BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektifitas 2.1.1 Pengertian Efektifitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Medan Di Lingkungan XII Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektifitas

2.1.1 Pengertian Efektifitas

  Pengertian efektifitas mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap orang, tergantung pada kerangka acuan yang dipakainya. Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektifitas, maka tidaklah mengherankan jika terdapat sekian banyak pertentangan pendapat sehubungan dengan cara meningkatkannya, cara mengaturnya, bahkan cara menentukan indikator efektifitas. Efektifitas merupakan taraf sampai sejauh mana peningkatan kesejahteraan manusia dengan adanya suatu program tertentu, karena kesejahteraan manusia merupakan tujuan dari proses pembangunan. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan tersebut dapat dilakukan dengan mengukur beberapa indikator spesial seperti; pendapatan, pendidikan ataupun rasa aman dalam mengadakan pergaulan (Soekanto, 1989:48).

  Efektifitas berasal dari kata efektif, batasan konsep ini sulit untuk diperinci, karena masing-masing disiplin ilmu memberikan pengertian sendiri.

  Bagi seorang ahli ekonomi atau analis keuangan, efektifitas semakna dengan keuntungan, atau laba investasi Bagi seorang manajer produksi, efektifitas seringkali berarti kuantitas keluaran (output) barang atau jasa. Bagi seorang ilmuwan bidang riset, efektifitas dijabarkan dengan jumlah paten, penamaan atau produk baru suatu organisasi. Bagi sejumlah sarjana ilmu sosial efektifitas sering kali ditinjau dari sudut kualitas kehidupan bekerja (Streers, 1980: 1).

  Tindakan yang efektif adalah tindakan pencapaian tujuan tanpa memperhitungkan bagaimana atau seberapa pengorbanan yang diberikan atau ditimbulkan, asalkan tujuan dapat tercapai. Dengan demikian dapat terjadi penghamburan usaha (tenaga, waktu, fikiran, ruang benda dan uang) dari yang melaksanakan pekerjaan. Menurut pengertian tersebut, efektifitas adalah kemampuan untuk memilih sasaran yan tepat.

  Efektifitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Efektifitas disebut juga efektif, apabila tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektifitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa: “Efektifitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah tercapai, dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektifitasnya” (Hidayat, dalam http://blog.wordPress.Com/defenisidanpengertian efektifitas/28Maret2009/).

  Efektifitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atas jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektifitas menunjukan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkannya. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektifitasnya (Siagian, 2001: 24).

  Pada dasarnya, dikemukakan bahwa cara yang terbaik untuk meneliti efektifitas ialah memperhatikan secara serempak tiga buah konsep yang saling berhubungan, diantaranya adalah paham mengenai optimal tujuan, prespektif sistematika, tekanan pada segi tingkah laku manusia dalam susunan organisasi. Efektifitas dijabarkan berdasarkan kapasitas suatu organisasi untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya yang langka dan berharga secara sepandai mungkin dalam usahanya mengejar tujuan operasi dan operasionalnya (Streers, 1980:4-5).

  Efektifitas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan secara tepat. Pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dan ukuran maupun standar yang berlaku mencerminkan suatu perusahaan tersebut telah memperhatikan efektifitas operasionalnya. Terdapat beberapa cara pengukuran terhadap efektifitas, sebagai berikut: 1.

  Keberhasilan program 2. Keberhasilan sasaran 3. Kepuasan terhadap program 4. Tingkat input dan output 5. Pencapaian tujuan menyeluruh (Campbell, 1989:121).

  Sementara menurut Gibson, efektifitas organisasi dapat diukur sebagai berikut: 1.

  Kejelasan tujuan yang hendak dicapai 2. Kejelasan strategi pencapaian tujuan 3. Proses analisis dan perumusan kebijaksanaan yang mantap 4. Perencanaan yang matang 5. Penyusunan program yang tepat 6. Tersedianya sarana dan prasarana 7. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik (Gibson, dalam

  Tangkilisan, 2005:65)

  Definisi-definisi tersebut menilai efektifitas dengan menggunakan tujuan akhir atau tujuan yang diinginkan. Kenyataan dalam upaya mencapai tujuan akhir, perusahaan harus mengenali kondisi-kondisi yang dapat menghalangi tercapainya tujuan, sehingga dapat diterima pandangan yang menilai efektifitas organisasi sebagai ukuran seberapa jauh sebuah organisasi berhasil mencapai tujuan yang layak dicapai.

2.1.2. Pendekatan terhadap Efektifitas

  Pendekatan terhadap efektifitas dilakukan dengan bagian yang berbeda, dimana perusahaan mendapatkan input berupa berbagai macam sumber dari lingkungannya. Kegiatan dan proses internal yang terjadi dalam perusahaan mengubah input menjadi output atau program yang kemudian dilemparkan kembali kepada lingkungannya. Pendekatan terhadap efektifitas terdiri dari: 1.

