CERPEN BUNGA YANG BARU TIDAK SELALU BEGI

YANG BARU TIDAK SELALU BEGITU
"Wawa..!!!", teriak seseorang dari belakang.
Tidak, aku tidak akan menghiraukan siapapun yang memanggilku, aku berlari, terus
berlari. Seakan-akan tidak ada penghalang apapun dihadapanku. Kenapa? Kenapa aku harus
berlari sekencang ini. Tubuhku yang mungil ini terasa melayang-layang tinggi di udara. Jauh,
jauh, sangat jauh aku berlari, sampai-sampai aku tak ingat lagi kapan harus menapakkan kedua
kakiku ke tanah.
Tapi, kali ini aku harus berhenti. Ya, ini sudah saatnya untuk berhenti, tepat di depan
rumahku. Huh, aku tersenyum melihat sepasang sandal yang aku kenakan. Mungkin saat ini
mereka merasa lega, setelah berpetualang sangat jauh. Aku pun demikian, kutarik napas panjang,
lalu kukeluarkan semua sisa pernapasanku, sekaligus kukeluarkan segala penderitaan dari dalam
diriku.
“Darr!!!”, teriak seseorang mengagetkanku.
Jantungku yang baru saja dinetralkan, kembali mencapai titik maksimal. Jika aku berada
diposisi jantung, mungkin aku sudah melarikan diri dari tempat kerjaku. Kenyataannya,
jantungku ini bukan jantung biasa. Ia masih tetap bertahan pada posisinya, dan mengerjakan
tugasnya dengan baik. Orang itu benar-benar sukses mengagetkanku. Bukan hanya sekali ini
saja, tapi sudah berulang-ulang kali. Dan tetap saja aku kaget!
“Bapakkk!!! Udah dibilang jangan ngagetin! Masih aja ngagetin terus! Wawa tu gak suka
dikagetin!!!”, teriakku dengan muka masam.
“Makanya jangan keseringan melamun. Masih kecil kerjaannya melamun terus, gimana

besarnya nanti? Ngayal apa sih emangnya? Mau jadi pemain sinetron?”, celoteh bapakku
panjang.
“Apa sih pak..! udahlah..! coba bapak tu jangan ganggu Wawa terus..!”, jawabku serius.
Bapakku yang sudah tahu sifatku, hanya tersenyum kecil dan beranjak pergi
meninggalkanku. Tapi kemudian pandanganku langsung tertuju kepada boneka beruang kecil

berwarna pink kuning yang ada di genggaman Bapakku. Sepertinya aku pernah melihat boneka
itu, tapi aku tak tahu kapan aku melihatnya. Boneka itu tak asing lagi dipikiranku. Saat ini aku
merasa otak yang di dalam kepalaku ini sedang berputar-putar mencari tahu memori tentang
boneka beruang pink kuning itu.
“Pak itu boneka Wawa bukan?”, tanyaku.
“Hah? Gak tau ni. Bapak tadi nemu digudang, siapa tau ada yang mau, makanya bapak
ambil.”, jawab bapakku sambil menoleh ke belakang.
“Coba Wawa liat.”, seruku.
Aku berlari menghampirinya dan menyomot boneka yang digenggamannya itu.
“Ya! Aku ingat sekarang. Boneka ini, boneka pemberian Jojo saat hari ulang tahunku
yang ke 10 tahun dulu. Sekarang, siapa sangka umurku sudah 15 tahun? Jadi, itu sudah 5 tahun
silam? Cukup lama ternyata.”, gumamku dalam hati sambil terus memandangi boneka itu.
Tiba-tiba aku tertawa, untuk pertama kalinya aku tertawa lepas ditahun ini. Aku tertawa
seperti orang yang baru saja kehilangan beban dalam hidupnya. Aku kembali mengingat

kejadian-kejadian sekitar 5 tahun silam yang sudah hampir atau bahkan terlupakan. Aku baru
ingat, ada sesuatu dibalik boneka itu. Aku mencarinya, terus mencarinya, sampai akhirnya
kutemukan sebuah kertas lusuh dari dalam kantong boneka itu. Perlahan-lahan kubaca isinya.
“Jangan nakal lagi ya…
TTD.
- Jojo -”
Mungkin Jojo punya alasan, kenapa ia menulis itu. Dan pada akhirnya, aku memutuskan
untuk duduk ditangga depan rumahku. Angin sepoi-sepoi yang menyapaku, membuat mataku
merem melek. Seakan-akan aku sedang berada di dunia awang-awang yang damai. Kini aku
sudah mulai nyaman dengan keadaan ini. Aku kembali membuka file-file di dalam memori masa
laluku, kubuka salah satu file yang cukup membuatku penasaran apa isinya, disitu hanya tertera
tulisan“Yang Baru Tidak Selalu Begitu”.

