BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektifitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektifitas

  Efektifitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektifitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang telah dicapai. Efektifitas dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi. Seperti yang dikemukakan oleh Etzioni dkk dalam bukunya organisasi-organisasi modern yang mendefinisikan efektifitas, sebagai berikut:

  “Sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan dan sasaran” (Etzioni dkk, 1985).

  Terdapat banyak rumusan efektifitas, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1992:219) dikemukakan efektif berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) manjur atau mujarab, dapat membawa hasil. Masih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi efektifitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, manjur, membawa hasil dan merupakan keberhasilan dari suatu usaha atau tindakan.

  Komaruddin (1994:294) mengungkapkan definisi efektifitas, efektifitas adalah suatu keadaan yang menunjukan tingkatan keberhasilan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Pada dasarnya dalam memaknai efektifitas setiap orang dapat memberi arti yang berbeda sesuai sudut pandang dan kepentingan masing-masing.

2.1.1 Pengukuran Terhadap Efektifitas

  Pencapaian hasil efektifitas yang dilakukan oleh suatu organisasi menurut (Jones,1994) terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output atau masukan, perubahan dan hasil.

  Input meliputi semua sumber daya yang dimiliki, informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Pada tahap input, tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan yang dimiliki. Tahap conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologiagar dapat menghasilkan nilai. Tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat produktifitasnya.

  Sedangkan dalam tahap output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM. Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan memuaskan kebutuhan pelanggan. (blogspot.com, 2013)

  Gomes (2003) memberi tipe-tipe kriteria efektifitas program. Suatu program bisa dievaluasi berdasarkan: (1) reactions, (2) learning, (3) behaviors, (4) organizational results.

  Melalui reactions (reaksi) dapat diketahui opini dari para peserta mengenai program yang diberikan. Proses learning (belajar) memberikan informasi yang ingin diperoleh melalui penguasaan konsep-konsep, pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan yang diberikan selama pelaksanaan. Behaviors(perilaku) dari peserta, sebelum dan sesudah pelaksanaan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelaksanaan terhadap peserta. Organizational

  results

  (dampak pelaksanaan) untuk menguji dampak pelaksanaan terhadap peserta secara keseluruhan.

2.1.2 Perspektif Efektifitas

  Efektifitas dipandang dari tiga perspektif menurut pendapat Gibson (1997), yaitu : a. Efektifitas dari perspektif individu b.

  Efektifitas dari perspektif kelompok c. Efektifitas dari perspektif organisasi Efektifitas individu berada pada bagian dasar dalam konteks efektifitas individu.

  Perspektif individu menekankan pada penampilan setiap anggota dalam melaksanakan tugasnya. Kemampuan individu dalam melaksanakan tugasnya secara efektif sangat dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti : keterampilan, pengetahuan, kecakapan, sikap, motivasi, dan tekanan atau stress.

  Efektifitas organisasi seperti dinyatakan diatas merupakan perspektif yang ketiga. Hal ini terjadi karena adanya individu-individu dan kelompok-kelompok . oleh karena itu efektifitas organisasi tercipta karena adanya efektifitas individu dan efektifitas kelompok. Walaupun demikian efektifitas organisasi tidak hanya sekedar kumpulan efektifitas individu dan efektifitas kelompok melainkan karena organisasi merupakan sustu system kerjasama yang kompleks, maka efektifitas ditentukan juga oleh factor-faktor seperti lingkungan, teknologi, strategi, struktur, proses, dan iklim kerjasama. (Gibson, 1997).

2.2 Program Kesejahteraan Sosial Anak

2.2.1 Pengertian Program

  Program didefinsikan sebagai instrument kebijakan yang berisi kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran dan/atau kegiatan masyarakat yang di koordinasikan (bappenas.go.id, 2009).

  Program terbagi dalam dua jenis, yaitu: 1.

  Program Teknis, merupakan program–program yang menghasilkan pelayanan kepada kelompok sasaran/masyarakat (pelayanan eksternal)

  2. Program Generik, merupakan program–program yang digunakan oleh beberapa unit Eselon IA yang memiliki kharakteristik sejenis untuk mendukung pelayanan aparatu dan/atau administrasi pemerintah (Pelayanan Internal) (bappenas.go.id, 2009).

2.2.2 Pengertian Kesejahteraan Sosial

  Kesejahteraan berasal dari kata “sejahtera”. Sejahtera ini mengandung pengertian dari bahasa sansekerta “Catera” yang berarti payung. Dalam konteks ini, kesejahteraan yang terkandung dalam arti “catera” (payung) adalah orang yang sejahtera yaitu orang yang dalam hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran sehingga hidupnya aman tenteram, baik lahir maupun batin. Sedangkan sosial berasal dari kata “socius” yang berarti kawan, teman, dan kerja sama. Orang yang sosial adalah orang dapat berelasi dengan orang lain dan lingkungannya dengan baik. Jadi kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana orang dapat memenuhi kebutuhannya dan dapat berelasi dengan lingkungannya secara baik. ( Fahrudin, 2012 )

  Menurut Friedlander dalam Fahrudin (2012), kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisasi dari pelayanan – pelayanan sosial dan institusi – institusi yang dirancang untuk membantu individu – individu dan kelompok-kelompok guna mencapai standar hidup dan kesehatan yang memadai dan relasi-relasi personal dan sosial sehingga memungkinkan mereka dapat mengembangkan kemampuan dan kesejahteraan sepenuhnya selaras dengan kebutuhan- kebutuhan keluarga dan masyarakatnya.

