Islam dan Kekuasaan Politik di Nusantara
ISLAM DAN KEKUASAAN POLITIK DI NUSANTARA;
Studi Karakteristik Kerajaan Islam di Jawa
Oleh : Saifudien Djazuli
Pendahuluan
Menurut Sartono Kartodirjo, pada sekitar abad 14-15 terjadi proses prolifrasi1
sekitar 1 abad lebih kerajaan Islam di wilayah sekitar Malaka dan setengah abad di
Jawa, diantara kerjaan tersebut, seperti Pasai, Siak, Malaka, Gresik, Tuban dan Demak.
Di samping itu terdapat kerajaan tribal yang lebih terbatas lagi. Sedangkan pada abad
16 berlangsung proses konsentrasi kekuasaan dan perjuangan kekuasaan. 2
Prinsip kekuasaan yang menjadi dasar kedudukan seorang Raja, setidaknya ada
3 (tiga) sistem, yaitu sistem tribalisme 3, patrimonialisme4 dan despotisme5. Sistem
tribalisme berinti pada hubungan patron-client antara raja dan pengikutnya. Sistem
Patrimonalisme sering digunakan pada kerajaan yang sudah lebih besar dengan
birokrasi yang lebih kompleks. Pengikut atau pengawal raja adalah orang upahan atau
sewaan sehingga kekuasaan lebih berpusat pada seorang raja. Prinsip kekuasaan
seperti ini dapat dilihat baik dalam tradisi kerajaan Hindu-Jawa maupun Islam Jawa.
Menurut Niti Sastra, Raja adalah unsur mutlak untuk menjamin ketertiban dalam suatu
masyarakat.6
Sebelum masuk ke wilayah pembahasan politik, menarik untuk melihat paparan
Raffles mengenai karakteristik masyarakat Jawa sekitar Abad ke 17. Dalam pandangan
Thomas Stamford Raffles, Masyarakat Jawa kurang terpelajar dan sering percaya pada
takhayul, mereka mudah terkesan dan ini membuat mereka mudah terperdaya. Secara
umum penduduk Jawa lesu dan tidak bergairah, namun antusiasme agama mereka
begitu tinggi, kemudian mereka menjadi tekun dan pemberani dalam sekali waktu,
memperkirakan tidak ada pekerjaan yang sulit, tidak ada hasil yang mustahil, dan tidak
ada kemelaratan yang menyakitkan.7
Masyarakat Jawa tidak keras kepala, umumnya memperlihatkan perasaan terpuji
dan ramah. Orang Jawa dari kalangan atas dan memiliki kekuasaan tertinggi, biasanya
dalam membuka tanah sawah menggunakan tenaganya sendiri, mempimpin bawahan
dan rakyat mereka, seperti terlihat dalam ritual sedekah bumi. Masyarakat Jawa
sebenarnya penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak diganggu dan ditindas.
1 Proliferasi adalah pertumbuhan atau berkembangbiakan pesat untuk menghasilkan jaringan
baru, bagian, sel, atau keturunan.
2 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah; Indonesia Baru 1500-1900, dari Emporium sampai
Empirium, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014, h. 53.
3 Tribalisme merupakan bentuk pemerintahan yang paling awal, biasanya berupa pemerintahan
gabungan dari beberapa suku yang ada di masyarakat. Sedangkan tribalisme despotik dapat diartikan
pemimpin diperoleh dari peperangan beberapa suku. Suku yang menang akan menjabat sebagai
pemimpin. Pemimpin biasanya merangkap sebagai pemuka agama dan tidak bertanggung jawa kepada
siapapun. Pemimpin dapat memerintah sampai mati.
4 Patrimonialisme dalam politik sering diartikan jabatan dan susunan birokrasi yang didasarkan
pada hubungan personal atau pribadi. Dapat juga diartikan pemerintahan yang diperoleh dari warisan
keturunan ayah.
5 Despotisme dalam KBBI diartikan sistem pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan
sewenang-wenang.
6 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah; Indonesia Baru 1500-1900, h. 53-54.
7 Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2014, h. 155
1
Dalam hubungan masyarakat umum, mereka orang yang patuh, jujur dan beriman,
memperlihatkan sifat bijaksana, jujur, jelas dalam berdagang dan berterus terang. 8
Masyarakat Jawa menerapkan pemerintahan dengan tatanan Feodal. Mereka
menganut paham patriakal yang masih mempertahankan kebijaksanaan dan
kesederhanaan. Pemukiman mereka di desa merupakan sebuah masyarakat tersendiri,
di bawah pemimpin dan pemuka agama lokal dan kerukunan selalu terjaga. Mereka juga
menghormati para leluhur yang terkenal sejarah dan kebaikannya. Mereka adalah
orang-orang yang sering terlihat menunjukkan kebanggaan akan keluarga mereka.9
Dari sedikit pemaparan di atas mengenai karakteristik masyarakat Jawa pada
umumnya, akan sedikit memberi gambaran dalam melihat fenomena politik yang
terjadi di kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Berbagai konflik perebutan kekuasaan dan
perluasan wilayah kerajaan meliputi sejarah perkembangan Kerajaan Islam di Jawa.
Dalam makalah ini akan disampaikan sedikit ulasan mengenai kekuasaan politik dalam
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Hubungan antara Agama dan Negara dan sedikit
ulasan sejarah dari masing-masing kerajaan Islam yang ada di Jawa.
Kekuasaan Politik
Pada dasarnya kekuasaan politik adalah kemampuan individu atau kelompok
untuk memanfaatkan sumber-sumber kekuatan yang bisa menunjang sektor
kekuasaannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sumber-sumber tersebut bisa
berupa media massa, media umum, mahasiswa, elit politik, tokoh masyarakat ataupun
militer. 10
Jenis-jenis kekuasaan yang kita ketahui pada umumnya sekiranya dapat dibagi
beberapa jenis kekuasaan sebagai berikut: (a) kekuasaan eksekutif, yaitu yang dikenal
dengan kekuasaan pemerintahan dimana mereka secara teknis menjalankan roda
pemerintahan, (b) kekuasaan legislatif, yaitu sesuatu yang berwenang membuat, dan
mengesahkan perundang-undangan sekaligus mengawasi roda pemerintahan, (c)
kekuasaan yudikatif, yaitu sesuatu kekuasaan penyelesaian hukum, yang didukung oleh
kekuasaan kepolisian, demi menjamin law enforcement/ pelaksanaan hukum.
Unsur-unsur kekuasaan, ada tiga komponen dalam rangkaian kekuasaan yang
akan mempengaruhi penguasa atau pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya.
Komponen ini harus diikuti,dipelajari, karena saling terkait didalam roda kehidupan
penguasa. Tiga komponen ini adalah pemimpin (pemilik atau pengendali kekuasaan),
pengikut dan situasi.
Dari gerak tiga komponen diatas, maka kekuasaan juga mempunyai unsur
influence, yakni menyakinkan sambil beragumentasi, sehingga bisa mengubah tingkah
laku. Kekuasaan juga mempunyai unsur persuation, yaitu kemampuan untuk
menyakinkan orang dengan cara sosialisasi atau persuasi (bujukan atau rayuan) baik
yang positif maupun negatif, sehingga bisa timbul unsur manipulasi, dan pada akhirnya
bisa berakibat pada unsur coersion, yang berarti mengambil tindakan desakan,
kekuatan, kalau perlu disertai kekuasaan unsur force atau kekuatan massa, termasuk
dengan kekuatan militer.11
Dalam kekuasaan ini, menggunakan teori kekuasaan Max Weber dan teori
fungsional struktural Talcoot Parsons. Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai
kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang-orang lain berperilaku sesuai
Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), ... h. 157
Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), ... h. 156
10 Imam Hidayat, Teori-Teori Politik, (Malang: SETARA press, 2009), 31.
11 Imam Hidayat, Teori-Teori Politik,... h. 32-33
8
9
2
dengan kehendaknya.12 Politik demikian dapat kita simpulkan pada instansi pertama
berkenaan dengan pertarungan untuk kekuasaan.13
Max weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang manusia yang
menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Yang dimaksudkannya dengan
wewenang (authority) adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
diterima secara formal oleh anggota–anggota masyarakat.14 Jenis authority yang
disebutnya dengan rational legal authority sebagai bentuk hierarki wewenang yang
berkembang didalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang sedemikianini
dibangun atas dasar legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa
merupakan haknya.15
Dalam politik kekuasaan diperlukan untuk mendukung dan menjamin jalannya
sebuah keputusan politik dalam kehidupan masyarakat. Keterkaitan logis antara politik
dan kekuasaan menjadikan setiap pembahasan tentang politik, selalu melibatkan
kekuasaannya didalamnya. Itulah sebabnya membahas sekularisasi kekuasaan.
Sekularisasi politik secara implisit bertujuan untuk mendesakralisasi kekuasaan untuk
tidak dilegimitasi sebagai sesuatu yang bersifat sakral atau suci. Kekuasaan sebagai
aktivitas politik harus dipahami sebagai kegiatan manusiawi yang diraih, dipertahankan
sekaligus direproduksikan secara terus menerus. 16
Politik tanpa kegunaan kekuasaan tidak masuk akal, yaitu selama manusia
menganut pendirian politik yang berbeda–beda, apabila hendak diwujudkan dan
dilaksanakan suatu kebijakan pemerintah, maka usaha mempengaruhi tingkah laku
orang lain dengan pertimbangan yang baik.17 Kekuasaan senantiasa ada didalam setiap
masyarakat baik masih bersahaja maupun yang sudah besar dan rumit susunannya.
Akan tetapi selalu ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota
masyarakat.18
Sedangkan menurut Abul A’la al-Maududi, menurutnya kekuasaan negara
dilakukan oleh tiga lembaga atau badan legislatif, 19 eksekutif20 dan yudikatif, dengan
ketentuan bahwa badan yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar
lembaga eksekutif yang berarti mandiri, objektif dan profesional, oleh karena hakim
tugasnya adalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hamba-Nya, bukan
mewakili atau atasnama kepala negara (eksekutif). 21
Menurut Anderson, untuk memahami teori politik Jawa mungkin dapat
menggunakan tafsiran secara tradisional tentang apa yang dinamakan kekuasaan oleh
ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena konsepsi Jawa berbeda secara radikal dari
konsepsi yang telah berkembang di Barat sejak zaman pertengahan. Dari perbedaan
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (jakarta : Rieneka Cipta, 2001) hal, 190
A. Hoogerwerf, Politikologi (Jakarta : Penerbit Erlangga,1985) hal 44
14 Hotman Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah Dan Teori Sosiologi, Jakarta : Penerbit Erlangga,
1986, h. 201
15 George Ritzer & Douglad J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana, 2007, h. 37
16 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta: Ar Ruzz Media 2004, h.169
17 A. Hoogerwerf, Politikologi, h. 144
18 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, 1994, h. 265.
19Ada beberapa hal yang membedakan antara kekuasaan eksekutif dalam Islam dan dewan
eksekutif dalam sistem demokrasi khususnya di indonesia yakni: Struktur legislatif terdiri dari Majlis al
Syuri al Islami (dewan legislasi), Majlis al-Fuqaha (Dewan yuris), dan Majlis al-Khubara (dewan
Profesional), untuk lebih jelasnya tentang jenis legislasi dalam Islam lihat Abdulrahman Abdul Kadir
Kurdi, Tatanan Sosial Islam Studi Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.
153
20Untuk peran dan fungsi dari lembaga eksekutif dalam Islam lihat Abdul Kadir Kurdi,. h. 173-183.
21Abul A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore 1939), h.60.
12
13
3
inilah sudah logis timbul pandangan-pandangan yang berbeda pula mengenai cara
berjalannya politik dan sejarah. 22
Sedangkan menurut Sartono, konsep Jawa mengenai kekuasaan berdimensi
empat sesuai konsep perwayangan, yaitu sakti-mandraguna, mukti-wibawa.
Mandraguna menunjukkan kepada kecakapan, kemampuan ataupun ketrampilan dalam
satu atau beberapa bidang, seperti olah senjata, kesenian, pengetahuan dan sebagainya.
Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan yang penuh dengan kesejahteraan.
