BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Biometrika - Aplikasi Pendeteksian Wajah Manusia untuk Menghitung Jumlah Manusia Menggunakan Metode Viola-Jones

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1. Sistem Biometrika 2.1.1.

   Pengertian Sistem Biometrika

  Biometrik berasal dari bahasa Yunani bios yang artinya hidup dan metron yang artinya mengukur adalah studi tentang metode otomatis untuk mengenali manusia berdasarkan satu atau lebih bagian tubuh manusia atau kelakuan dari manusia itu sendiri yang memiliki keunikan. Dalam dunia teknologi informasi, biometrik relevan dengan teknologi yang digunakan utnuk menganalisa fisik dan kelakuan manusia untuk autentifikasi (Putra, 2010). Contohnya dalam pengenalan fisik manusia yaitu dengan pengenalan sidik jari, retina, iris, pola dari wajah (facial patterns), tanda tangan dan cara mengetik (typing patterns). Dengan suara adalah kombinasi dari dua yaitu pengenalan fisik dan kelakuannya Dalam teknologi terkini ditawarkan adanya beberapa kemudahan, seperti akses, pelayanan, dan sistem informasi. Kemudahan tersebut dapat dirasakan seperti pada mekanisme pengambilan uang melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri), mekanisme memperoleh sistem informasi (internet). Mekanisme tersebut diperlukan adanya jaminan kerahasiaan sehingga tidak dapat ditiru oleh user yang bukan berhak. Salah satu alat untuk menjamin bahwa yang berhak mendapatkan layanan itu harus memberikan data identifikasi. Sistem identifikasi tersebut bersifat otomatis dengan memberikan inputan identifikasi personal. Saat ini terdapat beragam jenis aplikasi sistem keamanan yang dapat mengindentifikasi dan memverifikasi individu dengan baik. Dua pendekatan tradisional untuk pengenalan individu yang dikenal selama ini adalah pendekatan berbasis pengetahuan (knowledge based), dimana seseorang yang akan masuk ke dalam sistem keamanan perlu memasukkan password tertentu. Pendekatan lain adalah berbasis token (token based), dimana diperlukan suatu benda atau pengenal khusus seperti kartu magnetik untuk masuk ke dalam sistem keamanan. Kedua pendekatan di atas memiliki kelemahan, diantaranya : individu yang bersangkutan seringkali lupa dengan kata kuncinya atau kartu magnetik yang menjadi kunci masuk ke dalam sistem keamanan hilang atau dicuri orang. Pengenalan Biometrik merupakan alternatif pengenalan individu selain pendekatan tradisional di atas, atribut biometrik yang diturunkan oleh seorang individu tidak mungkin terlupakan atau hilang dicuri. Wajah, sidik jari, telapak tangan, iris atau retina mata merupakan contoh karakteristik fisiologis yang menjadi penanda atau ciri individu.

  Pengertian pengenalan secara otomatis pada definisi biometrik adalah dengan menggunakan teknologi (computer), pengenalan terhadap identitas seseorang dapat dilakukan secara waktu nyata (realtime), tidak membutuhkan waktu berjam-jam atau berhari-hari untuk proses pengenalan tersebut (Sutoyo, 2009). Sistem akan mencari dan mencocokkan identitas seseorang dengan suatu basis data, acuan yang telah disiapkan sebelumnya melalui proses pendaftaran. Contohnya sistem absensi menggunakan sidik jari. Sistem biometrika akan melakukan pengenalan secara otomatis atas identitas seseorang berdasarkan suatu ciri biometrika yang telah disimpan dalam database. Secara umum terdapat dua model sistem biometrika, yaitu:

  1) Sistem Verifikasi

  Sistem verifikasi bertujuan untuk menerima atau menolak identitas yang telah diklaim oleh seseorang. 2)

  Sistem Identifikasi Sistem identifikasi bertujuan untuk memecahkan identitas seseorang.

  Pengguna tidak dapat memberikan klaim atau memberikan klaim negatif untuk identitas yang telah terdaftar. Penggunaan biometrik untuk sistem pengenalan memiliki beberapa keunggulan dibanding sistem konvensional (penggunaan password, PIN, kartu, dan kunci), di antaranya (Putra, 2010):

  1) Non-repudation: suatu sistem yang menggunakan teknologi biometrik untuk melakukan suatu akses, penggunaanya tidak akan menyangkal bahwa bukan dia yang melakukan akses atau transaksi. Hal ini berbeda dengan penggunaan

  password atau PIN. Pengguna masih dapat menyangkal atas transaksi yang dilakukanya, karena PIN atau password bisa dipakai bersama-sama.

  2) Keamanan (security): sistem berbasis password dapat diserang menggunakan metode atau algoritma brute force, sedangkan sistem biometrik tidak dapat diserang dengan cara ini, karena sistem biometrika membutuhkan kehadiran pengguna secara langsung pada proses pengenalan.

  3) Penyaringan (screening) : proses penyaringan untuk mengatasi seseorang yang menggunakan banyak identitas, seperti teroris yang dapat menggunakan lebih dari satu paspor untuk memasuki satu negara. Sebelum menambahkan identitas seseorang ke sistem, perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa identitas orang tersebut belum terdaftar sebelumnya. Untuk mengatasi masalah tersebut maka diperlukan proses penyaringan identitas yang mana sistem konvensional tidak dapat melakukanya. Biometrika mampu menghasilkan atau menyaring beberapa informasi sidik jari atau wajah yang mirip dengan sidik jari atau wajah yang dicari.

