BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1 Konsep Remaja 2.1.1 Defenisi Remaja - Perkembangan Psikososial Remaja Pasca Erupsi Gunung Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

BAB 2 TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Remaja

2.1.1 Defenisi Remaja

  Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Remaja (adolescence) adalah masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Jika dilihat dari perkembangan psikososial menurut Erikson masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Pada masa ini remaja akan menghadapi masa krisis, masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilaluinya. Keberhasilan menghadapi krisis akan mengembangkan kepercayaan dirinya, berarti mampu mewujudkan jati dirinya (self identity) sedangkan kegagalan dalam menghadapi krisis remaja akan mengalami

  identity confusion atau kebimbangan identitas diri (Erikson, 1968 dalam

  Santrock, 2003). Masa ini berlangsung pada usia 12-18 tahun (Erikson, 1968 dalam Upton, 2012).

  7

  2.1.2 Perkembangan Fisik Pada Masa Remaja

  Perubahan fisik sudah dimulai pada masa praremaja dan terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang akan makin sempurna pada masa remaja pertengahan dan remaja akhir. Maturasi seksual terjadi seiring dengan perkembangan karakteristik seksual primer dan sekunder.

  Karakteristik primer berupa perubahan fisik dan hormonal yang penting untuk reproduksi dan karakteristik sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelaminnya, perubahan fisik yang terjadi yaitu perkembangan kecepatan pertumbuhan skelet, seperti pertumbuhan skelet, otot, dan viseral. Perubahan spesifik seks, seperti perubahan bahu dan lebar pinggul. Perubahan distribusi otot dan lemak perkembangan sistem reproduksi dan karakteristik seks sekunder (Potter & Perry, 2005).

  2.1.3 Perkembangan Kognitif Masa Remaja

  Dalam tahapan perkembangan kognitif remaja, terjadi perubahan dalam pemikiran dan lingkungan sosial remaja yang akan menghasilkan tingkat perkembangan yang intelektual yang tinggi. Pada tahap ini remaja telah mampu memperkirakan suatu kemungkinan, mengurutkannya, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan secara logis. Remaja dapat berfikir abstrak dan menghadapi masalah hipotetik secara efektif.

  Jika berkonfrontasi dengan masalah, remaja dapat mempertimbangkan berbagai penyebab dan solusi yang tepat. Untuk pertama kalinya remaja dapat mengalami kemajuan proses berfikir yang sebelumnya masih bersifat fisik/konkret menjadi bersifat abstrak seperti saat anak usia sekolah hanya berfikir mengenai hal yang sedang terjadi sedangkan remaja telah mampu membayangkan hal apa yang akan terjadi (Potter & Perry, 2009).

2.1.4 Perkembangan Psikososial Masa Remaja

  Pencarian identitas diri merupakan tugas utama remaja dalam perkembangan psikososial tahap perkembangan ini disebut tahapan identitas versus kebimbangan identitas. Setiap remaja pada dasarnya dihadapkan pada suatu krisis yang berhubungan dengan tugas perkembangannya. Keberhasilan menghadapi krisis akan meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan dirinya, berarti mampu mewujudkan jati dirinya sehingga remaja merasa siap untuk menghadapi tugas perkembangan berikutnya dengan baik, dan sebaliknya, individu yang gagal dalam menghadapi suatu krisis cenderung akan memiliki kebingungan identitas. Individu yang mengalami kebingungan identitas ditandai dengan adanya perasaan tidak mampu, tidak berdaya, penurunan harga diri, dan tidak percaya diri, akibatnya ia pesimis menghadapi masa depannya (Erikson, 1968 dalam Dariyo, 2004).

  Tugas perkembangan remaja pada masa remaja adalah memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya baik pria maupun wanita, memperolah peranan sosial, menerima kondisi fisiknya, memperoleh kebebasan emosionil dari orangtua dan orang dewasa lainnya, mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri, memilih da mempersiapkan lapangan pekerjaan, membentuk sistema nilai-nilai moral, dan falsafah hidup(Gunarsa. D, 2003).

  Proses pembentukan identitas diri adalah proses yang panjang yang dan kompleks yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu, sekarang, dan yang akan datang dari kehidupan individu, dan hal ini akan membentuk kerangka berfikir untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan perilaku ke dalam bidang kehidupan. Dengan demikian individu dapat menerima dan menyatukan kecenderungan pribadi, bakat, dan peran yang diberikan oleh orang tua, teman sebaya maupun masyarakat dan pada akhirnya dapat memberikan arah tujuan dan arti dalam kehidupan mendatang (Soetjiningsih, 2004).

