BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Lanjut Usia Oleh Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial (UPT) Tuna Rungu Wicara Dan Lanjut Usia Di Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Ko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektifitas mempunyai banyak arti yang berbeda bagi setiap orang.

  Efektivitas dinilai menurut ukuran seberapa jauh tujuan tersebut tercapai baik suatu program atau kegiatan yang bergantung pada masalah seberapa berhasilnya pencapaian sasaran yang dinyatakan. Efektivitas adalah suatu kosa kata dalam Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa inggris “efektive” yang berarti berhasil, ditaati, mengesankan, mujarab, dan manjur. Efektivitas (berjenis kata benda) berasal dari kata dasar efektif (kata sifat). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga karangan Eko Endarmoko, efektif adalah: a.

  Keadaan berpengaruh, hal berkesan b. Kemanjuran, kemujaraban (obat) c. Keberhasilan (usaha dan tindakan) d. Hal mulai berlakunya (tentang undang-undang dan peraturan) (Endarmoko,

  2007:60) Beberapa pandangan mengenai efektivitas, ada yang menyebut efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan dalam setiap organisasi. Efektivitas disebut juga efektif, apabila tercapainya tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Soewarno Handayaningrat yang mengatakan efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Maka efektivitas itu lebih menekankan bagaimana menemukan program, tujuan, pekerjaan atau target yang benar untuk dilakukan sehingga tujuan akhir dapat tercapai lebih maksimal (Handayaningrat, 1982: 5)

  Atmosoeprapto (2002: 139) menyatakan efektivitas adalah melakukan hal yang benar, sedangkan efisiensi adalah melakukan hal secara benar atau efektivitas adalah sejauh mana kita mencapai sasaran dan efisiensi adalah bagaimana kita mencampur segala sumber daya secara cermat, sedangkan menurut Mahmudi dalam bukunya berjudul Managemen Kinerja Sektor Publik mendefinisikan efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi atau sumbangan output terhadap pencapaian tujuan maka semakin efektif organisasi, program, maupun kegiatan. Efektivitas berfokus kepada outcome atau hasil, program, ataupun kegiatan yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan. Efektivitas merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Secara teoritis dan praktis, tidak ada persetujuan universal mengenai apa yang dimaksud dengan efektivitas. Berbagai pandangan yang telah dikemukan para ahli berbeda-beda tentang pengertian dan konsep efektivitas dipengaruhi oleh latar belakang dari keahlian yang berbeda pula (Mahmudi, 2005: 92).

  Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh suatu akitivas kegiatan atau program mencapai target ataupun tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Adanya ketentuan waktu dalam memberikan pelayanan serta adanya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat terhadap pelayanan yang telah dibeikan. Apabila tujuan dan target dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya, maka kegiatan tersebut dikatakan efektif. Sebaliknya, apabila tujuan dan target tidak dapat tercapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka pelaksanaan kegiatau ataupun program dikatakan tidak efektif.

  Menurut P. Siagian efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa kegiatan yang dijalankan. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai atau tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, makin tinggi efektivitasnya (Siagian, 2001: 24). Menurut Cambel J.P pengukuran efektivitas secara umum dan yang paling menonjol adalah: a.

  Keberhasilan program b. Keberhasilan sasaran c. Kepuasan terhadap program d. Tingkat output dan input e. Pencapaian tujuan menyeluruh (Cambel, 1989: 121).

  Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program-program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya (Cambel, 1989: 47).Beberapa pendapat dan teori efektivitas yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam mengukur efektivitas suatu kegiatan atau aktivitas perlu diperhatikan beberapa indikator, yaitu: a.

  Pemahaman program b. Tepat sasaran c. Tepat waktu d. Tercapainya tujuan e. Perubahan nyata (Sutrisno, 2007: 125-126).

2.1.2 Pendekatan Terhadap Efektivitas

  Adapun berbagai pendekatan yang dilakukan untuk mengukur sebuah efektivitas, yaitu: a.

  Pendekatan sumber daya eksternal Pendekatan sumber daya eksternal menilai kemampuan organisasi untuk menyelamatkan, mengatur, mengendalikan keahlian dan sumber daya langka, serta berharga.

  b.

  Pendekatan sistem internal Pendekatan sistem internal mengevaluasi kemampuan organisasi terhadap inovasi dan fungsi yang cepat.

  c.

  Pendekatan teknis Pendekatan teknis mengevaluasi kemampuan organisasi untuk mengubah keahlian dan sumber daya menjadi barang dan jasa secara efisien (Wisnu dan Nurhasanah, 2005: 30).

  Selain itu, menurut Cunningham, pendekatan yang digunakan terhadap efektivitas antara lain: a.

  Pendekatan Sasaran Pendekatan sasaran mencoba mengukur sejauh mana suatu lembaga berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan ini dalam pengukuran efektivitas digunakan dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur tingkatan organisasi dalam mencapai sasaran tersebut. Selain tercapainya tujuan, efektivitas selalu mengandung unsur waktu pelaksanaan. Sasaran yang penting diperhatikan dalam pengukuran efektivitas dengan pendekatan ini adalah sasaran yang realistis untuk memberikan hasil yang maksimal berdasarkan sasaran resmi dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkan, dengan memusatkan perhatian terhadap aspek output yaitu dengan mengukur keberhasilan program dalam mencapai tingkat output yang direncanakan.

  b.