  Pendekatan Sasaran Pendekatan ini mencoba mengatur sejauh mana suatu perusahaan berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan sasaran dalam pengukuran efektifitas dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut.

  Sasaran yang perlu di perhatikan dalam pengukuran efektifitas ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran resmi terhadap asperk output, yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output. Pendekatan sasaran dapat direalisasikan apabila organisasi mampu melakukan pendekatan kepada warga binaaan sosial dalam mengarahkan kepada tujuan yang ingin dicapai yaitu semua warga binaan sosial dapat berfungsi sosial.

  2. Pendekatan Sumber Pendekatan sumber mengukur efektifitas melalui keberhasilan suatu perusahaan dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkan. Suatu organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar dapat menjadi efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu organisasi terhadap lingkungannya, karena perusahaan mempunyai hubungan yang merata dengan lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga dilemparkannya pada lingkungannya.

  Sementara itu sumber-sumber yang terdapat pada lingkungan sering kali bersifat langka dan bernilai tinggi. Pendekatan sumber dalam organisasi dapat di ukur dari seberapa jauh hubungan antara warga binaan sosial dengan lingkungan sekitarnya.

  3. Pendekatan Proses Pendekatan proses menganggap efektifitas sebagai defenisi dan kondisi kesehatan dari suatu organisasi. Pada organisasi yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan ini tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan yang dilakukan terhadap berbagai sumber yang dimiliki organisasi, yang menggambarkan tingkat efesiensi serta kesehatan organisasi. Tujuan dari pada pendekatan proses yang dilakukan organisasi adalah bagaimana organisasi mampu menggunakan semua program secara terkoordinir dengan baik (Cunningham, 1978: 635).

2.1.3. Masalah dalam Pengukuran Efektifitas

  Kesulitan menilai efektifitas disebabkan oleh beberapa masalah yang tak terpisahkan dari model yang sekarang ada mengenai keberhasilan organisasi.

  Masalah-masalah pengukuran ini sangat beraneka ragam baik dalam sifat maupun titik asal mereka. Adapun masalah-masalah dalam pengukuran efektifitas yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: 1.

  Masalah kesahihan susunan.

  Maksud susunan disini adalah suatu hipotesis yang abstrak (sebagai lawan dari yang kongkrit) mengenai hubungan antara beberapa variabel yang saling berhubungan. Beliau mengungkapkan keyakinan bahwa variabel- variabel tersebut bersama-sama membentuk suatu keseluruhan yang utuh.

  2. Masalah stabilitas kriteria Artinya bahwa banyak kriteria evaluasi yang digunakan ternyata relatif tidak stabil setelah beberapa waktu. Yaitu kriteria yang dipakai untuk mengukur efektifitas pada suatu waktu mungkin tidak tepat lagi atau menyesatkan pada waktu berikutnya. Kriteria tersebut berubah-ubah tergantung pada permintaan, kepentingan dan tekanan-tekanan ekstern.

  3. Masalah perspektif waktu.

  Masalah yang ada hubungannya dengan hal diatas adalah perspektif waktu yang dipakai orang pada waktu menilai efektifitas. Masalah bagi mereka yang mempelajari manajemen adalah cara yang terbaik menciptakan keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dengan kepentingan jangka panjang, dalam usaha mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan dalam perjalanan waktu.

  4. Masalah kriteria ganda.

  Seperti ditunjukkan sebelumnya, keuntungan utama dari ancangan multivariasi dalam evaluasi efektifitas adalah sifatnya yang komprehensif, memadukan beberapa faktor kedalam suatu kerangka yang kompak. Hal yang terpenting adalah bahwa jika menerima kriteria tersebut untuk efektifitas, maka organisasi menurut defenisinya tidak dapat menjadi efektif, mereka tidak dapat memaksimalkan kedua dimensi tersebut secara serempak.

  5. Masalah ketelitian pengukuran.

  Pengukuran terdiri dari peraturan atau prosedur untuk menentukan beberapa nilai atribut dalam rangka agar atribut-atribut ini dapat dinyatakan secara kuantitatif. Jadi, berbicara mengenai pengukuran efektifitas organisasi, dianggap ada kemungkinan menentukan kuantitas dari konsep ini secara konsisten dan tetap. Tetapi penentuan kuantitas atau pengukuran demikian sering sulit karena konsep yang diteliti rumit dan luas. Dihadapkan dengan masalah tersebut, orang harus berusaha mengenali kriteria yang dapat diukur dengan kesalahan minimum atau berusaha mengendalikan pengaruh yang menyesatkan dalam proses analisis.

