ANALISIS PENGARUH PENERAPAN SISTEM PERFORMANCE- BASED BUDGETING TERHADAP PENGENDALIAN FISKAL DI NEGARA-NEGARA ASEAN

  

DI NEGARA-NEGARA ASEAN

Andar Ristabet Hesda, S.E.

  Dyah Setyaningrum, S.E. Ak., M.S.M.

  

Universitas Indonesia

  Gejolak fiskal yang terjadi di negara-negara Asia terutama pasca krisis ekonomi

  Abstrak :

  tahun 1997/1998 mendorong beberapa negara untuk melakukan reformasi di bidang keuangan negara.Salah satu bagian dari reformasi tersebut adalah penerapan sistem

  

performance-based budgeting. Sistem ini bertujuan untuk membantu pemerintah dalam

  mengendalikan gejolak fiskal yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh penerapan performance-based budgeting terhadap pengendalian fiskaldi negara- negara ASEAN.Pengendalian fiskal dibagi menjadi dua yaitu, pengendalian pertumbuhan pengeluaran pemerintah dan pengendalian tingkat defisit. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari lima negara, yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia, Kamboja, dan Thailand dari tahun 1997 - 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penerapan performance-based berpengaruh positif terhadap pertumbuhan pengeluaran. Hal ini berarti penerapan

  budgeting justru mendorong pertumbuhan pengeluaran pemerintah. performance-based budgeting

  Sementara itu, penerapan performance-based budgeting tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap tingkat defisit. Hal ini berarti penerapan performance-based budgeting belum berhasil dalam mengurangi dan mengendalikan tingkat defisit pemerintah.

  ASEAN countries; fiscal control; performance-based budgeting; government spending keyword:

  : Fiscal turmoil occurred in Asian countries, especially after economic crisis in

  Abstract

1997/1998 has encouraged some countries to undertake reforms in the state finance sector.

  

One of the reforms is the implementation of performance-based budgeting system. This

system is used to assist the government in controlling the fiscal turmoil. This study aims to

analyze the effect of performance-based budgeting implementation on fiscal control in

ASEAN countries. Fiscal control is divided into two: government spending growth control

and deficit level control. This study uses secondary data from five countries: Indonesia, the

Philippines, Malaysia, Cambodia, and Thailand, from 1997 to 2011. The results of statistical

test show that the implementation of performance-based budgeting system has positive effect

on the growth spending level. This result means that the implementation of performance-

based budgeting would encourage the government growth of spending level. Meanwhile, the

implementation of performance-based budgeting system do not show any effect on deficit

level. Thus, the implementation of performance-based budgeting system has not succeeded

yet in reducing the level of government deficit.

  :

Keywords ASEAN countries; fiscal control; performance-based budgeting; government

spending

  Pendahuluan

  Sejak abad ke-19, performance-based budgeting (performance-based budgeting) telah dikenal dan mulai diterapkan di berbagai negara. merupakan

  Performance-based budgeting

sistem anggaran yang berusaha menghubungkan antara penganggaran (budgeting) dengan

kinerja (performance). Negara pertama yang menerapkan performance-based budgeting

  adalah Amerika Serikat. Jones dan Mcfrey (2010) menyatakan bahwa performance-based pertama kali dikenal di AS pada tahun 1950 di bawah organisasi Bureau of the

  budgeting

  (BOB). Pada waktu itu, tujuan diterapkannya performance-based budgeting adalah

  Budget

  untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan pemerintahan. Kemudian sistem ini berkembang hingga akhirnya pemerintah AS mengeluarkan Chief Financial Officer Act pada tahun 1990 dan Government Performance and Result Act pada tahun 1993. Kedua undang- undang ini merupakan dasar hukum yang digunakan oleh pemerintah AS dalam pelaksanaan

  . Selain di pemerintah AS, penerapan performance-based

  performance-based budgeting

budgeting juga merambah ke pemerintahan negara-negara lain, seperti Kanada (1970),

  Denmark (1980), Swedia (1990), UK (2000), Korea (2006), dan termasuk di wilayah Asia Tenggara, seperti Indonesia (2005).

  Penerapan performance-based budgeting menurut OECD (2007) pada umumnya dipicu oleh keinginan pemerintah untuk memperbaiki proses alokasi anggaran, meningkatkan kontrol atas pengeluaran, dan mewujudkan transparansi serta akuntabilitas dalam pelayanan publik. King (1995) dalam Melkers dan Willoughby (1998) menyatakan bahwa pemerintah seharusnya berjalan atas dasar keinginan dan kebutuhan masyarakat bukan atas peraturan- peraturan semata, karena masyarakat selaku pembayar pajak menginginkan hasil bukan hanya sekedar usaha (akuntabilitas). Oleh karena itu, pemerintah harus menyampaikan kepada masyarakat apa yang telah dilakukan dan apa yang ingin dilakukan (performances).

  Selain itu, krisis ekonomi yang terjadi di beberapa negara seperti Denmark, Swedia, dan di wilayah Asia Timur dan Tenggara juga menjadi pemicu diterapkannya performance-based budgeting .

  Dilihat dari segi tujuan, penerapan performance-based budgeting memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain. Namun dari berbagai tujuan tersebut, pada hakikatnya akan mengerucut pada tiga tujuan utama, yaitu efisiensi alokasi anggaran, efisiensi manajemen pemerintahan, dan kedisiplinan kinerja fiskal (OECD, 2007).

  Untuk wilayah Asia Timur dan Tenggara, penerapan performance-based budgeting pada umumnya memiliki tujuan yang tercakup dalam ketiga tujuan di atas.