******
Aku melihat diriku bersama dengan teman-temanku di dalam file itu. Di dalam, ya di
dalam. Lebih tepatnya di dalam kelas itu, kelas yang 5 tahun lalu aku tempati, kelas yang selalu
menerimaku apa adanya.
“Eh, katanya mau ada guru baru ya Wa?”, tanya Widia penasaran.
“Meneketehe, tumerejane, manaku tau.”, jawabku singkat.
Widia yang tidak puas dengan jawabanku langsung pergi dari hadapanku dengan muka

masam. Ia kembali melontarkan pertanyaan yang sama kepada Wida. Tapi, ia juga mendapat
jawaban yang sama seperti jawabanku tadi,
“Ah kalian mah, aku tanya juga, jawabnya gitu-gitu mulu. Kan sebel!”,ungkap Widia
kesal.
“Iya Wid, tadi aku liat di kantor ada ibu guru baru.”, jawab Jojo.
Akhirnya, rasa penasaran widia bisa terobati dengan jawaban sang pujaan hatinya itu. Ia
tersipu malu seketika itu juga melihat Jojo ada disebelahnya dan menjawab pertanyaannya itu.
Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang dari sebelumnya. Seketika seisi kelas pun rusuh.
Aku, Wida, Yuli, dan yang lainnya bersorak sorai melihat dua insan yang sedang tersipu malu
karena semua pandangan tertuju kepada mereka. Ya, beginilah keadaan anak-anak yang mulai
beranjak remaja, sudah mulai bertingkah. Apalagi tidak lama lagi, kami akan keluar dari sini dan
menempuh hidup baru, berkenalan dengan masa putih biru.
“Cie.. Widia.. cuit, cuit. Jojo juga cie, cie.”, gangguku.
******
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 9.30 WIB, waktu istirahat pun tiba. Aku dan
Wida yang dari tadi sudah berencana untuk membeli tekwan langsung buru-buru bergegas
menuju warung Bude Siti. Sudah lama sejak Bude Siti cuti berjualan aku tidak pernah lagi
membeli tekwan. Rasanya masih sama, super maknyos, apalagi kalau pedas, jadi ingin tambah
terus.


“Wa, kalo bener ada guru baru, terus ngajar kita, kita mau ngapain? Gak suka deh ada
yang baru-baru, pasti gak enak. Kayak si Ade, anak baru yang nyebelin itu, akhirnya dia pindah
kan.”, ucap Wida panjang lebar, sambil terus menyeruput kuah tekwannya.
“Kita kerjain aja kali ya? Atau kita gangguin aja biar dia gak betah, terus jadinya pindah,
hahaha.”, jawabku nyeleneh.
“Emang kamu kira kalo dikerjain atau digangguin guru barunya bakal pindah? kan dia
digaji wa.”, jawab wida.
“Oh ya? Terus? Kita yang pindah?”, tanyaku.
“Ini masalahnya guru Wa, bukan siswa. Kan takut, kalo entar kita dimarah sama Bu Tuti,
kepala sekolah kita tercinta.”, Wida kembali menjawab.
“Santai aja Wid. Tinggal kabur kan beres, kalo gak mau ketemu guru barunya. Gitu aja
kok repot.”, jawabku tenang.
“Kamu kalo disuruh ngasih ide tentang yang beginian aja, langsung encer otaknya.”, puji
wida.
“Iya dong, Wawa Sang Petualang dilawan.”, seruku bangga.
Wida menghela napas panjang dan kembali memakan pentol tekwannya yang tinggal satu
itu. Setelah puas makan tekwan, kami pun kembali ke kelas. Sebenarnya didalam hati, aku masih
memikirkan perkataan wida tadi, aku baru sadar kalau perkataannya itu ada benarnya juga. Aku
sangat-sangat tidak ingin ada guru baru yang mengajar di kelas kami. Sudah cukup si Desi, Latif,
Ira, dan terakhir si Ade saja yang tidak betah dan keluar gara-gara ulah kami. Entah kenapa aku?