  6. Masalah kemungkinan generalisasi Apabila berbagai masalah pengukuran diatas dapat dipecahkan, masih akan timbul persoalan mengenai seberapa jauh orang dapat menyatakan kriteria evaluasi yang dihasilkannya dapat berlaku juga pada organisasi lainnya. Jadi, pada waktu memilih kriteria orang harus memperhatikan tingkat konsistensi kriteria tersebut dengan tujuan dan maksud organisasi yang sedang dipelajari.

  7. Masalah relevansi teroitis.

  Tujuan utama dari setiap ilmu adalah merumuskan teori-teori dan model-model yang secara tepat mencerminkan sifat subyek yang dipelajari.

  Jadi, dari sudut pandang teoritis harus diajukan pertanyaan yang logis sehubungan dengan relevansi model-model tersebut. Jika model tersebut tidak membantu kita dalam memahami proses, struktur dan tingkah laku organisasi, maka mereka kurang bernilai pandang dari sudut teoritis.

  8. Masalah tingkat analisis Kebanyakan model efektifitas hanya menggarap tingkat makro saja, membahas gejala keseluruhan organisasi dalam hubungannya dengan efektifitas tetapi mengabaikan hubungan yang kritis antara tingkah laku individu dengan persoalan yang lebih besar yaitu keberhasilan organisasi.

  Jadi, hanya ada sedikit integrasi antar model makro dengan apa yang dapat kita sebut model mikro dari karya dan efektifitas (Steers, 1980: 61-64).

  Berdasarkan uraian efektifitas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa efektifitas adalah tingkat pencapaian tujuan atau sasaran organisasional sesuai yang ditetapkan. Efektifitas adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan dan sejauh mana perusahaan menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan.

  Ini dapat diartikan, apabila sesuatu pekerjaan dapat dilakukan dengan baik sesuai dengan yang direncanakan. Oleh karena itu, dalam menentukan efektifitas tanggung jawab sosial perusahaan pada penelitian ini, dapat diukur melalui indikator sebagai berikut :

  1. Pemahaman program 2.

  Ketepatan sasaran

3. Ketepatan waktu 4.

  Tercapainya target 5. Tercapainya tujuan 6. Perubahan nyata

2.2 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

2.2.1 Pengertian Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Tanggung jawab sosial perusahaan adalah bahwa perusahaan bertanggung jawab atas setiap tindakannya yang berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungannya, dalam melakukan tanggung jawab sosial keuntungan perusahaan tentunya berkurang. Namun bukan berarti dengan melakukan tanggung jawab sosial perusahaan tidak untung. Tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan memerlukan usaha yang menyeimbangkan antara biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh. Tanggung jawab sosial modern yang berkembang memiliki fungsi essensial yaitu melakukan tugasnya untuk kemasyarakatan (sosial) dan mempunyai dampak yang luas terhadap masyarakat (http://sugengfitriyono.blogspot .com/2011/05/blog-post.html).

  World Business Council for Sustainable Development memberikan definisi

  Tanggung Jawab Sosial atau Corporate Social Responsibility sebagai: “business

  

commitment to contribute to sustainable economic development, working with

employees, their families, the local community, and society at large to improve

their quality of life”, y aitu komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi

  pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerjasama dengan para pegawai, keluarga mereka, komunitas lokal, dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama.

  Lebih lanjut lagi World Business Council menambahkan: “Continuing

  

commitment by business to behave ethically and contribute to economic

development while improving the quality of life of the workforce and their families

as well as of the local community and society at large”, y aitu komitmen dunia

  usaha yang terus-menerus untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas (World Business Council, dalam

  23/tanggungjawab-sosial-perusahaan).

  Tidak ada pengertian tunggal mengenai konsep tanggung jawab sosial, akan tetapi dapat diartikan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan komitmen dari pelaku usaha untuk memberikan perhatian terhadap kesejahteraan karyawannya dan bertindak adil terhadap berbagai pihak yang terkait dengan aktivitasnya, serta dengan iklas menyisihkan sebagian dari hasil usahanya untuk membiayai dan secara langsung atau tidak langsung melakukan program-program yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Artinya adalah pelaku usaha harus memiliki niat yang baik atau komitmen untuk menyisihkan sebagian dari hasil usaha atau keuntungan perusahaannya serta bertanggung jawab dalam berlangsungnya berbagai program atau aktivitas yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan (Siagian dan Suriadi, 2010: 99).

2.2.2 Sejarah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Tanggung jawab sosial perusahaan lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan mengabaikan tanggung jawab sosial seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, tidak membayar pajak dan menindas buruh. Pendeknya perusahaan berdiri secara diametral dengan kehidupan sosial.

  Tanggung jawab sosial korporasi telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalah gunakan ijin penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.