  Krisis ekonomi yang terjadi 1997/1998 semakin mendorong pemerintah untuk menerapkan performance-based budgeting. Krisis ini mengakibatkan adanya goncangan fiskal yang membuat banyak negara yang mengalami keterpurukan. Di wilayah Asia Timur dan Tenggara, negara-negara yang mengalami dampak krisis tersebut diantaranya adalah Thailand, Filipina, Korea, Malaysia, Laos, Indonesia, Kamboja, dan lainnya. Worldbank (1998) menyatakan bahwa di wilayah Asia Timur, efek atas krisis tersebut diantaranya adalah penurunan pertumbuhan ekonomi, meningkatnya resiko bisnis, dan perubahan arus modal investasi dan perdagangan. Efek ini diperparah dengan adanya kelemahan governance pemerintah dalam menanggapi krisis tersebut. Krisis ini juga berdampak terhadap kestabilan fiskal, yaitu berupa meningkatnya defisit anggaran dan hutang pemerintah. Krisis ekonomi 1997/1998 memberikan pelajaran yang berharga bagi negara-negara di Asia Timur dan Tenggara. Krisis tersebut juga menyadarkan bahwa perlu adanya sistem keuangan negara yang stabil dan kuat. Berangkat dari hal tersebut, beberapa negara Asia Timur dan Tenggara mulai melakukan beberapa perbaikan pada sistem keuangan negaranya. Indonesia, pada tahun 2003 melakukan reformasi dengan memperbaharui undang-undang di bidang keuangan negara yang sebelumnya masih menggunakan peraturan kolonial. Kamboja, pada tahun 2004 menyusun Public Financial Management Reform Program. Filipina juga melakukan restorasi untuk meningkatkan kedisiplinan dan ketahanan fiskal sejak tahun 2004.Selain dipicu oleh krisis ekonomi tersebut, terdapat beberapa negara di wilayah Asia Timur dan Tenggara yang sudah melakukan reformasi di bidang keuangan negara sebelum krisis terjadi. Seperti Malaysia dan Thailand yang sudah melakukan perbaikan berkelanjutan atas sistem keuangan negara sejak tahun 1990-an (Khosy, 2006; Blondal dan Kim, 2006).

  Penerapan performance-based budgeting merupakan salah satu bagian dari reformasi sistem keuangan negara yang dilakukan di negara-negara Asia Timur dan Tenggara. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tujuan penerapan sistem ini adalah untuk efisiensi alokasi anggaran, efisiensi manajemen pemerintahan, dan kedisiplinan kinerja fiskal. Upaya pengendalian/kedisiplinan fiskal merupakan salah satu tujuan yang ditekankan. Hal ini dikarenakan oleh adanya ketidakseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan sehingga negara mengalami defisit yang berkepanjangan. Adanya krisis dan kurangnya pengendalian penerimaan dan pengeluaran pemerintah membuat kondisi keuangan negara menjadi tidak stabil. Hal ini dialami oleh sebagian besar negara di Asia Timur dan Tenggara, terutama di negara-negara ASEAN, dimana telah terjadi defisit berkepanjangan sejak tahun 1997 hingga saat ini.

  Lee and Wang (2009) menyatakan bahwa performance-based budgeting diharapkan dapat digunakan sebagai alat untuk mengendalikan belanja (spending control). Sistem ini dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya dan menghindari adanya pengeluaran yang tidak diperlukan. Hal ini khususnya sangat penting ketika sebuah negara sedang mengalami periode defisit dan peningkatan hutang. Di negara-negara ASEAN pada umumnya mengalami hal ini. Sebenarnya, pengendalian ini tidak hanya dilakukan oleh negara, namun juga dapat dilakukan oleh masyarakat dan media masa, sehingga dapat mendorong transparansi dalam sistem penganggaran pemerintah. Dari beberapa negara di wilayah Asia Timur dan Tenggara, terutama di wilayah Asia Tenggara (ASEAN), terdapat lima dari sepuluh negara yang menerapkan performance-based budgeting. Kelima negara tersebut adalah Indonesia (mulai tahun 2005), Kamboja (2000), Malaysia (1995), Filipina (2007), dan Thailand (2002). Empat dari kelima negara tersebut menerapkan performance-

  

based budgeting pada tahun 2000-an. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya krisis

  ekonomi tahun 1997/1998 menjadi salah satu pemicu adanya reformasi di bidang keuangan negara, termasuk di dalamnya bidang sistem penganggaran.

  Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh performace-based budgeting dalam pengendalian fiskal di suatu negara. Penelitian terkait penerapan performance-based

  

budgeting telah banyak dilakukan. Penelitian tersebut pada umumnya mengambil tema

  tentang efektivitas performance-based budgeting dalam mendorong efisiensi alokasi anggaran dan manajemen pemerintahan,seperti Melkers dan Willoughby (2001),Gilmour dan

  

Lewis (2006), dan Pattison dan Samuels (2002). Dari segi efektifitas penerapan, maka

  berdasarkan penelitian-penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya dukungan pimpinan dan pihak legislatif,performance-based budgeting memang dapat memperbaiki efisiensi alokasi anggaran dan manajemen pemerintahan. Namun, dari segi tujuan pengendalian fiskal, penelitian yang menjelaskan pengaruh performance-based budgeting terhadap pengendalian fiskal belum banyak dilakukan. Worldbank (1998) menyatakan bahwa selain efisiensi alokasi, salah satu pengaruh anggaran dalam tingkatan hasil (outcome) adalah terwujudnya disiplin fiskal sesuai dengan skema fiskal yang diinginkan oleh pemerintah.

  Salah satu penelitian empiris terkait dampak fiskal penerapan performance-based diantaranya adalah Crain dan O’Roack (2004) yang mengambil objek penelitian di

  budgeting

  negara AS.Crain dan O’Roack (2004) menyimpulkan adanya tiga kemungkinan pengaruh pada dampak fiskal. Pertama, pendekatan performance-based

  performance-based budgeting

budgeting ini akan menekan pengeluaran pemerintah. Kedua, pendekatan ini justru akan

  meningkatan belanja pemerintah pada program yang mendapat kepercayaan besar dari konstituen.Kemungkinan ketiga, pendekatan performance-based budgetingmemiliki pengaruh yang kecil atau tidak berpengaruh sama sekali pada kinerja fiskal pemerintah.

