BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Program Pelayanan Sosial 2.1.1 Program - Efektifitas Program Pelayanan Sosial Anak Balita di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Anak Balita Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Program Pelayanan Sosial

2.1.1 Program

  Menurut Jones (1996: 295), pengertian program adalah cara yang disahkan untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu seseorang untuk mengidentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak yaitu:

  a) Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau sebagai pelaku program.

  b) Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya juga diidentifikasikan melalui anggaran.

  c) Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat diakui oleh publik.

  Program terbaik didunia adalah program yang didasarkan pada model teoritis yang jelas, yakni: sebelum menetukan masalah sosial yang ingin diatasi dan memulai melakukan intervensi, maka sebelumnya harus ada pemikiran yang serius terhadap bagaimana dan mengapa masalah itu terjadi dan apa yang menjadi solusi terbaik.

2.1.2 Pelayanan Sosial

  Kesejahteraan sosial dalam artian yang sangat luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kesejahteraan Sosial adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk membantu individu dan kelompok untuk mencapai standar hidup dan kesehatan yang memuaskan dan relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selarah dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya (Friedlander, dalam Muhidin, 1992: 1). Sementara Wickenden (dalam Muhidin, 1992) mengemukakan bahwa kesejahteraan sosial termasuk didalamnya peraturan perundangan, program, tunjangan dan pelayanan yang menjamin atau memperkuat pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang mendasar dari masyarakat serta menjaga ketentraman dalam masyarakat.

  Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dapat terlihat dari rumusan Undang- Undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial pasal 2 ayat 1 : “Kesejahteraan Sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan diri, keluarga serta masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban

  Dari berbagai pengertian diatas dapat terlihat luas lingkup pengertian kesejahteraan sosial yang sebenarnya sangat meluas dan melingkupi berbagai aspek kehidupan. Dalam kesejahteraan sosial juga terdapat usaha kesejahteraan sosial, dimana pelayanan sosial juga termasuk dari salah satu di dalamnya. Pelayanan sosial diartikan dalam dua macam, yaitu: a.

  Pelayanan sosial dalam arti luas adalah pelayanan sosial yang mencakup fungsi pengembangan termasuk pelayanan sosial dalam bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, tenaga kerja dan sebagainya.

  b.

  Pelayanan sosial dalam arti sempit atau disebut juga pelayanan kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung seperti pelayanan sosial bagi anak terlantar, keluarga miskin, cacat, tuna sosial dan sebagainya (Muhidin, 1992: 41).

  Maka dapat diartikan bahwa efektifitas pelayanan sosial adalah tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan berdasarkan makna dari pelayanan sosial itu sendiri. Dikatakan efektif apabila hasil yang dicapai dari pelayanan sosial yang diberikan telah sesuai dengan apa tujuan awal yang telah ditetapkan. Kebanyakan pengertian pelayanan sosial di Negara-negara maju sama dengan poin pertama, sedangkan di Negara-negara berkembang umumnya sama dengan poin kedua. Di Negara Amerika Serikat, pelayanan sosial diartikan sebagai suatu aktivitas yang terorganisir yang bertujuan untuk menolong orang-orang agar terdapat suatu penyesuaian timbal balik antara individu dengan lingkungan sosialnya. Tujuan ini dapat dicapai melalui teknik dan metode yang diciptakan untuk memungkinkan individu, kelompok dan masyarakat dan melalui tindakan- Sedangkan di Inggris, pelayanan sosial mencakup suatu peralatan luas untuk meningkatkan tanggung jawab untuk menolong masyarakat yang lemah dan kurang beruntung dan memberikan perlindungan dengan pelayanan-pelayanan yang tidak mungkin dipenuhi oleh mereka sendiri secara perseorangan. Pada umumnya baik kualitas maupun kuantitas daripada pelayanan sosial akan berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemakmuran suatu Negara dan juga sesuai dengan faktor sosiokultural dan politik yang juga menentukan masalah prioritas pelayanan. Semakin tersebarnya dan dipraktekkan secara universal pelayanan sosial, maka pelayanan sosial cenderung menjadi pelayanan yang ditujukan kepada golongan masyarakat yang membutuhkan pertolongan khusus.

2.1.3 Fungsi-Fungsi Pelayanan Sosial

  Pelayanan sosial dapat dikategorikan dalam berbagai cara tergantung dari tujuan klasifikasi. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagai berikut : 1.

  Peningkatan kondisi kehidupan masyarakat.

  2. Pengembangan sumber-sumber manusiawi.

  3. Orientasi masyarakat terhadap perubahan-perubahan sosial dan penyesuaian sosial.

  4. Mobilisasi dan pencipta sumber-sumber masyarakat untuk tujuan pembangunan.

  5. Penyediaan dan penyelenggaraan struktur kelembagaan untuk tujuan agar pelayanan- pelayanan yang terorganisasi dapat berfungsi (Muhidin, 1992: 42).