  Kesejahteraan sosial adalah suatu system berskala nasional dari program–program, tunjangan atau dukungan–dukungan, dan pelayanan–pelayanan yang membantu masyarakat memenuhi kebutuhan–kebutuhan meliputi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang bersifat fundamental dalam upaya pemeliharaan masyarakat (Zastrow dalam Siagian dan Suriadi, 2012).

  Sedangkan sebagai suatu disiplin keilmuan, maka kesejahteraan sosial adalah kajian tentang badan–badan atau lembaga–lembaga, program–program, personil dan kebijakan– kebijakan yang berfokus pada pelaksanaan pelayanan–pelayanan sosial bagi individu–individu, kelompok–kelompok dan komunitas (Siagian dan Suriadi, 2012).

  Menurut Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spriritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

  Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial tersebut dilaksanakan berbagai upaya, program dan kegiatan yang disebut “Usaha Kesejahteraan Sosial” baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat. UU Kesejahteraan Sosial No.11 Tahun 2009 dalam pasal 3 ayat 1, juga menjelaskan secara tegas tugas serta tanggung jawab pemerintah di bidang kesejahteraan sosial, yang meliputi :

  1. Meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; 2. memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian; 3. meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial; 4. meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam rangka penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; 5. meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; 6. meningkatkan kualitas manajemen penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial (UU Kesejahteraan Sosial No.11 Tahun 2009).

  Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kesejahteraan sosial merujuk pada suatu kondisi, dengan kondisi mana manusia, baik individu, kelompok maupun komunitas mampu memenuhi kebutuhan hidup sehingga dapat mencapai dan menikmati hidup layak sebagai mahluk yang memiliki harkat martabat (Siagian dan Suriadi, 2012).

  Dalam Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial juga ditegaskan bahwa penyelenggaraan usaha kesejahteraan sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

  Kesejahteraan sosial mempunyai tujuan yaitu: 1. Untuk mencapai kehidupan yang sejahtera dalam arti tercapainya standar kehidupan pokok seperti sandang, perumahan, pangan, kesehatan dan relasi-relasi sosial yang harmonis dengan lingkungannya.

  2. Untuk mencapai penyesuaian diri yang baik khususnya dengan masyarakat di lingkungannya, misalnya dengan menggali sumber-sumber, meningkatkan, dan mengembangkan taraf hidup yang memuaskan.

  Selain itu Schneiderman (1972) dalam Fahrudin mengemukakan tiga tujuan utama dari sistem kesejahteraan sosial yang sampai tingkat tertentu tercermin dalam semua program kesejahteraan sosial, yaitu pemeliharaan sistem, pengawasan sistem dan perubahan sistem.

  1. Pemeliharaan Sistem Pemeliharaan dan menjaga keseimbangan atau kelangsungan keberadaan nilai-nilai dan norma sosial serta aturan-aturan kemasyarakatan dalam masyarakat, termasuk hal – hal yang bertalian dengan definisi makna dan tujuan hidup, motivasi bagi kelangsungan hidup orang seorang dan kelompok, norma-norma yang menyangkut pelaksanaan peranan anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, dan peranan pria dan wanita, norma-norma yang berhubungan dengan produksi dan distribusi barang dan jasa, norma-norma yang berhubungan dengan penyelesaian konflik dalam masyarakat.

  2. Pengawasan Sistem Melakukan pengawasan secara efektif terhadap prilaku yang tidak sesuai atau menyimpang dari nilai-nilai sosial. Kegiatan-kegiatan kesejahteraan sosial untuk mencapai tujuan semacam itu meliputi, mengintensifkan fungsi-fungsi pemeliharaan berupa kompensasi, sosialisasi, peningkatan kemampuan menjangkau fasilitas-fasilitas yang ada bagi golongan masyarakat yang memperlihatkan penyimpangan tingkah laku misalnya kelompok remaja dan kelompok lain dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat ditingkatkan pengawasan diri sendiri dengan jalan menghilangkan sebab-sebab masalah sesungguhnya.

3. Perubahan Sistem

  Mengadakan perubahan kearah berkembangnya suatu sistem yang lebih efektif bagi anggota masyarakat. Dalam mengadakan perubahan itu, sistem kesejahteraan sosial merupakan instrumen untuk menyisihkan hambatan-hambatan terhadap partisipasi sepenuhnya dan adil bagi anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan, pembagian sumber-sumber secara lebih pantas dan adil, dan terhadap penggunaan struktur kesempatan yang tersedia secara adil pula.

  Fungsi kesejahteraan sosial bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi tekanan– tekanan yang diakibatkan terjadinya perubahan-perubahan sosio-ekonomi, menghindarkan terjadinya konsekuensi-konsekuensi sosial yang negatif akibat pembangunan serta menciptakan kondisi-kondisi yang mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarat (Friedlander dan Apte dalam Fahrudin, 2012).

  Fungsi-fungsi kesejahteraan sosial itu antara lain: 1.

  Fungsi Pencegahan Kesejahteraan sosial ditujukan untuk memperkuat individu, keluarga dan masyarakat agar terhindar dari masalah-masalah sosial baru. Dalam masyarakat transisi, upaya pencegahan ditekankan pada kegiatan-kegiatan untuk membantu menciptakan pola- pola baru dalam hubungan sosial serta lembaga-lembaga sosial baru.

2. Fungsi penyembuhan

  Kesejahteraan sosial ditujukan untuk menghilangkan kondisi-kondisi ketidakmampuan fisik, emosional dan sosial agar orang yang mengalami masalah tersebut dapat berfungsi kembali secara wajar dalam masyarakat. Dalam fungsi ini tercakup juga fungsi pemulihan (rehebilitasi)

  3. Fungsi pengembangan Kesejahteraan sosial berfungsi untuk memberikan sumbangan langsung ataupun tidak langsung dalam proses pembangunan atau pengembangan tatanan dan sumber-sumber daya sosial dalam masyarakat.