Wibawa berarti kedudukan terpandang yang membawa pengaruh besar. 23
Dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan yang besar harus diimbangi dengan
kewajiban yang dirumuskan dalam kalimat ”berbudi bawa leksana, ambeg adil para
marta” (budi luhur mulia dan bertindak adil terhadap sesamanya). Raja yang dikatakan
baik, adahal raja yang menjalankan kekuasaanya dalam keseimbangan antara
wewenangnya yang besar sengan kewajiban yang besar pula. Kekuasaan yang besar di
satu pihak dan kewajiban yang seimbang di lain pihak.24
Dalam memilih pemimpin pemerintahan, konsep jawa mempertimbangkan dua
hal yang penting, yaitu kepercayaan yang terdapat di wilayah tersebut dan penilaian
rakyat terhadap karakter seorang pemimpin. Hal ini dapat dilihat dalam serat NitiPraja,
sebagai berikut25 :
“Raja yang baik harus melindungi rakyatnya dari semua bentuk penganiayaan dan
penindasan, dan harus menjadi sinar bagi rakyatnya, bahkan seperti matahari yang
menyinari dunia. Kebaikannya harus mengalir dengan jernih dan penuh, seperti air terjun
di gunung, yang ketika mengalir menuju laut memperkaya dan menyuburkan tanah yang
dilewatinya. Dia harus memikirkan rakyatnya yang menanti kebajikan dari sang Raja,
untuk dipenuhi dengan makanan, pakaian dan wanita-wanita yang cantik, ibarat
dedaunan dari pohon yang layu, yang menunggu datangnya hujan untuk kembali
menyegarkannya....”
Dalam mempertahankan kekuasaan atas wilayah yang telah ditaklukkan, Rajaraja Mataram memakai berbagai cara, diantaranya sebagai berikut 26 :
1. Mewajibkan penguasa-penguasa daerah, terutama yang kuat, untuk tinggal di
Keraton beberapa bulan dalam setahun. Kalau penguasa daerah tersebut pulang,
maka ia diwajibkan untuk meninggalkan salah satu anggota keluarga dekatnya
sebagai sandera di keraton.27
2. Penerapan politik perkawinan yang piawai. Sesudah menang perang, raja dan
para pengikut utamanya lazimnya menikahi puteri-puteri atau saudara-saudara
perempuan dari raja yang kalah. Perkawinan politik juga terkadang dilakukan
untuk menjalin perdamaian.
22 Benedict R.O’G. Anderson, Gagasan tentang Kekuasaan dan Kebudayaan Jawa, dalam Miriam
Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. h. 47.
23 Sartono Kartodirjo (ed.), Kepemimpinan dalam dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984, h. viii.
24 Soemarsaid Moertono, State and Statcraft in Old Java, Ithaca, 1968, h. 36.
25 Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), ... h. 175
26 Dennys Lombard, Silang Jawa, Buku 3, h. 38-40.
27 Pada masa Amangkurat I, terdapat kurang lebih dua puluh kediaman untuk para pembesar
(pangeran) yang dihuni apabila mereka tinggal di Keraton : Pangeran Cirebon, Madura, Surabaya, Tuban
dsb. Lihat : Peta Mataram yang dibuat Van Goens sendiri, tersimpan dengan No. 1256 di seksi
Buitenleandse Koarten dari Arsip Kerajaan di Den Haag Belanda, sebagaimana dikutip oleh Dennys
Lombard, Silang Jawa, Buku 3, h. 39.
4
3. Pembentukan sejenis polisi negara yang berada langsung di bawah kekuasaan
raja. 28
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa kekuasaan seorang raja sangatlah
sentral. dalam praktek pemeritahan kerajaan Islam di Jawa, seorang raja dapat memiliki
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Adakalanya kekuasaan yudikatif ini
didistribusikan kepada para ulama, penghulu atau pimpinan agama tertinggi. Sehingga
tidak terlalu jelas pemilahannya, disamping suksesi kepemimpinan yang masing
menganut patrimonialisme. Sedikit berbeda ketika kasultanan Demak terbentuk,
dimana Walisongo bertindak sebagai dewan pengambil kebijakan dengan prinsip
musyawarah menentukan pimpinan. Menarik untuk diteliti lebih lanjut, bagaimana
distribusi kekuasaan ini sangat erat hubungannya kekuasaan keagamaan yang ada,
karena memang agama Islam membawa nilai yang berbeda dengan agama sebelumnya
yang terdapat di wilayah Jawa.
Hubungan antara Agama dan Negara
Secara garis besar para teoretisi politik Islam merumuskan teori-teori tentang
hubungan agama dan negara serta membedakannya menjadi tiga paradigma yaitu
Paradigma Integralistik, Paradigma Simbiotik, dan Paradigma Sekularistik. 29 Penulis
mencoba untuk melihat paradigma apa yang dipakai oleh kerajaan Islam di Jawa, paling
tidak dapat dilihat dari bentuk pemerintahan, gelar raja dan hukum yang dipakai.
Sebelumnya akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan tiga paradigma di atas.
Pertama, Paradigma Integralistik. Paradigma ini menerangkan bahwa agama dan
negara menyatu (integrated), negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus, politik atau negara ada dalam wilayah agama. Karena agama dan negara
menyatu maka ini berakibat masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan negara
dan mana aturan agama, karena itu rakyat yang menaati segala ketentuan dan
peraturan negara dalam paradigma ini dianggap taat kepada agama, begitu juga
sebaliknya. Karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang
selalu berlindung dibalik agama maka otoritarianisme dan kesewenang-wenangan oleh
penguasa tentu saja sangat potensial terjadi dalam negara dengan model seperti ini.
Kepala negara merupakan “penjelmaan” dari Tuhan yang meniscayakan ketundukan
mutlak tanpa ada alternatif yang lain. Atas nama “Tuhan” penguasa bisa berbuat apa
saja dan menabukan perlawanan rakyat. 30 Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti
landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam.
Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran
yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini
menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara
agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan.31
Menurut Van Goens, “di atas semua bangsawan penguasa itu, terdapat kira-kira 4.000 petugas
pengadilan yang tersebar di seluruh negeri dan ditempatkan di bawah wewenang empat hakim militer
yang menetap di Keraton.” Sebagaimana dikutip oleh Dennys Lombard, Silang Jawa, Buku 3, h. 39.
29 Marzuki Wahid & Rumaidi, “Fiqh Madzhab Negara” Kritik Atas Politik Hukum Islam Di
Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 2.
30 Dalam terminologi Islam hal ini dikenal dengan nama din wa dawlah. Untuk lebih jelasnya lihat
Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal
Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV, tahun 1992, h. 4-7.
31Lihat Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, h. 57. Bandingkan dengan Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1
28
5
Kedua, Paradigma Simbiotik. Paradigma ini berpandangan bahwa agama dan
negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling
membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab,
melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat
ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan
kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam
sinaran etik-moral.32
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini memisahkan agama atas negara
dan memisahkan negara dari agama. Dengan pengertian ini secara tidak langsung akan
menjelaskan bahwa paradigma ini menolak kedua paradigma sebelumnya. Dalam
konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling
tidak menolak determinasi Islam pada bentuk negara tertentu. 33
Jawa sebelum Islam masuk telah menganut agama Hindu dan Budha. Dalam
agama Hindu terdapat hirarki sosial, dimana masyarakat dikelompokkan dalam empat
kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Setiap kasta mempunyai tugas dan
tanggungjawabnya masing-masing, hal ini dapat dilihat di Negarakertagama. Selain itu
agama Hindu juga telah memperkenalkan dewa-dewa sebagai penguasa tertinggi yang
harus dihormati sekaligus dipuja. Dengan sendirinya, Raja sebagai kepala pemerintahan
harus pula menghormati dewa-dewanya.
Adanya kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan keagamaan semacam ini, tentu
dianggap dapat memperlemah kedudukan raja. Oleh karena itu dengan berbagai cara,
raja berusaha memperkuat kedudukanya. Cara yang ditempuh, adalah dengan
pendekatan yang bersifat “legitimasi”. Melalui para pendeta, pujangga, maupun pegawai
istana yang ahli di bidangnya, dibuatlah hikayat, pantun, mitos, babad, silsilah, serta
lain-lainnya, yang pada dasarnya berisi penjelasan guna melegitimasikan kekuasaan
raja.
Legitimasi di atas paling jelas terlihat pada tahapan dini atau permulaan baru
ketika sebuah kerajaan berdiri sering dikaitkan dengan magis dan agama. Kesakralan
kekuasaan juga terlihat dalam perasaan-perasaan yang mengikat rakyat pada rajanya,
biasanya dengan menggunakan mitologi yang menjelaskan ketergantungan manusia
secara berganda kepada para dewa dan rajanya. Terkadang suatu penghormatan tidak
dapat diterangkan dengan akal budi.34
Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang menganut mistik, para raja dianggap
termasuk unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh kuasa, yang mewadahi
kekuatan kosmis. Kekuasaan duniawi mereka, adalah pertanda wahyu, berkat
adikodrati, dan eratnya hubungan mereka dengan sumber-sumber kekuatan asali
dianggap memancarkan kekuatan magis yang berasal dari pribadi raja, memberkati dan
menjamin kesejahteraan para warga. Kraton di bangun dengan mencontoh gambaran
kosmos, melambangkan kedudukan raja di dunia ini selaku pusat semesta. Nama-nama
dari dua raja yang masih dapat ditemukan di Jawa, yakni Paku Buwono di Solo dan Paku
Alam di Yogyakarta, yang sama-sama berarti “poros dunia”, mengingatkan kita pada
anggapan ini.35
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab… h. 24-26
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab… h. 28.
34 George Balandier, “Agama dan Kekuasaan”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Kepemimpinan
dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984. h. 1.
35 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidp Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kultural,
Jakarta: Gramedia, 1984, h. 15.
32
33
6
Salah satu bentuk hubungan agama dan negara dapat dilihat dari beberapa
pemakaian gelar Raja atau sultan. Sunan Ampel memberi gelar kepada sultan pertama
kerajaan Demak, Raden Patah dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fatah. Sedangkan
dalam Babat Tanah Jawi disebutkan bahwa gelar Raden Patah adalah Senapati Jimbun
Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayyidin Panatagama. Sunan Gunung Jati
menganugerahkan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin kepada sultan Trenggana. Sultan
Adiwijaya sebagai raja Pajang memberikan gelar kepada Panembahan Senopati
“Senapati Ing Alaga” yang selanjutnya diwariskan kepada keturunan raja-raja Mataram
dengan gelar Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah.
Masjid Demak sebagai masjid para wali mempunyai kedudukan yang terpandang
pada waktu itu. Masjid Demak bukan saja sebagai masjid Agung akan tetapi juga
menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa. Masjid Demak disamakan kedudukannya
dengan Masjidil Haram di Makkah. Bahkan terdapat anggapan bahwa mengunjungi
Masjid Demak dan makam-makam orang suci di Demak tersebut disamakan dengan
naik Haji ke Mekkah.36
Kitab perundang-undangan Jawa pada masa kerajaan Islam Jawa setidaknya
bersumber dari Hukum Islam dan Adat-Istiadat masyarakat setempat. Pada masa
kasultanan Demak terdapat kitab undang-undang, yaitu Suria Alem atau Surya Alam,
Serat Suryangalam. Isi Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat
Suryangalam pada dasarnya hampir sama, bahkan kedua naskah ini memilii redaksi
teks yang sama pada bab pembukaan yang mengatur mengenai aturan berpekara di
pengadilan dan pedoman-pedoman bagi hakim dalam memutuskan perkara serta
syarat-syarat saksi di pengadilan. Namun pada bagian berikutnya meskipun ketentuan
hukum mengenai aturan hutang piutang, hukuman pembunuhan, pencurian dan
melukai orang lain hampir sama. Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam murni
berisi undang-undang atau aturan-aturan, sedangkan naskah Serat Suryangalam isinya
bercampur dengan naseha-nasehat dan ajaran-ajaran agama Islam, misalnya perintah
melaksanakan salat dan puasa dengan penjelasan tata caranya.37
Dalam naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam
dijelaskan bahwa hukum yang berlaku di kerajaan Demak berdasarkan hukum Islam
dengan berpegang pada al-Qur’an dan Hadis. Hal ini ditegaskan dalam pembukaan
undangundang dan sering juga ditegaskan kembali pada bagian yang lain dengan
redaksi kata yang berbeda. Disebutkan dalam naskah Serat Angger-Angger
Suryangalam: “sang ratu puniko dene anrapaken ukumullah” “dosane tan anglakokan sak
pakeme aksarane, angowahi sapangandikaning Allah tangala, kang tinimbalaken
dawuhing kangjeng Nabi kito Mukammad salalu ngalaihi wasalam”. Sedangkan dalam
Serat Suryangalam disebutkan “ ukumullah kang den gawe pangilon”.