  1. Pelayanan sosial untuk pengembangan.

3. Pelayanan akses.

  Pelayanan sosial untuk sosialisasi dan pengembangan dimaksudkan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam diri anak dan pemuda melalui program - program pemeliharaan, pendidikan (non formal) dan pengembangan. Tujuannya yaitu untuk menanamkan nilai-nilai masyarakat dalam usaha pengembangan kepribadian anak.

  Pelayanan sosial untuk penyembuhan, perlindungan dan rehabilitasi mempunyai tujuan untuk melaksanakan pertolongan kepada seseorang, baik secara individual maupun di dalam kelompok/keluarga dan masyarakat agar mampu mengatasi masalah-masalahnya. Kebutuhan akan program pelayanan akses disebabkan oleh karena : a.

  Adanya birokrasi modern.

  b.

  Perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahamam masyarakat terhadap hal-hal dan kewajiban/tanggung jawabnya.

  c.

  Diskriminasi.

  d.

  Jarak geografi antara lembaga-lembaga pelayanan dari orang-orang yang memerlukan pelayanan sosial (Muhidin, 1992: 44).

  Dengan adanya berbagai kesenjangan tersebut, maka pelayanan sosial disini mempunyai fungsi sebagai “akses” untuk menciptakan hubungan bimbingan yang sehat antara berbagai program, sehingga program-program tersebut dapat berfungsi dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkannya. Pelayanan akses bukanlah semata-mata memberikan informasi, tetapi juga termasuk menghubungkan seseorang dengan sumber-sumber yang diperlukan dengan

  Fungsi tambahan dari pelayanan sosial ialah menciptakan partisipasi anggota masyarakat

  (untuk memberikan kepercayaan pada diri individu dan masyarakat) dan untuk mengatasi hambatan-hambatan sosial dalam pembagian politik, yaitu untuk mendistribusikan sumber- sumber dan kekuasaan.

  Partisipasi mungkin merupakan konsekuensi dari bagaimana program itu diorganisir, dilaksanakan dan disusun. Partisipasi kadang-kadang merupakan alat, kadang-kadang merupakan tujuan. Ada yang memandang bahwa partisipasi dan pelayanan merupakan dua fungsi yang selalu konflik, karenanya harus dipilih salah satu. Karena itu harus dipilih partisipasi sebagai tanggung jawab masyarakat dan pelayanan sebagai tanggung jawab program. Pada umumnya satu program sulit untuk meningkatkan kedua-duanya sekaligus.

2.1.4 Program-Program Pelayanan Sosial

  Program-program pelayanan sosial merupakan bagian dari intervensi kesejahteraan sosial. Pelayanan sosial melalui kegiatan-kegiatan atau intervensi kasus yang dilaksanakan secara diindvidualisasikan, langsung, dan terorganisir yang bertujuan membantu individu, kelompok, dan lingkungan sosial dalam upaya mencapai penyesuaian.

  Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut: 1)

  Pelayanan akses, mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat dan partisipasi. Tujuannya membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan layanan yang tersedia. Pelayanan terapi, mencakup pertolongan dan terapi, atau rehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan. Misalnya, pelayanan yang diberikan oleh kesejahteraan sosial mendidik dan sekolah, perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia.

  3) Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga berencana, pendidikan keluarga, pelayanan rekreasi bagi pemuda dan masyarakat yang dipusatkan atau community centre (Nurdin 1989: 50).

2.2 Pelayanan Kesejahteraan Sosial Bagi Anak

  Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan, yang tujuannya adalah untuk meningkatkan keberfungsian sosial individu, keluarga, dan masyarakat. Sementara itu, pengertian pekerjaan sosial yang diadopsi oleh IFSW (International Federation of Social

  

Workers ), General Meeting, 26 July 2000, Montreal, Canada adalah: Profesi pekerjaan sosial

  adalah untuk meningkatkan perubahan sosial, pemecahan masalah dalam hubungan kemanusiaan dan pemberdayaan serta kebebasan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan. Dengan menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem sosial, pekerjaan sosial mengintervensi pada titik-titik di mana masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial adalah hal yang fundamental bagi pekerjaan sosial (Huraerah, 2006). Terdapat tujuh strategi pelayanan kesejahteraan sosial bagi anak, yakni:

  (1) Child Based Services. Strategi ini menempatkan anak sebagai basis penerima pelayanan.

  Anak yang mengalami luka-luka fisik dan psikis perlu segera diberikan pertolongan yang dipisahkan dari keluarga yang mengancam dan membahayakan kehidupannya.

  (2) Institutional Based Services. Anak yang mengalami masalah ditempatkan dalam

  lembaga/panti. Pelayanan yang diberikan meliputi fasilitas tinggal menetap, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pendidikan dan pelatihan keterampilan, serta program rehabilitasi sosial lainnya.