  Pada saat memasuki usia remaja, remaja akan dihadapkan pada suatu pertanyaan yang penting yaitu tentang “siapa aku”. Pada saat bersamaan, ketika remaja merasakan ketidakpastian akan dirinya, lingkungan masyarakat sekitar mulai menanyakan hal–hal yang berkaitan dengan remaja, misalnya remaja sudah harus mulai membuat langkah awal menentukan karir, pendidikan dimasa depan, dan gaya hidupnya. Dengan demikian remaja harus berusaha menemukan jawabanya baik untuk dirinya sendiri maupun bagi masyarakat sekitar (Erikson, 1968 dalam Soetjiningsih, 2004). Dalam perkembangan psikososial remaja dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu:

2.1.4.1 Hubungan dengan orang tua

  Pada masa remaja, remaja cenderung menginginkan kemandirian dan kebebasan dalam mengeksplorasikan diri sehingga dengan sendirinya keterikatan dengan orang tua berkurang. komunikasi yang efektif dan pola asuh yang demokratif adalah cara yang paling baik untuk menyelesaikan masalah ini. Komunikasi yang terbuka dimana masing–masing anggota keluarga dapat berbicara tanpa adanya perselisihan akan memberikan kekompakan dalam keluarga sehingga hal tersebut juga dapat membantu remaja dalam proses pencarian identitas diri (Potter & Perry, 2009).

  Jersild dkk, 1998 dalam Ali dan Asrori, 2004 mengatakan remaja memiliki perjuangan untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan dari orang tua untuk mencapai status dewasa. Dengan demikian, ketika berinteraksi dengan orang tua, remaja mulai berusaha meninggalkan kemanjaan dirinya dengan orang tua dan semakin bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akibatnya remaja sering kali mengalami pergolakan dan konflik ketika berinteraksi dengan orang tua. Remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan orang dewasa dan berinteraksi dengan lancar dengan mereka. Namun, usaha remaja ini sering kali memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh dari orangtua yang sebenarnya masih belum bisa melepaskan anak remajanya secara penuh. Akibatnya, remaja sering kali menentang gagasan–gagasan dan sikap orang tuanya.

2.1.4.2 Hubungan dengan saudara kandung

  Hubungan saudara sekandung remaja meliputi menolong, berbagi, mengajar, bertengkar, dan bermain, dan saudara sekandung remaja bisa bertindak sebagai pendukung emosi, lawan, dan teman komunikasi. Dalam beberapa contoh, saudara sekandung bisa lebih kuat mempengaruhi remaja dibandingkan dengan orang tua. Seseorang yang usianya dekat dengan si remaja seperti saudara kandung mungkin bisa lebih memahami masalah remaja dan berkomunikasi lebih efektif dari pada orang tua. Dalam berhadapan dengan teman sebaya, menghadapi guru yang sulit, dan mendiskusikan masalah yang tabu (seperti seks), saudara sekandung bisa lebih berpengaruh dalam melakukan sosialisasi terhadap remaja dibandingkan dengan orangtua (Santrock, 2003). Saudara sekandung yang lebih muda jarang memahami kebutuhan pribadi remaja untuk berfikir dan berinteraksi dengan teman kelompoknya. Pada saat tertentu remaja menyukai interaksi dengan saudara sekandung yang lebih muda (Potter & Perry, 2009).

2.1.4.3 Hubungan dengan kelompok

  Dalam perkembangan sosial remaja mulai memisahkan diri dari orang tua dan mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group). Kelompok sebaya menjadi begitu berarti dan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial remaja. Kelompok sosial juga merupakan wadah untuk belajar kecakapan–kecapakan peran karena dalam kelompok remaja menjalani berbagai peran, remaja juga sangat bergantung kepada teman sebagai sumber kesenangan dan keterikatannya dalam kelompok sangat kuat. Keterikatan tersebut akan bertambah dengan meningkatnya frekuensi interaksi di antara anggota kelompok. Dalam pembentukan kelompok biasanya muncul perilaku konformitas kelompok, dimana remaja akan berusaha untuk dapat menyesuaikan dirinya dan menyatu dengan kelompok agar diterima di dalam kelompoknya, kelompok teman merupakan faktor pengaruh yang penting bagi remaja yang semakin membutuhkan pengakuan dan penerimaan masyarkat. Hubungan teman sebaya yang buruk dan penolakan dari teman sebaya dapat menyebabkan remaja mengalami depresi (Soetjiningsih, 2004).

2.1.4.4 Konsep Diri

  Konsep diri adalah gambaran diri tentang aspek fisiologis maupun psikologis yang berpengaruh pada perilaku dalam penyesuaian diri dengan orang lain. Aspek fisik meliputi warna kulit, bentuk tubuh (gemuk/kurus), tinggi badan (tinggi/pendek), wajah (cantik/tampan).

