Aspek moral etika dalam penulisan ilmiah

ETIKA DALAM ILMU DAN PENULISAN ILMIAH

ETIKA DALAM ILMU DAN PENULISAN ILMIAH
OLEH :DIRGANTARA WICAKSONO

Etika
Berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti, antara lain tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk
jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Etika adalah ilmu tentang apa yang bisa
dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan .
Kata yang cukup dekat dengan etika adalah moral. Moral berasal dari kata latin
mos yang berarti kebiasaan, adat. Etimologi kata etika sama dengan etimologi kata
moral karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya saja
bahasa asalnya yang berbeda.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata etika dijelaskan dengan
membedakan 3 arti yaitu :
a. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral (akhlak)
b. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
c. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan

atau masyarakat
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. kemudian etika juga berarti kumpulan asas atau kode etik.
Etika termasuk filsafat dan dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling
tua. Sebagai filsafat, etika bukan merupakan suatu ilmu empiris, sedangkan yang
diaksud dengan ilmu adalah ilmu empiris yang artinya ilmu yang didasarkan pada fakta
dan dalam pembicaraannya tidak pernah melepaska diri dari fakta.
Ilmu-ilmu itu bersifat empiris karena seluruhnya berlangsung dalam rangka
empiri (pengalaman inderawi), yaitu apa yang dilihat, didengar, dicium dan sebagainya.
Ilmu empiris berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika berhasil merumuskan
hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan
berbalik kepada fakta-fakta.
Dalam etika selalu berlaku cara berpikir non empiris artinya dengan tidak
membatasi diri pada pengalaman inderawi, yang konkret, pada yang faktual dilakukan,
tapi ia bertanya tentang yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan , tentang yang
baik dan buruk untuk dilakukan. Etika membatasi diri dengan segi normatif atau
evaluatif.
Setiap masyarakat mengenal nilai-nilai dan norma-norma etis. Dalam
masyarakat yang homogen dan agak tertutup , masyarakat tradisional, nilai-nilai dan

norma-norma itu praktis tidak pernah dipersoalkan. Dalam keadaan tersebut secara
otomatis orang akan menerima nilai dan norma yang berlaku. Individu dalam

masyarakat itu tidak berpikir lebih jauh. Nilai dan norma masyarakat tradisional
umumnya tinggal implisit saja, setiap saat menjadi eksplisit bila ada perkembangan
baru terhadap norma yang berlaku di masyarakat tersebut.

Etika dan Ilmu
Peradaban manusia yang semakin berkembang tidak lepas dari kemajuan ilmu
dan teknologi. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi kebutuhan hidup manusia dapat
dilakukan secara cepat dan lebih mudah. Ragam karya cipta manusia sebagai
kemajuan ilmu dalam kenyataan tidak selalu membawa berkah melainkan juga
ancaman, baik berupa perang, teknologi yang bersifat memperbudak manusia. Ilmu dan
teknologi yang diciptakan dengan tujuan mempermudah hidup manusia, justru menjadi
pengabaian faktor manusia. Manusia dikorbankan demi kemajuan teknologi atau
manusia harus menyesuaikan diri dengan ilmu dan teknologi. Manusia kehilangan
eksistensi dirinya sebagai tuan atas penemuannya.
Dewasa ini kemajuan ilmu dan teknologi menimbulkan gejala dehumanisasi ,
manusia kehilangan hakekat dirinya . Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, tetapi menciptakan tujuan ilmu itu

sendiri.
Pengalaman pahit manusia dengan bayang-bayang perang dunia yang
mengerikan , pertanyaan-pertanyaan tentang hakekat keilmuan terus didengungkan
dengan berpaling kepada hakekat moralitas.
Pertautan ilmu dengan moral sebenarnya sudah ada sejak gagasan Copernicus
pada abad ke 15 masehi tentang kesemestaan alam, bumi berputar mengelilingi
matahari yang berupaya mengganti dominasi pandangan theosentris pada masa itu.
Gagasan keilmuan pada masa itu berupaya lepas dari dominasi pandangan dogmatis
agama. Ilmu ingin berdiri sendiri berdasarkan doktrin ilmiah, metafisik keilmuan., das
sein sesuai dengan hakekat keilmuan.
Ilmu mencapai titik puncaknya dengan teknologi yang dihasilkan. Konsep ilmu
yang awal berupa konsep ilmiah yang bersifat abstrak menjelma dalam bentuk
nyata/konkret yaitu teknologi. Ilmu tidak hanya menjelaskan gejala-gejala alam untuk
tujuan pengertian dan pemahaman saja tetapi juga melakukan manipulasi faktor yang
terkait dalam gejala tersebut untuk mengawasi, mengatur, dan mengarahkan proses
alam yang terjadi.
Di dalam tahap manusia melakukan manipulasi inilah , peran moral ditampilkan
berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Ungkapan sederhana, dalam
tahap pengembangan konsep ilmu,moral tampil pada ontologi keilmuan sedangkan
pada tahap penerapannya , moral ditinjau dari segi aksiologi keilmuan .

Ontologi adalah kajian tentang hakekat realitas obyek yang ditelaah
menghasilkan pengetahuan. Aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetauan yang diperoleh.Sedangkan epistemologi adalah cara
mendapatkan pengetahuan.
Erich Schumacher dalam bukunya Small is Beautiful (kecil itu indah) memberikan
alternatif dalam penggunaan teknologi terapan yang humanis. Dalam hal ini beliau
menghendaki kesadaran masyarakat memilih teknologi yang tepat guna sesuai dengan
budaya mereka.