  Pendekatan Sumber Pendekatan sumber mengukur efektivitas melalui keberhasilan suatu lembaga dalam mendapatkan berbagai macam sumber yang dibutuhkannya. Lembaga harus mampu memperoleh berbagai macam sumber serta memelihara keadaan dan sistem agar dapat efektif. Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu lembaga terhadap lingkungannya, karena lembaga mempunyai hubungan yang merata dalam lingkungan, setelah dari lingkungan barulah didapat sumber-sumber yang merupakan input lembaga ataupun output yang dihasilkan. Sumber-sumber yang ada pada lingkungan seringkali bersifat langka dan bernilai tinggi karena sumber merupakan kriteria yang digunakan untuk mengukur efektivitas.

  c.

  Pendekatan Proses Pendekatan proses dianggap sebagai efisiensi dan kondisi kesehatan dari suatu lembaga internal. Lembaga yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegaiatan yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan proses tidak memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian kepada kegiatan yang dilakukan terhadap sumber-sumber yang dimiliki lembaga yang menggambarkan tingkat efisiensi serta kesehatan lembaga (Cunningham, 1978: 635). Kriteria ukuran efektivitas menurut Sutrisno, yaitu: a. Produksi merupakan gambaran kemampuan organisasi untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat di lingkungannnya.

  b.

  Efisien merupakan perbandingan antara keluaran dan masukan. Efisiensi memperhatikan masalah masalah masukan seperti bahan baku, uang, dan manusia yang diperlukan untuk memperoleh tingkat keluaran yang ditentukan untuk mencapai tujuan tertentu.

  c.

  Adaptasi merupakan sejauhmana sebuah organisasi mampu menerjemahkan perubahan-perubahan intern dan ekstern yang ada, kemudian akan ditanggapi oleh organisasi yang bersangkutan. Jika organisasi tidak mampu menyesuaikan diri maka kelangsungan hidup bisa terancam.

  d.

  Perkembangan merupakan suatu fase setelah kelangsungan hidup dalam jangka panjang. Untuk itu sebuah organisasi harus bisa memperluas kemampuannya, sehingga bisa berkembang dengan baik dan sekaligus akan dapat melewati fase hidupnya (Sutrisno, 2007: 149-150).

  Memang dalam kenyataannya sangatlah sulit melihat efektivitas organisasi dengan tingkat keberhasilan dalam pencapaian sebuah tujuan. Hal ini disebabkan karena selalu ada penyesuaian dan pencapaian dalam target yang akan dicapai. Selain itu, dalam proses pencapainnya tersebut, seringkali ada tekanan dari sekeliling. Akibatnya, jarang sekali target dapat tercapai keseluruhannya.

2.2 Program Pemberdayaan

2.2.1 Pengertian Pemberdayaan

  Pemberdayaan yaitu proses pemberian daya, kewenangan dan kepercayaan kepada masyarakat setempat untuk menentukan berbagai bentuk program kegiatan pembangunan serta kebutuhan mereka melalui perlindungan, penguatan, pengembangan, konsultasi dan advokasi guna peningkatan taraf kesejahteraan sosialnya (Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil).

  Menurut Kartasasmita dikutip oleh Setiawan mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia atau masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan (Kartasasmita dalam Hariyanto, 2001: 67). Sedangkan menurut Edi Soeharto pemberdayaan merupakan suatu tindakan sosial dimana penduduk sebagai sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki (Soeharto, 2005).

  Pemberdayaan tidak hanya masalah pembangkitan kesadaran, tetapi juga upaya mengubah keadaan kehidupan material orang-orang yang tertindas dan lemah dalam masyarakat. Menurut Tjandraningsih (1995), merupakan suatu proses perubahan dari ketergantungan kepada kemandirian, melalui perwujudan kemampuan yang dimiliki. Menurut Sumodiningrat (1996) Usaha pemberdayaan didasari filsafat tentang akan hak dan kewajiban manusia, serta adanya anggapan bahwa manusia mempunyai potensi atau kemampuan daya yang dapat dikembangkan.

  Pemberdayaan sebagai suatu program dilihat dari tahapan-tahapan kegiatan guna mencapai suatu tujuan yang biasanya sudah ditentukan jangka waktunya. Bila suatu program selesai maka dianggap pemberdayaan sudah selesai dilakukan. Proses pemberdayaan yang merupakan on-going process bukan berarti meniadakan masalah akan tetapi pemberdayaan tersebut mempersiapkan struktur dan sistem dalam komunitas agar dapat bersifat proaktif dan responsif terhadap kebutuhan komunitas dan permasalahan yang ada dan dapat muncul dalam komunitas tersebut (Suhartini, dkk, 2005).

  Teori pemberdayaan menekankan proses pemberdayaan dan hasil dengan memberi akses lebih besar kepada sumber-sumber dan kekuatan bagi individu dan kelompok. Proses pemberdayaan pada intinya dilakukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki melalui transfer daya beli lingkungannya (Payne dalam Adi, 2003).

  Adapun pemberdayaan sebagai proses memiliki lima dimensi, yaitu: a. Enabling, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat struktural dan kultural yang menghambat.

  b.

  Empowering, yaitu penguatan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan- kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian.

  c.

  Protecting, yaitu masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok-kelompok kuat dan dominan, menghindari persaingan yang tidak seimbang, mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap yang lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan masyarakat kecil. Pemberdayaan harus melindungi kelompok lemah, minoritas dan masyarakat terasing.

  d.

  Supporting, yaitu pemberian dukungan dan bimbingan kepada masyarakat lemah agar mampu menjalankan peran dan fungsi kehidupannya.

  Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh kedalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.

  e.

