BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT USAHA A. Pengertian Perjanjian - Akibat Hukum Meninggalnya Debitur dalam Perjanjian Kredit Usaha pada Bank Perkreditan Rakyat

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT USAHA
A. Pengertian Perjanjian
1. Perjanjian dalam arti luas
Menurut ketentuan pasal 1313 KUHPdt bahwa“perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu
orang atau lebih lainnya”.
Lingkup perjanjian terlalu luas, mencakup juga perjanjian perkawinan
yang diatur dalam bidang hukum keluarga.Padahal, yang dimaksud adalah
hubungan antara debitor dan kreditor yang bersifat kebendaan.Perjanjian yang
diatur dalam Buku III KUHPdt sebenarnya hanya melingkupi perjanjian bersifat
kebendaan, tidak melingkupi perjanjian bersifat perorangan (personal). 21
Pengertian perjanjian yang disebutkan dalam pasal 1313 KUHPdt juga
mempunyai arti yang luas dan umum sekali, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa
suatu perjanjian dibuat. Hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih,
mengikatkan dirinya pada pihak lainnya. Karrena itu suatu perjanjian akan lebih
tegas artinya, jika pengertian perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan
dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal dalam bidang harta kekayaan. 22

21


Abdulkadir Muhammad., Hukum Perdata Indonesia ,(Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2011) ,hlm.289.
22
Mohd. Syaufii Syamsuddin., Perjanjian-Perjanjian Dalam Hubungan Industrial.
(Jakarta : Sarana Bhakti Parsada, 2005) hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

2. Perjanjian dalam arti sempit
“Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan dibidang
harta kekayaan.”
Dalam arti sempit tersebut menunjukkan telah terjadi persetujuan
(persepakatan) antara pihak yang satu (kreditor) dan pihak yang lain (debitor),
untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk) sebagai objek
perjanjian.Objek perjanjian tersebut dibidang harta kekayaan yang dapat dinilai
dengan uang.Perjanjian perkawinan misalnya, tidak dapat dinilai dengan uang
karena bukan hubungan mengenai sutau hal yang bersifat keorangan (persoonlijk)
antara suami dan istri dibidang moral. 23

Subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. 24Sedangkan KRMT Tirtodiningrat memberikan
definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di
antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat
dipaksakan oleh undang-undang.

23

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm 290
Agus Yuda hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
komersial, (jakarta ;prenada media group, 2010) hlm.16.
24

Universitas Sumatera Utara

Menurut Purwahid Patrik definisi pasal 1313 BW menyatakan beberapa
kelemahan yaitu: 25
a. Definisi tersebut hanya meyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat
disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang atau lebih lainnya” kata “mengikatkan” merupakan kata kerja
yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak.
Sedang maksud perjanjian itu para pihak saling mengikatkan diri, sehingga
tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan
“saling mengikatkan diri”.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk
perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan
perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad). Hal ini menunjukkan
makna “perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum.
c. Perlu ditekankan bahwa rumusan pasal 1313 BW mempunyai ruang
lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogenrecht).
B. Syarat sah dan jenis perjanjian
a. Syarat sah perjanjian
Perjanjian sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi unsurunsur dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah
dan mengikat diakui dan memiliki akibat hukum (legally concluded contract).
Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPdt, setiap perjanjian selalu memiliki empat
25

Ibid, hlm.17.


Universitas Sumatera Utara

unsure dan pada setiap unsur melekat syarat-syarat yang ditentukan undangundang. 26
Pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata menyebutkan syarat
sahnya perjanjian yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kesepakatan adalah salah satu syarat sahnya perjanjian.Oleh karena itu,
saat lahirnya perjanjian atau untuk menentukan ada atau tidaknya
perjanjian adalah dari adanya kesepakatan. Kesepakatan merupakan
persesuaian pendapat satu sama lainnya tentang isi perjanjian dan
mencerminkan kehendak untuk mengakibatkan diri. Hal yang pernting
pada suatu perjanjian adalah bahwa masing-masing pihak menyatakan
persetujuannya sesuai dengan pernyataan pihak lainnya.
Yang menjadi persoalan adalah, sejak kapan syarat kesepakatan tersebut
terpenuhi. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat sukar untuk ditentukan.
Untuk itu pada umumnya para praktisi hukum lebih cenderung
berpendapat bahwa untuk mengetahui sejak saat kapan syarat tersebut
terpenuhi, dengan memahami proses terjadinya kesepakatan, yang dalam
praktek hukum perjanjian disebut sebagai proses penawaran dan
penerimaan.