Adanya dualisme dari ilmuwan terhadap ekses ilmu dan teknologi :
a. ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik ontologis maupun
aksilogi. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi era Galileo yaitu
kenetralan ilmu secara total.
b. netralitas ilmu terhadap nilia-nilai hanya terbatas pada metafisik keilmuan
saja, sedangkan dalam penggunaannya, pemilihan obyek penelitian
kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral, untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat /mengubah hakekat kemanusiaan
Golongan ini mendasarkan diri pada pengalaman dua kali perang dunia
dimana penggunaan ilmu-ilmu sangat efektif, perkembangan ilmu yang
pesat sehingga dapat merubah hakekat kemanusiaan.


Etika Dalam Penulisan Ilmiah
Kode etik adalah seperangkat norma yang perlu diperhatikan dalam penulisan
karya ilmiah. Norma ini berkaitan dengan pengutipan dan perujukan, perizinan terhadap
bahan yang digunakan, dan penyebutan sumber data atau informan.
Dalam penulisan karya ilmiah, penulis harus secara jujur menyebutkan rujukan
terhadap bahan atau pikiran yang diambil dari sumber lain. Pemakaian bahan atau
pikiran dari suatu sumber atau orang lain yang tidak disertai dengan rujukan dapat
diidentikkan dengan pencurian.
Penulis karya ilmiah harus menghindarkan diri dari tindak kecurangan yang lazim
disebut plagiat. Plagiat merupakan tindak kecurangan yang berupa pengambilan tulisan
atau pemikiran orang lain yang diakui sebagai hasil tulisan atau hasil pemikirannya
sendiri. Oleh karena itu, penulis skripsi, tesis, dan disertasi wajib membuat dan
mencantumkan pernyataan dalam skripsi, tesis atau disertasinya bahwa karyanya itu
bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain.
Dalam menulis karya ilmiah, rujuk-merujuk dan kutip-mengutip merupakan
kegiatan yang tidak dapat dihindari. Kegiatan ini amat dianjurkan, karena perujukan dan
pengutipan akan membantu perkembangan ilmu.
Dalam menggunakan bahan dari suatu sumber (misalnya instrumen, bagan,
gambar, dan tabel), penulis wajib meminta ijin kepada pemilik bahan tersebut.

Permintaan ijin dilakukan secara tertulis. Jika pemilik bahan tidak dapat dijangkau,
penulis harus menyebutkan sumbernya dengan menjelaskan apakah bahan tersebut
diambil secara utuh, diambil sebagian, dimodifikasi, atau dikembangkan. Biasanya,
sehubungan dengan hal ini, Rektor masing-masing universitas telah menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pedoman Pembinaan dan Pelaksanaan Hak Cipta yang bisa
menjadi pembelajaran bagi para peneliti.
Nama sumber data atau informan, terutama dalam penelitian kualitatif, tidak
boleh dicantumkan apabila pencantuman nama tersebut dapat merugikan sumber data
atau informan. Sebagai gantinya, nama sumber data atau informan dinyatakan dalam
bentuk kode atau nama samaran.

Sumber Pustaka
* Suriasumantri S. Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta , Penerbit Sinar Harapan , 1985
* Suriasumantri S. Jujun, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan
Karangan tentang Hakekat Ilmu, Jakarta,Yayasan Obor Indonesia,
1978
* Bertens, K. Etika , Jakarta, Gramedia, 1994
* Kattsoff O. Louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana
Yogya, 1986

* Schumacher, E.F., Kecil Itu Indah, Jakarta , LP3ES, 1983
Bahan lain :

ETIKA DALAM PENELITIAN
3 01 2010

Etika Dalam Penelitian
Oleh : Taman Firdaus
Pengantar
Mendengar kata penelitian, mungkin pertanyaan awal yang ada dalam benak kita dan setiap
orang yang merasa terusik dengan istilah “penelitian” adalah mengapa orang melakukan
penelitian ? pertanyaan sederhana dan mendasar ini pada dasarnya tidak lepas dari sifat dasar
manusia yang serba ingin tahu terhadap sesuatu yang mengusiknya. Disamping itu, minimal ada
empat sebab yang melatar belakangi orang melakukan penelitian menurut Sukmadinata (2008 :
2) yaitu Pertama, karena pengetahuan, pemahaman dan kemampuan manusia sangat terbatas
dibandingkan dengan lingkungannya yang begitu luas. Banyak hal yang tidak diketahui,
dipahami, tidak jelas dan mneimbulkan keraguan dan pertanyaan bagi dirinya. Ketidaktahuan,
ketidakpahaman, dan ketidakjelasan seringkali menimbulkan rasa takut dan rasa terancam.
Kedua, manusia memiliki dorongan untuk mengetahui atau cariousity. Manusia selalu bertanya,
apa itu, bagaimana itu, mengapa begitu dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang, jawabanjawaban sepintas dan sederhana mungkin sudah memberikan kepuasan, tetapi bagi orang-orang

