Sekolah menengah kejuruan id. docx
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu penentu perkembangan kemajuan suatu
bangsa dimana melalui pendidikan dapat dicetak sumber daya yang berkompeten
dan berkualitas. Keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari keberhasilan
pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didiknya. Untuk
mengukur keberhasilan itu diperlukan sebuah evaluasi hasil belajar peserta didik,
kegiatan ini biasanya di lakukan pada akhir pembahasan materi, pertengahan
semester dan pada akhir semester ganjil maupun genap. Selanjutnya pada
akhirnya siswa akan menghadapi ujian terakhir yang disebut Ujian Nasional.
Dalam Permendikbud No. 66 Tahun 2013 Bab II tentang Standar Penilaian
Pendidikan, disebutkan bahwa Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses
pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil peserta didik.
Selanjutnya, Ulangan Akhir Semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik untuk megukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester.
Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan semua
Kompetensi Dasar pada Semester tersebut. Ujian Nasional yang selanjutnya
disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai
peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan,
yang dilaksanakan secara nasional.
1
Mulai tahun 2016 pemerintah dan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) menggunakan formula baru yang tertuang dalam Permendikbud No. 44
Tahun 2014 berkenaan dengan kriteria kelulusan Ujian Nasional atau
penyelenggaraan Ujian Nasional. Kriteria kelulusan siswa utuk Ujian Nasional
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK adalah nilai akhir setiap mata pelajaran yang diUjian Nasional-kan paling rendah 4,0 dan rata-rata nilai akhir untuk semua mata
pelajaran paling rendah 5,5. Selain itu nilai akhir merupakan gabungan dari 50%
nilai UN dan 50% nilai Ujian Sekolah. Selanjutnya, nilai sekolah merupakan
gabungan dari nilai-nilai seperti Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester (Mid
Semester), serta Ulangan Akhir Semester satu maupun semester dua yang sering
disebut pula Ulangan Kenaikan Kelas.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti di Sekolah Menengah Kejuruan
Negeri 3 Yogyakarta banyak faktor penyebab atas beberapa kasus kegagalan siswa
saat menghadapi Ulangan Akhir Semester. Antara lain, siswa kurang menguasai
materi yang akan di ujikan, adanya masalah di luar akademis (masalah keluarga,
masalah dengan teman atau pacar, dan lain sebagainya), selain itu kecemasan
siswa ketika akan menghadapi UAS juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kinerja siswa ketika menghadapi UAS. Hal ini di perkuat oleh pernyataan guru
BK yang menyatakan bahwa adanya kecemasan siswa menghadapi Ulangan akhir
semester.
Kecemasan sendiri didefinsikan sebagai suatu keadaan emosional yang
mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak
menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. (Nevid
Jeffrey S, Rathus Spencer A, & Greene Beverly, 2005:163). Sedangkan menurut
2
Savitri Ramaiah (2003: 10) Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir
setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan
reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang.
Kecemasan bisa muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari
berbagai gangguan emosi (Savitri Ramaiah, 2003:10).
Pada tahun 2014 tingkat kelulusan siswa SMK/MAK mencapai 99,90%.
Keberhasilan ini ternyata juga menimbulkan sebuah sumber ketakutan dan
persepsi-persepsi baru yang negatif bagi siswa terhadap Ulangan Semester.
Persepsi-persepsi yang muncul seperti, bertambah sulitnya soal yang diujikan
sehingga membuat siswa kekhawatiran akan gagal menghadapi Ulangan Semester.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Hadiya Risyadi (2016: 78) menyatakan bahwa
ketakutan beberapa siswa SMA dalam menghadapi Ujian Akhir Semester menjadi
lebih besar dikarenakan sekarang nilai Ujian Akhir Semester menjadi memiliki
peran sangat penting, selain sebagai salah satu penentu kenakan kelas, juga
dijadikan sebagai salah satu penentu kelulusan siswa. Hasil penelitian ini
diperkuat oleh hasil penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh I Gede Tresna
(2011) yang menyatakan bahwa kecemasan menghadapi Ujian Akhir Semester
dipicu oleh kondisi pikiran, perasaan dan perilaku motorik yang tidak terkendali.
Menifestasi kognitif yang tidak terkendali menyebabkan kondisi menjadi tegang,
manifestasi afektif yang tidak terkendali mengakibatkan timbulnya perasaan akan
terjadinya hal buruk, dan perilaku motorik yang tidak terkendali menyebabkan
siswa menjadi gugup dan gemetar saat menghadapi Ujian Akhir Semester.
Berdasarkan wawancawa terhadap salah satu siswa kelas 10 di SMK Negeri
3 Yogyakarta, adanya ketakutan ataupun kekhawatiran dalam dirinya ketika akan
3
menghadapi UAS. Kecemasan yang terjadi juga tidak selalu datang ketika akan
menghadapi UAS saja. Namun, ada beberapa kasus lain yang peneliti jumpai di
SMKN 3 Yogyakarta tentang kecemasan antara lain, kecemasan siswa ketika
siswa baru memasuki awal pembelajaran biasanya siswa akan merasa cemas akan
tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya, untuk beberapa siswa
mungkin akan sulit untuk beradaptasi di lingkungan baru karena mereka sudah
dibayang-bayangi pikiran-pikiran negatif sperti takut mendapat teman yang nakal,
tidak di terima di lingkungan barunya atau bahkan minder karena latar belakang
siswa tersebut di nilai tidak bisa di terima oleh temannya. Tentu saja itu akan
mengganggu proses belajarnya. Selain itu, kecemasan juga melanda beberapa
siswa ketika atau sebelum menghadapi pelajaran yang mereka anggap sulit. Hal
ini biasanya disebabkan oleh perkataan dari teman atau kakak kelas yang
menganggap pelajaran itu sulit, sehingga persepsi tersebut tertanam oleh siswa
tersebut dan mengakibatkan timbulnya kekhawatiran akan mata pelajaran tersebut.
Pines dan Aronson (dalam Santrock, 2003) menyampaikan bahwa
kecemasan yang dialami seringkali akan menjadikan individu merasa tidak
berdaya dan tidak memiliki harapan yang akan membuat individu tersebut merasa
sangat kelelahan secara fisik dan emosional. Kelelahan ini dapat berakibat pada
berkurangnya kemampuan siswa dalam menghadapi Ulangan Akhir Semester jika
mengalami kecemasan. Kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam,
baik secara fisik maupun psikologik seperti harga diri, gambaran diri, atau
identitas diri (Stuart & Sundeen, 1998). Lalu Menurut Lewis (dalam Larinta,
2006) kecemasan menghadapi tes adalah pengalaman buruk yang kurang
4
menyenangkan yang dialami individu baik disaat persiapan tes, menjelan dan
selama pelaksanaan tes.
Membahas tentang Ulangan atau Ujian di sekolah tentu saja orang langsung
berpikir yang akan berhasil adalah mereka yang pintar secara akademis dan
menguasai materi yang di ujikan. Namun, pada kenyataannya, di sekolah sering
ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan
kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi
tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa
yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi
belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satusatunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain
yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44-45), kecerdasan intelektual
(IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah
sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan
emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan
tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
Goleman (2000: 58-59) menggambarkan kecerdasan emosi dalam 5 aspek
kemampuan utama, yaitu (a) Mengenali emosi diri; (b) Mengelola emosi; (c)
Memotivasi diri sendiri; (d) Mengenali emosi orang lain; (e) Membina hubungan.
Menurut Goleman kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan
persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang di timbulkan oleh
kesulitan-kesulitan hidup. Namun, bahkan IQ yang tinggi pun tidak menjamin
5
kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup; sekolah dan budaya kita lebih
menitikberatkan pada kemampuan akademis, mengabaikan kecerdaan emosional
yang juga sangat berpengaruh besar terhadap nasib kita. (Goleman, 2000: 47).
Menurut Hamzah B. Uno (2006, 35-37) paradigma pendidikan dan
pengajaran yang dianut oleh sebagian besar institusi pendidikan Indonesia adalah
taksonomi tujuan pembelajaran Bloom dan Krathwohl yang memilahnya menjadi
tiga bagian yaitu kawasan kognitif (pengetahuan) yang meliputi tingkat
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Kawasan
yang kedua yaitu kawasan afektif (watak dan sikap) yang meliputi kemauan
menerima, menanggapi, berkeyakinan, penerapan karya, ketekunan dan ketelitian.
Kawasan yang ketiga yaitu psikomotor (melatih keterampilan) yang meliputi
persepsi, kesiapan melakukan kegiatan, mekanisme, respons terbimbing,
kemahiran, adaptasi dan organisasi. Tidak dapat di pungkiri bahwa memang
sistem pendidikan kita telah lama mengorientasikan tujuannya pada kawasan
kognitif atau intelegensi intelektual semata tanpa memperhatikan ranah-ranah lain.
Mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi jarang ditemui pendidikan
tentang integritas, kejujuran, komitmen, kreatifitas, prinsip kepercayaan, padahal
itu yang lebih penting.
Kenyataan seperti ini melanda hampir semua lembaga pendidikan di
Indonesia, tak terkecuali di SMK Negeri 3 Yogyakarta. Sebagian besar pendidik
masih memandang kawasan kognitif peserta didik yang paling penting untuk di
jadikan target utama mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sangat wajar karena
kognitif peserta didik relatif mudah untuk dirumuskan dan dievaluasi. Masih
banyak juga siswa SMKN 3 Yogyakarta yang menganggap bahwa keberhasilan
6
pendidikan mereka ditentukan oleh nilai rapor yang bagus, padahal semua itu
tidak akan berarti tanpa diiringi dengan budi pekerti yang baik dan akhlak yang
mulia.