Kesepakatan

merupakan

syarat

subjektif

dari

suatu

perjanjian.

KUHPerdata tidak memberikan penjelasan mengenai apa itu sepakat,
26

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
2011),hlm. 299.


Universitas Sumatera Utara

tetapi hanya menjelaskan tentang kondisi yang menyebabkan tidak adanya
kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.
Syarat kesepakatan diatur lebih rinci dalam pasal 1321 KUHPerdata yang
berbunyi “ tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Syarat kesepakatan dapat cacat apabila terdapat unsur:
1) Kekhilafan
Pasal 1322 KUHPerdata menyatakan “kekhilafan tidak mengakibatkan
batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai
hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.Kekhilafan itu tidak
menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai
dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian,
kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya
orang tersebut”.Yang dimaksud kekhilafan ini adalah kekhilafan mengenai
orang (error in persona) dan kekhilafan karena barang yang diperjanjikan
(error in substansia). 27
Pasal ini menerangkan bahwa tidak dapat dijadikan alasan pembatalan
perjanjian jika salah satu pihak khilaf bukan mengai hal yang pokok dalam

perjanjian (bukan objek utama perjanjian). Demikian pula, kekhilafan
tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian jika seseorang hanya
khilaf tentang subjek perjanjian, kecuali kalau yang menjadi objek
perjanjian adalah keahlian orang tersebut. Kekhilafan terhadap subjek
perjanjian hanya dapat dijadikan alasan pembatalan jika perjanjian itu
berkaitan dengan perjanjian untuk berbuat sesuatu yang sangat terkait
dengan keahlian orang tersebut.
2) Paksaan
27

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum perikatan, (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2001), hlm.75-76.

Universitas Sumatera Utara

Pengertian pakasaan diatur dalam pasal 1324 KUHPerdata yang berbunyi
“paksaaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga
dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu
dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.

Dengan mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan
kedudukan orang-orang yang bersangkutan”.
Dalam pasal 1323 KUHperdata sebagaimana unsur paksaan merupakan
alasan untuk batalnya perjanjian yang berbunyi
“Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian,
merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu
dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa perjanjian
tersebut tidak telah dibuat”.
3) Penipuan
Penipuan membuat syarat kesepakatan menjadi cacat yang menyebabkan
batalnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1328 KUHPerdata
yang berbunyi “Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan
perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai salah satu pihak, adalah
sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak
telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.
Lazimnya dianggap, bahwa satu macam pembohongan saja tidaklah cukup
untuk adanya penipuan ini, melainkan harus ada suatu rangkaian
pembohongan yang dalam hubungannya satu dengan yang lain merupakan
suatu


tipu-muslihat

(kuntsgrepen).

Tetapi

jika

hanya

ada

satu

pembohongan, pembatalan juga dapat dituntut dengan alasan kekhilafan
(dwaling). 28

28


Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung, Mandar Maju, 2000),

hlm.34.

Universitas Sumatera Utara

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum.
Cakap menurut hukum berarti para pihak dapat bertindak sendiri dalam
mengadakan perjanjian. Pada azasnya setiap orang yang sudah dewasa
atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
Ketentuan pasal 1329 KUHPerdata menyatakan “setiap orang
adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, kecuali ia oleh undangundang dinyatakan tidak cakap”.
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang
akan menimbulkan akibat hukum. Pada dasarnya, setiap orang sepanjang
tidak ada ketentuan lain oleh undang-undang, dianggap cakap atau mampu
melakukan perbuatan hukum yang di dalam hal ini adalah membuat
perjanjian. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orangorang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu orang yang

sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun
dan/atau sudah menikah. 29
Namun ada golongan yang dikecualikan oleh undang-undang dan
dinyatakan tidak cakap untuk membuat perjanjian seperti yang ditentukan
dalam pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa.
29

Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, (Bandung, Mandar Maju,
2014)., hlm. 84.

