Chapter II Pembangunan Tugu (Tambak) di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea

BAB II
MOTIF PEMBANGUNAN TAMBAK DI DESA TANGGA BATU I
KECAMATAN PORSEA 1986-2005
2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
2.1.1 Gambaran Umum Desa Tangga Batu I
Adapun faktor geografis dalam penulisan sejarah adalah merupakan suatu hal
yang tidak boleh diabaikan. Sebab dengan melihat dan menganalisis daerah yang
akan diteliti, maka akan diperoleh berbagai aktifitas yang pernah terjadi di daerah itu
serta latar belakang historisnya. Cerita sejarah baru dianggap benar jika
pengungkapan sejarah disertai dengan menyebutkan daerah tempat kejadian sejarah
itu terjadi
Porsea adalah sebuah kecamatan yang berada di kabupaten Tapanuli Utara,
provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Sungai Asahan yang airnya bersumber dari
Danau Toba mengalir membelah kota ini. Terdapat dua pabrik besar yang beroperasi
di kecamatan ini di antaranya adalah PT Inalum dan juga PT. Inti Indorayon Utama
atau yang paling sering disingkat PT.IIU. Pabrik yang berada tepat di Desa Tangga
Batu I adalah PT. IIU. Terdapat pabrik pengolahan kertas PT Toba Pulp Lestari yang
sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama. Pabrik ini berhenti beroperasi pada
tahun 1998 karena protes masyarakat. Melihat kondisi di sekitar pabrik industri PT.
Inti Indorayon Utama semakin buruk, maka pemerintah memutuskan untuk


25
Universitas Sumatera Utara

memenuhi tuntutan masyarakat menutup kegiatan operasional PT. Indorayon Utama
pada 13 Maret 1998.11
Kecamatan Porsea terdiri atas 14 desa, 3 kelurahan, dan 47 dusun/lingkungan
dengan luas wilayah 37,89 km2. Jumlah penduduk 14,872 jiwa terdiri dari 7.773 lakilaki dan 7.099 perempuan, dengan jumlah 3.326 KK. Kecamatan Porsea berada pada
20-24’- 20-37 LU dan 990-03 - 990-16 BT.
Adapun Kecamatan Porsea berbatasan dengan wilayah:
Sebelah Utara

: Kecamatan Lumban Julu

Sebelah Selatan

: Kecamatan Silaen dan Sigumpar

Sebelah Barat

: Kecamatan Uluan


Sebelah Timur

: Kecamatan Siantar Narumonda

Kecamatan Porsea berada di dataran tinggi bukit barisan dengan ketinggian
antara 905-1500 M di atas permukaan laut dengan topografi dan kontur tanah yang
beraneka ragam yakni datar, landai, miring dan terjal. Sesuai dengan letak yang
berada di garis khatulistiwa, Kecamatan Porsea tergolong ke dalam daerah tropis
basah dengan suhu berkisar antara 170 C - 290 C.
Desa Tangga Batu I merupakan salah satu desa di Kecamatan Porsea yang
dekat dengan daerah Porsea dengan wilayah terluas mencapai 6,43 Km2 atau sekitar

11

Protes masyarakat diakibatkan rusaknya tanaman dan juga rumah masyarakat akibat zat
kimia yang terlalu banyak digunakan tetapi kurang dinetralisir saat dibuang menjadi limbah.

26
Universitas Sumatera Utara


16,97 % dari luas total kecamatan Porsea. Selain itu kepadatan penduduknya dengan
jumlah penduduk pendatangnya lebih banyak dibanding desa lain, jarak yang paling
dekat dengan lokasi industri PT IIU. Desa Tangga Batu I sebelum berdiri PT Inti
Indorayon Utama merupakan tempat pengembalaan kerbau sebagai hewan peliharaan
masyarakat setempat. Pada masa itu Desa Tangga Batu I dikenal dengan nama Desa
Sosor Ladang, karena Sosor Ladang berarti (kampung kecil yang masih banyak di
tumbuhi rumput di ladang tempat penggembalaan kerbau).12
Desa ini masih jarang di huni masyarakat pada waktu itu karena masyarakat
masih banyak tinggal di Huta Nagodang, salah satu dusun pedalaman. Desa Sosor
Ladang adalah pada saat ini dikenal dengan nama Desa Tangga Batu I. Pada awalnya
Desa Tangga Batu I merupakan desa yang belum banyak mengalami perkembangan
baik dari segi pendidikan maupun dari segi pembangunan infrastuktur, sebelum
didirikan pabrik ini. Direncanakan PT Toba Pulp Lestari, Tbk, didirikan sebagai
realisasi Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri No. 6 tahun 1968 jo.
Undang-Undang No. 12 tahun 1970 berdasarkan akta No. 329 tanggal 26 April 1983
dari Misahardi Wilamarta, SH, notaris di Jakarta. Akta pendirian telah mendapat
persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam surat keputusannya
No. C2-5130.HT01-01 TH.83 tanggal 26 Juli 1983, serta diumumkan dalam Berita
Negara Republik Indonesia No. 97 tanggal 4 Desember 1984, Tambahan No 1176.13