  Seperti yang telah diuraikan di atas, di wilayah Asia Timur dan Tenggara terdapat beberapa negara yang menerapkan performance-based budgeting. Negara-negara tersebut memiliki karakteristik yang sama dalam penerapan performance-based budgeting, yaitu salah satunya untuk tujuan pengendalian fiskal. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait bagaimana dampak penerapan performance-based budgeting terhadap pengendalian fiskal di negara-negara Asia Timur dan Tenggara dengan mengambil sampel penelitian di wilayah Asia Tenggara (ASEAN). Masih adanya study gap terkait pengaruh penerapan performance-based budgeting terhadap pengendalian fiskal juga mendorong penulis untuk memberikan bukti empiris atas permasalahan ini. Selain itu, sejauh pengetahuan penulismasih belum ada penelitian empiris yang menjelaskan dampak penerapan performance-based budgetingterhadap pengendalian fiskal di negara-negara ASEAN.

  Secara umum negara-negara ASEAN memiliki karakteristik yang sama sebagai negara berkembang.Dampak krisis ekonomi 1997/1998 membuat negara-negara ini mengalami goncangan fiskal berupa defisit yang berkepanjangan. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan informasi bagi pemerintahmasing-masing negara mengenai bagaimana dampak penerapan performance-based budgetingterhadap pengendalian fiskal pemerintah. Selain itu, hasil penelitian ini mungkin dapat digunakan sebagai referensi dalam proses evaluasi penyusunan anggaran pemerintah terutama dalam hal penentuan asumsi fiskal penerimaan dan pengeluaran.

  Dalam penelitian ini di bagi ke dalam lima bagian, yaitu pendahuluan, kerangka teori dan pengembangan hipotesis, metodologi penelitian, hasil penelitian, serta kesimpulan, implikasi, dan keterbatasan penelitian.

  Kerangka Teori dan Pengembangan Hipotesis

  Leloup dalam Khan dan Hildreth (2002) merumuskan beberapa teori yang berkaitan dengan perkembangan penganggaran sektor publik. Teori anggaran dibagi kedalam tiga bagian fase, yaitu fase inkrementalisme, fase transisi (era defisit), dan fase paradigma baru. Teori ini diambil dari riwayat penganggaran di negara AS. Fase inkrementalisme ditandai dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan kebijakan ekspansi oleh pemerintah. Kemudian fase transisi (era defisit) ditandai dengan adanya stagnasi ekonomi dan tingkat defisit yang berkepanjangan. Fase paradigma baru, ditandai dengan adanya perekonomian yang kembali tumbuh, anggaran surplus, bersifat konservatif namun tetap aktif dalam melaksanakan program-program pemerintah.

  Kemudian terkait dengan perkembangan sistem penganggaran, terdapat beberapa sistem yang dikenal, diantaranya dalam Nordiawan dan Hertianti (2010) disebutkan paling tidak ada empat sistem/pendekatan penyusunan anggaran, yaitu pendekatan tradisional, pendekatan kinerja (performance-based budgeting), pendekatan sistem perencanaan, program, dan anggaran terpadu (planning, programming, and budgeting system), dan pendekatan zero based. Masing-masing pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan.

  Seperti munculnya pendekatan kinerja merupakan reaksi atas adanya kelemahan penganggaran tradisional, terutama untuk menutupi kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik.

  Jones dan McCaffery (2010) mengemukan bahwa performance-based budgeting diperkenalkan di AS pada saat kepemerintahan Franklin D. Roosevelt untuk merespon adanya pertumbuhan kepemerintahan di semua tingkat ketika terjadi depresi pada tahun 1930 sampai tahun 1940 dan setelah era perang dunia ke-2. Kemudian berlanjut hingga tahun 1990-an, dimana performance-based budgeting mulai diterapkan secara internasional. Penyusunan sistem ini didasari oleh adanya pergerakan kepemerintahan untuk lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

  Pendekatan ini menggeser penekanan penganggaran dari sebelumnya yang sangat berfokus pada pos pengeluaran (object of expenditure) beralih pada kinerja terukur dari program kerja.

  Cara penyusunan anggarannya adalah dengan mengelompokkan anggaran berdasarkan program atau aktivitas serta dilengkapi dengan adanya indikator kinerja yang menjadi tolok ukur keberhasilannya. Pendekatan ini memiliki beberapa keunggulan yang diantaranya adalah perencanaan anggaran menjadi lebih baik dikarenakan adanya sistem pengendalian yang tidak hanya berfokus pada nilai uang yang dikeluarkan tetapi juga melihat bagaimana kinerja yang ingin dihasilkan. Oleh karena itu, pendekatan ini dianggap lebih sesuai dengan karakteristik organisasi sektor publik yang tidak mengejar profit dan lebih berorientasi pada kualitas pelayanan. Namun, pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu akan ada aktivitas yang sulit untuk dilakukan pengukuran indikator kinerjanya, sehingga sulit untuk melakukan analisis biayanya. Selain itu terkadang para penyusun anggaran hanya terfokus pada aktivitas dan analisis biayanya tanpa melihat apakah aktivitas tersebut benar-benar diperlukan atau tidak.