  Fostering, yaitu memelihara kondisi kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keseimbangan dan keselarasan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan usaha (Soeharto, 2005).

2.2.2 Tujuan Pemberdayaan

  Pemberdayaan memiliki berbagai tujuan, yaitu: a. Agar individu memiliki keberdayaan, yaitu kemampuan individu untuk membangun diri agar sehat fisik, mental, terdidik, kuat, memiliki nilai-nilai yang instrinsik yang menjadi sumber keberdayaan.

  c.

  Proses menjadi tua atau lanjut usia adalah suatu peristiwa yang wajar dan berkembang secara alamiah. Lanjut usia merupakan bagian dari proses tumbuh berkembangnya manusia. Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi manusia berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya menjadi tua. Hal

  Melalui latihan praktik secara langsung melalui proses belajar.

  d.

  Melindungi dan mencegah yang lemah menjadi lemah.

  Memperkuat potensi yang telah dimiliki.

  b.

  b.

  Menciptakan iklim atau suasana yang memungkinkan potensinya berkembang.

  Perubahan sikap tingkah laku dan statusmenurut Sumodiningrat (1996) untuk mencapai keberdayaan dapat diupayakan dengan: a.

  Meningkatkan kemampuan dan kemandirian manusia.

  c.

  Agar individu dapat bertahan (survive) dalam pengertian yang dinamis, mengembangkan diri dan meningkatkan harkat dan martabat manusia.

2.3 Lansia

2.3.1 Pengertian Lanjut Usia

  ini normal dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang diramalkan terjadi pada saat manusia mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir. Biasanya dimasa tua ini seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap.

  Banyak para ahli maupun institusi-institusi formal lainnya mencetuskan pengertian lanjut usia. Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia pada bab I pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia lanjut usia adalah tahap masa tua dalam perkembangan individu dengan batas usia 60 tahun ke atas.

  Menua secara normal dari system saraf didefinisikan sebagai perubahan oleh usia yang terjadi pada individu yang sehat bebas dari penyakit saraf “jelas” menua normal ditandai oleh perubahan gradual dan lambat laun dari fungsi-fungsi tertentu (Tjokronegroho Arjatmo dan Hendra Utama,1995).Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994). Proses menua merupakan proses yang terus menerus (berlanjut) secara alamiah dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua makhluk hidup (Nugroho Wahyudi, 2000).

  Menurut Reimer et al dan Stanley Beare memberikan pengertian lanjut usia berdasarkan karakteristik sosial masyarakatnya. Lanjut usia menurutnya adalah orang-orang yang menunjukkan ciri-ciri fisiknya sudah mengalami kemunduran seperti rambut beruban, kerutan kulit dan hilangnya gigi. Sedangkan menurut Glascock dan Feinman mendefinisikan lanjut usia sebagai gabungan antara usia kronologis dengan perubahan dalam peran sosial dan diikuti oleh perubahan status fungsional seseorang. Arti usia kronologis disini adalah usia seseorang ditinjau dari hitungan umur dalam angka (Azizah, 2011: 1).

  WHO (World Health Organization) memberikan pengertian lanjut usia tergantung dari konteks yang tidak dipisahkan. Oleh karena itu, WHO mendefinisikan lanjut usia berdasarkan dari tiga aspek penting, yaitu: a.

  Aspek Biologi Pengertian lanjut usia ditinjau dari aspek biologi adalah seseorang yang telah mengalami proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan seiring meningkatnya usia sehingga terjadi perubahan fungsi jaringan dalam organ tubuh.

  b.

  Aspek Ekonomi Pengertian lanjut usia ditinjau dari aspek ekonomi adalah seseorang yang dipandang lebih sebagai beban daripada sebagai potensi sumber daya bagi pembangunan. Seseorang yang sudah tua dianggap sebagai warga yang tidak produktif dan hidupnya perlu ditopang oleh generasi yang lebih muda.

  c.

  Aspek Sosial Pengertian lanjut usia ditinjau dari aspek sosial adalah sekelompok orang yang sudah memasuki usia lanjut usia dan merupakan kelompok sosial yang tersendiri. Lanjut usia dipandang menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh masyarakat yang usianya lebih muda (WHO dalam Notoatmodjo, 2007: 280-281).

  Berbagai definisi yang bervariasi sudah banyak dipaparkan tentang lanjut usia. Oleh karena itu diperlukan batasan lanjut usia untuk mengetahui penggolongan usia pra lanjut usia. Batasan lanjut usia jika didasarkan atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 adalah 60 tahun. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1965 pasal 1 menyatakan bahwa seseorang dikatakan berusia lanjut jika sudah mencapai usia 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri sehingga untuk keperluan menafkahi hidupnya ia terima dari orang lain. Sekarang ini banyak orang-orang maupun instansi-instansi formal memberikan batasan lanjut usia yang berbeda-beda.

  Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro lanjut usia dikelompokkan menjadi usia dewasa muda (elderly adulthood) yaitu usia 18 atau 25-29 tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas yaitu usia 25-60 tahun atau 65 tahun, lanjut usia (geriatric age) yaitu usia lebih dari 65 tahun atau 70 tahun yang dibagi lagi menjadi 70-75 tahun (young old) dan lebih dari 80 tahun (very old). Berbeda pendapat lagi dengan beberapa ahli dalam program kesehatan usia lanjut, Departemen Kesehatan membuat pengelompokkan batasan lanjut usia yaitu: a.

  Kelompok pertengahan umur (kelompok usia dalam masa virilitas), yaitu masa persiapan usia lanjut yang menampakkan keperkasaan fisik. Kelompok usia ini berumur 45-54 tahun.

  b.