Serat Angger-Angger Suryangalam berisi tata hukum Islam yang bersumber pada
kitab Anwar, sesuai dengan konsep formulasi Pangeran Adipati Ngadilaga (Senopati
Jinbun atau Raden Fatah) yang dituangkan dalam undang-undang oleh Raden Arya
Trenggono (Sultan Demak III) yang saat itu masih menjabat sebagai jaksa, undangundang ini kemudian disebut sebagai Undang-Undang Jawa Suryangalam, undang-
Prof. A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012, h. 129-131.
37 Naili Anafah, Legislasi Hukum Islam di Kerajaan Demak; Studi Naskah Serat Angger-Angger
Suryangalam dan Serat Suryangalam, UIN Walisongo Semarang.
36
7
undang ini kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber hukum kerajaan-kerajaan
berikutnya (Pajang dan Mataram).38
Pengadilan hukum dilakukan oleh penghulu atau pemimpin agama tertinggi
diadakan di serambi masjid atau beranda masjid. Pelaksanaannya disaksikan oleh
masyarakat dengan rasa hormat yang cukup besar dan terlihat sangat adil. Tempat
tersebut juga sangat cocok untuk menjadi tempat pengambilan sumpah dan biasanya
diikuti dengan ketaatan sangat tinggi. Selain penghulu ada empat orang lainnya yang
sering disebut Pateh Nagari yang secara harfiah berarti pilar atau pendukung negara.
Pateh Nagari ini bertugas untuk menemukan fakta-fakta, bukti dan pelaksanakan
hukum secara umum. Dalam pemerintahan, Raja atau Menterinya mempunyai
wewenang mengesahkan keputusan pengadilan.39
Dengan paradigma di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan
pemerintahan atau tata negara, kerajaan-kerajaan Islam di Jawa terkadang
menggunakan paradigma integralistik dan terkadang menggunakan paradigma
simbiotik, yang terakhir ini lebih menonjol. Hal ini terlihat dari penggunaan bahasa dari
kitab undang-undang yang tidak langsung menggunakan bahasa Arab yang notabene
bahasa utama agama Islam. Proses akulturasi dan osmosis dapat terlihat dalam
pembentukan hukum yang berlaku di kerajaan, dimana sumber hukum kerajaan
diambil dari Hukum Islam dan adat-istiadat setempat, sehingga hukum diharapkan
lebih hidup (living law).
Kasultanan Demak
Bahwa Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama Islam dapat
disimpulkan berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di masjid keramat
Demak, yaitu yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali itu secara bersamasama”. 40 Wali Songo dalam posisinya dalam kerajaan dapat dikatakan juga sebagai
ulama kerajaan, namun juga adalah sebagai juga penentu atau penasihat agama Islam.
Selain itu juga ketika penyebaran Islam dengan merebut kekuasaan, para wali juga ikut
berperan dalam bidang politik kenegaraan.
De Graaf dan Pigeaud menjelaskan bahwa Sebagai ahli dan penegak
hukum fiqh (= fakih) di Demak yang beragama Islam itu, sudah tentu bertindak seorang
kiai dari kalangan alim ulama. Jabatan pemangku hukum syariat dan fungsi pemimpin
masjid (imam), sudah sejak permulaan zaman Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar
“panghulu” (kepala), yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak, mungkin suatu
bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh juga di bidang hukum.41
Peranan Wali Songo dalam politik Kerajaan Demak salah satunya, Imron Abu
Amar menjelaskan bahwa dalam buku Babad Demak disebutkan, bahwa Sunan Giri
tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto
sendiri telah tercemar pribadinya karena tertuduh membunuh Pangeran Sedo Lepen.
Sedang suara Sunan Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati
Jipang), karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) lansung Sultan Demak
dari garis keturunan yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang
TE Behrend, Katalog Induk Naskah- Naskah Nusantara Musium Sono Budoyo, Yogyakarta:
Djambatan,1990, h. 95
39 Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), ... h. 178
40 Supratikno Rahardjo dan Wiwin Djuwita Ramelan. 1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di
Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, h. 62
41 H. J. Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Peralihan dari
Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers. H. 77
38
8
mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani. Lain halnya dengan Sunan
Kalijaga, beliau ini mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga
dengan nama “Djoko Tingkir”, ia adalah manantu Sultan Trenggono.
Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap diri Pangeran Hadiwijaya ini disertai
alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan (kerajaan)
Islam Demak akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama
Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat
kesultanan itu berada di pedalaman (di Pajang). Sikap dan pendapat Sunan Kalijaga ini
tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena Sunan yang satu ini berpendapat
apabila kegiatan pengembangan Islam berpusat di pedalaman (di Pajang) sangat
dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawwuf besar
kemungkinannya bercampur dengan ajaran “Mistik” atau Klenik. Dari pendapat ini
menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan
Kalijaga yang mencalonkan Pangeran Hadiwijaya. 42
Kerajaan Demak pada waktu diperintah Sultan Trenggana (1504-1546)
merupakan pusat perekonomian, politik dan keagamaan. 43 Sultan Trenggana telah
menyusun kitab undang-undang untuk daerah pesisir jawa, yaitu Salokantara. Kitab ini
kemungkinan dapat menunjukkan sejauhmana hukum Hindu-Jawa dan hukum Islam
berhasil terpadu, sayangnya kitab ini telah hilang.44 Selain kitab tersebut, terdapat kitab
undang-undang hukum lainnya, yaitu serat angger-angger suryangalam yang telah
sedikit disinggung di atas, yang selanjutnya kitab tersebut digunakan sebagian atau
keseluruhannya oleh kerajaan Pajang dan Mataram Islam.
Kasultanan Cirebon
Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat itu di pimpin oleh raja yang bergelar
Sri Paduka (Baduga) Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. 45
Karena Prabu Siliwangi penganut ajaran Sang Hyang/HinduBudha, maka masuknya
agama Islam dibatasi agar tidak mengancam kekuasaannya. Akan tetapi, penyebaran
Islam di Cirebon menjadi berkembang pesat setelah Pangeran Cakrabuana menjadi
Kuwu di Cirebon. Pangeran Cakrabuana adalah Raden Walangsungsang, anak Sulung
Prabu Siliwangi dan Permaisuri Nyai Subang Larang yang beragama Islam. Dari
pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang lahir tiga keturunan bernama
Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara/Kian Santang. 46 Setelah
dewasa Raden Walangsungsang diperkenankan meninggalkan Pajajaran untuk
memperdalam ilmu Islamnya disusul kemudian oleh adiknya Lara Santang.
Diperjalanan menuju Cirebon Raden Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang
Geulis.
Setelah mendirikan pedukuhan Raden Walangsungsang dan Lara Santang pergi
menunaikan Ibadah Haji. Diperjalanannya Lara Santang menikah dengan Syarif Abdillah
Bin Nurul Alim, Sultan Mesir yang bergelar Sulthon Makhmud Syarif Abdullah dari
Amar, Abu Imron. 1996. Sejarah Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus, h. 23-24.
Dennys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Jaringan Asia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
Cet. 4, 2008, h. 52.
44 Lihat karya H.J de Graaf & Th. Pigeaud, De eersle Moslimse Vorstendommen op Java, 1974,h. 66,
sebagimana dikutip Dennys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Jaringan Asia, h. 54.
45 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan TradisionalCirebon.(Jakarta: Suko
Rejo Bersinar, 2001),hlm. 6
46 P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. (Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah Tingkat III
Cirebon, 1978), h. 15
42
43
9
keluarga Bani Hasyim. Agar mudah diterima kemudian nama Lara Santang diubah
menjadi Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini Syarifah M
uda’im melahirkan dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah. Syarif Hidayatullah kelak menjadi Sultan pertama di Kesultanan Cirebon dan
menjadi salah satu diantara Wali Songo, para penyebar agama Islam di Jawa.
Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah yang pada tahun 1479 M mendapat restu
Pangeran Cakrabuana dan dewan Walisongo yang diketuai Sunan Ampel telah
menghentikan upeti kepada Pajajaran yang menandakan telah berdirinya Cirebon. 47
Saat itulah Kesultanan Cirebon berdiri terlepas dari Pajajaran dan menjadi Kerajaan
yang berdaulat. Setelah Sunan Gunung Jati mendirikan dan memimpin Kesultanan
Cirebon, proses Islamisasi menjadi lebih nyata terjadi. Hal itu terlihat dari wilayah
kekuasaan Kesultanan Cirebon, antara lain Luragung, Kuningan, Banten, Sunda Kelapa,
Galuh, Sumedang, Japura Talaga, Losari dan Pasir Luhur.
Penyebutan Kasultanan setidaknya dimulai sejak Syarif Hidayatullah
memerintah, sekitar 1479 M. Meski dalam berbagai sumber naskah kuno, waktu itu
penguasa-penguasanya belum digelari sultan, tetapi masih panembahan atau pangeran.
Sementara pemberian gelar sultan kepada raja-raja atau penguasa Cirebon baru
dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua kasultanan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman
(sekitar tahun 1677).48 Pada tahun 1525-1526, penyebaran Islam yang dilakukan
Kasultanan Cirebon ke wilayah Banten, Syarif Hidayatullah berhasil meruntuhkan
pemerintahan Pucuk Unum, penguasa kadipaten Banten Girang dari Kerajaan Sunda
Pajajaran dan menempatkan putranya Maulana Hasanuddin sebagai pemimpin disana.
Kasultanan Cirebon bersama Kasultanan Demak menyerang kota pelabuhan utama
Kerajaan Sunda Pajajaran, yaitu Sunda Kalapa pada tanggal 22 Juni 1527. Keberhasilan
serangan tentara gabungan tersebut dipimpin oleh Fadillah Khan (berdasarkan Carita
Purwaka Caruban Nagari), atau Falatehan (berdasarkan berita Portugis de Barros)
dalam merebut kota palabuhan tersebut dan mengusir tentara Portugis di bawah
pimpinan Fransisco de Sa.49
Kasultanan Banten
Sebagai bandar dagang di pesisir utara Jawa bagian barat, Banten diperkirakan
muncul pada masa Kerajaan Sunda. Dalam buku kisah perjalanan Ceng Ho yang ditulis
oleh Ma Huan yang terbit pada tahun 1416, yaitu Ying-Yai-Sheng-Lan (Catatan Umum
Pantai-Pantai Samudera), Banten disebut dengan nama Shun-t’a (Sunda). Demikian pula
halnya dalam berbagai sumber Cina yang dihimpun oleh Groeneveldt, salah satu daerah
di Nusantara yang mereka kenal pada masa Dinasti Ming adalah Sun-la, yang dianggap
lafal Cina untuk Sunda. (Supratikno Rahardjo, dkk,2011:32).
Letak Banten yang berada di dekat Selat Sunda menjadikankedudukannya sangat
strategis, mengingat kegiatan perdagangan diNusantara dan Asia serta kedudukan
barang dengan rempah-rempah di pasar internasional makin meningkat, seiring dengan
berdatanganya para pedagang Eropa ke wilayah ini. setelah jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis tahun 1511, Selat Sunda menjadi pintu masuk utama ke Nusantara bagian
timur lewat Pantai Barat Sumatera bagi pedagang-pedagang muslim, dan kemudian bagi
para pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudera Hindia
(Sri Sutjianingsih (Ed.), 1997: 18).
47
48
P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon.... h. 15
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009,
h. 163.
49
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 165
10
Sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin, memerintah tahun 1527-1570.
Pada masa pemerintahan Hasanuddin, kekuasaan Kesultanan Banten diperluas ke
Lampung hingga Sumatera Selatan. Pasca Maulana Hasanuddin, Kesultanan Banten
menunjukkan signifikansi kemajuan sebagai sebuah kerajaan Islam di Nusantara. Sultan
Maulana Yusuf, sebagai pengganti ayahnya, memimpin pembangunan Kesultanan
Banten di segala bidang. Strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada
pengembangan infrastruktur kota, pemukiman penduduk, keamanan wilayah,
perdagangan dan pertanian.
Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama di Kesultanan Banten, memimpin
Banten setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun di Banten Girang. Kebijakan
pertama dalam pemerintahannya adalah memindahkan pusat kerajaan dari Banten
Girang ke Banten Lama. Pemindahan pusat pemerintahan Banten dari pedalaman ke
pesisir merupakan petunjuk dari Sunan Gunung Jati kepada Maulana Hasanuddin.
Pusat pemerintahan, yang tadinya berada di pedalaman Banten yakni Banten
Girang, dipindahkan ke dekat Pelabuhan Banten (Banten Lama). Sunan Gunung Jati
menentukan posisi dalem (istana), benteng, pasar, dan alunalun yang harus dibangun.
Tempat ini kemudian diberi nama Surosowan dan menjadi Ibu kota Kerajaan Islam
Banten, setelah penaklukan Banten Girang oleh orang-orang Islam.
