Menimbang Nilai Budaya Ke Indonesia an
Menimbang Nilai Budaya Ke-Indonesia-an
Oleh: Syaiful Radya
Maju mundurnya kebudayaan termasuk budaya lokal tergantung pada
perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Kondisi ini dipengaruhi
oleh nilai-nilai dan pandangan hidup serta sistem kehidupan yang
tumbuh berkembang dalam masyarakatnya (Alexander Bird, 2006)
Kilas Balik Sejarah
Memandang sejarah bukan berarti sedang merasa genit pada masa lalu, tetapi
sekedar memberi salam dan bercermin sejenak memandang gambar masa lalu.
Demikian pula dalam memandang peradaban budaya jaman ini, maka menengok masa
lalu akan terasa menggairahkan, sambil menikmati secangkir kopi, atau dengan sedikit
iringan musik instrument yang lembut untuk memulai menengok sejarah kebudayaan,
budaya yang menjadi semboyan di negeri ini, budaya “Bhieneka Tunggal Ika”.
Memang tampak tidak ada yang istimewa dalam Bhineka tunggal ika, dan hampir
semua penduduk Indonesia yang tinggal di jawa mengetahui, bahwa Bhineka Tunggal
Ika adalah sastra yang ditulis pujangga Mpu Tantular dalam kitab Sotasoma. Kita semua
tentu telah tahu tentang itu, namun apakah penemuan Bhineka Tunggal Ika ini lahir dari
inspirasi begitu saja? Tentu saja kitab Sotasoma tidak ditulis hanya berdasarkan selera
sastra sang pujangga, namun melalui riset antropologi. Mpu Tantular adalah antropolog
jaman Majapahit yang mampu memaparkan sistem demokrasi, toleransi, kebersamaan
dalam keragaman kehidupan masyarakat, serta kehidupan sosial yang sejahtera dan
harmonis di jaman Airlangga berdasarkan prasasti dan kisah yang dibacanya dari lembar
lontar (manuscript). Lantas apa untungnya bagi Mpu Tantular begitu susah payah
menggali kuburan masa lalu bila temuannya tidak menimbulkan dampak bargaining
politic, dan tidak ada untungnya bagi seorang antropolog. Politik dan kekuasaan
sangatlah tidak penting dibandingkan pengetahuan tentang hidup dan nilai-nilai yang
dapat digali dari sisa-sisa kebudayaan masa lalu.
Kehidupan berbangsa pada masa lalu dapat dirumuskan menjadi Bhineka Tunggal
Ika, yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai dari sistem demokrasi yang dilewati
melalui proses terjal, dan menjadi lebih terjal pada masa sekarang yang dikatakan serba
canggih. Jadi kita perlu menyadari bahwa formulasi yang dirumuskan oleh Mpu Tantular
tidak begitu saja muncul dari sebuah gagasan yang belum ada, tetapi melalui proses
1
perenungan, penghayatan, dan kristalisasi pemikiran yang panjang untuk dapat
mencapai suatu gagasan yang gemilang.
Mpu Tantular sebagai seorang antropolog telah tuntas mempelajari sistem sosial di
masa Raja Airlangga melalui lontar, bebrapa prasasti dan cerita turun temurun. Cerita
seputar Airlangga yang mendorong desa-desa adat agar mengukuhkan hukum adat
masing-masing, dan setiap desa adat diperintahkan agar memiliki 40 prajurit adat yang
menjaga berlangsungnya hukum adat. Sehingga hukum adat menjadi tegas, adil, mandiri
dan terkawal. Kemudian Mpu Baradah membantu menyatukan dan menyempurnakan
hukum-hukum adat yang berbeda-beda menjadi hukum negara. Pada akhirnya system
sosiologis ini di adopsi sebagai benih-benih idiologi dan faham kesederajatan, serta
ketuhanan dalam dimensi spiritual yang mencerminkan perilaku toleransi masyarakat.
Mengkaji Bhineka tunggal ika dari masa lampau bukan berarti saya mengajak
berpikir mundur, tetapi mengajak untuk mengenali peristiwa yang dapat diproyeksikan
dalam kehidupan sekarang. Bagaimana kehidupan yang damai dan menjunjung tinggi
toleransi, kebersamaan, dan kesejahteraan sosial seperti pada masa lalu dapat
dwujudkan. Sistem budaya nusantara dibangun dan diatur dengan memprioritaskan
kesejahteraan social, dan negara mampu menjamin keragaman, sehingga keragaman
menjadi asset bagi berlangsungnya kehidupan yang dinamis, damai dan sejahtera.