Berdasarkan
observasi
yang
dilakukan
di
SMKN
3 Yogyakarta,
menunjukkan fakta bahwa masih banyak siswa yang memiliki kecerdasan emosi
yang relatif rendah, hal ini terlihat dari cara mereka merespon berbagai macam
kondisi emosi secara wajar dan positif, bersifat impulsif (kekanak-kanakan)
seperti egois, mau menang sendiri, tidak sabaran ataupun melakukan sesuatu
tanpa pertimbangan norma, cenderung selalu bermasalah dengan orang lain
karena kurang menghargai perasaan orang lain dan sebagainya.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992)
menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan
fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh
ukuran-ukuran emosional dan sosial: yakin pada diri sendiri dan mempunyai
minat; tahu
pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana
mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti
petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan
kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang
prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau
lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka
juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar).
(Goleman, 2000: 273).
Menurut Yuliawati, Setiawan, dan Mulya (2006) perkembangan kecerdasan
emosional adalah salah satu faktor penting bagi seorang anak untuk berelasi,
7
berprestasi, dan mencapai kebahagiaan hidup, dengan adanya keinginan untuk
berprestasi, maka siswa akan berusaha dengan giat untuk belajar agar
mendapatkan hasil yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat hubungan antara kecerdasan emosi
dengan kecemasan menghadapi Ulangan Akhir Semester. Berdasarkan uraian di
atas pula peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian ini dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan kecerdasaan emosi dengan kecemasan siswa dalam
menghadapi Ulangan akhir Semester .
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka identifikasi masalah
yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Masih adanya kecemasan siswa SMKN 3 Yogyakarta dalam
2.
menghadapi Ulangan Akhir Semester.
Beban nilai Ulangan Akhir Semester yang Sangat berpengaruh dengan
nilai Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan, menimbulkan persepsipersepsi negatif akan kegagalan para siswa kepada Ulangan Akhir
3.
Semester.
Kecemasan yang berlebih mengganggu psikis dan mental peserta didik
4.
sehingga sulit menjawab soal yang diujikan.
Model pembelajaran di sekolah yang masih menitikberatkan pada
kemampuan
5.
akademis
(kognitif)
peserta
didik,
dan
kurang
mengembangkan kecerdasan emosional siswa.
Kecerdasan emosional siswa masih rendah dan perlu untuk ditingkatkan
terbukti dengan beberapa tingkah laku siswa yang menunjukkan
indikator kecerdasan emosional rendah.
8
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah
diuraikan oleh peneliti, maka peneliti membatasi penelitian ini hanya pada
hubungan kecerdasaan emosi dengan kecemasan menghadapi Ulangan Akhir
Semester. Adanya pembatasan masalah ini agar penelitian lebih fokus dan
memperoleh hasil yang maksimal.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan kecerdasaan emosi
dengan kecemasan menghadapi Ulangan Akhir Semester pada siswa kelas X SMK
Negeri 3 Yogyakarta?
E.
Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecerdasaan emosi dengan
kecemasan menghadapi Ulangan Akhir Semester
F.
Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, manfaat yang dapat diambil sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan di bidang Bimbingan dan konseling khususnya tentang
hubungan kecerdasaan emosi dengan kecemasan menghadapi Ulangan
Akhir Semester.
9
b. Dijadikan bahan kajian untuk penelitian selanjutnya
dengan
permasalahan yang sama sehingga hasilnya dapat lebih luas dan
mendalam.
2. Manfaat Praktis
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi positif
bagi sekolah untuk lebih berperan dalam mengembangkan kecerdasan
emosi siswa.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Kecerdasan Emosi
1.
Emosi
Menurut Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai setiap
kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang
hebat atau meluap-luap. Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu
10
perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. (Dalam Goleman, 2000: 411).
Menurut English dan English (dalam Syamsu Yusuf, 2010: 114) emosi
adalah “a complex feeling state accompained by characteristic motor and
glandular activies” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai
karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Sedangkan menurut Sarlito Wirawan
Sarwono (dalam Syamsu Yusuf, 2010: 115) emosi merupakan setiap keadaan pada
diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal)
maupun pada tingkat yang luas (mendalam). Dalam pengertian ini, dikemukakan
bahwa emosi itu merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau
perilaku individu. Perilaku afektif yang dimaksud adalah perasaan-perasaan
tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertenti,
contohnya, gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci(tidak senang), dan
sebagainya. (dalam Syamsu Yusuf, 2010: 115).
Menurut Campos dan Frankel (Santrock, 2007: 200) emosi di definisikan
sebagai perasaan yang terjadi ketika seseorang berada dalam sebuah kondisi atau
interaksi yang penting baginya, khususnya bagi kesejahteraannya.
Daniel Goleman (2000: 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang
tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
a.
Amarah
b.
Kesedihan
: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi
diri, putus asa
c.
Rasa takut
: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut
11
sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d.
Kenikmatan
: bahagia, gembira, riang, senang, terhibur, bangga
e.
Cinta
: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan
hati
f.
Terkejut
: terkesiap, terkejut
g.
Jengkel
: hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h.
Malu
: malu hati, kesal
Menurut the Nicomachean Ethics pembahasan Aristoteles (Goleman, 2000 :
xvi) secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar,
tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.
Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu
membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Nafsu dapat dengan
mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut
Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai
keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan.
Menurut Mayer (Goleman, 2000) orang cenderung menganut gaya-gaya
khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam
dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi
setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih
bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Emosi dapat di kelompokan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan
emosi kejiwaan (psikis).
12
a. Emosi sensoris, yaitu empsi yang ditimbulkan oleh rangsangan ariluar
terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan
lapar.
b. Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan.
Diantaranya adalah:
1) Perasaan intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan
ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk;
(a) rasa yakin dan tidak yakin terhadap hasil karya ilmiah, (b) rasa
gembira karena mendapat suatu kebenaran, (c) rasa puas karena
dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus
dipecahkan.
2) Perasaan sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan
orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud
perasaan ii seperti (a) rasa solidaritas (b) persaudaraan (ukhuwah),
(c) simpati, (d) kasih sayang dan sebagainya.
3) Perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilainilai baik dan buruk atau etika (moral). Contohnya, (a) rasa
tanggung jawab (responsibility), (b) rasa bersalah apabila
melanggar norma, (c) rasa tentram dalam menaati norma.
4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkitan erat
dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun
kerohanian.
13
5) Perasaan Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia subagai
makhluk Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan)
untuk mengenal Tuhannya. Dengan kata lain, manusia di karuniai
insting religius (naluri beragama). Oleh sebab itulah manusia di
juluki sebagai “ Homo Divinans” dan “Homo religius”,
yaitu
sebagai makhluk yang berke-Tuhan-an atau makhluk beragama.
(dalam Syamsu Yusuf, 2010: 117).
Menurut Syamsu Yusuf (2010) emosi sebagai suatu peristiwa psikologis
mengandung ciri-ciri sebagai berikut.
a. Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengamatan dan berpikir.
b. Bersifat fluktuatif (tidak tetap).
c. Banyak bersangkut paut dngan peristiwa pengenalan panca indra.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
perasaan yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap
stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Selanjutnya
menurut Syamsu Yusuf (2010) emosi memiliki 3 ciri yang mendasar, ketiga ciri
itu ialah, Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengamatan dan berpikir ; Bersifat fluktuatif (tidak tetap) ; Banyak bersangkut
paut dngan peristiwa pengenalan panca indra. Emosi sendiri memiliki dua jenis,
yaitu emosi sensoris dan psikis (perasaan intelektual, perasaan sosial, perasaan
susila, perasaan keindahan, dan perasaan ketuhanan).
14
2.
Pengertian Kecerdasan Emosi
Menurut Salovey dan Mayer (dalam Steven J. Stein dan Howard E. Book,
2002 : 30) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali peraasaan,
meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami
perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secaramendalam sehigga
membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Selanjutnya menurut Goleman, kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkankesenangan; mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan
berdoa. (Goleman, 2000: 45)
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh
Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan kemampuan, kompetensi,
dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (dalam Steven J. Stein
dan Howard E. Book, 2002 : 30).
Selain dari para ahli diatas, menurut ahli dari dalam negeri yaitu Agus
Effendi dalam bukunya Revolusi Kecerdasan abad 21, kecerdasan emosi adalah
jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali,merasakan, mengelola,
dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya
dalam kehidupan pribadi dan sosial. (Agus Effendi, 2005 : 172)
15
Sedangkan menurut Dr. Hamzah B. Uno M.Pd kecerdasan emosi adalah
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungannya dengan
orang lain. (Hamzah B. Uno, 2006 : 72)
Selanjutnya, Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (dalam
Goleman, 2000: 50) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang
monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada
spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik,
matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.
Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh
Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner (Goleman, 2000: 52-53), kecerdasan pribadi terdiri
dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa
yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu
membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah
kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut
adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu
pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk
menempuh kehidupan secara efektif.”