Penaklukan Ibukota oleh Maulana Hasanuddin diceritakan dengan singkat dalam
Sajarah Banten (SB), dan tahunnya terungkap dalam candra sengkala brastha gempung
warna tunggal, yang oleh Hoesein Djajadiningrat ditafsirkan sebagai tahun 1400 Saka,
atau 1478 M. tenyata tahun 1400 Saka disebut juga dalam babad-babad Jawa sebagai
tahun keruntuhan Majapahit, yaitu saat awal zaman Islam di Jawa. Menurut sumber
Portugis, Banten Girang jatuh ke tangan kaum Muslim pada akhir tahun 1526 atau awal
tahun 1527. Namun, tradisi lokal banyak yang menyebutkan bahwa pemindahan
ibukota terjadi pada tahun 1526 M.
Sultan Maulana Yusuf juga mencetuskan sebuah konsep pembangunan
infrastruktur kota yang dikenal dengan semboyannya gawe kuta baluwarti bata
kalawan kawis.50 Sultan Maulana Yusuf membangun pemukiman-pemukiman
masyarakat sesuai dengan pembagian penduduk berdasarkan pekerjaan, status dalam
pemerintahan, ras dan sosial ekonomi.Kampung Kasunyatan merupakan salah satu
pemukiman yang dibangun bagi kaum ulama. Sesuai dengan namanya kampung ini
merupakan pusat pembelajaran agama Islam masa Sultan Maulana Yusuf, bahkan
sampai sekarang.
Penerapan konsep gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis pada pengembangan
Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Yusuf dilakukan dengan membangun berbagai
infrastruktur primer kota, dengan menggunakan bahan baku bangunan utama berupa
batu batu dan karang (kawis). Infrastruktur Kota Banten yang terpenting yang dibangun
dan dikembangkan oleh Sultan Maulana Yusuf adalah: Pertama, pengembangan Keraton
Surosowan;Kedua, pengembangan Masjid Agung Banten Ketiga, pengembangan pasar
dan pelabuhan;Keempat, jaringan irigasi dan juga air bersih; Kelima, pembangunan
Jembatan Rante sebagai fasilitas transportasi darat yang menghubungkan dua jalan
utama di Kesultanan Banten dan menjadi tolhuis atau tempat untuk menarik pajak
kapal-kapal kecil yang melintas diatasnya.
Sebagaimana kerajaan tradisional lainnya, kekuasaan Sultan di sini mempunyai
otoritas tertinggi serta mempunyai hak prerogratif penuh atas segala urusan, baik
50 semboyan ini berarti “membangun kota perbentengan dengan (batu) bata dan karang”.
Semboyan ini menjadi ruh dan semangat dalam pengembangan Kota Banten yang mensenyawakan unsur
buatan (simbol dari bata) dan unsur alamiah (simbol Karang) secara selaras.
11
politik atau lainnya. Pengakuan dan pengukuhan atas jabatan Sultan ditetapkan
berdasarkan warisan.
Dalam melaksanakan tugasnya (bidang administratif pemerintahan) Sultan
dibantu seorang Mangkubumi dan beberapa pejabat bawahannya; mereka ini terdiri
dari golongan elite yang kebanyakan bukan golongan pangeran atau kaum bangsawan
lain. Adapun khusus untuk kerabat Sultan atau kaum bangsawan menempati strata
lebih rendah di bawah Sultan dan lebih tinggi di atas pejabat administratif.
Untuk urusan birokrasi pusat dikepalai oleh seorang patih (wazir besar) yang
dibantu dua orang kliwon yang juga disebut Patih, sedang pengadilan dan keagamaan
diserahkan kepada Fakih Hajamuddin. Setingkat di bawahnya adalah para punggawa
yang menangani bidang administrasi dan pengawasan terhadap perekonomian negara.
Syahbandar adalah pejabat negara yang ditugasi untuk mengawasi perdangan luar
negeri di kota-kota pelabuhan. Sejajar dengan pejabat-pejabat di kota-kota pelabuhan
ialah para kepala daerah.51
Kerajaan Pajang
Sepeninggal Arya Penangsang, tahun 1568 Jaka Tingkir mendapat restu dari
Sunan Kudus untuk menjadi Sultan di Pajang yang kemudian menggunakan gelar Sultan
Hadiwijaya dalam memerintah kesultanan Pajang. Sultan Hadiwijaya didampingi oleh
permaisuri Ratu Mas Cempaka (putri Sultan Trenggono) selama memerintah Kerajaaan
Pajang.52
Sultan Hadiwijaya diangkat sebagai raja di Kerajaan Pajang, tidak lepas dari
jasanya yang telah berhasil menyelesaikan konflik di Kerajaan Demak. Selain karena
jasa telah menyelesaikan konflik di Kerajaan Demak, Jaka Tingkir diangkat menjadi raja
Pajang karena merupakan keturunan dari keluarga Kerajaan Majapahit, asal usul Jaka
Tingkir memiliki nama asli Mas Karebet. Ayah Jaka Tingkir merupakan murid Syekh Siti
Jenar yang bernama Ki Ageng Pengging. Ayah Jaka Tingkir mempunyai teman seorang
dalang yang bernama Ki Ageng Tingkir. Saat Jaka Tingkir dilahirkan, Ki Ageng sedang
melaksanakan pergelaran wayang dengan Ki Ageng Tingkir.53
Sebelum resmi mendirikan kerajaan ini, Jaka Tingkir yang berasal dari daerah
Pengging ini, sudah memegang jabatan sebagai penguasa di daerah Pajang pada masa
Sultan Trenggono. Kerajaan ini juga dinilai sebagai pelanjut dan pewaris dari kerajaan
Demak. Kerajaan Pajang terletak di daerah Kertasura dan merupakan kerajaan Islam
pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Kerajaan Pajang ini tidak
berusia lama, karena kemudian bertemu dengan suatu kerajaan Islam besar yang juga
terletak di Jawa Tengah yaitu kerajaan Mataram.
Pada awal berdirinya, wilayah kekuasaan Pajang hanya meliputi daerah Jawa
Tengah. Hal itu disebabkan karena setelah kematian Sultan Trenggono, banyak wilayah
jawa Timur yang melepaskan diri. Namun pada tanggal 1568 M, Sultan Hadiwijaya dan
para Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
Kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri –
negeri Jawa Timur, maka secara sah kerajaan Pajang telah berdiri. Selanjutnya, kerajaan
Pajang mulai melakukan ekspansi ke beberapa wilayah, meliputi juga wilayah Jawa
Timur.
Ambary, Sejarah Banten, h. 98
Adji, K. B. & Achmad, S. W. 2014. Sejarah Raja-Raja Jawa Dari Mataram Kuno Hingga Mataram
Islam. Yogyakarta: Araska, h. 225.
53 Abimanyu, S. 2013. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Jogjakarta: Laksana, h. 246.
51
52
12
Setelah sultan Hadiwijaya meninggal, terjadi perebutan kekuasaan antara
penerus-penerusnya. Kemudian ia digantikan oleh Aria Pangiri yang berasal dari
Demak. Aria Pangiri kemudian bertempat tinggal di keraton Pajang. Dalam menjalankan
roda pemerntahannya, Arya Pangiri banyak didampingi oleh orang-orang dari Demak.
Selain itu, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Arya Pangiri juga banyak yang
merugikan rakyat, sehingga menimbulkan rasa tidak senang dari rakyat. Sementara itu,
seorang anak dari sultan Hadiwijaya yang bernama Benawa, dijadikan penguasa di
Jipang. Pangeran Benawa merasa tidak puas dengan jabatan yang didapatnya. Sehingga
ia meminta bantuan kepada senopati Mataram, Sutawijaya, untuk menyingkirkan Aria
Pangiri.
Pada tahun 1586, Pangeran Benawa yang telah bersekutu dengan Sutawijaya,
mengambil keputusan untuk menyerbu Pajang. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang
berangkat untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhtanya. Senopati tersebut kemudian
meminta “Perhiasan emas intan kerajaan Pajang”. Dengan demikian, pangeran Benawa
dikukuhkan menjadi sultan di kerajaan Pajang, namun dibawah kekuasaan Mataram.
Sepeninggal sultan Benawa, terdapat beberapa orang sultan yang sempat memerintah.
Tetapi pada tahun 1617-1618 M, terjadi pemberontakan besar di Pajang yang dipimpin
oleh Sultan Agung. Pada tahun 1618 M, kerajaan Pajang mengalami kekalahan melawan
Mataram.
Kerajaan Mataram Islam
Wilayah Mataram di akhir abad ke-16 (pada masa pemerintahan Sultan Pajang Jaka Tingkir) telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang " Ki Gede Ngenis"
yang kemudian popuier dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk
memasukkan wilayah tersebut ke dalam pengaruh Islam dibawah panji kerajaan Pajang.
Wilayah Mataram dianugerahkan Sultan Pajang kepada Ki Gede Ngenis beserta
puteranya, yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa mereka dalam ikut serta
melumpuhkan Aria Penangsang di Jipang Panolan.54 Setelah wafat ia diganti putranya,
ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Senopati
Ing Alaga Sayidin Panatagama atau mashur dengan Panembahan Senopati.55
Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh sebagai kerajaan
bawahan Pajang, ia dengan sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai raja bawahan
dengan tidak seba atau sowan56 tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya
akhirnya raja Pajang memutuskan untuk menyelesaikan pembangkangan Mataram
dengan jalan kekerasan dan kekuatan senjata. Ekspedisi penyerbuan dibawah komando
Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena bersamaan dengan meletusnya
Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya prajurit Pajang. Beberapa saat
kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang menmggal dunia.
momentum ini dimanfaatkan oleh Panembahan Senopati untuk memproklamasikan
dirinya sebagai penguasa di seluruh Jawa.57
Senopati Mataram merupakan figur penguasa yang agresif. Semenjak ia
menobatkan dirinya menjadi penguasa banvak sekali kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah
dan sebagian di jawa Timur menjadi ajang taklukannya. Tercatat pada masa
H.J. De Graaf dan T.H. G. T.H. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Java, terj. Grafiti pressdan
KITLY, PT Grafiti pers. Jakarta. 1985, hal. 277-281
55 Kartodirdjo, Sejarah .Xasional. III., hal. 286
56 Seba atau sowan adalah sidang raja-raja yang diselenggarakan oleh raja yang paling besar
pengaruhnya.
57 De Graaf,Kerajaan-kerajaan, hal. 285.
54
13
berkuasanya (1584-1601 M), Pajang dan Demak dapat ditaklukan pada tahun 1588
(konon semenjak peristiwa ini ia mendapat gelar Panembahan) memnsul kemudian
Madiun pada tahun 1590 dan Jepara (Kalinyamat) pada tahunl599. Pada tahun yang
bersamaan Tuban juga diserang yaitu tahun 1598 dan 1599 tetapi masih dapat
bertahan hingga diduduki pada tahun 1619 oleh Sultan Agung.58
Keabsahan (legitimitasi) kedudukan dan kekuasaan raja Mataram, kecuali
Panembahan Senopati, diperoleh karena warisan. Secara tradisional pengganti raja-raja
ditetapkan putera laki-laki tertua dari permaisuri raja (garwa padmi), bila tidak ada
maka putra laki-laki dari isteri selir (garwa ampeyan) pun bisa dinobatkan sebagai
pengganti raja. Apabila terpaksanva dari keduanya tidak didapatkan masa saudara lakilaki, paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti. 59
58
59
Kartodirdjo. Sejarah Nasional, hal. 295.
Kartodirdjo. Sejarah Nasional,IV, hal. 15
14
Studi Karakteristik Kerajaan Islam di Jawa
Oleh : Saifudien Djazuli
Pendahuluan
Menurut Sartono Kartodirjo, pada sekitar abad 14-15 terjadi proses prolifrasi1
sekitar 1 abad lebih kerajaan Islam di wilayah sekitar Malaka dan setengah abad di
Jawa, diantara kerjaan tersebut, seperti Pasai, Siak, Malaka, Gresik, Tuban dan Demak.
Di samping itu terdapat kerajaan tribal yang lebih terbatas lagi. Sedangkan pada abad
16 berlangsung proses konsentrasi kekuasaan dan perjuangan kekuasaan. 2
Prinsip kekuasaan yang menjadi dasar kedudukan seorang Raja, setidaknya ada
3 (tiga) sistem, yaitu sistem tribalisme 3, patrimonialisme4 dan despotisme5. Sistem
tribalisme berinti pada hubungan patron-client antara raja dan pengikutnya. Sistem
Patrimonalisme sering digunakan pada kerajaan yang sudah lebih besar dengan
birokrasi yang lebih kompleks. Pengikut atau pengawal raja adalah orang upahan atau
sewaan sehingga kekuasaan lebih berpusat pada seorang raja. Prinsip kekuasaan
seperti ini dapat dilihat baik dalam tradisi kerajaan Hindu-Jawa maupun Islam Jawa.