tertentu, para ilmuwan, peneliti dan para pemimpin dibutuhkan jawaban yang lebih mendalam,
lebih rinci dan lebih komrehensif. Ketiga, manusia di dalam kehidupannya selalu dihadapkan
kepada masalah, tantangan, ancaman, kesulitan baik di dalam dirinya, keluarganya, masyarakat
sekitarnya serta dilingkungan kerjanya. Masalah, tantangan dan kesulitan tersebut membutuhkan
penjelasan, pemecahan dan penyelesaian. Tidak semua masalah dan kesulitan dapat segera
dipecahkan. Masalah-masalah yang pelik, sulit dan kompleks membutuhkan penelitian untuk
pemecahan dan penyelesaiannya.
Keempat, manusia merasa tidak puas dengan apa yang telah dicapai, dikuasai, dan dimilikinya,
ia selalu ingin yang lebih baik, lebih sempurna, lebih memberikan kemudahan, selalu ingin

menambah dan meningkatkan “kekayaan” dan fasilitas hidupnya. Berangkat dari landasan
berpikir di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya orang melakukan kegiatan
penelitian tiada lain disamping untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap sebuah gejala atau
peristiwa juga untuk memecahkan masalah secara ilmiah dan dapat diterima dengan logika
kemanusiaan. Dari hasil penelitian itu pula maka manusia dapat mengembangkan pengetahuan
yang bermakna bagi kehidupan ilmiah maupun kehidupan sosial. Untuk itulah, dalam kerangka
menjaga kemurnian hasil penelitian yang dilakukan serta untuk menjaga timbulnya berbagai
persoalan dari hasil penelitian yang dilakukan maka persoalan etika menjadi sebuah keniscayaan
yang harus diperhatikan dalam penelitian. Etika yang dimaksud, baik berupa etika sosial maupun
etika ilmiah yang berkaitan langsung dengan aspek penelitian.

Makna Etika
Istilah etika sering disamakan dengan moral. Etika berasal dari bahasa yunani “ethos, ethikos”.
Dalam bahasa latin istilah “ethos, ethikos” disebut “mos” atau moralitas. Baik ethos maupun
moral artinya : adat istiadat, kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia kedua-duanya diterjemahkan
dengan kesusilaan (Frans von Magnis, 1975). Tetapi antara kedua istilah tersebut terdapat
perbedaan. Perbedaan tersebut menurut J. Verkuyl (1979 : 15) yaitu “dalam pemakaian di
kalangan ilmu pengetahuan kata etika itu telah mendapat arti yang lebih dalam dari pada kata
moral. Kata moral telah mendangkal artinya. Kadang-kadang “moral” dan “mos” atau “mores”
hanya kelakuan lahir saja, tetapi senantiasa menyinggung juga kaidah dan motif-motif perbuatan
seseorang yang lebih dalam. Dari beberapa penulis filsafat mengatakan bahwa atika adalah
“filsafat moral”.
Istilah moral biasanya dipergunakan untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah
laku manusia. Karena itu, untuk memahami pengertian moral sangat erat hubungannya dengan
etika. Etika adalah suatu ilmu cabang filsafat yang objek kajiannya adalah tingkah laku manusia
ditinjau dari nilai baik atau buruknya.
Berkenaan dengan hal diatas, dalam ranah kegiatan penelitian “etika” dijadikan ukuran kepatutan
tentang boleh atau tidaknya, baik atau buruknya sebuah aspek-aspek tertentu dalam kegiatan
penelitian. Hal ini diperlukan karena bagaimanapun juga esensi penelitian adalah untuk mencari
kebenaran dari sebuah gejala yang muncul. Kebenaran yang dihasilkan dalam sebuah penelitian
adalah kebenaran empirik dan kebenaran logis. Ford dalam Lincoln dan Guba (1985 : 14)

menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kebenaran empirik yaitu apabila konsisten dengan
alam, dalam bentuk menerima atau menolak hipotesis atau prediksi. Sedangkan kebenaran logis
yaitu apabila hipotesis atau prediksi konsisten atau sesuai secara logis dengan hipotesis atau
prediksi terdahulu yang sudah dinyatakan benar. Untuk itu, dalam rangka melahirkan sebuah
kebenaran empirik dan logis sebagai hasil penelitian yang sitematis dan logis pula maka
dibutuhkan etika sebagai piranti sekaligus rambu bagi peneliti dalam melakukan kegiatan
penelitian. Berikut etika penelitian yang dimaksud :
1. Penelitian sebagai Pencarian Ilmiah yang berpola
Tujuan akhir dari suatu penelitian adalah mengembangkan dan menguji teori. Oleh karena itu,
penelitian harus dilandaskan pada teori-teori yang relevan dengan masalah penelitan yang
diangkat. McMilan dan Schumacher mengutip pendapat Walberg (1986), mengatakan bahwa ada
lima langkah pengembangan pengetahuan melalui penelitian, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah
penelitian, (2) melakukan studi empiris, (3) melakukan replikasi atau pengulangan, (4)
menyatukan (sistesis) dan mereviu, (5) menggunakan dan mengevaluasi oleh pelaksana.
Suatu teori dapat menjelaskan dan meramalkan fenomena-fenomena alamiah. Dari perilaku atau

kegiatan-kegiatan terlepas yang dilakukan oleh siswa atau guru umpamanya, peneliti dapat
memberikan penjelasan umum tentang hubungan diantara perilaku atau kegiatan pembelajaran.
Dari penjelasan-penjelasan umum tersebut terbentuk prinsip-prinsip dasar, dalil konstruk,
proposisi yang kesemuanya akan membentuk teori. Mengenai teori ini, lebih jauh Fred N