  Kelompok Usia lanjut dini (kelompok usia dalam masa prasenium), yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut. Kelompok usia ini adalah 55-64 tahun. c.

  Kelompok usia lanjut (kelompok dalam masa senium), dimana kelompok usia ini adalah 65 tahun ke atas.

  d.

  Kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi. Kelompok yang berusia lebih dari 70 tahun atau kelompok usia lanjut yang hidup sendiri, terpencil, menderita penyakit berat atau cacat (Notoatmodjo, 2007: 281). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batasan usia lanjut meliputi: a. Usia pertengahan (Middle Age) adalah kelompok usia 45-59 tahun.

  b.

  Usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun.

  c.

  Usia lanjut tua (old) adalah kelompok usia antara 75-90 tahun.

  d.

  Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun (Kosasih, 2002: 9).

  Selain itu menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog Universitas Indonesia), lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi 4 bagian: a.

  Fase iuventus antara 25dan 40 tahun.

  b.

  Verilitia antara 40 dan 50 tahun.

  c.

  Fase praesenium antara 55 dan 65 tahun.

  d.

  Fase senium antara 65 tahun hingga tutup usia.

2.3.2 Ciri-Ciri Lanjut Usia

  Menurut Hurlock (Hurlock, 1980: 380) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu: a.

  Usia lanjut merupakan periode kemunduran Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama terjadi.

  b.

  Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya daripada mendengarkan pendapat orang lain.

  c.

  Menua membutuhkan perubahan peran Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari lingkungan.

  d.

  Penyesuaian yang buruk pada lansia Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

2.3.3 Perubahan yang terjadi pada lansia

  Setiap lansia telah banyak mengalami perubahan dalam dirinya, hal ini bisa disebut perkembangan atau perubahan yang terjadi pada lansia, diantaranya yaitu : a.

  Perkembangan jasmani Penuaan terbagi atas penuaan primer (primary aging) dan penuaan sekunder (secondary aging). Pada penuaan primer tubuh mulai melemah dan mengalami penurunan alamiah. Sedangkan pada proses penuaan sekunder, terjadi proses penuaan karena faktor-faktor eksteren, seperti lingkungan ataupun perilaku. Penuaan membuat sesorang mengalami perubahan postur tubuh. Kepadatan tulang dapat berkurang, tulang belakang dapat memadat sehingga membuat tulang punggung menjadi telihat pendek atau melengkung. Perubahan ini dapat mengakibatkan kerapuhan tulang sehingga terjadi osteoporosis dan masalah ini merupakan hal yang sering dihadapi oleh para lansia. Penuaan yang terlihat pada kulit di seluruh tubuh lansia, kulit menjadi semakin menebal dan kendur atau semakin banyak keriput yang terjadi. Rambut yang menjadi putih juga merupakan salah satu ciri-ciri yang menandai proses penuaan. Kulit yang menua menjadi menebal, lebih terlihat pucat dan kurang bersinar. Dari perubahan-perubahan fisik yang nyata dapat membuat lansia merasa minder atau kurang percaya diri jika harus berinteraksi dengan lingkungannya (J.W. Santrock, 2002: 198). Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan sebelumnya dapat di tarik kesimpulan berkenaan dengan ciri-ciri fisik lansia yaitu sebagi berikut: 1.

  Postur tubuh lansia mulai berubah bengkok (bungkuk).

2. Kondisi kulit mulai kering dan keriput.

  3. Daya ingat mulai menurun.

  4. Kondisi mata yang mulai rabun.

  5. Pendengaran yang berkurang.

  b.

  Perkembangan Intelektual.

  Menurut David Wechsler dalam Desmita (2008) kemunduran kemampuan mental merupakan bagian dari proses penuaan organisme sacara umum, hampir sebagian besar penelitian menunjukan bahwa setelah mencapai puncak pada usia antara 45-55 tahun, kebanyakan kemampuan seseorang secara terus menerus mengalami penurunan, hal ini juga berlaku pada seorang lansia. Ketika lansia memperlihatkan kemunduran intelektualiatas yang mulai menurun, kemunduran tersebut juga cenderung mempengaruhi keterbatasan memori tertentu. Misalnya seseorang yang memasuki masa pensiun, yang tidak menghadapi tantangan-tantangan penyesuaian intelektual sehubungan dengan masalah pekerjaan dan di mungkinkan lebih sedikit menggunakan memori atau bahkan kurang termotivasi untuk mengingat beberapa hal, jelas akan mengalami kemunduran memorinya. Menurut Ratner et.al dalam desmita (2008) penggunaan bermacam-macam strategi penghafalan bagi orang tua, tidak hanya memungkinkan dapat mencegah kemunduran intelektualitas, melainkan dapat meningkatkan kekuatan memori pada lansia tersebut. Kemerosotan intelektual lansia ini pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan yang disebabkan berbagai faktor seperti penyakit, kecemasan atau depresi. Tetapi kemampuan intelektual lansia tersebut pada dasarnya dapat dipertahankan. Salah satu faktor untuk dapat mempertahankan kondisi tersebut adalah dengan menyediakan lingkungan yang dapat merangsang ataupun melatih keterampilan intelektual mereka, serta dapat mengantisipasi terjadinya kepikunan.

  c.

  Perkembangan Emosional Memasuki masa tua, sebagian besar lanjut usia kurang siap menghadapi dan menyikapi masa tua tersebut, sehingga menyebabkan para lanjut usia kurang dapat menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang dihadapi (Widyastuti, 2000). Munculnya rasa disisihkan, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan perasaan yang tidak enak yang harus dihadapi lanjut usia.