12
13

Hasil wawancara dengan Bapak Mandahar Sitorus, tanggal 20 juli 2015.
www.tobapulp.com/ina/index.php.propile/sejarah/

27
Universitas Sumatera Utara

Sebelum dibangunnya pabrik tersebut pada tahun 1985 Desa Tangga Batu I
terdiri atas dua perkampungan yaitu: perkampungan Sisaba dan perkampungan Huta
Nagodang. Letak kedua perkampungan sangat berdekatan sekali dengan pabrik Toba
Pulp Lestari, Tbk yang terdiri atas sawah dan tanah berbatuan, dengan ketinggian
950-1500 m di atas permukaan laut. Daerah pegunungan di sekitar dua
perkampungan ini mempunyai iklim tropis basah sehingga cocok untuk pertumbuhan
pepohonan dan lokasi bagi industri pengolahan kayu. Kemudian dengan banyak
pertimbangan dan mendapat izin maka dibangun industri yang bergerak di bidang
pengolahan kayu yang berlokasi di Desa Tangga Batu I Kecamatan Porsea. Desa
Tangga Batu I ini adalah penyatuan dari dua perkampungan yaitu kampung Sisaba

dan kampung Hutanagodang.
Tabel 1
Tabel Luas Desa Sisaba Sebelum dan Sesudah PT. IIU Berdiri
No

JENIS LAHAN

LUAS LAHAN

LUAS LAHAN

SEBELUM INDUSTRI

SETELAH

BERDIRI

INDUSTRI
BERDIRI


1.

PERKAMPUNGAN

75 ha

65 ha

2.

SAWAH

94 ha

69 ha

3.

BERBATUAN


90 ha

90 ha

259 ha

234 ha

Total

Sumber: Kantor kepala Desa Tangga Batu I 2015

28
Universitas Sumatera Utara

Tabel ini menunjukkan perkampungan Sisaba masih hutan dan belum ada
eksploitasi terhadap daerah tersebut, sebelum desa itu pada akhirnya digabungkan
dengan perkampungan Huta Nagodang.
Tabel 2
Tabel luas Desa Huta Nagodang Sebelum dan Sesudah PT. IIU Berdiri

No

JENIS LAHAN

LUAS LAHAN

LUAS LAHAN

SEBELUM INDUSTRI

SETELAH INDUSTRI

BERDIRI

BERDIRI

1.

PERKAMPUNGAN


79 ha

69 ha

2.

SAWAH

80 ha

65 ha

3.

BERBATUAN

90 ha

90 ha


249 ha

234 ha

Total

Sumber: Kantor kepala Desa Tangga Batu I, 2015

Tabel ini menunjukan perkampungan Huta Nagodang sebelum tergabung
dengan perkampungan Sisaba menjadi desa Sosor Ladang yang

akhirnya lebih

dikenal dengan lebih nama Desa Tangga Batu I.
Adapun batas wilayah Desa Tangga Batu I antara lain:
Sebelah Utara

: Desa Siantar Utara

Sebelah Selatan


: Desa Pangombusan

Sebelah Barat

: Desa Tangga Batu II

29
Universitas Sumatera Utara

Sebelah Timur

: Desa Ambar Halim

Setelah PT. IIU berdiri tahun 1986, maka luas kedua desa ini berkurang 60
Ha. PT.IIU membeli tanah penduduk untuk lokasi pulp dan rayon dengan luas daerah
60 Ha. Ini dapat dilihat dari perubahan tanah penduduk.
Selanjutnya, PT.IIU tumbuh menjadi industri pulp dan rayon yang besar.
Kedua desa tersebut disatukan menjadi satu desa pada tahun 1988 melalui usul
pemerintah dan perusahaan serta persetujuan tokoh-tokoh adat, kepala desa, dan
masyarakat. Fusi kedua (Desa Sisaba dan Desa Huta Nagodang) menjadi satu desa
dengan nama baru yaitu Desa Tangga Batu I (Sosor Ladang) dengan luas pedesaan
sebagai berikut:
Tabel 3
Tabel luas Desa Tangga Batu I Setelah PT. IIU Berdiri
No

JENIS LAHAN

LUAS LAHAN

1.

PERKAMPUNGAN

148 ha

2.

SAWAH

120 ha

3.