Dari berbagai pengertian tentang kecerdasan emosional diatas, disimp[ulkan
bahwa kecerdasan emosi adalah kemempuan seseorang untuk mengenali emosi
pada
dirinya
sendiri
serta
orang
lain
serta
dapat
mengontrol
dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
16
3.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Goleman mengutip Salovey (2000) menempatkan menempatkan kecerdasan
pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang
dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan
utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini
merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang
akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri
adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati,
bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi
dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan
tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi
berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan
17
mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini
mencakup
kemampuan
untuk
menghibur
diri
sendiri,
melepaskan
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan
yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri
individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan
motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan
diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang
lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang
memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain
sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang
mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu
menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan
lebih peka (Goleman, 2000 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan
18
bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi
dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2000 : 172).
Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran
diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu
mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai
kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan
dalam
membina
hubungan
merupakan
suatu
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan
antar pribadi (Goleman, 2000 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi
merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga
memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Menurut Goleman (2000: 274) ada tujuh unsur kemampuan anak yang
berkaitan erat dengan kecerdasan emosi adalah:
a) Keyakinan
Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku,
dan dunia; perasaan anak bahwa ia lebih cenderung berhasil daripada tidak
dalam apa yang dikerjakannya,dan bahwa orang-orang dewasa akan
bersedia menolong.
b) Rasa ingin tahu.
Perasaan bahwa menyelidiki sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan
kesenangan.
19
c) Niat
Hasrat dan kemapuan untuk berhasil, dan untuk bertindak berdasarkan niat
itu dengan tekun, ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif.
d) Kendali diri
Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola
yang sesuai dengan usia; suatu rasa kendali batiniah.
e) Keterkaitan
Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan pada
perasaan saling memahami.
f) Kecakapan
berkomunikasi Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan,
perasaan dan konsep dengan orang lain. Ini ada kaitannya 18 dengan rasa
percaya pada orang lain dan kenikmatan terlibat dengan orang lain,
termasuk orang dewasa.
g) Koperatif
Kemampuan
untuk menyeimbangkan
kebutuhannya
sendiri
dengan
kebutuhan orang lain, termasuk orang dewasa.
Selanjutnya menurut Syamsu Yusuf dalam bukunya menjelaskan adanya
lima aspek kecerdasan emosi, sebagai berikut:
ASPEK
1. Kesadaran Diri
KARAKTERISTIK PERILAKU
a. Mengenal dan merasakan emosi sendiri
b. Memahami penyebab perasaan yang timbul
20
2.
Mengelola Emosi
c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan
a. Bersikap Toleran terhadap frustasi dan mampu
mengelola amarah secara lebih baik
b. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan
tepat tanpa berkelahi
c. Dapat mengendalikan perilaku agresif yang
merusak diri sendiri dan orang lain
d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri
sendirai, sekolah, dan keluarga
e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi stres
f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas
3.
Memanfaatkan
dalam pergaulan
a. Memiliki rasa tanggung jawab
emosi
b. Mampu memutuskan perhatian pada tugas yang
produktif
secara
dikerjakan
c. mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat
4. Empati
impulsif
a. Mampu menerima sudut pandang orang lain
b. Memiliki sikap empati atau kepekaan terhadap
perasaan orang lain
5. Membina
Hubungan
c. Mampu mendengarkan orang lain
a. Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk
menganalisis hubungan dengan orang lain
b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
c. Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain
d. Memiliki sifat bersahabat atau mudah bergaul
dengan teman sebaya
e. Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian
21
tehadap orang lain
f. Memperhatikan
kepentngan
sosial
(senang
menolong orang lain) dan dapat hidup selaras
dengan kelompok
g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama
h. Bersikap demokratis dalam bergaul terhadap
orang lain
Berdasarkan aspek yang dijelaskan Goleman dan Syamsu Yusuf dapat
disimpulkan karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
dan rendah. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan
marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum
bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya,
menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain,
dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri yang
positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam
berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.
Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan
akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan
cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri
sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang
negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang
negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak
mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan
kekerasan.
22
Apabila unsur-unsur di atas dapat terpenuhi dengan baik, akan
mempermudah peserta didik untuk mencapai keberhasilan dalam menguasai,
mengelola emosi dan memotivasi diri yang berkaitan erat dengan kecerdasan
emosi.
4.
Faktor-faktor Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan
melalui proses pembelajaran. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi individu menurut Goleman (2000:267-282), yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah
subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang
pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan
emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contohcontoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat
berguna bagi anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih
kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati,
kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan anak menjadi lebih
mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi
permasalahan sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan
tidak memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar
dan negatif.
23
b. Lingkungan Non Keluarga
Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik
dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas
bermain anak seperti bermain peran. Anak berperan sebagai individu
diluar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan
mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Pengembangan kecerdasan
emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan
diantaranya adalah pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi
bentuk pelatihan yang lainnya.
Menurut Le Doux (Goleman 1997:20-32) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
a. Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling
berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi
saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu
konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian
yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu
system
limbik, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang
menentukan kecerdasan emosi seseorang.
1) Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3
milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak.
Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara
mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu
24
dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Konteks
khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam
yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat
sesuatu.
2) Sistem limbik. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang
letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturanemosi dan implus. Sistem
limbikmeliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses
pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu
ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi
pada otak.
b. Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian
individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor
yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan
psikis. Secara fisik terletak dibagian otakyaitu konteks dan sistem limbik, secara
psikis diantarnya meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.
B.
Kecemasan
1.
Pengertian Kecemasan
Pengertian kecemasan menurut American Psyhiatric Association adalah
keadaan suasana perasaan (mood) yang di tandai oleh gejala-gejala seperti
ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan (Barlow, 2006: 158).
25
Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang
merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun
wujudnya (Sutardjo Wiramihardja, 2005:66). Menurut Freud (Alwisol, 2005: 28)
menyatakan bahwa kecemasan ialah fungsi ego untuk memperingatkan individu
tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi
adaptif yang sesuai.
Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan
yang akan terjadi. Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang
pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal
terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa
muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan
emosi (Savitri Ramaiah, 2003:10).
Selanjutnya menurut salah satu pakar psikologi dari Universitas St. John
Nevid Jeffrey S, Rathus Spencer A, & Greene Beverly (2005:163) memberikan
pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai
ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan
kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Kecemasan adalah rasa khawatir , takut yang tidak jelas sebabnya.
Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah
laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun yang terganggu. Keduaduanya
merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap
kecemasan tersebut (Singgih D. Gunarsa, 2008:27).
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widuri,
2007:73) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
26
pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan
identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami
siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan
akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat
mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya ketidakpastian
dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
2.
Faktor-faktor Penyebab Kecemasan
Beberapa teori penyebab kecemasan pada individu antara lain (Stuart dan
Sundeen, 1998 : 177) :
a. Teori Psikoanalitik
Menurut pandangan psikoanalitik kecemasan terjadi karena adanya
konflik yang terjadi antara emosional elemen kepribadian, yaitu id
dan super ego. Id mewakili insting, super ego mewakili hati nurani,
sedangkan ego berperan menengahi konflik yang tejadi antara dua
elemen yang bertentangan. Timbulnya kecemasan merupakan upaya
meningkatkan ego ada bahaya.
b. Teori Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan
takut terhadap adanya penolakan dan tidak adanya penerimaan
interpersonal. Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan
trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan
kelemahan fisik.
c. Teori Perilaku (Behavior)
27
Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi
yaitu segala Sesutu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan.
d. Teori Prespektif Keluarga
Kajian keluarga menunjukan pola interaksi yang terjadi dalam
keluarga. Kecemasan menunjukan adanya pola interaksi yang mal
adaptif dalam system keluarga.
e. Teori Perspektif Biologis
Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor
khususnya yang mengatur ansietas, antara lain : benzodiazepines,
penghambat asam amino butirik-gamma neroregulator serta
endofirin. Kesehatan umum seseorang sebagai predisposisi
terhadap ansietas.
Menurut Savitri Ramaiah (2003:11) ada beberapa faktor yang menyebabkan
reaksi kecemasan, diantaranya yaitu :
a.
Lingkungan Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi
cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini
disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan
pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja.
Sehingga
b.
individu
tersebut
merasa
tidak
aman
terhadap
lingkungannya.
Emosi yang ditekan Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu
menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan
personal ini, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi
c.
dalam jangka waktu yang sangat lama.
Sebab-sebab fisik Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi
dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam
kondisi seperti misalnya kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih
28
dari suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahanperubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan.
Zakiah Daradjat (Kholil Lur Rochman, 2010:167) mengemukakan beberapa
penyebab dari kecemasan yaitu :
a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang
mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa takut,
b.
karena sumbernya terlihat jelas didalam pikiran.
Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan halhal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. Kecemasan
ini sering pula menyertai gejala-gejala gangguan mental, yang
c.
kadang-kadang terlihat dalam bentuk yang umum.
Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.
Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak
berhubungan dengan apapun yang terkadang disertai dengan perasaan
takut yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya.
Musfir Az-Zahrani (2005:511) menyebutkan faktor yang mempengaruhi
adanya kecemasan yaitu :
b. Lingkungan keluarga Keadaan rumah dengan kondisi yang penuh
dengan pertengkaran atau penuh dengan kesalahpahaman serta adanya
ketidakpedulian orangtua terhadap anak-anaknya, dapat menyebabkan
ketidaknyamanan serta kecemasan pada anak saat berada didalam
c.
rumah.