Universitas Sumatera Utara

b. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan.
c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Suatu hal tertentu
Dalam mengadakan suatu perjanjian haruslah ada obyek atau sesuatu hal
yang diperjanjikan. Sesuatu hal itu haruslah merupakan hal tertentu, hal
tertentu berarti apa yang diperjanjikan jelas oleh kedua belah pihak.
Beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata yang mengatur tentang objek
perjanjian, yaitu: 30
a. Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan “Hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan”.
b. Pasal 1333 KUHPerdata yang menyatakan “Suatu persetujuan harus
mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu,
asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
c. Pasal 1334 KUHPerdata yang menyatakan “Barang yang baru aka nada
dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan”.
4. Suatu sebab yang halal
Sebab yang halal adalah mengenai isi perjanjian, harus dihilangkan suatu
kemungkinan salah sangka, bahwa itu adalah sesuatu yang menyebabkan
seseorang membuat perjanjian yang termaksud. Sebab yang halal

30

Ibid.,hlm. 86

Universitas Sumatera Utara

merupakan jika tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Suatu perjanjian yang dibuat
dengan sebab yang tidak halal, tidak sah menurut hukum. 31
Beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata tentang sebab-sebab yang
dilarang, yaitu:
1) Pasal 1335 KUHPerdata yang menyatakan “Suatu perjanjian tanpa
sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau
terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.
2) Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan “Pasal ini pada dasarnya
hanya mempertegas kembali mengenai salah satu syarat objektif dari
keabsahan perjanjian, yaitu mengenai sebab yang halal dimana apabila
suatu perjanjian bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau
ketertiban umum, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan
atau yang lazim disebut batal demi hukum”. 32
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat
disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian.Apabila sayarat
pertama dan kedua tidak terpenuhi, perjanjian tersebut dapat dibatalkan.Artinya
salah satu pihak dapat mengajukan pada pengadilan untuk membatalkan
perjanjian yang disepakatinya, tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan,
perjanjian tersebut tetap dianggap sah.Adapun apabila syarat ketiga dan keempat
31

Mohd. Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial,
(Jakarta :Sarana Bhakti Persada, 2005)., hlm. 17-18
32
Firman Floranta Adonara, Aspek-Aspek Hukum Perikatan, (Bandung :Mandar Maju,
2014)., hlm. 86

Universitas Sumatera Utara

tidak terpenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum.Artinya, dari semula
perjanjian tersebut dianggap tidak ada.
b. Jenis-jenis perjanjian
Menurut sutarno, perjnjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:33
1. Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Misalnya
perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal
1548 KUHPerdata.
2. perjanjian Sepihak
perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban
pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban
hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu, memberikan barang yang
dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun.
Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa
berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
3. perjanjian dengan percuma
perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjsdi keuntungan
bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740
KUHPerdata.
4. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi
kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah
33

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, ( Bandung ; Alfabeta, 2003),

hlm. 82.

Universitas Sumatera Utara

perjanjian yang memerlukan kata sepakat tapi barangnya harus diserahkan.
Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian
pinjam mengganti pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian formil adalah perjanjian
yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian
tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang
dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, UndangUndang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian
perkawinan dibuat dengan akta notaris.
5. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tidak bernama
Perjanjian bernama atau khusus addalah perjanjian yang telah diatur dengan
ketentuan khusus dalah KUHPerdata Buku ke Tiga Bab V sampai dengan Bab
XVIII. Misalnya

perjanjian jual beli, sewa-menyewa, hibah dan lain-lain.

perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam
Undang-Undang. Misalnya perjanjian leasing.