BERBATUAN

180 ha

Total

448 ha
Sumber: Kantor kepala Desa Tangga Batu I, 2015

Dengan adanya perubahan terhadap tanah penduduk Desa Tangga Batu I
tersebut, setelah PT. Inti Indorayon Utama berdiri, maka areal pemukiman

30
Universitas Sumatera Utara

masyarakat berkurang luasnya, akan tetapi mengalami perkembangan yang pesat
pada tahun 1986 dalam pembangunan. Pembangunan secara fisik yang terjadi di Desa
Tangga Batu I kian marak, ini terlihat dari hasil perubahan yang ditimbulkan oleh
keberadaan perusahaan pulp dan rayon yang sudah mulai beroperasi.
2.1.2 Keadaan Penduduk Desa Tangga Batu I
Masalah demografi sebelum PT.Inti Indorayon Utama berdiri atau sebelum
terjadinya penggabungan Desa Sisaba dan Desa Huta Nagodang, penulis tidak
memperoleh data-data, karena kedua desa itu pada masa itu masih dipimpin oleh
kepala desa masing-masing desa. Setelah PT. IIU berdiri dan kedua desa tersebut
digabungkan menjadi Desa Tangga Batu I, maka faktor kependudukan sangat jelas
mengalami perubahan dengan bergabungnya penduduk dua desa di tambah masuknya
penduduk pendatang dari luar daerah, banyak datang dari luar pulau Sumatera dan
bertempat tinggal di desa ini. Sangat jelas terlihat bahwa desa ini mengalami
perubahan yang pesat dengan bertambahnya jumlah penduduk setempat dan migrasi
penduduk luar yang bekerja sebagai karyawan dan karyawati perusahaan pulp dan
rayon.
Angka kelahiran meningkat dengan tingkat menengah (middle-level).
Maksudnya

angka kelahiran penduduk semakin meningkat dari sebelumnya.

Sebelum berdiri PT. IIU penduduk di Desa Tangga Batu I adalah masyarakat Batak
yang terdiri dari marga Sitorus, Sirait, dan Manurung dari keturunan Ompu
Narasaon. Akan tetapi marga yang paling banyak di desa ini adalah marga Sitorus.

31
Universitas Sumatera Utara

Namun sejak pabrik ini beroperasi pada tahun 1986 Desa Tangga Batu I menjadi
areal industri pulp dan rayon. Penduduk pendatang terdiri

atas

suku Jawa,

Minangkabau, Karo, Nias, dan juga WNI( China, India). Peleburan kebudayan dari
berbagai suku membuat masyarakat setempat dengan penduduk pendatang harus
mampu berinteraksi dan saling toleransi. Hal ini mengakibatkan semakin banyak
budaya baru masuk ke Desa Tangga Batu I. Interaksi sosial masyarakat Batak Toba
dengan masyarakat pendatang yang berada di Desa Tangga Batu I semakin terlihat
jelas. Pabrik kertas pulp dan rayon ini sangat membuka peluang besar tidak hanya
bagi masyarakat pendatang tetapi juga bagi masyarakat Desa Tangga Batu I dan
sekitarnya yang bekerja sebagai karyaan/karyawati di perusahaan raksasa ini. Namun
pada awalnya hanya sebagai buruh kasar karena belum memiliki keahlian khusus
dibidang pulp dan rayon juga mengoperasikan mesin pabrik.
2.1.3 Mata Pencaharian Penduduk Desa Tangga Batu I
Sebelum berdirinya PT. IIU, kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa
Tangga Batu I masih dalam kondisi ekonomi menengah ke bawah. Masyarakat pada
umumnya hidup hanya bergantung pada lahan pertanian hasil warisan. Dalam
menopang kehidupannya masyarakat pada umumnya bergantung dari hasil pertanian
di sawah yang mereka usahakan.
Sistem pengelolahan lahan pertanian yang diterapkan masih dilakukan dengan
cara yang sederhana sekali dan bersifat tradisional yaitu menggunakan tenaga

32
Universitas Sumatera Utara

manusia dan hewan.14 Dalam pengolahan tanah pertanian zaman dahulu bagi orang
tua di kampung menjadi tenaga manusia yang disebut dengan Marsialap Ari (sistem
gotong-royong).15 Disamping bertani mereka juga mengusahakan pemeliharaan
ternak. Ternak yang dipelihara adalah beberapa kerbau, babi, dan unggas.
Perekonomian tidak mengalami perkembangan pesat dampaknya terhadap
peningkatan mata pencaharian masyarakat karena hasil pertanian dan peternakan
yang diperoleh hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Beras sebagai makanan
pokok sering dikonversi dengan ubi kayu untuk penghematan, atau ubi kayu terlebih
dahulu dimakan sebelum makan nasi.
Makan ubi sebelum makan nasi adalah sebuah cara makan yang dilakukan
orang tua untuk bisa menghemat nasi. Beras sebagai bahan makanan pokok tidak
mudah diperoleh seperti sekarang ini. Panen padi biasanya hanya sekali dalam satu
tahun. Faktor lain yang membuat keadaan serba kekurangan adalah modernisasi
pertanian dan sarana pertanian yang kurang memadai serta pengetahuan masyarakat
kurang mendukung baik dalam pengolahan lahan pertanian, meningkatkan produksi
hasil pertanian, dan masyarakat tidak semua mempunyai hewan–hewan ternak. Bisa
dikatakan hanya beberapa keluarga yang mempunyai hewan ternak.