  Perkembangan penerapan sistem penganggaran di setiap negara berbeda-beda, seperti yang terjadi di wilayah ASEAN. NegaraASEAN terdiri atas sepuluh negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Kamboja, Brunei Darusalam, Thailand, Laos, Myanmar, dan Vietnam. Dari kesepuluh negara ini, penulis menemukan lima negara yang menerapkan

  . Kelima negara tersebut adalah Indonesia (mulai tahun 2005),

  performance-based budgeting

  Kamboja (2000), Malaysia (1995), Filipina (2007), dan Thailand (2002). Blondal, Hawkesworth, dan Cheo (2009) mendokumentasikan bagaimana sistem penganggaran di Indonesia. Performance-based budgeting di Indonesia dikenal dengan nama Anggaran Berbasis Kinerja. Proses penganggarannya berdasarkan tiga prinsip utama, yaitu money dan let the managers manage. Sebelumnya,

  follow function, output and outcome oriented,

  Indonesia menggunakan sistem penganggaran tradisional.Namun, pada tahun 2005, mulai diterapkan seiring dengan adanya reformasi keuangan di

  performance-based budgeting

  negara tersebut. Negara ASEAN selanjutnya adalah Kamboja. Pemerintahan Kamboja menerapkan sistem penganggaran Priority Action Plans (PAPs)mulai tahun 2007, dimana merupakan pilot project dalam penerapan sistem anggaran berbasis program/kinerja. Sistem PAPs lahir sesuai dengan amanat Budget Laws pada tahun 2000. Kemudian di Malaysia, dikenal dengan nama Modified Budgeting System atau Result

  performance-based budgeting

Budgeting System (Koshy, 2006). Di wilayah Asia Tenggara, Malaysia merupakan negara

  yang pertama kali menerapkan performance-based budgeting. Sebelumnya, Malaysia menerapkan sistem PPBS, namun sejak tahun 1995 mulai menerapkan performance-based

  budgeting karena sistem PPBS dianggap sulit untuk diimplementasikan.

  Sama halnya dengan Indonesia dan Kamboja, Thailand baru mulai menerapkan

  

performance-based budgeting pada tahun 2000-an. Blondal dan Kim (2006) menguraikan

  bahwa sebelum krisis ekonomi Thailand menggunakan pendekatan line-item, dan pendekatan ini sukses dalam dalam mengontrol total pengeluaran. Namun, dengan adanya krisis, pemerintah memerlukan sistem anggaran yang mampu meningkatkan efisiensi alokasi anggaran, dimana tidak dapat dilakukan jika menggunakan sistem line-item budgeting. Oleh karena itu, pemerintah Thailand mulai mencoba menggunakan pendekatan performance budgeting. Penerapan pendekatan ini berlakukan pada tahun anggaran 2002/2003.

  Negara terakhir yang menerapkan performance-based budgeting adalah Filipina, yaitu pada tahun 2007. Blondal (2010) menguraikan sistem penganggaran di negara Filipina. Dalam proses penyusunan proposal anggaran, pemerintah Filipina menggunakan pendekatan berbasis kinerja. Mulai tahun 2007, pemerintah Filipina mengenal konsep Book of Output. Seperti pada konsep performance-based budgeting, buku ini berisi tentang apa yang sudah diselesaikan, apa yang sedang diselesaikan, dan apa yang harus diselesaikan. Dalam penyusunan anggarannya, setiap aktivitas harus disusun berdasar ouput yang jelas, terukur, dan dapat diverifikasi.

  Penerapan performance-based budgeting di negara-negara ASEAN pada umumnya dilakukan setelah adanya krisis/ekonomi tahun 1997/1998. Krisis ini membuat kondisi fiskal negara tersebut mengalami goncangan. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah di negara- negara tersebut melakukan beberapa reformasi di sektor keuangan negara, termasuk di dalamnya sektor penganggaran. Penerapan performance-based budgeting bertujuan untuk mengendalikan gejolak fiskal yang terjadi. Dengan adanya perbaikan alokasi anggaran maka sumber daya suatu negara akan dialokasikan sesuai dengan kebutuhan yang hendak dilaksanakan oleh negara tersebut. Kemudian dengan adanya penyusunan indikator-indikator kegiatan, maka dapat meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Selain hal tersebut, anggaran dapat digunakan untuk upaya pengendalian fiskal. Horton dan El-Ganainy (2009) berpendapat bahwa kebijakan fiskal adalah penggunaan pengelolaan pengeluaran dan penerimaan pemerintah untuk mempengaruhi kondisi perekonomian. Pemerintah biasanya menggunakan kebijakan fiskal untuk mendorong pertumbuhan yang kuat dan berkelanjutan serta untuk mengurangi kemiskinan. Peran dan tujuan dari kebijakan fiskal menjadi cukup signifikan sejak adanya krisis ekonomi. Pemerintah menggunakan kebijakan ini untuk mendukung sistem keuangan, meningkatkan pertumbuhan, dan mengurangi dampak krisis ekonomi.

  Penelitian berkaitan dengan performance-based budgetingdalam fungsinya sebagai pengendalian fiskal belum banyak dilakukan dan sifatnya masih sporadis. Penelitian tersebut diantaranya adalah Crain dan O’Roack (2004), Klase dan Dougherty (2008), Lee dan Wang (2009), serta Qi dan Mensah (2012). Penelitian tersebut pada umumnya mengambil sampel pemerintah negara bagian di AS. Crain dan O’Roack (2004) melakukan penelitian empiris dengan menggunakan data panel negara-negara bagian AS untuk periode 1970 – 1997. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa performance-based budgeting berpengaruh negatif siginifikan terhadap pengeluaran pemerintah, yaitu dapat membatasi pengeluaran perkapita pemerintah hingga sampai 2%. Namun, Crain dan O’Roack (2004) juga menemukan bahwa

  

performance-based budgeting tidak berpengaruh negatif terhadap semua lini (jenis)

  pengeluaran pemerintah, sehingga mereka menyatakan bahwa kesimpulan tersebut belum sepenuhnya kuat. Crain dan O’Roack (2004) menyatakan ada tiga kemungkinan pengaruh

  

performance-based budgeting pada pengeluaran pemerintah. Pertama, pendekatan

  ini akan menekan pengeluaran pemerintah. Kedua, pendekatan

  performance-based budgeting

  ini justru akan meningkatan pengeluaran pemerintah pada program yang mendapat kepercayaan besar dari konstituen, dan kemungkinan ketiga, pendekatan performance-based memiliki pengaruh yang kecil atau tidak berpengaruh sama sekali pada kinerja

  budgeting

  fiskal pemerintah. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Klase dan Dougherty (2008), dimana juga mengambil objek penelitian negara bagian AS periode 1986 – 2001. Klase dan Dougherty (2008) menggunakan lima variabel yang berbeda dalam mengukur performance-

  , tiga variabel mencerminkan tahap implementasi dan dua variabel

  based budgeting

  mencerminkan persepsi budget official. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum penerapan performance-based budgeting berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran per kapita pemerintah. Selain itu, Klase dan Dougherty (2008) menyatakan bahwa implementasi performance-based budgetingdengan adanya dukungan legislatif dapat meningkatkan pengeluaran kurang lebih sebesar $332 lebih banyak. Qi dan Mensah (2012) juga melakukan penelitian dengan mengambil sampel negara bagian AS periode 2000 – 2009. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum performance-based budgeting berpengaruh negatif signifikan terhadap pengeluaran pemerintah. Namun, Qi dan Mensah (2012) juga menemukan bahwa performance-based budgeting tidak sepenuhnya berhubungan negatif terhadap semua lini pengeluaran pemerintah.