2.2. Metode Viola

  • – Jones

  Metode Viola-Jones merupakan metode pendeteksian obyek yang memiliki tingkat keakuratan yang cukup tinggi yaitu sekitar 93,7 % dengan kecepatan 15 kali lebih cepat daripada detektor Rowley Baluja-Kanade dan kurang lebih 600 kali lebih cepat daripada detektor Schneiderman-Kanade. Metode ini, diusulkan oleh Paul Viola dan Michael Jones pada tahun 2001 (Viola, 2004). Metode Viola-Jones menggabungkan empat kunci utama yaitu Haar Like Feature, Integral Image, Adaboost learning dan

  

Cascade classifier. Haar Like Feature yaitu selisih dari jumlah piksel dari daerah di

dalam persegi panjang. Contoh Haar Like Feature disajikan dalam Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Contoh Haar Like Feature (Viola, 2004) Nilai Haar Like Feature diperoleh dari selisih jumlah nilai piksel daerah gelap dengan jumlah nilai piksel daerah terang: (2.1)

  F Harr = ∑ F white - ∑ F Black F Harr = Nilai fitur total ∑ F white = Nilai fitur pada daerah terang ∑ F Black = Nilai fitur pada daerah gelap Setiap Haar-Like Feature terdiri dari gabungan kotak-kotak hitam dan putih.

  Ada tiga tipe kotak feature dalam Haar:

  a. Tipe two-rectangle feature (horizontal, vertikal)

  b. Tipe three-rectangle feature

  c. Tipe four-rectangle feature

Gambar 2.2. Variasi Fitur pada Haar (LienHart et al, 2002)

  

Integral Image yaitu suatu teknik untuk menghitung nilai fitur secara cepat dengan

  mengubah nilai dari setiap piksel menjadi suatu representasi citra baru, sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.3.

X,Y

Gambar 2.3. Integral image (x,y) (Viola, 2004) Berdasarkan Gambar 2.3, citra integral pada titik (x,y) (ii(x,y)) dapat dicari menggunakan persamaan (2.2):

  i(x’,y’)

  ii(x,y) = (2.2) ∑x’ ≤ x, y’ ≤ y

  Keterangan ii(x,y) = Citra integral pada lokasi x,y i(x = nilai piksel pada citra asli

  ’,y’) Perhitungan nilai dari suatu fitur dapat dilakukan secara cepat dengan menghitung nilai citra integral pada empat buah titik sebagaimana disajikan dalam Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Perhitungan Nilai Fitur (Viola, 2004)

  Jika nilai integral image titik 1 adalah A, titik 2 adalah A+B, titik 3 adalah A+C, dan di titik 4 adalah A+B+C+D, maka jumlah piksel di daerah D dapat diketahui dengan cara 4+1 – (2+3). Algoritma Adaboost learning, digunakan untuk meningkatkan kinerja klasifikasi dengan pembelajaran sederhana untuk menggabungkan banyak classifier lemah menjadi satu classifier kuat. Classifier lemah adalah suatu jawaban benar dengan tingkat kebenaran yang kurang akurat. Sebuah classifier lemah dinyatakan:

  1, ( )< 0 ( )

  Hj (x) = (2.3) {

  0,

  Keterangan : H j (x) = adalah klasifikasi lemah p j = adalah parity ke j q j = adalah threshold ke j x = adalah dimensi sub image misalnya 24x24

  Langkah-langkah untuk mendapatkan sebuah classifier kuat dinyatakan dalam suatu algoritma sebagai berikut :

  1.

  1 ,y 1 n ,y n ) dimana y i = 0 untuk contoh positif

  ), … (x Diberikan contoh gambar (x dan y i = 1 untuk contoh negatif

  1

  1

  2. i,1 = ;m dan l adalah jumlah negatif dan positif Inisialisasi bobot y

  ′

  2 3.

  Untuk t=1,…,T Menormalkan bobot sehingga wt adalah distribusi probabilitas

  ,

  W t,I  (2.4)

  ,

  ∑ =1 Untuk setiap fitur, j melatih classifier hj, untuk setiap fitur tunggal Kesalahan (єj) dievaluasi dengan bobot wt

  j = (2.5) Є ∑ |ℎ ( ) − |

  Pilih classifier ht dengan eror terkecil dimanaei = 0 untuk xi adalah klasifikasi benar, dan ei= 1 untuk yang lain. Perbaharui bobot :

  1−

  W t+1,i =W t,i (2.6)

  є

  Dimana (2.7)

  t = β

  1−є

  Didapatkan sebuah Classifier kuat yaitu

  1 1,∑ ∝ ℎ ( )≥ ∑ ∝

  =1 =1

  2 Hj (x) = (2.8)

  {

  1 t = log

  dimana α

  

Cascade classifier adalah sebuah metode untuk mengkombinasikan classifier yang

  kompleks dalam sebuah struktur bertingkat yang dapat meningkatkan kecepatan pendeteksian obyek dengan memfokuskan pada daerah citra yang berpeluang saja. Struktur cascade classifier disajikan Gambar 2.5.

  True True True ….

  Sub Image

  1

  2 3 n Object False False False

  

Non Object

Gambar 2.5. Cascade Clasifier (Dwiprasetyo, 2012 )Gambar 2.5 menjelaskan proses penyeleksian keberadaan obyek. Di asumsikan suatu

  

sub image di evaluasi oleh classifier pertama dan berhasil melewati classifier tersebut,

  hal ini mengindikasikan sub image berpotensi terkandung obyek dan dilanjutkan pada

  

classifier ke dua sampai dengan ke-n, jika berhasil melewati keseluruhan classifier,

  maka disimpulkan terdapat obyek yang dideteksi. Jika tidak, proses evaluasi tidak dilanjutkan ke classifier berikutnya dan disimpulkan tidak terdapat obyek.

2.3. OpenCV (Intel® Open Source Computer Vision Library)

  OpenCV merupakan singkatan dari Intel Open Source Computer Vision Library yang sekurang-kurangnya terdiri dari 300 fungsi-fungsi C, bahkan bisa lebih. Software ini gratis, dapat digunakan dalam rangka komersil maupun non komersil, tanpa harus membayar lisensi ke intel (Santoso H, 2013). OpenCV dapat beroperasi pada komputer berbasis Windows ataupun Linux. Library OpenCV adalah suatu cara penerapan bagi komunitas open source vision yang sangat membantu dalam kesempatan meng-update penerapan computer vision sejalan dengan pertumbuhan PC (personal computer) yang terus berkembang. Software ini menyediakan sejumlah fungsi-fungsi image processing, seperti halnya dengan fungsi-fungsi analisis gambar dan pola.