  4. Fungsi penunjang Fungsi ini mencakup kegiatan-kegiatan untuk membantu mencapai tujuan sektor atau bidang pelayanan kesejahteraan sosial yang lain.(Fahrudin, 2012)

  Pelayanan Sosial

  Pelayanan sosial adalah usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tujuan dalam pencapaian kesejahteraan sosial. Pelayanan sosial merupakan usaha pendorong, penawar, pengganti bagi keluarga yang institusi pendidikan; serta merupakan bagian dari mekanisme sosialisasi dan kontrol sosial keluarga, sekolah dan pelayanan-pelayanan yang dirangkai untuk menyediakan sumber-sumber pribadi dan sosial yang esensial guna pelaksanaan peranan-peranan sosial yang efektif (Sekarningsih, 1983: 77). Pelayanan sosial bukan hanya sebagai usaha memulihkan, memelihara, meningkatkan kemampuan berfungsi sosial individu dan keluarga, melainkan juga sebagai usaha untuk menjamin berfungsinya kolektifitas seperti kelompokkelompok sosial, organisasi serta masyarakat (Fadhil, 1990: 30). Pelayanan-pelayanan sosial membentuk dan menyediakan sumber-sumber yang disediakan untuk membantu orang- orang memperbaiki kompetensi sosialnya, mempengaruhi dan mengubah tingkah laku dan memecahkan masalah penyesuaian diri.

  Pelayanan sosial telah dan mungkin akan diklasifikasikan dalam berbagai cara, tergantung dari tujuan klasifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:

  1. Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat

  2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi

  3. Organisasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian sosial

  4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat. Untuk tujuan pembangunan

  5. Penyediaan dan Penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan- pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi.

  Alfred J. Khan menyatakan bahwa fungsi utama pelayanan sosial adalah:

  1. Pelayanan Sosial untuk Sosialisasi dan pengembangan

  2. Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi 3. Pelayanan akses.

  Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program-program pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Tujuannya yaitu untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak. (Soetarso, 1979: 40)

  Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain:

  1. Program Penitipan Anak

  2. Program-program kegiatan remaja atau pemuda

  3. Program-program pengisian waktu terulang bagi anak dan remaja dalam keluarga.

  Pelayanan Sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual maupun di dalam kelompok atau keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya. Bentuk-bentuk pelayanan sosial tersebut antara lain :

  1. Bimbingan sosial bagi keluarga

  2. Program asuhan keluarga dan adopsi anak

  3. Program bimbingan bagi anak nakal dan bebas hukuman

  4. Program-program rehabilitasi bagi penderita cacat

  5. Program-program bagi lanjut usia

  6. Program-program penyembuhan bagi penderita gangguan mental

  7. Program-program bimbingan bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam bidang pendidikan

  8. Program-program bimbingan bagi para pasien di rumah-rumah sakit Kebutuhan akan program pelayanan sosial akses disebabkan oleh karena:

  1. Adanya birokrasi modern

  2. Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hal-hal dan kewajiban/tanggung jawabnya.

  3. Diskriminasi dan

  4. Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang memerlukan pelayanan sosial.

  Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial disini mempunyai fungsi sebagai “akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Pelayanan akses bukanlah semata-mata memberikan informasi, tetapi juga termasuk menghubungkan seseorang dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan melaksanakan program-program referral. Fungsi tambahan dari pelayanan sosial ialah menciptakan partisipasi anggota masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah sosial. Tujuannya dapat berupa : Terapi individual dan sosial untuk memberikan kepercayaan pada diri individu dan masyarakat dan untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial dalampembagian politis, yaitu untuk mendistribusikan sumber-sumber dan kekuasaan.

  Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana program itu diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Partisi kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan tujuan. Ada yang memandang bahwa partisipasi dan pelayanan merupakan dua fungsi yang selalukonflik, karenanya harus dipilih salah satu. Karenanya harus dipilih partisipasi sebagai tanggungjawab masyarakat dan pelayanan sebagai tanggungjawab program. Pada umumnya sesuatu program sulit untuk meningkatkan keduaduanya sekaligus.

  Pendapat demikian selalu benar. Pelayanan sosial membutuhkan pada tingkat tertentu partisipasi masyarakat (Muhidin, 1992: 41)

2.2.3 Pengertian Anak

  Dalam Undang–Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ketentuan dalam Undang–Undang diatas menerangkan bahwa anak yang masih dalam kandungan pun dikategorikan anak sampai dengan usia 18 tahun.

  Menurut Konvensi Hak Anak yang tertuang dalam pasal 1, anak merupakan setiap manusia yang berusia dibawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan undang–undang yang berlaku bagi anak–anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal (Konvensi Hak Anak, 1989).

2.2.4 Konvensi Hak Anak

  Gagasan mengenai hak anak bermula setelah berakhirnya Perang Dunia I. Sebagai reaksi atas penderitaan yang timbul akibat bencana peperangan terutama yang dialami oleh kaum perempuan dan anak-anak, para aktifis perempuan dalam pawai protes mereka membawa poster- poster yang meminta perhatian public atas nasib anak-anak yang menjadi korban perang. Salah seorang diantara para aktifis perempuan tersebut, Eglantyne jebb, kemudian mengembangkan sepuluh butir pernyataan tentang hak anak yang pada tahun 1923 diadopsi oleh Save the Children Fund International Union. Pada tahun 1924, untuk pertama kalinya Deklarasi Hak Anak diadopsi secara internasional oleh Liga Bangsa-Bangsa. Deklarasi ini dikenal juga sebagai “Deklarasi Jenewa”. (UNICEF, 2003).

  Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia (10 Desember). Peristiwa yang setiap tahun diperingati sebagai “Hari Hak Asasi Manusia Sedunia” ini menandai perkembangan penting dalam sejarah HAM. Beberapa hal menyangkut hak khusus bagi anak-anak tercakup dalam Deklarasi ini. Pada tahun 1959, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali mengeluarkan pernyataan mengenai Hak Anak, merupakan deklarasi internasional kedua. Tahun 1979, saat dicanangkannya “Tahun Anak International” pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara yuridis. Inilah awal mula perumusan Konvensi Hak Anak. (UNICEF, 2003).

  Tahun 1989, rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB (tanggal 20 November).

  Rancangan inilah yang kita kenal sebagai Konvensi Hak Anak (KHA) seperti keadaannya yang sekarang ini. Tanggal 2 September 1990, KHA mulai diberlakukan sebagai hukum internasional, sesuai ketentuan pasal 49 ayat 1, “Konvensi Hak Anak ini akan diberlakukan pada hari ketigapuluh setelah tanggal diterimanya oleh Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa instrumen ratifikasi atau keikutsertaan yang keduapuluh.

  Indonesia meratifikasi KHA dengan Keputusan Presiden No. 36/1990 tertanggal 25 Agustus 1990. Tetapi KHA berlaku di Indonesia mulai 5 Oktober 1990, sesuai pasal 49 ayat 2, “Bagi tiap-tiap Negara yang meratifikasi atau yang menyatakan keikutsertaan pada Konvensi Hak Anak setelah diterimanya instrumen ratifikasi atau instrument keikutsertaan yang keduapuluh, Konvensi ini akan berlaku pada hari ketigapuluh setelah tanggal diterimanya instrument ratifikasi atau instrument keikutsertaan dari Negara yang bersangkutan”. (UNICEF, 2003).

2.2.5 Pengertian Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA)

  Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak, yang meliputi bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2011)

2.2.6 Tujuan dan Sasaran PKSA

  Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah terwujudnya pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan terhadap anak dari keterlantaran, kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi sehingga tumbuh kembang, kelangsungan hidup dan partisipasi anak dapat terwujud. (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2011).

  Sasaran PKSA yang akan dicapai dalam periode RPJMN II (tahun 2010-2014) adalah: 1.

  Meningkatnya presentase anak dan balita terlantar, anak jalanan, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dengan kecacatan dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus untuk memperoleh akses pelayanan sosial dasar.

  2. Meningkatnya presentase orangtua/keluarga yang bertanggung jawab dalam pengasuhan dan poerlindungan anak.

  3. Menurunnya presentase anak yang mengalami masalah sosial.

  4. Meningkatnya Lembaga Kesejahteraan Sosial yang memberikan perlindungan terhadap anak.

  5. Meningkatnya Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Relawan Sosial terlatih, yang memberikan pendampingan dibidang pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak.

  6. Meningkatnya perenan Pemerintah Daerah (provinsi/kabupaten/kota) dalam mensinergiskan PKSA dengan Program Kesejahteraan dan Perlindungan Anak yang bersumber dari APBD.

7. Meningkatnya produk hukum pengasuhan dan perlindungan anak sebagai landasan hukum pelaksanaan PKSA. (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2011).

2.2.7 Persyaratan dan Kewajiban Penerima Layanan.

  Sasaran penerima layanan PKSA: anak, orangtua/keluarga maupun Lembaga Kesejahteraan Sosial yang menjadi mitra pendamping, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Adanya perubahan sikap dan prilaku sosial anak kearah positif.

  2. Intensitas kehadiran anak dalam layanan sosial dasar dari berbagai organisasi/lembaga semakin meningkat.

  3. Intensitas kehadiran anak dalam kegiatan pengembangan potensi diri/kreativitas anak semakin meningkat.

  4. Tanggung jawab orangtua/keluarga dalam pengasuhan dan perlindungan anak semakin meningkat.

  5. Peran Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak yang bermitra dengan Kementrian Sosial semakin efektif dalam mendampingi anak sehingga anak dapat terhindar dari penelantaran, eksploitasi, kekerasan dan diskriminasi. (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2011).

2.2.8 Pendampingan PKSA

  Pendampingan PKSA terdiri atas Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak, Relawan Sosial dan pengelola Unit PKSA lokal. Tugas-tugas Pekerja Sosial Profesional pendamping PKSA adalah merencanakan, melaksanakan, dan melaporkan hasil pemberian pelayanan Kesejahteraan Sosial, antara lain:

  1. Pendampingan terhadap anak, orangtua/keluarga dan komunitas yang menjadi sasaran/ berbeda dalam wilayah jangkauan PKSA.

  2. Layanan dalam pemenuhan kebutuhan dasar, peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diridan kreativitas anak, penguatan tanggung jawab orangtua/keluarga dan penguatan kelembagaan PKSA dan penguatan peran LKSA.

  3. Melakukan verifikasi komitmen penerima manfaat PKSA sesuai dengan persyaratan dan kewajiban yang telah ditetapkan pada setiap sub-program/klaster.

  4. Melaksanakan tugas-tugas profesional dalam mendampingi sasaran PKSA (asesmen, pembahasan kasus, penanganan kasus, pencacatan, penumbuhan kesadaran dan motivasi, membangun tim kerja, membangun kerjasama, penelusuran/reintegrasi/reunifikasi keluarga, membantu proses membuka rekening tabungan atas nama anak).