  (3) Family Based Service. Keluarga dijadikan sasaran dan medium utama pelayanan.

  Pelayanan ini diarahkan pada pembentukan dan pembinaan keluarga agar memiliki kemampuan ekonomi, psikologis dan sosial dalam menumbuhkembangkan anak, sehingga mampu memecahkan masalahnya sendiri dan menolak pengaruh negatif yang merugikan dan membahayakan anak. Keluarga sebagai satu kesatuan diperkuat secara utuh dan harmonis dalam memenuhi kebutuhan anak. Misalnya; program Usaha Ekonomis Produktif (UEF), diterapkan pada keluarga yang mengalami masalah keuangan Terapi perkawinan diberikan pada keluarga yang mengalami permasalahan emosional dan sosial.

  (4) Community Based Services. Strategi yang menggunakan masyarakat sebagai pusat

  penanganan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat agar ikut aktif dalam menangani permasalahan anak. Para pekerja sosial datang secara periodik ke masyarakat untuk merancang dan melaksanakan program pengembangan masyarakat, bimbingan dan penyuluhan, terapi sosial, kampanye sosial, aksi sosial, serta penyediaan sarana rekreatif dan pengisian waktu luang.

  (5) Location Based Service. Pelayanan yang diberikan di lokasi anak yang mengalami

  dan pekerja anak. Para pekerja sosial mendatangi pabrik atau tempat-tempat di mana pertolongan. Untuk anak jalanan dan anak yang bekerja di jalan, strategi ini sering disebut sebagai Street Based Services (Pelayanan Berbasiskan Jalanan).

  (6) Half-way House Services. Strategi ini disebut juga strategi semi-panti yang lebih terbuka

  dan tidak kaku. Strategi ini dapat berbentuk rumah singgah, rumah terbuka untuk berbagai aktivitas, rumah belajar, rumah persinggahan anak dengan keluarganya, rumah keluarga pengganti, atau tempat anak yang mengembangkan sub-kultur tertentu. Para pekerja sosial menentukan program kegiatan, pendampingan, dan berbagai pelayanan dalam rumah singgah.

  (7) State Based Services. Pelayanan dalam strategi ini bersifat makro dan tidak langsung (macro and indirrect services). Para pekerja sosial mengusahakan situasi dan kondisi

  yang kondusif bagi terselenggaranya usaha kesejahteraan sosial bagi anak. Perumusan kebijakan kesejahteraan sosial dan perangkat hukum untuk perlindungan merupakan bentuk program dalam strategi ini (Suharto, dalam Huraerah, 2006). Masalah anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus menandai perkembangan permasalahan anak. Jika pada tahun 1979, pada saat Undang-Undang Kesejahteraan Anak

  Nomor 4 Tahun 1979 lahir, permasalahan anak hanya berkisar pada anak terlantar, anak yatim piatu, dan anak cacat, maka sekarang mengerucut dengan istilah anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, pasal 1 ayat 15, menyebutkan bahwa perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif baik fisik dan/atau mental, anak berkebutuhan khusus, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran (Huraerah, 2006: 100).

2.2.1 Peranan Pekerja Sosial Dalam Menangani Masalah Anak

  Hingga saat ini sangatlah banyak defenisi pekerjaan sosial yang dikemukakan banyak pakar maupun institusi. Salah satu defenisi pekerjaan sosial yang banyak digunakan adalah defenisi yang dirumuskan oleh Dewan Pendidikan Pekerjaan Sosial, yang mengemukakan, bahwa pekerjaan sosial adalah upaya meningkatkan fungsi sosial daripada pribadi-pribadi ataupun kelompok, melalui aktivitas yang berfokus pada komunikasi sosial mereka, yang terwujud dalam interaksi antara manusia dan lingkungan mereka. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok fungsi, yaitu penyempurnaan atas daya yang telah lemah, penyediaan sumber daya pribadi dan sosial, dan pencegahan ketidakberfungsian sosial (Werner, dalam Siagian & Suriadi: 2012)

  Dalam Ketentuan Umum UU NO. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial ditegaskan pengertian pekerja sosial professional, yaitu seseorang yang bekerja baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

  Seorang Pekerja Sosial, mempunyai pemahaman tentang pribadi dan tingkah laku manusia serta lingkungan sosialnya atau kondisi di mana manusia itu hidup. Menurut pandangan sosial, yaitu:

  Sebagai enabler seorang pekerja sosial membantu masyarakat agar dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka, mengidentifikasikan masalah mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif.

  2) Broker

  Peranan seorang broker berperan dalam menghubungkan individu ataupun kelompok dalam masyarakat yang membutuhkan bantuan ataupun layanan masyarakat (community services), tetapi tidak tahu di mana dan bagaimana mendapatkan bantuan tersebut. Broker dapat juga dikatakan menjalankan peran sebagai mediator yang menghubungkan pihak yang satu (klien) dengan pemilik sumber daya.