  Pada Tahun 1940-an pengembangan masyarakat, secara resmi istilah pengembangan masyarakat dipergunakan di Inggris 1948 untuk mengganti istilah pendidikan massa. Di Amerika Serikat pengembangan masyarakat berakar dari disiplin pendidikan ditingkat pedesaan, sedangkan diperkotaan dikembangkan organisasi komunitas yang bersumber dari ilmu kesejahteraan sosial dan diawali pada tahun 1873. Pengembangan masyarakat merupakan pembangunan alternatif yang komprehensif serta berbasis komunitas dan dapat melibatkan pemerintah, swasta, dan lembaga non pemerintah, dari segi tujuan bisa bersifat spesifik tidak selalu multi-tujuan.

  Pengembangan masyarakat semakin menjadi kebutuhan tidak saja bagi masyarakat, tetapi juga perusahaan. Perusahaan bukan lagi merupakan kesatuan yang independen dan terisolasi, sehingga manajer tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilik tetapi juga kepada kepentingan yang lebih luas yang membentuk dan mendukungnya dari lingkungan sekitarnya. Dalam mengejar tujuan ekonomisnya, perusahaan menimbulkan berbagai konsekuensi sosial lainnya, baik kemanfaatan (keamanan, kenyamanan, dan kemakmuran bagi masyarakat) maupun biaya sosial (degradasi potensi sumberdaya lingkungan, limbah dan pencemaran). Perkembangan lebih lanjut, konsep community development mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap tanggung jawab sosial perusahaan.

  Literatur-literatur awal yang membahas tanggung jawab sosial perusahaan pada tahun 1950-an menyebut tanggung jawab sosial perusahaan sebagai Social

  

Responsibility . Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut

  kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari. Menurut Howard R. Bowen dalam bukunya: “Social

  

Responsibility of The Businessman ” dapat dianggap sebagai tonggak bagi

  tanggung jawab sosial perusahaan modern, dalam buku itu Bowen (1953) memberikan definisi awal dari tanggung jawab sosial perusahaan sebagai: “…

  

obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to

follow those line of action wich are desirable in term of the objectives and values

of our society” (Bowen, dalam.

  Walaupun judul dan isi buku Bowen bias gender (hanya menyebutkan

  

businessman tanpa mencantumkan businesswoman), sejak penerbitan buku

  tersebut definisi tanggung jawab sosial perusahaan yang diberikan Bowen memberikan pengaruh besar kepada literatur-literatur tanggung jawab sosial perusahaan yang terbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan fondasi tanggung jawab sosial perusahaan tersebut membuat Bowen pantas disebut sebagai “Bapak tanggung jawab sosial perusahaan”.

  Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan untuk memberikan formalisasi definisi tanggung jawab sosial perusahaan. Salah satu akademisi tanggung jawab sosial perusahaan yang terkenal pada masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara tanggung jawab sosial perusahaan dengan kekuatan bisnis. Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan social yang mereka miliki (social

  

responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social power).

  Sehingga, dalam jangka panjang, pengusaha yang tidak menggunakan kekuasaan dengan bertanggungjawab sesuai dengan anggapan masyarakat akan kehilangan kekuasaan yang mereka miliki sekarang. Kata corporate mulai dicantumkan pada masa ini. Hal ini bisa jadi dikarenakan sumbangsih Davis yang telah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tanggung jawab sosial dengan korporasi

  Tahun 1962, Rachel Carlson menulis buku yang berjudul “Silent Spring”. Buku tersebut dianggap memberikan pengaruh besar pada aktivitas pelestarian alam. Buku tersebut berisi efek buruk penggunaan DDT sebagai pestisida terhadap kelestarian alam, khususnya burung. DDT menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan menyebabkan gangguan reproduksi dan kematian pada burung.

  

Silent Spring juga menjadi pendorong dari pelarangan penggunaan DDT pada

  tahun 1972. Selain penghargaan Silent Spring juga menuai banyak kritik dan dinobatkan sebagai salah satu ”buku paling berbahaya abad ke-19 dan ke-20” versi majalah Human Events.

  Tahun 1963, Joseph W. McGuire (1963) memperkenalkan istilah

  

Corporate Citizenship. McGuire menyatakan bahwa: “The idea of social

responsibilities supposes that the corporation has not only economic and legal

obligations but also certain responsibilities to society which extend beyond these

obligations”. McGuire kemudian menjelaskan lebih lanjut kata “beyond” dengan

  menyatakan bahwa korporasi harus memperhatikan masalah politik, kesejahteraan masyarakat, pendidikan, “kebahagiaan” karyawan dan seluruh permasalahan sosial kemasyarakatan lainnya. Oleh karena itu korporasi harus bertindak “baik,” sebagai mana warga negara yang baik (McGuire, dalam

  

  Tahun 1971, Committee for Economic Development menerbitkan Social

  

Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap

  sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat.

  Committee for Economic Development merumuskan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris.

  Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitive terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.