Wajah Bhineka Tunggal Ika adalah akomodasi negara pada local wisdom yang
setiap individu dituntut untuk menjaga keharmonisan sosial, dan wajah ini tidak luput dari
pengamatan seorang budayawan WS. Rendra, yang juga dengan bangga menuliskan
kumpulan sajak “Sajak Sebatang lisong”. Karya WS. Rendra berikut.
Oh Sanjaya,
Leluhur dari kebudayaan tanah
Oh Purnawarman,
Leluhur dari kebudayaan air
Kedua wangsa mu telah mampu mempersekutukan budaya tanah dan budaya air,
tanah-air
Oh Resi Kuturan,
Oh Resi Nerarte,
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian
Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera
Yang dijaga oleh dewan hukum adat
Bagaimana aku bisa mengerti bangsa bising dari bangsaku ini?
Oh Katjau Lalido,
Bintang cemerlang tanau ugi
Negarawan yang pintar dan bijaksana
Telah kamu ajarkan aturan permainan di dalam benturan-benturan keinginan yang
berbagai ragam dalam kehidupan
2
Ade, Wicara, Rabang, dan Wali
Ialah adat, peradilan, Yudis-prodensi, dan pemerincian perkara
Yang dijaman itu, di Eropa, belum ada
Kode Napoleon 2 abad lagi baru dilahirkan, dst
Bhineka Tunggal Ika melebur dalam globalisasi
Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa, dalam bahasa aslinya dapat
diterjemahkan sebagai “Kebenaran yang diajarkan Budha dan Siwa itu sesungguhnya
satu jua, karena pada hakikatnya tidak ada kebenaran yang mendua”. Suatu pernyataan
yang sarat muatan filosofis, sebagai bagian dari tradisi yang dapat dijadikan turning point
untuk pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, atau sebagai gateway untuk masuk ke
alam pikiran budaya Indonesia.
Antropolog Ruth Benedict menyebut bahwa budaya adalah as pattern of thinking
and doing that runs through activities of people and distinguished them from all other
peoples yang berarti bahwa pola pikir dan tindakan seseorang akan tercermin melalui
aktifitasnya dan hal itu yang membedakannya dari orang lain. Artinya kebudayaan bisa
menjadi suatu idea atau gagasan. Ide atau gagasan adalah pikiran-pikiran yang muncul
dari individu atau masyarakat atau bangsa yang terus menerus mengalami perubahan
sesuai dengan kebutuhan manusianya. Sudah barang tentu, bahwa perubahan yang
terjadi di masyarakat tidak terlepas dari perubahan yang terjadi dalam unit masyarakat
terkecil, yaitu keluarga. Bila dirinci, ini tidak lepas dari perubahan pada tiap diri individu.
Perubahan dalam individu merupakan induk dari perubahan masyarakat. Bila individu
berubah maka akan memicu perubahan dalam masyarakat dan perubahan budaya
termasuk budaya lokal. Individu yang terus berubah ke arah lebih baik akan menjadi
manusia
yang
utuh.
Ia
menjadi
sosok manusia
yang
bekerja
dengan
rasa
tanggungjawab, mengerjakan pekerjaan sesuai bakat, bekerja secara rasional, bekerja
secara sistematis, bekerja efisien, bekerja keras, bekerja dengan rajin, bekerja dengan
tekun, bekerja dengan pengharapan, dan bekerja dengan rasa cinta kepada Tuhan dan
sesama. Lambat laun ia mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya bahkan berpotensi
untuk mempengaruhi masyarakat, jadi perubahan individulah sebagai dasar perubahan
dalam budaya masyarakat.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat akan mempengaruhi budaya, dan
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain. Tidak mengherankan bila budaya lokal
mengalami perubahan. Dalam masyarakat Jawa ada banyak perubahan terjadi dalam
masyarakat dan budayanya, salah satu contoh yang terjadi di kota adalah bahwa
mayoritas putra-putri Jawa yang lahir dan besar di kota tidak bisa berbahasa daerah.
3
Tulisan dalam bahasa Jawa minim dan kalah bersaing dengan tulisan-tulisan dalam
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Itulah fakta, apakah budaya lokal akan bertahan
di masa-masa mendatang? Apakah budaya Jawa, budaya Batak, budaya Sunda, dan
budaya lainnya akan bertahan?
Kemudian adanya unsur tindakan atau aktifitas, yaitu bagaimana seseorang, satu
masyarakat atau bangsa berpikir, bekerja, berbicara, dan melakukan aktifitas lainnya.