  Hal-hal tersebut dapat menjadi penyebab lanjut usia kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri. Bahkan sering ditemui lanjut usia dengan penyesuaian diri yang buruk. Sejalan dengan bertambahnya usia, terjadinya gangguan fungsional, keadaan depresi dan ketakutan akan mengakibatkan lanjut usia semakin sulit melakukan penyelesaian suatu masalah. Sehingga lanjut usia yang masa lalunya sulit dalam menyesuaikan diri cenderung menjadi semakin sulit pada masa-masa selanjutnya. Makna penyesuaian diri pada lanjut usia adalah kemampuan orang yang berusia lanjut untuk menghadapi tekanan akibat perubahan perubahan fisik, maupun sosial psikologis yang dialaminya dan kemampuan untuk mencapai keselarasan antara tuntutan dari dalam diri dengan tuntutan dari lingkungan yang disertai dengan kemampuan mengembangkan mekanisme psikologis yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya tanpa menimbulkan masalah baru. Pada orang-orang dewasa lanjut atau lanjut usia, yang menjalani masa pensiun dikatakan memiliki penyesuaian diri paling baik merupakan lanjut usia yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif, berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman- teman dan keluarga dan biasanya merasa puas dengan kehidupannya sebelum pensiun (Palmore, dkk, 1985).

  d.

  Perkembangan Spiritual Sebuah penelitian menyatakan bahwa lansia yang lebih dekat dengan agama menunjukkan tingkatan yang tinggi dalam hal kepuasan hidup, harga diri dan optimisme. Kebutuhan spiritual (keagamaan) sangat berperan memberikan ketenangan batiniah, khususnya bagi para lansia. Sehingga religiusitas atau penghayatan keagamaan besar pengaruhnya terhadap taraf kesehatan fisik maupun kesehatan mental, hal ini ditunjukkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hawari (1997), bahwa: 1.

  Lanjut usia yang nonreligius angka kematiannya dua kali lebih besar daripada orang yang religius.

  2. Lanjut usia yang religius penyembuhan penyakitnya lebih cepat dibandingkan yang non religius.

  3. Lanjut usia yang religius lebih kebal dan tenang menghadapi operasi atau masalah hidup lainnya.

  4. Lanjut usia yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stres daripada yang nonreligius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil.

  5. Lanjut usia yang religius tabah dan tenang menghadapi saat-saat terakhir (kematian) daripada yang nonreligius. e.

  Perubahan Sosial Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang lanjut usia yang memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan. Pernyataan tadi merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia. (J. W. Santrock, 2002: 239).

  f.

  Perubahan Kehidupan Keluarga Sebagian besar hubungan lansia dengan anak jauh kurang memuaskan yang disebabkan oleh berbagai macam hal. Penyebabnya antara lain : kurangnya rasa memiliki kewajiban terhadap orang tua, jauhnya jarak tempat tinggal antara anak dan orang tua. Lansia tidak akan merasa terasing jika antara lansia dengan anak memiliki hubungan yang memuaskan sampai lansia tersebut berusia 50 sampai 55 tahun. Orang tua usia lanjut yang perkawinannya bahagia dan tertarik pada dirinya sendiri maka secara emosional lansia tersebut kurang tergantung pada anaknya dan sebaliknya. Umumnya ketergantungan lansia pada anak dalam hal keuangan. Karena lansia sudah tidak memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anaknya pun tidak semua dapat menerima permintaan atau tanggung jawab yang harus mereka penuhi.

  g.

  Hubungan Sosio-Emosional Lansia Masa penuaan yang terjadi pada setiap orang memiliki berbagai macam penyambutan. Ada individu yang memang sudah mempersiapkan segalanya bagi hidupnya di masa tua, namun ada juga individu yang merasa terbebani atau merasa cemas ketika mereka beranjak tua. Takut ditinggalkan oleh keluarga, takut merasa tersisihkan dan takut akan rasa kesepian yang akan datang. Keberadaan lingkungan keluarga dan sosial yang menerima lansia juga akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan sosio-emosional lansia, namun begitu pula sebaliknya jika lingkungan keluarga dan sosial menolaknya atau tidak memberikan ruang hidup atau ruang interaksi bagi mereka maka tentunya memberikan dampak negatif bagi kelangsungan hidup lansia.

2.3.4 Tipe-Tipe Lanjut Usia

  Pada umumnya lansia lebih dapat beradaptasi tinggal di rumah sendiri daripada tinggal bersama anaknya. Menurut Nugroho W (2000)tipe-tipe lansia antara lain: a.

  Tipe Arif Bijaksana, yaitu tipe kaya pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, ramah, rendah hati, menjadi panutan.

  b.

  Tipe Mandiri, yaitu tipe bersifat selektif terhadap pekerjaan, mempunyai kegiatan.

  c.

  Tipe Tidak Puas, yaitu tipe konflik lahir batin, menentang proses penuaan yang menyebabkan hilangnya kecantikan, daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, jabatan, teman.

  d.

  Tipe Pasrah, yaitu lansia yang menerima dan menunggu nasib baik.

  e.

  Tipe Bingung, yaitu lansia yang kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, pasif dan kaget.

2.3.5 Perubahan-Perubahan yang Terjadi Pada Lanjut Usia

  Banyak kemampuan berkurang pada saat orang bertambah tua, dari ujung rambut sampai ujung kaki mengalami perubahan dengan makin bertambahnya umur. Menurut Nugroho (2000) perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut: a.