14

Hasil wawancara dengan Bapak Boturan Sitorus, tanggal 26 juli 2015.
Marsialap Ari yang dimaksud adalah adanya dua orang atau lebih kelompok masyarakat
yang dalam pengerjaan ladangnya dilakukan secara bergantian, sebagai contoh Si A akan bekerja
diladang si B untuk dua hari , maka si B juga akan bekerja di ladang si A hari selanjutnya, sebanyak
hari yang di habiskan si A mengerjakan ladang si B. dan ini terkadang dilakukan agar kekompakan
antar masyarakat perkampungan tetap terjalin.
15

33
Universitas Sumatera Utara

Selain bertani, sebagian masyarakat mencari nafkah dengan berdagang dan
bekerja sebagai pekerja harian. Pedagang adalah orang yang berdagang dari satu
kampung ke kampung lain untuk menukarkan hasil pertanian. Sebelum berdirinya
PT. IIU tingkat pengangguran terdapat di Desa Tangga Batu I. Penduduk tidak
memiliki skill (keahlian) karena tingkat pendidikan rendah.
Sebagian masyarakat setempat tidak dapat mengenyam pendidikan yang
berakibat meningkatnya pengangguran. Pada tahun 1986 pengangguran di Desa
Tangga Batu I, dikategorikan sebagai berikut:
1. Pengangguran Musiman (unemployment of dynamic)
2. Pengganguran Tetap (unemployment of static)16
Pengangguran musiman dalam kehidupan sosial ekonomi Desa Tangga Batu I
Kecamatan Porsea disebabkan mata pencaharian penduduk setempat bertani (1 kali
setahun) dan tingkah laku masyarakat (Pattern of Behavior) masyarakat masih
dipengaruhi kebiasaan social (Social Custom) yang tradisional. Mereka hanya dapat
bekerja hanya pada waktu menuai hasil padi disawah secara keseluruhan, setelah
habis masa menuai padi mereka menganggur. Itu sudah menjadi tradisi yang
mengakar dari masa orang tua zaman dahulu. Biasanya setelah selesai menuai padi
dari sawah, masyarakat Tangga Batu I hanya sebagian yang tergerak hatinya untuk

16

E. K Poerwandari, 2001. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia, edisi
Revisi. Jakarta: lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi(LPSP3) UI hal.
71-72.

34
Universitas Sumatera Utara

pergi keladang untuk berkebun menambah pemasukan ekonomi keluarga sebagai
tambahan pendapatan keluarga.17
Selanjutnya, Pengganguran tetap terjadi dalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat Tangga Batu I disebabkan oleh faktor kemalasan. Dimana sebagian
penduduk setempat hanya menerima apa adanya tanpa ada usaha untuk bekerja. Ratarata pengangguran tetap ini duduk di kedai tuak dari pagi hingga sore menghabiskan
hari-hari tampa guna, sambil marnonang ( bercerita). Disinilah sering munculnya
penyakit orang batak yang sering di istilahkan HOTEL yaitu: Hosom (Sikap
Bermusuhan ), Teal (Sombong), Elat (Cemburu ), dan Late (Benci ). Keempat pola
pikir ini yang negative ini sangat menonjol dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
Hal ini sudah menjadi satu budaya kecil untuk dilakukan masyarakat Batak
Toba khususnya yang ada di Desa Tangga Batu I. Terkadang membicarakan hal yang
tidak penting tentang orang lain tanpa melihat ke dirinya sendiri. Hal ini juga yang
sering menjadi pemicu konflik antar masyarakat.18
Setelah perencanaan dan kemudian PT. IIU berdiri tahun 1983 dan beroperasi
pada tahun 1986 menjadi salah satu perusahaan raksasa pulp dan rayon, lambat laun
terjadi perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat Desa Tangga Batu I dan
sekitarnya. Kemajuan pola pikir masyarakat Desa Tangga Batu I semakin berubah
seiring berbaurnya penduduk pendatang dengan penduduk setempat. Yang membawa
suatu perubahan besar baik dari segi interaksi sosial masyarakat, pendapatan

17

Hasil wawancara dengan Bapak Pardoal Sitorus, tanggal 30 juli 2015.
Hotman Siahaan dan Basyral Harahap. 1987. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak. Jakarta:
Sanggar William Iskandar. Hal. 34.
18

35
Universitas Sumatera Utara

penduduk setempat maupun pendatang, kemajuan infrastruktur, dan bahkan
pembangunan beberapa gedung sekolah untuk anak-anak karyawan maupun
masyarakat setempat.
Rata-rata penduduk pendatang selalu bersikap lembut dalam bertutur kata
sebagai contoh ialah suku Jawa, Minangkabau, dan Karo bila dibandingkan dengan
tutur kata masyarakat setempat yang tutur katanya sedikit lebih keras atau lebih
lantang karena orang Batak Toba terkenal dengan ketegasannya. Pembauran ini
menimbulkan terjadinya hubungan persaudaraan hingga terjadinya perkawinan antar
suku. Pembauran ini juga membawa dampak hal baru baik bagi kebudayaan
tradisional masyarakat Batak Toba yang tinggal di Desa Tangga Batu I.19
Beroperasinya pabrik pulp dan rayon meningkatkan mata pencaharian
masyarakat. Masyarakat setempat yang memiliki kemampuan

