Etika Imam Dalam Shalat pdf

Etika Imam Dalam Shalat
1.

Meringankan shalat, dengan tetap menjaga kesempurnaannya.
a.

Hadist Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shalallahu alaihi wassallam
bersabda;
”Apabila salah seorang kalian menjadi imam bagi manusia, maka ringankanlah
karena di antara mereka ada anak kecil, orang tua, orang yang lemah, orang sakit,
dan (orang yang memiliki keperluan). Apabila ia shalat sendirian, maka silahkan
shalat sekehendaknya.
Al-Bukhari, kitab haabun idzaa shalla binafsihi falyuthawwil maa syaa-a (no. 703)
Muslim, kitab ash-Shalaah, bab Amrul a-immah bitakhfiifish shalaah fii tammaam (no. 467)
Dan lafazh ini milik Muslim.

b.

Hadist Abu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seseorang datang kepada
Rasulullah shalallahu alaihi wassallam seraya berkata, ‘Demi Allah, wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku terlambat shalat Subuh karena si fulan, ia mengimami kami

dengan bacaan yang panjang’. Maka aku belum pernah melihat Nabi shalallahu
alaihi wassallam marah dalam memberikan nasehat, seperti marahnya berliau pada
hari itu. Kemudian belian bersabda :
“Wahai manusia, sesungguhnya sebagian dari kalian ada munaffiriin, siapa saja di
antara kalian yang mengimami manusia, maka ringankanlah karena di antara mereka
ada yang (sakit), yang lemah, orang tua, dan yang memiliki keperluan”
Al-Bukhari, kitab al-Aadzaan bab Takhfiiful imaam bil qiyaam wa itmaamur rukuu’ was sujuud (no. 702)

Munaffiriin artinya orang-orang yang melakukan sesuatu kepada manusia sehingga
mereka takut dan tidak senang, lalu mereka lari menjauh darinya. Jaami’il Uushuul
karya Ibnul Katsir (V/591)
c.

Hadist ‘Utsman bin Abil ‘Ash radhiyallahu anhu, disebutkan di dalamnya :
“Imamilah kaummu. Barangsiapa menjadi imam bagi
suatu kaum maka
ringankanlah karena sesungguhnya di antara mereka ada yang lemah. Karena
sesungguhnya di antara mereka ada yang mempunyai keperluan. Dan jika salah
seorang dari kalian shalat sendirian, maka shalatlah sekehendaknya.”
Muslim, kitab ash-Shalaah, bab Amrul a-immah bi-takhfiifish shalaah fii tamaam (no. 468)


Meringankan shalat adalah perintah yang bersifat nisbi (relatif). Ukuran ringan
tidaknya dikembalikan kepada perbuatan Nabi shalallahu alaihi wassallam dan apa yang
beliau biasakan. Petunjuk Nabi berupa apa yang berliau biasakan adalah hakim yang akan
memberikan keputusan bagi perbedaan pendapat di kalangan orang-orang. Dan telah
datang hadist-hadist shahih yang menjelaskan bacaan Nabi shalallahu alaihi wassallam
dalam shalat-shalat lima waktu. Penjelasan mengenai hal ini telah diterangkan dalam sifat
shalat. Perbuatan Nabi shalallahu alaihi wassallam itulah yang menjadi ukuran ringannya
shalat yang diperintahkan beliau.

Oleh karena itulah Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhu berkata, ”Rasulullah shalallahu
alaihi wassallam memerintahkan meringankan shalat, dan beliau mengimami kami dengan
membaca surat ash-Shaffaat.”
An-Nasa-i, kitab al-Imaamah, bab ar-Rukhshah lil imaam fit tathwiil (no. 208). Dishahihkan oleh al-Albani dalam
Shahiih Sunan an-Nasa-i (I/272).

2.

Memanjangkan raka’at pertama lebih lama daripada raka’at kedua.
Hadist dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Sungguh, iqamat

untuk shalat Zhuhur telah dikumandangkan, lalu seseorang pergi ke Baqi’ untuk buang air,
kemudian ia mendatangi keluarganya untuk berwudhu’, kemugian ia kembali ke masjid,
sementara Rasulullah shalallahu alaihi wassallam masih berada di raka’at pertama, karena
beliau memanjangkan raka’at pertama tersebut.
Muslim, kitab ash-Shalaah, bab al-Qiraa-atu fish zhuhri wal ‘ashri (no. 454)

3.

Memanjangkan dua raka’at yang pertama dan memperpendek dua raka’at berikutnya dari
setiap shalat.
Hadist Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu, disebutkan di dalamnya bahwa Sa’d
radhiyallahu anhu berkata kepada ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu:
“Sesungguhnya aku akan shalat bersama mereka dengan shalat seperti shalat Rasulullah
shalallahu alaihi wassallam. Aku akan memanjangkan dua raka’at yang pertama dan
memperpendek dua raka’at yang terakhir. Aku tidak akan memperpendek apa yang aku ikuti
dari shalat Rasulullah shalallahu alaihi wassallam.”
Al-Bukhari, kitab al-Aadzaan bab Yuthawwilu fil uulayani wa yuhdzifu fil ukhrayain (no. 770) dan Muslim, kitab
ash-Shalaah, bab al-Qiraa-atu fish zhuhri wal ‘ashri (no. 453)

4.