  Tahun 1970-an juga ditandai dengan pengembangan definisi tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam artikel yang berjudul “Dimensions of Corporate

  

Social Performance” , S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku

  korporasi yang dikenal dengan social obligation, social responsibility, dan social

  responsiveness . Dalam hal ini social obligatioan hanya menekankan pada aspek

  ekonomi dan hukum saja. Social responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial.

  Social responsivenes merupakan perilaku korporasi yang secara responsif

  dapat mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif. Sesuai dengan pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social responsivenes bersifat preventif. Dimensi kinerja social yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran konsentris yang dipaparkan oleh Committee for Economic Development.

  Tahun 1980-an, era ini ditandai dengan usaha-usaha yang lebih terarah untuk lebih mengartikulasikan secara tepat apa sebenarnya corporate

  

responsibility . Walaupun telah menyinggung masalah coorporate social

responsibility pada 1954, Peter F. Drucker baru mulai membahas secara serius

  bidang tanggung jawab sosial perusahaan pada tahun 1984, Drucker berpendapat:

  

“But the proper ‘social responsibility’ of business is to tame the dragon, that is to

  

turn a social problem into economic opportunity and economic benefit, into

  into

  productive capacity, into human competence, into well-paid jobs, and

wealth”, dalam hal ini, Drucker telah melangkah lebih lanjut dengan memberikan

  ide baru agar korporasi dapat mengelola aktivitas coorporate social responsibility yang dilakukannya dengan sedemikian rupa sehingga tetap akan menjadi peluang bisnis yang menguntungkan (Drucker, dalam

  Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on

  

Environment and Development menerbitkan laporan yang berjudul “Our Common

Future ” juga dikenal sebagai Brundtland Report untuk menghormati Gro Harlem

  Brundtland yang menjadi ketua World Commission on Environment and

  

Development waktu itu. Laporan tersebut menjadikan isu lingkungan sebagai

  agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerjasama multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan.

  Earth Summit dilaksanakan di Rio de Janeiro pada 1992. Dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan.

  Menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya eco-

  

efficiency dijadikan sebagai prinsip utama berbisnis dan menjalankan

pemerintahan .

2.2.3 Dasar Hukum Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia

  Tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia telah diatur dalam beberapa perundang-undangan, yaitu:

  1. Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995, dimana pasal dua butir satu menyatakan bahwa wajib pajak organisasi ataupun orang pribadi dapat menyumbangkan sampai dengan setinggi-tingginya 2% dari keuntungan atau penghasilan setelah pajak penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun pajak yang digunakan bagi pemberdayaan keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera satu.

  2. Keputusan presiden Nomor 92 Tahun 1996, diubah menjadi: wajib pajak organisasi ataupun orang pribadi wajib memberikan kontribusi bagi pemberdayaan keluarga yang belum sejahtera dan keluarga sejahtera satu sebanyak dua persen dari keuntungan setelah pajak penghasilan dalam satu tahun pajak.

  3. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003, dimana pasal dua butir e menyatakan bahwa BUMN harus terlibat aktif memberikan bimbingan dan kontribusi kepada perusahaan lemah, koperasi, dan masyarakat.

  4. Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-236/MBU.2003, mewajibkan BUMN untuk mengimplementasikan program kerjasama dan program pengembangan lingkungan.

5. Surat edaran Menteri BUMN Nomor SE-433/MBU/2003, menyatakan bahwa

  BUMN diwajibkan membentuk bagian tersendiri yang secara khusus mengelola program pembinaan lingkungan.

  6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007, dimana pasal 15 butir b menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; Pasal 17 menyatakan bahwa penanam modal yang memanfaatkan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui wajib menyediakan biaya secara bertahap untuk pemulihan lingkungan; Pasal 34 menyatakan bahwa perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban program tanggung jawab sosial akan dikenai hukuman yang bersifat administratif.

  7. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 dimana ayat satu menyatakan bahwa perusahaan yang menjalankan aktivitas ekonominya disektor dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib mengimplementasikan tanggung jawab sosial perusahaan bagi masyarakat setempat dan lingkungan; ayat dua menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan bagi masyarakat setempat dan linkungan adalah kewajiban perusahaan yang diperuntukkan dan diperhitungkan sebagai biaya perusahaan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; dan ayat tiga menyatakan bahwa perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban dikenakan hukuman sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Siagian dan Suriadi, 2010:27-29).