sedikit di

fungsionalkan sebagai para pekerja di bagian yang hanya membutuhkan skill rendah.
Sebagai contoh banyak ibu rumah tangga ataupun gadis di kampung bekerja sebagai
buruh kasar di bagian pembibitan dan penghijauan sedangkan kaum pria di
pekerjakan di bagian pabrik tetapi hanya sebagai karyawan biasa di lapangan.
Pekerjaan ini di terima oleh masyarakat karena memang masyarakat setempat juga
mengerti mereka tidak memiliki kemampuan khusus untuk mengoperasikan mesin
industri.
Masyarakat menerima pekerjaan itu pada masa itu dengan bersyukur karena
telah mengurangi jumlah angka pengangguran. Para orang tua menerima pekerjaan

19

E. F Purba & O.H.S Purba .1997. Migrasi Spontan Batak Toba (MARSERAK)
sebab,Motif,dan Akibat Perpindahan Penduduk dari dataran Tinggi Toba . Medan: Monora. Hal . 32.

36
Universitas Sumatera Utara

itu meski hanya sebagai buruh kasar, di pabrik yang di bangun di desa mereka demi
mendapatkan tambahan pendapatan. Orang tua menerima pekerjaan ini untuk biaya
menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin agar kelak tidak merasakan
kesusahan seperti yang dirasakan oleh orang tuanya.
Meskipun dengan pendapatan yang rendah orang tua selalu memotivasi anakanaknya untuk bersekolah setinggi mungkin. Ini menjadi tujuan dan mimpi dari orang
tua masyarakat Batak Toba, menginginkan keberhasilan dan kesuksesan anakanaknya di masa yang akan datang. Ada satu pemikiran dalam masyarakat Batak
Toba anak-anak mereka harus lebih baik kesejahteraan hidupnya di masa mendatang.
Satu motto orang Batak Toba adalah: “Anakkonhi do Hamoraon Di Ahu”. Anak
adalah harta yang paling berharga,20 Orang tua menghabiskan waktu dan tenaganya
sepanjang masa hidupnya untuk bekerja keras baik di ladang maupun sebagai buruh
di pabrik asalkan anak-anak mereka mendapat pendidikan yang lebih baik.
2.1.4 Pendidikan Penduduk Desa Tangga Batu I
Pendidikan merupakan tolak ukur keberhasilan keluarga pada masyarakat
Batak. Dalam adat Batak Toba terdapat istilah Anakkonhi do Hamoraon Di Ahu
(Anak merupakan simbol kekayaan bagi suatu keluarga orang Batak Toba ).

Apabila salah seorang dari keluarga tersebut tidak ada yang berhasil dalam
pendidikan yang lebih tinggi atau meraih titel sarjana walaupun keluarga tersebut
orang berada, maka di mata orang Batak keluarga Namora (Orang kaya yang
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat) tersebut belum berhasil, kecuali bagi

20

Irmawati, op.cit. hal . 122.

37
Universitas Sumatera Utara

orang Napogos (Orang miskin yang statusnya rendah dipandang masyarakat), hal
tersebut wajar karena keluarga tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan anak.
Pada awal tahun pembangunan pabrik, pendidikan masyarakat masih rendah.
Oleh karena itu, masyarakat di Desa Tangga Batu I tertinggal di bidang pendidikan,
terutama pendidikan di perguruan tinggi. Namun seiring dengan semakin majunya
pola pikir masyarakat, maka untuk peningkatan mutu pendidikan terus diupayakan,
oleh pihak perusahaan pulp dan rayon membangun sekolah dan mulai membuka
kesempatan seluas-luasnya kepada penduduk untuk mengenyam pendidikan.
Di desa Tangga Batu I terdapat 2 Sekolah Dasar (SD) dan 1 Sekolah
Menengah Pertama ( SMP) dengan rincian 1 sekolah dasar dan 1 sekolah menengah
pertama, swasta yang di bangun oleh PT. IIU dan 1 sekolah dasar lainya adalah
sekolah di bangun pemerintah. Sekolah dasar dan sekolah menengah pertama ini
merupakan sekolah yang di bangun oleh perusahaan sebagai bentuk perhatian bagi
pendidikan masyarakat yang tinggal di Desa Tangga Batu I baik itu anak- anak
karyawan perusahaan ataupun anak-anak dari peduduk setempat. Hal ini sangat
menunjang kemajuan pendidikan masyarakat di Desa Tangga Batu I.
2.1.5 Kontribusi Pabrik Toba Pulp Lestari Bagi Penduduk setelah
Kembali Beroperasi
Seperti yang telah dipaparkan di atas, pernah PT IIU di berhentikan kegiatan
operasinya atas protes masyarakat pada 1998. Saat kembali beroperasi industri ini di
tahun 2000, pihak manajemen dengan sabar melakukan pendekatan kepada
masyarakat

sekitar,

khususnya

tokoh-tokoh

masyarakat.