  Penelitian empiris juga dilakukan oleh Lee dan Wang (2009). Mereka menganalisis pengaruh sistem praktik performance-based budgetingterhadap perilaku pengeluaran pada tiga negara, yaitu AS, Taiwan, dan China (Provinsi Guandong). Hasil penelitian menunjukkan bahwa performance-based budgetingmemiliki pengaruh yang berbeda-beda pada ketiga negara tersebut. Di Taiwan, performance-based budgeting memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan dengan pertumbuhan pengeluaran. Sedangkan di AS dan China (Provinsi Guandong), tidak terdapat pengaruh yang signifikan. Kemudian, dilihat dari pengaruhnya terhadap tingkat defisit, performance-based budgeting di AS memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat defisit namun di China (Provinsi Guandong) justru menunjukkan pengaruh positif signifikan terhadap tingkat defisit. Sementara di Taiwan tidak menunjukkan adanya pengaruh. Lee dan Wang (2009) menyatakan bahwa keberhasilan Taiwan dan AS dalam menggunakan performance-based budgeting sebagai alat pengendalian fiskal adalah tingkat perhatian pihak eksekutif maupun legislatif dalam menerapkan

  

performance-based budgeting dan tingkat pengalaman dari lamanya waktu penerapan.

  Adanya perhatian yang tinggi dari pihak eksekutif dan legislatif, seperti di Taiwan dan AS akan mendorong keberhasilan tujuan penerapan performance-based budgetingsebagai salah satu alat untuk pengendalian pengeluaran seperti di Taiwan dan pengendalian tingkat defisit seperti di AS. Jangka waktu penerapan performance-based budgeting juga berpengaruh terhadap keberhasilan penerapannya, semakin lama penerapan maka pemerintah akan semakin banyak mendapatkan pengalaman dan terus melakukan perbaikan dalam penerapan sistem ini.

  Penelitian Crain dan O’Roack (2004), Qi dan Mensah (2012), serta Lee dan Wang (2009) menyimpulkan bahwa performance-based budgetingmenunjukan pengaruh yang negatif signifikan terhadap pertumbuhan pengeluaran. Sementara itu, penelitan Klase dan Dougherty (2008) justru menunjukkan pengaruh yang positif signifikan. Hal ini menunjukkan adanya mixed evidence dalam penelitian ini. Seperti yang dikemukan oleh Crain dan O’Roack (2004), bahwa ada tiga kemungkinan pengaruh performance-based budgeting pada dampak fiskal. Pertama, pendekatan performance-based budgeting ini akan menekan pengeluaran pemerintah. Kedua, pendekatan ini justru akan meningkatan belanja pemerintah pada program yang mendapat kepercayaan besar dari konstituen. Kemungkinan ketiga, pendekatan performance-based budgeting memiliki pengaruh yang kecil atau tidak berpengaruh sama sekali pada kinerja fiskal pemerintah.

  Kemudian jika dikaitkan dengan teori evolusi anggaran, perkembangan penganggaran publik di negara-negara ASEAN kemungkinan sedang bergerak antara fase pertama dan fase kedua, sehingga ada dua kemungkinan dampak penerapan performance-based budgeting. Pertama, dilihat dari fase inkrementalisme maka penyusunan anggaran akan lebih condong kepada kepentingan pemerintah dalam melakukan ekspansi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan fiskalnya adalah ekspansi ekonomi. Namun,

  

performance-based budgeting juga diharapkan dapat memaksimalkan pencapaian target

  penerimaan sehingga mampu mengakomodasi kebijakan pemerintah dalam upaya ekspansi tersebut. Kedua, jika disesuaikan dengan fase transisional (defisit era), maka negara-negara ASEAN juga termasuk di dalamnya. Periode setelah krisis 1997/1998 negara-negara ASEAN mengalami defisit yang berkepanjangan. Atas hal ini, maka tujuan penerapan performance-

  

based budgeting mungkin akan lebih difokuskan dalam hal pengendalian pengeluaran dan

tingkat defisit.

  Terlepas dari adanya mixed evidence dalam penelitan, secara umum penerapan

  

performance-based budgeting memiliki pengaruh terhadap upaya pengendalian fiskal,

sehingga disini penulis memutuskan untuk tidak mengambil posisi atas pengaruh tersebut.

  Hipotesis penelitian pertama yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:

  

H1 : Penerapan performance-based budgeting mempengaruhi pertumbuhan

pengeluaran.

  Adapun kaitan antara performance-based budgeting dengan tingkat defisit telah diuraikan oleh Lee dan Wang (2009) dalam penelitiannya. Lee dan Wang (2009) menyatakan bahwa performance-based budgeting diharapkan dapat digunakan sebagai alat pengendalian pengeluaran dan penerimaan, sehingga tingkat defisit semakin berkurang dengan kata lain tingkat surplus meningkat. Namun, jika dikaitkan dengan teori evolusi anggaran yang telah diuraikan di atas, masih ada dua kemungkinan dampak penerapan performance-based

  

budgeting . Pertama, dilihat dari fase inkrementalisme maka penyusunan anggaran akan lebih

  condong kepada kepentingan pemerintah dalam melakukan ekspansi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan fiskalnya adalah ekspansi ekonomi. Namun,

  

performance-based budgeting juga diharapkan dapat memaksimalkan pencapaian target

  penerimaan sehingga mampu mengakomodasi kebijakan pemerintah dalam upaya ekspansi tersebut. Jika target penerimaan tidak dapat dicapai, maka tingkat defisit akan tetap terjadi.