  Beberapa contoh aplikasi dari OpenCV adalah pada Human-Computer

  

Interaction (interaksi manusia komputer); Object Indentification (Identifikasi Objek),

  Segmentation (segmentasi) dan Recognition (pengenalan); Face Recognition (pengenalan wajah); Gesture Recognition (pengenalan gerak isyarat), Motion

  

Tracking (penjajakan gerakan), Ego Motion (gerakan ego), dan Motion Understanding

  (pemahaman gerakan); Structure From Motion (gerakan dari struktur); dan Mobile

  Robotics (robot-robot yang bergerak).

  Pengenalan wajah pada OpenCV menggunakan metode yang disebutkan oleh metode Viola-Jones (Viola, 2001), juga disebut sebagai Haar cascade classifier. Pendekatan ini untuk mendeteksi objek dalam gambar dengan menggabungkan empat konsep yaitu: a.

  Segi empat sederhana, disebut dengan Haar feature.

  b.

  Sebuah Integral gambar untuk mempercepat menemukan feature.

  c.

  Metode AdaBoost machine-learning.

  d.

  Klasifikasi bertingkat untuk menyatukan banyaknya feature secara efesien.

  Bentuk yang Viola dan Jones gunakan adalah berdasarkan Haar wavelets.

  clasifikasi

  ini menggunakan gelombang segiempat tunggal (satu interval tinggi dan yang satunya interval rendah) dalam dua dimensi, gelombang persegi adalah pasangan dari segi empat yang berdekatan satu putih yang satunya hitam seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Klasifikasi Haar digunakan dalam OpenCV (Santoso H, 2013)

  Sebelum melakukan pengenalan, gambar wajah didapat terlebih dahulu sebelum di proses. Hal ini memungkinkan untuk mendapatkan sebuah hasil yang benar dalam sebuah gambar kurang dari 10%. Hal ini sangat penting dilakukan beberapa teknik kedalam standarisasi gambar. Banyak algoritma pengenalan wajah sangat sensitif terhadap kondisi cahaya. Sama halnya dengan model rambut, dandanan, perputaran sudut, ukuran dan emosi yang dapat mempengaruhi proses pengenalan. Metode pengenalan yang digunakan adalah Eigenface, dan metode ini bekerja dengan gambar skala keabu-abuan. Langkah yang penting untuk mengambil gambar sebelum di proses adalah sebagai berikut: a.

  Gambar wajah di potong dan ukurannya disesuaikan.

  b.

  Gambar Gambar di rubah ke skala ke abu-abuan c. Histogram equalization

  Pemrosesan gambar wajah adalah langkah berikutnya setelah gambar di perbaiki. Hal ini menghasilkan Eigenface pada sebuah gambar. OpenCV dengan sebuah fungsi operasi PCA, walaupun butuh sebuah database (set training) dari sebuah gambar untuk di ketahui bagaimana pengenalan setiap orang. PCA merubah semua pembelajaran gambar kedalam kumpulan dari Eigenface yang mewakili perbedaan antara gambar pembelajaran dan rata-rata gambar wajah (Irianto, 2010).

2.3.1. Teknik Background Subtraction dan Frame Differencing

  Yang dimaksud background adalah sejumlah piksel-piksel gambar yang diam dan tidak bergerak didepan kamera. Model background yang paling sederhana meng- asumsikan bahwa seluruh kecerahan piksel background berubah-ubah secara bebas, tergantung pada distribusi normalnya. Karakteristik background dapat dihitung dengan mengakumulasi beberapa jumlah frame sehingga akan menemukan jumlah nilai-nilai piksel dalam lokasi s (x,y) dan jumlah square-square q (x,y) yang memiliki nilai untuk setiap lokasi piksel (Triatmoko, 2014). Sedangkan foreground adalah semua objek yang ada selain background dan biasanya foreground ini ada setelah didapatkannya background. Background subtraction merupakan salah satu tugas penting yang pertama kali dikerjakan pada aplikasi computer vision. Output dari

  

background subtraction biasanya adalah inputan yang akan diproses pada tingkat

  yang lebih lanjut lagi seperti men-tracking objek yang teridentifikasi. Kualitas

  

background subtraction umumnya tergantung pada teknik pemodelan background

  yang digunakan untuk mengambil background dari suatu layar kamera. Background

  

subtraction biasanya digunakan pada teknik segmentasi objek yang dikehendaki dari

  suatu layar, dan sering diaplikasikan untuk sistem pengawasan. Tujuan dari

  

background subtraction itu sendiri adalah untuk menghasilkan urutan frame dari

  kamera dan mendeteksi seluruh objek foreground. Suatu deskripsi pendekatan yang telah ada tentang background subtraction adalah mendeteksi objek-objek foreground sebagai perbedaan yang ada antara frame sekarang dan gambar background dari layar statik. Suatu piksel dikatakan sebagai foreground jika: |Frame i

  • –Background

  i | > Threshold..(1) (2.9) 2.3.2.

   Fitur OpenCV

  Berikut ini adalah fitur-fitur pada library OpenCV (Bradski, 2008): 1.

  Manipulasi data gambar (alokasi memori, melepaskan memori, kopi gambar, setting serta konversi gambar).

2. Image/video I/O (bisa menggunakan camera yang sudah didukung oleh

  library ini) 3.

  Manipulasi matriks dan vector serta terdapat juga routines linear algebra (products, solvers, eigenvalues, SVD) 4. Image processing dasar (filtering, edge detection, pendeteksian tepi, sampling dan interpolasi, konversi warna, operasi morfologi, histogram, image

  pyramida ) 5.

  Analisis structural 6. Kalibrasi kamera 7. Pendeteksian gerak 8. Pengenalan objek 9. BasicGUI (Display gambar/video, mouse/keyboard control, scrollbar) 10.