Menurut Niti Sastra, Raja adalah unsur mutlak untuk menjamin ketertiban dalam suatu
masyarakat.6
Sebelum masuk ke wilayah pembahasan politik, menarik untuk melihat paparan
Raffles mengenai karakteristik masyarakat Jawa sekitar Abad ke 17. Dalam pandangan
Thomas Stamford Raffles, Masyarakat Jawa kurang terpelajar dan sering percaya pada
takhayul, mereka mudah terkesan dan ini membuat mereka mudah terperdaya. Secara
umum penduduk Jawa lesu dan tidak bergairah, namun antusiasme agama mereka
begitu tinggi, kemudian mereka menjadi tekun dan pemberani dalam sekali waktu,
memperkirakan tidak ada pekerjaan yang sulit, tidak ada hasil yang mustahil, dan tidak
ada kemelaratan yang menyakitkan.7
Masyarakat Jawa tidak keras kepala, umumnya memperlihatkan perasaan terpuji
dan ramah. Orang Jawa dari kalangan atas dan memiliki kekuasaan tertinggi, biasanya
dalam membuka tanah sawah menggunakan tenaganya sendiri, mempimpin bawahan
dan rakyat mereka, seperti terlihat dalam ritual sedekah bumi. Masyarakat Jawa
sebenarnya penduduk yang dermawan dan ramah jika tidak diganggu dan ditindas.
1 Proliferasi adalah pertumbuhan atau berkembangbiakan pesat untuk menghasilkan jaringan
baru, bagian, sel, atau keturunan.
2 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah; Indonesia Baru 1500-1900, dari Emporium sampai
Empirium, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014, h. 53.
3 Tribalisme merupakan bentuk pemerintahan yang paling awal, biasanya berupa pemerintahan
gabungan dari beberapa suku yang ada di masyarakat. Sedangkan tribalisme despotik dapat diartikan
pemimpin diperoleh dari peperangan beberapa suku. Suku yang menang akan menjabat sebagai
pemimpin. Pemimpin biasanya merangkap sebagai pemuka agama dan tidak bertanggung jawa kepada
siapapun. Pemimpin dapat memerintah sampai mati.
4 Patrimonialisme dalam politik sering diartikan jabatan dan susunan birokrasi yang didasarkan
pada hubungan personal atau pribadi. Dapat juga diartikan pemerintahan yang diperoleh dari warisan
keturunan ayah.
5 Despotisme dalam KBBI diartikan sistem pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan
sewenang-wenang.
6 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah; Indonesia Baru 1500-1900, h. 53-54.
7 Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2014, h. 155
1
Dalam hubungan masyarakat umum, mereka orang yang patuh, jujur dan beriman,
memperlihatkan sifat bijaksana, jujur, jelas dalam berdagang dan berterus terang. 8
Masyarakat Jawa menerapkan pemerintahan dengan tatanan Feodal. Mereka
menganut paham patriakal yang masih mempertahankan kebijaksanaan dan
kesederhanaan. Pemukiman mereka di desa merupakan sebuah masyarakat tersendiri,
di bawah pemimpin dan pemuka agama lokal dan kerukunan selalu terjaga. Mereka juga
menghormati para leluhur yang terkenal sejarah dan kebaikannya. Mereka adalah
orang-orang yang sering terlihat menunjukkan kebanggaan akan keluarga mereka.9
Dari sedikit pemaparan di atas mengenai karakteristik masyarakat Jawa pada
umumnya, akan sedikit memberi gambaran dalam melihat fenomena politik yang
terjadi di kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Berbagai konflik perebutan kekuasaan dan
perluasan wilayah kerajaan meliputi sejarah perkembangan Kerajaan Islam di Jawa.
Dalam makalah ini akan disampaikan sedikit ulasan mengenai kekuasaan politik dalam
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Hubungan antara Agama dan Negara dan sedikit
ulasan sejarah dari masing-masing kerajaan Islam yang ada di Jawa.
Kekuasaan Politik
Pada dasarnya kekuasaan politik adalah kemampuan individu atau kelompok
untuk memanfaatkan sumber-sumber kekuatan yang bisa menunjang sektor
kekuasaannya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sumber-sumber tersebut bisa
berupa media massa, media umum, mahasiswa, elit politik, tokoh masyarakat ataupun
militer. 10
Jenis-jenis kekuasaan yang kita ketahui pada umumnya sekiranya dapat dibagi
beberapa jenis kekuasaan sebagai berikut: (a) kekuasaan eksekutif, yaitu yang dikenal
dengan kekuasaan pemerintahan dimana mereka secara teknis menjalankan roda
pemerintahan, (b) kekuasaan legislatif, yaitu sesuatu yang berwenang membuat, dan
mengesahkan perundang-undangan sekaligus mengawasi roda pemerintahan, (c)
kekuasaan yudikatif, yaitu sesuatu kekuasaan penyelesaian hukum, yang didukung oleh
kekuasaan kepolisian, demi menjamin law enforcement/ pelaksanaan hukum.
Unsur-unsur kekuasaan, ada tiga komponen dalam rangkaian kekuasaan yang
akan mempengaruhi penguasa atau pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya.
Komponen ini harus diikuti,dipelajari, karena saling terkait didalam roda kehidupan
penguasa. Tiga komponen ini adalah pemimpin (pemilik atau pengendali kekuasaan),
pengikut dan situasi.
Dari gerak tiga komponen diatas, maka kekuasaan juga mempunyai unsur
influence, yakni menyakinkan sambil beragumentasi, sehingga bisa mengubah tingkah
laku. Kekuasaan juga mempunyai unsur persuation, yaitu kemampuan untuk
menyakinkan orang dengan cara sosialisasi atau persuasi (bujukan atau rayuan) baik
yang positif maupun negatif, sehingga bisa timbul unsur manipulasi, dan pada akhirnya
bisa berakibat pada unsur coersion, yang berarti mengambil tindakan desakan,
kekuatan, kalau perlu disertai kekuasaan unsur force atau kekuatan massa, termasuk
dengan kekuatan militer.11
Dalam kekuasaan ini, menggunakan teori kekuasaan Max Weber dan teori
fungsional struktural Talcoot Parsons. Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai
kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang-orang lain berperilaku sesuai
Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), ... h. 157
Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), ... h. 156
10 Imam Hidayat, Teori-Teori Politik, (Malang: SETARA press, 2009), 31.
11 Imam Hidayat, Teori-Teori Politik,... h. 32-33
8
9
2
dengan kehendaknya.12 Politik demikian dapat kita simpulkan pada instansi pertama
berkenaan dengan pertarungan untuk kekuasaan.13
Max weber mengemukakan beberapa bentuk wewenang manusia yang
menyangkut juga kepada hubungan kekuasaan. Yang dimaksudkannya dengan
wewenang (authority) adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang
diterima secara formal oleh anggota–anggota masyarakat.14 Jenis authority yang
disebutnya dengan rational legal authority sebagai bentuk hierarki wewenang yang
berkembang didalam kehidupan masyarakat modern. Wewenang sedemikianini
dibangun atas dasar legitimasi (keabsahan) yang menurut pihak yang berkuasa
merupakan haknya.15
Dalam politik kekuasaan diperlukan untuk mendukung dan menjamin jalannya
sebuah keputusan politik dalam kehidupan masyarakat. Keterkaitan logis antara politik
dan kekuasaan menjadikan setiap pembahasan tentang politik, selalu melibatkan
kekuasaannya didalamnya. Itulah sebabnya membahas sekularisasi kekuasaan.
Sekularisasi politik secara implisit bertujuan untuk mendesakralisasi kekuasaan untuk
tidak dilegimitasi sebagai sesuatu yang bersifat sakral atau suci. Kekuasaan sebagai
aktivitas politik harus dipahami sebagai kegiatan manusiawi yang diraih, dipertahankan
sekaligus direproduksikan secara terus menerus. 16
Politik tanpa kegunaan kekuasaan tidak masuk akal, yaitu selama manusia
menganut pendirian politik yang berbeda–beda, apabila hendak diwujudkan dan
dilaksanakan suatu kebijakan pemerintah, maka usaha mempengaruhi tingkah laku
orang lain dengan pertimbangan yang baik.17 Kekuasaan senantiasa ada didalam setiap
masyarakat baik masih bersahaja maupun yang sudah besar dan rumit susunannya.
Akan tetapi selalu ada kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota
masyarakat.18
Sedangkan menurut Abul A’la al-Maududi, menurutnya kekuasaan negara
dilakukan oleh tiga lembaga atau badan legislatif, 19 eksekutif20 dan yudikatif, dengan
ketentuan bahwa badan yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar
lembaga eksekutif yang berarti mandiri, objektif dan profesional, oleh karena hakim
tugasnya adalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hamba-Nya, bukan
mewakili atau atasnama kepala negara (eksekutif). 21
Menurut Anderson, untuk memahami teori politik Jawa mungkin dapat
menggunakan tafsiran secara tradisional tentang apa yang dinamakan kekuasaan oleh
ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena konsepsi Jawa berbeda secara radikal dari
konsepsi yang telah berkembang di Barat sejak zaman pertengahan. Dari perbedaan
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (jakarta : Rieneka Cipta, 2001) hal, 190
A. Hoogerwerf, Politikologi (Jakarta : Penerbit Erlangga,1985) hal 44
14 Hotman Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah Dan Teori Sosiologi, Jakarta : Penerbit Erlangga,
1986, h. 201
15 George Ritzer & Douglad J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana, 2007, h. 37
16 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta: Ar Ruzz Media 2004, h.169
17 A. Hoogerwerf, Politikologi, h. 144
18 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali pers, 1994, h. 265.
19Ada beberapa hal yang membedakan antara kekuasaan eksekutif dalam Islam dan dewan
eksekutif dalam sistem demokrasi khususnya di indonesia yakni: Struktur legislatif terdiri dari Majlis al
Syuri al Islami (dewan legislasi), Majlis al-Fuqaha (Dewan yuris), dan Majlis al-Khubara (dewan
Profesional), untuk lebih jelasnya tentang jenis legislasi dalam Islam lihat Abdulrahman Abdul Kadir
Kurdi, Tatanan Sosial Islam Studi Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.
153
20Untuk peran dan fungsi dari lembaga eksekutif dalam Islam lihat Abdul Kadir Kurdi,. h. 173-183.
21Abul A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore 1939), h.60.
12
13
3
inilah sudah logis timbul pandangan-pandangan yang berbeda pula mengenai cara
berjalannya politik dan sejarah. 22
Sedangkan menurut Sartono, konsep Jawa mengenai kekuasaan berdimensi
empat sesuai konsep perwayangan, yaitu sakti-mandraguna, mukti-wibawa.
Mandraguna menunjukkan kepada kecakapan, kemampuan ataupun ketrampilan dalam
satu atau beberapa bidang, seperti olah senjata, kesenian, pengetahuan dan sebagainya.
Mukti lebih berhubungan dengan kedudukan yang penuh dengan kesejahteraan.
Wibawa berarti kedudukan terpandang yang membawa pengaruh besar. 23
Dalam konsep kekuasaan Jawa, kekuasaan yang besar harus diimbangi dengan
kewajiban yang dirumuskan dalam kalimat ”berbudi bawa leksana, ambeg adil para
marta” (budi luhur mulia dan bertindak adil terhadap sesamanya). Raja yang dikatakan
baik, adahal raja yang menjalankan kekuasaanya dalam keseimbangan antara
wewenangnya yang besar sengan kewajiban yang besar pula. Kekuasaan yang besar di
satu pihak dan kewajiban yang seimbang di lain pihak.24
Dalam memilih pemimpin pemerintahan, konsep jawa mempertimbangkan dua
hal yang penting, yaitu kepercayaan yang terdapat di wilayah tersebut dan penilaian
rakyat terhadap karakter seorang pemimpin. Hal ini dapat dilihat dalam serat NitiPraja,
sebagai berikut25 :
“Raja yang baik harus melindungi rakyatnya dari semua bentuk penganiayaan dan
penindasan, dan harus menjadi sinar bagi rakyatnya, bahkan seperti matahari yang
menyinari dunia. Kebaikannya harus mengalir dengan jernih dan penuh, seperti air terjun
di gunung, yang ketika mengalir menuju laut memperkaya dan menyuburkan tanah yang
dilewatinya. Dia harus memikirkan rakyatnya yang menanti kebajikan dari sang Raja,
untuk dipenuhi dengan makanan, pakaian dan wanita-wanita yang cantik, ibarat
dedaunan dari pohon yang layu, yang menunggu datangnya hujan untuk kembali
menyegarkannya....”