  Kedua, jika disesuaikan dengan fase transisional (defisit era), maka negara-negara ASEAN juga termasuk di dalamnya. Periode setelah krisis 1997/1998 negara-negara ASEAN mengalami defisit yang berkepanjangan. Atas hal ini, maka tujuan penerapan performance- mungkin akan lebih difokuskan dalam hal pengendalian pengeluaran dan

  based budgeting

  pencapaian target penerimaan, sehingga dapat memperbaiki tingkat defisit. Oleh karena itu, dengan adanya dua kemungkinan ini, di sini penulis memutuskan untuk tidak mengambil poisisi atas pengaruh tersebut. Oleh karena itu, hipotesis penelitian kedua yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut:

  H2 : Penerapan performance-based budgeting mempengaruhi tingkat defisit. Metodologi Penelitian

  Penelitian ini menggunakan populasi negara-negara ASEAN karena secara geografis, kultural, dan ekonomis berada dalam kategori yang sama. Dari negara-negara tersebut kemudian dipilih lima negara yang dijadikan sampel dengan metode purposive sampling. Diantara kriteria pemilihan sampel adalah termasuk kategori negara berkembang dan sudah menerapkan performance-based budgeting. Negara yang menjadi sampel penelitian adalah Indonesia, Kamboja, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

  Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data pengeluaran pemerintah, penerimaan pemerintah, populasi penduduk, dan GDP masing-masing negara untuk periode 1997 – 2011. Sumber data berasal dari IMF. Adapun model regresi yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari model yang digunakan oleh Lee dan Wang (2009) serta Crain dan O’Roack (2004). Model regresi penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. PBB POP+

  1 GDP + β

  2 R + β 3 + β

  4 SGR = α + β

  2. PBB

  1 GDP + β

  2 R + β

  3 E+ β 4 +β

  5 POP + ε

  DSL = α + β Keterangan:

  = Intercept α SGR = tingkat pertumbuhan pengeluaran pemerintah DSL = tingkat defisit GDP = tingkat pertumbuhan gross domestic product R = tingkat pertumbuhan penerimaan pemerintah E = tingkat pertumbuhan pengeluaran pemerintah PBB = penerapan performance-based budgeting(1 jika diterapkan dan 0 jika tidak) POP = populasi penduduk

  = nilai residual error ε

  Operasionalisasi variabel atas model regresi di atas dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

  Kedua model regresi di atas akan diuji dengan menggunakan metode regresi linier berganda dengan memperhatikan asumsi BLUE.

  Hasil Penelitiandan Pembahasan

  Sebelum melakukan pengujian lebih lanjut, penulis terlebih dahulu meringkas data yang akan digunakan dalam proses pengolahan data.Berdasarkan tabel 2 di bawah, maka dapat diketahui bahwa rata-rata pertumbuhan pengeluaran pemerintah (SGR) pada rentang waktu 1997 – 2011 adalah sebesar 10,90%. Hal ini berarti pertumbuhan pengeluaran pemerintah negara ASEAN yang menerapkan performance-based budgeting memiliki kecenderungan untuk meningkat (positif). Hal ini berimplikasi pada tingkat defisit (DSL) di negara-negara tersebut. Seiring dengan kecenderungan peningkatan pertumbuhan pengeluaran maka tingkat defisit juga memiliki kecenderungan meningkat.Seperti terlihat pada tabel 2 di bawah, dimana rata-rata tingkat defisit pada rentang waktu 1997 - 2011 adalah sebesar 2,11%.

  Salah satu penyebab kecenderungan terjadinya defisit di negara-negara ASEAN adalah adanya ketidakstabilan ekonomi akibat krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 dan 2008/2009.

  Grafik 1 berikut ini adalah gambaran contoh pengaruh krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan 2008/2009 terhadap pengeluaran pemerintah.

  Selanjutnya, hasil pengelolahan data dengan menggunakan metode regresi berganda untuk model regresi 1 dapat dilihat pada tabel 3 di bawah. Berdasarkan tabel 3 di bawah, dapat disimpulkan bahwa variabel performance-based budgeting memiliki pengaruh positif signifikan terhadap variabel SGR (pertumbuhan pengeluaran) pada tingkat α = 5%.Hal ini berarti penerapan performance-based budgeting mendorong adanya pertumbuhan pengeluaran pemerintah. Atas hal ini, maka hipotesis pertama dapat diterima. Pengaruh positif ini sejalan dengan penelitian Klase dan Dougherty (2008), dimana penerapan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran per

  performance-based budgeting kapita pemerintah AS.

  Crain dan O’Roack (2004) berpendapat bahwa penerapan performance-based

  

budgeting mungkin saja justru akan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Hal ini

  disebabkan oleh penerapan performance-based budgeting dianggap sebagai salah satu bagian dari perbaikan sektor keuangan publik, sehingga pihak legislatif justru akan menambah kepercayaan terhadap usulan anggaran dari pihak eksekutif (pemerintah). Senada dengan hal ini, Gilmour dan Lewis (2006) menyimpulkan bahwa dominasi legislasi (faktor politis) dapat

  

mempengaruhi efektivitas implementasi performance-based budgeting. Pattison dan Samuels

  (2002) menyebutkan, sekalipun menggunakan pendekatan performance-based budgeting, pengambilan keputusan penganggaran tidak hanya dipengaruhi oleh informasi kinerja semata.