Lingkungan Sosial Lingkungan sosial adalah salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi kecemasan individu. Jika individu tersebut
berada pada lingkungan yang tidak baik, dan individu tersebut
menimbulkan suatu perilaku yang buruk, maka akan menimbulkan
29
adanya berbagai penilaian buruk dimata masyarakat. Sehingga dapat
menyebabkan munculnya kecemasan.
3.
Gejala-gejala Kecemasan
Gangguan kecemasan bersal dari suatu mekanisme pertahanan diri yang
dipilih secara alamiah oleh manusia bila menghadapi sesuatu yang mengancam
dan berbahaya. Kecemasan sendiri dalam tingkatan tertentu dapat dianggap
sebagai bagian dari respon untuk mengatasi masalh sehari-hari. Gejala-gejala
yang bersifat fisik diantaranya adalah: jari tangan dingin, Detak jantung makin
cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak
nyenyak, dada sesak. Gejala yang bersifat mental adalah: ketakutan merasa akan
ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tenteram,ingin lari dari
kenyataan. (Siti Sundari,2004:62).
Kecemasan juga memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut
dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan.
Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada masing-masing orang.
Kaplan, Sadock, & Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widury,2007:74) menyebutkan
bahwa takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi sebagai tanda akan
adanya suatu bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas atau
nyata, berasal dari lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik bagi individu.
Sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas, atau
menyebabkan konflik bagi individu.
Kecemasan berasal dari perasaan tidak sadar yang berada didalam
kepribadian sendiri, dan tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan
yang benar-benar ada. Kholil Lur Rochman, (2010: 103) mengemukakan beberapa
gejala-gejala dari kecemasan antara lain:
30
a. Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati, hampir setiap
kejadian menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut
merupakan bentuk ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas.
b. Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah
dan sering dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, sangat
irritable, akan tetapi sering juga dihinggapi depresi.
c. Diikuti oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of
persecution (delusi yang dikejar-kejar).
d. Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah,
banyak berkeringat, gemetar, dan sering kali menderita diare.
e. Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan
tekanan jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah tinggi.
Nevid Jeffrey S, Spencer A , & Greene Beverly (2005: 164)
mengklasifikasikan gejala-gejala kecemasan dalam tiga jenis gejala, diantaranya
yaitu:
a. Gejala fisik dari kecemasan yaitu: kegelisahan, anggota tubuh
bergetar, banyak berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak
kencang, merasa lemas, panas dingin, mudah marah atau
tersinggung.
b. Gejala behavioral dari kecemasan yaitu: berperilaku menghindar,
terguncang, melekat dan dependen.
c. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu: khawatir tentang sesuatu,
perasaan terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi
dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan akan
segera terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi
masalah, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, sulit
berkonsentrasi.
4.
Aspek Kecemasan
31
Sue, dkk (1986) membagi kecemasan dalam bentuk reaksi kecemasan, yang
dibagi menjadi empat aspek yang menunjuk pada gejala-gejala yang mungkin
dihadapi oleh pelajar saat mereka cemas menghadapi ujian, yaitu:
a. Reaksi kognitif, bervariasi dari rasa khawatir yang ringan sampai
dengan rasa panik. Reaksi ini muncul berupa kesukaran dalam
konsentrasi, sukar membuat keputusan dan sulit tidur.
b. Reaksi motorik, berupa gelisah, melangkah tidak menentu, menekannekan ruas jari, menggigit bibir dan kuku jari.
c. Reaksi somatik, meliputi reaksi fisik dan biologis seperti bernafas
pendek-pendek, mulut kering, tangan dan kaki dingin, sakit perut,
sering buang air kecil, pusing, jantung berdebar, tekanan darah
meningkat, berkeringat, otot menegang (khususnya pada bagian
leher dan bahu).
d. Reaksi afektif, berupa kekhawatiran dan gelisah. Kecemasan
menghadapi ujian akan mempengaruhi keadaan seseorang yang
ditunjukkan dengan timbulnya reaksi-reaksi fisik maupun psikis
yang menyebabkan terganggunya performasi siswa saat
mempersiapkan dan mengerjakan ujian.
5.
Kecemasan Menghadapi Ujian
Seseorang bisa menjadi cemas bila dalam kehidupanya terancam oleh suatu
yang tidak jelas, karena kecemasan dapat timbul karena banyak hal. Seperti
halnya kecemasan yang dialami oleh siswa SMKN 3 Yogyakarta yang
dipengaruhi oleh banyak hal atau faktor. Mulai dari faktor lingkungan, teman
sebaya, ataupun kecemasan dalam menghadapi Ulangan Akhir Semester.
32
Menurut Lewis (Larinta, 2006) kecemasan menghadapi tes adalah
pengalaman buruk yang kurang menyenangkan yang dialami individu baik disaat
persiapan tes, menjelang dan selama pelaksanaan tes. Seseorang yang menderita
kecemasan yang tinggi dalam menghadapi tes menyebabkan seseorang terhambat
atau kurang dalam memperoses informasi dan tidak dapat menemukan cara
pemecahan masalah yang tepat.
Kecemasan menghadapi Ulangan Akhir Semester pada siswa SMA/SMK
sederajat adalah suatu keadaan atau perasaan yang tidak menyenangkan yang
mengakibatkan siswa mengalami perasaan khawatir, tegang, takut dan tidak
berdaya dalam tingkat yang berbeda-beda karena ketidakmampuan menyesuaikan
diri yang timbul pada saat menghadapi ujian nasional.
C.
Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Uji Utami pada tahun 2009 (Karya
Tulis Ilmiah) tentang hubungan antara kecerdasan emosi dengan
kecemasan menghadapi ujian Obyektif Structural Clinic Assasment
(OSCA) pada mahasiswa semester VI A Akademi Kebianan Mitra
Husada Karanganyar dengan hasil setelah diuji dari 45 responden,
30 mahasiswa (66,7%) memiliki kecerdasan emosi tinggi, 26
mahasiswa (57,8%) tidak cemas saat menghadapi ujian OSCA, dan
dari perhitungan menggunakan statistik chi square diketahui
dimana responden yang memiliki kecerdasan emosi tinggi tidak
akan mengalami kecemasan saat menghadapi ujian OSCA begitu
sebaliknya
2. Penelitian yang dilakukan oleh Dady Sugiarto pada tahun 2012
(Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) tentang hubungan
33
kecerdasaan emosi dengan daya tahan stres mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dengan hasil analisis menggunakan korelasi
product moment pearson correlationn, menunjukan adanya
hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan
daya tahan stres dengan koefisien korelasi sebesar 0,328 dan nilai
signifikansi =0,00
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan salah satu penentu perkembangan kemajuan suatu
bangsa dimana melalui pendidikan dapat dicetak sumber daya yang berkompeten
dan berkualitas. Keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari keberhasilan
pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didiknya. Untuk
mengukur keberhasilan itu diperlukan sebuah evaluasi hasil belajar peserta didik,
kegiatan ini biasanya di lakukan pada akhir pembahasan materi, pertengahan
semester dan pada akhir semester ganjil maupun genap. Selanjutnya pada
akhirnya siswa akan menghadapi ujian terakhir yang disebut Ujian Nasional.
Dalam Permendikbud No. 66 Tahun 2013 Bab II tentang Standar Penilaian
Pendidikan, disebutkan bahwa Ulangan merupakan proses yang dilakukan untuk
mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses
pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil peserta didik.
Selanjutnya, Ulangan Akhir Semester merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
pendidik untuk megukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester.
Cakupan ulangan meliputi seluruh indikator yang mempresentasikan semua
Kompetensi Dasar pada Semester tersebut. Ujian Nasional yang selanjutnya
disebut UN merupakan kegiatan pengukuran kompetensi tertentu yang dicapai
peserta didik dalam rangka menilai pencapaian Standar Nasional Pendidikan,
yang dilaksanakan secara nasional.
1
Mulai tahun 2016 pemerintah dan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP) menggunakan formula baru yang tertuang dalam Permendikbud No. 44
Tahun 2014 berkenaan dengan kriteria kelulusan Ujian Nasional atau
penyelenggaraan Ujian Nasional. Kriteria kelulusan siswa utuk Ujian Nasional
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK adalah nilai akhir setiap mata pelajaran yang diUjian Nasional-kan paling rendah 4,0 dan rata-rata nilai akhir untuk semua mata
pelajaran paling rendah 5,5. Selain itu nilai akhir merupakan gabungan dari 50%
nilai UN dan 50% nilai Ujian Sekolah. Selanjutnya, nilai sekolah merupakan
gabungan dari nilai-nilai seperti Ulangan Harian, Ulangan Tengah Semester (Mid
Semester), serta Ulangan Akhir Semester satu maupun semester dua yang sering
disebut pula Ulangan Kenaikan Kelas.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti di Sekolah Menengah Kejuruan
Negeri 3 Yogyakarta banyak faktor penyebab atas beberapa kasus kegagalan siswa
saat menghadapi Ulangan Akhir Semester. Antara lain, siswa kurang menguasai
materi yang akan di ujikan, adanya masalah di luar akademis (masalah keluarga,
masalah dengan teman atau pacar, dan lain sebagainya), selain itu kecemasan
siswa ketika akan menghadapi UAS juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kinerja siswa ketika menghadapi UAS. Hal ini di perkuat oleh pernyataan guru
BK yang menyatakan bahwa adanya kecemasan siswa menghadapi Ulangan akhir
semester.
Kecemasan sendiri didefinsikan sebagai suatu keadaan emosional yang
mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak
menyenangkan, dan kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. (Nevid
Jeffrey S, Rathus Spencer A, & Greene Beverly, 2005:163). Sedangkan menurut
2
Savitri Ramaiah (2003: 10) Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir
setiap orang pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan
reaksi normal terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang.