Memelihara kemashlahatan para makmum dengan syarat tidak menyalahi Sunnah.
Hadist Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu anhu. Dalam hadist ini, Nabi shalallahu alaihi
wassallam memelihara kemashlahatan manusia dengan mengakhirkan shalat ‘Isya’ ketika
para Sahabatnya belum berkumpul. Jabir berkata, “Dan shalat ‘Isya’ kadang-kadang (segera),
kadang-kadang (ditangguhkan). Jika Nabi melihat para sahabat telah berkumpul, maka
beliau menyegerakannya. Dan apabila beliau melihat mereka agak lamban, maka beliau pun
mengakhirkannya.”
Al-Bukhari (no. 560) dan Muslim (no. 646)

Jelas bahwa keadaan makmum harus dijaga oleh imam, selama tidak menyalahi asSunnah. Termasuk dalil dalam menjaga kemashlahatan para jama’ah adalah ketika Nabi
shalallahu alaihi wassallam meringankan shalat dikarenakan tangisan anak kecil dan
khawatir memberatkan ibunya. Demikian pula Nabi memanjangkan raka’at pertama agar
para jama’ah yang terlambat dapat menyusul beliau di raka’at pertama. Seperti halnya

beliau memanjangkan (raka’at kedua) pada shalat Khauf agar kelompok kedua dapat shalat
berjama’ah bersama Nabi shalallahu alaihi wassallam. Dari sinilah diambil satu sunnah yang
disukai, bahwa hendaklah imam memanjangkan ruku’ untuk menunggu jama’ah yang baru
bergabung, agar ia dapat menyusul imam pada saat ruku’. Namun hal ini hanya boleh
dilakukan selama tidak mengganggu makmum yang lain. Wallahu a’lam.

Hasyiyah ar-Raudhul Murbi’ karya Ibnu Qasim (II/291-292, asy-Syarhul mumti’ karya Ibnu ‘Utsai-min (IV/276-283)

5.

Tidak melakukan shalat (sunnah) di tempat ia mengerjakan shalat fardhu.
Ada beberapa atsar yang menunjukkan bahwa dimakruhkan bagi seorang imam
melakukan shalat sunnah di tempat ia mengimami orang-orang untuk shalat fardhu. Akan
tetapi hendaklah ia berpindah tempat terlebih dahulu.
a.

Perkataan dari Ali radhiyallahu anhu, “Apabila imam salam, maka janganlah ia
mengerjakan shalat sunnah hingga ia berpindah terlebih dahulu dari tempat semula,
atau ira memisahkan antara shalat fardhu dengan shalat sunnahnya dengan
percakapan (obrolan).”

b.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhu, dikatakan bahwa ia memakruhkan imam yang shalat
sunnah di tempat ia mengerjakan shalat fardhu. Akan tetapi untuk selain imam, ia
tidak memandang hal itu makruh.

Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah, kitab ash-Shalwaat, bab Man karrahal imam an yatathaw-wa’a
fii makaanihi (II/209).

c.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Seakan-akan hikmah dimakruhkannya adalah:
Khawatir tercampur baur antara shalat sunnah dengan shalat fardhu.”
Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (II/257-258)

d.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, ”Dalam hal ini terdapat dalil yang dikatakan
oleh sahabat-sahabat kami bahwa jika seseorang hendak mengerjakan shalat
sunnah rawatib atau selainnya, maka disukai agar berpindah dahulu dari tempatnya
mengerjakan shalat fardhu, ke tempat lain. Yang paling utama adalah berpindah ke
rumahnya. Jika tidak, maka berpindahlah ke tempat lainnya di dalam masjid atau di
tempat lainnya. Hal ini untuk memperbanyak tempat sujudnya dan supaya terpisah
antara bentuk shalat sunnah dengan shalat fardhu. Perkataannya ‘hingga seseorang
bercakap-cakap’ menunjukkan bahwa pemisahan antara keduanya (antara shalat
fardhu dengan shalat sunnah) bisa juga dengan cara bercakap-cakap. Akan tetapi

dengan berpindah tempat lebih utama, berdasarkan apa yang telah disebutkan.
Wallahu a’lam.”
Syarhun Nawawi ‘alaa Shahiih Muslim (VI/420).

6.

Diam sebentar di tempatnya setelah salam.
Lafazh an-Nasa-i: “Bahwa kaum wanita di zaman Rasulullah shalallahu alaihi
wassallam, apabila mereka telah salam dari shalat, maka mereka berdiri, sementara
Rasulullah shalallahu alaihi wassallam dan orang-orang yang shalat dari kaum laki-laki
berdiam selama yang dikehendaki Allah. Manakala Rasulullah shalallahu alaihi wassallam
berdiri, maka kaum laki-laki pun berdiri.”
An-Nasa-i, kitab as-Sahw, bab Jahsatul imaam bainat tasliim wal inshiraaf (no. 1333). Dishahihkan oleh al-Albani
dalam Shahiih an-Nasa-i (I/428)

7.