tidak, bukan aku saja, tapi semua teman-temanku, tidak suka dengan sesuatu yang baru. Kami
menganggap itu, seperti penyeludup yang tiba-tiba masuk menyelinap ke rombongan kami yang
sudah sangat klop ini.
Sampai di kelas, Anton langsung menghampiriku, dan mengatakan bahwa besok kami
akan belajar Pendidikan Kewarganegaraan dengan ibu guru baru. Aku yang mendengar itu
langsung shock, rasanya aku ingin mati saat itu juga. Aku tidak tau lagi harus bagaimana, yang
pasti aku sangat tidak percaya bahwa apa yang aku takutkan benar-benar terjadi.

“Oh, ok ton. Siapa yang bilang itu? Terus kita harus apa? Sambut pake Tari Persembahan
gitu?”, tanyaku sok tenang.
“Tadi Pak Saragih datang ke kelas dan bilang begitu. Ya sambut seadanya aja, gak usah
pake nari segala.”, jawab anton sok mengerti ucapanku.
“Hellow? Emang siapa yang bilang mau nari anton!!!! Terima guru baru aja enggak, ini
malah pake nari-nari segala, males bangettt!!!”, seruku sewot.
“Iya, iya maaf Wa.. ngomongnya gak jelas sih, kan jadi gak connect. Gak baik seperti itu
Wa, kita kan belum tau gurunya seperti apa, siapa tau ibunya baik dan cantik.”, jawab Anton
meluruskan.
Tapi, aku sama sekali tidak tertarik dengan kata-kata Anton yang sok bijak itu. Sampai
kapan pun memang aku dan Anton tidak akan pernah bersatu. Kami selalu saja berbeda pikiran
dan berdebat. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, sampai akhirnya waktu yang

memisahkan dan menghentikan sidang isbat kami ini.
Seperti biasa, aku, Wida dan Widia membentuk forum dibelakang, dan membicarakan
tentang topik terhangat hari ini yaitu ibu guru baru. Lalu, kami mengambil kesimpulan untuk
dibicarakan ke yang lain. Kami berencana untuk tidak mengikuti pelajaran ibu itu besok, dan
tetap berada di luar. Siapapun yang menyuruh kami masuk, tidak akan kami dengarkan. Mau itu
teman yang berkhianat kek, cleaning service kek, guru kek, bahkan kepala sekolah sekalipun
tidak akan kami hiraukan. Tidak ada yang bisa meluluhkan tekad kami. Kami? tidak, mungkin
cuma aku saja, yang berani menanggung konsekuensinya, walaupun konsekuensinya itu adalah
harus angkat kaki dari sekolah ini. Aku tidak peduli, aku hanya tidak ingin ada yang baru
disekolah ini. Kami lebih memilih belajar semua mata pelajaran dengan wali kelas kami,
dibanding harus belajar dengan ibu guru baru. Walaupun wali kelasku sudah kolot dan tidak
menarik lagi. Aku membayangkan guru perempuan baru itu centil, sok cantik, sok baik, dan cari
perhatian. Dan pada kenyataannya, dia tidak bisa mengajar dengan baik, karena hanya
memikirkan fashionnya saja. Ditambah lagi ibu guru baru itu masih muda kata Jojo.
“Hush! Jangan bicara seperti itu. Posthink dong, ibu gurunya cantik dan baik kayak
aku.”, kata Keri.

“Kamu mau jadi pengkhianat ya Ker? Silahkan!”, bentakku sambil melotot kearah Keri.
Aku tahu betul, Keri akan diam jika aku sudah menjawab. Pasalnya, dia sangat takut
padaku. Aku memang sangat jahat disini, kalau aku mendapat peran di sinetron, mungkin aku