Dalam mempertahankan kekuasaan atas wilayah yang telah ditaklukkan, Rajaraja Mataram memakai berbagai cara, diantaranya sebagai berikut 26 :
1. Mewajibkan penguasa-penguasa daerah, terutama yang kuat, untuk tinggal di
Keraton beberapa bulan dalam setahun. Kalau penguasa daerah tersebut pulang,
maka ia diwajibkan untuk meninggalkan salah satu anggota keluarga dekatnya
sebagai sandera di keraton.27
2. Penerapan politik perkawinan yang piawai. Sesudah menang perang, raja dan
para pengikut utamanya lazimnya menikahi puteri-puteri atau saudara-saudara
perempuan dari raja yang kalah. Perkawinan politik juga terkadang dilakukan
untuk menjalin perdamaian.
22 Benedict R.O’G. Anderson, Gagasan tentang Kekuasaan dan Kebudayaan Jawa, dalam Miriam
Budiardjo (ed.), Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984. h. 47.
23 Sartono Kartodirjo (ed.), Kepemimpinan dalam dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984, h. viii.
24 Soemarsaid Moertono, State and Statcraft in Old Java, Ithaca, 1968, h. 36.
25 Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), ... h. 175
26 Dennys Lombard, Silang Jawa, Buku 3, h. 38-40.
27 Pada masa Amangkurat I, terdapat kurang lebih dua puluh kediaman untuk para pembesar
(pangeran) yang dihuni apabila mereka tinggal di Keraton : Pangeran Cirebon, Madura, Surabaya, Tuban
dsb. Lihat : Peta Mataram yang dibuat Van Goens sendiri, tersimpan dengan No. 1256 di seksi
Buitenleandse Koarten dari Arsip Kerajaan di Den Haag Belanda, sebagaimana dikutip oleh Dennys
Lombard, Silang Jawa, Buku 3, h. 39.
4
3. Pembentukan sejenis polisi negara yang berada langsung di bawah kekuasaan
raja. 28
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa kekuasaan seorang raja sangatlah
sentral. dalam praktek pemeritahan kerajaan Islam di Jawa, seorang raja dapat memiliki
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Adakalanya kekuasaan yudikatif ini
didistribusikan kepada para ulama, penghulu atau pimpinan agama tertinggi. Sehingga
tidak terlalu jelas pemilahannya, disamping suksesi kepemimpinan yang masing
menganut patrimonialisme. Sedikit berbeda ketika kasultanan Demak terbentuk,
dimana Walisongo bertindak sebagai dewan pengambil kebijakan dengan prinsip
musyawarah menentukan pimpinan. Menarik untuk diteliti lebih lanjut, bagaimana
distribusi kekuasaan ini sangat erat hubungannya kekuasaan keagamaan yang ada,
karena memang agama Islam membawa nilai yang berbeda dengan agama sebelumnya
yang terdapat di wilayah Jawa.
Hubungan antara Agama dan Negara
Secara garis besar para teoretisi politik Islam merumuskan teori-teori tentang
hubungan agama dan negara serta membedakannya menjadi tiga paradigma yaitu
Paradigma Integralistik, Paradigma Simbiotik, dan Paradigma Sekularistik. 29 Penulis
mencoba untuk melihat paradigma apa yang dipakai oleh kerajaan Islam di Jawa, paling
tidak dapat dilihat dari bentuk pemerintahan, gelar raja dan hukum yang dipakai.
Sebelumnya akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan tiga paradigma di atas.
Pertama, Paradigma Integralistik. Paradigma ini menerangkan bahwa agama dan
negara menyatu (integrated), negara merupakan lembaga politik dan keagamaan
sekaligus, politik atau negara ada dalam wilayah agama. Karena agama dan negara
menyatu maka ini berakibat masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan negara
dan mana aturan agama, karena itu rakyat yang menaati segala ketentuan dan
peraturan negara dalam paradigma ini dianggap taat kepada agama, begitu juga
sebaliknya. Karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang
selalu berlindung dibalik agama maka otoritarianisme dan kesewenang-wenangan oleh
penguasa tentu saja sangat potensial terjadi dalam negara dengan model seperti ini.
Kepala negara merupakan “penjelmaan” dari Tuhan yang meniscayakan ketundukan
mutlak tanpa ada alternatif yang lain. Atas nama “Tuhan” penguasa bisa berbuat apa
saja dan menabukan perlawanan rakyat. 30 Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti
landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam.
Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran
yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini
menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara
agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan.31
Menurut Van Goens, “di atas semua bangsawan penguasa itu, terdapat kira-kira 4.000 petugas
pengadilan yang tersebar di seluruh negeri dan ditempatkan di bawah wewenang empat hakim militer
yang menetap di Keraton.” Sebagaimana dikutip oleh Dennys Lombard, Silang Jawa, Buku 3, h. 39.
29 Marzuki Wahid & Rumaidi, “Fiqh Madzhab Negara” Kritik Atas Politik Hukum Islam Di
Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 2.
30 Dalam terminologi Islam hal ini dikenal dengan nama din wa dawlah. Untuk lebih jelasnya lihat
Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal
Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV, tahun 1992, h. 4-7.
31Lihat Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, h. 57. Bandingkan dengan Munawir
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1
28
5
Kedua, Paradigma Simbiotik. Paradigma ini berpandangan bahwa agama dan
negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling
membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab,
melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat
ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan
kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam
sinaran etik-moral.32
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini memisahkan agama atas negara
dan memisahkan negara dari agama. Dengan pengertian ini secara tidak langsung akan
menjelaskan bahwa paradigma ini menolak kedua paradigma sebelumnya. Dalam
konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling
tidak menolak determinasi Islam pada bentuk negara tertentu. 33
Jawa sebelum Islam masuk telah menganut agama Hindu dan Budha. Dalam
agama Hindu terdapat hirarki sosial, dimana masyarakat dikelompokkan dalam empat
kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Setiap kasta mempunyai tugas dan
tanggungjawabnya masing-masing, hal ini dapat dilihat di Negarakertagama. Selain itu
agama Hindu juga telah memperkenalkan dewa-dewa sebagai penguasa tertinggi yang
harus dihormati sekaligus dipuja. Dengan sendirinya, Raja sebagai kepala pemerintahan
harus pula menghormati dewa-dewanya.
Adanya kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan keagamaan semacam ini, tentu
dianggap dapat memperlemah kedudukan raja. Oleh karena itu dengan berbagai cara,
raja berusaha memperkuat kedudukanya. Cara yang ditempuh, adalah dengan
pendekatan yang bersifat “legitimasi”. Melalui para pendeta, pujangga, maupun pegawai
istana yang ahli di bidangnya, dibuatlah hikayat, pantun, mitos, babad, silsilah, serta
lain-lainnya, yang pada dasarnya berisi penjelasan guna melegitimasikan kekuasaan
raja.
Legitimasi di atas paling jelas terlihat pada tahapan dini atau permulaan baru
ketika sebuah kerajaan berdiri sering dikaitkan dengan magis dan agama. Kesakralan
kekuasaan juga terlihat dalam perasaan-perasaan yang mengikat rakyat pada rajanya,
biasanya dengan menggunakan mitologi yang menjelaskan ketergantungan manusia
secara berganda kepada para dewa dan rajanya. Terkadang suatu penghormatan tidak
dapat diterangkan dengan akal budi.34
Bagi masyarakat Jawa, khususnya yang menganut mistik, para raja dianggap
termasuk unsur-unsur mistik di bumi ini yang amat penuh kuasa, yang mewadahi
kekuatan kosmis. Kekuasaan duniawi mereka, adalah pertanda wahyu, berkat
adikodrati, dan eratnya hubungan mereka dengan sumber-sumber kekuatan asali
dianggap memancarkan kekuatan magis yang berasal dari pribadi raja, memberkati dan
menjamin kesejahteraan para warga. Kraton di bangun dengan mencontoh gambaran
kosmos, melambangkan kedudukan raja di dunia ini selaku pusat semesta. Nama-nama
dari dua raja yang masih dapat ditemukan di Jawa, yakni Paku Buwono di Solo dan Paku
Alam di Yogyakarta, yang sama-sama berarti “poros dunia”, mengingatkan kita pada
anggapan ini.35
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab… h. 24-26
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzhab… h. 28.
34 George Balandier, “Agama dan Kekuasaan”, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), Kepemimpinan
dalam Dimensi Sosial, Jakarta: LP3ES, 1984. h. 1.
35 Niels Mulder, Kebatinan dan Hidp Sehari-hari Orang Jawa: Kelangsungan dan Perubahan Kultural,
Jakarta: Gramedia, 1984, h. 15.
32
33
6
Salah satu bentuk hubungan agama dan negara dapat dilihat dari beberapa
pemakaian gelar Raja atau sultan. Sunan Ampel memberi gelar kepada sultan pertama
kerajaan Demak, Raden Patah dengan gelar Sultan Alam Akbar Al Fatah. Sedangkan
dalam Babat Tanah Jawi disebutkan bahwa gelar Raden Patah adalah Senapati Jimbun
Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayyidin Panatagama. Sunan Gunung Jati
menganugerahkan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin kepada sultan Trenggana. Sultan
Adiwijaya sebagai raja Pajang memberikan gelar kepada Panembahan Senopati
“Senapati Ing Alaga” yang selanjutnya diwariskan kepada keturunan raja-raja Mataram
dengan gelar Senapati Ing Alaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah.
Masjid Demak sebagai masjid para wali mempunyai kedudukan yang terpandang
pada waktu itu. Masjid Demak bukan saja sebagai masjid Agung akan tetapi juga
menjadi pusat kerajaan Islam pertama di Jawa. Masjid Demak disamakan kedudukannya
dengan Masjidil Haram di Makkah. Bahkan terdapat anggapan bahwa mengunjungi
Masjid Demak dan makam-makam orang suci di Demak tersebut disamakan dengan
naik Haji ke Mekkah.36
Kitab perundang-undangan Jawa pada masa kerajaan Islam Jawa setidaknya
bersumber dari Hukum Islam dan Adat-Istiadat masyarakat setempat. Pada masa
kasultanan Demak terdapat kitab undang-undang, yaitu Suria Alem atau Surya Alam,
Serat Suryangalam. Isi Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat
Suryangalam pada dasarnya hampir sama, bahkan kedua naskah ini memilii redaksi
teks yang sama pada bab pembukaan yang mengatur mengenai aturan berpekara di
pengadilan dan pedoman-pedoman bagi hakim dalam memutuskan perkara serta
syarat-syarat saksi di pengadilan. Namun pada bagian berikutnya meskipun ketentuan
hukum mengenai aturan hutang piutang, hukuman pembunuhan, pencurian dan
melukai orang lain hampir sama. Naskah Serat Angger-Angger Suryangalam murni
berisi undang-undang atau aturan-aturan, sedangkan naskah Serat Suryangalam isinya
bercampur dengan naseha-nasehat dan ajaran-ajaran agama Islam, misalnya perintah
melaksanakan salat dan puasa dengan penjelasan tata caranya.37
Dalam naskah Serat Angger-Angger Suryangalam dan Serat Suryangalam
dijelaskan bahwa hukum yang berlaku di kerajaan Demak berdasarkan hukum Islam
dengan berpegang pada al-Qur’an dan Hadis. Hal ini ditegaskan dalam pembukaan
undangundang dan sering juga ditegaskan kembali pada bagian yang lain dengan
redaksi kata yang berbeda. Disebutkan dalam naskah Serat Angger-Angger
Suryangalam: “sang ratu puniko dene anrapaken ukumullah” “dosane tan anglakokan sak
pakeme aksarane, angowahi sapangandikaning Allah tangala, kang tinimbalaken
dawuhing kangjeng Nabi kito Mukammad salalu ngalaihi wasalam”. Sedangkan dalam
Serat Suryangalam disebutkan “ ukumullah kang den gawe pangilon”.
Serat Angger-Angger Suryangalam berisi tata hukum Islam yang bersumber pada
kitab Anwar, sesuai dengan konsep formulasi Pangeran Adipati Ngadilaga (Senopati
Jinbun atau Raden Fatah) yang dituangkan dalam undang-undang oleh Raden Arya
Trenggono (Sultan Demak III) yang saat itu masih menjabat sebagai jaksa, undangundang ini kemudian disebut sebagai Undang-Undang Jawa Suryangalam, undang-
Prof. A. Daliman, Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012, h. 129-131.