Menghadapkan wajah ke arah makmum setelah salam.
Hadist Samurah bin Jundab radhiyallahu anhu, ia berkata, “Apabila selesai shalat,
maka Nabi shalallahu alaihi wassallam menghadapkan wajahnya ke arah kami.”

Al-Bukhari, kitab al-Aadzaan, bab Yastaqbilul imaamun naasa idzaa sallama (no. 845)

Maknanya: Apabila shalat telah selesai dan telah mengucapkan salam, maka imam
menghadapkan wajahnya ke arah makmum. Karena ketika imam membelakangi makmum, ia
sedang melaksanakan haknya sebagai imam. Apabila shalat telah selesai, maka haknya
sebagai imam –yang menjadi sebab ia membelakangi makmum- pun telah hilang. Kama
menghadapnya imam kepada makmum akan menghilangkan kesombongan imam dan
perasaan tinggi hati terhadap makmum. Wallahu a’lam.
Fat-hul Baari karya Ibnu Hajar (II/334)

8.

Tidak boleh memanjatkan do’a untuk diri sendiri, sementara do’anya di amini makmum.
Riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang di-marfu’-kannya. Disebutkan di dalamnya:
“Tidak halal seseorang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir mengimami suatu kaum
kecuali dengan izin mereka. Dan tidak halal pula bahwa ia mengkhususkan do’anya untuk
dirinya sendiri, tanpa melibatkan mereka. Jika ia melakukannya, maka ia telah mengkhianati
mereka.”
Abu Dawud (no. 91). Hadist ini memiliki penguatan yang diriwayatkan at-Tirmidzi (no. 357) dan Ahmad (II/250)
dari hadist Tsauban.


9.

Tidak shalat di tempat yang terlalu tinggi daripada makmum, kecuali beberapa barisan di
belakangnya berada di tempat yang sama dengan imam.
Adapun makmum, apabila mereka berada di tempat yang lebih tinggi daripada
imam, maka tidak mengapa.
Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (III/48) dan asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin (IV/423-426)

10.

Tidak shalat di tempat yang tertutup dari pandangan seluruh makmum.
Mushannaf Ibni Abi Syaibah (II/59-60). Al-Inshaaf fii Ma’rifatir Raajih minal Khilaaf karya al-Mawardi yang dicetak
bersama asy-Syarhul Kabiir (IV/457-458), asy-Syarhul Mumti’ karya Ibnu ‘Utsaimin (IV/427-428), dan Hasyiyah arRaudhul Murbi’ karya Ibnu Qasim (II/351).

11.

Tidak terlalu lama duduk menghadap kiblat setelah salam.
Hadist Aisyah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Setelah mengucapkan salam, Nabi
shalallahu alaihi wassallam tidak berlama-lama duduk. Melainkan seukuran membaca :

‘Allahumma antassalaam waminkassalaam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam’
Kemudian beliau menghadapkan wajahnya ke arah jama’ah sebagaimana dalam hadist
Samurah radhiyallahu anhu yang telah lalu.”
Al-Bukhari (no. 845).

12.

Cara menghadapkan wajahnya ke arah makmum.
Hendaklah menghadapkan wajah ke arah makmum setelah salam. Adapun cara
menghadapnya, sekali-kali dengan berputar ke arah kanan, dan di waktu yang lain berputar
ke arah kiri. Hal ini tidak mengapa, berdasarkan hadist ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Salah seorang dari kalian tidak boleh memberikan sebagian dari shalatnya
kepada syaitan: (dan ini berlaku) jika ia berpandangan bahwa yang lebih baik baginya adalah
tidak berpaling kecuali ke arah kanan. Namun sungguh, saya melihat Nabi shalallahu alaihi
wassallam terkadang lebih sering berpaling ke arah kiri.”
Dalam lafazh Muslim, “Aku lebih sering melihat Rasulullah shalallahu alaihi wassallam
berpaling ke arah kiri.”
Al-Bukhari, kitab al-Adzaan, bab al-Intiqaal wal inshiraaf ‘anil yamiin wa ‘anisy syimaal (no. 852) dan Muslim,
kitab Musaafiriin, bab jawaazul inshiraafi minash shalaati ‘anil yamiini wa ‘anisy syimaal (no. 707).


13.

Menjadikan sutrah (pembatas shalat) di hadapannya, karena sutrah imam sekaligus
berfungsi juga sebagai sutrah bagi orang-orang yang ada di belakangnya (para makmum).
Hadist Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu, ia me-marfu’-kannya: “Apabila salah
seorang dari kalian shalat, maka hendaklah ia shalat menghadap sutrah. Dan hendaklah ia
mendekat ke sutrah tersebut.”
Abu Dawud (no. 698). Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Dawud (I/135).

Sumber : Pustaka Ibnu ‘Umar, “Etika Imam & Makmum dalam Shalat”