yang menjadi ibu tiri bawang putih. Tapi aku tidak jahat dengan semua orang. Aku hanya akan
jahat jika ada orang yang tidak sependapat padaku dan membantahku. Aku berharap setelah lulus
dari Sekolah Dasar aku bisa menjadi wanita yang kalem dan lemah lembut. Tapi entahlah jika
masih banyak orang yang menyebalkan, mungkin aku akan terus membasmi mereka.
Tak terasa sudah berjalan setengah hari, lonceng pulang sekolah berbunyi. Bulekku yang
sedari tadi sudah menungguku di dekat gerbang memanggilku.
“Wawa cepet!”
“Iya bulek..”, teriakku.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti pakaian dan makan siang. Beruntung
sekali aku hari ini, ibuku memasak makanan kesukaanku, Cumi Sambel Ijo. Selesai makan,
kucari posisi wenak di depan televisi. Aku sudah tidak sabar lagi menonton acara di MNCTV
siang ini, seperti biasa, “Upin Ipin dan Kawan-Kawan” dilanjutkan dengan “Boboi Boy”. Hobiku
memang menonton hal-hal yang berbau kekanak-kanakan. Aku merasa seperti anak berumur 4
tahunan jika menonton kartun ini. Kalau sudah begini, seketika aku bukan lagi ibu tiri bawang
putih yang selalu mengamuk seperti banteng yang melihat kain merah. Tapi, kini aku seperti
masha yang sangat lucu walaupun menjengkelkan.
**********
Keesokan harinya, aku bergegas bersiap-siap untuk sekolah. Sialnya, aku lupa
membereskan bukuku tadi malam, bapakku pun berangkat kerja lebih dulu dan meninggalkanku.
Pagi ini, aku harus siap menerima omelan dari ibu karena ketelambatanku. Jika ibuku sudah

mengomel, mulutku yang cerewet ini langsung diam seribu bahasa. Aku bukanlah apa-apa jika
dibandingkan dengan ibuku. Kalau diibaratkan, ibuku seperti nenek sihir yang siap
menjadikanku sarapannya pagi ini. Setelah melewati halang rintang yang begitu berat ini,
akhirnya Ibuku menyuruh aku untuk menunggu orang yang lewat di depan rumah untuk dimintai
tebengan. Padahal aku paling tidak suka jika harus melakukan ini. Tapi, jika aku tidak

melakukannya, mungkin aku tidak akan sampai ke sekolah. Jika aku memilih untuk berjalan
kaki, itu akan memakan waktu yang sangat lama, karena jarak dari rumahku ke sekolah sekitar 3
km.
Setelah lama menunggu, akhirnya aku pun mendapat tebengan dari tetanggaku yang
hendak pergi ke kebun. Sesampainya di sekolah, seperti biasa, teman-teman segengku
menghapiriku.
“Bos Kecil dari mana aja? Kok lama banget datengnya, macet ya bos? Hahaha.”, goda
wida.
“Iya.. jalan tolnya macet, jadi telat deh. Puas?!”, jawabku sinis.
“Eh, jangan marah dong. Ntar tambah kecil.”, ledek wida.
Kali ini aku benar-benar naik darah. Bahkan alat tensi darah pun tak mampu lagi
mengukur tekanan darahku yang sudah mendidih ini. Sudahlah kena omel Ibu. Eh, sekarang
malah ditambah dengan lawakan pagi yang sangat-sangat tidak lucu menurutku. Hampir saja aku
mengambil batu yang ada didekatku dan melemparkannya ke wajah Wida. Untung ada Jojo yang

melerai. Tapi aku malah melempar batu itu kearah Jojo, tapi sial, leparanku meleset.
Pandanganku beralih ke wanita yang ada dihadapanku diseberang sana. Ya, wanita itu
mengenakan pakaian formal rapi seperti guru. Tapi sepertinya, dia bukan guru di sekolahku. Aku
belum pernah melihatnya sama sekali di sekolahku. Baju dan rok hijau muda yang ia kenakan,
membuat pandangan semua orang tertuju padanya, termasuk aku.
“Itu dia ibu guru barunya.. cantikkan?”, seru Jojo meramaikan suasana.
“Hah? Cantik darimana Jo!? Orang belum keliatan juga mukanya. Huu…!”, jawabku
sinis.
“Santai Wa.”, jawab Jojo sok asik.
“Ih, gak suka deh ada guru baru! Sepakatkan ntar kabur pas ibu itu masuk?”, seruku.
“Oke Wa.”, jawab Widia.