2.3 Konsep-konsep yang Berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

2.3.1 Pengelolaan Perusahaan yang Baik

  Dalam melakukan usahanya perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban yang bersifat ekonomis dan legal, namun juga kewajiban yang bersifat etis. Etika bisnis merupakan tuntutan perilaku bagi dunia usaha untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh, dan mana yang tidak boleh dilakukan. Untuk mengejar keuntungan semaksimal mungkin tentu mudah terjadi pelanggaran etika, yaitu pelanggaran asas-asas etika umum atau kaidah-kaidah dasar moral yang di antaranya:

1. Asas kewajiban berbuat baik 2.

  Asas kewajiban tidak berbuat yang menimbulkan madharat 3. Asas menghormati otonomi manusia 4. Asas berlaku adil

  Dalam upaya mencegah pelanggaran terhadap asas-asas etika umum atau kaidah-kaidah dasar moral tersebut, tentu diperlukan pengelolaan perusahaan yang baik. Asas-asas yang dikembangkan dan dilaksanakan dalam pengelolaan perusahaan yang baik merupakan rujukan bagi perilaku para pelaku usaha. Agar harapan yang baik ini dapat terjadi maka konsep good corporate governance dengan segala asas-asasnya harus dimasukkan dalam kebijakan perusahaan dan implementasinya (Siagian dan Suriadi, 2010: 32).

  Indonesia telah memiliki pedoman good corporate governance yang disusun oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance. Perusahaan yang menerapan good corporate governance secara konsisten akan mendapatkan manfaat, selain kinerja perusahaan yang terus membaik, harga saham dan citra perusahaan terus terdongkrak, bahkan kredibilitas perusahaan terus meningkat.

  

Governance berada dalam keadaan yang baik apabila terdapat sinergi diantara

  pemerintah, sektor swasta dan komunitas sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi (Rudito dan Famiola, 2007:168).

  Lebih rinci lagi, terdapat lima prinsip pengelolaan perusahaan yang baik yang oleh para pelaku usaha dapat dijadikan sebagai acuan diantaranya adalah:

  1. Prinsip Keterbukaan Prinsip menuntut keterbukaan atas informasi. Perusahaan dituntut memiliki kerelaan dan kemampuan, memberikan informasi yang lengkap, benar atau akurat, dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan.

  2. Prinsip Akuntabilitas Prinsip ini menuntut perwujudan atas kejelasan berkenaan dengan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban elemen perusahaan. Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, maka akan ada kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban, dan wewenang serta tanggungjawab antara pemegang saham, dewan komisaris dan dewan direksi.

  3. Prinsip Pertanggungjawaban Bentuk pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, termasuk masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan lingkungan hidup, dan memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama masyarakat.

  Implementasi penerapan prinsip ini diharapkan akan menyadarkan perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk bertanggungjawab selain kepada pemegang saham juga kepada seluruh pemangku kepentingan.

  4. Prinsip Kemandirian Prinsip ini mensyaratkan agar perusahaan dikelola secara professional tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.

5. Prinsip Kesetaraan dan Kewajaran

  Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak setiap pemangku kepentingan. Prinsip ini diharapkan dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan (Hasmadillah, dalam Siagian dan Suriadi, 2005: 33-34).

  Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social

  

responsibility merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep good

corporate governance. Sebagai etitas bisnis yang bertanggung jawab kepada

  masyarakat dan lingkungannya, perusahaan harus bertindak sebagai good citized yang merupakan tuntutan dari good business ethics.

2.3.2 Pembangunan Berkelanjutan

  Perkembangan corporate social responsibility tidak bisa terlepas dari konsep pembangunan berkelanjutan, definisi pembangunan berkelanjutan menurut

  

The World Commission On Environment and Development yang lebih dikenal

  dengan The Brundtland Comission, bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan. yang semakin meningkat dari para pemimpin dunia terutama menyangkut peningkatan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam yang semakin cepat. Selain itu komisi ini juga dibentuk untuk mencermati dampak kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam terhadap ekonomi dan pembangunan sosial. Oleh karena itu, konsep sustainability development dibangun diatas tiga pilar yang berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya, ketiga pilar tersebut adalah sosial, ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh seluruh negara dalam pelaksanaan pembangunannya adalah dengan memasukkan keberlanjutan sosial kedalam perangkat kebijakan, sehingga tujuan dari masing-masing negara dalam usaha meningkatkan taraf hidup komunitasnya dapat disejajarkan antara satu dengan lainnya. Pembangunan yang berkelanjutan, yang artinya memenuhi kebutuhan saat ini dengan menguasahakan keberlanjutan pemenuhan kebutuhan bagi generasi selanjutnya. Artinya untuk memberikan kesempatan kepada generasi selanjutnya dalam memenuhi kebutuhannya, bukan dalam bentuk saving sumber daya alam, akan tetapi dalam bentuk ahli teknologi.

  Pembangunan yang berkelanjutan tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak memperhatikan aspek kemanusiaanya, perhatian terhadap aspek manusia merupakan sasaran untuk menuju kemasa depan yang berkelanjutan. Pembangunan yang berkelanjutan juga dipengaruhi oleh aspek internal yaitu peningkatan kualitas manusia secara etika seperti pendidikan, kesehatan, rasa empati, saling menghargai dan kenyamanan baik spritual, emosional maupun intelektual (Rudito dan Famiola, 2007: 205).