  Image Labelling (line, conic, polygon, test drawing)

2.4. Pengolahan Citra 2.4.1.

   Definisi Pengolahan Citra Digital

  Citra merupakan istilah lain dari gambar, yang merupakan komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Citra digital adalah citra hasil digitalisasi dari citra kontinu (analog). Pengolahan citra adalah pemrosesan citra menjadi citra yang kualitasnya lebih baik, bertujuan agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau mesin (komputer). Beberapa contoh operasi pengolahan citra adalah pengubahan kontras citra, penghilangan derau (noise) dengan operasi penapisan (filtering), penghasilan tepi objek, penajaman (sharpening), pemberian warna semu (pseudocoloring), dan sebagainya (Sutoyo, 2009).

  Citra digital adalah citra yang dapat diolah dengan komputer. Pengolahan citra digital merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan perbaikan kualitas gambar seperti peningkatan kontras, transformasi warna, restorasi citra dan transformasi gambar seperti rotasi, translasi, skala, transformasi geometri. Sebuah citra digital dapat mewakili oleh sebuah matriks yang terdiri dari M kolom N baris, dimana perpotongan antara kolom dan baris disebut piksel ( piksel =

  picture element

  ), yaitu elemen terkecil dari sebuah citra. Piksel mempunyai dua parameter, yaitu koordinat dan intensitas atau warna. Nilai yang terdapat pada koordinat (x,y) adalah f(x,y), yaitu besar intensitas atau warna dari piksel di titik itu. Oleh sebab itu, sebuah citra digital dapat ditulis dalam bentuk matriks berikut :

  (0,0) (0,1) ⋯ (0, − 1) (1,0) ⋯ ⋯ (1, − 1)

  f (x,y)=

  [ ] (2.10)

  ⋮ ⋮ ⋱ ⋮ ( − 1,0) ( − 1,1) ⋯ ( − 1, − 1)

  Berdasarkan gambaran tersebut, secara matematis citra digital dapat dituliskan sebagai fungsi f(x,y), dimana harga x (baris) dan y (kolom) merupakan koordinat posisi dan f(x,y) adalah nilai fungsi pada setiap titik (x,y) yang menyatakan besar intensitas citra atau tingkat keabuan atau warna dari piksel di titik tersebut (Sutoyo, 2009). Berikut ini pada Gambar 2.7 nilai piksel dari citra objek manusia.

  7 Nilai Intensitas Piksel

Gambar 2.7. Nilai piksel dari citra objek manusia (Robin, 2015)

2.4.2. Jenis- Jenis Citra Digital

  Berikut jenis-jenis citra digital antara lain :

  a) Citra Biner

  Citra biner diperoleh melalui proses pemisahan piksel-piksel berdasarkan derajat keabuan yang dimilikinya. Piksel yang memiliki derajat keabuan lebih kecil dari nilai batas yang ditentukan akan diberikan nilai 0, sementara piksel yang memiliki derajat keabuan yang lebih besar dari batas akan diubah menjadi bernilai 1. Berikut pada Gambar 2.8 contoh citra biner dalam bentuk biner :

Gambar 2.8. Citra Biner (Andik, 2009)

  b) Citra Keabuan (Graysacale)

  Citra grayscale adalah citra digital yang setiap pikselnya merupakan sampel tunggal, yaitu informasi intensitas. Citra jenis ini terbentuk hanya dari warna abu-abu pada tingkatan yang berbeda-beda, mulai dari warna hitam pada tingkat intensitas terendah hingga warna putih pada tingkat intensitas tertinggi. Citra ini disebut juga citra hitam putih atau citra monokromatik. Berikut pada

Gambar 2.9 contoh citra dalam bentuk Grayscale :Gambar 2.9 Citra Keabuan (Graysacale) (Andik, 2009)

  c) Citra Warna (True Color)

  Setiap piksel pada citra warna mewakili warna yang merupakan kombinasi dari tiga warna (RGB= Read Green Blue). Piksel (picture element) digunakan untuk mengekspresikan resolusi layer digital, 1 piksel adalah unit terkecil dari sebuah gambar. Berikut pada Gambar 2.10 contoh citra dalam bentuk RGB:

Gambar 2.10 Citra Warna (True Color) (Andik 2009)

  Salah satu format citra digital yang lengkap yaitu citra bitmap atau sering juga disebut dengan citra raster. Citra bitmap direpresentasikan dalam bentuk matriks atau dipetakkan dengan menggunakan bilangan biner atau sistem bilangan lain. Citra ini memiliki kelebihan untuk memanipulasi warna, tetapi untuk mengubah objek sulit. Tampilan bitmap mampu menunjukkan kehalusan gradasi bayangan dan warna dari sebuah gambar. Oleh karena itu, bitmap merupakan media elektronik yang paling tepat untuk gambar-gambar dengan perpaduan gradasi warna yang rumit, seperti foto dan lukisan digital. Citra bitmap biasanya diperoleh dengan cara scanner, kamera digital, video, scan fingerprint dan sebagainya (Sutoyo, 2009).

2.4.3. Elemen-Elemen Citra Digital

  Berikut ini adalah elemen-elemen yang terdapat pada citra digital antara lain : 1.

  Kecerahan (brigthness) Kecerahan (brigthness) merupakan intensitas cahaya yang dipancarkan piksel dari citra yang dapat ditangkap oleh sistem pengelihatan. Kecerahan pada sebuah titik (piksel) di dalam citra merupakan intensitas rata-rata dari suatu area yang melingkupinya.

  2. Kontras (contrast) Kontras (contrast) menyatakan sebaran terang dan gelap dalam sebuah citra.

  Pada citra yang baik, komposisi gelap dan terang tersebar secara merata.

  3. Kontur (contour) Kontur (contour) adalah keadaan yang ditimbulkan oleh perubahan pada intensitas pada piksel-piksel yang bertetangga. Karena adanya perubahan intensitas inilah mata mampu mendeteksi tepi-tepi objek di dalam citra.

  4. Warna Warna sebagai persepsi yang ditangkap sistem visual terhadap panjang gelombang cahaya yang dipantulkan oleh objek.