Pihak

manajemen

38
Universitas Sumatera Utara

menjanjikan teknologi ramah lingkungan dan melakukan program pemberdayaan
masyarakat atau Community Develoment sebagai bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan ( Coporate social Responsibility) lebih baik.
Selain itu, perusahaan juga memperkenalkan “paradigma baru” dalam aktifitas
lembaga yang menjadikan masyarakat sekitar mau menerima pengoperasian kembali
perusahaan. Paradigma baru itu antara lain:
1. Penggunaan Teknologi ramah lingkungan.
2. Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan.
3. Pelaksanaan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility)
yaitu:
a. Mengutamakan putra daerah setempat menjadi karyawan dan
menduduki jabatan yang tersedia dengan persyaratan keahlian
setiap jenjang.
b. Melakukan kerjasama kemitraan bisnis dengan masyarakat
lokal
c. Menyisihkan

kontribusi

sosial

untuk

pengembangan

masyarakat sebesar 1% dari net sales per tahun.
Dengan adanya paradigma baru ini PT. Toba Pulp Lestari, pemerintah dan
masyarakat sudah mulai mempercayai dan menerima pengoperasian kembali pabrik

39
Universitas Sumatera Utara

penghasil kertas tersebut. Adanya program tanggung jawab sosial oleh pabrik,
semakin menambah kepercayaan terhadap perusahaan.21
Dalam implementasi program tanggung jawab sosial perusahaan PT. TPL
memberikan bantuan terhadap masyarakat setempat dengan memberikan lapangan
pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat setempat demi meningkatkan perekonomian
keluarga mereka, pemberian beasiswa terhadap siswa-siswi, perbaikan sarana dan
prasarana yang mendukung perekonomian masyarakat seperti pemberian pupuk dan
bibit, pembangunan jalan dan asuransi kesehatan serta adanya pemberian dana ganti
rugi kepada setiap kepala rumah tangga untuk perbaikan atap rumah masyarakat.
2.2 Motif Pendorong Masyarakat Batak Toba Membangun Tambak
2.2.1 Sistem Nilai Budaya yang Dianut Masyarakat
Sistem nilai budaya adalah suatu sistem yang terdiri dari konsep-konsep yang
hidup di dalam pikiran sebagian besar masyarakat, tentang hal-hal yang mereka
anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu sistem nilai budaya biasanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia, merupakan keputusan
yang kurang tegas yang biasa dirasakan. Kemudian dimunculkan sebagai suatu
tindakan, walaupun kadang-kadang kurang rasional.22
Sistem nilai di dalam masyarakat memberi pola bertingkah laku atau dengan
kata lain memberikan seperangkat model untuk bertingkah laku. Sistem ini dihayati
benar oleh masyarakat pendukungnya dalam kurun waktu tertentu sehingga
21

http://www.lifestyle.roll.co.id/fashionista/25-latest/36304- Taput-gunakan-cd-pt-tpl-untukinfrastuktur.html.
22
Koentjaraningrat, Kebudayaan mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: P.T.Gramedia,
1974,hal.32.

40
Universitas Sumatera Utara

mendominasi keseluruhan kehidupan dalam arti mengarahkan bertingkah laku.
Konsepsi nilai budaya telah berakar dalam pikiran kelompok masyarakat berkenaan
dengan bagaimana masyarakat memandang hidup, karya, waktu, dan alam pikiran
dengan hubungan sosial antar sesama mereka dalam kelompok kekerabatan yang
luas.23
Masyarakat Batak Toba di Desa Tangga Batu I umumnya menganut konsep
totalitas yaitu bahwa komunitas, dan individu merupakan kesatuan dan totalitas yang
satu sama lain tidak terpisahkan.24

Hal ini di pengaruhi oleh tiga unsur yang

memperngaruhi tingkah laku masyarakat Batak Toba. Ketiga unsur hagabeon,
hamoraon, dan hasangapon tersebut adalah suatu yang fungsional dan harus

harmonis. Putusnya hubungan manusia dengan salah satu unsur tersebut berarti
memusnahkan kehidupan dunia.25 Totalitas dipandang sebagai unsur pertemuan,
kesatuan, kesempurnaan, kepunahan dan penjumlahan yang terakhir dan tanpa akhir
pandangan

totalitas

ini

memperngaruhi

sistem

nilai

keagamaan

dan

kemasyarakatan.26
Demikian juga dalam memecahkan suatu masalah, tidak memenggal
sedemikian rupa tetapi secara intuitif mereka mencari hubungan yang ada atau
dianggap saling mengisi. Misalnya persoalan senioritas dalam silsilah yang
kemungkinan menjadi pokok permasalahan, justru dapat diselesaikan secara tuntas
dengan cara memperkuat rasa solidaritas. Cita-cita bekerja produktif dan terencana
23

Ibid., hal 34.
Hotman Siahaan, Persekutuan agama Budaya Orang Batak Toba, Khusus HKBP, Prima 2
februari 1979. Hal 20.
25
Ibid hal 20
26
J.C.Vergowen, Op.Cit., hal 80
24