  Tujuan pembangunan milenium merupakan upaya internasional dan nasional untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan rakyat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Negara-negara keanggotaan Perserikatan Bangsa Bangsa kemudian mengadopsi millenium development goals. Seluruh negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa merasa perlu melakukan sesuatu untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Sebanyak 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa, termasuk Indonesia yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi Deklarasi Milenium.

  Pembangunan milenium mempunyai delapan tujuan yang ingin dicapai pada tahun 2015 adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar, mendorong kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan, mengurangi tingkat kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, menjamin kelestarian lingkungan, dan mengembangkan kemitraan global bagi pembangunan (Siagian dan Suriadi, 2010:44).

  Millenium development goals menempatkan pembangunan manusia

  sebagai fokus utama pembangunan, memiliki tengat waktu dan kemajuan yang terukur. Millenium development goals didasarkan pada konsensus dan kemitraan global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk melaksanakan pekerjaan rumah mereka. Sedangkan negara maju berkewajiban mendukung upaya tersebut. Manfaat dari Millenium Development Goals tidak semata-mata untuk mengukur target dan menentukan indikator dari berbagai bidang pembangunan yang menjadi tujuan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana tujuan pembangunan milenium dikonkritkan pelaksanaannya.

2.3.4 Tiga Garis Dasar

  Konsep Triple Bottom Line merupakan pengukuran kinerja secara holistic dengan memasukkan ukuran kinerja ekonomis berupa perolehan keuntungan dan juga ukuran kepedulian sosial dan pelestarian lingkungan. Ketiga faktor tersebut dikenal dengan Triple-P (3P) yaitu people, profit and planet.

  Konsep 3P mengimplikasikan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan suatu konsep yang mewajibkan perusahan untuk memenuhi dan memperhatikan kepentingan para stakeholder dalam kegiatan operasinya mencari keuntungan. Stakeholder yang dimaksud diantaranya adalah para karyawan (buruh), kustomer, komunitas lokal, pemerintah, maupun lembaga swadaya masyarakat. People menekankan pentingnya praktik bisnis suatu perusahaan yang mendukung kepentingan tenaga kerja, memperhatikan kesehatan dan pendidikan bagi tenaga kerja. Planet berarti mengelola dengan baik penggunaan energi terutama atas sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, mengurangi hasil limbah produksi dan mengolah kembali menjadi limbah yang aman bagi lingkungan, mengurangi emisi CO2 ataupun pemakaian energi merupakan praktik yang banyak dilakukan oleh perusahaan yang menerapkan konsep 3P (Elkington, dalam Wibisono, 2007:32).

  Triple Bottom Line digunakan sebagai kerangka atau formula untuk

  mengukur dan melaporkan kinerja perusahaan mencakup parameter ekonomi, sosial dan lingkungan dengan memperhatikan kebutuhan setiap pemangku kepentingan guna meminimalkan gangguan atau kerusakan pada manusia dan lingkungan dari berbagai aktivitas perusahaan. Keberadaan pemangku kepentingan bisa hadir sebagai penunjang keberhasilan tanggung jawab sosial perusahaan ataupun sebaliknya, jika proses sinergi di antara para pelaku tersebut tidak dilakukan.

2.3.5 International Organization for Standardization 26000

  Pada bulan September 2004, International Organization for

  

Standardization sebagai induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif

  mengundang berbagai pihak untuk membentuk tim yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama

  

International Organization for Standardization 26000: Guidance Standard on

Social Responsibility. International Organization for Standardization 26000

  menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju.

  

International Organization for Standardization 26000 memberikan tambahan

  nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara:

  1. Mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya.

  2. Menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan yang efektif.

  3. Memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.

  International Organization for Standardization 26000 menerjemahkan

  tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan dari para stakeholder, sesuai hokum yang berlaku dan konsisten dengan norma- norma internasional, terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa. .

2.3.6 Model Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Inti pelaksanaan tanggung jawab sosial oleh suatu perusahaan adalah dengan membangun kerjasama antara perusahaan dengan pihak-pihak yang menjadi pemegang kepentingannya. Langkah awal yang wajib ditempuh oleh suatu perusahaan adalah mengetahui siapa saja pihak pemegang atau pemangku kepentingan perusahaannya, dan apa saja yang menjadi indikator kepuasan tiap- tiap pemegang kepentingan.

  Latar Belakang munculnya pemikiran mengikutsertakan unsur pemerintah dalam model pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan, adalah bahwa pemerintah sebagai personifikasi negara memiliki kepentingan dan komitmen yang kuat dalam mensejahterakan masyarakat. Tanggung jawab sosial sebagai suatu kewajiban perusahaan dianggap sebagai bagian dari performance perusahaan yang secara menyeluruh telah diatur dalam hukum, dimana pemerintah merupakan pihak yang memiliki kepentingan dan komitmen atas atau pola yang secara umum dapat dilaksanakan di Indonesia, sebagai berikut:

1. Model keterlibatan langsung

  Perusahaan sendiri yang secara langsung mengimplementasikan program tanggung jawab sosial perusahaaan.