Aku melirik kearah Wida. Sepertinya ia masih tidak enak denganku karena kejadian tadi.
“Oke aku ikut kalian”, jawab Wida lirih.
“Biarin aja yang lain, mereka kan mau jadi pengkhianat. Biar jadi anak kesayangan terus
dapet juara ngalahin aku.”, sindirku dengan menyombongkan diri.
Teng, teng, teng. Lonceng masuk berbunyi, aku, Wida, dan Widia, bergegas masuk ke
kelas. Aku menyeru kepada semua teman-temanku yang ada dalam. Tapi, seperti yang sudah aku
duga, pasti banyak yang berkhianat. Yang ikut denganku hanya ada 9 orang diantaranya ada
Wida, Widia, Yuli, Heni, Anisa, Edi, Kiki, Tri, bahkan Jojo yang tadinya memuji pun ikut

rombongan kami. Jujur, saat SD aku memang murid yang paling nakal. Tapi, walaupun nakal,
aku masih tetap memikirkan prestasi. Buktinya, aku tidak pernah keluar dari peringkat 3 besar di
sekolah. Aku dan 9 orang lainnya buru-buru pergi meninggalkan kelas, sebelum guru baru
masuk.
“Assalamualaikum WR. WB.”, ibu guru baru masuk kelas sambil mengucapkan salam.
“Walaikumsalam WR. WB.”, jawab para murid pengkhianat yang masih berada di dalam
kelas.
Ibu guru baru itu masuk dengan wajah berseri-berseri. Sepatunya yang tinggi dan roknya
yang sempit membuatnya agak susah untuk melangkahkan kedua kakinya. Kedua tangannya
masing-masing menggenggam sebuah handphone. Dari awal aku memang sudah tidak
menyukainya. Bagaimana mau mengajar? Nanti yang ada, ia malah sibuk menelepon orang lain.
Aku terus mengintipnya dari jendela, untuk memastikan pembicaraan mereka.
“Kok sedikit sekali orangnya? Bukannya ada 28 orang ya? Kemana yang lain?”,
Tanyanya keheranan.
Tidak ada respon dari anak-anak, mereka semua terdiam. Begitu pula dengan sang guru.
Mungkin karena dia guru baru, jadi dia tidak begitu mempermasalahkan hal itu. Buktinya, dia
tidak kepo dengan pertanyaan yang belum dijawab tadi dan langsung memperkenalkan diri.
“Baiklah, perkenalkan nama lengkap saya Nur Kumala, kalian bisa panggil saya bu Nur.”

Aku tetap pada posisi awalku dan terus mengintip mereka dari jendela. Sampai-sampai

aku tidak sadar, kalau diam-diam Bu Nur memperhatikanku. Ia sudah mengetahui keberadaanku.
Dan betapa kagetnya aku ketika Bu Nur melangkahkan kakinya ke arahku. Aku yang sudah
tertangkap basah ini langsung panik dan berencana lari. Tapi, Bu Nur mempercepat langkahnya
dan langsung membuka jendela.
“Heyy…! Kalian bersepuluh kenapa tidak masuk kelas? Malah mengintip lagi!”, teriak
Bu Nur yang membuat kami sangat ketakutan.
“Mau ngambil tas bu..”, jawabku ringan.
“Memangnya kalian mau kemana?”, Tanya Bu Nur.
“Mau Kabur bu.”, aku kembali menjawab dengan santai, seperti berbicara dengan teman
sebaya.
“Astaghfirullahaladzim.. ada ya siswa yang seperti ini. Tidak tau sopan santun. Ibu sangat
kecewa dengan kelas ini terutama kepada kalian bersepuluh, baru kali ini ibu melihat ada siswa
yang seperti ini.”, jawab Bu Nur dengan muka memerah.
“Abisnya kita gak mau ada guru baru, guru baru tu ngeselin, kayak ibu. Baru masuk udah
marah-marah.”, jawab Widia.
Tak bisa dibayangkan bagaimana raut wajah Bu Nur saat itu, ia mengelus dadanya
berulangkali sambil terus beristighfar. Tapi entah mengapa tidak ada rasa takut sedikitpun
dibenakku. Karena kami tak ingin berlama-lama berurusan dengan Bu Nur, kami bersepuluh
beramai-ramai masuk kedalam kelas dan mengambil tas masing-masing, lalu pergi berlari ke
luar. Bu Nur yang melihat kejadian itu semakin naik darah. Tapi, kami tetap saja berlari dan tidak
menghiraukannya.
“Mau kemana kalian?!”, teriak bu Nur lagi.
Kami sama sekali tidak menghiraukannya lagi, dan langsung kabur menjauh dari ruang
kelas kami. Sialnya, kami tertangkap basah dengan guru lain. Walaupun sudah tertangkap basah,
kami masih bisa lari. Bahkan, kami main kejar-kejaran dengan satpam. Sampai akhirnya kami
bertemu dengan Bu Tuti, kepala sekolah kami tercinta. Sepertinya Bu Tuti marah besar melihat