Kerlinger (1986) mengemukakan bahwa “…. a theory as a set of interrelated constructs and
proposition that specify relations among variables to explain and predict phenomena”. Dalam
rumusan Kerlinger tersebut ada tiga hal penting dalam suatu teori yaitu: (1) suatu teori dibangun
oleh seperangkat proposisi dan kontruk, (2) teori menegaskan hubungan di antara sejumlah
variabel, (3) teori menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena.
Pencarian Ilmiah
Pencarian ilmiah (scintific inquiry) adalah suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan dengan
menggunakan metode-metode yang diorganisasikan secara sistematis, dalam mengumpulkan,
menganalisis dan menginterpretasikan data. Pengertian ilmiah berbeda dengan ilmu. Ilmu
merupakan struktur atau batang tubuh pengetahuan yang telah tersusun, sedang ilmiah adalah
cara mengembangkan pengetahuan.
Metode ilmiah merupakan suatu cara pengkajian yang berisi proses dengan langkah-langkah
tertentu. MicMilan dan Schumacher (2001) membaginya atas empat langkah yaitu: (1) define a
problem, (2) state the hypotthesis to be tested, (3) colect and analyze data, and (4) interprete the
results and draw conclusions obout the problem. Hampir sama dengan McMilan dan
Schumacher, John Dewey membagi langkah-langkah pencarian ilmiah yang disebutnya sebagai
“reflective thinking”, atas lima langkah yaitu: (1) mengedentifkasi masalah, (2) merumuskan dan
membatasi masalah, (3) menyusun hiotesis, (4) mengumpulkan dan menganalisis data, (5)
menguji hipotesis dan menarik kesimpulan.
Pencarian Berpola
Pencarian berpola (disiplined inquiry), merupakan suatu prosedur pencarian dan pelaporan
dengan menggunakan cara-cara dan sistemtika tertentu, disertai penjelasan dan alasan yang kuat.
Pencarian berpola bukan merupakan suatu pencarian yang bersifat sempit dan mekanistis, tetapi
mengikuti prosedur formal yang telah standar. Prosedur pencarian ini pada tahap awalnya
bersifat spekulatif, mencoba menggabungkan de-ide dan metode-metode, kemudian menuangkan
ide-ide dan metode tersebut dalam suatu prosedur yang baku. Laporan dari pencarian berpola
berisi perpaduan antara argumen-argumen yang didukung oleh data dengan proses nalar, yang
disusun dan dipadatkan menghasilkan kesimpulan berbobot.
Pencarian berpola terutama dalam ilmu sosial termasuk pendidikan, bukan hanya menunjukkan
pengkajian yang sistematik, tetapi juga pengkajian yang sesuai dengan disiplin ilmunya.
2. Objektivitas
Penelitian harus memiliki objektiviatas (objektivity) baik dalam karakteristik maupun
prosedurnya. Objektivitas dicapai melalui keterbukaan, terhindar dari bias dan subjektivitas.
Dalam prosedurnya, penelitian menggunakan tekhnik pengumpulan dan analisis data yang
memungkinkan dibuat interpretasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Objetivitas juga
menunjukkan kualitas data yang dihasilkan dari prosedur yang digunakan yang dikontrol dari
bias dan subjektivitas.
3. Ketepatan
Penelitian juga harus memiliki tingkat ketepatan (precision), secara tekhnis instrumen

pengumpulan datanya harus memimiliki validitas dan reliabilitas yang memadai, desain
penelitian, pengambilan sampel dan tekhnik analisis datanya tepat. Dalam penelitian kuantitatif,
hasilnya dapat dilang dan diperluas, dalam penelitian kualitatif memiliki sifat reflektif dan
tingkat komparasi yang konstan.
4. Verifikasi
Penelitian dapat diverifikasi, dalam arti dapat dikonfirmasikan, direvisi dan diulang dengn cara
yang sama atau berbeda. Verifikasi dalam penelitian kualitatif berbeda dengan kuantitatif.
Penelitian kualitatif memberikan interpretasi deskriptif, verifikasi berupa perluasan,
pengembangan tetapi bukan pengulangan.
5. Empiris
Penelitian ditandai oleh sikap dan dan pendekatan empiris yang kuat. Secara umum empiris
berarti berdasarkan pengalaman praktis. Dalam penelitian empiris kesimpulan didasarkan atas
kenyataan-kenyataan yang diperoleh dengan menggunakan metode penelitian yang sistematik,
bukan berdasarkan pendapat atau kekuasaan. Sikap empiris umumnya menuntut penghilangan
pengalaman dan sikap pribadi. Kritis dalam penelitian berarti membuat interpretasi berdasarkan
kenyataan dan nalar yang didasarkan atas kenyataan-kenyataan (evidensi). Evidensi adalah data
yang diperoleh dari penelitian, berdasarkan hasil analisis data tersebut interpretasi dibuat.
6. Penjelasan Ringkas
Penelitian mencoba memberikan penjelasan tentang hubungan antar fenomena dan
menyederhanakannya menjadi penjelasan yang ringkas. Tujuan akhir dari sebuah penelitian
adalah mereduksi realita yang kompleks kedalam penjelasan yang singkat. Dalam penelitian
kuantitatif penjelasan singkat tersebut berbentuk generalisasi, tetapi dalam penelitian kualitatif
berbentuk deskriptif tentang hal-hal yang esensial atau pokok.
7. Penalaran Logis
Semua kegiatan penelitian menuntut penalaran logis. Penalaran merupakan proses berpikir,
menggunakan prinsip-prinsip logika deduktif atau induktif. Penalaran deduktif, penarikan
kesimpulan dari umum ke khusus. Dalam penalaran deduktif, bila premisnya benar maka
kesimpulannya otomatis benar. Logika deduktif dapat mengidenfikasi hubungan—hubungan
baru dalam pengetahuan yang ada. Dalam penalaran induktif. Peneliti menarik kesimpulan
berdasarkan hasil sejumlah pengamatan kasus-kasus (individual, situasi, peristiwa), kemudian
peneliti membuat kesimpulan yang bersifat umum.
8. Kesimpulan Kondisional
Kesimpulan hasil penelitian tidak bersifat absolut. Penelitian perilaku dan juga ilmu kealaman,
tidak menghasilkan kepastian, sekalipun kepastian relatif. Semua yang dihasilkan adalah
pengetahuan probabilistik. Penelitian boleh dikatakan hanya mereduksi ketidaktentuan. Oleh
karena demikian, baik kesimpulan kualitatif maupun kuantitatif, bersifat kondisional. Para
peneliti seringkali menekankan/menuliskan bahwa hasil penelitiannya “cenderung menunjukkan
atau memberikan kecenderungan”.
Pada bagian lain, berkenaan dengan etika sosial, Kemmis dan Taggart dalam Hopkins(1993 :
221-223) menjelaskan bahwa terdapat beberapa etika/pedoman yang harus ditaati sebelum,
selama dan sesudah penelitian dilakukan sebagai berikut :