  5. Bentuk (shape) Bentuk (shape) adalah properti instrinsik dari objek 3 dimensi, dengan pengertian bahwa bentuk merupakan properti instrinsik utama untuk sistem visual manusia.

  6. Tekstur (texture) Tekstur (texture) dicirikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan piksel-piksel yang bertetangga. Tekstur adalah sifat-sifat atau karakteristik yang dimiliki oleh suatu daerah yang cukup besar sehingga secara alami sifat-sifat tersebut dapat berulang. Tekstur adalah keteraturan pola-pola tertentu yang terbentuk dari susunan piksel-piksel dalam citra digital.

  2.4.4. Langkah-Langkah Pengolahan Citra Digital

Segmentasi dan

Representasi Deskripsi Masalah Domain Pre-processing

Basis Pengetahuan

Interpretasi Pengenalan dan Hasil Akuisi Citra

Gambar 2.11. Langkah-langkah pengolahan citra digital (Sutoyo, 2009)

  Secara umum, langkah-langkah pengolahan citra digital sebagai berikut : 1)

  Akuisi citra Akuisi citra adalah tahap awal untuk mendapatkan citra digital. Tujuan akuisi citra adalah untuk menentukan data yang diperlukan dan memilih metode perekaman citra digital. Tahap ini dimulai dari objek yang akan diambil gambarnya, persiapan alat-alat sampai pada pencitraan. Pencitraan adalah kegiatan transformasi dari citra tampak (foto, gambar, lukisan, patung, pemandangan, dan lain-lain) menjadi citra digital. Beberapa alat yang dapat digunakan untuk pencitraan adalah : a)

  Video kamera

  b) Kamera digital

  c) Kamera konvensional dan konverter analog to digital

  d) Scanner

  e) Photo sinar-x/ sinar infra merah

  Hasil dari akuisi citra ini ditentukan oleh kemampuan sensor untuk mendigitalisasi sinyal yang terkumpul pada sensor tersebut. Kemampuan digitalisasi alat ditentukan oleh resolusi alat tersebut. 2)

  Pre-processing Tahap ini digunakan untuk menjamin kelancaran pada proses berikutnya. Hal- hal penting yang dilakukan pada tingkatan ini diantaranya adalah sebagai berikut :

  a) Peningkatan kualitas citra (kontras, brightness, dan lain-lain)

  b) Menghilangkan noise

  c) Perbaikan citra (image restoration)

  d) Transformasi (image transformation)

  e) Menentukan bagian citra yang akan diobeservasi

  3) Segmentasi

  Tahapan ini digunakan untuk mempartisi citra menjadi bagian-bagian pokok yang mengandung informasi penting. Misalnya memisahkan antara objek dengan latar belakang. 4)

  Representasi dan deskripsi Dalam hal ini representasi merupakan suatu proses untuk merepresentasikan suatu wilayah sebagai suatu daftar titik-titik koordinat dalam kurva tertutup, dengan deskripsi luasan atau perimeternya. Setelah suatu wilayah dapat direpresentasi, proses selanjutnya adalah melakukan deskripsi citra dengan cara seleksi ciri (feature extraction and selection). Seleksi ciri bertujuan untuk memilih informasi kuantitatif dari ciri yang ada, yang dapat membedakan kelas-kelas objek dengan baik, sedangkan ekstraksi ciri bertujuan untuk mengukur besaran kuantitatif ciri setiap piksel, misalnya rata-rata, standar deviasi, koefisien variasi, dan lain-lain.

  5) Pengenalan dan interpretasi

  Tahap pengenalan bertujuan untuk memberi label pada sebuah objek yang informasinya disediakan oleh descriptor, sedangkan tahap interpretasi bertujuan untuk memberi arti atau makna kepada kelompok objek-objek yang dikenali. 6)

  Basis pengetahuan Basis pengetahuan sebagai basis data pengetahuan berguna untuk memandu operasi dari masing-masing modul proses dan mengkontrol interaksi antara modul-modul tersebut. Selain itu, basis pengetahuan juga digunakan sebagai referensi pada proses template matching atau pada pengenalan pola.

2.4.5. Sistem Pencitraan Pencitraan adalah proses untuk mentransformasi citra analog menjadi citra digital.

  

Citra analog adalah citra bersifat kontinu, seperti gambar pada televisi, foto yang

tercetak pada kertas foto, hasil dari scan, gambar-gambar yang tersimpan pada kaset

dan lain sebagainya (Sutoyo, 2009). Citra analog tidak dapat direpresentasikan dalam

komputer sehingga tidak dapat diproses pada komputer secara langsung. Oleh sebab

itu, agar citra dapat diproses pada komputer, proses konversi analog ke citra digital

harus dilakukan terlebih dahulu. Dalam penelitian ini alat yang digunakan untuk

pencitraan adalah webcam. Berikut ini Gambar 2.12 contoh proses pencitraan dari

citra analog (citra sidik jari) menjadi citra digital.

Gambar 2.12. Proses Pencitraan Citra Analog Menjadi Citra Digital ( Al-Fatta,

  

2009)

2.5. Pra-pemrosesan (Pre-processing)

  Teknik pra-pemrosesan digunakan untuk mempersiapkan citra agar dapat menghasilkan ciri yang lebih baik pada tahap pemisahan ciri terhadap proses pengenalan pola. Teknik pra-pemrosesan sangat berkaitan dengan pengenalan pola. Pengenalan pola secara umum merupakan suatu ilmu yang mengklasifikasikan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan pengukuran kuantitatif ciri atau sifat dari objek. Pola sendiri merupakan suatu entitas yang terdefinisi dan dapat diidentifikasi dan diberi nama. Salah satu contoh dari pola yaitu sidik jari. Pola dapat merupakan kumpulan dari hasil pengukuran atau pemantauan dan dapat dinyatakan dalam notasi vektor atau matriks. (Putra, 2010).