tingkah kami. Bisa dilihat dari wajahnya yang seketika berubah menjadi api yang berkobarkobar. Tapi, entah setan apa yang sudah merasuki tubuh kami. Tanpa rasa takut sedikitpun, kami
bersepuluh bisa kabur dari hadapannya. Sampai akhirnya, kami bersepuluh bisa sampai di pintu
gerbang sekolah dan berhasil melarikan diri. Setelah dipikir-pikir, masalahnya memang sepele,
hanya tidak ingin ada guru baru. Tapi, karena kami memang punya jiwa-jiwa pemberontak, ya
begini akhirnya.
Sesampainya di rumah, aku sudah tidak punya pikiran lagi untuk mengganti pakaian.
Langsung kurebahkan badanku di atas kasur dan tertidur pulas sampai sore.
*****
Tak terasa malam sudah berganti pagi, matahari sudah mulai menampakkan wajahnya.
Hari ini aku sangat takut sekali berangkat sekolah, akibat ulah kami kemarin. Pasalnya, itu
adalah bagian dari kenakalan kami yang paling parah. Tapi, karena memang aku sudah bebal,
jadi aku merasa tenang-tenang saja dan tetap berangkat sekolah seperti biasanya.
Benar dugaanku, saat jam pelajaran dimulai, wali kelasku masuk dengan muka yang
berbeda, tidak seperti biasanya, yang selalu menebarkan senyuman. Kami sekelas mendapat
omelan yang sangat pedas dari Pak Parjio, padahal Pak Parjio terkenal sebagai guru yang paling
ramah. Aku sadar, apa yang aku perbuat memang sudah keterlaluan. Kami, sepuluh orang
pembuat onar kemarin, oleh Pak Parjio disuruh menghadap Bu Nur dan meminta maaf
kepadanya.
Aku dan Sembilan orang lainnya, saat jam istirahat langsung pergi ke kantor untuk
menemui bu Nur. Tapi ternyata bu Nur tidak ada. Yang membuat kami sangat kaget adalah ketika
guru piket mengatakan bahwa Bu Nur sakit, sehingga tidak bisa masuk. Aku yang kemarin
beradu mulut dengan bu Nur sangat merasa bersalah, dan berencana sepulang sekolah nanti
membeli sesuatu sebagai tanda permohonan maaf. Kami bersepuluh sepakat untuk iuran dan
membelikan mainan jilbab untuk Bu Nur sebagai tanda permohonan maaf.
******
Keesokan harinya, aku melihat Bu Nur sudah masuk. Kami bersepuluh langsung
bergegas menemuinya dan meminta maaf.

“Ibu.. kami semua minta maaf ya bu.. kami janji tidak akan mengulanginya lagi.”, kataku
sambil menyalami bu Nur dan memberikan mainan jilbab yang kami beli kemarin.
“Iya, ibu maafkan.. lain kali jangan seperti itu lagi. Ibu juga minta maaf karena sudah
marah-marah kemarin. Ngomong-ngomong terimakasih hadiahnya. Hehehe.”, jawab Bu Nur
sambil tertawa.
Spontan kami semua yang ada disini tertawa. Kami bersepuluh, ditambah Bu Nur saling
berpelukan. Akhirnya, aku sadar, bahwa tidak semua yang baru itu begitu. Aku terlalu cepat
mengambil kesimpulan. Bu Nur guru yang sangat baik, dia penyayang. Dari sini aku bisa belajar
untuk menerima. Menerima apapun itu.
Kini, aku sudah mulai beranjak dewasa. Jika kuingat-ingat lagi masa itu, rasanya sungguh
mengharukan sekali. Siapa yang menyangka kalau saat ini Bu Nur menjadi tetanggaku?
“Darr!!!”
Bapakku kembali membuyarkan lamunanku. Untung saja semuanya sudah berakhir.
Kembali kutatap boneka pemberian Jojo yang sedari tadi kubiarkan berada disampingku. Lalu,
kembali kubaca tulisan di kertas lusuh itu. Dan aku pun tersenyum.
“Terimakasih Jojo..”,ucapku dalam hati.