37 Naili Anafah, Legislasi Hukum Islam di Kerajaan Demak; Studi Naskah Serat Angger-Angger
Suryangalam dan Serat Suryangalam, UIN Walisongo Semarang.
36
7
undang ini kemudian dijadikan sebagai salah satu sumber hukum kerajaan-kerajaan
berikutnya (Pajang dan Mataram).38
Pengadilan hukum dilakukan oleh penghulu atau pemimpin agama tertinggi
diadakan di serambi masjid atau beranda masjid. Pelaksanaannya disaksikan oleh
masyarakat dengan rasa hormat yang cukup besar dan terlihat sangat adil. Tempat
tersebut juga sangat cocok untuk menjadi tempat pengambilan sumpah dan biasanya
diikuti dengan ketaatan sangat tinggi. Selain penghulu ada empat orang lainnya yang
sering disebut Pateh Nagari yang secara harfiah berarti pilar atau pendukung negara.
Pateh Nagari ini bertugas untuk menemukan fakta-fakta, bukti dan pelaksanakan
hukum secara umum. Dalam pemerintahan, Raja atau Menterinya mempunyai
wewenang mengesahkan keputusan pengadilan.39
Dengan paradigma di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan
pemerintahan atau tata negara, kerajaan-kerajaan Islam di Jawa terkadang
menggunakan paradigma integralistik dan terkadang menggunakan paradigma
simbiotik, yang terakhir ini lebih menonjol. Hal ini terlihat dari penggunaan bahasa dari
kitab undang-undang yang tidak langsung menggunakan bahasa Arab yang notabene
bahasa utama agama Islam. Proses akulturasi dan osmosis dapat terlihat dalam
pembentukan hukum yang berlaku di kerajaan, dimana sumber hukum kerajaan
diambil dari Hukum Islam dan adat-istiadat setempat, sehingga hukum diharapkan
lebih hidup (living law).
Kasultanan Demak
Bahwa Demak merupakan tempat penting dilihat dari segi agama Islam dapat
disimpulkan berdasarkan cerita bahwa wali-wali di Jawa berpusat di masjid keramat
Demak, yaitu yang menurut cerita tersebut didirikan oleh wali itu secara bersamasama”. 40 Wali Songo dalam posisinya dalam kerajaan dapat dikatakan juga sebagai
ulama kerajaan, namun juga adalah sebagai juga penentu atau penasihat agama Islam.
Selain itu juga ketika penyebaran Islam dengan merebut kekuasaan, para wali juga ikut
berperan dalam bidang politik kenegaraan.
De Graaf dan Pigeaud menjelaskan bahwa Sebagai ahli dan penegak
hukum fiqh (= fakih) di Demak yang beragama Islam itu, sudah tentu bertindak seorang
kiai dari kalangan alim ulama. Jabatan pemangku hukum syariat dan fungsi pemimpin
masjid (imam), sudah sejak permulaan zaman Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar
“panghulu” (kepala), yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak, mungkin suatu
bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh juga di bidang hukum.41
Peranan Wali Songo dalam politik Kerajaan Demak salah satunya, Imron Abu
Amar menjelaskan bahwa dalam buku Babad Demak disebutkan, bahwa Sunan Giri
tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto
sendiri telah tercemar pribadinya karena tertuduh membunuh Pangeran Sedo Lepen.
Sedang suara Sunan Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati
Jipang), karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) lansung Sultan Demak
dari garis keturunan yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang
TE Behrend, Katalog Induk Naskah- Naskah Nusantara Musium Sono Budoyo, Yogyakarta:
Djambatan,1990, h. 95
39 Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Terj.), ... h. 178
40 Supratikno Rahardjo dan Wiwin Djuwita Ramelan. 1997. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di
Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, h. 62
41 H. J. Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud. 1986. Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa Peralihan dari
Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers. H. 77
38
8
mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani. Lain halnya dengan Sunan
Kalijaga, beliau ini mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga
dengan nama “Djoko Tingkir”, ia adalah manantu Sultan Trenggono.
Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap diri Pangeran Hadiwijaya ini disertai
alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan (kerajaan)
Islam Demak akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama
Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat
kesultanan itu berada di pedalaman (di Pajang). Sikap dan pendapat Sunan Kalijaga ini
tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena Sunan yang satu ini berpendapat
apabila kegiatan pengembangan Islam berpusat di pedalaman (di Pajang) sangat
dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawwuf besar
kemungkinannya bercampur dengan ajaran “Mistik” atau Klenik. Dari pendapat ini
menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan
Kalijaga yang mencalonkan Pangeran Hadiwijaya. 42
Kerajaan Demak pada waktu diperintah Sultan Trenggana (1504-1546)
merupakan pusat perekonomian, politik dan keagamaan. 43 Sultan Trenggana telah
menyusun kitab undang-undang untuk daerah pesisir jawa, yaitu Salokantara. Kitab ini
kemungkinan dapat menunjukkan sejauhmana hukum Hindu-Jawa dan hukum Islam
berhasil terpadu, sayangnya kitab ini telah hilang.44 Selain kitab tersebut, terdapat kitab
undang-undang hukum lainnya, yaitu serat angger-angger suryangalam yang telah
sedikit disinggung di atas, yang selanjutnya kitab tersebut digunakan sebagian atau
keseluruhannya oleh kerajaan Pajang dan Mataram Islam.
Kasultanan Cirebon
Kerajaan Sunda Pajajaran sendiri pada saat itu di pimpin oleh raja yang bergelar
Sri Paduka (Baduga) Maharaja atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. 45
Karena Prabu Siliwangi penganut ajaran Sang Hyang/HinduBudha, maka masuknya
agama Islam dibatasi agar tidak mengancam kekuasaannya. Akan tetapi, penyebaran
Islam di Cirebon menjadi berkembang pesat setelah Pangeran Cakrabuana menjadi
Kuwu di Cirebon. Pangeran Cakrabuana adalah Raden Walangsungsang, anak Sulung
Prabu Siliwangi dan Permaisuri Nyai Subang Larang yang beragama Islam. Dari
pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang lahir tiga keturunan bernama
Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Sengara/Kian Santang. 46 Setelah
dewasa Raden Walangsungsang diperkenankan meninggalkan Pajajaran untuk
memperdalam ilmu Islamnya disusul kemudian oleh adiknya Lara Santang.
Diperjalanan menuju Cirebon Raden Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang
Geulis.
Setelah mendirikan pedukuhan Raden Walangsungsang dan Lara Santang pergi
menunaikan Ibadah Haji. Diperjalanannya Lara Santang menikah dengan Syarif Abdillah
Bin Nurul Alim, Sultan Mesir yang bergelar Sulthon Makhmud Syarif Abdullah dari
Amar, Abu Imron. 1996. Sejarah Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus, h. 23-24.
Dennys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Jaringan Asia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
Cet. 4, 2008, h. 52.
44 Lihat karya H.J de Graaf & Th. Pigeaud, De eersle Moslimse Vorstendommen op Java, 1974,h. 66,
sebagimana dikutip Dennys Lombard, Nusa Jawa; Silang Budaya Jaringan Asia, h. 54.
45 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan TradisionalCirebon.(Jakarta: Suko
Rejo Bersinar, 2001),hlm. 6
46 P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon. (Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah Tingkat III
Cirebon, 1978), h. 15
42
43
9
keluarga Bani Hasyim. Agar mudah diterima kemudian nama Lara Santang diubah
menjadi Syarifah Muda’im. Dari pernikahan ini Syarifah M
uda’im melahirkan dua orang putra yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif
Nurullah. Syarif Hidayatullah kelak menjadi Sultan pertama di Kesultanan Cirebon dan
menjadi salah satu diantara Wali Songo, para penyebar agama Islam di Jawa.
Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayatullah yang pada tahun 1479 M mendapat restu
Pangeran Cakrabuana dan dewan Walisongo yang diketuai Sunan Ampel telah
menghentikan upeti kepada Pajajaran yang menandakan telah berdirinya Cirebon. 47
Saat itulah Kesultanan Cirebon berdiri terlepas dari Pajajaran dan menjadi Kerajaan
yang berdaulat. Setelah Sunan Gunung Jati mendirikan dan memimpin Kesultanan
Cirebon, proses Islamisasi menjadi lebih nyata terjadi. Hal itu terlihat dari wilayah
kekuasaan Kesultanan Cirebon, antara lain Luragung, Kuningan, Banten, Sunda Kelapa,
Galuh, Sumedang, Japura Talaga, Losari dan Pasir Luhur.
Penyebutan Kasultanan setidaknya dimulai sejak Syarif Hidayatullah
memerintah, sekitar 1479 M. Meski dalam berbagai sumber naskah kuno, waktu itu
penguasa-penguasanya belum digelari sultan, tetapi masih panembahan atau pangeran.
Sementara pemberian gelar sultan kepada raja-raja atau penguasa Cirebon baru
dilakukan ketika Cirebon dibagi atas dua kasultanan, yaitu Kasepuhan dan Kanoman
(sekitar tahun 1677).48 Pada tahun 1525-1526, penyebaran Islam yang dilakukan
Kasultanan Cirebon ke wilayah Banten, Syarif Hidayatullah berhasil meruntuhkan
pemerintahan Pucuk Unum, penguasa kadipaten Banten Girang dari Kerajaan Sunda
Pajajaran dan menempatkan putranya Maulana Hasanuddin sebagai pemimpin disana.
Kasultanan Cirebon bersama Kasultanan Demak menyerang kota pelabuhan utama
Kerajaan Sunda Pajajaran, yaitu Sunda Kalapa pada tanggal 22 Juni 1527. Keberhasilan
serangan tentara gabungan tersebut dipimpin oleh Fadillah Khan (berdasarkan Carita
Purwaka Caruban Nagari), atau Falatehan (berdasarkan berita Portugis de Barros)
dalam merebut kota palabuhan tersebut dan mengusir tentara Portugis di bawah
pimpinan Fransisco de Sa.49
Kasultanan Banten
Sebagai bandar dagang di pesisir utara Jawa bagian barat, Banten diperkirakan
muncul pada masa Kerajaan Sunda. Dalam buku kisah perjalanan Ceng Ho yang ditulis
oleh Ma Huan yang terbit pada tahun 1416, yaitu Ying-Yai-Sheng-Lan (Catatan Umum
Pantai-Pantai Samudera), Banten disebut dengan nama Shun-t’a (Sunda). Demikian pula
halnya dalam berbagai sumber Cina yang dihimpun oleh Groeneveldt, salah satu daerah
di Nusantara yang mereka kenal pada masa Dinasti Ming adalah Sun-la, yang dianggap
lafal Cina untuk Sunda. (Supratikno Rahardjo, dkk,2011:32).
Letak Banten yang berada di dekat Selat Sunda menjadikankedudukannya sangat
strategis, mengingat kegiatan perdagangan diNusantara dan Asia serta kedudukan
barang dengan rempah-rempah di pasar internasional makin meningkat, seiring dengan
berdatanganya para pedagang Eropa ke wilayah ini. setelah jatuhnya Malaka ke tangan
Portugis tahun 1511, Selat Sunda menjadi pintu masuk utama ke Nusantara bagian
timur lewat Pantai Barat Sumatera bagi pedagang-pedagang muslim, dan kemudian bagi
para pedagang Eropa yang datang dari arah ujung selatan Afrika dan Samudera Hindia
(Sri Sutjianingsih (Ed.), 1997: 18).
47
48
P. S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon.... h. 15
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009,
h. 163.
49
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 165
10
Sultan pertama Banten, Maulana Hasanuddin, memerintah tahun 1527-1570.
Pada masa pemerintahan Hasanuddin, kekuasaan Kesultanan Banten diperluas ke
Lampung hingga Sumatera Selatan. Pasca Maulana Hasanuddin, Kesultanan Banten
menunjukkan signifikansi kemajuan sebagai sebuah kerajaan Islam di Nusantara. Sultan
Maulana Yusuf, sebagai pengganti ayahnya, memimpin pembangunan Kesultanan
Banten di segala bidang. Strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada
pengembangan infrastruktur kota, pemukiman penduduk, keamanan wilayah,
perdagangan dan pertanian.
Maulana Hasanuddin sebagai raja pertama di Kesultanan Banten, memimpin
Banten setelah berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun di Banten Girang. Kebijakan
pertama dalam pemerintahannya adalah memindahkan pusat kerajaan dari Banten
Girang ke Banten Lama. Pemindahan pusat pemerintahan Banten dari pedalaman ke
pesisir merupakan petunjuk dari Sunan Gunung Jati kepada Maulana Hasanuddin.