  3) Expert

  Dalam kaitan peranan seorang community worker sebagai tenaga ahli (expert), ia lebih banyak memberikan advis (saran) dan dukungan informasi dalam berbagai area. Misalnya saja, seorang tenaga ahli dapat memberikan ususlan mengenai bagaimana struktur organisasi yang bisa dikembangkan dalam masyarakat tersebut dan kelompok-kelompok mana saja yang harus terwakili.

  Seorang expert harus sadar bahwa usulan dan saran yang ia berikan bukanlah mutlak harus dijalankan masyarakat, tetapi usulan dan saran tersebut lebih merupakan sebagai masukan gagasan untuk bahan pertimbangan masyarakat ataupun organisasi dalam masyarakat tersebut.

  4) Social Planner dalam masyarakat tersebut; menganalisanya, dan menyajikan alternatif tindakan yang rasional mencoba mencari alternatif sumber pendanaan, dan mengembangkan konsensus dalam kelompok yang mempunyai berbagai minat atau kepentingan.

  Peran expert dan social planner saling tumpang tindih. Seorang expert lebih memfokuskan pada pemberian usulan dan saran (advice), sedangkan perencana sosial lebih memfokuskan tugas-tugas yang terkait dengan pengembangan dan pengimplementasian program.

  5) Advocate

  Peran sebagai advokat dalam pengorganisasian masyarakat dicangkok dari profesi hukum. Peran ini merupakan peran yang aktif dan terarah (directive), di mana community worker menjalankan fungsi sebagai advokat (advocacy) yang mewakili kelompok masyarakat yang membutuhkan suatu bantuan ataupun layanan, tetapi institusi yang seharusnya memberikan bantuan ataupun layanan tersebut tidak memperdulikan (bersifat negatif ataupun menolak tuntutan warga).

  Peran advokasi, misalnya saja dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh lembaga non pemerintah yang menyampaikan “tuntutan” pada pemerintah agar pemerintah menyediakan ganti rugi yang memadai bagi mereka yang tergusur; atau agar pemerintah meringankan biaya pendidikan; dan lain sebagainya.

  6) Activist

  Sebagai activist, seorang community worker melakukan perubahan institusional yang lebih mendasar, dan seringkali tujuannya adalah pengalihan sumber daya ataupun kekuasaan

  

activist biasanya memperhatikan isu-isu tertentu, seperti ketidaksesuaian dengan hukum yang

  Seorang activist biasanya mencoba menstimulasikan kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut (disadvantage group) untuk mengorganisir diri dan melakukan tindakan melawan struktur kekuasaan yang ada (yang menjadi “penekan” bagi mereka). Taktik yang biasa mereka lakukan adalah melalui konflik konfrontasi (misalnya melalui demonstrasi) dan negosiasi.

  Serupa dengan peran sebagai advokat, seorang activist juga menjalankan peran partisan. Hal ini dilakukan karena kelompok tersebut dianggap sebagai “korban” dari struktur yang berkuasa.

  7) Educator

  Dalam menjalankan peran sebagai pendidik (educator), pekerja sosial diharapkan mempunyai keterampilan sebagai pembicara dan pendidik. Pekerja sosial harus mampu berbicara di depan publik untuk menyampaikan informasi mengenai beberapa hal tertentu, sesuai dengan bidang yang ditanganinya.

  Dalam pelayanan sosial anak, umumnya pekerja sosial berperan sebagai enabler, dimana mereka membantu anak untuk dapat mengidentifikasikan masalah mereka dan mengembangkan kapasitas mereka agar dapat menangani masalah secara efektif, disamping itu juga pekerja sosial berperan sebagai educator (pendidik) yang diharapkan membantu anak dalam hal pendidikannya.

2.3.1 Efektifitas

  Keberhasilan lembaga pada umunya diukur dengan konsep efektifitas, apa yang dimaksud efektifitas, terdapat perbedaan pendapat diantara yang menggunakannya, baik di kalangan akademisi maupun di kalangan praktisi.

  Kata efektif berasal dari bahasa Inggris effective artinya berhasil. Sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Schein (dalam Pabundu Tika, 2006) mengemukakan bahwa efektifitas organisasi adalah kemampuan untuk bertahan, menyesuaikan diri, memelihara diri dan tumbuh, lepas dari fungsi tertentu yang dimilikinya.