Dari karya Max Weber, The Protestan Ethics & Spirit of Capitalism, kita mendapatkan
gambaran tentang konsep kerja masyarakat Barat, khususnya masyarakat Eropa Barat
pada abad ke-17 sampai dengan abad ke 19. Sampai sekarang, konsep kerja yang
dituturkan oleh Weber masih ditemukan di Barat. Orang Barat bekerja dengan rajin dan
punya tanggung-jawab terhadap pekerjaannya. Ada Professional Responsibility. Mereka
menekuni pekerjaannya, mereka bekerja secara rasional dan sistematis. Bukan hanya
dalam pekerjaan, bahkan rasionalitas dan sistematis ini dapat ditemukan dalam seni
berkomunikasi dan seni sastra. Orang-orang Barat berusaha bicara seefektif mungkin;
langsung to the point; tidak banyak basa-basi; susunan kata-katanya teratur dan
penggunaan kata tidak berlebihan.
Unsur budaya selanjutnya adalah hasil karya, yaitu produk yang dihasilkan dari
satu individu, masyarakat atau bangsa. Produk-produk Barat misalnya bermutu tinggi.
Harga jam merek Rolex (Pre-Owned Rolex Women's Presidential Watch) bisa berkisar
puluhan juta rupiah. Harga mobil Mercedes-Benz atau BMW bisa ratusan juta rupiah.
Barat mampu membuat pesawat ulang-alik. Bill Gates menemukan Microsoft,
menemukan
Internet
yang
mampu
mengakses
informasi
dengan
mudah
dan
menghubungkan manusia dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi yang lain. Juga masih
ada Facebook yang dapat menghubungkan siapa saja di dunia ini dalam konteks sosial.
Benturan budaya tidak terelakkan. Kita tidak dapat menghindari benturan antara
budaya lokal dengan budaya luar. Disadari atau tidak, banyak dari antara kita merasakan
pengaruh budaya yang tidak berasal dari budaya nasional. Kita lihat pengaruh internet.
Facebook, Twitter, Blackberry, handphone, dan berbagai produk budaya luar telah
mempengaruhi kehidupan kita. Masih ada buku, media asing atau interaksi langsung
dengan orang Barat, dan informasi begitu terbuka sehingga sulit membendung nilai-nilai
budaya luar, apakah itu nilai yang baik seperti kebebebasan berpikir ataupun nilai yang
buruk seperti film porno yang bersentuhan dengan mudah dalam kehidupan kita.
Refleksi: Abrasi Kebudayaan
4
Perubahan dalam masyarakat merupakan hasil dari pertemuan nilai-nilai. Ada
interaksi antara nilai yang satu dan nilai yang lain; ada dialog antara pandangan hidup
yang satu dan pandangan hidup yang lain. Ada ujian terhadap masing-masing sistem
kehidupan. Masyarakat akan berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai, pandangan
hidup atau sistem kehidupan yang diterima. Tindakannya merupakan pancaran dari nilai,
pandangan hidup dan sistem kehidupan yang diterima. Bagaimana masyarakat berpikir,
bertindak, bekerja, menggunakan waktu, berkeluarga, berkehidupan sosial, bertetangga,
dan melakukan aktifitas lainnya ini semua merupakan gambaran dari nilai-nilai yang telah
diterima masyarakat.
Di sisi yang lain, kita juga harus menghadapi tantangan dari budaya Cina yang
akan mewarnai kehidupan kita. Pemikiran Confucianisme yang telah ribuan tahun
mempengaruhi bangsa Tionghoa, juga akan segera mempengaruhi masyarakat dan
budaya lokal kita. Di dalam negeri sendiri budaya lokal telah bersentuhan dengan budaya
lokal lainnya, misalnya mahasiswa yang pindah dari satu daerah ke daerah lain atau dari
kota yang satu ke kota lain membawa nilai-nilai budaya lokalnya. Mau tidak mau ia harus
menghadapi budaya yang ditemui di daerah atau kota yang baru.
Pertemuan antara dua atau beberapa budaya memang tidak dapat dihindari dan
akan ada benturan nilai serta sistem kehidupan. Benturan tidak selalu dalam bentuk
phisik, namun bisa berbuntut pada benturan phisik. Apa akibat dari pertemuan budaya
yang berbeda ini? Budaya yang kuat akan menang pada akhirnya sekalipun itu harus
melalui pertarungan yang keras dan waktu yang panjang. Bagaimana generasi Indonesia
menghadapi hal ini? apakah kita akan lari atau menutup diri seolah-olah pengaruh
budaya luar ini tidak ada? ataukah kita berdiam diri dan merelakan budaya lokal kita
hanyut?