Sedangkan Prof. R. Subekti, SH memberikan definisi tentang perjanjian
untung-untungan (kans overeebkimst, alateatory contract) yang diambil
dari pasal 1774 KUHPerdata: 34
“suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik semua
pihak maupun sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang
belum tentu”

34

Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 1989). hlm. 132

Universitas Sumatera Utara

C. Pengertian dan pengaturan kredit usaha
1.

Pengertian kredit usaha
Menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun

1998 kredit adalah penyediaanuang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam melunasi hutannya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 35
KUR adalah kredit/pembiayaan kepada UMKM dalam bentuk kredit
modal kerja (KMK) dan atau kredit Investasi (KI). Pola pemberian KUR dengan
cara langsung dari bank kepada debitur atau secara tidak langsung melalui pola
linkage. Pola linkage merupakan kerja sama yang saling menguntungkan antara
bank umum dan lembaga keuangan mikro, BPR, koperasi, atau lembaga
pembiayaan lainnya. Pola ini dapat digunakan oleh bank penyalur KUR untuk
meghasilkan penyaluran KUR yang maksimal.Linkage program bertujuan
menjembatani kedua belah pihak dalam menjangkau pasar UMKM dengan tujuan
akhir semakin banyak masyarakat dan UMKM yang dapat dibiayai, baik dari sisi
nominal maupun jumlah debitur. 36
2.

Pengaturan kredit usaha

Sebagaimana telah dikemukakan, bank dalam melakukan kegiatan
usahaterutamadenganmenggunakandanamasyarakatyangdipercayakan

kepada

35

Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
Etty Mulyati, Kredit Perbankan Aspek Hukum dan Pengembangan Usaha Mikro Kecil
dalam Pembangunan Perekonomian Indonesia, ( Bandung,:PT Refika Aditama, 2016), hlm. 107
36

Universitas Sumatera Utara

bank. Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang mengandung
risiko yang dapat berpengaruh pada kesehatan dan kelangsungan usaha bank,
sehingga dalam pelaksanaannya bank harus berpegang pada azas-azas
perkreditan yang sehat guna melindungi dan memelihara kepentingan dan
kepercayaanmasyarakat.
Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara konsisten dan berdasarkan
azas-azas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan
yang tertulis. Berkenaan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan
ketentuan

mengenai

kewajiban

bank

umum

untukmemilikidanmelaksanakankebijakanperkreditanbankberdasarkan pedoman
penyusunan kebijakan perkreditan bank dalam SK Dir BI No. 27/162/KEP/DIR
tanggal 31 Maret1995. 37
Berdasarkan SK Dir BI tersebut, Bank Umum wajib memiliki kebijakan
perkreditan bank secara tertulis yang disetujui oleh dewan
komisaris bank dengan sekurang-kurangnya memuat dan mengatur hal-hal
pokok sebagai berikut :

1. Prinsipkehati-hatiandalamperkreditan;
2. Organisasi dan manajemen perkreditan;
3. Kebijakan persetujuan kredit;
4. Dokumentasi dan administrasi kredit;
5. Pengawasan kredit;
6. Penyelesaian kredit bermasalah.
37

Ramlan Ginting, Pengaturan Pemberian Kredit Bank Umum http://www.oocities.org/hu
kum97/kredit.pdf (diakses tanggal 12 juni 2017, pukul 10.30)

Universitas Sumatera Utara

Kebijakan perkreditan bank dimaksud wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia.Dalam pelaksanaan pemberian kredit dan pengelolaan perkreditan
bank wajib mematuhi kebijakan perkreditan bank yang telah disusun secara
konsekuen dan konsisten.

D. Agunan dalam perjanjian kredit
Agunan merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam hal
pemberian fasilitas kredit, hal ini demikian sesuai dengan pengertian agunan yang
termuat dalam pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan yaitu
bahwa “ Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah” 38
Ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah mengatur agunan sebagai berikut:
“ Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun
benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah
dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima
fasilitas”. 39

38

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung :PT Citra Aditya
Bakti, 2012),hlm. 452.
39
Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Universitas Sumatera Utara