  5. Melakukan advokasi sosial dalam rangka peningkatan kinerja PKSA kepada jaringan mitra kerja PKSA, Pemerintah, Pemerintah Daerah,DPR/DPRD, dan lembaga-lembaga Negara lainnya.

  6. Membuat laporan penanganan kasus setiap terjadi kasus.

  7. Membuat laporan pelaksanaan pendampingan per triwulan, dan akhir tahun kontrak kerja, selain laporan penanganan kasus (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2011). Menurut Asosiasi Nasional Pekerja Sosial Amerika Serikat, pekerjaan sosial adalah kegiatan profesional membantu individu, kelompok atau masyarakat untuk meningkatkan atau memulihkan kemampuan mereka untuk berfungsi sosial dan untuk menciptakan kondisi sosial yang mendukung tujuan-tujuan ini. Praktik pekerjan sosial terdiri atas penerapan profesional dari nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teknik-teknik pekerjaan sosial pada satu atau lebih dari tujuan- tujuan berikut: membantu orang memperoleh pelayanan-pelayanan nyata, memberikan konseling dan psikoterapi untuk individu-individu, keluarga-keluarga dan kelompok-kelompok, membantu komunitas atau kelompok memberikan atau memperbaiki pelayanan-pelayanan sosial dan kesehatan dan ikut serta dalam proses-proses legislatif yang berkaitan (Fahrudin, 2012).

  Pekerjaan sosial sebagai profesi mempunyai empat unsur utama, yang pada umumnya, tiga unsur diantaranya dikatakan sebagai pengetahuan, sikap dan keterampilan. Misi dan tujuan dari pekerjaan sosial menurut NASW adalah: 1.

  Meningkatkan kemampuan-kemampuan orang untuk memecahkan masalah, mengatasi dan perkembangan.

  2. Menghubungkan orang dengan sistem-sistem yang memberikan kepada mereka sumber- sumber, pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan

  3. Memperbaiki keefektifan dan bekerjanya secara manusiawi dari sistem-sistem yang menyediakan orang dengan sumber-sumber dan pelayanan-pelayanan.

  4. Mengembangkan dan memperbaiki kebijakan sosial.

  5. Meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi kemiskinan, penindasan dan bentuk-bentuk ketidakadilan sosial lainnya.

  6. Mengusahakan kebijakan, pelayanan, dan sumber-sumber melalui advokasi dan tindakan- tindakan sosial dan politik yang meningkatkan keadilan sosial dan ekonomi.

  7. Mengembangkan dan menggunakan penelitian, pengetahuan, dan keterampilan yang memajukan praktik pekerjaan sosial.

  8. Mengembangkan dan menerapkan praktik dalam konteks budaya yang bermacam- macam.

  Pekerja Sosial Profesional yang menjadi pendamping antara lain Satuan Bakti Pekerja Sosial (SAKTI PEKSOS) yang merupakan petugas kemanusiaan dibidang pekerja sosial yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial atau Dinas/Instansi Sosial yang memiliki status kerja kontrak karya dengan Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA Pusat) atau Dinas/Instansi Sosial Provinsi (PKSA Dekon).kontrak karya dilakukan per tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan.

  Persyaratan Satuan Bakti Pekerja Sosial yang menjadi pendamping PKSA, adalah: 1.

  Pendidikan Diploma IV/ Sarjana Pekerja Sosial/ Kesejahteraan Sosial.

  2. Berusia maksimal 40 tahun pada 31 Desember.

  3. Warga Negara Republik Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan taat kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  4. Tidak berkedudukan sebagai CPNS/PNS/TNI/POLRI.

  5. Tidak berkedudukan sebagai anggota dan/pengurus partai politik.

  6. Bebas dari narkotika dan zat adiktif lain.

  7. Mengisi formulir pendaftaran.

  8. Sehat Jasmani dan Rohani dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter pemerintah.

  9. Tidak sedang terikat kontrak kerja dengan pihak lain.

  10. Bersedia bekerja penuh waktu. Pelaksanan seleksi dilaksanakan oleh panitia seleksi Satuan Bakti Pekerja Sosial bekerjasama dengan Biro Organisasi Kepegawaian, Sekretariat Jendral Rehabilitasi Sosial,

  Perguruan Tinggi Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial, dan Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) (Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak, 2011).

2.3 Pengertian Anak Jalanan

  Anak jalanan atau yang sering disingkat dengan anjal adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak–anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Tapi hingga kini belum ada pengertian anak jalanan yang dijadikan acuan bagi semua pihak (Wikipedia.org, 2013).

  Ditengah ketiadaan pengertian untuk anak jalanan, dapat ditemui adanya pengelompokan anak jalanan berdasar hubungan mereka dengan keluarga. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu anak–anak yang turun ke jalan dan anak–anak yang ada dijalanan. Namun pada perkembangannya ada penambahan kategori anak–anak dari keluarga yang ada di jalanan (Wikipedia.org, 2013).

  Pengertian untuk kategori pertama adalah anak–anak yang mempunyai kegiatan ekonomi dijalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak–anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari dan anak–anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan namun masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala maupun dengan jadwal yang tidak rutin (Wikipedia.org, 2013).

  Kategori kedua adalah anak–anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan dan tidak memiliki hubungan atau ia memutuskan hubungan dengan orang tua atau keluarganya (Wikipedia.org, 2013).