  Perubahan Fisik 1. Sel: Jumlahnya menjadi sedikit, ukurannya lebih besar, berkurangnya cairan intra seluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel.

  2. Sistem Persyarafan: Respon menjadi lambat dan hubungan antara persyarafan menurun, berat otak menurun 10-20%, mengecilnya syaraf panca indra sehingga mengakibatkan berkurangnya respon penglihatan dan pendengaran, mengecilnya syaraf penciuman dan perasa, lebih sensitif terhadap suhu, ketahanan tubuh terhadap dingin rendah, kurang sensitif terhadap sentuhan.

  3. Sistem Penglihatan: menurun lapang pandang dan daya akomodasi mata, lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, pupil timbul sklerosis, daya membedakan warna menurun.

  4. Sistem Pendengaran: hilangnya atau turunnya daya pendengaran, terutama pada bunyi suara atau nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti kata- kata, 50% terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.

  5. Sistem Kulit: kulit menjadi keriput dan mengkerut karena kehilangan proses keratinisasi dan kehilangan jaringan lemak, berkurangnya elastisitas akibat penurunan cairan dan vaskularisasi, kuku jari menjadi keras dan rapuh, kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya, perubahan pada bentuk sel epidermis.

  b.

  Perubahan Mental Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik. kesehatan umum, tingkat pendidikan, hereditas, lingkungan, perubahan kepribadian yang drastis namun jarang terjadi misalnya kekakuan sikap, kenangan- kenangan jangka pendek yang terjadi 0-10 menit, kenangan lama tidak dengan informasi matematika dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi, dan ketrampilan, psikomotor terjadi perubahan pada daya membayangkan karena tekanan dari faktor waktu.

  c.

  Perubahan Psikososial Adanya perubahan psikososial yang menyebabkan rasa tidak aman, takut, merasa penyakit selalu mengancam sering bingung panik dan depresif. Hal ini disebabkan antara lain karena ketergantungan fisik dan sosio ekonomi seperti pensiunan, kehilangan finansial, pendapatan berkurang, kehilangan status, teman atau relasi, serta sadar akan datangnya kematian, perubahan dalam cara hidup, kemampuan gerak sempit, ekonomi akibat perhentian jabatan, biaya hidup tinggi, penyakit kronis, kesepian, pengasingan dari lingkungan sosial, gangguan syaraf panca indra, gizi, kehilangan teman dan keluarga.

  d.

  Perubahan Spiritual Agama atau kepercayaan lanjut usia makin berintegrasi dalam kehidupannya. Lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaannya. Hal ini dapat dilihat dalam berpikir dan bertindak. Spiritualitas pada lanjut usia bersifat universal, intrinsic dan merupakan proses individual yang berkembang sepanjang rentang kehidupan, karena aliran siklus kehilangan terdapat pada kehidupan lansia, keseimbangan hidup tersebut. Lansia yang telah mempelajari cara menghadapi perubahan hidup melalui mekanisme keimanan akhirnya dihadapkan pada tantangan akhir yaitu kematian. Harapan memungkinkan individu dengan keimanan spiritual atau religious untuk bersiap menghadapi krisis kehilangan dalam hidup sampai kematian. Satu hal pada lansia yang diketahui sedikit berbeda dari orang yang lebih muda yaitu sikap mereka terhadap kematian. Hal ini menujukkan bahwa lanjut usia cenderung tidak terlalu takut terhadap konsep dan realitas kematian (Azizah, 2011: 16).

  

2.3.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Lansia Sehingga Tinggal Di

Panti

  Ada beberapa faktor yang mempengarui lansia sehingga lansia tinggal di panti antara lain: a.

  Faktor penurunan kondisi fisik dan psikis Melihat kondisi fisik dan psikis lanjut usia adalah sama seperti melihat kondisi bayi. Keduanya sama-sama membutuhkan perawatan dan perhatian khusus.

  Selain itu, beberapa dari lansia tersebut karena sudah dalam kondisi yang sangat lemah sekali, tentunya sangat memerlukan sekali bantuan dari orang lain yang benar-benar sangat berpengalaman dalam merawat orang tua yang berusia lanjut.

  Demi kelangsungan kehidupan orangtua yang sudah lanjut usia, maka pada akhirnya mereka memutuskan menyerahkan sepenuhnya perawatan orang tua pada rumah khusus perawatan (rumah panti), dengan harapan perawatan orangtua lebih terjamin daripada harus tinggal dan hidup selamanya bersama anak dan cucu-cucunya.

  b.

  Faktor finansial atau kondisi ekonomi Pada umumnya orang tua yang sudah menjalani usia lanjut atau masa pensiun, maka secara finansial, dapat dikatakan sudah tidak memiliki penghasilan tetap sehingga sudah tidak mampu lagi untuk membiayai hidup untuk diri sendiri dan keluarganya. Bagi keluarga yang hidupnya secara finansial pada level rendah tentunya menjadi beban tersendiri, karena secara ekonomis mereka masih kesulitan menanggung biaya beban hidup yang nilainya semakin bertambah, sedangkan waktu mereka telah habis terserap untuk mencari nafkah. Bahkan mereka sering harus kerja ekstra tambahan untuk mendapatkan finansial tambahan, sehingga mereka terpaksa merelakan orang tua untuk tinggal dan hidup di rumah khusus perawatan (rumah panti jompo).

  c.