41
Universitas Sumatera Utara

mendorong masyarakat untuk selalu bekerja keras. Bagaimanapun sulitnya dalam
mencari nafkah keinginan untuk sukses selalu melintas dalam pikiran orang Batak
Toba.
Kesadaran bersama merupakan cara berpikir dan bertindak masyarakat Batak
Toba. Pesta tambak menuntut tanggung jawab bersama. Selama mereka menyadari
ada usaha bersama, maka mereka akan memelihara dan membuat sukses setiap
upacara adat. Setiap pribadi atau keluarga rela berkorban dalam hal memenuhi
kebutuhan kelompok marganya. Pandangan terhadap sesama ini sangat erat kaitannya
dengan dilandasi prinsip Dalihan Na Tolu.27 (tiga motto peraturan budaya Batak
Toba) karena satu sama lain merupakan kelompok yang tidak dapat dipisahkan.
Setiap anggota masyarakat adat termasuk kedalam suatu marga. Anggota semarga
adalah kerabat yang paling dekat hubungannya.
Hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat yang diikat prinsip Dalihan
Na

Tolu

dimanifestasikan

sebagai

tanda

solidaritas

kebersamaan

dan

kegotongroyongan yang mengambarkan suatu sistem nilai sosial. Semua anggota
yang terpadu dalam masyarakat Dalihan Na Tolu akan selalu menuntut dan
melaksanakan kewajibannya. Secara kontekstual masing-masing memberikan status
inisial terhadap yang lain, sehingga setiap pribadi, keluarga dan kelompok
masyarakat akan selalu berusaha untuk ikut serta dalam setiap upaya adat yang
dianggap menyangkut diri dan tanggung jawabnya.

27

Dalihan NaTolu dalam adat Batak Toba merupakan struktur sosial Batak Toba yang terdiri
dari: Hula-Hula ( pemberi dari istri), Dongan Sabutuha (anggota klen sendiri), dan Boru( penerima
istri).

42
Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Cita- Cita Dasar dalam Hidup
Sembilan tradisi kebudayaan masyarakat Batak Toba. Sembilan nilai utama
dalam kebudayaan dan tradisi orang Batak Toba yaitu: Kekerabatan, Religi,
Hagabeon, Hasangapon, Hamoraan, Hamajuon, Uhum dan ugar i, Pangayoman, dan

Konflik. Kesembilan tradisi ini cita-cita dasar masyarakat Batak Toba mengakui ada
tiga unsur yang paling prinsipil menjadi orientasi hidup yaitu realita cita-cita untuk
Hagabeon, Hamoraon, dan Hasangapon. secara umum masyarakat Batak menyadari

betapa sempurnanya hidup

apabila dapat mencapai ketiga cita-cita dasar itu.

Mempunyai banyak anak sehingga mempunyai keturunan yang besar adalah
hagabeon. Memiliki angkatan atau generasi sekaligus memiliki kekuatan dan hari

depan keluarga. Segala daya upaya dilakukan untuk mengantarkan anak ke jenjang
yang terhormat dan terpandang dengan cara menyekolahkan sesuai kemampuan yang
ada.
Keluarga akan bangga apabila anak mempunyai kedudukan yang baik di
tengah masyarakat, karena akan menunjukkan dan membawa nama keluarga. Ada
kecenderungan keluarga untuk menggantungkan harapan hidup di masa yang akan
mendatang kepada anak-anaknya.
Sejajar dengan hagabeon, unsur hamoraon (kekayaan) tidak kalah pentingnya
dalam menwujudkan hasangapon. Ada keyakinan pada masyarakat Batak Toba,
bahwa kedudukan berkenaan dengan kekayaan. Di Bona Pasogit ( daerah asal)
kekayaan dapat diartikan sebagai penguasaan atas tanah yang luas, hewan peliharaan,
dan uang. Sedangkan, di perantauan hamoraon mencakup kedudukan yang tinggi
dalam pekerjaandan kehidupan ekonomi yang baik.
43
Universitas Sumatera Utara

Hasangapon (kehormatan/wibawa) adalah sebuah pengakuan dari masyarakat

terhadap seorang individu atas kehebatan, kekayaan, keberhasilan dan lain
sebagainya. Ini merupakan kebulatan yang sempurna karena dengan memiliki
hangabeon (anak laki-laki dan perempuan) sekaligus memiliki hamoraon (kekayaan)

harus dibarengi hasangapon (kehormatan/wibawa). Tercapainya cita-cita hagabeon,
hamoraon, dan hasangapon dapat di manisfestasikan dalam upacara adat (upacara

pesta tambak) parpomparan (keturunan) per marga dan perkeluarga. Berkat akan
diperoleh secara berkesinambungan dengan melaksanakan kewajiban dalam upacara
adat. Salah satu kehormatan tertinggi kepada orang tua jika keturunannya mampu
mencapai

cita-cita tersebut berdasarka prinsip Dalihan na Tolu. Penghormatan

kepada para leluhur menjadi motif

masyarakat Batak Toba untuk membangun

tambak leluhurnya.

