Bina Sumber Daya Manusia dalam Kasih

Bina Sumber Daya Manusia dalam Kasih
Oleh: Saortua Marbun
Korporasi yang sukses tentu tidak terlepas dari dukungan dan pengelolaan SDM yang baik. Salah satu
indikator manajemen SDM bagi orang beriman adalah membina hubungan industrial dengan prinsip
saling mengasihi. Sebut saja Kisah Filemon dan Onesimus sebagai contoh hubungan majikan-pegawai
yang mengalami reformasi berkat kasih. Kasih memungkinkan terciptanya hubungan yang harmonis,
saling menguntungkan, serta mampu mendorong etos kerja yang produktif, bekerja sebagai suatu ibadah
meraih pahala. Dengan kasih relasi korporasi dengan para pegawai dapat terbebas dari pelanggaran HAM.
Sumber daya manusia adalah aset yang sangat bernilai.
Pada awalnya Onesimus adalah seorang budak yang dibeli oleh seorang tuan bernama Filemon. Tidak
heran bila salah satu alat ukur kekayaan dan ketenaran seseorang pada era tersebut adalah jumlah budak
yang dimiliki oleh seseorang. Semakin banyak budak yang dibelli, semakin kaya pula orang tersebut.
Sumber daya manusia adalah „real aset‟.
Belakangan, hubungan tuan-budak itu mengalami keretakan yang serius ketika Onesimus melarikan iri –
ingin bebas – sebuah tindakan yang menyebabkan kerugian bagi tuannya. Sayangnya, masa itu tidak ada
hukum yang melindungi seorang budak; para budak diperjual-belikan atau dibunuh oleh pemiliknya.
Dengan kata lain, hidup dan matinya seorang budak bergantung penuh pada sang tuan. Sekali budak, tetap
budak, tidak ada perbaikan nasib meski melarikan diri. Keretakan hubungan ini telah menempatkan posisi
Onesimus dalam ancaman serius, bila tertangkap ia bisa kehilangan nyawanya.
Kehadiran Paulus memegang peran kunci dalam pembaharuan relasi Filemon-Onesimus. Kini
kesenjangan hubungan direformasi. Melalui suratnya Paulus berpesan agar Filemon, “dapat menerimanya

untuk selama-lamanya -- bukan lagi sebagai hamba, melainkan sebagai saudara yang kekasih baik secara
manusia maupun di dalam Tuhan.”(Filemon 1:11-17) Berkat campur tangannya, Filemon menerima dan
membebaskan Onesimus. Harkat dan martabat Onesimus diperlakukan bukan lagi sebagai budak; kini
hubungan mereka adalah „saudara‟, di dalam Tuhan Yesus. Tepat seperti nama „Onesimus‟ yang berarti
„menguntungkan‟. Dia kembali bekerja dan memberi keuntungan bagi „saudara‟nya Filemon. Nama
„Filemon‟ yang berarti „kasih sayang persaudaran‟ menerima Onesimus; bukan lagi sebagai saudara di
dalam Tuhan, bukan budak („real aset‟). Karena kasih, kini relasi Filemon-Onesimus memiliki nilai
tambah yang luar biasa, sebuah hubungan yang manusiawi ketika seorang budak dibebaskan. Onesimus
bukan sekedar aset, dia adalah sesama manusia. Harkat dan martabatnya setara dengan majikannya.
Para majikan dan pegawai masa kini dapat menaruh kasih sebagai landasan dalam membina hubungan
industrial. Segala perselisihan tentu dapat diselesaikan dalam suasana dan komunikasi kasih sebagai
pengikat. Sang majikan dapat memikat hati dan meraih loyalitas para pegawainya. Para pekerja dapat
merasa percaya pada majikannya bila diperlakukan dengan kasih; tentu tidak ada buruh yang akan tega
melakukan demo anarkhis, gampang terprovokasi, mogok, tidak ada yang sudi dipolitisir demi
kepentingan pihak tertentu yang mungkin saja berniat membenturkan korporasi dengan para tenaga kerja.
Dengan bingkai cinta kasih tentu hubungan industrial akan saling menguntungkan, bila dikelola dengan
bijak -- tidak menempatkan SDM sebagai aset belaka. Firman Tuhan berkata, “Kamu tahu, setiap orang,
… kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.”(Efesus 6:8)
Harian Pos Bali Kamis, 18 September 2014 http://posbali.com/