Agunan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian
keredit, yaitu dengan memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk
mendapatkan pelunasan dari barag-barang yang diagunkan apabila debitur
wanprestasi.
Dalam konteks perkreditan istilah jaminan sangatlah sering bertukar
dengan istilah agunan. Apabila yang dimaksud jaminan itu adalah sebagaimana
ditegaskan dalam pemberian kredit menurut pasal 2 ayat (1) surat keputusan
direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/Kep/Dir tanggal 28 februari 1991 tentang
jaminan pemberian kredit, jaminan itu adalah suatu keyakinan bank atas
kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. 40
Kegunaan jaminan adalah untuk: 41
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan
pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila
nasabah melakukan cidera janji, yaitu tidak membayar kembali
utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
2. Menjamin agar nasabah berperan serta di dalam transaksi untuk
membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan
usaha

atau

proyeknya

dengan

merugikan

diri

sendiri

atau

perusahaannya, dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan
untuk dapat berbuat demikian diperkecil terjadinya.

40

Op.cit.hlm 455
Thomas Suyatno, H.A chalik, Made Sukada, Tinon Yunianti Ananda, Djuhaepah T.
Marala, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta,:PT Gramedia Pustaka Utama, 2003). hlm. 88
41

Universitas Sumatera Utara

3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi
perjanjian kredit. Khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai
dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilangan
kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.
Bank dalam rangka mengamankan kepentingannya selaku kreditur tidak
dilarang untuk meminta agunan dan hal tersebut mempunyai dasar yang kuat
secara hukum sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal 1131 KUHPerdata,
yaitu bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan
piutang seluruh krediturnya.Dengan demikian, hampir setiap bentuk aktiva
perusahaan atau aktiva pribadi dapat digunakan sebagai agunan untuk kredit. 42
1.

Jenis pengikatan agunan dalam kredit perbankan
Mengacu pada jenis jaminan yang terdiri atas dua jenis, yaitu jaminan
pribadi dan jaminan kebendaan maka agunan dapat dikelompokkan
sebagai jaminan kebendaan. Adapun pengikatan agunan pada praktik
perbankan, yaitu meliputi:
1) Hipotik
2) Credietverband, dan
3) Fidusia
Hadirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah serta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia,
42

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, ( Bandung, PT Citra Aditya
Bakti,2003)., hlm. 456

Universitas Sumatera Utara

maka peraturan mengenai pengikatan agunan telah mengalami perubahan
yang sangat menyeluruh.
2.

Pengikatan Agunan Sebelum Tahun 1996
Pengikatan suatu agunan sebelum tahun 1996 dilakukan melalui bentuk
hukum hipotik, credietverband, dan fidusia. Perundang-undangan yang
mengaturnya

dalam

beberapa

peraturan,

seperti

hipotik

dalam

KUHPerdata khususnya buku II, sedangkan credietverband dalam
koninklijk beslult (KB) tanggal 6 juli 1908 Nomor 50 Stbl. 1908 Nomor
542 jo. Stbl. 1909 Nomor 568 dan Stbl. 1909 Nomor 584 serta Stbl. 1937
Nomor 190 jo. Stbl. 1937 Nomor 191, dan fidusia didasarkan kepada
jurisprudensi.
1) Pengikatan agunan dengan hipotik
Hukum materil hipotik semula diatur dalam Buku II pada Bab XXI mulai
dari pasal 1162-1231 KUHPerdata. Sedangkan peraturan acaranya, yaitu
mengenai tata cara pembebanan atau pemberian, cara peralihannya diatur
dalam Overshrivings Ordonnantie 1834. Ketentuan mengenai hipotik
yang ada dalam KUHPerdata kemudan dikonversi menjadi hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dengan ketentuan pasal 51 UUPA,
yang menyebutkan bahwa hak tanggungan diatur dengan UndangUndang.
Menurut prof. Subekti, S.H dalam jaminan hipotik ini tedapat 4 dokumen
yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a) Perjanjian pemberian kredit.
b) Surat kuasa untuk memasang hipotik secara akta otentik.
c) Akta pemasangan hipotik dari PPAT.
d) Sertifikat hipotik dari kantor pertanahan.
Menurut ketentuan dalam Buku II KUHPerdata, hipotik harus memenuhi
dua asas, yaitu:
a) Akta hipotik harus memuat suatu penyebutan khusus tentang benda
yang akan diagunkan, begitu pula sifat dan letaknya (pasal 1174 ayat
(1). Selain itu, harus disebutkan pula jumlah utangnya atau jumlah
uang hipotik yang diberikan pasal (pasal 1176).
b) Hipotik harus diumumkan karena mempunyai akibat hukum terhadap
pihak ketiga.
Kreditur pemegang hipotek dapat memperoleh pelunasan utang
dengan kewenangan yang diberikan pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata
berupa pelaksanaan beding van eogenmachtige.Menurut ketentuan pasal
tersebut, dalam pembebanan hipotik dapat diperjanjikan bahwa apabila
debitur cidera janji, kreditur secara mutlak dikuasakan menjual lelang
tanah yang dibebani hipotik. Hasilnya dipakai untuk pelunasan piutnag
krediut, jadi menurut ketentuan ini sebenarnya tidak diperlukan flat ketua
pengadilan negeri, hanya saja dalam hal ini ada fatwa Mahkamah Agung
yang mengharuskan kantor lelang meminta terlebih dahulu penetapan
ketua pengadilan negeri.