  Kategori ketiga adalah anak–anak yang menghabiskan seluruh waktunya dijalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Kategori keempat adalah anak berusia 5–17 tahun yang rentan bekerja di jalanan, anak yang bekerja di jalanan dan/atau yang bekerja dan hidup di jalanan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari–hari (Wikipedia.org, 2013).

  Seorang anak yang mempunyai cita–cita yang tidak tercapai, karena ada sebuah faktor perekonomian keluarga, sehingga mereka mencari uang tambahan jajan dengan cara mengamen di jalanan (Wikipedia.org, 2013).

  Departemen Sosial Republik Indonesia mendefenisikan, anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan dan di tempat-tempat umum lainnya. Anak jalanan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Berusia antara 5-18 tahun.

  2. Melakukan kegiatan atau berkeliaran di jalanan.

  3. Penampilannya kebanyakan kusam.

  4. Pakaiannya tidak terurus.

  5. Dan mobilitasnya tinggi (high risk). Berdasarkan hasil survei dari Departemen Sosial dan lembaga-lembaga anak yang ada di

  Indonesia, anak jalanan dikelompokkan kedalam 3 kategori :

  1. Anak jalanan yang hidup di jalanan dengan kriteria : 1) Putus hubungan atau tidak bertemu dengan orangtuanya.

  2) 8-10 jam berada di jalanan untuk “bekerja” (mengamen, mengemis, memulung) dan sisanya mengelandang/tidur.

  3) Tidak bersekolah lagi. 4) Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.

  2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan dengan kriteria : 1) Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya.

  2) 8-16 jam berada di jalanan. 3) Mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orangtua/saudara, umumnya tinggal di daerah kumuh.

  4) Tidak lagi bersekolah. 5) Pekerjaan : penjual koran, pedagang asongan, pencuci bus, pemulung, penyemir sepatu dan lain-lain.

  6) Rata-rata berusia di bawah 16 tahun.

  3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria : 1) Bertemu teratur setiap hari, tinggal dan tidur dengan keluarganya.

  2) 4-6 jam berada di jalanan. 3) Masih bersekolah. 4) Pekerjaan : penjual Koran, penyemir sepatu, pengamen dan lain-lain.

  Dilihat dari anak jalanan (Balatbang Kesos, 2005) terdapat beberapa kecenderungan, yaitu: (a) sebagian besar anak jalanan melakukan aktivitas berjualan di jalan, (b) tempat tinggal mereka di rumah, (c) memperoleh makanan dengan cara membeli sendiri, (d) lama tinggal di jalan dalam satu hari di atas 12 jam, (e) memperoleh uang dari hasil berjualan dan mengamen, (f) uang yang diperoleh digunakan untuk membantu keluarga, (g) jarang bertemu orang tua, (h) sering mendapat kesulitan di rumah, (i) kurang betah tinggal di rumah, (j) meminta tolong pada saudaranya ketika mengalami kesulitan sebagai pihak yang dianggap paling dekat (Mujiyadi.DKK, 2011)

  Adapun ciri-ciri dari anak jalanan tersebut dibagi menjadi dua sifat yaitu bersifat Abstrak dan bersifat Psikis. Adapun kedua sifat tersebut dapat dilihat penjelasannya dalam daftar tabel di bawah ini.

TABEL 2.1 Bersifat Abstrak Bersifat Psikis

  1. Warna kulit kusam

  1. Mobilitas tinggi

  2. Rambut kemerah-merahan/

  2. Acuh tak acuh penuh curiga pirang

  3. Sangat sensitif

  3. Kebanyakan berbadan

  4. Berwatak keras kurus

  5. Kreatif

  4. Pakaian tidak terurus

  6. Semangat hidup tinggi

  5. Dirinya tidak nyaman/ Bau

  7. Berani menanggung resiko

  8. Mandiri

  Sumber  : KKSP, 2008.

  Berdasarkan data yang dihasilkan melalui survei oleh berbagai lembaga anak diperoleh bahwa indikator anak jalan adalah :

  1. Usia berkisar antara 6-18 tahun.

  2. Intensitas hubungan dengan keluarga.

  1) Masih berhubungan maksimal sekali perminggu 2) Sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga

  3. Waktu yang dihabiskan dijalan lebih dari 4 jam sehari

  4. Tempat tinggal : 1) Tinggal bersama orangtua 2) Tinggal berkelompok dengan teman-temannya 3) Tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap

  5. Tempat anak jalanan sering dijumpai : 1) Pasar 2) Terminal bus/angkot 3) Stasiun kereta api 4) Taman-taman kota 5) Daerah lokalisasi WTS 6) Perempatan jalan atau di jalan raya 7) Pusat perbelanjaan atau mall 8) Kendaraan umum (ngamen) 9) Tempat pembuangan sampah

  6. Aktifitas anak jalanan :

  1) Penyemir sepatu 2) Mengasong 3) Menjadi calo secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari 4) Frekuensi berkomunikasi dengan keluarga sangat minimal, 5) Menjajakan majalah/Koran 6) Mengelap mobil 7) Mencuci kendaraan 8) Menjadi pemulung 9) Menjadi kuli angkot 10) Menyewakan paying 11) Pengamen 12) Menjadi penghubung atau penjual jasa

  7. Sumber dana dalam melakukan kegiatan : 1) Modal sendiri 2) Modal kelompok 3) Modal majikan/patron 4) Stimulasi/bantuan

  8. Permasalahan :

  1) Korban eksploitasi pekerjaan dan seks 2) Rawan kecelakaan lalu lintas 3) Ditangkap petugas 4) Konflik dengan anak lain 5) Terlibat tindakan criminal 6) Ditolak masyarakat lingkungannya

