuaikan dengan umurnya. Cara
menyenangkan lebih mudah diterima dan dipahami oleh anak. Buat se-fun mungkin, biar anak
semangat untuk mempelajarinya Misalkan mengenalkan nilai-nilai moral agama lewat
permainan ular tangga dll, yang suka bukan cuma anaknya, orangtuanya juga.
Gunakan bahasa yang sederhana dalam mendidik
Sebaiknya ketika mengenalkan agama pada anak gunakan bahasa atau kalimat yang mudah
dipahami. Mulai dari contoh sederhana menggunakan contoh dari hal-hal yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan bisa dilihat anak akan semakin memudahkan anak belajar tentang
agama. Kita bisa mengenalkan keberadaan Allah lewat benda-benda yang ada disekitar kita
seperti air, pohon, binatang, mama dan papa, tanah, hujan, matahari, pelangi, sayur, buah, beras
dsb. Jelaskan pada anak bahwa semua yang ada disekitar kita ada yang menciptakan dan kita
wajib berdoa, mengucapkan syukur dan berterimakasih pada Allah. “Coba kalau Allah gak
menciptakan sayur, buah, beras, hewan ternak, kita makan apa?” ya dari contoh sederhana dulu
biar anak mudah memahami. Lewat contoh tadi sifat-sifat Allah juga bisa dikenalkan, seperti
Allah itu Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Pemberi, karena Allah sayang sama adik
makanya Allah menciptakan air, tanaman yang indah, binatang yang lucu-lucu, pelangi, awan,
hujan dsb.
Jadi contoh

Cara yang paling efektif sebenarnya adalah dengan memberi contoh lewat perilaku kita. Anak
usia dini senang mencontoh apapun yang dia lihat. Belajarnya dengan mengamati. Ketika anak
mengamati orangtuanya kemasjid untuk sholat, membaca Al-Qur’an, puasa, berdoa sebelum
makan, berdoa sebelum keluar rumah, berdoa sebelum tidur, mengucap salam, bertoleransi dan
menghargai sesama maka anak pun akan mengikuti. Bagaimana kita mau mengajarkan ibadah
pada anak kalau orangtuanya sendiri tidak beribadah. Orangtua seharusnya memang tidak hanya
mengajarkan dengan bicara atau nyuruh tapi yang paling penting adalah melakukan.
Libatkan anak
Mengajak anak ketempat ibadah, tarawih, sholat, atau pengajian baik untuk mengenalkan agama
sejak dini. Untuk anak usia dini, ikut2an ketika menjalankan ibadah tidak mengapa, kelak
seiring bertambahnya usia anak akan mengerti bahwa semua itu merupakan nilai-nilai yang harus
dijalani dalam hidupnya.