  Faktor lingkungan sosial atau ditelantarkan keluarga Sebagai Negara berkembang, negara Indonesia memiliki banyak orang tua yang sudah lanjut usia, dengan terpaksa harus tinggal dan hidup di depan teras toko, bangunan kosong, di bawah jembatan, menempel di rumah orang lain atau tempat-tempat yang bisa digunakan untuk tempat tidur. Kondisi yang demikian ini sering mendapatkan penolakan dari berbagai lapisan masyarakat karena sering menimbulkan hal-hal negatif dan sebenarnya kondisi dan hal seperti ini merupakan tanggung jawab pemerintah maupun masyarakat. Oleh sebab itu pemerintah sering mengadakan kegiatan pengamanan serta sosialisasi untuk meminta mereka secara sadar dan sukarela untuk bersedia tinggal dan hidup di rumah khusus perawatan (panti jompo).

  Meskipun sebagian besar belum menyadari, namun sudah ada yang sadar dan sukarela tinggal di panti jompo, bagi yang belum menerima hal tersebut rata- rata mereka mengatakan bahwa dengan cara hidup yang demikian tersebut mereka setiap hari bisa memperoleh uang, meskipun mereka harus menderita sakit-sakitan, harus kehujanan, kedinginan dan sebagainya.

  d.

  Faktor kesepian Pada umumnya masalah kesepian adalah masalah yang paling banyak dialami oleh para lansia. Beberapa penyebab kesepian pada lansia antara lain:

  1. Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anaknya karena anak-anaknya sudah dewasa dan bersekolah tinggi sehingga tidak memerlukan penanganan yang terlampau rumit.

  2. Berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya aktifitas di luar rumah.

  3. Kurangnya aktifitas sehingga waktu luang bertambah banyak.

  4. Meninggalnya pasangan hidup.

  5. Anak-anaknya yang meninggalkan rumah untuk menempuh pendidikan yang tinggi dan untuk bekerja.

  6. Anak-anaknya telah dewasa dan membentuk keluarga sendiri. Beberapa masalah tersebut akan menimbulkan rasa kesepian yang lebih cepat bagi lanjut usia. Dari segi inilah lanjut usia mengalami masalah psikologis yang banyak mempengaruhi kesehatan psikis, sehingga menyebabkan orang yang lanjut usia kurang mandiri. Bagi orang tua yang sudah menjalani masa lanjut usia atau pensiun, masa tersebut telah membuat mereka merasa kesepian sehingga kebutuhan mereka sering tidak terpenuhi, sedangkan waktu yang dimiliki oleh anggota keluarga sudah sangat sedikit sekali karena mereka harus bekerja keras untuk mencari nafkah guna menghidupi anggota keluarga lain seperti biaya sekolah, kesehatan dan lain sebagainya. Untuk menutup kebutuhan orang tua yang tidak terpenuhi tersebut, pada akhirnya mereka terpaksa merelakan orang tua mereka harus tinggal dan hidup selamanya dirumah perawatan (panti jompo) dengan harapan mereka tidak kesepian lagi dikarenakan disana mereka bisa bertemu dengan teman-teman seusianya dalam jumlah yang cukup banyak.

  Keempat alasan tersebut belum merupakan alasan yang mutlak atau alasan yang kuat karena masih banyak keluarga-keluarga lain yang mengabaikan keempat alasan tersebut di atas karena masih ada yang memegang prinsip dan tradisi (adat) adanya hubungan tiga generasi (muda, dewasa dan tua) yang harus tetap terbangun , karena merawat orang tua adalah merupakan tanggung jawab utama dari anak dan cucu, karena bila anak dan orang tua masih kumpul bersama maka akan tercipta suatu kehangatan, dan saling tukar pengalaman.

  (http:rockyblank.blogdetik.com/2010/04/13/hidup-dan-tinggal-di-panti-jompo- sebagai-pilihan-terakhir-bagi-lanjut-usia/ diakses pada tanggal 15 september

  2014 pukul 12.10 WIB).

2.4 Kesejahteraan Sosial

2.4.1 Pengertian

  Masyarakat dari golongan apapun menginginkan hidup sejahtera. Secara umum bisa dipahami makna sejahtera bisa berbeda tergantung dari golongan masyarakat disekitar. Bagi golongan elit (The have), sejahtera berarti memiliki segala hal yang bersifat materi dan memiliki segalanya seperti uang, mobil, rumah dan lain-lain. Sedangkan bagi golongan proletar (The have not) memiliki pandangan bahwa hidup sejahtera adalah hidup dengan tidak penuh dengan harta tetapi memiliki kebahagiaan dengan hidup tidak berlebihan.

  Kesejahteraan menyangkut aspek seluruh masyarakat. Oleh karena itu kesejahteraan adalah milik seluruh masyarakat (sosial), karenanya muncullah banyak definisi tentang kesejahteraan sosial. Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

  Kesejahteraan sosial dalam arti sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik.

  Menurut Walter Friedlander, kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari institusi dan pelayanan sosial yang dirancang untuk membantu individu maupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan. Dalam pertemuan Panitia Kerja Pra Konferensi Kesejahteraan Sosial Internasional yang ke 15 dirumuskan pengertian kesejahteraan sosial yaitu:

  “Kesejahteraan Sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Didalamnya tercakup pula kebijakan dan pelayanan yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masayarakat seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, tradisi dan lain-lain akses tanggal 07 september 2014 pukul 16.45 WIB). Perkembangan kesejahteraan sosial dewasa ini menunjukkan bahwa masih ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial secara maksimal dari lembaga atau instansi negara. Karena belum maksimalnya pelayanan yang diusahakan oleh pemerintah membuat bermunculnya berbagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) yang ada termasuk salah satu diantaranya adalah warga lanjut usia.