Pusat pemerintahan, yang tadinya berada di pedalaman Banten yakni Banten
Girang, dipindahkan ke dekat Pelabuhan Banten (Banten Lama). Sunan Gunung Jati
menentukan posisi dalem (istana), benteng, pasar, dan alunalun yang harus dibangun.
Tempat ini kemudian diberi nama Surosowan dan menjadi Ibu kota Kerajaan Islam
Banten, setelah penaklukan Banten Girang oleh orang-orang Islam.
Penaklukan Ibukota oleh Maulana Hasanuddin diceritakan dengan singkat dalam
Sajarah Banten (SB), dan tahunnya terungkap dalam candra sengkala brastha gempung
warna tunggal, yang oleh Hoesein Djajadiningrat ditafsirkan sebagai tahun 1400 Saka,
atau 1478 M. tenyata tahun 1400 Saka disebut juga dalam babad-babad Jawa sebagai
tahun keruntuhan Majapahit, yaitu saat awal zaman Islam di Jawa. Menurut sumber
Portugis, Banten Girang jatuh ke tangan kaum Muslim pada akhir tahun 1526 atau awal
tahun 1527. Namun, tradisi lokal banyak yang menyebutkan bahwa pemindahan
ibukota terjadi pada tahun 1526 M.
Sultan Maulana Yusuf juga mencetuskan sebuah konsep pembangunan
infrastruktur kota yang dikenal dengan semboyannya gawe kuta baluwarti bata
kalawan kawis.50 Sultan Maulana Yusuf membangun pemukiman-pemukiman
masyarakat sesuai dengan pembagian penduduk berdasarkan pekerjaan, status dalam
pemerintahan, ras dan sosial ekonomi.Kampung Kasunyatan merupakan salah satu
pemukiman yang dibangun bagi kaum ulama. Sesuai dengan namanya kampung ini
merupakan pusat pembelajaran agama Islam masa Sultan Maulana Yusuf, bahkan
sampai sekarang.
Penerapan konsep gawe kuta baluwarti bata kalawan kawis pada pengembangan
Kesultanan Banten oleh Sultan Maulana Yusuf dilakukan dengan membangun berbagai
infrastruktur primer kota, dengan menggunakan bahan baku bangunan utama berupa
batu batu dan karang (kawis). Infrastruktur Kota Banten yang terpenting yang dibangun
dan dikembangkan oleh Sultan Maulana Yusuf adalah: Pertama, pengembangan Keraton
Surosowan;Kedua, pengembangan Masjid Agung Banten Ketiga, pengembangan pasar
dan pelabuhan;Keempat, jaringan irigasi dan juga air bersih; Kelima, pembangunan
Jembatan Rante sebagai fasilitas transportasi darat yang menghubungkan dua jalan
utama di Kesultanan Banten dan menjadi tolhuis atau tempat untuk menarik pajak
kapal-kapal kecil yang melintas diatasnya.
Sebagaimana kerajaan tradisional lainnya, kekuasaan Sultan di sini mempunyai
otoritas tertinggi serta mempunyai hak prerogratif penuh atas segala urusan, baik
50 semboyan ini berarti “membangun kota perbentengan dengan (batu) bata dan karang”.
Semboyan ini menjadi ruh dan semangat dalam pengembangan Kota Banten yang mensenyawakan unsur
buatan (simbol dari bata) dan unsur alamiah (simbol Karang) secara selaras.
11
politik atau lainnya. Pengakuan dan pengukuhan atas jabatan Sultan ditetapkan
berdasarkan warisan.
Dalam melaksanakan tugasnya (bidang administratif pemerintahan) Sultan
dibantu seorang Mangkubumi dan beberapa pejabat bawahannya; mereka ini terdiri
dari golongan elite yang kebanyakan bukan golongan pangeran atau kaum bangsawan
lain. Adapun khusus untuk kerabat Sultan atau kaum bangsawan menempati strata
lebih rendah di bawah Sultan dan lebih tinggi di atas pejabat administratif.
Untuk urusan birokrasi pusat dikepalai oleh seorang patih (wazir besar) yang
dibantu dua orang kliwon yang juga disebut Patih, sedang pengadilan dan keagamaan
diserahkan kepada Fakih Hajamuddin. Setingkat di bawahnya adalah para punggawa
yang menangani bidang administrasi dan pengawasan terhadap perekonomian negara.
Syahbandar adalah pejabat negara yang ditugasi untuk mengawasi perdangan luar
negeri di kota-kota pelabuhan. Sejajar dengan pejabat-pejabat di kota-kota pelabuhan
ialah para kepala daerah.51
Kerajaan Pajang
Sepeninggal Arya Penangsang, tahun 1568 Jaka Tingkir mendapat restu dari
Sunan Kudus untuk menjadi Sultan di Pajang yang kemudian menggunakan gelar Sultan
Hadiwijaya dalam memerintah kesultanan Pajang. Sultan Hadiwijaya didampingi oleh
permaisuri Ratu Mas Cempaka (putri Sultan Trenggono) selama memerintah Kerajaaan
Pajang.52
Sultan Hadiwijaya diangkat sebagai raja di Kerajaan Pajang, tidak lepas dari
jasanya yang telah berhasil menyelesaikan konflik di Kerajaan Demak. Selain karena
jasa telah menyelesaikan konflik di Kerajaan Demak, Jaka Tingkir diangkat menjadi raja
Pajang karena merupakan keturunan dari keluarga Kerajaan Majapahit, asal usul Jaka
Tingkir memiliki nama asli Mas Karebet. Ayah Jaka Tingkir merupakan murid Syekh Siti
Jenar yang bernama Ki Ageng Pengging. Ayah Jaka Tingkir mempunyai teman seorang
dalang yang bernama Ki Ageng Tingkir. Saat Jaka Tingkir dilahirkan, Ki Ageng sedang
melaksanakan pergelaran wayang dengan Ki Ageng Tingkir.53
Sebelum resmi mendirikan kerajaan ini, Jaka Tingkir yang berasal dari daerah
Pengging ini, sudah memegang jabatan sebagai penguasa di daerah Pajang pada masa
Sultan Trenggono. Kerajaan ini juga dinilai sebagai pelanjut dan pewaris dari kerajaan
Demak. Kerajaan Pajang terletak di daerah Kertasura dan merupakan kerajaan Islam
pertama yang terletak di daerah pedalaman pulau Jawa. Kerajaan Pajang ini tidak
berusia lama, karena kemudian bertemu dengan suatu kerajaan Islam besar yang juga
terletak di Jawa Tengah yaitu kerajaan Mataram.
Pada awal berdirinya, wilayah kekuasaan Pajang hanya meliputi daerah Jawa
Tengah. Hal itu disebabkan karena setelah kematian Sultan Trenggono, banyak wilayah
jawa Timur yang melepaskan diri. Namun pada tanggal 1568 M, Sultan Hadiwijaya dan
para Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam
Kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri –
negeri Jawa Timur, maka secara sah kerajaan Pajang telah berdiri. Selanjutnya, kerajaan
Pajang mulai melakukan ekspansi ke beberapa wilayah, meliputi juga wilayah Jawa
Timur.
Ambary, Sejarah Banten, h. 98
Adji, K. B. & Achmad, S. W. 2014. Sejarah Raja-Raja Jawa Dari Mataram Kuno Hingga Mataram
Islam. Yogyakarta: Araska, h. 225.
53 Abimanyu, S. 2013. Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli. Jogjakarta: Laksana, h. 246.
51
52
12
Setelah sultan Hadiwijaya meninggal, terjadi perebutan kekuasaan antara
penerus-penerusnya. Kemudian ia digantikan oleh Aria Pangiri yang berasal dari
Demak. Aria Pangiri kemudian bertempat tinggal di keraton Pajang. Dalam menjalankan
roda pemerntahannya, Arya Pangiri banyak didampingi oleh orang-orang dari Demak.
Selain itu, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Arya Pangiri juga banyak yang
merugikan rakyat, sehingga menimbulkan rasa tidak senang dari rakyat. Sementara itu,
seorang anak dari sultan Hadiwijaya yang bernama Benawa, dijadikan penguasa di
Jipang. Pangeran Benawa merasa tidak puas dengan jabatan yang didapatnya. Sehingga
ia meminta bantuan kepada senopati Mataram, Sutawijaya, untuk menyingkirkan Aria
Pangiri.
Pada tahun 1586, Pangeran Benawa yang telah bersekutu dengan Sutawijaya,
mengambil keputusan untuk menyerbu Pajang. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang
berangkat untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhtanya. Senopati tersebut kemudian
meminta “Perhiasan emas intan kerajaan Pajang”. Dengan demikian, pangeran Benawa
dikukuhkan menjadi sultan di kerajaan Pajang, namun dibawah kekuasaan Mataram.
Sepeninggal sultan Benawa, terdapat beberapa orang sultan yang sempat memerintah.
Tetapi pada tahun 1617-1618 M, terjadi pemberontakan besar di Pajang yang dipimpin
oleh Sultan Agung. Pada tahun 1618 M, kerajaan Pajang mengalami kekalahan melawan
Mataram.
Kerajaan Mataram Islam
Wilayah Mataram di akhir abad ke-16 (pada masa pemerintahan Sultan Pajang Jaka Tingkir) telah dibedah kembali oleh seorang Panglima Pajang " Ki Gede Ngenis"
yang kemudian popuier dengan Ki Pemanahan dengan suatu misinya untuk
memasukkan wilayah tersebut ke dalam pengaruh Islam dibawah panji kerajaan Pajang.
Wilayah Mataram dianugerahkan Sultan Pajang kepada Ki Gede Ngenis beserta
puteranya, yang kelak menjadi Panembahan Senopati, atas jasa mereka dalam ikut serta
melumpuhkan Aria Penangsang di Jipang Panolan.54 Setelah wafat ia diganti putranya,
ngabehi Loring Pasar, yang kemudian diberi gelar oleh Sultan Pajang sebagai Senopati
Ing Alaga Sayidin Panatagama atau mashur dengan Panembahan Senopati.55
Berbeda dengan ayahnya, yang menempuh jalan patuh sebagai kerajaan
bawahan Pajang, ia dengan sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai raja bawahan
dengan tidak seba atau sowan56 tahunan terhadap raja Pajang. Konsekuensinya
akhirnya raja Pajang memutuskan untuk menyelesaikan pembangkangan Mataram
dengan jalan kekerasan dan kekuatan senjata. Ekspedisi penyerbuan dibawah komando
Sultan Pajang sendiri itu mengalami kegagalan karena bersamaan dengan meletusnya
Gunung Merapi yang mengakibatkan bercerai berainya prajurit Pajang. Beberapa saat
kemudian, sekembalinya dari ekspedisi yang gagal itu, Sultan Pajang menmggal dunia.
momentum ini dimanfaatkan oleh Panembahan Senopati untuk memproklamasikan
dirinya sebagai penguasa di seluruh Jawa.57
Senopati Mataram merupakan figur penguasa yang agresif. Semenjak ia
menobatkan dirinya menjadi penguasa banvak sekali kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah
dan sebagian di jawa Timur menjadi ajang taklukannya. Tercatat pada masa
H.J. De Graaf dan T.H. G. T.H. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Java, terj. Grafiti pressdan
KITLY, PT Grafiti pers. Jakarta. 1985, hal. 277-281
55 Kartodirdjo, Sejarah .Xasional. III., hal. 286
56 Seba atau sowan adalah sidang raja-raja yang diselenggarakan oleh raja yang paling besar
pengaruhnya.
57 De Graaf,Kerajaan-kerajaan, hal. 285.
54
13
berkuasanya (1584-1601 M), Pajang dan Demak dapat ditaklukan pada tahun 1588
(konon semenjak peristiwa ini ia mendapat gelar Panembahan) memnsul kemudian
Madiun pada tahun 1590 dan Jepara (Kalinyamat) pada tahunl599. Pada tahun yang
bersamaan Tuban juga diserang yaitu tahun 1598 dan 1599 tetapi masih dapat
bertahan hingga diduduki pada tahun 1619 oleh Sultan Agung.58
Keabsahan (legitimitasi) kedudukan dan kekuasaan raja Mataram, kecuali
Panembahan Senopati, diperoleh karena warisan. Secara tradisional pengganti raja-raja
ditetapkan putera laki-laki tertua dari permaisuri raja (garwa padmi), bila tidak ada
maka putra laki-laki dari isteri selir (garwa ampeyan) pun bisa dinobatkan sebagai
pengganti raja. Apabila terpaksanva dari keduanya tidak didapatkan masa saudara lakilaki, paman atau saudara laki-laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti. 59
58
59
Kartodirdjo. Sejarah Nasional, hal. 295.
Kartodirdjo. Sejarah Nasional,IV, hal. 15
14