2.3 Pembangunan Tambak di Desa Tangga Batu I
Pembangunan tambak tidak asing di kalangan masyarakat Batak Toba.
Banyak pihak telah mencoba mendefinisikan dan mengartikan pembangunan tambak
dengan menganalisis serta mengartikan hal-hal yang melatarbelakangi, memotifasi,
dan tujuan yang diharapkan dari pembangunan tambak. Ada pendapat pro dan kontra
tentang pembangunan tambak. Tentu hal itu disebabkan oleh adanya perbedaanperbedaan motivasi dan tujuan pembangunan tambak itu sendiri, sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa perubahan dan
pergeseran nilai-nilai agama maupun nilai-nilai budaya.

44
Universitas Sumatera Utara

Pembangunan tambak dilakukan sesuai dengan keinginan untuk mengangkat
status sosial, keluarga, dan pribadi di kampung halaman. Ini karena mampu di bidang
materi dan sudah mapan. Unsur Toal (persaingan congkak) muncul di kalangan orang
Batak sendiri. Ada suatu pemikiran bahwa keberhasilan yang diperoleh atas pasupasu (berkat) arwah nenek moyang, sehingga timbul keinginan untuk menggali

tulang-belulang nenek moyang dan menyimpanya di dalam tambak dengan
mengadakan pesta yang meriah.
Ada beberapa hal yang memotifasi masyarakat Batak Toba dalam
pembangunan tambak:
Pertama , meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat yang dibarengi

dengan pembangunan yang gencar di sana-sini telah membawa sebagian besar
masyarakat, termasuk putra putri Tapanuli Utara, di perantauan, ke dalam hidup yang
lebih makmur. Kemajuan ekonomi ini mendorong mereka untuk mengangkat
martabat saudara mereka yang ada di kampung dan juga menghormati leluhur yang
telah memperanakkan mereka, karena mereka beranggapan bahwa keberhasilan
selama ini dapat tercapai atas pasu-pasu (berkat) dari sumangot (arwah) leluhur.
Kedua , sebagai pemersatu keluarga. Pepatah Batak Toba mengatakan, “Hau
na pajonokjonok do marsiososan,” yang artinya “pada keluarga dekat sering timbul

perselisihan satu dengan yang lain.” Dari pepatah ini dapat ditarik kesimpulan
mengenai kegunaan didirikannya tambak, yakni supaya ada tempat untuk
mempersatukan hati dan pikiran mereka di bawah otoritas leluhur. Selain itu,

45
Universitas Sumatera Utara

pertengkaran di antara saudara-bersaudara kerap dihubungkan dengan belum
digalinya kuburan leluhur dan belum dipindahkannya tulang-belulang mereka ke
tempat yang lebih baik. Karena itu, agar tidak terkena malapetaka penggalian tulang
leluhur dan pemindahannya ke tempat yang lebih baik harus dilakukan.28
Ketiga , sebagai pemersatu marga. Pesta mangongkal holi tidak hanya

dilakukan dan di biayai oleh satu kepala keluarga tetapi oleh setiap kepala keluarga.
Besar kecilnya sumbangan tidak menjadi penghalang karena yang dipentingkan
adalah kebersamaan.29 Pada waktu pesta dilaksanakan mereka menari bersama
sehingga tercipta keakraban dan kesatuan.
Keempat, untuk menghormati orang tua. Dalam katekismus kecil ajaran

agama Kristen Protestan yang ditulis oleh Martin Luther yang memberi pengertian
tentang hukum kelima dari sepuluh hukum, dikatakan demikian: Kita harus takut dan
mengasihi Allah, sebab itu jangan kita bersikap remeh terhadap orang tua kita,
terhadap pemerintah dan terhadap orang yang lebih tua. Jangan kita menimbulkan
kemarahan mereka, tetapi hendaklah kita selalu menghormati dan mengasihi mereka.
Dengan pemahaman ini banyak orang Batak Toba menggali tulang leluhur dan
mendirikan tambak bagi orang tua mereka sebagai suatu penghormatan kepada orang
tua karena hal ini sesuai dengan hukum kelima.

28

Ibid. hal 43.
Harus diakui bahwa pembagian biaya yang seperti ini hanya teori karena kerap satu
keluarga akan sangat diberatkan atau terpaksa.
29

46
Universitas Sumatera Utara

Kelima , mengharapkan berkat dari arwah leluhur. Biasanya sebelum

pembangunan tambak dimulai masih banyak keluarga memohon berkat dari arwah
leluhur dengan menyajikan makanan istimewa dan khusus sebagai sesajen.30

30

Gultom, Penggalian 14-15. Dipaparkan bahwa seorang yang dituakan membacakan seruan
dan permohonan kepada seluruh leluhur dari yang pertama sampai yang terakhir yang akan
dipindahkan tulangnya dan didirikan tambak kemudian diakhiri dengan kata, “oloima da ompung .”

47
Universitas Sumatera Utara