  Pra-pemrosesan adalah transformasi input data mentah untuk membantu kemampuan komputasional dan pencari ciri serta untuk mengurangi kesalahan. Pada pra-pemrosesan, citra yang ditangkap oleh sensor akan dinormalisasi agar citra menjadi lebih siap untuk diolah pada tahap pemisahan ciri. Kualitas ciri yang dihasilkan pada proses pemisahan ciri sangat tergantung pada hasil pra-pemrosesan. Berikut ini merupakan tahap-tahap pra-pemrosesan antara lain : 1.

  Mengubah citra RGB (Red Green Blue) menjadi beraras keabuan (Grayscale).

  2. Segmentasi yaitu proses memisahkan antara wilayah latar belakang dengan wilayah latar depan.

  3. Normalisasi yaitu mengurangi dampak dari derau (noise) pada sensor, yang digunakan untuk menstandarisasi nilai intensitas citra.

2.5.1. Konversi Citra RGB Menjadi Citra Grayscale

  Citra RGB (Red Green Blue) / warna dapat diubah menjadi citra grayscale dengan menghitung rata-rata elemen warna Red (Merah), Green (Hijau) dan Blue (Biru) (Santi, 2011). Secara matematis perhitungan sebagai berikut:

  ( , ) + ( , ) + ( , )

  F o (x, y) = (2.11)

  3 Berikut gambar contoh proses perhitungan konversi citra RGB menjadi grayscale.

  F = (50+65+50)/3 R=50 R=40 R=90 R=80 R=50 G=65 G=40 G=90 G=50 G=30

  55

  45

  90

  60

  40 B=50 B=55 B=90 B=50 B=40 R=40 R=50 R=40 R=20 R=50 G=80 G=80 G=90 G=20 G=60

  50

  60

  70

  30

  60 B=30 B=50 B=80 B=50 B=70 R=80 R=70 R=80 R=10 R=80 G=60 G=70 G=90 G=70 G=50

  60

  70

  80

  30

  70 B=40 B=70 B=70 B=10 B=80 R=50 R=40 R=70 R=60 R=50 G=90 G=60 G=70 G=20 G=80

  70

  50

  70

  40

  60 B=70 B=50 B=70 B=40 B=50 R=50 R=40 R=80 R=70 R=90 G=65 G=60 G=80 G=60 G=85

  60

  60

  80

  60

  80 B=50 B=80 B=80 B=50 B=70

Gambar 2.13. Proses Konversi Citra RGB Menjadi Grayscale (Santi, 2011) 2.5.2.

   Segmentasi Segmentasi citra bertujuan untuk membagi wilayah-wilayah yang homogen.

  Segmentasi merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengubah citra input ke dalam citra output berdasarkan atribut yang diambil dari citra tersebut. Segmentasi membagi citra kedalam daerah intensitasnya masing-masing sehingga dapat membedakan antara objek dengan background-nya. Pembagian ini tergantung terhadap masalah yang akan diselesaikan. Segmentasi harus dihentikan apabila masing-masing objek telah terisolasi atau terlihat dengan jelas. Tingkat keakurasian segmentasi tergantung pada tingkat keberhasilan prosedur analisis yang dilakukan. Algoritma pada segmentasi citra terbagi atas dua macam (Rachmad, 2008), yaitu: 1.

  Diskontinuitas Diskontinuitas merupakan pembagian citra berdasarkan perbedaan dalam intensitasnya, contohnya titik, garis, dan edge (tepi).

2. Similaritas

  Similaritas merupakan pembagian citra berdasarkan kesamaan-kesamaan kriteria yang dimilikinya, contohnya thresholding, region growing, region

  splitting , dan region merging.

  (a) (b)

Gambar 2.14. Proses Pemisahan, (a) Gambar Asli, (b) Hasil Segmentasi (Rachmad, 2008)

  Pada Gambar 2.14 merupakan tahap segmentasi, dimana dalam proses ini adalah proses pemisahan antara objek (citra sidik jari) dengan backgorund-nya.

2.5.2.1.Thresholding (Pengambangan)

  Proses pengambangan akan menghasilkan citra biner yaitu citra yang memiliki dua nilai tingkat keabuan yaitu hitam dan putih (Kumaseh, 2011). Secara umum proses pengambangan citra grayscale untuk menghasilkan citra biner adalah sebagai berikut:

  ( , ) ≥ g(x,y) = (2.12) {1 0 ( , ) < }

  Dengan g (x,y) adalah citra biner dari citra grayscale f (x,y), dan T menyatakan nilai ambang. Nilai T memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengambangan. Kualitas citra biner sangat tergantung terhadap nilai T yang digunakan.

  Terdapat dua jenis pengambangan antara lain pengambangan global (global

thresholding ) dan pengambangan secara lokal adaptif (locally adaptive thresholding). Pada pengambangan global, seluruh piksel pada citra dikonversikan menjadi hitam atau putih dengan suatu nilai ambang T. Kemungkinan besar pada pengambangan global akan banyak informasi yang hilang karena hanya menggunakan satu nilai T untuk keseluruhan piksel. Untuk mengatasi masalah ini, dapat digunakan pengambangan secara lokal adaptif. Pada pengambangan lokal adaptif, suatu citra dibagi menjadi blok-blok kecil dan kemudian dilakukan pengambangan lokal pada setiap blok dengan nilai T yang berbeda.

2.5.2.2. Normalisasi

  Normalisasi intensitas digunakan untuk mengurangi ketidaksempurnaan citra akibat adanya derau (noise) maupun ketidakseragaman pencahayaan. Normalisasi juga digunakan untuk menstandarisasi nilai intensitas sebuah citra dari tingkat keabuan pada piksel citra sidik jari. Proses normalisasi intensitas dilakukan terhadap setiap piksel pada citra asli (Putra, 2010). Algoritma proses normalisasi adalah sebagai berikut :

  1) Hitung nilai rata-rata untuk setiap sektor pada citra sidik jari input. 2) Hitung nilai varian untuk setiap sektor pada citra sidik jari input. 3) Untuk setiap sektor pada citra sidik jari mengalami proses normalisasi.

  Normalisasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

  2 { ( , )− ) }

  • √ ( , ) > ( , ) =

  (2.22)

  2 { ( , )− ) }

  − √ ( , ) < { dimana :

  N i (x, y) = citra hasil normalisasi I(x, y) = citra asal

  M = varian citra hasil i M = varian citra asal V x = rata-rata citra hasil V i = rata-rata setiap sektor citra asal

2.6. Ekstraksi Fitur

  Ekstraksi fitur (feature extraction) merupakan bagian fundamental dari analisis citra (Putra, 2010). Fitur adalah karakteristik yang unik dari suatu objek. Karakteristik dari fitur antara lain:

  1. Dapat membedakan suatu objek dengan yang lainya (discrimination).

  2. Memperlihatkan kompleksitas komputasi dalam memperoleh fitur.

  Kompleksitas komputai yang tinggi akan menjadi beban tersendiri dalam menemukan suatu fitur.

  3. Tidak terikat (independence) dalam arti bersifat invarian terhadap berbagai transformasi (rotasi, penskalaan, pergeseran dan sebagainya).

  4. Jumlahnya sedikit, karena fitur yang jumlahnya sedikit akan dapat menghemat waktu komputasi dan ruangan penyimpanan untuk proses selanjutnya (proses pemanfaatan fitur).

2.6.1. Ciri Berdasarkan Blok

  Sebelum menentukan arah orientasi citra sidik jari terlebih dahulu yang dilakukan adalah membagi citra menjadi blok-blok (Putra, 2010). Terdapat dua model pembagian blok, yaitu pembagian blok secara tumpang tindih (overlapping) dan pembagian blok yang tidak saling tumpang tindih (non-overlapping). Pada model tumpang tindih, suatu blok dengan blok lain yang saling berdampingan terdapat sejumlah piksel yang saling tumpang tindih seperti paada Gambar 2.15(a). Pada model pembagian blok yang tidak tumpang tindih, piksel pada suatu blok dengan blok yang lain tidak saling tumpang tindih seperti pada Gambar 2.15(b). Dalam penelitian ini digunakan pembagian blok yang tidak saling tumpang tindih (non-overlapping).

Gambar 2.15. (a) Contoh pembagian blok yang saling tumpang tindih, (b) Contoh pembagian blok yang tidak saling tumpang tindih. (putra, 2010)

  Vektor ciri dari blok dapat dibentuk dengan nilai rata-rata ataupun standar deviasi dari setiap blok. Nilai standar deviasi dapat dihitung dengan rumus berikut ini:

  −1

  2

  2

  (2.23) )

  = ( ∑ ( − )

  

=1

  dimana : μ = nilai rata-rata, yang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

  −1

  (2.24) = ∑

  =1 M = jumlah seluruh piksel dalam setiap blok. x = nilai piksel.

  Vektor fitur sidik jari dapat dibentuk dengan cara berikut :

  1

  2

3 N )

  V=(σ , σ , σ ... σ dimana : σ 1 = nilai standar deviasi blok ke-i. N = jumlah dari keseluruhan blok.

2.7. Konsep Pengenalan Wajah Pengenalan wajah adalah suatu metoda pengenalan yang berorientasi pada wajah.

  Pengenalan ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: dikenali atau tidak dikenali, setelah dilakukan perbandingan dengan pola yang sebelumnya disimpan di dalam database. Metoda ini juga harus mampu mengenali objek bukan wajah. Perhitungan model pengenalan wajah memiliki beberapa masalah. Kesulitan muncul ketika wajah direpresentasikan dalam suatu pola yang berisi informasi unik yang membedakan dengan wajah yang lain (Robin, 2007).

  Metoda pendeteksian wajah memakai dua prosedur, yaitu : a. Pengenalan kontur wajah dengan mengenali bentuk hidung, mata dan mulut dan bentuk korelasi diantara keduanya. Karakteristik organ tersebut kemudian dinyatakan dalam bentuk vektor.

  b.

  Analisis komponen yang prinsipil, berdasarkan informasi dari konsep ini, mencari perhitungan model terbaik yang menjelaskan bentuk wajah dengan mengutip informasi yang paling relevan yang terkandung di dalam wajah tersebut. Dibalik kemudahan mengenali wajah, ada beberapa masalah yang mungkin timbul dalam proses pengenalan wajah disebut dengan robust, yaitu: a.

  Perubahan Skala Citra seseorang dapat direpresentasikan berbeda diakibatkan perbedaan jarak antara wajah dengan kamera. Semakin dekat jarak maka citra akan semakin besar.

  Contoh Gambar 2.16 (b).

  b.

  Perubahan Posisi Citra seseorang dapat direpresentasikan berbeda diakibatkan perubahan posisi seseorang ataupun perubahan sudut pengambilan wajah. Contoh Gambar (c).

  c.

  Perubahan Cahaya Citra seseorang dapat direpresentasikan berbeda diakibatkan perubahan intensitas cahaya yang terjadi ketika pengambilan citra. Contoh Gambar (d).

  d.

  Perubahan detail dan ekspresi Citra seseorang dapat direpresentasikan berbeda diakibatkan perubahan detail seperti adanya janggut, kumis, pemakaian kacamata atau perubahan gaya rambut selain itu perubahan ekspresi wajah menjadi tertawa, tersenyum, muram, menangis juga dapat mengakibatkan pada citra yang dapat dilihat pada Gambar 2.16 (e). Atribut detail citra wajah yang diakibatkan oleh perubahan posisi, cahaya serta detail dapat dilihat pada Gambar 2.16.

Gambar 2.16. Citra Wajah (Robin, 2007

  ) Gambar (a) Citra asli, (b) Citra akibat perubahan skala, (c) Citra akibat perubahan posisi, (d) Citra akibat perubahan cahaya, (e) Citra akibat penambahan detail atau atribut dalam hal ini adalah kaca mata, topi dan lainnya (Robin, 2007).

2.7.1. Proses Umum Pengenalan Wajah

  Proses pengenalan wajah secara umum (Robin, 2007) adalah terdiri dari : a.