  Sedangkan aspek psikologis meliputi kebiasaan, kepribadian, watak, sifat, kecerdasan, minat bakat, dan kemampuan – kemampuan lain.

  Sejauh mana individu menyadari dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan yang ada pada dirinya, maka akan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya. Jika individu mampu menerima kelebihan dan kekurangan tersebut, dalam diri individu akan tumbuh konsep diri positif, sebaliknya jika individu tidak mampu menerimanya, maka akan cenderung menumbuhkan konsep diri yang negatif. Konsep diri yang baik, akan mempengaruhi kemampuan individu dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya dengan baik. Sebaliknya, jika konsep dirinya negatif, cenderung menghambat dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya (Dariyo, 2004).

  Kelompok sebaya merupakan kekuatan utama dalam membentuk konsep diri anggota kelompok. Popularitas dan pengakuan dalam kelompok sebaya dapat meningkatkan harga diri, kepercayaan diri, dan memperkuat konsep diri remaja. Keterlibatan yang total dalam kelompok membuat remaja terlihat tidak mampu mengambil keputusan sendiri dan merasa tidak percaya diri Remaja yang lepas dari kelompok sebayanya dan terisolasi akan mencari dan mengembangkan identitasnya sendiri (Potter & Perry, 2009).

2.1.4.5 Ketakutan

  Takut pada usia remaja berpusat pada penerimaan kelompok sebaya, perubahan tubuh, hilangnya pengendalian diri, munculnya dorongan seksual. Remaja sering mengamati perubahan dan ketidaksempurnaan pada tubuhnya. Adanya kelainan yang nyata dan tidaknya menyebabkan remaja merasakan kekhawatiran yang terus menerus (Potter & Perry, 2009).

  2.1.4.6 Pola Koping

  Perilaku meniru koping dikembangkan dari pengalaman remaja sehari-hari dan dari maturasi kognitif yang berkembang. Kemampuan untuk memecahkan masalah melalui tindakan logis, sudah dapat berfikir abstrak dan menghadaapi masalah hipotenik secara efektif, jika berkonfrontasi dengan masalah, remaja dapat mempertimbangkan beragam penyebab dan solusi yang banyak. Beberapa remaja menggunakan strategi koping penghindaran ketika suatu masalah tidak bisa di atasi dan suatu usaha dilakukan untuk mengurangi ketegangan dengan ikut terlibat dalam perilaku kenakalan remaja seperti penggunaan zat kimia terlarang (Potter & Perry, 2009).

  2.1.4.7 Moral

  Perkembangan penerimaan moral bergantung sekali dengan keterampilan kognitif dan komunikasi serta interaksi dengan orang lain.

  Pada tingkat tertinggi, moralitas di dapat dari prinsip hati nurani individu. Remaja menilai dirinya sendiri dengan ide internal, yang sering menyebabkan konflik antara nilai diri dan kelompok. Perkembangan moral remaja digambarkan sebagai tahap yang konvensional, tahap ini dicirikan dengan kemampuan untuk mengambil perspektif moral orang tua dan anggota masyarakat ke dalam dirinya untuk di pertimbangkan (Kohlberg, 1964 dalam Potter & Perry 2005).

  2.1.4.8 Aktifitas Pengalih

  Kebanyakan remaja mengembangkan minat khususnya pada olah raga tertentu dan berkonsentrasi pada perkembangan keterampilan. Sering melakukan aktifitas rekreasi dan berusaha memiliki barang-barang yang sedang popular di kalangan sebaya seperti komputer dan mobil (Potter & Perry, 2009).

  2.1.4.9 Nutrisi

  Kebutuhan nutrisi total sangat dibutuhkan pada masa remaja untuk membantu proses pertumbuhan dan perkembangan remaja, jika asupan nutrisi tidak adekuat maka proses tumbuh kembang remaja akan terganggu baik di metabolisme, tingkat aktifitas, tampilan fisik, dan maturasi seksual (Soetjiningsih, 2004). Seorang remaja yang berada pada tahap masa krisis identitas, hal ini mendorong remaja untuk mencari jati diri, dengan cara mewujudkan keinginannya agar menjadi individu yang sempurna secara intelektual, kepribadian, maupun penampilan fisiknya agar dapat menarik perhatian lawan jenisnya maka salah satu upaya yang di lakukan adalah berusaha memiliki bentuk tubuh yang ideal misalnya mengatur pola makan. Sebahagian remaja memiliki kecemasan yang tinggi jika ia gagal mengatur pola makannya dan khawatir dirinya menjadi gemuk. Sehingga kebanyakan remaja melakukan diet atau pantangan terhadap pola kebiasaan makan secara ketat. Akan tetapi kebanyakan remaja tidak tahu tentang pola makan yang baik sehingga sampai mengganggu pola pengaturan makan yang baik akibatnya remaja mengalami gangguan makan (Dariyo, 2004).