  Efektifitas ialah ukuran sejauh mana tujuan (organisasi) dapat dicapai. Efektifitas adalah suatu kontinum yang merentang dari efektif, kurang efektif, sedang-sedang, sangat kurang, sampai tidak efektif (Sigit, 2003: 2). Menurut Steers (dalam Sutrisno, 2010), pada umumnya efektifitas hanya dikaitkan dengan tujuan lembaga, yaitu laba, yang cenderung mengabaikan aspek terpenting dari keseluruhan prosesnya, yaitu sumber daya manusia. Dalam penelitian mengenai efektifitas organisasi, sumber daya manusia dan perilaku manusia seharusnya selalu muncul menjadi fokus primer, dan usaha-usaha untuk meningkatkan efektifitas seharusnya dimulai dengan meneliti perilaku manusia di tempat kerja.

  Pengukuran efektifitas secara umum dan yang pling menonjol adalah : 1) Keberhasilan program. 2) Keberhasilan sasaran. 3) Keputusan terhadap program. 4) Tingkat input dan output.

  Pencapaian tujuan menyeluruh (Cambel, 1989: 121).

  Sehingga efektifitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam sebelumnya. Efektifitas dalam dunia riset ilmu-ilmu sosial dijabarkan dengan jumlah penemuan atau produktivitas, dimana bagi sejumlah sarjana sosial efektifitas sering kali ditinjau dari sudut kualitas pekerjaan atau program kerja. Singkatnya efektifitas memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, tergantung pada kerangka acuan yang dipakai. Mengingat keanekaragaman pendapat mengenai sifat dan komposisi dari efektifitas tersebut, maka tidaklah mengherankan jika sekian banyak pendapat mengalami pertentangan sehubungan dengan cara meningkatkannya, cara mengatur, dan bahkan cara menentukan indikator dari efektifitas.

2.3.2 Efektifitas Pelayanan Sosial

  Usaha Kesejahteraan Sosial mengacu pada program, pelayanan dan berbagai kegiatan yang secara kongkret (nyata) berusaha menjawab kebutuhan ataupun masalah yang dihadapi anggota masyarakat. Usaha kesejahteraan sosial itu sendiri dapat diarahkan pada individu; keluarga; kelompok; ataupun komunitas. Berdasarkan hal di atas dapat dirasakan bahwa kesejahteraan sosial tidaklah bermakna bila tidak diterapkan dalam bentuk usaha kesejahteraan sosial yang nyata yang menyangkut kesejahteraan warga masyarakat. Oleh karena itu dua terminologi ini sulit untuk dipisahkan satu dengan lainnya (inseparable) dan seringkali digunakan secara tukar-menukar (interchangeably).

  Dari terminologi tersebut terlihat bahwa usaha kesejahteraan sosial seharusnya merupakan upaya yang konkret (nyata) baik ia bersifat langsung (direct services) ataupun tidak benar-benar ditujukan untuk menangani masalah ataupun kebutuhan yang dihadapi warga pada upaya menghidupi organisasinya sendiri ataupun menjadikan sebagai “panggung” untuk sekedar mengekspresikan penampilan diri person dalam suatu lembaga.

  Ada berbagai alasan maupun motivasi yang melandasi penyediaan berbagai usaha kesejahteraan sosial, tetapi secara umum menurut Mendoza dalam (Rukminto, 1994: 8), ada tiga tujuan utama yang terkait dengan kesejahteraan sosial (yang pada umumnya berhubungan dengan upaya memperoleh sumber daya yang sangat terbatas):

1. Tujuan yang bersifat Kemanusiaan dan Keadilan Sosial (Humanitarian and Social Justice

  Goals ). Tujuan kesejahteraan sosial ini berakar dari gagasan ideal demokratik mengenai

  keadilan sosial, dan hal ini berasal dari keyakinan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Meskipun potensi tersebut kadangkala tertutup karena adanya hambatan fisik, sosial, ekonomi psikis, dan berbagai faktor lainnya yang menghambat dirinya untuk mengenali potensi yang ia miliki.

  Berdasarkan tujuan ini, usaha kesejahteraan sosial banyak diarahkan pada upaya pengidentifikasian kelompok yang paling tidak mendapat perhatian, kelompok yang paling mempunyai ketergantungan, kelompok yang paling diterlantarkan, ataupun kelompok yang tidak mampu untuk menolong dirinya sendiri, dan menjadikan mereka kelompok sasaran dalam kaitan dengan upaya menjembatani sumber daya yang langka.

  2. Tujuan yang terkait dengan Pengendalian Sosial (Social Control Goal). Tujuan ini berdasarkan pemahaman bahwa kelompok yang tidak diuntungkan, kekurangan, ataupun tidak terpenuhi kebutuhannya dapat melakukan “serangan” (baik secara individu ataupun masyarakat tersebut harus berupaya untuk “mengamankan” diri dari sesuatu yang dapat

  “Ancaman” seperti ini biasanya dimunculkan oleh kelompok yang kurang mempunyai kesempatan dan sumber daya untuk mendapatkan taraf hidup yang memadai. Usaha kesejahteraan sosial yang diberikan pada pelaku “kejahatan” baik remaja maupun dewasa merupakan salah satu perwujudan dari tujuan pengendalian sosial dari kesejahteraan sosial.