Kita harus berbesar hati menghadapi kenyataan ini dan waspada terhadap nilainilai dari budaya luar. Kita perlu menilai budaya kita pada masa sekarang; nilai-nilai
manakah yang harus diambil dan nilai mana yang harus ditolak. Kita juga harus bersabar
bila nilai-nilai dari budaya yang tinggi akan memenangkan pertarungan, sebab ada
kemungkinan kita sendiri akan meninggalkan nilai-nilai budaya lokal dan merangkul nilainilai budaya luar yang kita anggap lebih baik.
Hadirnya Aula Simfonia Jakarta, Concert Hall yang bertaraf internasional di
Kemayoran Jakarta adalah contoh benturan budaya yang dapat kita lihat. Concert Hall ini
sudah menggairahkan dunia seni, khususnya seni musik klasik. Masyarakat yang
tingggal di Jakarta bisa menikmati pagelaran musik klasik di Concert Hall setiap bulan.
Kita tidak perlu pergi ke luar negeri untuk bisa menikmati keindahan karya-karya klasik
5
seperti karya Johan Sebastian Bach, Mozart, Beethoven, Strauss, Mendellson, dan
komposer besar lainnya. Tentu saja kita juga tidak dapat menolak keindahan musik klasik
yang sekaligus telah menjadi tantangan bagi musik tradisional. Itulah salah satu dampak
kehadiran budaya luar dalam kehidupan kita karena eksistensi kemanusiaan kita
memang dirancang untuk mengagumi hal-hal yang bermutu dan indah.
Demikian juga dalam masyarakat ada yang pro budaya lokal dan ada menolak.
Kemudian muncul pertanyaan,"Bagaimana menilai budaya lokal? dengan dasar apa kita
menilainya?" Mau tidak mau kita harus mencari jawabannya pada opsi-opsi yang ada.
Opsi pertama adalah menggunakan hati nurani dan akal. Manusia memiliki hati nurani
dan akal yang bisa membedakan apa yang benar dan tidak. Dengan demikian, kita
mempunyai kemungkinan untuk membuat penilaian terhadap budaya. Melalui rasio, kita
dapat membuat analisa dan kesimpulan apakah nilai-nilai budaya lokal benar atau tidak
benar. Namun demikian, ini bisa memicu munculnya pertanyaan. Apakah hati nurani atau
rasio atau diri kita dapat dijadikan sebagai patokan yang mutlak untuk mengevaluasi
budaya? Jawabannya mungkin tidak meyakinkan, karena manusia bukanlah sosok yang
mutlak, manusia bukan Tuhan. Manusia mempunyai banyak kesalahan dan kelemahan.
Sebab itu, opsi yang dapat kedua menjadi pilihan terakhir.
Opsi Kedua adalah menggunakan standar lain, yaitu Kitab Suci yang masih
dianggap sebagai pedoman bagi orang-orang yang percaya kepada Ketuhanan yang
Maha Esa untuk menilai setiap aspek kehidupan termasuk budayanya. Bila Tuhan adalah
mutlak dan Kitab Suci juga dianggap mutlak, maka masyarakat perlu melihat prinsipprinsip dalam Kitab Suci. Namun, bagaimana pandangan Kitab Suci terhadap budaya
tetap harus dilihat lebih jauh dalam pandangan agama-agama yang ada dengan
memperhatikan toleransi, atau kita masuk pada opsi paling akhir, yaitu kembali pada
Undang-Undang Dasar, atau budaya Indonesia akan menjadi sejarah seperti budaya
Sumerian, Mesopotamia, Mesir Kuno, dan Babilonia. Kini tinggal budaya barat dan
agama yang masih eksis, tentu saja budaya ini pun masih akan diuji oleh waktu, dan
seberapa kuat budaya ini akan bertahan?
Gunung Anyar, 12 Juli 2013
Bibliograf
6
Mengajar di Prodi Gizi STIKES Surabaya, dan Pernah menjadi bagian dari keluarga
Teater Witel VII, Kepala Bidang Pendidikan Anak di YPPAY Adinda Surabaya, dan sejak
tahun 2004 aktif melakukan berbagai penelitian psikologi, pengamat pendidikan dasar
dan menengah di LPKS Bintang Timur, dan menulis beberapa kumpulan essay dalam
kapasitas sebagai Ghost Writer. Aktif sebagai konsultan program pengembangan SDM di
Talent Club Resources Indonesia, dan sekarang dalam proses menulis buku-buku true
story, serta sebagai konsultan Statistik.