Kecemasan bisa muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari
berbagai gangguan emosi (Savitri Ramaiah, 2003:10).
Pada tahun 2014 tingkat kelulusan siswa SMK/MAK mencapai 99,90%.
Keberhasilan ini ternyata juga menimbulkan sebuah sumber ketakutan dan
persepsi-persepsi baru yang negatif bagi siswa terhadap Ulangan Semester.
Persepsi-persepsi yang muncul seperti, bertambah sulitnya soal yang diujikan
sehingga membuat siswa kekhawatiran akan gagal menghadapi Ulangan Semester.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Hadiya Risyadi (2016: 78) menyatakan bahwa
ketakutan beberapa siswa SMA dalam menghadapi Ujian Akhir Semester menjadi
lebih besar dikarenakan sekarang nilai Ujian Akhir Semester menjadi memiliki
peran sangat penting, selain sebagai salah satu penentu kenakan kelas, juga
dijadikan sebagai salah satu penentu kelulusan siswa. Hasil penelitian ini
diperkuat oleh hasil penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh I Gede Tresna
(2011) yang menyatakan bahwa kecemasan menghadapi Ujian Akhir Semester
dipicu oleh kondisi pikiran, perasaan dan perilaku motorik yang tidak terkendali.
Menifestasi kognitif yang tidak terkendali menyebabkan kondisi menjadi tegang,
manifestasi afektif yang tidak terkendali mengakibatkan timbulnya perasaan akan
terjadinya hal buruk, dan perilaku motorik yang tidak terkendali menyebabkan
siswa menjadi gugup dan gemetar saat menghadapi Ujian Akhir Semester.
Berdasarkan wawancawa terhadap salah satu siswa kelas 10 di SMK Negeri
3 Yogyakarta, adanya ketakutan ataupun kekhawatiran dalam dirinya ketika akan
3
menghadapi UAS. Kecemasan yang terjadi juga tidak selalu datang ketika akan
menghadapi UAS saja. Namun, ada beberapa kasus lain yang peneliti jumpai di
SMKN 3 Yogyakarta tentang kecemasan antara lain, kecemasan siswa ketika
siswa baru memasuki awal pembelajaran biasanya siswa akan merasa cemas akan
tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya, untuk beberapa siswa
mungkin akan sulit untuk beradaptasi di lingkungan baru karena mereka sudah
dibayang-bayangi pikiran-pikiran negatif sperti takut mendapat teman yang nakal,
tidak di terima di lingkungan barunya atau bahkan minder karena latar belakang
siswa tersebut di nilai tidak bisa di terima oleh temannya. Tentu saja itu akan
mengganggu proses belajarnya. Selain itu, kecemasan juga melanda beberapa
siswa ketika atau sebelum menghadapi pelajaran yang mereka anggap sulit. Hal
ini biasanya disebabkan oleh perkataan dari teman atau kakak kelas yang
menganggap pelajaran itu sulit, sehingga persepsi tersebut tertanam oleh siswa
tersebut dan mengakibatkan timbulnya kekhawatiran akan mata pelajaran tersebut.
Pines dan Aronson (dalam Santrock, 2003) menyampaikan bahwa
kecemasan yang dialami seringkali akan menjadikan individu merasa tidak
berdaya dan tidak memiliki harapan yang akan membuat individu tersebut merasa
sangat kelelahan secara fisik dan emosional. Kelelahan ini dapat berakibat pada
berkurangnya kemampuan siswa dalam menghadapi Ulangan Akhir Semester jika
mengalami kecemasan. Kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam,
baik secara fisik maupun psikologik seperti harga diri, gambaran diri, atau
identitas diri (Stuart & Sundeen, 1998). Lalu Menurut Lewis (dalam Larinta,
2006) kecemasan menghadapi tes adalah pengalaman buruk yang kurang
4
menyenangkan yang dialami individu baik disaat persiapan tes, menjelan dan
selama pelaksanaan tes.
Membahas tentang Ulangan atau Ujian di sekolah tentu saja orang langsung
berpikir yang akan berhasil adalah mereka yang pintar secara akademis dan
menguasai materi yang di ujikan. Namun, pada kenyataannya, di sekolah sering
ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan
kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi
tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa
yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi
belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satusatunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain
yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000 : 44-45), kecerdasan intelektual
(IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah
sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan
emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan untuk memotivasi
diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan
tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
Goleman (2000: 58-59) menggambarkan kecerdasan emosi dalam 5 aspek
kemampuan utama, yaitu (a) Mengenali emosi diri; (b) Mengelola emosi; (c)
Memotivasi diri sendiri; (d) Mengenali emosi orang lain; (e) Membina hubungan.
Menurut Goleman kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan
persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang di timbulkan oleh
kesulitan-kesulitan hidup. Namun, bahkan IQ yang tinggi pun tidak menjamin
5
kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup; sekolah dan budaya kita lebih
menitikberatkan pada kemampuan akademis, mengabaikan kecerdaan emosional
yang juga sangat berpengaruh besar terhadap nasib kita. (Goleman, 2000: 47).
Menurut Hamzah B. Uno (2006, 35-37) paradigma pendidikan dan
pengajaran yang dianut oleh sebagian besar institusi pendidikan Indonesia adalah
taksonomi tujuan pembelajaran Bloom dan Krathwohl yang memilahnya menjadi
tiga bagian yaitu kawasan kognitif (pengetahuan) yang meliputi tingkat
pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. Kawasan
yang kedua yaitu kawasan afektif (watak dan sikap) yang meliputi kemauan
menerima, menanggapi, berkeyakinan, penerapan karya, ketekunan dan ketelitian.
Kawasan yang ketiga yaitu psikomotor (melatih keterampilan) yang meliputi
persepsi, kesiapan melakukan kegiatan, mekanisme, respons terbimbing,
kemahiran, adaptasi dan organisasi. Tidak dapat di pungkiri bahwa memang
sistem pendidikan kita telah lama mengorientasikan tujuannya pada kawasan
kognitif atau intelegensi intelektual semata tanpa memperhatikan ranah-ranah lain.
Mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi jarang ditemui pendidikan
tentang integritas, kejujuran, komitmen, kreatifitas, prinsip kepercayaan, padahal
itu yang lebih penting.
Kenyataan seperti ini melanda hampir semua lembaga pendidikan di
Indonesia, tak terkecuali di SMK Negeri 3 Yogyakarta. Sebagian besar pendidik
masih memandang kawasan kognitif peserta didik yang paling penting untuk di
jadikan target utama mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sangat wajar karena
kognitif peserta didik relatif mudah untuk dirumuskan dan dievaluasi. Masih
banyak juga siswa SMKN 3 Yogyakarta yang menganggap bahwa keberhasilan
6
pendidikan mereka ditentukan oleh nilai rapor yang bagus, padahal semua itu
tidak akan berarti tanpa diiringi dengan budi pekerti yang baik dan akhlak yang
mulia.
Berdasarkan
observasi
yang
dilakukan
di
SMKN
3 Yogyakarta,
menunjukkan fakta bahwa masih banyak siswa yang memiliki kecerdasan emosi
yang relatif rendah, hal ini terlihat dari cara mereka merespon berbagai macam
kondisi emosi secara wajar dan positif, bersifat impulsif (kekanak-kanakan)
seperti egois, mau menang sendiri, tidak sabaran ataupun melakukan sesuatu
tanpa pertimbangan norma, cenderung selalu bermasalah dengan orang lain
karena kurang menghargai perasaan orang lain dan sebagainya.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992)
menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan
fakta seorang siswa atau kemampuan dininya untuk membaca, melainkan oleh
ukuran-ukuran emosional dan sosial: yakin pada diri sendiri dan mempunyai
minat; tahu
pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana
mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti
petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan
kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang
prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau
lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka
juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar).
(Goleman, 2000: 273).
Menurut Yuliawati, Setiawan, dan Mulya (2006) perkembangan kecerdasan
emosional adalah salah satu faktor penting bagi seorang anak untuk berelasi,
7
berprestasi, dan mencapai kebahagiaan hidup, dengan adanya keinginan untuk
berprestasi, maka siswa akan berusaha dengan giat untuk belajar agar
mendapatkan hasil yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat hubungan antara kecerdasan emosi
dengan kecemasan menghadapi Ulangan Akhir Semester. Berdasarkan uraian di
atas pula peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian ini dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan kecerdasaan emosi dengan kecemasan siswa dalam
menghadapi Ulangan akhir Semester .
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka identifikasi masalah
yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Masih adanya kecemasan siswa SMKN 3 Yogyakarta dalam
2.
menghadapi Ulangan Akhir Semester.
Beban nilai Ulangan Akhir Semester yang Sangat berpengaruh dengan
nilai Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan, menimbulkan persepsipersepsi negatif akan kegagalan para siswa kepada Ulangan Akhir
3.
Semester.
Kecemasan yang berlebih mengganggu psikis dan mental peserta didik
4.
sehingga sulit menjawab soal yang diujikan.
Model pembelajaran di sekolah yang masih menitikberatkan pada
kemampuan
5.
akademis
(kognitif)
peserta
didik,
dan
kurang
mengembangkan kecerdasan emosional siswa.
Kecerdasan emosional siswa masih rendah dan perlu untuk ditingkatkan
terbukti dengan beberapa tingkah laku siswa yang menunjukkan
indikator kecerdasan emosional rendah.