3. Tujuan yang terkait dengan Pembangunan Ekonomi (Economic Development Goal).

  Tujuan pembangunan ekonomi memprioritaskan pada program-program yang dirancang untuk meningkatkan produksi barang dan pelayanan yang dapat diberikan, ataupun berbagai sumber daya lain yang dapat memberikan sumbangan terhadap pembangunan ekonomi. Beberapa contoh dari usaha kesejahteraan sosial yang searah dengan tujuan pembangunan ekonomi adalah: a.

  Beberapa tipe usaha kesejahteraan sosial yang secara langsung memberikan sumbangan terhadap peningkatan produktivitas individu, kelompok ataupun masyarakat. Seperti usaha kesejahteraan sosial yang memberikan pelayanan konseling pada generasi muda yang bekerja di bidang industri agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan bidang kerjanya, usaha kesejahteraan sosial yang memberikan pelayanan rehabilitasi pekerja yang menderita cacat, pelatihan terhadap para penganggur, dan lain sebagainya.

  b.

  Jenis usaha kesejahteraan sosial yang berupaya untuk mencegah atau meminimalisir hambatan (beban) yang dapat dihadapi oleh para pekerja (yang masih produktif). kecil, anak-anak mereka yang cacat ataupun menderita kelainan, orang tua yang kesejahteraan sosial seperti ini antara lain tempat penitipan anak (day-care center), panti lanjut usia, klinik kesehatan, ataupun panti rehabilitasi.

  c.

  Jenis usaha kesejahteraan sosial yang memfokuskan pada pencegahan dampak negatif urbanisasi dan industrialisasi pada kehidupan keluarga dan masyarakat, atau membantu mereka agar dapat mengidentifikasikan dan mengembangkan “pemimpin” dari suatu komunikasi lokal. Misalnya saja, usaha kesejahteraan sosial yang bergerak di bidang pelayanan pendidikan kehidupan berkeluarga (family life education

  services) , program pelatihan kepemimpinan, ataupun berbagai jenis pelayanan yang digunakan untuk pelayanan komunitas (Adi, 1994: 9).

  Efektifitas pelayanan sosial adalah tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan berdasarkan makna dari pelayanan sosial itu sendiri, sehingga apa yang dilakukan dapat dirasakan sebagai upaya yang benar-benar ditujukan untuk menangani masalah ataupun kebutuhan yang dihadapi warga masyarakat.

2.3.3 Efektifitas Pelayanan Sosial Anak Balita

  Sesuai dengan Undang-undang Kesejahteraan Sosial Anak No. 4 Tahun 1979 Bab II tentang Hak Anak, maka dapat kita simpulkan, bahwa pelayanan sosial terhadap anak dapat dikatakan efektif apabila anak balita telah mendapatkan haknya dengan baik, yaitu:

  1) Anak balita merasa sejahtera, mendapat perawatan, asuhan, bimbingan berdasarkan kasih

2) Anak balita mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya dengan baik.

  4) Anak balita mendapat perlindungan-perlindungan terhadap hal-hal yang membahayakan dari lingkungannya (Aziz, 1998: 60).

2.4 Kerangka Pemikiran

  Periode awal anak adalah periode perkembangan yang merentang dari akhir masa bayi hingga usia 5 atau 6 tahun, periode ini kadang-kadang disebut juga tahun-tahun prasekolah

  

“preschool years” . Selama masa ini, anak belajar untuk menjadi lebih mandiri dan

  memerhatikan dirinya. Mereka mengembangkan kesiapan sekolah (seperti mengikuti perintah, dan mengenal huruf) dan menghabiskan banyak waktunya untuk bermain dengan teman sebayanya. Usia dini ini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan perkembangan masa selanjutnya. Berbagai studi yang dilakukan para ahli menyimpulkan bahwa pendidikan anak sejak usia dini dapat memperbaiki prestasi dan meningkatkan produktivitas kerja masa dewasanya (Sulistyaningsih, 2008).

  Pelayanan sosial anak adalah suatu aktifitas yang bertujuan memberikan pertolongan, bimbingan, perlindungan kepada anak agar dapat menjalankan fungsi sosial dengan baik. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Implementasi pelayanan sosial ini yang kemudian dipertanyakan jika melihat kondisi anak balita telantar dan tumbuh tanpa ada binaan yang sesuai dengan masa balitanya.