2.2 Konsep Bencana

  2.2.1 Defenisi Bencana

  Bencana diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan atau penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis (UU Nomor 24 Tahun 2007). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bencana mempunyai arti sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, atau penderitaan.

  2.2.2 Jenis – Jenis Bencana

  Jenis – jenis bencana menurut Undang–Undang No.24 Tahun 2007, antara lain :

  a. Bencana alam Bencana alam adalah bencana yang di akibatkan oleh peristiwa alam seperti : gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

  b. Bencana non alam Bencana non alam adalah bencana yang di akibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam seperti gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. c. Bencana sosial Bencana sosial adalah bencana yang di akibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang di akibatkan oleh manusia seperti adanya konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan teror.

2.2.3 Dampak Bencana Terhadap Psikososial

  Bencana alam memiliki efek yang sangat besar terhadap individu, keluarga, dan komunitas. Bencana alam menyebabkan kerusakan yang luas pada harta benda dan dapat menimbulkan masalah dalam finansial. Pada kasus yang lebih buruk, bencana dapat menyebabkan luka-luka dan kematian. Bencana alam juga dapat menimbulkan masalah kesehatan mental yang efeknya dapat berlangsung selama beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah bencana. Dampak yang ditimbulkan sangatlah kompleks, selain masalah pengungsi, kerusakan infrastruktur terputusnya jalur komunikasi dan transportasi menjadi masalah kompleks lainnya. Kerusakan-kerusakan fisik dan psikis pun tentunya menjadi meningkat (Stanley & Williams, 2000 dalam Afrianti, 2011).

  Dampak fisik meliputi kondisi fisik yang cedera ataupun terluka akibat bencana selain itu badan terasa tegang, cepat lelah, susah tidur, mudah terkejut, palpitasi, mual, perubahan nafsu makan dan kebutuhan seks menurun (Masykur, 2006). Secara teoritis, individu-individu yang mengalami bencana dan kehilangan keluarga memiliki kecenderungan mengalami gangguan psikologis. Gangguan psikologis yang dimungkinkan terjadi pada korban bencana adalah stres berat, stres akut dan Post-Traumatic Stress Disorders. Gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kecemasan akibat kejadian traumatis, seperti perang, pemerkosaan, dan bencana alam. Kejadian traumatis itu menyebabkan individu yang mengalami kejadian traumatisnya, atau tidak bisa menghilangkan kejadian traumatis meskipun peristiwanya sudah lampau, berkurangnya respon terhadap dunia luar seperti berkurangnya minat untuk melakukan aktifitas yang berarti, merasa asing terhadap orang lain, efek depresif (murung, sedih, putus asa), mimpi buruk, mimpi kejadian traumatisnya secara terus menerus atau mengalami gangguan tidur, mudah marah, kesulitan konsentrasi, merasa waspada, terkejut dan ketakutan yang berlebihan (Davison & Neale, 1996 dalam Hartini 2010).

Dokumen yang terkait

2.1 Prediksi Curah Hujan - Prediksi Curah Hujan Menggunakan Weighted Evolving Fuzzy Neural Network (WEFuNN)

0 0 22

Gambaran Kualitas Hidup Pasien Paska Stroke di RSUD Gunungsitoli

0 1 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1. Defenisi Stroke - Gambaran Kualitas Hidup Pasien Paska Stroke di RSUD Gunungsitoli

0 0 14

I. Pengetahuan mengenai SADARI - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Hkbp Nomensen Pematang Siantar Tahun 2013

0 2 40

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Payudara 2.1.1. Pengertian Kanker Payudara - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Univers

0 0 46

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Sadari Terhadap Pengetahuan Dan Sikap Mahasiswa Dalam Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara Di Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Hkbp Nomensen Pematang Siantar Tahu

0 0 7

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Suara - Penerapan Perintah Suara Berbahasa Indonesia untuk Mengoperasikan Perintah Dasar di Windows

0 1 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kolaborasi 2.1.1 Defenisi Kolaborasi - Analisis Kepuasan Perawat Dalam Pelaksanaan Kolaborasi Perawat-Dokter Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

1 2 14

Penilaian Higiene dan Sanitasi Penjualan Makanan Pecel dan Pemeriksaan Salmonella di Kecamatan Medan Helvetia 2015

0 3 15

Perkembangan Psikososial Remaja Pasca Erupsi Gunung Sinabung di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

0 0 36