7
Oleh: Syaiful Radya
Maju mundurnya kebudayaan termasuk budaya lokal tergantung pada
perubahan yang terjadi dalam masyarakatnya. Kondisi ini dipengaruhi
oleh nilai-nilai dan pandangan hidup serta sistem kehidupan yang
tumbuh berkembang dalam masyarakatnya (Alexander Bird, 2006)
Kilas Balik Sejarah
Memandang sejarah bukan berarti sedang merasa genit pada masa lalu, tetapi
sekedar memberi salam dan bercermin sejenak memandang gambar masa lalu.
Demikian pula dalam memandang peradaban budaya jaman ini, maka menengok masa
lalu akan terasa menggairahkan, sambil menikmati secangkir kopi, atau dengan sedikit
iringan musik instrument yang lembut untuk memulai menengok sejarah kebudayaan,
budaya yang menjadi semboyan di negeri ini, budaya “Bhieneka Tunggal Ika”.
Memang tampak tidak ada yang istimewa dalam Bhineka tunggal ika, dan hampir
semua penduduk Indonesia yang tinggal di jawa mengetahui, bahwa Bhineka Tunggal
Ika adalah sastra yang ditulis pujangga Mpu Tantular dalam kitab Sotasoma. Kita semua
tentu telah tahu tentang itu, namun apakah penemuan Bhineka Tunggal Ika ini lahir dari
inspirasi begitu saja? Tentu saja kitab Sotasoma tidak ditulis hanya berdasarkan selera
sastra sang pujangga, namun melalui riset antropologi. Mpu Tantular adalah antropolog
jaman Majapahit yang mampu memaparkan sistem demokrasi, toleransi, kebersamaan
dalam keragaman kehidupan masyarakat, serta kehidupan sosial yang sejahtera dan
harmonis di jaman Airlangga berdasarkan prasasti dan kisah yang dibacanya dari lembar
lontar (manuscript). Lantas apa untungnya bagi Mpu Tantular begitu susah payah
menggali kuburan masa lalu bila temuannya tidak menimbulkan dampak bargaining
politic, dan tidak ada untungnya bagi seorang antropolog. Politik dan kekuasaan
sangatlah tidak penting dibandingkan pengetahuan tentang hidup dan nilai-nilai yang
dapat digali dari sisa-sisa kebudayaan masa lalu.
Kehidupan berbangsa pada masa lalu dapat dirumuskan menjadi Bhineka Tunggal
Ika, yang merupakan pengejawantahan nilai-nilai dari sistem demokrasi yang dilewati
melalui proses terjal, dan menjadi lebih terjal pada masa sekarang yang dikatakan serba
canggih. Jadi kita perlu menyadari bahwa formulasi yang dirumuskan oleh Mpu Tantular
tidak begitu saja muncul dari sebuah gagasan yang belum ada, tetapi melalui proses
1
perenungan, penghayatan, dan kristalisasi pemikiran yang panjang untuk dapat
mencapai suatu gagasan yang gemilang.
Mpu Tantular sebagai seorang antropolog telah tuntas mempelajari sistem sosial di
masa Raja Airlangga melalui lontar, bebrapa prasasti dan cerita turun temurun. Cerita
seputar Airlangga yang mendorong desa-desa adat agar mengukuhkan hukum adat
masing-masing, dan setiap desa adat diperintahkan agar memiliki 40 prajurit adat yang
menjaga berlangsungnya hukum adat. Sehingga hukum adat menjadi tegas, adil, mandiri
dan terkawal. Kemudian Mpu Baradah membantu menyatukan dan menyempurnakan
hukum-hukum adat yang berbeda-beda menjadi hukum negara. Pada akhirnya system
sosiologis ini di adopsi sebagai benih-benih idiologi dan faham kesederajatan, serta
ketuhanan dalam dimensi spiritual yang mencerminkan perilaku toleransi masyarakat.
Mengkaji Bhineka tunggal ika dari masa lampau bukan berarti saya mengajak
berpikir mundur, tetapi mengajak untuk mengenali peristiwa yang dapat diproyeksikan
dalam kehidupan sekarang. Bagaimana kehidupan yang damai dan menjunjung tinggi
toleransi, kebersamaan, dan kesejahteraan sosial seperti pada masa lalu dapat
dwujudkan. Sistem budaya nusantara dibangun dan diatur dengan memprioritaskan
kesejahteraan social, dan negara mampu menjamin keragaman, sehingga keragaman
menjadi asset bagi berlangsungnya kehidupan yang dinamis, damai dan sejahtera.