2.4.2 Pelayanan Sosial

  Pelayanan pada lansia adalah suatu proses dalam bentuk penyuluhan sosial, bimbingan, konseling, bantuan, santunan dan perawatan yang dilakukan secara terarah, terencana dan berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial lanjut usia. Pelayanan sosial lanjut usia bisa dilakukan baik di dalam panti maupun diluar panti. Diluar panti bentuk pelayanannya ada yang berbentuk kegiatan Day Car Service dan lain-lain, sedangkan didalam panti bentuk kegiatannya ada seperti bimbingan, penyuluhan sosial dan lain-lain dimana pelayanan sosial yang dilakukan diatur berlandaskan Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia.

  Setiap jenis pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung sifat-sifat seperti: a.

  Preventif atau pencegahan Pelayanan sosial yang bersifat preventif merupakan pelayanan yang diarahkan untuk mencegah timbulnya masalah baru dan meluasnya permasalahan yang dihadapi lanjut usia, oleh karena itu dilakukan melalui upaya pemberdayaan keluarga, kesatuan kelompok dan eksternal lain yang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan lanjut usia.

  b.

  Kuratif atau penyembuhan

  Pelayanan sosial lanjut usia bersifat kuratif merupakan pelayanan sosial yang diarahkan untuk menyembuhkan gangguan-gangguan yang dialami lanjut usia baik secara fisik, psikis maupun sosial.

  c.

  Rehabilitative atau pemulihan kembali Pelayanan sosial bersifat rehabilitative merupakan proses pemulihan kembali fungsi-fungsi sosial setelah individu mengalami gangguan dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya.

2.4.3 Prinsip Pelayanan Kesejahteraan Sosial Lanjut usia

  Prinsip kesejahteraan sosial lanjut usia didasarkann pada resolusi PBB Nomor 46/1991 tentang Principle Of Older Person (Prinsip-prinsip bagi lanjut usia) yang pada dasarnya berisi himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut usia yang meliputi kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan dan martabat yaitu: a.

  Memberikan pelayanan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat lanjut usia.

  b.

  Melaksanakan dan mewujudkan hak azasi lanjut usia.

  c.

  Memperoleh hak menentukan pilihan bagi dirinya sendiri.

  d.

  Pelayanan didasarkan pada kebutuhan yang sesungguhnya.

  e.

  Mengupayakan kehidupan lanjut usia lebih bermakna bagi diri, keluarga dan masyarakat.

  f.

  Menjamin terlaksananya pelayanan bagi lanjut usia yang disesuaikan dengan perkembangan pelayanan lanjut usia secara terus menerus serta meningkatkan kemitraan dengan berbagai pihak. g.

  Memasyarakatkan informasi tentang aksebilitas bagi lanjut usia agar dapat memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana serta perlindungan sosial dan hukum.

  h.

  Mengupayakan lanjut usia memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana dalam kehidupan keluarga serta perlindungan sosial dan hukum. i.

  Memberikan kesempatan kepada lanjut usia untuk menggunakan sarana pendidikan, budaya spiritual dan rekreasi yang tersedia di masyarakat. j.

  Memberikan kesempatan bekerja kepada lanjut usia sesuai dengan minat dan kemampuan. k.

  Memberdayakan lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penanganan lanjut usia dilingkungannya. l.

  Khusus untuk panti, menciptakan suasana kehidupan yang bersifat kekeluargaan.

2.5 Kerangka Pemikiran

  Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia membuat jumlah penduduk lanjut usia semakin bertambah. Karena jumlah penduduk lansia semakin menunjukkan peningkatan yang signifikan yang membuat pemerintah tidak boleh mengabaikan hak-hak para lanjut usia. Gagasan pemerintah tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut usia, dimana dalam aplikasinya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mendirikan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Di Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Kotamadya Pematang Siantar.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menstruasi 2.1.1. Definisi Menstruasi - Gambaran Pola Menstruasi pada Siswi SMA As-Syafi’iyah Medan Tahun 2014

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Propolis 2.1.1 Komposisi propolis - Formulasi Ekstrak Propolis Dalam Sediaan Gel Sebagai Anti-Aging

1 2 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Perbandingan Kadar Serum Seruloplasmin pada Preeklamsia Berat Early Onset dan Late Onset

0 0 18

Analisis Perwilayahan Komoditas Kubis/Kol Di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara

0 0 12

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Petani Dalam Penerapan Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification)

0 0 10

Pengaruh Karakteristik Sosial Ekonomi Terhadap Sikap Petani Dalam Penerapan Padi Sawah SRI (System of Rice Intensification)

0 0 17

SAWAH System of Rice Intensification (SRI) (Studi Kasus: Desa Pematang Setrak, Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai) SKRIPSI

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan Wilayah - Analisis Potensi Ekonomi Wilayah Provinsi Sumatera Utara

2 24 35

3. Fakultas Kedokteran USU (Sekarang) Riwayat Organisasi : 1. Ahli Biasa Persatuan Kebangsaan Pelajar-Pelajar Malaysia di Indomesia – Cawangan Medan (PKPMI-CM) 2. Ahli Biasa Kelab Kebudayaan India Malaysia (KKIM) - Tingkat Pengetahuan Penderita Dan Keluar

0 0 29

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengetahuan 2.1.1. Definisi Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Penderita Dan Keluarga Penderita Tentang Kanker Payudara Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 19