8
C.
Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah
diuraikan oleh peneliti, maka peneliti membatasi penelitian ini hanya pada
hubungan kecerdasaan emosi dengan kecemasan menghadapi Ulangan Akhir
Semester. Adanya pembatasan masalah ini agar penelitian lebih fokus dan
memperoleh hasil yang maksimal.
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan kecerdasaan emosi
dengan kecemasan menghadapi Ulangan Akhir Semester pada siswa kelas X SMK
Negeri 3 Yogyakarta?
E.
Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecerdasaan emosi dengan
kecemasan menghadapi Ulangan Akhir Semester
F.
Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, manfaat yang dapat diambil sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan di bidang Bimbingan dan konseling khususnya tentang
hubungan kecerdasaan emosi dengan kecemasan menghadapi Ulangan
Akhir Semester.
9
b. Dijadikan bahan kajian untuk penelitian selanjutnya
dengan
permasalahan yang sama sehingga hasilnya dapat lebih luas dan
mendalam.
2. Manfaat Praktis
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi positif
bagi sekolah untuk lebih berperan dalam mengembangkan kecerdasan
emosi siswa.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Kecerdasan Emosi
1.
Emosi
Menurut Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai setiap
kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang
hebat atau meluap-luap. Menurut Daniel Goleman, emosi merujuk pada suatu
10
perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. (Dalam Goleman, 2000: 411).
Menurut English dan English (dalam Syamsu Yusuf, 2010: 114) emosi
adalah “a complex feeling state accompained by characteristic motor and
glandular activies” (suatu keadaan perasaan yang kompleks yang disertai
karakteristik kegiatan kelenjar dan motoris). Sedangkan menurut Sarlito Wirawan
Sarwono (dalam Syamsu Yusuf, 2010: 115) emosi merupakan setiap keadaan pada
diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal)
maupun pada tingkat yang luas (mendalam). Dalam pengertian ini, dikemukakan
bahwa emosi itu merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau
perilaku individu. Perilaku afektif yang dimaksud adalah perasaan-perasaan
tertentu yang dialami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi tertenti,
contohnya, gembira, bahagia, putus asa, terkejut, benci(tidak senang), dan
sebagainya. (dalam Syamsu Yusuf, 2010: 115).
Menurut Campos dan Frankel (Santrock, 2007: 200) emosi di definisikan
sebagai perasaan yang terjadi ketika seseorang berada dalam sebuah kondisi atau
interaksi yang penting baginya, khususnya bagi kesejahteraannya.
Daniel Goleman (2000: 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang
tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
a.
Amarah
b.
Kesedihan
: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi
diri, putus asa
c.
Rasa takut
: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut
11
sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d.
Kenikmatan
: bahagia, gembira, riang, senang, terhibur, bangga
e.
Cinta
: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan
hati
f.
Terkejut
: terkesiap, terkejut
g.
Jengkel
: hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h.
Malu
: malu hati, kesal
Menurut the Nicomachean Ethics pembahasan Aristoteles (Goleman, 2000 :
xvi) secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar,
tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan.
Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu
membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Nafsu dapat dengan
mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut
Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai
keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan.
Menurut Mayer (Goleman, 2000) orang cenderung menganut gaya-gaya
khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam
dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi
setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih
bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Emosi dapat di kelompokan ke dalam dua bagian, yaitu emosi sensoris dan
emosi kejiwaan (psikis).
12
a. Emosi sensoris, yaitu empsi yang ditimbulkan oleh rangsangan ariluar
terhadap tubuh, seperti: rasa dingin, manis, sakit, lelah, kenyang, dan
lapar.
b. Emosi psikis, yaitu emosi yang mempunyai alasan-alasan kejiwaan.
Diantaranya adalah:
1) Perasaan intelektual, yaitu yang mempunyai sangkut paut dengan
ruang lingkup kebenaran. Perasaan ini diwujudkan dalam bentuk;
(a) rasa yakin dan tidak yakin terhadap hasil karya ilmiah, (b) rasa
gembira karena mendapat suatu kebenaran, (c) rasa puas karena
dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah yang harus
dipecahkan.
2) Perasaan sosial, yaitu perasaan yang menyangkut hubungan dengan
orang lain, baik bersifat perorangan maupun kelompok. Wujud
perasaan ii seperti (a) rasa solidaritas (b) persaudaraan (ukhuwah),
(c) simpati, (d) kasih sayang dan sebagainya.
3) Perasaan susila, yaitu perasaan yang berhubungan dengan nilainilai baik dan buruk atau etika (moral). Contohnya, (a) rasa
tanggung jawab (responsibility), (b) rasa bersalah apabila
melanggar norma, (c) rasa tentram dalam menaati norma.
4) Perasaan Keindahan (estetis), yaitu perasaan yang berkitan erat
dengan keindahan dari sesuatu, baik bersifat kebendaan maupun
kerohanian.
13
5) Perasaan Ketuhanan. Salah satu kelebihan manusia subagai
makhluk Tuhan, dianugerahi fitrah (kemampuan atau perasaan)
untuk mengenal Tuhannya. Dengan kata lain, manusia di karuniai
insting religius (naluri beragama). Oleh sebab itulah manusia di
juluki sebagai “ Homo Divinans” dan “Homo religius”,
yaitu
sebagai makhluk yang berke-Tuhan-an atau makhluk beragama.
(dalam Syamsu Yusuf, 2010: 117).
Menurut Syamsu Yusuf (2010) emosi sebagai suatu peristiwa psikologis
mengandung ciri-ciri sebagai berikut.
a. Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengamatan dan berpikir.
b. Bersifat fluktuatif (tidak tetap).
c. Banyak bersangkut paut dngan peristiwa pengenalan panca indra.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
perasaan yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap
stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Selanjutnya
menurut Syamsu Yusuf (2010) emosi memiliki 3 ciri yang mendasar, ketiga ciri
itu ialah, Lebih bersifat subyektif daripada peristiwa psikologis lainnya, seperti
pengamatan dan berpikir ; Bersifat fluktuatif (tidak tetap) ; Banyak bersangkut
paut dngan peristiwa pengenalan panca indra. Emosi sendiri memiliki dua jenis,
yaitu emosi sensoris dan psikis (perasaan intelektual, perasaan sosial, perasaan
susila, perasaan keindahan, dan perasaan ketuhanan).
14
2.
Pengertian Kecerdasan Emosi
Menurut Salovey dan Mayer (dalam Steven J. Stein dan Howard E. Book,
2002 : 30) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali peraasaan,
meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami
perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secaramendalam sehigga
membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Selanjutnya menurut Goleman, kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih-lebihkankesenangan; mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan
berdoa. (Goleman, 2000: 45)
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh
Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan kemampuan, kompetensi,
dan kecakapan non-kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk
berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (dalam Steven J. Stein
dan Howard E. Book, 2002 : 30).
Selain dari para ahli diatas, menurut ahli dari dalam negeri yaitu Agus
Effendi dalam bukunya Revolusi Kecerdasan abad 21, kecerdasan emosi adalah
jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali,merasakan, mengelola,
dan memimpin perasaan diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya
dalam kehidupan pribadi dan sosial. (Agus Effendi, 2005 : 172)
15
Sedangkan menurut Dr. Hamzah B. Uno M.Pd kecerdasan emosi adalah
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam hubungannya dengan
orang lain. (Hamzah B. Uno, 2006 : 72)
Selanjutnya, Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (dalam
Goleman, 2000: 50) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang
monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada
spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik,
matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.
Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh
Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner (Goleman, 2000: 52-53), kecerdasan pribadi terdiri
dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa
yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu
membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah
kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut
adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu
pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk
menempuh kehidupan secara efektif.”
Dari berbagai pengertian tentang kecerdasan emosional diatas, disimp[ulkan
bahwa kecerdasan emosi adalah kemempuan seseorang untuk mengenali emosi
pada
dirinya
sendiri
serta
orang
lain
serta
dapat
mengontrol
dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.
16
3.
Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Goleman mengutip Salovey (2000) menempatkan menempatkan kecerdasan
pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang
dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan
utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini
merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang
akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri
adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati,
bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi
dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan
tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi
berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan
17
mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini
mencakup
kemampuan
untuk
menghibur
diri
sendiri,
melepaskan
kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan
yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri
individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan
motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan
diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang
lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang
memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain
sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang
mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu
menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan
lebih peka (Goleman, 2000 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan
18
bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi
dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2000 : 172).
Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran
diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu
mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai
kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan
dalam
membina
hubungan
merupakan
suatu
keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan
antar pribadi (Goleman, 2000 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi
merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan.
Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga
memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Menurut Goleman (2000: 274) ada tujuh unsur kemampuan anak yang
berkaitan erat dengan kecerdasan emosi adalah:
a) Keyakinan
Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku,
dan dunia; perasaan anak bahwa ia lebih cenderung berhasil daripada tidak
dalam apa yang dikerjakannya,dan bahwa orang-orang dewasa akan
bersedia menolong.
b) Rasa ingin tahu.
Perasaan bahwa menyelidiki sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan
kesenangan.