  Acquisition module, merupakan blok input dari proses pengenalan wajah, sumbernya dapat berasal dari kamera ataupun file citra.

  b.

  Pre-processing module, merupakan proses penyesuaian citra input yang meliputi, normalisasi ukuran citra, histogram equalization untuk memperbaiki kualitas citra input agar memudahkan proses pengenalan tanpa menghilangkan informasi utamanya, median filtering untuk menghilangkan noise akibat kamera atau pergeseran frame, high pass filtering untuk menunjukan bagian tepi dari citra, background removal untuk menghilangkan background sehingga hanya bagian wajah saja yang diproses dan normalisasi pencahayaan ketika mengambil citra input. Bagian pre-processing ini untuk menghilangkan masalah yang akan timbul pada proses pengenalan wajah seperti yang dijelaskan sebelumnya.

  c.

  Feature Extraction module, module ini digunakan untuk mengutip bagian terpenting sebagai suatu vektor yang merepresentasikan wajah dan bersifat unik.

  d.

  Classification module, pada modul ini, dengan bantuan pemisahan pola, fitur wajah yang dibandingkan dengan fitur yang telah tersimpan di database sehingga dapat diketahui apakah citra wajah tersebut dikenali.

  e.

  Training set, modul ini digunakan selama proses pembelajaran proses pengenalan, semakin kompleks dan sering maka proses pengenalan wajah akan semakin baik.

  f.

  Database : Berisi kumpulan citra wajah.

2.8. Penelitian Terdahulu

  Bagian ini menjelaskan beberapa penelitian terdahulu terkait dengan pendeteksian objek manusia dengan mendeteksi wajah atau bagian tertentu dari objek manusia. Tabel penelitian terdahulu ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

  No. Judul Nama Metode Keterangan

  1 Sistem Sianturi, J. Viola-Jones Akurasi pendeteksian yang Pendeteksian 2014 diperoleh mencapai 86,88%.

  Manusia untuk Posisi objek juga sangat Keamanan berpengaruh terhadap Ruangan keakuratan pendeteksian.

  Menggunakan Posisi objek yang terbaik

  Viola-Jones adalah saat objek berada di

  depan kamera atau membelakangi kamera.

  2 Aplikasi Setiawan, I. Eigenface Aplikasi dapat mendeteksi

  Security 2014 wajah karyawan dan mampu Camera

  untuk mendeteksi wajah-wajah Mendeteksi dengan persentasi diatas 80% Wajah Menggunakan

  Open CV

  Berbasis

  Webcam

  3 Penggunaan Triatmoko, Viola Jones Dalam Penelitian ini akan Metode Viola A.H. 2014 dan Eigen dikembangkan sistem

  Jones dan Eigen Eyes kehadiran yang didasarkan Eyes

  dalam pada identifikasi fitur mata. Sistem Kehadiran Pegawai

Tabel 2.2. Penelitian Terdahulu (Lanjutan)

  No. Judul Nama Metode Keterangan

  4 Pendeteksian Wajah pada Citra Digital Santoso, Hadi.

  2013

  Adaboost Learning

  Hasil pengujian yang di lakukan adalah semua wajah pada kondisi di atas terdeteksi dengan baik.

  5 Deteksi Wajah Manusia pada Citra Berwarna dengan Informasi Warna Kulit dan Support

  Vector Machines

  Mayo, M. 2008 Support

  Vector Machines

  Proses klasifikasi SVM masih memiliki kekurangan dimana terkadang salah melakukan deteksi objek wajah, hal ini dapat diminimalisir dengan cara meningkatkan performansi SVM.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Literatur 2.1.1 Teori Agency - Pengaruh Manajemen Modal Kerja, Likuiditas, Leverage, dan Corporate Governance Terhadap Profitabilitas Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 17

Pengaruh Beberapa Ukuran Pupa Penggerek Batang Tebu Terhadap Jumlah Populasi Tetrastichus sp. (Hymenoptera : Eulophidae) di Laboratorium

0 0 15

Pengaruh Beberapa Ukuran Pupa Penggerek Batang Tebu Terhadap Jumlah Populasi Tetrastichus sp. (Hymenoptera : Eulophidae) di Laboratorium

0 0 12

KESANTUNAN DENGAN DAYA SEMIOTIKA BAHASA BERKAMPANYE CALON LEGISLATIF PARTAI GOLONGAN KARYA DI KABUPATEN LABUHAN BATU UTARA Awaluddin Sitorus awaluddinsitorusyahoo.com Nurlela, Masdiana Lubis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak - Kesant

0 0 20

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Graf - Implementasi Algoritma Ant Colony Dalam Pencarian Lokasi Rumah Sakit Berbasis Mobile Gis Pada Platform Android

0 0 26

PERUBAHAN FUNGSI SOSIOEKOLOGIS LEKSIKON FLORA BAHASA PAKPAK DAIRI Dairi Sapta Rindu Simanjuntak dairisaptajuntakyahoo.com Dwi Widayati, Nurlela Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstract - Perubahan Fungsi Sosioekologis Leksikon Flora Bahasa

0 0 19

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Definisi Strategi - Analisis Strategi Pemasaran Pada Coruca Coffee Shop

0 0 26

BAB I PENDAHULIAN 1.1 - Analisis Strategi Pemasaran Pada Coruca Coffee Shop

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Rokok dan efeknya terhadap hasil konsepsi - Gambaran Paparan Asap Rokok Selama Kehamilan dan Berat Badan Bayi yang dilahirkan pada Ibu yang Melahirkan di Beberapa Rumah Sakit dan Klinik Bersalin di Medan

0 0 15

KETERANCAMAN LEKSIKON EKOAGRARIS DALAM BAHASA ANGKOLAMANDAILING: KAJIAN EKOLINGUISTIK Deli Kesuma delikesumayahoo.com Dwi Widayati, Nurlela Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Abstrak - Keterancaman Leksikon Ekoagraris dalam Bahasa Angkola/Man

0 1 23