Universitas Sumatera Utara

2) Pengikatan agunan dengan credietverband
Ketentuan materil credietverband diatur dalam Koninklijk Besult
(KB) tanggal 6 juli 1908 Nomor 50 (Stbl. 1908-542 Regeling van het
credietverband) yang telah diubah dengan staatsblad 1937-190, hanay
saja ketentuan formalnya mengalami perubahan disesuaikan dengan
peraturan dimana letak tanah yang bersangkutan. Akan tetapi pada
dasarnya setelah berlakunya UUPA, pepmebanan, pendaftaran, dan
penghapusannya harus menurut ketentuan UUPA beserta peraturanperaturan pelaksanaannya (peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Menteri Agraria Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah; Peraturan Menteri
Agaria Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran
Hipotik dan credietverband; Peraturan Menteri Agraria Nomor 7 Tahun
1961 tentang Pelaksanaan Roya, serta Keputusan Presiden Nomor 14
Tahun 1973 tentang Bank-Bank Negara yang berhak menerima
Credietverband; dan sebagainya).
Jaminan yang berbentuk credietverband ini ditujukan untuk
golongan pribumi (bumiputra) yang meminjam uang dari lembaga
perkreditan, jaminan yang diberikan berupa tanah adat. Adapun
lembaga yang dapat memberikan kredit dengan jaminan credietverband
ini pada mulanya hanya lembaga perkreditan yang ditunjuk oleh
pemerintah, yaitu Algemenee Volkscredietbank (AVB) yang pada
zaman

kemerdekaan

menjadi

Bank

Rakyat

Indonesia

(BRI).

Universitas Sumatera Utara

Perkembangan selanjutnya bank yang bisa menerima jaminan
credietverband tidak hanya BRI. maka, melalui keputusan presiden
Nomor 14 Tahun 1973 tertanggal 6 April 1973 telah pula ditunjuk
bank-bank pemerintah lainnya, yaitu BNI 1946, Bank Dagang Negara,
Bank bumi daya, dan Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII).
Hapusnya credietverband diatur dalam pasal 29 CV, yaitu karena
hapusnya perikatan pokok sesuai dengan pasal 1381 KUHPerdata
karena kreditur melepaskan diri dari ikatan tersebut, karena bendabenda yang disebut dalam pasal 3 CV diasingkan atau lenyap dari tanah
yang diikat dalam credietverband. Setelah berlakunya UUPA hal yang
menyebabkan hapusnya credietverband juga karena tanah yang
dibebani credietverband itu dicabut untuk kepentingan umum (UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961) atau dibebaskan dari pemilik (pemberi)
credietverband (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun
1975).
3) Pengikatan agunan dengan fidusia
Fidusia ini pada asasnya merupakan pengembangan dari lembaga
gadai. Oleh karena itu, yang menjadi objek jaminannya yaitu barang
bergerak sehingga apabila fdusia diterapkan bagi barang-barang tidak
bergerak, fidusia tersebut tidak sah dan batal demi hukum. Hal tersebut
sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 372 K/Sip/1970
bertanggal 1 september 1971 dalam perkara Lo Diang Siang melawan