  Melihat hal tersebut, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Anak Balita Medan sebagai salah satu lembaga kesejahteraan sosial anak yang memberikan pelayanan terhadap balita terlantar dari usia 2 s/d 6 tahun. Sebagai tempat penitipan balita dari keluarga miskin atau kurang mampu, serta orang tua yang bekerja yang mempunyai anak balita, agar anak-anak mereka tidak terlantar dirumah tanpa ada binaan yang sesuai dengan masa balitanya. UPT Pelayanan Sosial Anak Balita Medan memberikan pelayanan sosial untuk pemenuhan pertumbuhan dan perkembangan balita terlantar. Pelayanan yang dilaksanakan ditujukan pada ibu-ibu maupun anak yang dititipkan, hal ini mencerminkan bahwa Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Anak tidak memisahkan antara ibu dengan anak, namun terlihat suatu kesatuan dalam keluarga untuk mencapai kesejahteraan keluarga yang damai dan bahagia.

  Pelayanan sosial yang dilaksanakan diharapkan mampu menghasilkan balita yang mengenal ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan, mengenal lingkungan/alam sekitar, mengenal agama, kebudayaan, memiliki kesehatan dan tumbuh kembang dengan baik, serta balita mendapat perhatian penuh dari lembaga.

  Untuk melihat keefektifan pelaksanaan program pelayanan sosial anak balita oleh UPT Pelayanan Sosial Anak Medan dapat dilihat dari teori efektifitas dengan indikator sebagai berikut: a.

  Pemahaman program, yaitu dilihat dari sejauh mana anak dapat memahami program pelayanan sosial anak.

  b.

  Ketepatan sasaran, yaitu dilihat dari apakah anak yang telah diberikan sosialisasi sosial. c.

  Tepat waktu, yaitu penggunaan waktu dalam melakukan program pelayanan sosial sesuai dengan yang sudah ditentukan.

  d.

  Tercapainya tujuan, yaitu dilihat dari pencapaian tujuan yang ditetapkan melalui kegiatan pelayanan sosial.

  e.

  Adanya perubahan nyata, yaitu dilihat dari bagaimana program pelayanan sosial memberikan dampak yang baik atau perubahan nyata bagi anak.

  Skematisasi kerangka pemikiran adalah proses transformasi narasi yang menerangkan hubungan atau konsep-konsep atau variabel-variabel penelitian menjadi sesuatu yang berbentuk skema, artinya yang ada hanyalah perubahan cara penyajian dari narasi menjadi skema (Siagian, 2011). Untuk itu skematisasi kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

GAMBAR 1.1 BAGAN ALIR PEMIKIRAN

  UPT Pelayanan Sosial Pelayanan Sosial: Anak Balita

  Anak Balita Medan 1.

  Kegiatan belajar di dalam kelas 2. Kegiatan belajar dari 5 sudut pengembangan, yaitu: sudut keluarga, sudut agama, sudut lingkungan hidup/alam sekitar, sudut kebudayaan, dan sudut pengetahuan

3. Pelayanan kesehatan

  Efektifitas Pelaksanaan Program: 4.

  Kegiatan bimbingan sosial 1. Pemahaman program: pengetahuan tentang sosialisasi, metode, tujuan dan jenis kegiatan program

  2. Ketepatan sasaran: anak balita dengan usia 2 s/d 6 tahun, orangtua/ibu yang bekerja, dan keluarga yang kurang mampu/miskin

3. Tepat Waktu: ketepatan waktu frekuensi pemberian pelayanan sosial 4.

  Tercapainya tujuan: Balita mengenal ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan, mengenal lingkungan/alam sekitar, bermain bebas di taman, mengenal agama, kebudayaan, balita memiliki kesehatan dan tumbuh kembang dengan baik, balita mendapat perhatian penuh dari lembaga

  5. Perubahan nyata: peningkatan ilmu pengetahuan dan keterampilan, memiliki kesehatan, tumbuh kembang dengan baik, anak terlatih dan disiplin dengan situasi dimana berada

2.5 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional

2.5.1 Defenisi konsep

  Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep-konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna-makna konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan defenisi konsep. Secara sederhana defenisi disini diartikan sebagai “batasan arti”.

  Defenisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (Siagian, 2011: 138).

  Adapun batasan konsep dalam penelitian ini adalah: 1. Program Pelayanan Sosial adalah rancangan yang dijalankan untuk mencapai kesejahteraan sosial mencakup program pertolongan dan perlindungan kepada golongan yang tidak beruntung serta membantu fungsi pengembangannya.

2. Pelayanan sosial anak adalah suatu aktifitas yang bertujuan memberikan pertolongan, bimbingan, perlindungan kepada anak agar dapat menjalankan fungsi sosial dengan baik.

  3. Efektivitas pelayanan sosial anak balita adalah tercapainya tujuan yang sudah ditetapkan berdasarkan makna dari pelayanan sosial anak balita itu sendiri. Dikatakan efektif apabila hasil yang dicapai dari pelayanan sosial yang diberikan telah sesuai dengan apa tujuan awal yang telah ditetapkan.