1. Meminta kepada orang-orang, panitia, atau yang berwenang persetujuan dan ijin.
2. Ajaklah kawan-kawan sejawat terlibat dan berpartisipasi dalam penelitian.
3. Terhadap yang tidak langsung terlibat, perhatikan pendapat mereka.
4. Penelitian berlangsung terbuka dan transparan, saran-saran diperhatikan, dan kawan sejawat
dperbolehkan mengajukan protes.
5. Meminta iizin eksplisit, untuk mengobservasi dan mencatat kegiatan mitra peneliti, tidak
termasuk izin dari siswa apabila penelitian bertujuan meningkatkan pembelajaran.
6. Minta izin untuk membuka dan mempelajari catatan resmi, surat menyurat dan dokumen.
Membuat fotokopi hanya diperkenankan apabila di ijinkan.
7. Catatan dan deskripsi kegiatan hendaknya relevan, akurat dan adil.
8. Wawancara, pertemuan atau tukar pendapat tertulis hendaknya memperhatikan pandangan
lain, relevan, akurat dan adil.
9. Rujukan langsung, rujukan observasi, rekaman, keputusan, kesimpulan, atau rekomendasi
hendaknya mendapat izin atau otorisasi kutipan.
10. Laporan disusun untuk kepentingan yang berbeda, seperti laporan verbal pada pertemuan staf
jurusan, tertulis untuk jurnal, surat kabar, orang tua murid dan lain-lain.
11. Tanggung jawab untuk hal-hal atau pribadi-pribadi yang sifatnya konfidensial.
12. Semua mitra penelitian mengetahui dan menyetujui prinsip-prinsip kerja di atas, sebelum
penelitian berlangsung.
13. Hak melaporkan kegiatan dan hasil penelitian, apabila sudah disetujui oleh para mitra
peneliti, dan laporan tidak bersifat melecehkan siapapun yang terlibat, maka laporan tidak boleh
diveto atau dilarang karena alasan kerahasiaan.
Penutup
Dari penjelasan panjang yang penulis sajikan dalam resume ini, akhirnya dapat disimpulkan
bahwa etika dalam penelitian merupakan sebuah keniscayaan untuk dijadikan sebagai piranti
sekaligus pedoman untuk menghindari kegagalan dalam penelitian. Etika yang dimaksud baik
yang berkenaan dengan etika ilmiah maupun etika sosial. Mengedepankan etika sebagai sumber
kepatutan dalam penelitian tidak lepas dari esensi kegiatan penelitian itu sendiri yaitu untuk
menemukan kebenaran dan kemudian mengkontruks kebenaran itu menjadi sebuah teori. Jadi,
kebenaran tercapai setelah persetujuan melalui diskusi kritis (Skiner, 1985 : 128-131). Diskusi
yang dimaksud dalam konteks penelitian adalah memenuhi kaidah-kaidah etika yang ada dan
menjadi kesepakatan tidak tertulis guna memperoleh kebenaran yang bersifat probabilistik.
BAHAN BACAAN
Gall, Meredith D, Gall, Joyce P and Borg, Walter R. 2003 “Educational Research” Boston : Allyn
& Bacon.
Hopkins, David. 1993 ”A Teacher’s Guide Classroom Research” . Philadelphia : Open
University Press.
Lincoln.I.S & Guba, E.G. 1985, “Naturalistic Inquiry” Baverly Hills, London : Sage Publications
Magnis, Frans von. 1975, “Etika Umum” Jogjakarta : Yayasan Kanisius.