Wajah Bhineka Tunggal Ika adalah akomodasi negara pada local wisdom yang
setiap individu dituntut untuk menjaga keharmonisan sosial, dan wajah ini tidak luput dari
pengamatan seorang budayawan WS. Rendra, yang juga dengan bangga menuliskan
kumpulan sajak “Sajak Sebatang lisong”. Karya WS. Rendra berikut.
Oh Sanjaya,
Leluhur dari kebudayaan tanah
Oh Purnawarman,
Leluhur dari kebudayaan air
Kedua wangsa mu telah mampu mempersekutukan budaya tanah dan budaya air,
tanah-air
Oh Resi Kuturan,
Oh Resi Nerarte,
Empu-empu tampan yang penuh kedamaian
Telah kamu ajarkan tatanan hidup yang aneka dan sejahtera
Yang dijaga oleh dewan hukum adat
Bagaimana aku bisa mengerti bangsa bising dari bangsaku ini?
Oh Katjau Lalido,
Bintang cemerlang tanau ugi
Negarawan yang pintar dan bijaksana
Telah kamu ajarkan aturan permainan di dalam benturan-benturan keinginan yang
berbagai ragam dalam kehidupan
2
Ade, Wicara, Rabang, dan Wali
Ialah adat, peradilan, Yudis-prodensi, dan pemerincian perkara
Yang dijaman itu, di Eropa, belum ada
Kode Napoleon 2 abad lagi baru dilahirkan, dst
Bhineka Tunggal Ika melebur dalam globalisasi
Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa, dalam bahasa aslinya dapat
diterjemahkan sebagai “Kebenaran yang diajarkan Budha dan Siwa itu sesungguhnya
satu jua, karena pada hakikatnya tidak ada kebenaran yang mendua”. Suatu pernyataan
yang sarat muatan filosofis, sebagai bagian dari tradisi yang dapat dijadikan turning point
untuk pindah ke khazanah filosofis selanjutnya, atau sebagai gateway untuk masuk ke
alam pikiran budaya Indonesia.
Antropolog Ruth Benedict menyebut bahwa budaya adalah as pattern of thinking
and doing that runs through activities of people and distinguished them from all other
peoples yang berarti bahwa pola pikir dan tindakan seseorang akan tercermin melalui
aktifitasnya dan hal itu yang membedakannya dari orang lain. Artinya kebudayaan bisa
menjadi suatu idea atau gagasan. Ide atau gagasan adalah pikiran-pikiran yang muncul
dari individu atau masyarakat atau bangsa yang terus menerus mengalami perubahan
sesuai dengan kebutuhan manusianya. Sudah barang tentu, bahwa perubahan yang
terjadi di masyarakat tidak terlepas dari perubahan yang terjadi dalam unit masyarakat
terkecil, yaitu keluarga. Bila dirinci, ini tidak lepas dari perubahan pada tiap diri individu.
Perubahan dalam individu merupakan induk dari perubahan masyarakat. Bila individu
berubah maka akan memicu perubahan dalam masyarakat dan perubahan budaya
termasuk budaya lokal. Individu yang terus berubah ke arah lebih baik akan menjadi
manusia
yang
utuh.
Ia
menjadi
sosok manusia
yang
bekerja
dengan
rasa
tanggungjawab, mengerjakan pekerjaan sesuai bakat, bekerja secara rasional, bekerja
secara sistematis, bekerja efisien, bekerja keras, bekerja dengan rajin, bekerja dengan
tekun, bekerja dengan pengharapan, dan bekerja dengan rasa cinta kepada Tuhan dan
sesama. Lambat laun ia mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya bahkan berpotensi
untuk mempengaruhi masyarakat, jadi perubahan individulah sebagai dasar perubahan
dalam budaya masyarakat.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat akan mempengaruhi budaya, dan
mempengaruhi aspek-aspek kehidupan yang lain. Tidak mengherankan bila budaya lokal
mengalami perubahan. Dalam masyarakat Jawa ada banyak perubahan terjadi dalam
masyarakat dan budayanya, salah satu contoh yang terjadi di kota adalah bahwa
mayoritas putra-putri Jawa yang lahir dan besar di kota tidak bisa berbahasa daerah.
3
Tulisan dalam bahasa Jawa minim dan kalah bersaing dengan tulisan-tulisan dalam
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Itulah fakta, apakah budaya lokal akan bertahan
di masa-masa mendatang? Apakah budaya Jawa, budaya Batak, budaya Sunda, dan
budaya lainnya akan bertahan?
Kemudian adanya unsur tindakan atau aktifitas, yaitu bagaimana seseorang, satu
masyarakat atau bangsa berpikir, bekerja, berbicara, dan melakukan aktifitas lainnya.