  Beberapa keputusan penganggaran dipengaruhi oleh pertimbangan politis yang ditunjukkan oleh konstituen pemerintah. Selain itu, negara-negara ASEAN pada umumnya termasuk dalam kategori negara berkembang. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan teori evolusi anggaran, maka hal ini mengindikasikan bahwa negara-negara di ASEAN masih bergerak dari pada fase inkremental dan fase transisi (era defisit), sehingga pengeluaran pemerintah masih cenderung untuk meningkat. Selain itu, karakteristik negara-negara di ASEAN merupakan negara yang sifatnya masih berkembang, sehingga memiliki kecenderungan untuk melakukan ekspansi dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.

  Penjelasan lainnya adalah terkait dengan salah satu kelemahan performance-based

  

budgeting yaitu, sering terjadinyasuatu aktivitas langsung diukur biayanya dan dilakukan

  pengukuran (penentuan indikator kinerja) secara detail tanpa pertimbangan yang memadai apakah aktivitas tersebut diperlukan atau tidak mempertimbangkan anggaran yang disusun efisien atau tidak. Hal ini berarti, sepanjang aktivitas yang diusulkan dalam anggaran disertai dengan indikator kinerja, maka anggaran atas aktivitas tersebut cenderung disetujui. Oleh karena itu, ada kemungkinan proses penyusunan anggaran yang dilakukan di negara-negara ASEAN masih terfokus pada adanya indikator kinerja untuk mengukur suatu aktifitas yang diusulkan tanpa terlebih dahulu melakukan penilaian apakah aktivitas tersebut memang dibutuhkan atau tidak.

  Kemudian untuk melihat bagaimana pengaruh penerapan performance-based budgeting terhadap tingkat defisit pemerintah dapat dilihat pada hasil regresi tabel 4 di bawah ini.

  Berdasarkan tabel 4 di bawah, uji statistik t tidak menunjukkan adanya pengaruh penerapan

  

performance-based budgeting dengan tingkat defisit. Hal ini telah dijelaskan oleh Crain dan

  O’Roack (2004) dimana ada kemungkinan performance-based budgeting tidak berpengaruh terhadap kinerja fiskal. Kondisi fiskal suatu negara mungkin tidak hanya tergantung pada bagaimana sistem penganggarannya, tapi mungkin lebih tergantung pada kebijakan – kebijakan yang ditetapkan secara politis. Selain itu, adanya proses negosiasi antar pihak eksekutif dan pihak legislatif dalam proses penyusunan anggaran juga memungkinan adanya penyimpangan yang besar antara anggaran yang diusulkan dengan realisasi anggaran.

  Hasil pada tabel 4 sejalan dengan hasil penelitian Lee dan Wang (2009), dimana

  

performance-based budgeting tidak memiliki pengaruh terhadap tingkat defisit di negara

  Taiwan. Lee dan Wang (2009) berpendapat bahwa penentu keberhasilan performance-based

  

budgeting sebagai alat pengendalian fiskal adalah tingkat pengalaman dari lamanya waktu

penerapan dan tingkat perhatian pihak eksekutif maupun legislatif dalam menerapkan

. Adanya perhatian yang tinggi dari pihak eksekutif dan performance-based budgeting

legislatif, akan mendorong keberhasilan tujuan penerapan performance-based budgeting

sebagai salah satu alat untuk mengendalikan pengeluaran dan tingkat defisit. Selain itu,

jangka waktu penerapan performance-based budgetingjuga berpengaruh terhadap

keberhasilan penerapannya, semakin lama penerapan maka pemerintah akan semakin banyak

  

mendapatkan pengalaman dan terus melakukan perbaikan dalam penerapan performance-

based budgeting . Perbaikan performance-based budgeting dari periode ke periode akan

memberikan informasi kepada pemerintah tentang pola dan perilaku pengeluaran yang telah

dilakukan.

  Hasil uji empiris model regresi 1 menunjukkan bahwa performance-based budgeting memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan pengeluaran, sementara dari hasil uji empiris model regresi 2 menunjukkan bahwa performance-based budgeting tidak berpengaruh terhadap tingkat defisit. Kedua hal ini mengindikasikan bahwa penerapan performance-based

  

budgeting di negara-negara ASEAN mungkin lebih terfokus pada bagaimana memperbaiki

  kualitas pengeluarantanpa mengkaji lebih dalam bagaimana efek pengeluaran tersebut pada pencapaian target penerimaan negara.

  Selain itu, pergerakan kondisi fiskal pada periode 1997 – 2011 dipengaruhi oleh adanya krisis ekonomi tahun 1998/1999 dan 2008/2009, sehingga performance-based budgeting sebagai alat pengendalian fiskal dikalahkan oleh kondisi perekonomian global. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada negara-negara berkembang di ASEAN, namun juga pada negara maju seperti AS.

  Dalam penelitian ini jugamelakukan analisis tambahan dengan mengeluarkan data pada tahun 1997/1998 dan 2008/2009. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan data yang sangat dipengaruhi oleh adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun tersebut. Dari hasil pengujian ternyata diperoleh hasil yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa model regresi tersebut robust, sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan performance-based budgeting memang menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pengeluaran pemerintah, namun tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap tingkat defisit pemerintah.

  Kesimpulan, Implikasi Penelitian, danKeterbatasan

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan performance-based

  

budgeting terhadap pengendalian fiskal di negara-negara ASEAN. Metodologi penelitian

  dilakukan dengan uji regresi linier berganda dengan menggunakan data dari lima negara ASEAN periode 1997 – 2011. Dari hasil pengujian disimpulkan bahwa, pertama, penerapan berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan

  performance-based budgeting

  pengeluaran.Performance-based budgetingsebagai salah satu upaya perbaikan sistem keuangan negara mendorong pihak legislatif untuk cenderung menyetujui anggaran yang diajukan pihak eksekutif, selain itu kondisi ekonomi ekspansif yang sedang dialami oleh negara-negara ASEAN akan mempengaruhi peningkatan ekspansi pemerintah melalui kebijakan fiskal.

  Kedua, sistem penerapan performance-based budgeting tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap tingkat defisit pemerintah. Kurangnya kualitas penyusunan anggaran terutama dalam menilai efisiensi biaya dan efektifitas program dapat menjadi pemicu adanya peningkatan pengeluaran pemerintah yang tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan.