McMillan, J.H. & Schumacher, Sally. 2001, “Research in Education” New York : Longman.
Sukmadinata, 2008, “Metode Penelitian Pendidikan” Bandung : Remaja Rosdakarya.
Verkuyl, J. 1979, “Etika” Jakarta : Gunung Mulia.

Bahan lain :

MAKALAH ETIKA PROFESI TEKNOLOGI INFORMASI
DAN KOMUNIKASI ( EPTIK )
HUBUNGAN ETIKA DENGAN ILMU PENGETAHUAN

Disusun Oleh :
1. Deny Kurniawan
12114340
2. M. Qowi
12115042
3. M. Ovian Indar
12114838
4. Reni Indrianti
12114340
5. Dian Novita
12118527
6. Mutiara Hany
12114002

Jurusan Manajemen Informatika
Akademi Manajemen Informatika dan Komputer “BSI Cengkareng”
Cengkareng
2013
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, penulis panjatkan atas segala
rahmat, hidayah serta ridhoNya, atas terselesaikannya makalah yang berjudul “Hubungan Etika
Dengan Ilmu Pengetahuan ” yang merupakan syarat mendapatkan nilai UAS pada mata kuliah
Etika Profesi Teknologi Informasi & Komunikasi ( EPTIK ).
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyusun makalah ini tak terlepas dari bantuan
berbagai pihak, Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada :
1. Bapak Wahyudin selaku dosen EPTIK
2. Kedua Orang Tua tercinta dan keluarga kami yang selalu mendo’akan dan memberikan
semangat.
3. Rekan-rekan mahasiswa BSI yang telah mendukung dan berpartisipasi dalam pembuatan
laporan presentasi ini.
4. Dan semua pihak yang telah membantu penulis, namun tak bisa penulis sebutkan satu per satu.
Dalam penulisan makalah ini, tentunya masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis mohon di bukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya, apabila ada kesalahan
dan kekurangan yang penulis lakukan. Dan penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 15 Mei 2013
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang cukup pesat sekarang ini
sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat
ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan
manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama
teknologi informasi (Information Technology) seperti internet sangat menunjang setiap orang
mencapai tujuan hidupnya.
Kemajuan yang dicapai berkat ilmu dan teknologi memiliki akibat positif dan juga
banyak akibat negatif. Penggunaan teknologi tanpa batas akhirnya membahayakan kelangsungan
hidup itu sendiri. Yang dibawa oleh teknologi bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran,
bahkan kehancuran, jika manusia tidak segera tahu cara membatasi diri.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan ilmiah dan teknologi mengubah
banyak sekali kehidupan manusia dan memunculkan masalah-masalah etis yang tidak pernah
terduga sebelumnya. Masyarakat modern telah menjadi sebuah tempat di mana tak seorang pun
bertanggung jawab untuk berbagai hasil "percobaan" teknologi. Ia bahkan berbicara
tentangorganized irresponsibility, yaitu suatu situasi ketika secara sistemik tidak seorang pun
dapat bertanggung jawab atas bencana yang terjadi.
Dengan penulisan makalah ini,penulis mengajak agar kita bisa lebih memahami etika
dilihat dari sisi hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan.

1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian etika dan ilmu
2. Mengetahui syarat-syarat pengetahuan untuk dapat masuk kedalam kategori ilmu.
3. Untuk lebih mengetahui dan memahami tentang hubungan etika dan ilmu pengetahuan.
Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat memenuhi nilai UAS
pada mata kulih EPTIK pada jurusan Manajemen Informatika Akedemi Manajemen Informatika
dan Komputer Bina Sarana Informatika.
1.3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis pada penulisan tugas akhir ini adalah :
Metode Studi Pustaka (Library Study)
Selain melakukan kegiatan tersebut diatas, penulis merangkum berbagai sumber bacaan dari
bahan - bahan pustaka yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas guna
mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai materi yang akan dijadikan bahan makalah.
1.4. Ruang Lingkup
Dalam penyusunan makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada etika dan hubungannya
dengan ilmu pengetahuan.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian etika
Secara etimologi istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos atau ethikos. Ethos
diartikan sifat, watak, sikap, kebiasaan, atau tempat yang biasa. Sedangkan kata ethikos berarti
susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Jadi, jika dilihat dari asal-usul kata
etika, maka etika dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.
Selain secara etimologis, pengertian etika dapat dilihat dari kamus, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, etika dirumuskan dalam tiga arti sebagai berikut:
-

Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral

-

Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan moral

-

Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Berikut penulis sajikan beberapa pendapat dari para ahli yang mengemukakan tentang definisi
etika menurut persepsi dan pemahaman mereka masing-masing:
Ahmad Yamin, etika diartikan sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik-buruk, menerangkan apa
yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam
perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Abdullah, etika diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku
manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan
memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.
Ki Hajar Dewantara mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan
keburukan dalam hidup manusia semuanya, teristimewa mengenai gerak-gerik pikiran.
Surahwadi Lubis mengartikan etika sebagai ilmu filsafat tentang nilai-nilai kesusilaan tentang
baik dan buruk.
H. Devos mengartikan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan secara ilmiah.
Sumaryono mengartikan etika sebagai studi tentang kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan
kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia.
B. Pengertian ilmu
Istilah ilmu diambil dari bahasa Arab yaitu “alima, ya’lamu, ‘ilman” yang berarti mengerti atau
memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal
dari bahasa Latin scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahui.
Menurut The Liang Gie (dalam Surajiyo, 2010: 56) memberikan pengertian ilmu adalah
rangkaian aktivitas penela’ahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh
pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan
pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia.
Menurut W. Atmojo (dalam A. Susanto, 2011: 76) ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang pengetahuan itu. Adapun menurut A. Susanto