Dari karya Max Weber, The Protestan Ethics & Spirit of Capitalism, kita mendapatkan
gambaran tentang konsep kerja masyarakat Barat, khususnya masyarakat Eropa Barat
pada abad ke-17 sampai dengan abad ke 19. Sampai sekarang, konsep kerja yang
dituturkan oleh Weber masih ditemukan di Barat. Orang Barat bekerja dengan rajin dan
punya tanggung-jawab terhadap pekerjaannya. Ada Professional Responsibility. Mereka
menekuni pekerjaannya, mereka bekerja secara rasional dan sistematis. Bukan hanya
dalam pekerjaan, bahkan rasionalitas dan sistematis ini dapat ditemukan dalam seni
berkomunikasi dan seni sastra. Orang-orang Barat berusaha bicara seefektif mungkin;
langsung to the point; tidak banyak basa-basi; susunan kata-katanya teratur dan
penggunaan kata tidak berlebihan.
Unsur budaya selanjutnya adalah hasil karya, yaitu produk yang dihasilkan dari
satu individu, masyarakat atau bangsa. Produk-produk Barat misalnya bermutu tinggi.
Harga jam merek Rolex (Pre-Owned Rolex Women's Presidential Watch) bisa berkisar
puluhan juta rupiah. Harga mobil Mercedes-Benz atau BMW bisa ratusan juta rupiah.
Barat mampu membuat pesawat ulang-alik. Bill Gates menemukan Microsoft,
menemukan
Internet
yang
mampu
mengakses
informasi
dengan
mudah
dan
menghubungkan manusia dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi yang lain. Juga masih
ada Facebook yang dapat menghubungkan siapa saja di dunia ini dalam konteks sosial.
Benturan budaya tidak terelakkan. Kita tidak dapat menghindari benturan antara
budaya lokal dengan budaya luar. Disadari atau tidak, banyak dari antara kita merasakan
pengaruh budaya yang tidak berasal dari budaya nasional. Kita lihat pengaruh internet.
Facebook, Twitter, Blackberry, handphone, dan berbagai produk budaya luar telah
mempengaruhi kehidupan kita. Masih ada buku, media asing atau interaksi langsung
dengan orang Barat, dan informasi begitu terbuka sehingga sulit membendung nilai-nilai
budaya luar, apakah itu nilai yang baik seperti kebebebasan berpikir ataupun nilai yang
buruk seperti film porno yang bersentuhan dengan mudah dalam kehidupan kita.
Refleksi: Abrasi Kebudayaan
4
Perubahan dalam masyarakat merupakan hasil dari pertemuan nilai-nilai. Ada
interaksi antara nilai yang satu dan nilai yang lain; ada dialog antara pandangan hidup
yang satu dan pandangan hidup yang lain. Ada ujian terhadap masing-masing sistem
kehidupan. Masyarakat akan berpikir dan bertindak sesuai dengan nilai, pandangan
hidup atau sistem kehidupan yang diterima. Tindakannya merupakan pancaran dari nilai,
pandangan hidup dan sistem kehidupan yang diterima. Bagaimana masyarakat berpikir,
bertindak, bekerja, menggunakan waktu, berkeluarga, berkehidupan sosial, bertetangga,
dan melakukan aktifitas lainnya ini semua merupakan gambaran dari nilai-nilai yang telah
diterima masyarakat.
Di sisi yang lain, kita juga harus menghadapi tantangan dari budaya Cina yang
akan mewarnai kehidupan kita. Pemikiran Confucianisme yang telah ribuan tahun
mempengaruhi bangsa Tionghoa, juga akan segera mempengaruhi masyarakat dan
budaya lokal kita. Di dalam negeri sendiri budaya lokal telah bersentuhan dengan budaya
lokal lainnya, misalnya mahasiswa yang pindah dari satu daerah ke daerah lain atau dari
kota yang satu ke kota lain membawa nilai-nilai budaya lokalnya. Mau tidak mau ia harus
menghadapi budaya yang ditemui di daerah atau kota yang baru.
Pertemuan antara dua atau beberapa budaya memang tidak dapat dihindari dan
akan ada benturan nilai serta sistem kehidupan. Benturan tidak selalu dalam bentuk
phisik, namun bisa berbuntut pada benturan phisik. Apa akibat dari pertemuan budaya
yang berbeda ini? Budaya yang kuat akan menang pada akhirnya sekalipun itu harus
melalui pertarungan yang keras dan waktu yang panjang. Bagaimana generasi Indonesia
menghadapi hal ini? apakah kita akan lari atau menutup diri seolah-olah pengaruh
budaya luar ini tidak ada? ataukah kita berdiam diri dan merelakan budaya lokal kita
hanyut?