Universitas Sumatera Utara

Bank Indonesia, dengan demikian barang yang dapat dijaminkan
adalah: 43
a) Bahan baku yang diolah, barang setengah jadi, dan hasil produksi
b) Alat-alat inventaris
c) Kendaraan bermotor
Prosedur yang biasa dilakukan dlaam pembebanan jaminan melalui
fidusia dilakukan dengan bentuk perjanjian penyerahan Jaminan dan
pemberian kuasa (PPJPK) yang didasarkan atas perjanjian kredit yang
telah dibuat. Bedanya dengan hipotk, yaitu bahwa barang tetap berada
di pihak debitur untuk kelancaran jalannya usaha dan tidak ada tempat
kantor yang mengadministrasikan pendaftarannya. Secara jelas proses
terjadinya fidusia menempuh beberapa fase, yaitu : 44
1) Fase pertama berupa perjanjian obligatoir
Diantara pihak pemberi dan penerima fidusia diadakan
perjanjian di mana ditentukan bahwa debitur meminjam sejumlah uang
dengan janji akan menyerahkan hak miliknya secara fidusia dengan
jaminan kepada pemberi kredit. Perjanjian ini bersifat konsensual,
obligatoir.
2) Fase kedua merupakan perjanjian kebendaan

43

Ibid., hlm. 464
D.Y. Witanto, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen
(Bandung: Mandar Maju, 2015), hlm 124
44

Universitas Sumatera Utara

Diantara kedua pihak dilakukan penyerahan secara constitutum
prossessorium.
3) Fase ketiga berupa perjanjian pinjam pakai (bruklening)
Diantara kedua pihak diadakan perjanjian bahwa pemilik
fidusia meminjam pakaikan hak miliknya yang telah berada didalam
kekuasaan pemberi fidusia kepada penerima fidusia.
Dengan memerhatikan tahapan dan proses fidusia seperti di atas
maka apabila kredit yang dijamin melalui fidusia tersebut bermasalah
(macet), jalan keluar yang sering dilakukan oleh bank terlebih dahulu
melalui langkah musyawarah. Namun, apabila tidak berhasil,bank baru
menyelesaikannya

melalui

gugatan

kepada

pengadilan

dimana

gugatannya harus memuat pula agar barang-barang yang dijaminkan
tersebut dikenakan sita jaminan (CB). 45
3. Pengikatan Agunan Setelah Tahun 1996
Pada tahun 1996 setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah. Dengan adanya ketentuan tersebut maka
ketentuan yang mengatur credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi,
sedangkan untuk hipotik yang dinyatakan tidak berlaku hanyalah
ketentuan yang mengatur pembebanan hipotik atas hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dengan demikian,
45

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, ( Bandung, PT Citra Aditya
Bakti,2003)., hlm.464

Universitas Sumatera Utara

ketentuan hipotik atas kapal masih tetap berlaku. Adapun mengenai
pengaturan fidusia baru mengalami perubahan pada tahun 1999 dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 42 tentang Fidusia.
1) Pengikatan agunan dengan hak tanggungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut, benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Proses pembebanan hak tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap
kegiatan, yaitu: 46
a. Tahap pemberian hak tanggungan dengan dibuatnya akta pemberian
hak tanggungan oleh pejabat pembuat akta tanah yang didahului
dengan perjanjian utang piutang yang dijamin pada saaat itu hak
tanggungan yang bersangkutan belum lahir.
b. Tahap pendaftarannya (saat lahirnya hak tanggungan) dimana hak
tanggungan tersebut baru lahir pada saat dibukukannya dalam buku
tanah di kantor pertanahan.
Kreditur sebagai pemegang hak tanggungan dalam kondisi
menghadapi kepailitan si debitur mempunyai kedudukan sebagai
kreditur separatis, yaitu kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan
46