(2011: 78) ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu
yang akhirnya menghasilkan pengetahuan.
Beberapa syarat yang perlu dipenuhi oleh suatu pengetahuan untuk dapat masuk kategori sebagai
ilmu, menurut Maufur (dalam A. Susanto, 2011: 45) adalah sebagai berikut:
1.Sistematis, yakni ada urutan dari awal hingga akhir, dan ada hubungan yang bermakna antara
bagian-bagian atau fakta yang satu dengan fakta yang lainnya yang tersusun secara runtut.
2.General(Umum), yaitu keumuman sifatnya yang berlaku di manapun (lintas ruang dan waktu)
berkaitan dengan kadar mutu yang standar. Dapat juga disebut universal, karena dapat
dikomunikasikan kapan dan di manapun, paling tidak di bumi ini. Semisal hukum-hukum fisika
yang berlaku di Amerika, maka berlaku juga di Indonesia, Inggris, Belanda, Afrika dan
sebagainya.
3.Rasional, maksudnya adalah bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah bersumber pada
pemikiran rasional yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Pengujian atas pengetahuan ilmiah
adalah penalaran yang betul-betul dan perbincangan yang logis tanpa melibatkan faktor-faktor
nonrasional, seperti emosi sesaat dan kesenangan pribadi.
4.Objektif, adalah apa adanya mengungkap realitas yang sahih bagi siapa saja.
5.Menggunakan metode tertentu dalam mempertanyakan objek tertentu, mencari dan
menemukan sesuatu sebagai kebenaran, dan secara terus menerus. Karena ilmu pengetahuan
akan terus berkembang ketika ditemukan jawaban sekaligus memunculkan pertanyaan susulan,
dan terus dicari jawabannya lagi. Demikian seterusnya.
6.Dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan argumentasi logis rasional, apalagi jika
telah melalui eksperimen yang berulang kali
.
Senada dengan itu, ilmu menurut The Liang Gie (dalam Surajiyo, 2010: 59) mempunyai 5 ciri
pokok:
1.Empiris, pengetahuan itu diperoleh berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2.Sistematis, berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu
mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur.
3.Objektif, ilmu berarti pengetahuan itu bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan
pribadi.
4.Analitis, pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang
terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian-bagian itu.
5.Verikatif, dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun.
C.

Hubungan antara etika dan ilmu

Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggung jawab etis menyangkut
kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat
manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi
mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan untuk
menghancurkan ekosistem tersebut.

Sifat dasar etika adalah kritis, yaitu membuat individu dapat mengambil sikap yang rasional
terhadap semua norma. Etika dapat menjadi alat pemikiran rasional dan bertanggungjawab bagi
masyarakat. Artinya, masing-masing bertanggung jawab terhadap perbuatannya sendiri.
Etika tidak membahas kebiasaan masyarakat yang didasarkan pada adat -istiadat yang terikat
pada pengertian baik dan buruk tingkah laku manusia, karena adat- istiadat terikat pada kondisi
daerah, tempat dan geografis kedaerahan.

Hubungan Etika Dengan Berbagai Macam Ilmu Pengetahuan
1. Hubungan Etika dengan Ilmu Sosiologi
Sosiologi merupakan ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat yang meliputi
struktur, stratifikasi, serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Ilmu sosiologi mempersoalkan tentang kehidupan bermasyarakat. Etika melihat dari sisi tingkah
laku manusia.
Persamaan etika dan ilmu sosiologi adalah mempelajari dan mengupas masalah prilaku,
perbuatan manusia, yang timbul dari kehendak yang disengaja.
Hubungan kedua ilmu ini sangat erat, karena mempelajari perbuatan manusia yang timbul dari
kehendak yang disengaja. Perbuatan manusia menjadi pokok persoalan etika, mendorong untuk
mempelajari kehidupan bermasyarakat yang menjadi pokok persoalan sosiologi
Ilmu sosiologi merupakan bagian dari ilmu sosial, yaitu ilmu yang berhubungan dengan
masyarakat serta lingkungan sekitarnya. Hubungan etika dengan ilmu sosial bersifat
kemasyarakatan, bukan saja karena etika berkaitan dengan kehidupan sosial, tetapi juga karena
etika merupakan hasil dari kehidupan bermasyarakat.
Etika yang tumbuh dari proses kemasyarakatan menentukan batasan dari prilaku dalam
kehidupan masyarakat. individu dilahirkan dalam suatu masyarakat disosialisasikan untuk
menerima aturan-aturan sebagai standar tingkah laku yang benar dan yang salah.
2. Hubungan Etika dengan Ilmu Hukum
Hukum berkaitan dengan keadilan, yaitu menempatkan sesuatu secara proporsional.
Pokok pembicaraan etika dengan ilmu hukum adalah mengenai perbuatan manusia. Tujuan
keduanya adalah mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaan manusia.
Etika memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat hal-hal yang buruk dan
merugikan diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Sedangkan banyak perbuatan yang biasa
dilakukan manusia, tidak diatur dalam ilmu hukum.
Ilmu hukum bukan suatu perintah dan bukan suatu larangan. Ilmu hukum hanya dapat
menjatuhi hukuman kepada orang yang menyalahi perintah yang telah diatur dalam peraturan
dan undang-undang.