  9. Kebutuhan anak jalanan : 1) Aman dalam keluarga 2) Bantuan usaha 3) Pendidikan bimbingan keluarga 4) Gizi dan kesehatan 5) Hubungan harmonis dengan orangtua, keluarga dan masyarakat

2.3.1 Pandangan Masyarakat atas Keberadaan Anak Jalanan

  Secara umum masyarakat memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang sangat kompleks bahkan ia membentuk sebuah lingkaran yang berujung (the vicious circle) yang sulit dilihat ujung pangkalnya. Kalangan aparat hukum, polisi misalnya, memandang bahwa payung kebijakan yang dapat digunakan untuk menangani anak jalanan belum ada. Mereka sulit untuk melakukan tindakan hukum berhubung tidak adanya undang-undang khusus mengenai anak jalanan seperti misalnya Peraturan Daerah, Peraturan Pusat atau yang lainnya sehingga dirasa sulit untuk mengadakan pencegahan agar anak-anak tidak berada di jalan. Selanjutnya tokoh agama berpandangan bahwa munculnya masalah anak jalanan merupakan wujud dari tidak optimalnya pengelolaan zakat baik zakat mal, zakat fitrah, dan lainnya. Mereka mengharapkan agar dana zakat dapat dikelola sebaik mungkin agar disalurkan kepada mustahik dan dapat dimanfaatkan sebaik-sebaiknya oleh mereka (Mujiyadi.DKK, 2011)

  Disamping itu, kalangan akademisi memandang bahwa masalah anak jalanan merupakan masalah yang berkaitan dengan bagaimana hubungan antara pemerintah kota dengan daerah penyangga. Menurut mereka, penanganan masalah anak jalanan harus melibatkan juga aparat pemerintah pada daerah penyangga. Pemda DKI, misalnya, juga harus mengalokasikan dana pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di Tangerang, Bekasi, dan daerah penyangga lainnya. Terakhir, aktifis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memandang bahwa penanganan anak jalanan harus dilakukan dengan melibatkan institusi sekolah, rumah singgah, dan pemberdayaan keluarga dengan memberikan modal usaha keluarga (Mujiyadi.DKK, 2011).

2.3.2 Kebutuhan dasar Anak Jalanan

  Setiap manusia mempunyai kebutuhan yang mencakup kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual. Anak jalanan, sebagai bagian dari manusia, juga memiliki kebutuhan seperti tersebut di atas. Namun demikian, sesuai Studi Kebutuhan Pelayanan Anak Jalanan dengan perkembangan usianya maka anak jalanan memiliki kekhususan kebutuhan. Kekhususan dimaksud juga merupakan manifestasi dari hak anak (Mujiyadi.DKK, 2011).

  Dalam Undang Undang Perlindungan Anak dan juga rekomendasi Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa anak mempunyai hak dasar yang meliputi hak untuk hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan fisik, psikis, sosial dan spiritual juga merupakan upaya pemenuhan hak anak dimaksud. Semua pihak tentu saja berkewajiban untuk memenuhi hak anak dimaksud (Mujiyadi.DKK, 2011).

  Seperti manusia pada umumnya, anak juga mempunyai berbagai kebutuhan: jasmani, rohani dan sosial. Menurut Abraham H. Maslow, kebutuhan manusia itu mencakup: kebutuhan fisik (udara, air, makan), kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk menyayangi dan disayangi, kebutuhan untuk penghargaan, kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dan bertumbuh.

  Sebagai manusia yang tengah tumbuh-kembang, anak memiliki keterbatasan untuk mendapatkan sejumlah kebutuhan tersebut yang merupakan hak anak. Orang dewasa termasuk orang tuanya, masyarakat dan pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut. Permasalahannya adalah orang yang berada di sekitarnya termasuk keluarganya seringkali tidak mampu memberikan hak-hak tersebut (Mujiyadi.DKK, 2011).

  Seperti misalnya pada keluarga miskin, keluarga yang pendidikan orang tua rendah, perlakuan salah pada anak, persepsi orang tua akan keberadaan anak, dan sebagainya. Pada anak jalanan, kebutuhan dan hak-hak anak tersebut tidak dapat terpenuhi dengan baik. Untuk itulah menjadi kewajiban orang tua, masyarakat dan manusia dewasa lainnya untuk mengupayakan upaya perlindungannya agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi secara optimal (Mujiyadi.DKK, 2011).

2.3.3 Penanganan Masalah Anak Jalanan

  Model penangannan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base,

  institutional base dan multi-system base .

  • Family base, adalah model dengan memberdayaan keluarga anak jalanan melalui beberapa metode yaitu melalui pemberian modal usaha, memberikan tambahan makanan, dan memberikan penyuluhan berupa penyuluhan tentang keberfungsian keluarga. Dalam model ini diupayakan peran aktif keluarga dalam membina dan menumbuh kembangkan anak jalanan. (Mujiyadi.DKK, 20
  • • Institutional base,

  adalah model pemberdayaan melalui pemberdayaan lembaga-lembaga sosial di masyarakat dengan menjalin networking melalui berbagai institusi baik lembaga pemerintahan maupun lembaga sosial masyarakat.

  • • Multi-system base,

  adalah model pemberdayaan melalui jaringan sistem yang ada mulai dari anak jalanan itu sendiri, keluarga anak jalanan, masyarakat, para pemerhati anak, akademisi, aparat penegak hukum serta instansi terkait lainnya.