19
c) Niat
Hasrat dan kemapuan untuk berhasil, dan untuk bertindak berdasarkan niat
itu dengan tekun, ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif.
d) Kendali diri
Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola
yang sesuai dengan usia; suatu rasa kendali batiniah.
e) Keterkaitan
Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan pada
perasaan saling memahami.
f) Kecakapan
berkomunikasi Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan,
perasaan dan konsep dengan orang lain. Ini ada kaitannya 18 dengan rasa
percaya pada orang lain dan kenikmatan terlibat dengan orang lain,
termasuk orang dewasa.
g) Koperatif
Kemampuan
untuk menyeimbangkan
kebutuhannya
sendiri
dengan
kebutuhan orang lain, termasuk orang dewasa.
Selanjutnya menurut Syamsu Yusuf dalam bukunya menjelaskan adanya
lima aspek kecerdasan emosi, sebagai berikut:
ASPEK
1. Kesadaran Diri
KARAKTERISTIK PERILAKU
a. Mengenal dan merasakan emosi sendiri
b. Memahami penyebab perasaan yang timbul
20
2.
Mengelola Emosi
c. Mengenal pengaruh perasaan terhadap tindakan
a. Bersikap Toleran terhadap frustasi dan mampu
mengelola amarah secara lebih baik
b. Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan
tepat tanpa berkelahi
c. Dapat mengendalikan perilaku agresif yang
merusak diri sendiri dan orang lain
d. Memiliki perasaan yang positif tentang diri
sendirai, sekolah, dan keluarga
e. Memiliki kemampuan untuk mengatasi stres
f. Dapat mengurangi perasaan kesepian dan cemas
3.
Memanfaatkan
dalam pergaulan
a. Memiliki rasa tanggung jawab
emosi
b. Mampu memutuskan perhatian pada tugas yang
produktif
secara
dikerjakan
c. mampu mengendalikan diri dan tidak bersifat
4. Empati
impulsif
a. Mampu menerima sudut pandang orang lain
b. Memiliki sikap empati atau kepekaan terhadap
perasaan orang lain
5. Membina
Hubungan
c. Mampu mendengarkan orang lain
a. Memiliki pemahaman dan kemampuan untuk
menganalisis hubungan dengan orang lain
b. Dapat menyelesaikan konflik dengan orang lain
c. Memiliki kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain
d. Memiliki sifat bersahabat atau mudah bergaul
dengan teman sebaya
e. Memiliki sikap tenggang rasa dan perhatian
21
tehadap orang lain
f. Memperhatikan
kepentngan
sosial
(senang
menolong orang lain) dan dapat hidup selaras
dengan kelompok
g. Bersikap senang berbagi rasa dan bekerja sama
h. Bersikap demokratis dalam bergaul terhadap
orang lain
Berdasarkan aspek yang dijelaskan Goleman dan Syamsu Yusuf dapat
disimpulkan karakteristik individu yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
dan rendah. Kecerdasan emosi tinggi yaitu mampu mengendalikan perasaan
marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan akibat sebelum
bertindak, berusaha dan mempunyai daya tahan untuk mencapai tujuan hidupnya,
menyadari perasaan diri sendiri dan orang lain, dapat berempati pada orang lain,
dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki konsep diri yang
positif, mudah menjalin persahabatan dengan orang lain, mahir dalam
berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik sosial dengan cara damai.
Kecerdasan emosi rendah yaitu bertindak mengikuti perasaan tanpa memikirkan
akibatnya, pemarah, bertindak agresif dan tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan
cita-cita yang tidak jelas, mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri
sendiri dan orang lain, tidak dapat mengendalikan perasaan dan mood yang
negatif, mudah terpengaruh oleh perasaan negatif, memiliki konsep diri yang
negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang baik dengan orang lain, tidak
mampu berkomunikasi dengan baik, dan menyelesaikan konflik sosial dengan
kekerasan.
22
Apabila unsur-unsur di atas dapat terpenuhi dengan baik, akan
mempermudah peserta didik untuk mencapai keberhasilan dalam menguasai,
mengelola emosi dan memotivasi diri yang berkaitan erat dengan kecerdasan
emosi.
4.
Faktor-faktor Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosi tidak ditentukan sejak lahir tetapi dapat dilakukan
melalui proses pembelajaran. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi individu menurut Goleman (2000:267-282), yaitu:
a. Lingkungan keluarga
Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari
emosi. Peran serta orang tua sangat dibutuhkan karena orang tua adalah
subyek pertama yang perilakunya diidentifikasi, diinternalisasi yang
pada akhirnya akan menjadi bagian dari kepribadian anak. Kecerdasan
emosi ini dapat diajarkan pada saat anak masih bayi dengan contohcontoh ekspresi. Kehidupan emosi yang dipupuk dalam keluarga sangat
berguna bagi anak kelak di kemudian hari, sebagai contoh: melatih
kebiasaan hidup disiplin dan bertanggung jawab, kemampuan berempati,
kepedulian, dan sebagainya. Hal ini akan menjadikan anak menjadi lebih
mudah untuk menangani dan menenangkan diri dalam menghadapi
permasalahan sehingga anak-anak dapat berkonsentrasi dengan baik dan
tidak memiliki banyak masalah tingkah laku seperti tingkah laku kasar
dan negatif.
23
b. Lingkungan Non Keluarga
Dalam hal ini adalah lingkungan masyarakat dan lingkungan penduduk.
Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik
dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditunjukkan dalam aktivitas
bermain anak seperti bermain peran. Anak berperan sebagai individu
diluar dirinya dengan emosi yang menyertainya sehingga anak akan
mulai belajar mengerti keadaan orang lain. Pengembangan kecerdasan
emosi dapat ditingkatkan melalui berbagai macam bentuk pelatihan
diantaranya adalah pelatihan asertivitas, empati dan masih banyak lagi
bentuk pelatihan yang lainnya.
Menurut Le Doux (Goleman 1997:20-32) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:
a. Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling
berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi
saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu
konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian
yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu
system
limbik, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang
menentukan kecerdasan emosi seseorang.
1) Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira kira 3
milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak.
Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara
mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu
24
dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Konteks
khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam
yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat
sesuatu.
2) Sistem limbik. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang
letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama
bertanggung jawab atas pengaturanemosi dan implus. Sistem
limbikmeliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses
pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu
ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi
pada otak.
b. Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian
individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor
yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan
psikis. Secara fisik terletak dibagian otakyaitu konteks dan sistem limbik, secara
psikis diantarnya meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.
B.
Kecemasan
1.
Pengertian Kecemasan
Pengertian kecemasan menurut American Psyhiatric Association adalah
keadaan suasana perasaan (mood) yang di tandai oleh gejala-gejala seperti
ketegangan fisik dan kekhawatiran tentang masa depan (Barlow, 2006: 158).
25
Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, dimana seseorang
merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun
wujudnya (Sutardjo Wiramihardja, 2005:66). Menurut Freud (Alwisol, 2005: 28)
menyatakan bahwa kecemasan ialah fungsi ego untuk memperingatkan individu
tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi
adaptif yang sesuai.
Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan
yang akan terjadi. Kecemasan adalah sesuatu yang menimpa hampir setiap orang
pada waktu tertentu dalam kehidupannya. Kecemasan merupakan reaksi normal
terhadap situasi yang sangat menekan kehidupan seseorang. Kecemasan bisa
muncul sendiri atau bergabung dengan gejala-gejala lain dari berbagai gangguan
emosi (Savitri Ramaiah, 2003:10).
Selanjutnya menurut salah satu pakar psikologi dari Universitas St. John
Nevid Jeffrey S, Rathus Spencer A, & Greene Beverly (2005:163) memberikan
pengertian tentang kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempunyai
ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan
kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Kecemasan adalah rasa khawatir , takut yang tidak jelas sebabnya.
Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah
laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun yang terganggu. Keduaduanya
merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap
kecemasan tersebut (Singgih D. Gunarsa, 2008:27).
Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widuri,
2007:73) kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan
merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan, perubahan,
26
pengalaman baru atau yang belum pernah dilakukan, serta dalam menemukan
identitas diri dan arti hidup. Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami
siapapun. Namun cemas yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan
akan menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat diatas bahwa
kecemasan adalah rasa takut atau khawatir pada situasi tertentu yang sangat
mengancam yang dapat menyebabkan kegelisahan karena adanya ketidakpastian
dimasa mendatang serta ketakutan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
2.
Faktor-faktor Penyebab Kecemasan
Beberapa teori penyebab kecemasan pada individu antara lain (Stuart dan
Sundeen, 1998 : 177) :
a. Teori Psikoanalitik
Menurut pandangan psikoanalitik kecemasan terjadi karena adanya
konflik yang terjadi antara emosional elemen kepribadian, yaitu id
dan super ego. Id mewakili insting, super ego mewakili hati nurani,
sedangkan ego berperan menengahi konflik yang tejadi antara dua
elemen yang bertentangan. Timbulnya kecemasan merupakan upaya
meningkatkan ego ada bahaya.
b. Teori Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan
takut terhadap adanya penolakan dan tidak adanya penerimaan
interpersonal. Ansietas juga berhubungan dengan perkembangan
trauma, seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan
kelemahan fisik.
c. Teori Perilaku (Behavior)
27
Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi
yaitu segala Sesutu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk
mencapai tujuan.
d. Teori Prespektif Keluarga
Kajian keluarga menunjukan pola interaksi yang terjadi dalam
keluarga. Kecemasan menunjukan adanya pola interaksi yang mal
adaptif dalam system keluarga.
e. Teori Perspektif Biologis
Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor
khususnya yang mengatur ansietas, antara lain : benzodiazepines,
penghambat asam amino butirik-gamma neroregulator serta
endofirin. Kesehatan umum seseorang sebagai predisposisi
terhadap ansietas.