ibid

Universitas Sumatera Utara

sehingga tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya meskipun
debiturnya telah dinyatakan pailit sebagaimana diatur dalam pasal 56
(1) Undang-Undang Kepailitan, yaitu: 47
“ dengan tetap memperhatikan ketentuan pasal 56A, setiap kreditur
yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas
kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah olah tidak
terjadi kepailitan.”
Bank lazimnya berkedudukan sebagai kreditur maka bertindak sebagai
pemegang hak tanggungan. Namun, dalam kondisi tertentu mungkin
saja bank sebagai pemberi hak tanggungan karena berposisi sebagai
debitur atas pinjaman hak lain.
2) Fidusia
Semula bentuk jaminan ini tidaklah diatur dalam perundang-undangan,
tetapi kemudian berkembang dengan dasar yurisprudensi, di Indonesia
baru diatur dalan Undang-Undang pada tahun 1999 dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Fidusia merupakan pengembangan dari lembaga gadai. Oleh karena itu,
yang menjadi objek jaminannya adalah barang bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
Berdasarkan ketentuan umum dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tersebut bahwa :

47

Pasal 56 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan kewajiban Pembayaran Utang

Universitas Sumatera Utara

“ fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.”
Sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena adanya kata-kata “ DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dengan
demikan apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak
untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas
kekuasaannya sendiri.
Hapusnya jaminan fidusia disebabkan beberapa hal, yaitu hapusnya
utang yang dijamin dengan fidusia; pelepasan hak atas jaminan fidusia
oleh penerima fidusia; dan musnahnya benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.
3) Asuransi barang jaminan
Setiap barang jaminan yang diserahkan kepada bank harus ditutup
asuransinya atas nama bank. Nasabah oleh maskapai asuransi yang
ditunjuk atau yang disepakati bersama, sebesar harga barang jaminan
menurut harga pasar (full insurance). Apabila barang jaminan telah
ditutup asuransinya sebelum nasabah memperolah kredit dari bank,
perlu dimintakan tambahan syarat banker’s clause dari polis asuransi
yang sedang berjalan tersebut. Setelah polis asuransi tersebut jatuh
tempo, bagi penutupan asuransi selanjutnya berlaku seperti ketentuan
yang telah ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara

Penutupan pertanggungan asuransi jaminan kredit meliputi dua hal
sebagai berikut:
a. Pertanggungan harga milik nasabah debitur sebesar minimal kredit
yang dijaminkan pada bank (wajib diasuransikan). Pertanggungan
tersebut biasanya merupakan jaminan utama yang merupakan
pembiayaan bank dan jaminan tambahan.
b. Pertanggungan harta milik nasabah debitur yang tidak termasuk
jaminan kredit yang dianjurkan untuk diasuransikan.
Setiap pertanggungan asuransi tidak sepenuhnya mengikat demi
hukum.Sejalan dengan prinsip-prinsip dasar asuransi maka transaksi
asuransi mempunyai batasan-batasan yang dalam hal tertentu
mempunyai akibat lebih jauh yaitu menyebabkan suatu pertanggungan
batal dengan sendirinya menurut hukum, walaupun saat itu polis masih
efektif berjalan. 48
E. Pengertian bank perkreditan rakyat
Bank perkreditan rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.Artinya di sini
kegiatan BPR jauh lebih sempit dibandingkan dengan kegiatan bank umum. 49

48

Thomas Suyatno, H.A chalik, Made Sukada, Tinon Yunianti Ananda, Djuhaepah T.
Marala, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 100
49

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya ( Jakarta, Rajawali Pers, 1999)., hlm 33

Universitas Sumatera Utara

Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil
dan masyarakat di daerah pedesaan.Bentuk hukum BPR dapat berupa perseroan
terbatas, perusahaan daerah, atau koperasi. Pengertian lain tentang Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) adalah salah satu jenis bank yang dikenal melayani
golongan pengusaha mikro, kecil, dan menengah dengan lokasi yang pada
umumnya dekat dengan tempat masyarakat yang membutuhkan.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan BPR adalah: 50
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
deposito berjangka tabungan, dan/atau bentuk lainnya.
2. Memberikan kredit.
3. Menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank
lain.
Peruntukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah sebagai modal kerja
atau investasi bagi pemohon/calon debitur yang menjalankan usaha
produktif dalam kategori Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
yang berbentuk Perorangan, Badan Usaha, dan Koperasi.

50

Pasal 13 UU nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24