  Dengan memperhatikan keberadaan anak, yang pada dasarnya dikaitkan dengan keluarga dan komunitasnya, maka mestinya penanganan anak jalanan perlu disentuh baik kepada anak itu sendiri maupun kepada keluarga di mana anak tinggal. Pelayanan kepada anak dilakukan melalui pelayanan kesejahteraan yang memperhatikan hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan serta hak partisipasinya. Pelayanan itu tentu saja dengan memperhatikan kepentingan terbaik untuk anak. Pelayanan ini meliputi kebutuhan fisik dasar, pendidikan, kesehatan, hingga kepentingan psikis dan sosial anak. (Mujiyadi.DKK, 2011).

  Adapun untuk pelayanan terhadap keluarga di mana anak tinggal dilakukan melalui pemberdayaan keluarga, agar keluarga dimaksud mampu memenuhi kebutuhan anak. Selain itu pelayanan anak melalui lingkungan sekolah, serta komunitasnya akan sangat membantu peningkatan kesejahteraan anak. (Mujiyadi.DKK, 2011).

2.4 Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI)

  Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia (YAKMI) adalah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada Kesejahteraan Sosial berdiri pada tahun 1997 berdasarkan ide dari pekerja sosial. Pada tahun 2000 YAKMI telah terdaftar secara hukum dengan akte notaris No. 78/tanggal 22 mei 2000 yang telah direvisi dengan akte notaris No. 02/tanggal 03 desember 2000 dan terdaftar pada Kantor Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara No. 467.6/17 tanggal 11 januari 2001.

  Pada awal kegiatan YAKMI dimulai dengan pendampingan anak jalanan, namun seiring dengan perjalanannya, YAKMI berfokus pada pengembangan dan pemberdayaan masyarakat melalui komunitas khususnya diwilayah marginal untuk mendukung Kesejahteraan Sosial bagi perempuan dan anak. . (Dinas Kesejahteraan Sosial Anak, 2011).

  YAKMI merupakan salah satu penyelenggara Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yang bekerjasama dengan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara / Kementerian Sosial Republik Indonesia. (Dinas Kesejahteraan Sosial Anak, 2011).

2.5 Kerangka Pemikiran

  Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak, yang meliputi bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial dasar, peningkatan potensi diri dan kreativitas anak, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak.

  Anak jalanan adalah anak yang berusia 5–17 tahun yang mempunyai cita–cita yang tidak tercapai, karena ada sebuah faktor perekonomian keluarga, sehingga mereka mencari uang tambahan dengan cara mengamen di jalanan.

  Melihat semakin maraknya fenomena anak jalanan yang terjadi, maka pemerintah menciptakan sebuah program di mana program tersebut bertujuan untuk mengurangi jam kerja anak di jalanan. Program tersebut adalah Program Kesejahteraan Sosial Anak yang fokus kepada Anak Jalanan. Diharapkan program yang dibuat oleh pemerintah ini dapat berjalan efektif dan efisien, sehingga perlu adanya pengawasan dan pendampingan dari pihak terkait dan juga dari masyarakat.

  Untuk memperjelas alur pemikiran, penulis membuat bagan yang menggambarkan isi dari pemikiran diatas, yaitu

  

Bagan Alur Pemikiran

Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalananoleh Yakmi Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun a. Terwujudnya pemenuhan hak dasar anak.

  b. Perlindungan terhadap anak.

  c. Menurunnya presentase anak yang mengalami masalah sosial.

  

CLUSTER

ANAK JALANAN

Indikator Efektivitas Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan menurut Gomes (2003): 1. Reaksi (reactions) 2. Belajar (learning) 3. Perilaku (behaviors) 4. Hasil (organizational results) Tidak Efektif Efektif

2.6 Definisi Konsep dan Definisi Operasional

2.6.1 Defenisi Konsep

  Konsep merupakan suatu arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri–ciri yang sama. Adapun yang menjadi konsep yang diangkat dalam penelitian ini dapat didefenisikan sebagai berikut: 1.

  Efektifitas adalah dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

  2. Program adalah instrument kebijakan yang berisi kegiatan–kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai sasaran dan tujuan serta memperoleh alokasi anggaran dan/atau kegiatan masyarakat yang di koordinasikan.

  3. Kesejahteraan sosial adalah suatu system berskala nasional dari program–program, tunjangan atau dukungan–dukungan, dan pelayanan–pelayanan yang membantu masyarakat memenuhi kebutuhan–kebutuhan meliputi kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan yang bersifat fundamental dalam upaya pemeliharaan masyarakat.

Dokumen yang terkait

Efektivitas Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun

4 88 93

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Strategi Adaptasi Dan Mitigasi Bencana Banjir Pada Masyarakat Di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelaksanaan Program - Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Anak Oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

0 0 41

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Efektivitas. - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Warga Binaan Anak Oleh Upt Pelayanan Sosial Anak Dan Lanjut Usiadi Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Efektivitas Pelayanan Sosial Anak di Bidang Pendidikan di Panti Asuhan Yayasan Amal-Sosial Al-Washliyah Kelurahan Gedung Johor Kecamatan Medan Johor

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pelayanan Sosial 2.1.1 Program - Efektifitas Program Pelayanan Sosial Anak Balita di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Anak Balita Medan

0 1 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Keluarga Harapan Di Kelurahan Titi Kuning Kecamatan Medan Johor

1 0 46

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Simpan Pinjam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan di Kelurahan Setianegara Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematang Siantar

1 1 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Anak Tunanetra di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (YAPENTRA) Tanjung Morawa Sumatera Utara

2 3 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi 2.1.1 Pengertian Evaluasi - Evaluasi Pelaksanaan Program Asuransi Kesejahteraan Sosial Oleh Lembaga Pelayanan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia Di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli

0 0 54