  Di sisi lain, kondisi perekenomian global yang sedang turun seperti pada tahun 1997/1998 dan 2007/2008 juga dapat melemahkan fungsi performance-based budgetingsebagai pengendali fiskal pemerintah. Terlepas dari hal-hal tersebut, performance-based dapat memberikan pengaruh dalam pengendalian fiskal, namun untuk wilayah

  budgeting ASEAN, pengaruh tersebut justru bersifat positif.

  Salah satu cara agar performance-based budgeting dapat berperan dengan lebih optimal sebagai alat pengendalian fiskal adalah pihak eksekutif sebagai penyusun dan pelaksana anggaran harus benar-benar memberikan perhatian yang lebih dalam proses penyusunan asumsi anggaran penerimaan terutama dalam kajian efisiensi anggaran (biaya) dan efektifitas program, sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya overspendingatau misspending. Dari sisi legislatif sebagai pembuat kebijakan, maka disarankan untuk melakukan evaluasi yang lebih objektif atas anggaran yang telah disusun oleh pihak eksekutif terkait kapasitas fiskal dan kejelasan indikator-indikator atas kegiatan yang diusulkan. Sehingga, anggaran yang disahkan sesuai dengan output yang diinginkan dan tidak memicu adanya overspending atau misspending. Atas hasil evaluasi tersebut apabila memang diperlukan dapat ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan atau penyusunan peraturan-peraturan.

  Dalam penelitian ini masih terdapat bebeberapa keterbatasan. Pertama, dalam penelitian ini penerapan performance-based budgeting hanya dilihat dari segi peraturan-peraturan yang ada, tidak melihat bagaimana penerapan performance-based budgetingsecara nyata di lapangan. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan melihat bagaimana tingkat penerapan performance-based budgeting di lapangan di suatu negara untuk kemudian dikaitkan dengan efektifitas pengendalian fiskalnya. Kedua, penelitian ini bersifat cross

  

country , namun karena keterbatasan data, dalam penelitian ini belum memasukkan variabel

  yang mencerminkan adanya country effect. Brunetti (1997) menyatakan bahwa variabel seperti kondisi politik dapat digunakan dalam penelitian-penelitan yang sifatnya cross . Atas hal ini, maka untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan

  country

  mempertimbangkan variabel ini. Selanjutnya, dengan mengambil periode penelitian yang lebih panjang, maka memungkinkan untuk dilakukan analisis komparasi antar negara, terutama untuk negara-negara di ASEAN.

  Daftar Referensi _______. 2007. Performance Budgeting in OECD Countries. Paris: OECD.

  _______. 2007. The Role of Parliament in Budgetary Oversight. Economic Institute of

  Cambodia _______. 2013. World Economic Outlook 2013. International Monetary Fund.

  Blondal, Jon R. 2010. Budgeting in Philippines. OECD Journal on Budgeting, 2. Blondal, Jon R., Hawkesworth, Ian & Hyun-Deok Choi. 2009. Budgeting in Indonesia.

  OECD Journal on Budgeting , 2.

  Blondal, Jon R., & Sang-In Kim. 2006. Budgeting in Thailand. OECD Journal on Budgeting, 5, 3. Burkhead, Jesse. 1956. Government Budgeting. New York: John Wiley & Sons Inc. Brunetti, Aymo. 1997. Political Variables in Cross-Country Growth Analysis. Jurnal of

  Economic Survey , vol. 11, no.2.

  Crain, W. Mark. & O’Roark, J. Brian. 2004. The impact of performance-based budgetingon state fiscal performance. Economic of Governance, 5, 167-186. Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 19 (edisi ke-5) Semarang: Penerbit UNDIP.

  

Gilmour, John B. & Lewis, David E. 2006. Does Performance Budgeting Work? An

Examination of the Office of Management andBudget's PART Scores. Public Administration Review , 66(5), 742-752.

Dokumen yang terkait

PENGARUH KARAKTERISTIK PERUSAHAAN TERHADAP PENGUNGKAPAN AKUNTANSI SUMBER DAYA MANUSIA NOVA MAULUD WIDODO Universitas Sebelas Maret Abstract - Widodo, SNA 2014, Akuntansi SDM

4 15 18

HUBUNGANFAKTOR TEKNIS, ORGANISASIONAL DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU PEGAWAI PEMDATERHADAP IMPLEMENTASI SISTEM PENGUKURAN KINERJA DI PEMERINTAH DAERAH Hafiez Sofyani Alumni Magister Sains dan Doktor FEB UGM Rusdi Akbar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ABSTRA

0 0 35

PENGARUH KARAKTERISTIK AUDITOR TERHADAP AUDIT DELAY LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH YEDIEL LASE

0 2 27

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHILUAS PENGUNGKAPAN SUKARELA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ASIMETRI INFORMASI Erna Wati Indriani

0 0 29

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELEMAHAN PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH DAERAH

0 0 13

PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL DAN KINERJA TERHADAP AKUNTABILITAS PELAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

0 0 24

PENGARUH MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP AKTIVITAS TUNNELING Edwin Pratama Brundy I Gede Siswantaya Universitas Atma Jaya Yogyakarta Abstract - Brundy dan Siswantara, 2014 pengawasan dan tunneling

0 4 17

PENGARUH KETIDAKPASTIAN LINGKUNGAN TERHADAP PERILAKU PEGAWAI PEMDA DENGAN KETIDAKPASTIAN TUGAS DAN JOB INSECURITY SEBAGAI VARIABEL MODERATING

0 1 24

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR TEKNIS DAN KEORGANISASIAN TERHADAP PENGEMBANGAN SISTEM PENGUKURAN KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris Pada Kantor Inspektorat Pemda Sleman)

0 0 29

PENGARUH PENERIMAAN DANA OTONOMI KHUSUS TERHADAP INDEK PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA DAN PAPUA BARAT DENGAN BELANJA MODAL SEBAGAI INTERVENING

0 0 20