3. Hubungan Etika dengan Ilmu Filsafat
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dengan
menggunakan pikiran.
Bidang kajian filsafat meliputi berbagai disiplin ilmu, yaitu:
Metafisika: penyelidikan di balik alam yang nyata
Kosmologi: penyelidikan tentang alam
Logika: pembahasan tentang cara berpikir cepat
Etika: pembahasan tentang tingkah laku manusia
Antropologi: pembahasan tentang manusia
Sebagai salah satu komponen dari filsafat, etika menitikberatkan pada pembahasan tentang
manusia, sebagai makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat demikian tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.Lewat
kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya menjalani kehidupannya, tetapi juga menaruh
perhatian pada berbagai cara untuk memperoleh makna hidup.
Manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud jika berinteraksi
dengan lingkungan sosialnya.sedangkan Etika merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang
nilai dan norma dalam prilaku manusia. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak
secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu harus dapat
dipertanggungjawabkan.
Sebagai cabang filsafat, etika berfungsi menjadi refleksi tingkah laku manusia. Dengan demikian
etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuatu dengan tingkah laku bagus saja.
Manusia harus bertindak berdasarkan pertimbangan akal sehat, apakah bertentangan atau
membangun tingkah laku baik.

4. Hubungan Etika dengan Ilmu Psikologi
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai suatu kesatuan jasmani dan rohani.
Psikologi juga mempelajari segala sesuatu yang dapat memberikan jawaban tentang apa
sebenarnya manusia, mengapa manusia berbuat sesuatu hal, apa yang mendorong melakukan
suatu hal tertentu, bagaimana tingkah laku manusia.
Ilmu psikologi membahas tentang gejala-gejala kejiwaan yang tampak dalam tingkah laku.
Melalui ilmu psikologi dapat diketahui sifat-sifat psikologis yang dimiliki seseorang.
Ilmu psikologi merupakan pendahuluan bagi etika. Etika melihat dari segi apa yang sepatutnya
dikerjakan manusia, psikologi meneropong dari segi apakah yang menyebabkan terjadinya
perbuatan tersebut.
Psikologi juga dapat membimbing prilaku manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

BIDANG – BIDANG ETIKA
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif menjelaskan kesadaran manusia melalui pengalaman. Secara deskriptif,
pengalaman manusia dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa ada berbagai fenomena tingkah
laku yang dapat digambarkan / diuraikan secara ilmiah.
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku manusia dalam arti luas, misalnya kebiasaan, anggapananggapan baik buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
Etika deskriptif mempelajari tingkah laku manusia yang terdapat pada individu-individu tertentu.
Menurut George Moore, Etika deskriptif merupakan etika yang menela’ah secara kritis &
rasional tentang sikap & prilaku manusia, serta apa yang dikerjakan oleh setiap orang dalam
hidupnya, sebagai sesuatu yang bernilai.
2. Etika Normatif / Etika Filsafat
Etika normatif merupakan aturan yang mengarahkan secara nyata bagaimana seharusnya
manusia bertingkah laku. Etika normatif menetapkan berbagai sikap & prilaku yang ideal yang
seharusnya dimiliki oleh manusia, serta hal-hal buruk apa yang harus dihindari.

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
1.
Etika adalah ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana
yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal
perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran.
2.
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang
akhirnya menghasilkan pengetahuan.
3.
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
4.
Etika dibutuhkan sebagai pertimbangan pemikiran yang kritis, yang dapat membedakan
antara apa yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar.
2. Saran
Mengingat pentingnya etika dan ilmu pengetahuan, untuk itu diharapkan agar kita dapat
memperdalam ilmu pengetahuan dan selalu menjaga etika kita.

DAFTAR PUSTAKA

1.
Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Suatu Pengantar. Jakarta:
Bumi Aksara.
2.
Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
3. http://hastuti-wulanningrum.blogspot.com/2009/04/hubungan-etika-dengan-ilmupengetahuan.html
Bahan lain :
C. Hubungan antara Ilmu dengan Etika
Pada sub-bagian ini kita akan membahas manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam
mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dari Freud
yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian kepribadian yang
menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan hasrat-hasrat yang
mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah
penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang
mewakili ideal, hati nurani (JRakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu
sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya
memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan mungkin
diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya, dalam pertarungan antara id dan ego, dimana
ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu nafsu angkara murka yang
mengendalikan tindak manusia dalam menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu
pengetahuan. Dari hal tersebut, kebaikan yang diperoleh manusia adalah nihil. Kisah dua kali
perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian
manusia yang mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak.
Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena
dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka diperlukan
patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka
manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi
ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to), benar
(right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good dan teori tentang
kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral
(Soewardi, 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu, dengan
argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau
keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-

kewajiban tentang kebaikan yang pelaksananya (eksekutor) tidak ditunjuk. Eksekutor-nya
menjadi jelas ketika sang subyek berhadapan pada opsi baik atau buruk, dimana yang baik itulah
yang menjadi kewajiban ekskutor dalam situasi ini.