  2. Model yayasan atau organisasi sosial perusahaan Perusahaan sendiri mendirikan yayasan atau organisasi sosial.

  3. Model bermitra dengan pihak lain Pihak perusahaan melakukan kerjasama dengan organisasi lain, dimana organisasi mitra kerjasama tersebut secara langsung mengelola pelaksanaan program tanggung jawab sosial perusahaan.

  4. Model mendukung atau bergabung dalam suatu konsortium Sejumlah perusahaan bekerjasama mendirikan organisasi sosial dan secara langsung bertanggung jawab dalam melaksanakan program tanggung jawab sosial perusahaan (Saidi dan Abidin, dalam Siagian dan Suriadi, 2010:78).

  Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan yang memiliki efektifitas yang tinggi hanya dapat dicapai jika pelaku usaha tidak lagi berperan hanya sebagai dermawan. Sikap tersebut hanya akan berdampak negatif, yaitu melestarikan ketergantungan pada uang kontribusi. Pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan, semestinya dapat dibangun suatu relasi dalam bentuk mitra kerja antara perusahaan dengan masyarakat setempat dalam upaya mencapai tujuan bersama (Siagian dan Suriadi, 2010:78).

2.3.7 Sistematika Tahapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Tahapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sistematis dan kompleks 1.

  Dimulai dengan melihat dan menilai kebutuhan (need assessment) masyarakat sekitar. Caranya dengan mengidentifikasi masalah yang terjadi di masyarakat dan lingkungan. Setelah itu dicari solusi yang terbaik menurut kebutuhan masyarakat.

  2. Membuat rencana aksi, lengkap dengan anggaran, jadwal, indikator, untuk mengevaluasi dan sumberdaya manusia yang ditunjukkan untuk melakukannya. Dalam hal ini, perusahaan dapat membagi program dalam bentuk kegiatan jangka pendek, jangka panjang, hingga masyarakat menjadi mandiri.

3. Monitoring yang dapat dilakukan melalui survei ataupun kunjungan langsung.

  Evaluasi dilakukan secara regular dan dilaporkan agar menjadi panduan untuk strategi atau pengembangan program selanjutnya. Disamping itu perlu dilakukan audit sosial secara objektif terhadaap pelaksanaan program, untuk melihat apakah program telah dapat sasaran dan manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat sesuai tujuan pelaksanaannya (Ambadar, 2008: 39).

2.4 Pemberdayaan Masyarakat dalam Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

  Pemberdayaan masyarakat atau community development adalah bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Pemberdayaan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama dengan mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Community development sering kali diimplikasikan dalam bentuk:

1. Proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhan.

2. Kampanye dan aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggung jawab.

  Community development dapat didefenisikan sebagai metode yang

  memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya. Community development adalah “the process of assiting ordinary

people to improve their own communities by undertaking collective actons”.

  Secara khusus community development berkenaan dengan upaya pemenuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh deskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia dan kecacatan (Twelvetrees, 1991:1).

  Pemberdayaan masyarakat atau community development merupakan sebuah aktualisasi dari tanggung jawab sosial perusahaan yang lebih bermakna dari sekedar aktivitas charity ataupun dimensi tanggung jawab sosial perusahaan lainnya seperti community relation. Hal ini disebabkan karena dalam pelaksanaanya community development, terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan berkelanjutan. Dalam aktualisasi Good Corporate Citizenship, maka kontribusi dunia usaha turut untuk serta dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus mengalami metamorfosis dari aktivitas yang bersifat charity menjadi aktivitas yang lebih menekan kepada penciptaan kemandirian masyarakatnya, yakni program pemberdayaan.

Dokumen yang terkait

Efektivitas Pelaksanaan Program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Medan Di Lingkungan XII Kelurahan Silalas Kecamatan Medan Barat

5 51 139

Pelaksanaan Sistem Kearsipan pada PT. Pertamina Unit Pemasaran I Medan

1 25 59

Analisis Manajemen Kredit Pada Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Medan

0 44 110

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Lanjut Usia Oleh Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial (UPT) Tuna Rungu Wicara Dan Lanjut Usia Di Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Ko

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pelayanan Sosial 2.1.1 Program - Efektifitas Program Pelayanan Sosial Anak Balita di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Anak Balita Medan

0 1 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Keluarga Harapan Di Kelurahan Titi Kuning Kecamatan Medan Johor

1 0 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Simpan Pinjam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di Kelurahan Setianegara Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar

1 1 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi - Evaluasi Pelaksanaan Program Asuransi Kesejahteraan Sosial Oleh Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli

0 0 54

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektifitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun

0 0 37