Menurut Savitri Ramaiah (2003:11) ada beberapa faktor yang menyebabkan
reaksi kecemasan, diantaranya yaitu :
a.
Lingkungan Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi
cara berfikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini
disebabkan karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan
pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja.
Sehingga
b.
individu
tersebut
merasa
tidak
aman
terhadap
lingkungannya.
Emosi yang ditekan Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu
menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan
personal ini, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi
c.
dalam jangka waktu yang sangat lama.
Sebab-sebab fisik Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi
dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam
kondisi seperti misalnya kehamilan, semasa remaja dan sewaktu pulih
28
dari suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahanperubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan
timbulnya kecemasan.
Zakiah Daradjat (Kholil Lur Rochman, 2010:167) mengemukakan beberapa
penyebab dari kecemasan yaitu :
a. Rasa cemas yang timbul akibat melihat adanya bahaya yang
mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat dengan rasa takut,
b.
karena sumbernya terlihat jelas didalam pikiran.
Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan halhal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani. Kecemasan
ini sering pula menyertai gejala-gejala gangguan mental, yang
c.
kadang-kadang terlihat dalam bentuk yang umum.
Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.
Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang tidak jelas dan tidak
berhubungan dengan apapun yang terkadang disertai dengan perasaan
takut yang mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya.
Musfir Az-Zahrani (2005:511) menyebutkan faktor yang mempengaruhi
adanya kecemasan yaitu :
b. Lingkungan keluarga Keadaan rumah dengan kondisi yang penuh
dengan pertengkaran atau penuh dengan kesalahpahaman serta adanya
ketidakpedulian orangtua terhadap anak-anaknya, dapat menyebabkan
ketidaknyamanan serta kecemasan pada anak saat berada didalam
c.
rumah.
Lingkungan Sosial Lingkungan sosial adalah salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi kecemasan individu. Jika individu tersebut
berada pada lingkungan yang tidak baik, dan individu tersebut
menimbulkan suatu perilaku yang buruk, maka akan menimbulkan
29
adanya berbagai penilaian buruk dimata masyarakat. Sehingga dapat
menyebabkan munculnya kecemasan.
3.
Gejala-gejala Kecemasan
Gangguan kecemasan bersal dari suatu mekanisme pertahanan diri yang
dipilih secara alamiah oleh manusia bila menghadapi sesuatu yang mengancam
dan berbahaya. Kecemasan sendiri dalam tingkatan tertentu dapat dianggap
sebagai bagian dari respon untuk mengatasi masalh sehari-hari. Gejala-gejala
yang bersifat fisik diantaranya adalah: jari tangan dingin, Detak jantung makin
cepat, berkeringat dingin, kepala pusing, nafsu makan berkurang, tidur tidak
nyenyak, dada sesak. Gejala yang bersifat mental adalah: ketakutan merasa akan
ditimpa bahaya, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak tenteram,ingin lari dari
kenyataan. (Siti Sundari,2004:62).
Kecemasan juga memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut
dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan.
Gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada masing-masing orang.
Kaplan, Sadock, & Grebb (Fitri Fauziah & Julianti Widury,2007:74) menyebutkan
bahwa takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi sebagai tanda akan
adanya suatu bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas atau
nyata, berasal dari lingkungan, dan tidak menimbulkan konflik bagi individu.
Sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas, atau
menyebabkan konflik bagi individu.
Kecemasan berasal dari perasaan tidak sadar yang berada didalam
kepribadian sendiri, dan tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan
yang benar-benar ada. Kholil Lur Rochman, (2010: 103) mengemukakan beberapa
gejala-gejala dari kecemasan antara lain:
30
a. Ada saja hal-hal yang sangat mencemaskan hati, hampir setiap
kejadian menimbulkan rasa takut dan cemas. Kecemasan tersebut
merupakan bentuk ketidakberanian terhadap hal-hal yang tidak jelas.
b. Adanya emosi-emosi yang kuat dan sangat tidak stabil. Suka marah
dan sering dalam keadaan exited (heboh) yang memuncak, sangat
irritable, akan tetapi sering juga dihinggapi depresi.
c. Diikuti oleh bermacam-macam fantasi, delusi, ilusi, dan delusion of
persecution (delusi yang dikejar-kejar).
d. Sering merasa mual dan muntah-muntah, badan terasa sangat lelah,
banyak berkeringat, gemetar, dan sering kali menderita diare.
e. Muncul ketegangan dan ketakutan yang kronis yang menyebabkan
tekanan jantung menjadi sangat cepat atau tekanan darah tinggi.
Nevid Jeffrey S, Spencer A , & Greene Beverly (2005: 164)
mengklasifikasikan gejala-gejala kecemasan dalam tiga jenis gejala, diantaranya
yaitu:
a. Gejala fisik dari kecemasan yaitu: kegelisahan, anggota tubuh
bergetar, banyak berkeringat, sulit bernafas, jantung berdetak
kencang, merasa lemas, panas dingin, mudah marah atau
tersinggung.
b. Gejala behavioral dari kecemasan yaitu: berperilaku menghindar,
terguncang, melekat dan dependen.
c. Gejala kognitif dari kecemasan yaitu: khawatir tentang sesuatu,
perasaan terganggu akan ketakutan terhadap sesuatu yang terjadi
dimasa depan, keyakinan bahwa sesuatu yang menakutkan akan
segera terjadi, ketakutan akan ketidakmampuan untuk mengatasi
masalah, pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan, sulit
berkonsentrasi.
4.
Aspek Kecemasan
31
Sue, dkk (1986) membagi kecemasan dalam bentuk reaksi kecemasan, yang
dibagi menjadi empat aspek yang menunjuk pada gejala-gejala yang mungkin
dihadapi oleh pelajar saat mereka cemas menghadapi ujian, yaitu:
a. Reaksi kognitif, bervariasi dari rasa khawatir yang ringan sampai
dengan rasa panik. Reaksi ini muncul berupa kesukaran dalam
konsentrasi, sukar membuat keputusan dan sulit tidur.
b. Reaksi motorik, berupa gelisah, melangkah tidak menentu, menekannekan ruas jari, menggigit bibir dan kuku jari.
c. Reaksi somatik, meliputi reaksi fisik dan biologis seperti bernafas
pendek-pendek, mulut kering, tangan dan kaki dingin, sakit perut,
sering buang air kecil, pusing, jantung berdebar, tekanan darah
meningkat, berkeringat, otot menegang (khususnya pada bagian
leher dan bahu).
d. Reaksi afektif, berupa kekhawatiran dan gelisah. Kecemasan
menghadapi ujian akan mempengaruhi keadaan seseorang yang
ditunjukkan dengan timbulnya reaksi-reaksi fisik maupun psikis
yang menyebabkan terganggunya performasi siswa saat
mempersiapkan dan mengerjakan ujian.
5.
Kecemasan Menghadapi Ujian
Seseorang bisa menjadi cemas bila dalam kehidupanya terancam oleh suatu
yang tidak jelas, karena kecemasan dapat timbul karena banyak hal. Seperti
halnya kecemasan yang dialami oleh siswa SMKN 3 Yogyakarta yang
dipengaruhi oleh banyak hal atau faktor. Mulai dari faktor lingkungan, teman
sebaya, ataupun kecemasan dalam menghadapi Ulangan Akhir Semester.
32
Menurut Lewis (Larinta, 2006) kecemasan menghadapi tes adalah
pengalaman buruk yang kurang menyenangkan yang dialami individu baik disaat
persiapan tes, menjelang dan selama pelaksanaan tes. Seseorang yang menderita
kecemasan yang tinggi dalam menghadapi tes menyebabkan seseorang terhambat
atau kurang dalam memperoses informasi dan tidak dapat menemukan cara
pemecahan masalah yang tepat.
Kecemasan menghadapi Ulangan Akhir Semester pada siswa SMA/SMK
sederajat adalah suatu keadaan atau perasaan yang tidak menyenangkan yang
mengakibatkan siswa mengalami perasaan khawatir, tegang, takut dan tidak
berdaya dalam tingkat yang berbeda-beda karena ketidakmampuan menyesuaikan
diri yang timbul pada saat menghadapi ujian nasional.
C.
Penelitian yang Relevan
1. Penelitian yang dilakukan oleh Uji Utami pada tahun 2009 (Karya
Tulis Ilmiah) tentang hubungan antara kecerdasan emosi dengan
kecemasan menghadapi ujian Obyektif Structural Clinic Assasment
(OSCA) pada mahasiswa semester VI A Akademi Kebianan Mitra
Husada Karanganyar dengan hasil setelah diuji dari 45 responden,
30 mahasiswa (66,7%) memiliki kecerdasan emosi tinggi, 26
mahasiswa (57,8%) tidak cemas saat menghadapi ujian OSCA, dan
dari perhitungan menggunakan statistik chi square diketahui
dimana responden yang memiliki kecerdasan emosi tinggi tidak
akan mengalami kecemasan saat menghadapi ujian OSCA begitu
sebaliknya
2. Penelitian yang dilakukan oleh Dady Sugiarto pada tahun 2012
(Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) tentang hubungan
33
kecerdasaan emosi dengan daya tahan stres mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dengan hasil analisis menggunakan korelasi
product moment pearson correlationn, menunjukan adanya
hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan
daya tahan stres dengan koefisien korelasi sebesar 0,328 dan nilai
signifikansi =0,00