  4. Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Anak Medan adalah suatu lembaga yang bergerak dibidang sosial yang memberikan bimbingan serta pelayanan kesejahteraan

  Dengan demikian dapat kita ambil defenisi konsep secara keseluruhan. Yang dimaksud dengan efektivitas program pelayanan sosial anak balita di UPT Pelayanan Sosial Anak Balita Medan adalah tercapainya tujuan seluruh aktifitas pemberian pelayanan sosial kepada anak balita yang telah dilakukan oleh UPT Pelayanan Sosial Anak Balita Medan.

2.5.2 Defenisi Operasional

  Defenisi operasional adalah langkah lanjutan dari perumusan defenisi konsep. Jika perumusan defenisi konsep ditujukan untuk mencapai keseragaman pemahaman tentang konsep- konsep, baik berupa obyek, peristiwa maupun fenomena yang diteliti, maka perumusan operasional ditujukan dalam upaya transformasi konsep kedunia nyata sehingga konsep penelitian dapat diobservasi (Siagian, 2011: 141).

  Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam program pelayanan sosial anak balita di UPT Pelayanan Sosial Anak Balita Medan dapat diukur melalui indikator sebagai berikut: 1.

  Pemahaman program, meliputi: a.

  Sosialisasi program pelayanan sosial yang diberikan kepada anak balita b.

  Pemahaman setelah sosialisasi program pelayanan sosial anak balita c. Pengetahuan tentang tujuan program pelayanan sosial anak balita d.

  Pengetahuan tentang metode program pelayanan sosial anak balita 2. Ketepatan sasaran, meliputi:

  Anak balita dengan usia 2 s/d 6 tahun b.

  Memiliki orangtua/ibu yang bekerja dengan latarbelakang keluarga yang kurang

  3. Tepat waktu, meliputi: a.

  Ketepatan waktu frekuensi pemberian pelayanan sosial.

  b.

  Ketepatan waktu mendapat bantuan pelayanan.

  4. Tercapainya tujuan, meliputi: a.

  Balita mengenal huruf, mengenal angka, warna, bentuk dan rupa suatu benda, berhitung, gerak dan tari/nyanyi, olahraga, mengenal lingkungan/alam sekitar, dan bermain bebas di taman.

  b.

  Balita belajar 5 sudut pengembangan, yaitu sudut keluarga, agama, lingkungan hidup/sekitar, kebudayaan, dan pengetahuan.

  c.

  Balita memiliki kesehatan dan tumbuh kembang dengan baik.

  d.

  Balita mendapat perhatian penuh dari lembaga sebagai pusat pelayanan kesejahteraan sosial dan sebagai pusat informasi dan konsultasi kesejahteraan anak

  5. Adanya perubahan nyata, meliputi: peningkatan ilmu pengetahuan dan keterampilan, memiliki kesehatan, tumbuh kembang dengan baik, anak terlatih dan disiplin dengan situasi di mana berada Dari indikator-indikator yang digunakan tersebut, diharapkan dapat disimpulkan sudah efektifkah upaya-upaya yang dilakukan oleh UPT Pelayanan Sosial Anak Balita Medan dalam pelayanan bagi anak balita sesuai dengan visi dan misi, program dan tujuan yang telah ada.

Dokumen yang terkait

Efektifitas Program Pelayanan Sosial Anak Balita di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Anak Balita Medan

5 66 126

Gambaran Tingkat Depresi pada Lansia di Unit Pelayanan Terpadu Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita wilayah Binjai dan Medan

3 74 67

Gambaran Kualitas Tidur Dan Gangguan Tidur Pada Lansia Di Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan

15 105 98

Efektivitas Pelaksanaan Program Day Care Services (Pelayanan Harian Lanjut Usia) Oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Lanjut Usia Wilayah Binjai dan Medan

4 94 116

Implementasi Program Pelayanan Sosial Terhadap Anak Binaan Oleh Panti Sosial Bina Remaja Nusa Putra

2 82 135

IMPLEMENTASI PELAYANAN SOSIAL TERHADAP ANAK ASUH (Studi Diskriptif di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Asuhan Anak Trenggalek)

3 19 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Lanjut Usia Oleh Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial (UPT) Tuna Rungu Wicara Dan Lanjut Usia Di Kelurahan Bukit Sofa Kecamatan Siantar Sitalasari Ko

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi 2.1.1 Pengertian Implementasi - Implementasi Program Pembinaan Anak Jalanan Kota Medan di Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kota Medan

0 0 33

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Efektivitas. - Efektivitas Pelaksanaan Program Pemberdayaan Warga Binaan Anak Oleh Upt Pelayanan Sosial Anak Dan Lanjut Usiadi Kecamatan Siborongborong Kabupaten Tapanuli Utara

0 0 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana - Efektivitas Program Pelayanan Sosial Anak Korban Bencana Oleh Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan (KKSP) Di Desa Kutambelin Kecamatan Namanteran Kabupaten Karo

0 0 42