Kita harus berbesar hati menghadapi kenyataan ini dan waspada terhadap nilainilai dari budaya luar. Kita perlu menilai budaya kita pada masa sekarang; nilai-nilai
manakah yang harus diambil dan nilai mana yang harus ditolak. Kita juga harus bersabar
bila nilai-nilai dari budaya yang tinggi akan memenangkan pertarungan, sebab ada
kemungkinan kita sendiri akan meninggalkan nilai-nilai budaya lokal dan merangkul nilainilai budaya luar yang kita anggap lebih baik.
Hadirnya Aula Simfonia Jakarta, Concert Hall yang bertaraf internasional di
Kemayoran Jakarta adalah contoh benturan budaya yang dapat kita lihat. Concert Hall ini
sudah menggairahkan dunia seni, khususnya seni musik klasik. Masyarakat yang
tingggal di Jakarta bisa menikmati pagelaran musik klasik di Concert Hall setiap bulan.
Kita tidak perlu pergi ke luar negeri untuk bisa menikmati keindahan karya-karya klasik
5
seperti karya Johan Sebastian Bach, Mozart, Beethoven, Strauss, Mendellson, dan
komposer besar lainnya. Tentu saja kita juga tidak dapat menolak keindahan musik klasik
yang sekaligus telah menjadi tantangan bagi musik tradisional. Itulah salah satu dampak
kehadiran budaya luar dalam kehidupan kita karena eksistensi kemanusiaan kita
memang dirancang untuk mengagumi hal-hal yang bermutu dan indah.
Demikian juga dalam masyarakat ada yang pro budaya lokal dan ada menolak.
Kemudian muncul pertanyaan,"Bagaimana menilai budaya lokal? dengan dasar apa kita
menilainya?" Mau tidak mau kita harus mencari jawabannya pada opsi-opsi yang ada.
Opsi pertama adalah menggunakan hati nurani dan akal. Manusia memiliki hati nurani
dan akal yang bisa membedakan apa yang benar dan tidak. Dengan demikian, kita
mempunyai kemungkinan untuk membuat penilaian terhadap budaya. Melalui rasio, kita
dapat membuat analisa dan kesimpulan apakah nilai-nilai budaya lokal benar atau tidak
benar. Namun demikian, ini bisa memicu munculnya pertanyaan. Apakah hati nurani atau
rasio atau diri kita dapat dijadikan sebagai patokan yang mutlak untuk mengevaluasi
budaya? Jawabannya mungkin tidak meyakinkan, karena manusia bukanlah sosok yang
mutlak, manusia bukan Tuhan. Manusia mempunyai banyak kesalahan dan kelemahan.
Sebab itu, opsi yang dapat kedua menjadi pilihan terakhir.
Opsi Kedua adalah menggunakan standar lain, yaitu Kitab Suci yang masih
dianggap sebagai pedoman bagi orang-orang yang percaya kepada Ketuhanan yang
Maha Esa untuk menilai setiap aspek kehidupan termasuk budayanya. Bila Tuhan adalah
mutlak dan Kitab Suci juga dianggap mutlak, maka masyarakat perlu melihat prinsipprinsip dalam Kitab Suci. Namun, bagaimana pandangan Kitab Suci terhadap budaya
tetap harus dilihat lebih jauh dalam pandangan agama-agama yang ada dengan
memperhatikan toleransi, atau kita masuk pada opsi paling akhir, yaitu kembali pada
Undang-Undang Dasar, atau budaya Indonesia akan menjadi sejarah seperti budaya
Sumerian, Mesopotamia, Mesir Kuno, dan Babilonia. Kini tinggal budaya barat dan
agama yang masih eksis, tentu saja budaya ini pun masih akan diuji oleh waktu, dan
seberapa kuat budaya ini akan bertahan?
Gunung Anyar, 12 Juli 2013
Bibliograf
6
Mengajar di Prodi Gizi STIKES Surabaya, dan Pernah menjadi bagian dari keluarga
Teater Witel VII, Kepala Bidang Pendidikan Anak di YPPAY Adinda Surabaya, dan sejak
tahun 2004 aktif melakukan berbagai penelitian psikologi, pengamat pendidikan dasar
dan menengah di LPKS Bintang Timur, dan menulis beberapa kumpulan essay dalam
kapasitas sebagai Ghost Writer. Aktif sebagai konsultan program pengembangan SDM di
Talent Club Resources Indonesia, dan sekarang dalam proses menulis buku-buku true
story, serta sebagai konsultan Statistik.
7